Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

COMPARTMENT SYNDROME

PENYUSUN :

Nella Itrian 03012212

Abi Muji Prawidiyanti 03013001

Iqbal Putra Amrullah 03014098

Ratih Wahyu Pertiwi 03015160

PEMBIMBING :

dr. Wahyu Rosharjanto, Sp.OT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RSUD SOESELO SLAWI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 10 JUNI – 16 AGUSTUS 2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat
dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas referat dengan judul
“Compartment Syndrome”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
dalam Kepaniteraan Klinik di Stase Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Daerah
dr.Soeselo Slawi.
Dalam kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian referat
ini, terutama kepada dr. Wahyu Rosharjanto, Sp.OT selaku pembimbing, atas
waktu dan pengarahannya selama penulis belajar dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu
Bedah. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada para dokter dan staff Ilmu
Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr.Soeselo Slawi, serta rekan-rekan
seperjuangan dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran sangat penulis perlukan demi melengkapi referat ini.
Akhir kata, semoga Tuhan membalas kebaikan semua pihak dan referat ini
hendaknya membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, profesi, dan
masyarakat luas.

Slawi, 21 Juli 2019


Penulis

ii
LEMBAR PENGESAHAN

REFFERAT DENGAN JUDUL


“COMPARTMENT SYNDROME”
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah RSUD dr.Soeselo Slawi
Periode 10 Juni – 16 Agustus 2019

Slawi, 21 Juli 2019

dr. Wahyu Rosharjanto, Sp.OT

iii
DAFTAR ISI
HALAMAN
KATA PENGANTAR......................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................iii
DAFTAR TABEL...........................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR......................................................................................................v
DAFTAR ARTI SINGKATAN.......................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................1
1.1 Pendahuluan..............................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................3
2. Tinjauan pustaka.........................................................................................................3
2.1 Anatomi.....................................................................................................................3
2.2 Definisi sindrom kompartemen.................................................................................6
2.3 Epidemiologi sindrom kompartemen........................................................................6
2.4 Klasifikasi sindrom kompartemen............................................................................6
2.5 Etiologi dan faktor risiko sindrom kompartemen.....................................................7
2.6 Patofisiologi sindrom kompartemen.........................................................................8
2.7 Manifestasi klinik sindrom kompartemen................................................................9
2.8 Penegakkan diagnosis sindrom kompartemen..........................................................9
2.9 Diagnosis banding sindrom kompartemen...............................................................11
2.10 Penatalaksanaan sindrom kompartemen................................................................12
2.10.1 Fasciotomy..........................................................................................................12
2.10.2 Perawatan luka post operatif...............................................................................14
2.11 Komplikasi sindrom kompartemen........................................................................15
2.11 Prognosis karsinoma nasofaring............................................................................15
BAB III .........................................................................................................................16
3.1 Kesimpulan..............................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................17

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan sindrom kompartemen...............................8

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kompartemen pada lengan atas...........................................................3


Gambar 2.2 Kompartemen pada regio femoralis.....................................................4
Gambar 2.3 Kompartemen pada regio kruris...........................................................5
Gambar 2.4 Patofisiologi sindrom kompartemen....................................................9
Gambar 2.5 Pengukuran tekanan intrakompartemen.............................................11
Gambar 2.6 Algoritma penatalaksanaan sindroma kompartemen.........................12
Gambar 2.7 Insisi pada kompartemen syndrome lengan bawah............................13
Gambar 2.8 Metode perawatan luka dengan shoelace technique..........................14

vi
DAFTAR ARTI SINGKATAN

5P : Pain, poikilothermia, pallor, paresthesia, pulselessness


ACS : Acute compartment syndrome
CCS : Chronic compartment syndrome
CECS : Chronic exertional compartment syndrome
DMI : Diabetes associated muscle infarction
ICP : Intracompartmental pressure
NIRS : Near infrared spectroscopy
NPWT : Negative pressure wound therapy
ROM : Range of Motion
STSG : Split-thickness skin grafts

vii
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom kompartemen merupakan kondisi kegawatdaruratan bedah


