Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH PANCASILA TENTANG HUBUNGAN

PROSTITUSI DENGAN PANCASILA

Mata Kuliah :

Pancasila

Dosen Pengampu :

Disusun Oleh:

Barem Talang Rasa (18510134022)

Faiz Helga (18510143040)

Fani Mestika (18510134031)

Muhammad Iwan Najib (185101340)

JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karuani-Nya sehingga pada kesempatan kali ini tugas menyusun Makalah
hubungan antara Prostitusi dengan Pancasila dapat kami selesaikan sebagai tugas kelompok.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini.

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai pemenuhan tugas kelompok mata
kuliah Pancasila sekaligus memberikan informasi kepada pembaca mengenai hubungan
antara Prostitusi dengan Pancasila.

Saya menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini banyak sekali
kesalahan-kesalahan, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun dari para pembaca
sangatlah dibutuhkan untuk dapat memperbaiki penyusunan dan penulisan karya tulis
berikutnya.

Yogyakarta, 25 Maret 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................

DAFTAR ISI ..............................................................................

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...........................................................


B. Tujuan ........................................................................
C. Rumusan Masalah ......................................................

BAB II : PEMBAHASAN

A. Definisi Prostitusi .......................................................


B. Penyebab Timbulnya Prostitusi ..................................
C. Ciri-Ciri dan Fungsi Prostitusi ....................................
D. Pihak-Pihak yang Terlibat ...........................................
E. Akibat Prostitusi ..........................................................
F. Penanggulangan Prostitusi ..........................................
G. Hubungan Pancasila dengan Pancasila .......................

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan ..................................................................
B. Saran ............................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masyarakat modern yang serba kompleks, sebagai produk dari kemajuan teknologi,
mekanisasi, indudtrialisasi dan urbanisasi, memunculkan banyak masalah sosial. Maka
adaptasi atau penyesuaian diri terhadap masyarakat modern yang hyperkompleks menjadi
tidak mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi dan adjustment menyebabkan kebingungan,
kecemasan dan konflik-konflik, baik yang terbuka dan eksternal sifatnya, mauoun yang
tersembunyi dan internal dalam batin sendiri, sehingga banyak orang mengembangkan pola
tingkah laku menyimpang dari norma-norma umum, atau berbuat semau sendiri, demi
kepentingan sendiri dan mengganggu atau merugikan orang lain.
Dalam perkembangannya kehidupan manusia tidak selamanya berjalan dengan baik
sesuai yang diharapkan. Manusia dalam kehidupannya sering menemui kendala-kendala yang
membuat manusia merasa kecewa dan tidak menemukan jalan keluar sehingga manusia
memilih langkah yang kurang tepat dalam jalan hidupnya. Dalam usaha mendapatkan
pemenuhan kebutuhan hidupnya terkadang akan menuntut wanita harus bekerja diluar rumah
untuk mencari kegiatan yang dapat menambah penghasilan keluarga.
Upaya mencari penghasilan untuk sekarang ini tidaklah mudah karena lapangan kerja
yang sangat terbatas disamping tingkat pendidikan yang sangat rendah. Dengan tingkat
pendidikan yang rendah dan tidak adanya ketrampilan yang mereka miliki menyebabkan
mereka mencari jenis pekerjaan yang dengan cepat menghasilkan uang. Salah satu jalan
pintas dalam perjalanan hidup seorang perempuan akibat cobaan-cobaan hidup yang berat
dirasakan, perempuan tersebut terjun dalam dunia pelacuran.
Prostitusi atau pelacuran merupaan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang harus
dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan perbaikan. Pelacuran
berasal dari bahasa Latin Pro-staure, yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan
persundalan, pencabulan, dan pergendakan. Sedang prostitute adalah pelacur atau sundal.
Dikenal pula dengan istilah WTS atau Wanita Tuna Susila
Fenomena praktek pelacuran merupakan masalah sosial yang sangat menarik dan
tidak ada habisnya untuk diperbincangkan dan diperdebatkan. Mulai dari dahulu sampai
sekarang masalah pelacuran adalah masalah sosial yang sangat sensitif yang menyangkut
peraturan sosial, moral, etika, bahkan agama.
Pelacuran merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang sudah dikenal sejak
masa lampau dan sulit untuk dihentikan. Hal ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer
seputar mereka dari masa ke masa. Pelacuran ini selain meresahkan masyarakat juga dapat
mematikan karena merekalah yang ditengarai menyebarkan penyakit AIDS akibat perilaku
seks bebas tanpa pengaman.
Tunasusila atau tidak susila itu diartikan sebagai kurang beradab karena keroyalan
relasi seksualnya dalam bentuk penyerahan diri pada banyak laki-laki untuk pemuasan eksual
dan mendapatkan imbalan jasa atau uang bagi pelayanannya. Tuna susila itu juga dapat
diartikan sebagai salah tingkah, tidak susila atau gagal menyesuaikan diri terhadap norma-
norma sosial.
Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia
itu sendiri. Berupa tingkah laku lepas bebas tanpa kendali dan cabul, karena adanya
pelampiasan nafsu seks dengan lawan jenisnya tanpa mengenal batas-batas kesopanan.
Pelacuran itu selalu ada pada semua Negara berbudaya, sejak zaman purba sampai sekarang.
Senantiasa menjadi masalah sosial atau menjadi objek urusan hukum dan tradisi. Dengan
perkembangan teknologi, turut berkembang pula pelacuran dalam berbagai bentuk dan
tingkatannya.
Di banyak Negara pelacuran itu dilarang bahkan dikenakan hukuman. Dianggap
sebagai perbuatan hina oleh segenap anggota masyarakat. Akan tetapi, sejak adanya
masyarakat manusia yang pertama hingga dunia akan kiamat nanti, “mata pencaharian”ini
akan tetap ada, sukar untuk diberantas selama masih ada nafsu-nafsu seks yang epas dari
kendali kemauan dan hati nurani. Maka timbulnya masalah pelacuran sebagai gejala patologis
yaitu sejak adanya penataan relasi seks dan diberlakukannya norma-norma perkawinan.

