Makalah Pancasila
Makalah Pancasila
Mata Kuliah :
Pancasila
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh:
FAKULTAS TEKNIK
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karuani-Nya sehingga pada kesempatan kali ini tugas menyusun Makalah
hubungan antara Prostitusi dengan Pancasila dapat kami selesaikan sebagai tugas kelompok.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai pemenuhan tugas kelompok mata
kuliah Pancasila sekaligus memberikan informasi kepada pembaca mengenai hubungan
antara Prostitusi dengan Pancasila.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini banyak sekali
kesalahan-kesalahan, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun dari para pembaca
sangatlah dibutuhkan untuk dapat memperbaiki penyusunan dan penulisan karya tulis
berikutnya.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
BAB II : PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ..................................................................
B. Saran ............................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat modern yang serba kompleks, sebagai produk dari kemajuan teknologi,
mekanisasi, indudtrialisasi dan urbanisasi, memunculkan banyak masalah sosial. Maka
adaptasi atau penyesuaian diri terhadap masyarakat modern yang hyperkompleks menjadi
tidak mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi dan adjustment menyebabkan kebingungan,
kecemasan dan konflik-konflik, baik yang terbuka dan eksternal sifatnya, mauoun yang
tersembunyi dan internal dalam batin sendiri, sehingga banyak orang mengembangkan pola
tingkah laku menyimpang dari norma-norma umum, atau berbuat semau sendiri, demi
kepentingan sendiri dan mengganggu atau merugikan orang lain.
Dalam perkembangannya kehidupan manusia tidak selamanya berjalan dengan baik
sesuai yang diharapkan. Manusia dalam kehidupannya sering menemui kendala-kendala yang
membuat manusia merasa kecewa dan tidak menemukan jalan keluar sehingga manusia
memilih langkah yang kurang tepat dalam jalan hidupnya. Dalam usaha mendapatkan
pemenuhan kebutuhan hidupnya terkadang akan menuntut wanita harus bekerja diluar rumah
untuk mencari kegiatan yang dapat menambah penghasilan keluarga.
Upaya mencari penghasilan untuk sekarang ini tidaklah mudah karena lapangan kerja
yang sangat terbatas disamping tingkat pendidikan yang sangat rendah. Dengan tingkat
pendidikan yang rendah dan tidak adanya ketrampilan yang mereka miliki menyebabkan
mereka mencari jenis pekerjaan yang dengan cepat menghasilkan uang. Salah satu jalan
pintas dalam perjalanan hidup seorang perempuan akibat cobaan-cobaan hidup yang berat
dirasakan, perempuan tersebut terjun dalam dunia pelacuran.
Prostitusi atau pelacuran merupaan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang harus
dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan perbaikan. Pelacuran
berasal dari bahasa Latin Pro-staure, yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan
persundalan, pencabulan, dan pergendakan. Sedang prostitute adalah pelacur atau sundal.
Dikenal pula dengan istilah WTS atau Wanita Tuna Susila
Fenomena praktek pelacuran merupakan masalah sosial yang sangat menarik dan
tidak ada habisnya untuk diperbincangkan dan diperdebatkan. Mulai dari dahulu sampai
sekarang masalah pelacuran adalah masalah sosial yang sangat sensitif yang menyangkut
peraturan sosial, moral, etika, bahkan agama.
Pelacuran merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang sudah dikenal sejak
masa lampau dan sulit untuk dihentikan. Hal ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer
seputar mereka dari masa ke masa. Pelacuran ini selain meresahkan masyarakat juga dapat
mematikan karena merekalah yang ditengarai menyebarkan penyakit AIDS akibat perilaku
seks bebas tanpa pengaman.
Tunasusila atau tidak susila itu diartikan sebagai kurang beradab karena keroyalan
relasi seksualnya dalam bentuk penyerahan diri pada banyak laki-laki untuk pemuasan eksual
dan mendapatkan imbalan jasa atau uang bagi pelayanannya. Tuna susila itu juga dapat
diartikan sebagai salah tingkah, tidak susila atau gagal menyesuaikan diri terhadap norma-
norma sosial.
Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia
itu sendiri. Berupa tingkah laku lepas bebas tanpa kendali dan cabul, karena adanya
pelampiasan nafsu seks dengan lawan jenisnya tanpa mengenal batas-batas kesopanan.