ortopedi. Kondisi ini disebabkan oleh peningkatan tekanan di dalam fascial space
yang terbatas. Diawali oleh penekanan pembuluh darah yang mengakibatkan
penurunan perfusi jaringan, sindrom kompartemen dapat menyebabkan kerusakan
jaringan yang parah. Iskemik berat selama enam sampai delapan jam menyebabkan
kematian otot dan saraf yang berakibat pada disfungsi kronik pada ekstremitas
yang terkena.(1)
Sindrom kompartemen dapat timbul sebegai komplikasi dari fraktur,
kompresi atau crush pada ekstremitas, dan luka bakar. Lokasi tersering antara lain
pada regio lengan atas, lengan bawah, tungkai atas atau paha dan tungkai bawah.
Sindrom ini ditandai dengan rasa nyeri yang disertai dengan terbatasnya range of
motion (ROM), pembengkakkan dan ketegangan pada ekstremitas. Gejala
klinisnya disebut 5P yaitu pain, poikilothermia, pallor, paresthesias, pulselessness.
Pulselessness merupakan gejala terakhir (late sign) setelah terjadi kerusakan yang
signifikan.(1,2,3)
Sindrom kompartemen merupakan diagnosis klinis, yang dapat dibedakan
menjadi kompartemen sindrom akut dan kronis. Kesulitan terjadi apabila gejala
yang timbul tidak jelas, dan pasien berada dalam kondisi intoksikasi atau
penurunan kesadaran, pasien dengan komorbid penyakit, dan cedera lain yang
menimbulkan bias dari gejala sindrom kompartemen. Dokter yang kurang
berpengalaman dapat melewatkan diagnosis ini apabila dalam proses anamnesis,
pemeriksaan klinis, dan penggunaan alat pengukur yang tidak tepat.(4)
Apabila gejala mengarah ke kondisi tersebut maka prinsip tatalaksana
emergensi yang dilakukan adalah dekompresi. Tindakan fasciotomy harus segera
dilakukan untuk melepaskan kulit dan fasia yang terlibat di dalamnya.Tekanan
kompartemen akan diperiksa kembali untuk memastikan dekompresi yang
memadai. Luka dibiarkan terbuka dan ditutup dengan kassa steril atau dibantu

1
dengan penutupan vakum. Selanjutnya dirawat dengan penutupan primer melalui
prosedur pencangkokan kulit.(1,3)
Sindrom kompartemen merupakan keadaan yang serius sehingga evaluasi
pemerikaan serta penanganan harus segera diberikan secepatnya. Apabila hal
tersebut tidak dilakukan, gangguan mikrosirkulasi akan berpotensi menyebabkan
kerusakan neuromuscular yang ireversibel dan meninggalkan gejala sisa atau
sequalae. Oleh karena itu, melalui makalah ini diharapkan para pembaca dapat
mengenal sindrom kompartemen. Adanya pengetahuan mengenai sindrom
kompartemen mulai dari definisi, gejala yang dirasa dan terutama penatalaksanaan
yang tepat akan dapat membantu menanggulangi permasalahan akibat sindrom
kompartemen.(4)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. Tinjauan Pustaka
2.1 Anatomi
Kompartemen merupakan kumpulan otot yang dilapisi oleh fasia. Pada
lengan atas, kompartemen otot terbagi menjadi bagian anterior/ fleksor/ volar dan
posterior/ ekstensor/ dorsal. Anterior kompartemen terdiri dari muskulus brachialis,
biceps brachii, coracobrachialis. Neurovascular terdiri dari nervus
musculocutaneus, nervus medianus, nervus radialis serta arteri brachialis.
Sedangkan posterior kompartemen terdiri dari musculus triceps brachii.(2)

Gambar 2.1 Kompartemen pada lengan atas. Terbagi menjadi kompartemen


anterior dan posterior, memiliki lokasi insisi fasciotomy yang berbeda-beda.(2)

3
Pembagian kompartemen pada lengan bawah serupa dengan kompartemen
lengan atas, terbagi atas kompartemen anterior/ fleksor/ volar dan posterior/
ekstensor/ dorsal. Pada kompartemen anterior, superficial layer terdiri dari
muskulus pronator teres, flexor carpi radialis, palmaris longus dan flexor carpi
ulnaris. Muskulus flexor digitorum superfisialis membentuk middle layer, serta
deep layer yang tersusun atas muskulus flexor digitorum profundus, flexor pollicis
longus dan pronator quadratus. Kompartemen sindrom jarang ditemukan pada otot
otot lengan bawah. Pada kompartemen posterior, superficial layer terdiri dari
muskulus ekstensor anconeus, ekstensor digiti communis, ekstensor digiti minimi,
dan ekstensor carpi ulnaris. Sedangkan deep layer tersusun atas supinator, abductor
pollicis longus, ekstensor pollicis brevis-longus, dan ekstensor indicis proprius.
Kompartemen tangan terdiri dari muskulus hypothenar, thenar, adductor pollicis,
nervus interosseus dorsal dan nervus interosseus palmar.(2,5)