Di banyak negara, pelacuran masih dianggap sebagai mata pencaharian, oleh karena
itu pelacuran akan tetap ada dan sulit bahkan hampir tidak mungkin bisa diberantas selama
masih ada nafsu-nafsu seks yang lepas dari kendali kemauan dan hati nurani manusia.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan Prostitusi atau Pelacuran.
2. Apakah motif yang melatarbelakangi penyebab timbulnya pelacuran.
3. Apakah akibat dari pelacuran.
4. Bagaimanakah cara penanggulangan prostitus.
5. apa hubungan prostitusi dengan pancasila

C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pengetian dari prostitusi.
2. Mengetahui Motif- motif yang melatar belakangi prostitusi
3. Mengetahui akibat pelacuran.
4. Mengetahui cara penanggulangan prostitusi.
5. Mengetahui hubungan antara Prostitusi dengan Pancasila
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Prostitusi
Profesor W.A Bonger dalam tulisannya Maatschappelijke Oorzaken der Prostitutie
menulis prostitusi sebagai berikut. Prostitusi ialah gejala kemasyarakatan dimana wanita
menjual diri melakukan perbuatan-erbuatan seksual sebagai mata pencarian.
Sarjana P.J de Bruine van Amsel menyatakan bahwa Prostitusi adalah penyerahan diri
dari wanita kepada banyak laki-laki dengan pembayaran.
Peraturan Pemerintah DKI Jakarta Raya tahun 1967 mengenai penaggulangan
masalah pelacuran, menyatakan bahwa Wanita Tunasusila adalah wanita yang mempunyai
kebiasaan melakukan hubungan kelamin di luar perkawinan, baik dengan imbalan jasa
maupun tidak.
Peraturan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat untuk melaksanakan pembatasan
dan penerbitan masalah pelacuran, menyatakan bahwa Pelacur, selanjutnya disingkat P aalah
mereka yang biasa melakukan hubungan kelamin di luar penikahan yang sah.Kedua peraturan
tersebut menekankan masalah hubungan kelamin di luar pernikahan, baik dengan
mendapatkan imbalan maupun tidak.
Pasal 296 KUHP mengenai Prostitusi tersebut menyatakan “Barang siapa yang
pekerjaannya atau kebiasaannya, dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan
cabul dengan orang lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun
empat bulan atau pidana denda sebanyak-banyaknya lima belas ribu rupiah.”
Dari beberapa pengertian diatas, dapat dikemukakan definisi pelacuran sebagai
berikut

a. Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi


impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan terintegrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu-
nafsu seks tana kendali dengan banyak orang (promiskuitas), disertai eksploitasi dan
komersialisasi seks yang impersonal tanpa afeksi sifatnya.
b. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri (persundalan) dengan jalan
memperjualbelikan badan, kehprmatan, dan kepribadian kepada banyak orang untuk
memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran.
c. Pelacuran ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan badannya untuk
berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah.
Pada peristiwa pelacuran itu ada dorongan-dorongan seks yang tidak terintegrasi
dengan kepribadian. Artinya, impuls-impuls seks itu tidak terkendali oleh hati nurani.
Selanjutnya dipakailah tekni-teknik seksual yang amat kasar dan provokatif dalam sanggama
dan sangat impersonal karena berlangsung tanpa afeksi perasaan, emosi, dan kasih sayang
sehingga dilakukan dengan cepat dan tanpa orgasme pada pihak wanita/pelacurnya. Jadi ada
sayatan sobekan antara perbuatan sanggama (coitus) dengan emosi-emosi afektif.
Eksploitasi seks berarti penghisapan atau penggunaan serta pemanfaatan relasi seks
semaksimal mungkin oleh pihak pria. Sedang komersialisasi seks berarti perdagangan seks,
dalam bentuk penukaran kenikmatan seksual dengan benda-benda, materi dan uang. Maka
dalam pelacuran ini ada pelampiasan nafsu-nafsu seks secara bebas dengan banyak pria atas
perjanjian pemberian keuntungan pada kedua belah pihak atau para pelakunya.Selanjutnya,
perbuatan melacukan diri ini dilakukan baik sebagai kegiatan sambilan atau pengisi waktu
senggang (amateurisme), maupun sebagai pekerjaan penuh atau profesi. Pada tahun 60-an
oleh beberapa pihak terutama petugas dinas sosial, digunakan istilah eufemistis untuk
memperhalus artinya, yaitu tunasusila. Sedang pelacur pria disebut gigolo.
Dimasukkan dalam kategori pelacuran ini antara lain adalah:
a.Pergundikan: pemeliharaan bini tidak resmi, bini gelap atau perempuaan piaraan. Mereka
hidup sebagai suami istri, namun tanpa ikatan perkawinan. Gundik-gundik orang asing ini
pada zaman pemerintahan Belanda disebut Nyai.
b. Loose married woman: yaitu wanita yang sudah kawin, namun tetap melakukan hubungan
erotic dan seks dengan laki-laki lain baik secara iseng untuk mengisi waktu kosong,
bersenang-senang just for fun dan mendapatkan pengalaman-pengalaman seks lain, maupun
secara intensional untuk mendapatkan penghasilan.
c. Gadis-Gadis Panggilan:ialah gadis-gadis dan wanita-wanita biasa yang menyediakan diri
untuk dipanggil dan dipekerjakan sebagai prostitute, melalui saluran-saluran tertentu. Mereka
ini terdiri atas ibu-ibu rumah tangga, pelayan-pelayan toko, pegawai-pegawai, buruh-buruh
perusahaan, gadis-gadis lanjutan, para mahasiswi dan lain-lain.
d. Gadis-gadis Bar atau B-girls:yaitu gadis-gadis yang bekerja sebagai pelayan-pelayan bar
sekaligus bersedia memberikan pelayanan seks kepada para pengunjung.
e. Gadis-gadis juvenile deliquent: yaitu gadis-gadis muda dan jahat, yang didorong oleh
ketidakmatangan emosinya dan retardasi/keterbelakangan inteleknya, menjadi sangat pasif