Pelacuran itu selalu ada pada semua Negara berbudaya, sejak zaman purba sampai sekarang.
Senantiasa menjadi masalah sosial atau menjadi objek urusan hukum dan tradisi. Dengan
perkembangan teknologi, turut berkembang pula pelacuran dalam berbagai bentuk dan
tingkatannya.
Di banyak Negara pelacuran itu dilarang bahkan dikenakan hukuman. Dianggap
sebagai perbuatan hina oleh segenap anggota masyarakat. Akan tetapi, sejak adanya
masyarakat manusia yang pertama hingga dunia akan kiamat nanti, “mata pencaharian”ini
akan tetap ada, sukar untuk diberantas selama masih ada nafsu-nafsu seks yang epas dari
kendali kemauan dan hati nurani. Maka timbulnya masalah pelacuran sebagai gejala patologis
yaitu sejak adanya penataan relasi seks dan diberlakukannya norma-norma perkawinan.
Di banyak negara, pelacuran masih dianggap sebagai mata pencaharian, oleh karena
itu pelacuran akan tetap ada dan sulit bahkan hampir tidak mungkin bisa diberantas selama
masih ada nafsu-nafsu seks yang lepas dari kendali kemauan dan hati nurani manusia.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan Prostitusi atau Pelacuran.
2. Apakah motif yang melatarbelakangi penyebab timbulnya pelacuran.
3. Apakah akibat dari pelacuran.
4. Bagaimanakah cara penanggulangan prostitus.
5. apa hubungan prostitusi dengan pancasila
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pengetian dari prostitusi.
2. Mengetahui Motif- motif yang melatar belakangi prostitusi
3. Mengetahui akibat pelacuran.
4. Mengetahui cara penanggulangan prostitusi.
5. Mengetahui hubungan antara Prostitusi dengan Pancasila
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Prostitusi
Profesor W.A Bonger dalam tulisannya Maatschappelijke Oorzaken der Prostitutie
menulis prostitusi sebagai berikut. Prostitusi ialah gejala kemasyarakatan dimana wanita
menjual diri melakukan perbuatan-erbuatan seksual sebagai mata pencarian.
Sarjana P.J de Bruine van Amsel menyatakan bahwa Prostitusi adalah penyerahan diri
dari wanita kepada banyak laki-laki dengan pembayaran.
Peraturan Pemerintah DKI Jakarta Raya tahun 1967 mengenai penaggulangan
masalah pelacuran, menyatakan bahwa Wanita Tunasusila adalah wanita yang mempunyai
kebiasaan melakukan hubungan kelamin di luar perkawinan, baik dengan imbalan jasa
maupun tidak.
Peraturan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat untuk melaksanakan pembatasan
dan penerbitan masalah pelacuran, menyatakan bahwa Pelacur, selanjutnya disingkat P aalah
mereka yang biasa melakukan hubungan kelamin di luar penikahan yang sah.Kedua peraturan
tersebut menekankan masalah hubungan kelamin di luar pernikahan, baik dengan
mendapatkan imbalan maupun tidak.
Pasal 296 KUHP mengenai Prostitusi tersebut menyatakan “Barang siapa yang
pekerjaannya atau kebiasaannya, dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan
cabul dengan orang lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun
empat bulan atau pidana denda sebanyak-banyaknya lima belas ribu rupiah.”
Dari beberapa pengertian diatas, dapat dikemukakan definisi pelacuran sebagai
berikut
Ada pula fungsi pelacuran yang positif sifatnya di tengah masyarakat, yaitu sebagai
berikut:
a. Menjadi sumber pelancar dalam dunia bisnis.
b. Menjadi sumber kesenangan bagi kaum politisi yang harus hidup berpisah dari istri dan
keluarganya. Juga dijadikan alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu.
c. Menjadi sumber hiburan bagi kelompok dan individu yang mempunyai jabatan/pekerjaan
mobil, misalnya: pedangang, sopir-sopir pengemudi, anggota tentara, pelaut, pria-pria
yang single atau baru bercerai, dan sebagainya.
d. Menjadi sumber pelayanan dan hiburan bagi orang-orang cacat.