Gambar 2.2 Kompartemen pada regio femoralis. Terbagi menjadi kompartemen


anterior, medial dan posterior.(2)

4
Pada ekstremitas inferior, tepatnya di tungkai atas, kompartemen anterior
terdiri dari muskulus quadriceps, vastus lateralis-intermedius, dan rectus femoris.
Kompartemen posterior terdiri dari biceps femoris, semitendinous,
semimembranosus dan nervus sciaticus. Kompartemen medial terdiri dari
muskulus adductor magnus-brevis, gracillis, arteri dan vena femoralis.(2)

Gambar 2.3 Kompartemen pada regio kruris. Terbagi menjadi kompartemen


anterior, lateral, superficial posterior serta deep posterior.(2)
Kompartemen tungkai bagian bawah terbagi menjadi empat kompartemen.
Kompartemen anterior yang terdiri atas muskulus tibialis anterior, ekstensor
halluces longus-digitorum longus, peroneus tertius, nervus deep peroneal, dan
arteri-vena tibialis anterior. Kompartemen lateral terbentuk oleh muskulus
peroneus longus dan brevis serta nervus peroneal superficial. Kompartemen
superficial posterior terdiri dari muskulus gastrocnemius, solues dan plantaris.
Sedangkan muskulus tibialis posterior, flexor halluces longus-digitorum longus,
popliteus, nervus tibialis, arteri dan vena tibialis serta peroneus membentuk
kompartemen deep posterior.(2)
Kompartemen kaki (foot) terdiri dari kompartemen medial dan lateral. Pada
medial akan ditemukan muskulus abductor hallucis, flexor hallucis brevis. Bagian
lateal terdiri dari muskulus abductor digiti minimi, flexor digiti minimi brevis.
Terdapat juga nervus interosseus.(5)

2.2 Definisi sindrom kompartemen

5
Kompartemen merupakan sekumpulan otot yang disertai oleh nervus,
pembuluh darah dan dikelilingi oleh lapisan atau fascia. Sindrom kompartemen
pertama kali dideskripsikan oleh Richard von Volkmann (1881), sebagai kondisi
peningkatan tekanan pada ruang fibro-oesseus yang menyebabkan penurunan
perfusi jaringan dan struktur lain yang berada di dalam ruang tersebut.(4,6,7)

2.3 Epidemiologi sindrom kompartemen


Penelitian menurut McQueen et al menyatakan bahwa penyebab sindroma
kompartemen yang paling sering adalah trauma, dimana fraktur yang paling
banyak (69%) dibandingkan dengan cedera pada jaringan lunak (23%). Sedikit
kasus sindrom kompartemen gluteal ditemukan pada pasien dengan imobilisasi
lama, dan berisiko menimbulkan cedera pada nervus sciatica.(4,6)
Berdasarkan usia, pasien dengan usia lebih muda akan lebih berisiko
menderita sindrom kompartmen akut dibandingkan dengan usia tua, meskipun
mekanisme traumanya sama. Jenis kelamin laki-laki sepuluh kali lebih banyak
menderita sindrom kompartemen akut dibandingkan dengan perempuan. Tidak ada
perbedaan insidensi sindrom kompartemen akut pada fraktur tertutup maupun
terbuka.(7)

2.4 Klasifikasi sindrom kompartemen


Sindrom kompartemen dapat dibagi menjadi acute compartment syndrome
dan chronic compartment syndrome. Acute compartment syndrome lebih
dikhawatirkan dan membutuhkan penanganan urgensi. Kompartemen sindrom akut
umumnya berhubungan dengan terjadinya peningkatan volume dalam ruang
tertutup dan pembatasan ekspansi kompartemen. Akut kompartemen sindrom
umumnya ditemukan pada trauma, dan sering mengenai tungkai bawah. Kondisi
akut lebih berbahaya, apabia tidak dilakukan dekompresi dalam delapan jam paska
onset akan timbul nekrosis.(3,4)
Chronic compartment syndrome sering ditemui pada pelari. Pelari jarak
jauh umumnya mengeluhkan nyeri yang semakin parah mengikuti aktivitas otot
pada daerah anterolateral tungkai bawah. CCS atau CECS (chronic exertional
compartment syndrome) merupakan kondisi yang ditandai dengan rasa nyeri pada
tungkai bawah (umumnya regio cruris) selama berolahraga dan menghilang ketika