dan sugestibel sekali. Karakternya sangat lemah. Sebagai akibatnya, mereka mudah sekali
jadi pecandu minuman-minuman keras atau alkoholik dan pecandu obat-obat bius
(ganja,heroin, morfin, dan lain-lain), sehingga mudah tergiur melakukan perbuatan-perbuatan
immoral seksual dan pelacuran.
f. Gadis-gadis binal atau free girls: mereka adalah gadis-gadis sekolah atau putus sekolah,
putus studi di akademi atau fakultas pendirian yang “brengsek” dan menyebarluaskan
kebebasan seks secara ekstrem, untuk mendapatkam kepuasan seksual. Mereka
menganjurkan seks dan cinta bebas.
g. Gadis-gadis Taxi (di Indonesia juga ada gadis-gadis becak), yaitu wanita-wanita dan gadis-
gadis panggilan yang ditawarkan dibawa ke tempat “plesiran” dengan taksi-taksi atau becak-
becak.
h. Penggali emas atau gold-diggers:yaitu gadis-gadis dan wanita-wanita cantik –ratu
kecantikan, pramugari, penyanyi, pemain panggung, nintang film, pemain sandiwara, dan
lain-lain- yang pandai merayu dan bermain cinta, untuk mengeduk kekayaan orang. Pada
umumnya mereka itu sulit sekali diajak bermain seks. Yang diutamakan adalah dengan
kelihaiannya menggali emas dan kekayaan dari para kekasihnya.
i. Hostes atau pramuria yang menyemarakkan kehidupan malam dalam nighclub. Pada
intinya, profesi hostes merupakan bentuk pelacuran halus. Para hostes ini harus melayani
makan, minum, dansa dan memuaskan naluri-naluri seks para pelanggan dengan jalan
menikmati tubuh para hostes/pramuria tersebut.
j. Promiskuitas ialah hubungan seks secara bebas dan awut-awutan dengan pria manapun
juga; dilakukan dengan banyak laki-laki.
Pelacuran Versus Norma Agama dan Norma Adat
Pada masa lalu pelacuran itu mempunyai koneksi dengan penyembahan dewa-dewa
dan upacara-upacara keagamaan tertentu. Pelacuran ini tidak hanya ditoleransi saja,akan
tetapi adan praktik-praktik kegamaan yang menjurus pada perbuatan dosa dan tingkah laku
cabul yang tidak ada bedanya dengan kegiatan pelacuran. Kekuasaan kaum pria yang luar
biasa pada banyak suku primitive menjadikan pelacuran sebagai sumber penghasilan
bagibayah, suami dan para dewa.
Sejak zaman dahulu para pelacur selalu dikecam atau dkutuk oleh masyarakat, karena
tingkah lakunya yang tidak susila dan dianggap mengotori sakralitas hubungan seks. Mereka
disebut sebagai orang yang melanggar norma moral, adat dan agama.
Wanita-wanita pelacur biasanya ada di kota-kota, daerah-daerah lalu lintas ara turis
dan tempat plesir-plesir, dimana banyak didatangi orang-orang yang hendak berlibr,
beristirahat atau berwisata.
Norma adat pada galibnya melarang pelacuran. Akan tetapi, setiap daerah itu tidak
sama peraturannya dan kebanyakan norma tersebut tidak tertulis. Pelarangan pelacuran itu
berdasarkan alasan sebagai berikut: tidak menghargai diri wanita, diri sendiri, penghinaan
terhadap istri dan pria-pria yang melacurkan diri, tidak menghormati kesucian perkawinan
(sakralitas seks), menyebablan penyebaran penyakit kotor dan mengganggu keserasian
perkawinan.
Norma agama pada umunya juga melarang pelacuran. Maka Tuhan menganjurkan
kawin dan melalui perkawinan itu dapat dibangun rumah tangga yang sah dan bahagia, kalis
dari kesulitan dan terpeliharalah keturunan. Sedang perbuatan zina dipandang sebagai
perbuatan keji dan jalan yang keliru dalam kehidupan manusia.

