Anda di halaman 1dari 14

ETIKA BISNIS

Bab 6
“KEWAJIBAN KARYAWAN DAN PERUSAHAAN”

DOSEN PENGAMPU:
Dra. Sri Kussujaniatun, MSi.

KELOMPOK 5:

1. Galih Wisnu Pratama (141180104)


2. Devina Renata (141180149)

PROGRAM STUDI MANAJEMEM


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”


YOGYAKARTA
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam etika bisnis, tentu penting sekali untuk memahami masalah kewajiban.
Karyawan maupun perusahaan tidak dapat semata-mata hanya dapat menuntut hak-
haknya saja, namun mereka juha memiliki kewajiban yang harus dilaksanakannya.
Dewasa ini, sering terjadi masalah yang disebabkan oleh kewajiban karyawan maupun
perusahaan yang tidak dipenuhi, sehingga menimbulkan berbagai masalah yang
merugikan perusahaan, karyawan, maupun pihak lainnya.
Maka dari itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai kewajiban karyawan
dan perusahaan, serta konsuensi dan tanggung jawab yang dimiliki masing-masing
pihak. Tanpa adanya pengetahuan yang mendalam mengenai kewajiban ini, maka dapat
menimbulkan kerugian ataupun masalah bagi pihak-pihak tertentu.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja kewajiban karyawan terhadap perusahaan?
2. Apa yang dimaksud dengan Whistle Blowing?
3. Apa saja kewajiban perusahaan terhadap karyawan?
4. Kasus apa yang dapat dicontohkan terkait kewajiban karyawan atau
perusahaan?
BAB II