Partisipasi Sosial
Kurang lebih 30% dari para pelacur– terutama dari kelas menengah dan kelas tinggi—
mempunyai pekerjaan sebagai kedok penutup, misalnya sebagai sekretaris, juru ketik,
pelayang took, bar, disko, rumah makan, resepsionis hotel, pegawai penginapan dan hotel,
dan seterusnya. Pada umumnya, mereka itu membenci pekerjaan atau malas bekerja. Kalau
malam mereka giat bekerja, sedang pagi dan siang hari lebih suka tidur dan bersantai-santai.
Mereka memberikan jasanya dalam bentuk pelayanan seks dan hiburan pengisi waktu kosong
kepadakaum laki-laki iseng, antarlain kepada: kaum pedagang, penjudi, anggota tentara,
pelaut, pengemudi, politisi , dan laik-lain. Juga memberikan cinta dan relasi heteroseksusal
kepada orang cacat dan para penjahat. Banyak pula pelacur yang cantik-cantik dan inteligen
dipakai sebagai alat pelancar dalam dunia bisnis politik dan spionase.
Pelacur-pelacur kelas menengah dan kelas tinggi banyak yang kawin. Mereka itu
kurang promiskuous, karena selalu memilih langganan-langganan yang berduit banyak.
Pelayanan mereka lebih mesra, kurang mekanistis, lebih human, biasanya pelayanannya
merupakan all night date (berkencan semalam suntuk ). Ada pula yang dijadikan gundik atau
istri piaraan oleh satu atau dua orang pejabat penting, pedagang kaya atau politikus terkenal.
Biasanmya mereka disimpan di daerah-daerah suburban (pinggiran,kota, kota satelit) atau di
daerah peristirahatan dengan mendapatkan rumah mewah, lengkap dengan perabot dan mobil,
serta catu bulanan yang tinggi.
Partisipasi Ekonomi
Tidak sedikit sumbangan keuangan yang diberikan para pelacur itu kepada macam-
macam pihak. Khususnya, para mucikari atau madam-masam/mami-mami mendapatkan kira-
kira 1/3-1/2 dari penghasilan bersih para pelacur. Pihak-pihak lain yang ikut mendapatkan
keuntungan ekonomis dari para pelacur antara lain ialah pengemudi –pengemudi taksi dan
tukang-tukang becak, dokter dan mantri-mantri kesehatan, para penegak hukum, hakim,
polisi, pengacara, aborsionis atau ahli menggugurkan kandungan, calo-calo, penjahat-
penjahat, pedagang-pedagang pakaian dan bahan kosmetik, penjual-penjual candu, ganja,
bahan narkotik lainnya dan minuman keras, pengusaha sirkus, pengusaha pusat-pusat
hiburan, penjual alat kontraseptif, dukun-dukun bayi dan lain-lain.
Juga tidak kecil artinya dana sumbangan yang diberikan oleh para wanita tunasusila
itu kepada: gereja, usaha-usaha sosial, panti werda, panti asuhan yatim piatu, yayasan
rehabilitasi orang cacat jasmani dan dana-dana pembangunan dalam bentuk iuran memasuki
daerah lampu merah.
Penyesuaian Diri/Adjusment dan Maladjustment
Opini umum menyatakan bahwa pekerjaan melacurkan diri itu hanya bisa dilakukan
oleh wanita-wanita lemah ingatan, abnormal jiwanya, psikopatik ataupun yang mengalami
demoralisasi berat. Memang tipe-tipe wanita demikian ada cukup banyak terdapat dikalangan
para pelacur. Lagi pula, menurut logika umum, pastilah tidak akan ada seorang wanita normal
yang mau merendahkan diri melakukan pekerjaan asusila sedemikian itu.
Namun, bukti-bukti penilaian kemudian menunjukkan bahwa pelacuran itu
merupakan bentuk penyimpangan sosio-psikologis, yaitu penyimpangan disebabkan faktor-
faktor sosial dan faktor-faktor psikologis (intemalisasi yang keliru). Semakin inteligen,
cerdas-cerdik, semakin tinggi pendidikan,dan semakin enter-prising (giat berusaha) seorang
pelacur, maka semakin jauhlah dia dari atribut psikopatik. Dengan kata lain, dia itu benar-
benar normal, bahakan bisa dikatan supernommal dan cerdik. Maka setiap gadis bisa dan
setiap wanita normal bisa menjadi prostitue atau sengaja menjadikan diri sebagai pelacur.