6
diistirahatkan. Kondisi ini dapat didiagnosis dari riwayat pasien dan dikonfirmasi
dengan pengukuran tekanan pada kompartemen sebelum dan setelah berolah raga.
Apabila diagnosis terlewat, CECS dapat menyebabkan iskemik dan infark.
Kompartemen sindrom kronik jarang ditemukan pada daerah lengan bawah.(3,8)
2.5 Etiologi dan faktor risiko sindrom kompartemen
Etiologi dibedakan menjadi peningkatan volume pada ruang yang sempit dan
ekspansi kompartemen yang terbatas (akibat peningkatan tekanan eksternal).
Peningkatan volume kompartemen dapat disebabkan oleh perdarahan akibat
fraktur dan koagulopati, ektravasasi dari infusion intravena atau interosseous,
edema atau akumuluasi purulent material, serta penggunaan otot yang berlebihan.
(4)

Sedangkan penggunaan tourniquet, constrictive dressing, casting, luka bakar


dapat membatasi ekspansi ruang fibro-osseus yang menyebabkan sindrom
kompartemen. Pendarahan, edema atau peradangan (infeksi) dapat meningkatkan
tekanan di dalam salah satu kompartemen osseofascial sehingga aliran kapiler
berkurang, dan menyebabkan iskemia otot. Dalam dua belas jam akan terjadi
nekrosis otot dan saraf. Sel saraf mampu beregenerasi, namun otot hanya akan
digantikan oleh jaringan fibrosa yang tidak elastik (kondisi ini disebut Volkmann’s
ischaemic contracture). Risiko akan semakin tinggi pada kasus pemasangan gips
yang lama dan terlalu kencang. Pasien dengan diabetes mellitus memiliki risiko
lebih tinggi untuk menderita diabetes-associated muscle infarction yang dapat
berkembang menjadi sindrom kompartemen.(3,4,7)
Tabel 1. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan sindrom kompartemen.(4)
Peningkatan volume di ruang Terbatasnya ekspansi kompartemen
kompartemen
Crush injury Tourniquet
Fraktur Luka bakar
Reperfusion injury Constritive dressings
Cedera arteri Gips/ casts
Insect bite Ekstravasasi infusion
Prolonged tetanic contractions
Gigitan ular
Trauma penetrasi (luka tembak, luka
tusuk)
Post terapi trombolitik
Phlebitis
Koagulopasti

7
Tromboemboli

2.6 Patofisiologi sindrom kompartemen


Sindrom kompartemen disebabkan oleh dua hal yaitu peningkatan voume
di dalam kompartemen atau restiksi dari ruang kompartemen. Peningkatan tekanan
dalam ruang fibro-osseous, menyebabkan penurunan perfusi jaringan. Struktur
yang paling sering terkena adalah otot rangka dan nervus di dalam kompartemen
tersebut. Peningkatan tekanan intrakompartemen menyebabkan kolaps dari venula
sehingga terjadi penurunan gradien hidrostatik. Peningkatan permeabilitas kapiler
akan memicu terjadinya edema yang membuat tekanan interstitial meningkat.
Faktor-faktor ini akan membentuk suatu siklus, yang sulit terputus. Kerusakan
jaringan, perdarahan, akumulasi cairan dan proses inflamasi berperan dalam
peningkatan tekanan intrakompartemen. Proses inflamasi ditandai dengan
peningkatan sitokin anti inflamasi pada sindrom kompartemen.(4,6)
Perkembangan proses sindrom kompartemen dipengaruhi beberapa faktor
antara lain durasi peningkatan tekanan, tissue’s metabolic rate, tonus pembuluh
darah, dan beratnya kerusakan jaringan lunak disekitarnya. Hasi akhir dari sindrom
kompartemen adalah hipoksia seluler yang merupakan kelanjutan dari iskemik, dan
memicu terjadinya nekrosis myoneural.(6)