ISI
A. Kewajiban Karyawan terhadap Perusahaan
Di dalam makalah ini akan dibahas kewajiban karyawan terhadap perusahaan, sehingga
karyawan tidak hanya menuntut hak nya saja, namun haruslah melakukan kewajiban-
kewajiban sehingga perusahaan juga akan memberikan hak kepada karyawan dengan
tidak dipersulit maupun dikurang-kurangi, dengan kata lain hak karyawan akan
diberikan sebagaimana seharusnya.
1. Tiga kewajiban karyawan yang penting
Kewajiban karyawan pada perusahaan ada tiga yang penting, yaitu kewajiban
ketaatan, konfidensial, dan kewajiban loyalitas.
a. Kewajiban ketaatan
Karyawan memiliki kewajiban dalam hal ketaatan, sebab
karyawan harus taat kepada atasannya di perusahaan karena karyawan
tersebut memiliki ikatan dengan perusahaan. Bila direktur perusahaan
berdiri di depan pintu lalu memberi perintah kepada orang yang
kebetulan lewat, orang tersebut tidak memiliki kewajiban sama sekali
untuk mematuhi perintah direktur tersebut karena ia tidak memiliki
ikatan apapun terhadap perusahaan itu.
Namun bagi orang yang memiliki ikatan kerja dengan
perusahaan, salah satu implikasi dari statusnya adalah bahwa ia harus
mematuhi perintah dan petunjuk dari atasannya. Namun hal tersebut
tidak berarti bahwa karyawan harus menaati semua perintah yang
diberikan oleh atasannya.
1) Karyawan tidak perlu dan malah tidak boleh mematuhi
perintah yang menyuruh dia melakukan sesuatu yang tidak
bermoral.
2) Karyawan tidak wajib juga mematuhi perintah atasannya yang
tidak wajar, walaupun dari segi etika tidak ada keberatan.
3) Karyawan tidak perlu mematuhi perintah yang memang demi
kepentingan perusahaan, tetapi tidak sesuai dengan penugasan
yamg disepakati, ketika ia menjadi karyawan di perusahaan
itu.
b. Kewajiban konfidensial
Kewajiban konfidensial adalah kewajiban untuk menyimpan
informasi yang bersifat konfidensial, dan karena itu rahasia, yang telah
diperoleh dengan menjalankan suatu profesi. Banyak profesi yang
mempunyai suatu kewajiban konfidensial, khususnya profesi yang
bertujuan membantu sesama manusia.
Konfidensial berasal dari kata Latin ‘confidere’ yang berarti
“mempercayai”. Contohnya di dalam profesi kedokteran, kalau orang
sakit berobat ke dokter, terpaksa ia harus menceritakan hal-hal yang
tidak enak rasanya bila diketahui orang lain, seperti sebab
penyakitnya, situasi keluarganya, dan lain-lain.
Dalam konteks perusahaan, konfidensial juga bisa memegang
peranan penting. Karena seseorang bekerja pada suatu perusahaan,
bisa saja ia memiliki akses kepada informasi rahasia. Contohnya
adalah profesi akuntan. Karena pekerjaannya, ia tahu persis
bagaimana keadaan finansial perusahaan, tetapi pengetahuan itu tidak
boleh dibawakannya keluar.
Perlu dicatat bahwa konfidensialitas tidak saja berlaku selama
karyawan bekerja di perusahaan, tetapi berlangsung terus setelah Ia
pindah kerja. Jika ia pindah kerja, kewajiban ini malah menjadi lebih
aktial, terutama bila perusahaan baru itu bergerak di bidang yang
sama. Adalah sangat tidak etis jika seseorang pindah kerja sambil
membawa rahasia perusahaan lama ke perusahaan baru supaya
mendapat gaji lebih tinggi.
Perlu ditekankan lagi bahwa kewajiban konfidensial ini
terbatas hanya pada informasi perusahaan. Hal-hal lain yang diperoleh
atau diketahui sambil bekerja di perusahaan, pada prinsipnya tidak
termasuk kewajiban konfidensial. Misalnya, kita bisa membedakan
informasi rahasia yang diperoleh seorang karyawan waktu bekerja
pada perusagaan dan keterampilan yang dikembangkan oleh karyawan
itu dengan bekerja pada perusahaan yang sama. Informasi rahasia
tidak boleh dibocorkan kepada perusahaan lain, tetapi keterampilan itu
tentu boleh dibawa ke perusahaan lain.
Alasan lainnya adalah bahwa membuka rahasia perusahaan
bertentangan dengan etika pasar bebas. Kewajiban konfidensial
terutama penting dalam sistem ekonomi pasar bebas, di mana
kompetisi merupakan suatu unsur hakiki. Memiliki informasi tertentu
dapat mengubah posisi perusahaan satu dengan perusahaan lain secara
drastis, sehingga membuka rahasia perusahaan akan sangat
mengganggu kompetisi yang fair.
c. Kewajiban loyalitas
Kewajiban loyalitas juga merupakan konsekuensi dari status
seseorang sebagai karyawan perusahaan. Dengan mulai bekerja di
suatu perusahaan, karyawan harus mendukung tujuan-tujuan
perusahaan, dan karena itu pula ia harus menghindari segala sesuatu
yang bertentangan dengannya. Dengan kata lain, ia harus menghindari
apa yang bisa merugikan kepentingan perusahaannya. Karyawan yang
melakukan hal itu memenuhi kewajiban loyalitas.
Faktor utama yang bisa membahayakan terwujudnya loyalitas
adalah konflik kepentingan, artinya konflik antara kepentingan pribadi
karyawan dan kepentingan perusahaan.
Dalam konteks loyalitas ini termasuk juga masalah etis seperti
menerima komisi atau hadiah selaku karyawan perusahaan. Sebab,
dapat ditanyakan apakah dengan praktek itu karyawan tidak
merugikan perusahaannya.
Di Indonesia, khususnya di kota-kota besar, kita lihat orang
mudah sekali berpindah kerja. Kebiasaan ini dilatarbelakangi