Sehubungan dengan uraian diatas, tingkah laku immoril dari pelacur itu terutama
sekali ditampilkan oleh simptom-simptom instabilitas jiwanya. Mobilitas profesionalnya bisa
dimakan dengan hasrat-pengembaraannya yang psikopatik dan sifatnya. Keengganannya
bekerja itu identik dengan kemalasan yang abnormal, ketidakacuhan dan “ndableg” tanpa
perasaan susila pada dirinya, bisa disamakandengan gejala schizofrenia atau oligofrenia.
Kondisi para pelacur pada masa sekarang ini agak lebih baik dari kurang lebih
setangah abad yang lalu. Hal pertama disebabkan oleh toleransi masyarakat yang lebih besar
terhadap para pelacur. Kedua, disebabkan oleh kondisi ekonomi masyarakat yang semakin
membaik pada periode kemerdekaan. Ketiga, oleh adanya usaha resosialisasi dari departemen
sosial dan msyarakat sehingga dengan jalan mencarikan pasangan hidup yang permanen, dan
memberikan latihan-latihan kerja/ keterampilan kepada para wanita tunasusila, dengan tujuan
agar mereka bisa kembali hidup wajar ditengah masyarakat biasa.
Menyadari bahwa pekerjaan melacur itu tidak mungkin bisa dilakukan dalam waktu
yang lama, maka sejak awal mula para pelacur itu sudah mulai menabung. Usaha mendeponir
dana bagi masa tua ini mulai dikerjakan sejak usia kurang lebih 14 tahun sampai umur 30
tahunan dan mulai “membeli” seorang suami. Biasanya calon suami ini adalah seorang
petani miskin, tanpa memiliki tanah sendiri atau buruh tani, dan berasal dari daerah asalnya.
Jika kegiatan prostitusi dihentikan, maka dirinya dihantui oleh bayangan kemiskinan,
kelaparan dan penderitaan. Terjadilah konflik-konflik batin yang serius, sehingga tidak jarang
menjelma jadi gangguan mental. Mereka itulah yang dimasukkan dalam kelompok prostitue
marginal.
Gejala khas yang sangat menyolok pada pelacur-pelacur umumnya ialah: mereka itu cepat
menjadi tua dan layu. Adapun sebab-sebabnya ialah sebagai berikut.
1) Mempunyai kebiasaan-kebiasaan buruk. Misalnya makan, tidur, dan bekerja tidak teratur,
sering berpergian dan kurang istirahat
2) Badan menjadi lemas dan lemah, karena bekerja kelewat batas.
3) Bergaul dengan banyak laki-laki kasar, sehingga badannya dimanipulasi serta diremas-remas
dengan kasar, dan dieksploitasi dengan hebat.
4) Sering mendapat penyakit kotor dan terkena infeksi parah, serta beberapa kali mengalami
keguguran. Semua itu mengakibatkan gangguan menstruasi dan mempercepat
kerusakan/kelayuan badan.
5) Banyak minum obat-obatan untuk menjaga kesehatan dan minum-minuman keras
(mengandung kadar alkohol tinggi), sehingga tidak sedikit dari mereka itu menjadi mandul
tidak bisa punya anak.
6) Setelah energinya banyak terkuras dan kecantikannya mulai melayu, kemampuan seksualnya
juga berkurang. Maka penghasilannya juga menjadi semakin menyusut, karena ditinggalkan
para langganan.
7) Pada usia-usia yang kritis yaitu kurang lebih 30 tahun (prostitusi marginal), terjadi banyak
konflik jiwa yang sangat melelahkan lahir-batinnya. Yaitu konflik antara konsepsi diri
sebagai prostitusi dan meneruskan profesi pelacuran, melawan kebutuhan untuk berhenti dan
memperbaiki cara hidupnya.
Banyak wanita tunasusila yang inteligen pada usia kritis itu lalu beralih pekerjaannya
dengan jalan memilih jenis pekerjaan yang lebih ringan. Misalnya menjadi mucikari, dukun
pijat, aborsionis, bakul jamu, dan lain-lain. Sedang mereka yang tidak inteligen dan kurang
mampu mengadakan penyesuaian diri dengan tuntutan umurnya, akan semakin jatuh
tergelincir pada prostitusi tingkat lebih rendahan lagi. Masuk penjara atau mati terlantar dan
kesepian dirumah sakit atau panti werda.