Gambar 2.4 Patofisiologi sindrom kompartemen. Akibat peningkatan voume di


dalam kompartemen atau restriksi dari ukuran ruang kompartemen.(4)

8
2.7 Manifestasi klinik sindrom kompartemen
Gejala 5P (pain, pulselessness, paresthesia, pallor, paralysis) merupakan
gejala dari iskemik, bukan gejala langsung pada sindrom kompartemen. Gejala
umum yang dapat ditemui pada sindrom kompartemen antara lain rasa nyeri hebat,
rasa nyeri diperberat dengan peregangan otot atau pergerakan pasif, tense swelling
atau ketegangan pada otot, serta hipoestesi. Nyeri merupakan gejala dini yang
paling penting, pada anak-anak tampak gelisah dan memerlukan terapi analgesik
lebih banyak dari sebelumnya. Pallor atau pucat diakibatkan oleh menurunnya
perfusi ke daerh tersebut. Pulselesness yaitu menurun atau hilangnya denyut nadi.
Paresthesia atau rasa kesemutan. Paralysis merupakan late sign akibat
menurunnya sensasi saraf.(4,5)

2.8 Penegakkan diagnosis sindrom kompartemen


Penengakkan diagnosis dilakukan melalui anamnesis gejala yang dikeluhkan
pasien, pemeriksaan, serta pengukuran tekanan kompartemen. Pada anamnesis,
tanyakan keluhan nyeri yang dirasakan pasien. Apaka terasa sangat hebat, dan
bagaimana respon nyeri terhadap pemberian analgetik. Tanyakan mengenai riwayat
trauma atau faktor lain yang dapat menyebaban sindrom kompartemen. Onset
sangatlah penting untuk penilaian fungsi jaringan dan pertimbangan terapi. Pada
pemeriksaan fisik akan ditemukan pembengkakkan. Pemeriksaan neurologi saraf
perifer perlu dilakukan untuk mendeteksi kerusakan saraf. Rasa hangat dan warna
ekstremitas yang normal, pulse positif masih bisa ditemukan.(10,11)
Pasien dengan kondisi unconsciousness, cedera kepala, polytrauma,
perioperative narcotics, pasien anak-anak kurang kooperatif sehinggga lebih sulit
untuk ditegakkan diagnosis. Pasien dengan kondisi tersebut, tidak bisa
mengeskspresikan rasa nyeri. Sehingga tekanan kompartemen dievaluasi dengan
menggunakan monitor (intracompartment monitor pressure) atau dengan
memasukkan bore cathteter ke dalam kompartemen dengan steril. Kateter akan
terhubung ke monitor melalui intravenous line yang terisi larutan salin steril.(4)
Tekanan kompartemen normal adalah <10 mmHg. Perfusi yang tidak
adekuat dan iskemia relatif terjadi ketika tekanan meningkat antara 10-30 mmHg
dari tekanan diastolik dan tidak ada perfusiyang efektif ketika tekanannya sama
dengan tekanan diastolic. Menurut kriteria Whitesides dan Heckman, sindrom

9
kompartemen terjadi ketika tekanan di dalam kompartemen meningkat hingga 20
mmHg di bawah tekanan diastolik. Namun, tekanan yang lebih dari 30 mmHg
merupakan nilai batas untuk dilakukan tindakan pembedahan. Pengukuran lain
yang dapat digunakan yaitu delta pressure. Delta pressure adalah perbedaan antara
tekanan darah diastolik pasien dan tekanan kompartemen yang diukur, nilai kurang
dari atau sama dengan 30 mmHg bermakna diagnostik (ΔP = tekanan diastolik -
tekanan intracompartmental).(4,5,12)
Sebelum dilakukan pengukuran, siapkan peralatan terlebih dahulu seperti
spuit steril 18G yang terisi larutan normal saline, tapered chamber stem, monitor.
Selanjutnya, tempatkan jarum pada tapered chamber stem. Lepaskan tutup pada
jarum suntik yang sudah diisi sebelumnya dan kencangkan. Buka penutup monitor
dan letakkan tapered chamber stem dan jarum suntik ke dalam monitor, tutup
monitor untuk mengamankan perangkat. Keluarkan cairan dari jarum suntik
melalui batang dan jarum hingga terlihat cairan keluar dari ujung jarum, jangan
sampai tersisa udara di dalamnya. Atur monitor agar tekanan awal 0 mmHg.
Suntikkan jarum ke lokasi yang telah ditentukan. Suntikkan perlahan-lahan kurang
dari 3/10 cc saline ke dalam kompartemen. Tunggu sampai tekanan
intrakompartemen terlihat pada monitor.(4,10)