pandangan liberalistis yang menomorsatukan pentingnya hak. Tidak
mustahil, di tempat lain ada budaya kerja lain di mana berpindah kerja
nyaris menjadi pelanggaran etika.
2. Melaporkan kesalahan perusahaan
Ada istilah dalam etika bisnis yaitu “Whistle Blowing” atau meniup
peluit. Dalam etika, istilah ini mendapat arti khusus, yaitu menarik perhatian
dunia luar dengan melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh sebuah
organisasi. Misalnya dalam konteks pemerintahan, terjadi whistle blowing bila
seorang pegawai negeri memberitahukan kepada pers tentang praktek-praktek
korupsi dari atasannya. Bila dibatasi diri dalam rangka bisnis, artinya akan
menjadi: melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan kepada
dunia luar, seperti instansi pemerintah atau pers. Perlu ditekankan bahwa kita
hanya berbicara tentang whistle blowing, kalau dilakukan oleh karyawan
temtang perusahaan di mana ia bekerja.
Jika seorang karyawan mengetahui terjadinya hal-hal yang kurang etis
dalam kegiatan perusahaan, apakah ia boleh membawa pengetahuan itu keluar?
Itulah masalah etika yang dimaksudkan di sini. Dalam hal ini, kadang-kadang
dibedakan lagi antara whistle blowing internal dan eksternal.
Perlu digarisbawahi lagi bahwa dengan whistle blowing dimaksudkan
pelaporan kesalahan perusahaan, bukan pelaporan kesalahan pribadi seseorang
dalam perusahaan. Misalnya, jika manajer utama melakukan pelecehan seksual
terhadap sekretarisnya dan hal ini dibenarkan ke dunia luar, hal itu tidak
termasuk whistle blowing, walaupun di sini terdapat sebuah kasus yang dengan
jelas berkonotasi etika.
Pelaporan kesalahan perusahaan itu dinilai dengan cara yang sangat
berbeda. Di satu pihak, seorang whistle blower bisa dipuji sebagai pahlawan,
karena ia menempatkan nilai-nilai moral yang benar dan luhur di atas
kesejahteraan pribadi. Di lain pihak, seorang pelapor kesalahan perusahaan
sering di cap sebagai pengkhianat, karena ia mengekspos kejelekan dari
perusahaannya. Dapat dimengerti bahwa bila dunia bisnis terutama mymemihak
kepada pandangan terakhir ini. Mereka melihat whistle blowing sebagai
hambatan besar untuk lancarnya usaha bisnis. Beberapa negara memiliki
undang-undang yang melindungi para whistle blowers.
a. Kesalahan perusahaan harus besar
Jika kesalahan perusahaan hanyalah kesalahan kecil, hak itu tidak
pantas dilaporkan. Dalam kekaisaran Roma sudah dikenal pepatah
De minimie non curat praetor, hakim tidak memperhatikan hal-hal
yang remeh. Selama kesalahan kecil saja, loyalitas terhadap
perusahaan tetap harus diutamakan. Tetapi kapan kesalahan
perusahaan dapat dianggap besar?
1) Kesalahan perusahaan adalah besar jika menyebabkan
kerugian yang tidak perlu untuk pihak ketiga (selain
perusahaan dan si pelapor)
2) Kesalahan bisa dianggap besar juga apabila terjadi
pelanggaran hak-hak manusia
3) Kesalahan dinilai besar pula apabila dilakukan kegiatan yang
bertentangan dengan tujuan perusahaan
b. Pelaporan harus didukung oleh fakta yang jelas dan benar
Semua fakta tentang kesalahan harus jelas dan dimengerti dengan
benar oleh si pelapor. Tidak boleh terjadi, orang melaporkan sesuatu
yang secara faktual kurang jelas atau tidak dikuasai betul oleh si
pelapor. Dalam konteks industri moderen yang memakai teknologi
tinggi, syarat kedua ini sering sekali sulit dipenuhi, karena hanya
sedikit orang yang benar-benar menguasai masalahnya.
c. Pelaporan harus dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya
kerugian bagi pihak ketiga, bukan karena motif lain
Kerugian besar kepada pihak ketiga bukan saja harus menjadi
kenyataan, melainkan juga motif untuk melaporkan kesalahan.
Tidak etis, bila orang melapor karena motif yang tidak murni,
walaupun kesalahannya memang besar. Whistle blowing karena
motif kurang murni sering terjadi. Misalnya, karyawan yang sudah
memutuskan untuk menghentikan kontrak kerjanya dengan
perusahaan karena kecewa mengenai pimpinan, pada saat ia pergi
membuka praktek kurang etis dari perusahaan, seperti misalnya
tidak membayar pajak. Motif kurang murni lainnya adalah mencari
muka pada pemerintah. Perbuatan semacam itu jelas bertolak
belakang dengan loyalitas terhadap perusahaan dan tidak diimbangi
oleh kepentingan lebih besar.
d. Penyelesaian masalah secara internal harus dilakukan dulu, sebelum
kesalahan perusahaan dibawa keluar
Jika karyawan merasa bertanggungjawab, ia harus berusaha dulu
untuk menyelesaikan masalah di dalam perusahaan sendiri melalui
jalur yang tepat. Hal itu juga sesuai dengan kewajiban loyalitasnya.
Baru setelah upaya penyelesaian secara internal itu gagal, ia boleh
memikirkan whistle blowing.
e. Harus ada kemungkinan real bahwa pelaporan kesalahan akan
mencatat sukses
Jika sebelumnya orang tahu bahwa pelaporan kesalahan tidak akan
menghasilkan apa-apa, lebih baik orang tidak melapor. Tentu saja,
sebelum berlangsung, tidak pernah ada kepastian bahwa pelaporan
akan mencapai sasarannya, yaitu mencegah terjadinya kerugian
untuk pihak ketiga.