Sebab, pada umumnya masyarakat tidak suka memperkerjakan mereka karena adanya
merk dosa-noda yang tetap melekat seumur hidup dan kurang bisa dipercaya kesusilaan serta
tanggung jawabnya.
E. Akibat-Akibat Prostitusi
Beberapa akibat yang ditimbulkan oleh pelacuran ialah sebagai berikut:
a. Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit. Penyakit yang paling
banyak terdapat ialah syphilis dan gonorrhoe (kencing tanah). Terutama akibat syphilis,
apabila tidak mendapatkan pengobatan yang sempurna, bisa menimbulkan cacat jasmani dan
rohani pada diri sendiri dan anak keturunan. Antara lain ialah (1) congenital syphilis (sipilis
herediter/keturunan) yang menyerang bayi semasih di dalam kandungan, sehingga terjadi
abortus/keguguran atau bayi lahir mati. Jika bayi bisa lahir, biasana kurang bobot, kurang
darah, buta, tuli, kurang inteligensina, defect (rusak cacat) mental dan defect jasmani lainnya.
(2)Syphilitic amentia, yang mengakibatkan cacat mental ringan, retardasi atau lemah ingatan
dan imbisilitas. Sedang yang berat bisa mengakibatkan serangan epilepsy atau ayan,
kelumpuhan sebagian dan total, bisa jadi idiot psikotik, atau menurunkan anak-anak idiocy.
b. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga. Suami-suami yang tergoda oleh pelacur biasana
melupakan fungsinya sebagai kepala keluarga, sehingga keluarga menjadi berantakan.
c. Mendemoralisasi atau memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan khususnya
anak-anak muda remaja pada masa puber dan adolesensi.
d. Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika (ganja, morfin,
heroin, dll).
e. Merusak sendi-sendi moral, susila, hokum dan agama. Terutama sekali menggoyahkan
norma perkawinan, sehingga menyimpang dari adat kebiasaan, norma hokum, agama, karena
digantikan dengan pola pelacuran dan promiskuitas,yaitu digantikan dengan pola pemuasan
kebutuhan sex dan kenikmatan sex yang awut-awutan, murah serta tidak bertanggung jawab.
Bila pola pelacuran ini telah mebudaya, maka rusaklah sendi-sendi kehidupan keluarga yang
sehat.
f. Adanya pengeksploitasian manusia oleh manusia lain. Pada umumnya wanita-wanita
pelacur itu cuma menerima upah sebagian kecil sajadari pendapatan yang harus diterimanya,
karena sebagian besar ahrus diberikan kepada germo, calo-calo, pelindung dan lain-lain.
Dengan kata lain, ada sekelompok manusia benalu yang memeras darah dan keringat para
pelacur ini.
g.Bisa menyebabkan terjadinya disfungsi seksual, misalnya: impotensi, anorgasme,
nymphomania, satyriasis, ejakulasi premature, dan lain-lain.
Reaksi Sosial
Kenyataan membuktikan, bahwa semakin ditekan pelacuran, maka semakin luas
menyebar prostitusi tersebut. Sikap reaktif dari masyarakat luas atau reaksi sosialnya
bergantung pada 4 faktor, yaitu :
a. Derajat penampakan / visibilitas tingkah laku; yaitu menyolok tidaknya perilaku
immoril para pelacur;
b. Besarnya pengaruh yang mendemoralisasi lingkungan sektarnya;
c. Kronis tidaknya komplek tersebut menjadi sumber penyakit kotor syphilis dan gonorhoe
dan penyebab terjadinya abortus serta kematian bayi-bayi;
d. Pola cultural: adat istiadat, norma-norma susila dan agama menentang pelacuran, yang
sifatnya represif dan memaksakan.
e. Reaksi social itu bisa bersifat menolak sama sekali dan mengutuk keras serta
memberikan hukuman berat sampai pada sikap netral , masa bodoh dan acuh serta menerima
dengan baik. Sikap menolak bisa bercampur dengan rasa benci, ngeri, jijik, takut dan marah.
Sedang sikap menerima bisa bercampur dengan rasa senang, memuji-muji, mendorong dan
simpati.