Gambar 2.5 Pengukuran


tekanan
intrakompartemen. Menggunakan spuit steril 18G yang terisi larutan normal saline,
tapered chamber stem, monitor.(10)
Saat ini pemeriksaan terbaru yang digunakan adalah near infrared
spectroscopy (NIRS) yang merupakan teknik pencitraan non invasive perangkat
ultrasonik dan laser doppler flowmetry. NIRS mengukur oksigenasi jaringan lunak
yang berada dua sampai tiga sentimeter di bawah kulit, dan dapat mendeteksi

10
kondisi hipoksia intra kompartemen. Pemeriksaan non invasif lain yang dianjurkan
antara lain ultrasonic device, dan laser doppler flowmetry.(5,7)

2.9 Diagnosis banding sindrom kompartemen


Diagnosis banding dari CECS yaitu shin splints (medial tibial stress
syndrome), yang membedakan adalah pada shin splints rasa nyeri dirasakan
tersebar atau diffuse dan berkurang saat istirahat, tidak seperti CECS yang terasa
nyeri sekali seperti terbakar, dan menghilang total saat istirahat. Pada CECS akan
dikeluhkan paraesthesia sebagai efek dari perubahan neurovaskular, sedangkan
pada shin splints tidak ada.(8)
Selain CECS, kemungkinan diagnosis lain dari exertional leg pain antara
lain tenosynovitis, periostitis, deep venous thrombosis, lumbosacral radikulopati,
klaudikasio neurogenic, miopati, popliteal artery entrapment syndrome dan
kemungkinan terakhir adalah tumor.(14)
2.10 Penatalaksanaan sindrom kompartemen
Apabila terdapat kecurigaan sindrom kompartemen akut, maka tindakan
yang harus dilakukan adalah menyingkirkan semua pembalut, bebat atau gips yang
ada pada ekstremitas dan mengelevasikan tungkai setinggi jantung agar sirkulasi
kompartemen lebih lancar. Apabila tekanan sudah diukur, dan sindrom
kompartemen sudah dapat ditegakkan, maka tindakan fasiotomi harus segera
dilakukan sebagai upaya dekompresi.(13)
2.10.1 Fasciotomy
Tindakan fasciotomy merupakan terapi definitif dari sindrom kompartemen,
dan harus segera dilakukan setelah tegak diagnosis. Selama menunggu proses
operasi, gips atau constricting dressing yang terpasang harus dilepaskan. Operasi
untuk dekompresi tidak diindikasikan pada sindrom kompartemen yang lebih dari
48 jam maupun kondisi dimana tidak ada lagi fungsi sisa dari komponen di dalam
kompartemen tersebut.(5,11)

11
Gambar 2.6 Algoritma tatalaksana sindrom kompartemen. Pasien yang sadar
dengan pasien penurunan kesadaran memiliki pendekatan diagnosis yang
berbeda.(4)
Pada regio lengan bawah, insisi palmar dilakukan untuk melepaskan
kompartemen anterior. Sedangkan insisi dorsal untuk release kompartemen
posterior.(2,3)

12
Gambar 2.7 Insisi pada kompartemen syndrome lengan bawah. Insisi dapat
dilakukan melalui midforearm volar maupun dorsal.(2)
Pada region femur (thigh) terbagi menjadi tiga kompartemen (anterior,
posterior dan medial). Insisi anterior lateral digunakan untuk menangani sindrom
kompartemen anterior dam posterior. Sayatan dimulai dari ruang introchanter ke
kondilus lateral femur, fascia yang membungkus muskulus vastus lateralis akan
terbuka dan menurunkan tekanan kompartemen anterior. Terdapat beberapa teknik
fasiotomi pada tungkai bawah regio cruris (leg), antara lain single incision
fasciotomy dengan fibulektomi, single incision fasciotomy tanpa fibulektomi, dan
two-incision fasciotomy (anterilateral dan posteromedial).(7,9)