B. Kewajiban Perusahaan terhadap Karyawan


Di sini perlu ditekankan, kita tidak bisa mempelajari semua kewajiban perusahaan. Kita
hanya berfokus pada beberapa kewajiban penting yang meminta perhatian khusus,
seperti :
1. Perusahaan tidak melakukan diskriminasi
Diskriminasi adalah masalah etis yang baru tampak dalam paro kedua dari abad
ke-20. Asal permasalahan ini dari Amerika Serikat. Salah satu prinsip dasar
yang ditulis Thomas Jefferson dalam Deklarasi kemerdekaan Amerika berbunyi
: “we hold these thruths to be self-evindent: that all men are created equal and
endowed by their creator with certain inalieble rights”. Tetapi semua persamaan
warga Negara yang semula dianggap evinden, pada kenyataannya hanya dengan
perlahan-lahan diakui di Amerika Serikat. Sekitar tahun 1950-an masih banyak
diskriminasi dipraktekkan, khususnya terhadap minoritas kulit hitam. Keadaan
ini memnculkan the civil rights movement, gerakan kaum kulit hitam untuk
memperoleh hak-hak sama seperti warga Negara Amerika Serikat seperti pada
umumnya. Pada tahun 1964 akhirnya dibuat undang-undang the Civil Rights
Act yang menolak diskriminasi, bukan hanya terhadap ras tetapi juga melarang
setiap diskriminasi pada seseorang “ because of such individual’s race, color,
religion, sex, or national origin”, sebagaimana tertera dalam Civil Rights Act
(Tittle IV)
a. Diskriminasi dalam konteks perusahaan
Istilah diskriminasi ini berasal dari bahasa latin (discernere) yang
berarti: membedakan, memisahkan, memilah. Etimologinya sudah
menghasilkan suatu petunjuk pertama tentang artinya, tetapi belum
cukup juga. Dengan membedakan begitu saja, belum tentu
diskriminasi. Dalam konteks perusahaan, diskriminasi dimaksudkan:
membedakan antara berbagai karyawan karena alasan tidak relevan
yang berakar dalam prasangka.
b. Argumentasi etika dalam melawan diskriminasi
Argumentasi yang dikemukakan sering berbeda, karena berlandaskan
beberapa teori etika yang berbeda. Disini hanya akan membahas 3,
yaitu:
1) Utilitarianisme
Dikemukakan argumen bahwa diskriminasi merugikan
perusahaan itu sendiri. Terutama dalam rangka pasar bebas,
menjadi sangat mendesak bahwa perusahaan memiliki karyawan
yang berkualitas yang menjamin produktivitas terbesar dan mutu
produk terbaik. Jika perusahaan memperhatikan faktor-faktor
lain selain kualitas karyawan ia bisa ketinggalan dalam
kompetisi dengan perusahaan lain. Karena itu perusahaan harus
menghindari diskriminasi untuk kepentingan sendiri.
2) Deontologi
Mereka menggarisbawahi bahwa diskriminasi melecehkan
martabat dari seseorang yang didiskriminasi. Mendiskriminasi
seorang karyawan karena warna kulit atau jenis kelamin berarti
menyamakan dia dengan satu ciri saja dan ciri itu justru tidak
relevan dalam hubungan dengan pekerjaan. Hal itu berarti dia
tidak dihormati sebagai manusia. Jika karyawan/calon karyawan
didiskriminasi karena agama atau keyakinan politik, ada alasan
tambahan mengapa diskriminasi tidak etis. Ras, gender, dan
sebagainya tidak dipilih oleh seseorang dan tidak tergantung dari
kebebasannya. Tapi agama, keyakinan politik, dan sebagainya
dipegang oleh seseorang dengan bebas. Kebebasan ini harus
dihormati oleh semua orang juga oleh perusahaan. Jika
seseorang didiskriminasi karena hal itu berarti hak asasinya
dilanggar.