F. Penanggulangan Prostitusi
Prostitusi sebagai masalah sosial sejak sejarah kehidupan manusia sampai sekarang
dan selalu ada pada setiap tingkatan peradaban, perlu ditanggulangi dengan penuh
kesungguhan. Usaha ini sangat sukar melalui proses dan waktu yang panjang, dan
memerlukan pembiayaan yang besar, usaha untuk mengatasi masalah tunasusila ini dapat
dibagi menjadi dua,yaitu:
a. Usaha yang bersifat preventif
b. Tindakan yang bersifat represif dan kuratif.
Usaha yang bersifat preventif diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan untuk mencegah
terjadinya pelacuran. Usaha ini antara lain berupa :
1. penyempurnaan perundang-undangan mengenai larangan atau pengaturan
penyelenggaraan pelacuran.
2. intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan kerohanian, untuk memperkuat
keimanan terhadap nilai-nilai religius dan norma kesusilaan
3. menciptakan bermacam-macam kesibukan dan kesempatan rekreasi bagi anak-anak
puber dan adolesens untuk menyalurkan kelebihan energinya
4. memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita, disesuaikan dengan kodrat dan
bakatnya, serta mendapatkan upah/gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
setiap harinya
5. penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan
keluarga
6. pembentukan badan atau tim koordinasi dari semua usaha penanggulangan pelacuran
yang dilakukan oleh beberapa instansi sekaligus mengikutsertakan potensi masyarakat
lokal untuk membantu melaksanakan kegiatan pencegahan atau penyebaran pelacuran
7. penyitaan terhadap buku-buku dan majalah-majalah cabul, gambar-gambar porno,
film-film biru dan sarana-sarana lain yang merangsang nafsu seks
8. meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya.
Sedang usaha yang represif dan kuratif dimaksudkan sebagai kegiatan untuk
menekan (menghapuskan, menindas) dan usaha menyembuhkan para wanita dari
ketunasusilaannya untuk kemudian membawa mereka ke jalan yang benar.
Usaha represif dan kuratif ini antara lain berupa :
a. Melalui lokalisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi, orang melakukan
pengawasan/kontrol yang ketat demi menjamin kesehatan dan keamanan para prostitue serta
lingkungannya
b. Untuk mengurangi pelacuran, diusahakan melalui aktivitas rehabilitasi dan resosialisasi,
agar mereka bisa dikembalikakan sebagai warga masyarakat yang susila. Rehabilitasi dan
resosialisasi ini dilakukan melalui pendidikan moral dan agama, latihan-latihan kerja dan
pendidikan keterampilan agar mereka bersifat kreatif dan produktif.
c. Penyempurnaan tempat-tempat penampungan bagi para wanita tunasusila terkena
razia;disertai pembinaan yang sesuai dengan bakat dan minat masing-masing;
d. Pemberian suntikan dan pengobatan pada interval waktu tetap untuk menjamin kesehatan
para prostitue dan lingkungannya;
e. Menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan profesi
pelacuran dan mau memulai hidup susila;
f. Mengadakan pendekatan terhadap pihak keluarga para pelacur dan msyarakat asal mereka
agar mereka mau menerima kembali bekas-bekas wanita tunasusila itu mengawali hidup
baru;
g. Mencarikan pasangan hidup yang permanen/suami bagi para wanita tunasusila untuk
membawa mereka ke jalan yang benar,
h. Mengikutsertakan ex-WTS (bekas wanita tuna susila) dalam usaha transmigrasi, dalam
rangka pemerataan penduduk di tanah air dan perluasan kesempatan kerja bagi kaum wanita.
1. Sila ke-2 pancasila yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab.
Yang yang memiliki nilai penting, bahwa Tuhan Yang Maha Esa, yang memiliki
potensi, pikir, rasa, karsa dan cipta. Karena potensi ini manusia mempunyai, menempati
kedudukan dan martabat yang tinggi. Kata adil mengandung makna bahwa suatu keputusan
dan tindakan didasarkan atas ukuran / norma-norma yang obyektif, dan tidak subyektif,
sehingga tidak sewenang-wenang.