2.10.2 Perawatan luka post operatif


Otot di dalam kompartemen harus dijaga agar teteap viable. Tanda-tanda
kondisi otot masih baik adalah warnanya yang pink kemerahan, dapat kontraksi
ketika distimulasi dan berdarah ketika disayat. Perawatan luka fokus pada
penanganan pembengkakkan, meminimalkan retraksi kulit dan menjaga tekanan
intrakompartemen agar tetap rendah. Sehingga luka operasi fasciotomy tidak
ditutup pada prosedur awal. Pasien akan kembali ke ruang operasi setelah 24
hingga 72 jam setelahnya untuk melakukan evaluasi viabilitas otot dan penutupan
luka secara bertahap. Apabila luka tidak dapat tertutup dalam 7 hingga 10 hari,
maka cangkok kulit perlu dipertimbangkan dengan teknik split-thickness skin
grafts (STSG).(6,9)

13
Metode perawatan luka lain adalah negative pressure wound therapy
(NPWT). Dressing NPWT menerapkan tekanan subatmosfer untuk luka melalui
dressing busa berpori, untuk mengurangi tekanan dan edema ekstravaskular dalam
kompartemen dan mengurangi risiko infeksi. Namun NPWT memiliki risiko lebih
tinggi untuk dilakukan pencangkokan kulit. Penutupan luka yang kini dianjurkan
adalah dengan shoelace technique. Dimana luka ditutup dengan loop vascular yang
ditambatkan dengan staples kulit dan secara bertahap akan dikencangkan semakin
rapat. Metode ini mengurangi risiko pencangkokkan kulit. (7)

Gambar 2.8 Metode perawatan luka dengan shoelace technique. Menggunakan


teknik loop vascular yang secara bertahap akan dikencangkan semakin rapat.(7)
Stabilisasi fraktur lengan atau tungkai bawah dengan fiksasi internal juga
merupakan bagian terpenting dari manajemen sindrom kompartemen. Penggunaan
obat-obatan dapat diberikan untuk mengurangi reaksi inflamasi jaringan.(13)

2.11 Komplikasi sindrom kompartemen


Kegagalan mengidentifikasi dan menatalaksana sindrom kompartemen
secara tepat dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang dapat ditemukan
adalah kerusakan neuromuskular yang ireversibel, dapat ditandai dengan rasa nyeri
yang tidak tertahankan, delayed fracture union, Volkmann’s ischemic contracture,
deficit neurologi, gangrene, nekrosis jaringan, infeksi, penurunan fungsi hingga
amputasi.(4,6)
Rhabdomyolysis dapat berdampak negatif pada fungsi ginjal dan dapat
menyebabkan gagal ginjal akut. Sehingga pemeriksaan kreatinin kinase, kadar
kreatinin serum mungkin perlu dilakukan pada pengambilan darah, dan

14
pemeriksaan urin untuk menemukan myoglobinuria. Hiperkalemi juga dapat terjadi
akibat pemecahan otot.(10)

2.12 Prognosis sindrom kompartemen


Gangguan fungsional tidak akan terjadi apabila fasciotomy dilakukan dalam
waktu enam jam setelah serangan sindrom kompartemen. Angka morbiditas dan
mortalitas akan meningkat ketika fasiotomi dilakukan setelah 24 jam paska onset,
dan meningkatkan risiko untuk dilakukan amputasi. Mortalitas berhubungan
dengan gagal ginjal dan sepsis.(10,11,15)

BAB III
KESIMPULAN

Sindrom kompartemen merupakan kondisi kegawatdaruratan bedah


ortopedi. Pertama kali dideskripsikan oleh Richard von Volkmann (1881), sebagai
kondisi peningkatan tekanan pada ruang fibro-oesseus yang menyebabkan
penurunan perfusi jaringan dan struktur lain yang berada di dalam ruang tersebut.
(1,4)

Etiologi dibedakan menjadi peningkatan volume pada ruang yang sempit


dan ekspansi kompartemen yang terbatas (akibat peningkatan tekanan eksternal).
Gejala 5P (pain, pulselessness, paresthesia, pallor, paralysis) merupakan gejala
dari iskemik, bukan gejala langsung pada sindrom kompartemen. Gejala umum
yang dapat ditemui pada sindrom kompartemen antara lain rasa nyeri hebat, rasa
nyeri diperberat dengan peregangan otot atau pergerakan pasif, tense swelling atau