3) Teori Keadilan
Praktek diskriminasi bertentangan oleh keadilan, khususnya
keadilan distributif atau keadilan membagi. Keadilan distributif
menuntut bahwa kita memperlakukan semua orang dengan cara
yang sama.
2. Perusahaan harus menjamin kesehatan dan keselamatan kerja
Keselamatan kerja bisa terwujud bila mana tempat kerja itu aman. Dan tempet
kerja aman, kalau bebas dari resiko terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan
pekerja cedera atau bahkan mati. Kesehatan kerja dapat direalisasikan karena
tempat kerja dalam kondisi sehat. Tempat kerja bisa dianggap sehat, kalau bebas
dari resiko terjadi gangguan kesehatan atau penyakit. Perusahaan harus
menjamin kesehatan dan keselamatan karyawan dengan melakukan hal ini
diharapkan memberikan pengaruh positif dan meningkatkan produktivitas
dalam bekerja.
3. Perusahaan memberikan gaji secara adil
Selain untuk mengembangkan diri, memberikan konstribusi yang bermanfaat
bagi masyarakat, motivasi seseorang untuk bekerja adalah mendapatkan updah
atau gaji.
a. Menurut pandangan distributif
Pandangan yang dilatarbelakangi konsepsi liberalistis berpendapat
bahwa upah atau gaji dapat dianggap adil, bila merupakan imbalan
untuk prestasi. Pandangan ini melihat masalahnya dari sudut pandang
perusahaan.
Pandangan sosialistis dikemukakan dari sudut pandang pekerja.
Mereka menekankan gaji baru adil apabila sesuai dengan kebutuhan
pekerja.
b. Enam faktor khusus
Thomas Garrett dan Richard Klonoski berpendapat bahwa ada enam
poin yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan gaji, meliputi:
1. Peraturan Hukum
2. Upah yang layak
3. Kemampuan perusahaan
4. Pekerjaan dengan sifat khusus
5. Perbandingan dengan gaji perusahaan lain
6. Merundingkan gaji atau upah antara pekerja dan perusahaan
c. Senioritas dan imbalan rahasia
Senioritas yang mucul dalam pemberian gaji yang ditinjau dari segi
pengalaman kerja, periode kerja, serta loyalitas dan dedikasi pada
perusahaan. Namun saat ini senioritas sudah tidak diperhitungkan lagi,
melainkan lebih concern pada prestasi dan hak. Pemberian kenaikan
gaji yang diam-diam/dirahasiakan dari rekan sekerja dinilai tidak etis
karena mengabaikan kontrol sosial dan merusak suasana kerja.
4. Perusahaan tidak boleh memberhentikan karyawan dengan semena-mena
Dalam lingkungan perusahaan, pemberhentian karyawan, sering sekali tidak
bisa dihindarkan. Jika kita terjun dalam bisnis modern, mau tidak mau hal
seperti itu harus terjadi. Kejadian seperti itu termasuk masalah paling sensitive,
karena nasib hidup karyawan serta keluarga dipertaruhkan secara langsung.
Cara menangani masalah ini bisa menunjukkan mutu etis para majikan. Pada
awal industrialisasi, memberhentikan pekerja begitu saja dianggap hal yang
lumrah. Waktu itu hanya kepentingan perusahaan menentukan pekerja akan
diberhentikan. Dalam hal ini belum diakui hak pekerja. Sesudah perkembangan
lama, kini semua Negara mempunyai peraturan hokum yang bertujuan
melindungi karyawan, dalam situasi phk. Salah satu peraturan penting adalah
kewajiban perusahaan memberi pesangon. Ada tiga alasan mengapa perusahaan
akan memberhentikan karyawan:
a. Alasan internal (restrukturasi, otomatisasi, merger dengan perusahaan
lain)
b. Alas an eksternal (konyuktur, resesi ekonomi)
c. Dan kesalahan karyawan