Seks dan Pelacuran


Seks merupakan energy psikis uang ikut mendorong manusia untuk aktif bertingkah
laku. Tidak hanya berbuat dibidang seks, akan tetapi juga melakukan kegiatan-kegiatan
nonseksual. Misalnya ikut mendorong untuk berprestasi di bidang ilmu pengetahuan seni,
agama, sosial, budaya, tugas-tugas moril dan lain sebagainya. Sebagai energy psikis, seks
menjadi motvasi atau tenaga dorong untuk berbuat atau bertingkah laku. Seks juga
merupakan mekanisme bagi manusia untuk mengadakan keturunan. Karena itu seks dianggap
sebagai mekanisme yang sangat vital, dimana manusia bisa mengabadikan jenisnya.
Hubungan seksual antara dua jenis kelamin yang berlainan sifat dan jenisnya, yaitu
antara pria dan wanita disebut sebagai relasi heteroseksual. Jika dilakukan di antara dua orang
dari jenis kelamin yang sama disebut dengan homoseksual. Hubungan seksual yang normal
itu mengandung pengertian sebagai berikut.
a. Hubungan tersebut tidak menimbulkan efek-efek merugikan, baik bagi sendiri maupun
partnernya.
b. Tidak menimbulkan konflik-konflik psikis dan tidak bersifat paksaan atau perkosaan.
Baik pria maupun wanita harus menyadari, batas relasi seksual itu sebaiknya
dilakukan dalam batas-batas nirma etis/susila, sesuai dengan norma-norma masyarakat dan
agama, demi menjamin kebahagiaan pribadi dan ketentraman masyarakat. Oleh adanya kedua
persyaratan yaitu normal dan bertanggungjawab, maka relasi seks itu sebaikna dilakukan
dalam satu ikatan yang teratur, yaitu dalam ikatan perkawinan yang sah.
Maka bentuk relasi seks abnormal dan perverse (buruk,jahat) adalah: tidak
bertanggung jawab, didorong oleh kompulsi-kompulsi (tekanan paksaan), dan didorong oleh
impuls-impuls yang abnormal. Abnormalitas dalam pemuasan dorongan seksual itu dibagi
dalam 3 golongan, sebagai berikut:
a. Abnormalitas seks disebabkan oleh dorongan seksual abnormal
b. Abnormalitas seks disebabkan oleh partner seks yang abnormal
c. Abnormalitas seks dengan cara-cara yang abnormal dalam pemuasan dorongan seksualnya.

B. Penyebab Timbulnya Pelacuran


Peristiwa-peristiiwa sosial penyebab timbulnya pelacuran antara lain sebagai berikut:
a. danya keinginan dan dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks,
khususnya diluar ikatan perkawinan.
b. Komersialisasi dari seks baik di pihak wanita maupun germo-germo dan oknum-
oknum tertentu yang memanfaatkan pelayanan seks.
c. Merosotnya norma-norma susila dan keagamaan saat orang mengenyam
kesejahteraan hidup.
d. Semakin besarnya penghinaan orang terhadap martabat kaum wanita dan harkat
manusia.
e. Kebudayaan eksploitasi pada zaman modern ini, khususnya mengeksploitasi kaum
lemah/wanita untuk tujuan-tujuan komersil.
f. Bertemunya kebudayaan-kebudayaan asing dan kebudayaan setempat.