15
ketegangan pada otot, serta hipoestesi. Penengakkan diagnosis dilakukan melalui
anamnesis gejala yang dikeluhkan pasien, pemeriksaan, serta pengukuran tekanan
kompartemen.(4,5)
Apabila terdapat kecurigaan sindrom kompartemen akut, maka tindakan
yang harus dilakukan adalah menyingkirkan semua pembalut, bebat atau gips yang
ada pada ekstremitas dan mengelevasikan tungkai setinggi jantung agar sirkulasi
kompartemen lebih lancar. Tindakan fasciotomy merupakan terapi definitif dari
sindrom kompartemen, dan harus segera dilakukan setelah tegak diagnosis.
Komplikasi yang dapat ditemukan adalah kerusakan neuromuskular yang
ireversibel, dapat ditandai dengan rasa nyeri yang tidak tertahankan, delayed
fracture union, Volkmann’s ischemic contracture, deficit neurologi, gangrene,
nekrosis jaringan, infeksi, penurunan fungsi hingga amputasi.(4,6)
Angka morbiditas dan mortalitas akan meningkat ketika fasiotomi
dilakukan setelah 24 jam paska onset, dan meningkatkan risiko untuk dilakukan
amputasi. Mortalitas berhubungan dengan gagal ginjal dan sepsis.(10,11)

DAFTAR PUSTAKA

1. Vanderhave K. Orthopedic Surgery. In: Doherty GM, editors. Current


Diagnosis & Treatment Surgery. 14th ed. Boston: Mc Graw Hill:2015.p.1061-
1063.
2. Netter FH, Machado C. Arms, Forearm, Thigh/Hip, Leg/Knee. In: Thompson
JC, editors. Netter’s Concise Orthopaedic Anatomy. 2nd ed. China:
Elsevier:2010.p.131-315.
3. Warwick DH, Srinivasan, Solomon L. Peripheral nerve disorders. In:Solomon
L, Warwick D, Nayagam S, editors. Apley’s System of Orthopaedics and
Fractures.9th ed. United States: Taylor & Francis Group:2010:p.295.
4. Shah N, Badge R, Khincha P, Sigamoney K. Compartment syndrome:
challenges and solutions. Orthopedic Research and Reviews 2015;7:137-148.
5. Via AG, Oliva F, Spoliti M, Maffuli N. Acute compartment syndrome.
Muscles, Ligaments and Tendons Journal 2015;5(1): 18-22.
6. Bowyer MW. Lower extremity fasciotomy: Indications and technique. Curr
Trauma Rep 2015;1:35-44.
7. Mahapatra A, Raza H. Acute compartment syndrome in Orthopedics: Causes,
Diagnosis, and Management. Review article, Advances in Orthopedics 2015;1-
8.

16
8. Chatterjee R. Diagnosis of chonic exertional compartment syndrome in
primary care. British Journal of General Practice 2015:560-562.
9. Percival TJ, White JM, Ricci MA. Compartment syndrome in the setting of
vascular injury. Carleton Univ Jour 201;23(2):119-124.
10. Garner MR, Taylor SA, Gausden E, Lyden JP. Compartment syndrome:
Diagnosis, management, and unique concerns in twenty-first century. HSSJ
2014;10(8):143-152.
11. Smith J. Compartment syndrome. JAAPA 2013;26(9):48-49.
12. Beniwal RK, Bansal A. Osteofascial compartment pressure measurement in
closed limb injuries – Whitesides’ technique revisited. Journal of Clinical
Orthopaedics and Trauma 2016;7(1):225-228.
13. Irawan H. 2014. Medika Artikel-Sindrom kompartemen. Avalaible from: .
https://www.researchgate.net/profile/Hendry_Irawan3/publication/323111001_
Sindrom_Kompartemen/links//Sindrom-Kompartemen.pdf [Accesed on July
14, 2019].
14. Chandraprakasam T, Kumar RA. Acute compartment syndrome of forearm and
hand. Indian Journal of Plasic Surgery 2011;44(2):212-218.
15. Wilder RP, Magrum E. Compartment Syndrome. Clin Sports Med
2010;29(1):429-435.

17

Anda mungkin juga menyukai