Menurut Garret dan Kliniski ada tiga alasan konkret dalam memberhentikan
karyawan yaitu:

a. majikan hanya boleh memberhentikan dengan alasan yang tepat


b. majikan harus berpegang pada prosedur yang semestinya
c. majikan harus membatasi akibat negatif bagi karyawan seminimal
mungkin.
C. Contoh Kasus
BIADABNYA PENGUSAHA PT WAHANA TRITUNGGAL CEMERLANG
TERHADAP BURUH KELAPA SAWIT DI KALTIM
Sep 17, 2019 | Kontributor, SiaranPers, SN 09, Uncategorized |

(SPN News) Kutai Timur, Nasib buruk kembali menimpah ratusan buruh asal
NTT di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur (Kaltim). Setelah melakukan aksi
mogok beberapa waktu lalu lantaran pesangon dan hak-hak mereka diduga dipangkas
pihak perusahaan sawit PT WTC, kini para buruh yang tinggal di camp diusir paksa
oleh para preman. Mirisnya, mereka dipaksa keluar dari camp membawa anak-anak
bayi dan istri yang hamil bersama seluruh barang-barang milik mereka.
“Para buruh diusir dengan menggunakan preman. Ini sudah sangat sadis pak.
Sedihnya lagi ada ibu-ibu hamil dan anak-anak bayi. Ini sudah tidak manusiawi. Kami
tidak tahu harus kemana karena camat setempat tidak bisa berbuat apa-apa pak,” kata
Koordinator buruh, Aventinus, kepada media melalui teleponnya, Selasa (17/9/2019)
dari Kecamatan Karangan, Kabupaten Kutai Timur, Kaltim.
Diterangkan buruh asal Kabupaten Manggarai, Flores, NTT ini, kejadian
pertama bermula pada hari Senin (9/9) Jam 13.00, dimana sebanyak 40 karyawan
diundang datang ke kantor oleh pihak perusahaan. Setibanya di kantor, lanjut dia,
mereka langsung diusir dan dikejar dengan senjata tajam (parang-red) oleh preman
yang diduga dipanggil oleh perusahaan.
“Meskipun ada aparat Polisi, para preman tetap mengejar, dan para buruh pun
menghindari aksi kekerasan. Itulah awal mulanya pak,” terang Aventinus geram dan
sedih.
Diungkapkannya, setelah itu, terjadi mediasi di Kantor Kecamatan Karangan,
Kabupaten Kutai Timur, tetapi tidak ada penyelesaian. Pasalnya, pihak perusahaan dan
para preman tetap bersikeras pada pendiriannya bahwa para buruh harus diusir.
Akhirnya para buruh mengambil jalan terbaik untuk menghindari gesekan dan
mengungsi di aula kantor kecamatan untuk sementara waktu.
“Pihak kecamatan hanya mengijinkan hingga hari minggu saja. Kami ini seperti
warga asing saja. Dimana letak keadilan di bumi Pertiwi NKRI ini,” tegas Aventinus
sedih.
Stefanus kemudian mengirim beberapa lembar foto situasi dan kondisi para
buruh yang diusir paksa dan tinggal sementara di kantor camat setempat.Dalam foto
tiga lembar tersebut, tampak para buruh tidur dan duduk di lantai bercampur dengan
barang-barang mereka. Ada juga perempuan dan anak-anak terlihat sangat sedih dalam
potret tersebut.
Menurut Stefanus, sebelumnya, antara pihak perusahaan dan para buruh telah
beberapa kali melakukan negosiasi yang difasilitasi DInas Nakertrans Kabupaten Kutai
Timur, Provinsi Kaltim. Namun, dari beberapa kali negosiasi tersebut, pihak
perusahaan tetap menolak keras untuk membayar hak-hak buruh yang dituntut para
buruh. Pihak peruhaan bersih keras meminta semua buruh tersebut berhenti karena hal
tersebut adalah keputusan kantor pusat.
Diberitakan beberapa waktu lalu, ribuan pekerja perkebunan Kelapa Sawit PT
Wahana Tritunggal Cemerlang (WTC), Kecamatan Karangan, di Kabupaten Kutai
Timur, melakukan aksi mogok memprotes ketidakadilan perusahaan sejak Juli –
Agustus 2019. Mereka menuding pihak perusahaan memotong secara sepihak upah
karyawan dengan dalih untuk PPH, koperasi, BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS
Kesehatan.
“Kami lakukan aksi mogok. Kami memprotes kebijakan pihak perusahaan yang
menurut kami sangat tidak adil dan tidak manusiawi. Mereka memotong uang gaji kami
tanpa alasan. Ada yang THR dipotong, ada yang gajinya dipotong untuk koperasi tapi
sampai keluar tidak mendapatkan haknya, ada juga yang dipotong dengan alasan untuk
pajak dan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan, tapi anehnya selama ini kami
sakit kami bayar sendiri. Bahkan pihak perusahaan meminta lagi surat dari rumah sakit
biaya pengobatan tapi uang kami tidak diganti atau dibayar,”tutur Aventinus (50), salah
satu karyawan perkebunan sawit (15/8/2019).
Sementara itu, pihak perusahan, baik pimpinan PT WTC hingga berita ini
diturunkan belum berhasil dikonfimasi karena akses yang umit. Selain itu, Pemerintah
dan DPRD Provinsi NTT yang dikonfirmasi media ini pun belum memberikan
tanggapan atas kasus yang menimpah para buruh asal NTT ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku K.Bertens Pengantar Etika Bisnis
2. https://spn.or.id/biadapnya-pengusaha-pt-wahana-tritunggal-cemerlang-terhadap-
buruh-kelapa- sawit-di-kaltim/

Anda mungkin juga menyukai