Kata beradab berasal dari kata adab, artinya budaya. Jadi adab mengandung arti
berbudaya, yaitu sikap hidup, keputusan dan tindakan yang selalu dilandasi oleh nilai-nilai
budaya, terutama norma sosial dan kesusilaan / moral.Kemanusiaan yang adil dan beradab
mengandung pengertian adanya kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang didasarkan
kepada potensi budi nurani manusia dalam hubungannya dengan norma-norma dan
kebudayaan umumnya.Potensi Aplikasi Nilai Pancasila Sila ke-2 dan ke-5 dalam Memerangi
Perdagangan Manusia di Indonesia. kemanusiaan dimiliki oleh semua manusia di dunia,
tanpa memandang ras, keturunan dan warna kulit, serta bersifat universal
2. Sila ke-5 pancasila yang berbunyi Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Yang yang memiliki nilai penting, bahwa manusia Indonesia menyadari hak dan
kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan soial dalam kehidupan berbangsa dan
bermasyarakat Indonesia. Dalam rangka ini dikembangkan perbuatan luhur yang
mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan. Untuk itu
dikembangkan sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban,
serta menghormati hak-hak orang lain.
Di dalamnya terkandung makna keadilan-sosial (keadilan-socius) atau
pemerataan-bersama bagi seluruh-rakyat (atas dasar keadilan distributif), bukan
keadilan bagi segolongan/pemerintah/penguasa.
Dengan memahami menghayati, serta meaplikasikan sila ke-2 dan ke -5 pancasila
dalam kehidupan kita sehari hari maka kita tidah perlu bersusah payah untuk memberantas
tindak kejahatan perdagangan manusia. Karena nilai moral yang telah kita tanamkan pada diri
kita melalui kedua sila tersebut akan menyadarkan kita bahwa tindakan tersebut melanggar
norma ketentuan yang berlaku d Negara kita Indonesia. Dan saya yakin pengurangan tindak
perdagangan manusia di Indonesia akan lebih mudah terkontrol jika pemerintah dan aparat
jajarannya menyadari pentingnya kehidupan suatu individu. Tentunya dengan tindakan yang
tepat berdasarkan landasan Negara kita yaitu pancasila.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Prostitusi atau pelacuran merupaan salah satu bentuk penyakit masyarakat
yang harus dihentian penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan
perbaikan. Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur
kehidupan manusia itu sendiri. Pelacuran itu selalu ada pada semua Negara
berbudaya, sejak zaman purba sampai sekarang. Senantiasa menjadi masalah sosial
atau menjadi objek urusan hukum dan tradisi. Dengan perkembangan teknologi, turut
berkembang pula pelacuran dalam berbagai bentuk dan tingkatannya.
Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi
impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan terintegrasi dalam bentuk pelampiasan
nafsu-nafsu seks tana kendali dengan banyak orang (promiskuitas), disertai eksploitasi
dan komersialisasi seks yang impersonal tanpa afeksi sifatnya.
Prostitusi sebagai masalah sosial sejak sejarah kehidupan manusia sampai
sekarang dan selalu ada pada setiap tingkatan peradaban, perlu ditanggulangi dengan
penuh kesungguhan. Usaha ini sangat sukar melalui proses dan waktu yang panjang,
dan memerlukan pembiayaan yang besar, usaha untuk mengatasi masalah tunasusila
ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu usaha yang bersifat preventi dan tindakan yang
bersifat represif dan kuratif.
B. Saran
Prostitusi sudah menimbulkan banyak akibat terhadap orang yang terlibat
maupun bagi lingkungan sosialnya. Pemerintah pusat maupun daerah sudah banyak
melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan masalah tersebut. Kita selaku
calon pekerja sosial yang sudah mengetahui tentang masalah sosial ini harus mampu
bersikap tanggap dalam membantu upaya-upaya yang telah dilakukan dalam proses
pencegahan, penanggulangan dan penyembuhan bagi seluruh komponen tentang
prostitusi. Melalui paper ini kami menyarankan agar pembaca dapat menerapkan ilmu
yang ada untuk mengatasi masalah prostitusi di Indonesia. Jika tidak ada yang peduli
terhadap masalah sosial ini, maka prostitusi akan semakin berkembang dan
menyebabkan lebih banyak korban.
DAFTAR PUSTAKA
Kartono, Kartini. 2013. Patologi Sosial Jilid I. Cetakan ke-12. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
https://viedkamedia.wordpress.com/makalah-prostitusi/
http://materiilmuku.blogspot.com/2017/07/makalah-pengertian-prostitusi.html
http://stsarah-ramadhan.blogspot.com/2016/10/makalah-prostitusi.html