Motif-Motif yang Melatarbelakangi Pelacuran


Di bawah ini di sebutkan beberapa motif, antara lain sebagai berikut:
1. Adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk menghindarkan
diri dari kesulitan hidup, dan mendapatkan kesenangan melalui jalan pendek. Kurang
perhatian, kurang pendidikan, dan buta huruf, sehingga menghalalkan pelacuran.
2. Ada nafsu-nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian, dan
keroyalan seks. Histeris dan hiperseks, sehingga tidak merasa puas mengadakan relasi
seks dengan satu pria /suami.
3. Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan, ada pertimbangan pertimbangan ekonomis
untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, khusunya dalam usaha mendapatkan
status sosial yang lebih baik
4. Aspirasi materil yang tinggi pada diri wanita dan kesenangan ketamakan terhadap
pakaian pakaian indah dan perhiasan mewah. Ingin hidup bermewah-mewahan namun
malas bekerja
5. Kompensasi terhadap perasaaan-perasaan inferior. Jadi ada adjustment yang negatif,
terutama sekali terjadi pada masa puber dan adolesens. Ada keinginan untuk melibihi
kakak, ibu sendiri, teman puteri, tante-tante atau wanita-wanita lainnya.
6. Rasa melit dan ingin tahu gadis-gadis cilik dan anak-anak puber pada masalah seks,
yang kemudian tercebur dalam dunia pelacuran oleh bujukan-bujukan bandit seks
7. Anak-anak gadis memberontak terhadap otoritas orang tua yang menekankan banyak
tabu dan peraturan seks. Juga memberontak terhadap masyarakat dan norma-norma
susila yang dianggap terlalu mengekan diri anak-anak remaja mereka lebih menyukai
pola seks bebas.
8. Pada masa kanak-kanak pernah melakukan relasi seks atau suka melakukan hubungan
seks sebelum perkawinan ( ada premalital seks relation ) untuk sekedar iseng atau
untuk menikmati “masa indah” di kala muda atau sebagai symbol keberanian dan
kegagahan telah menjelajahi dunia seks secara nyata. Selanjutnya, gadis-gadis tadi
terbiasa melakukan banyak relasi seks secara bebas dengan pemuda-pemuda sebaya
lalu terperosoklah mereka ke dalam dunia pelacuran.
9. Gadis-gadis dari daerah slums (perkampungan-perkampungan melarat dan kotor
dengan lingkungan yang imoril yang sejak kecilnya selalu melihat persanggamaan
orang-orang dewasa secara kasar dan terbuka, sehingga terkondisikan mentalnya
dengan tindak-tindak asusila). Lalu menggunakan mekanisme promiskuitas/ pelacuran
untuk mempertahankan hidupnya.
10. Oleh bujuk rayu kaum laki-laki dan para calo terutama yang menjanjikan pekerjaan-
pekerjaan terhormat dengan gaji tinggi. Namun pada akhirnya gadis-gadis tersebut
dengan kejamnya dijebloskan ke dalam border-bordir rumah pelacuran.
11. Banyaknya stimulasi seksual dalam bentuk : film-film biru, gambar-gambar porno,
bacaan cabul, gang-gang anak muda yang mempraktikan relasi seks, dll.
12. Gadis-gadis pelayan toko dan pembantu rumah tangga tunduk dan patuh melayani
kebutuhan-kebutuhan seks dari majikannya untuk tetap mempertahankan
pekerjaannya.
13. Penundaan perkawinan, jauh sesudah kematangan biologis, disebabkan oleh
pertimbangan-pertimbangan ekonomis dan standar hidup yang tinggi. Lebih suka
melacurkan diri daripada kawin.
14. Disorganisasi dan disintegrasi dari kehidupan keluarga, broken home, ayah atau ibu
lari, kawin lagi atau hidup bersama dengan partner lain. sehingga anak gadis merasa
sangat sengsara batinnya, tidak bahagia, memberontak, lalu menghibur diri terjun
dalam diri dunia pelacuran.
15. Mobilitas dari jabatan atau pekerjaan kaum laki-laki dan tidak sempat membawa
keluarganya. Misalnya, pekerjaan pengemudi, tentara, pelaut, pedagang, politisi, yang
membutuhkan opelepasan bagi ketegangan otot-otot dan syarafnya dengan bermain
perempuan.
16. Adanya ambisi besar pada diri wanita untuk mendapatkan status sosial yang tinggi,
dengan jalan yang mudah tanpa kerja berat, tanpa suatu skill atau keterampilan
khusus.
17. Adanya anggapan bahwa wanita memang dibutuhkan dalam macam-macam
permainan cinta, baik sebagai segi iseng belaka maupun sebagai tujuan-tujuan
dagang.
18. Pekerjaan sebagai pelacur tidak memerlukan keterampilan/ skill, tidak memerlukan
inteligensi tinggi, mudah asal memiliki kecantikan, kemudaan, keberanian. Tidak
hanya orang-orang normal, wanita-wanita yang agak lemah ingatan pun bisa
melakukan pekerjaan ini.
19. Anak-anak gadis dan wanita-wanita muda yang kecanduan obat bius (hash-hish, ganja,
morfin, dll) banyak menjadi pelacur untuk mendapatkan uang pembeli obat-obatan
tersebut.
20. Oleh pengalaman-pengalaman traumatis (luka jiwa) dan shock mental misalnya gagal
dalam bercinta atau perkawinan dimadu, ditipu, sehingga muncul kematangan seks
yang terlalu dini dan abnormalitas seks.
21. Ajakan teman-teman sekampung/sekota yang sudah terjun terlebih dahulu dalam dunia
pelacuran.
22. Ada kebutuhan seks yang normal, akan tetapi tidak dipuaskan oleh pihak suami.
Misalnya karena suami impoten,lama menderita sakit, lama tugas ditempat jauh,dll.

Sedangkan, sebab-sebab timbulnya prostitusi di kalangan pria antara lain adalah:


1. Nafsu kelamin laki-laki menyalurka kebutuhan seks tanpa suatu ikatan.
2. Rasa iseng dan ingin mendapatkan pengalaman relasi seks diluar ikatan perkawinan.
Ingin mencari variasi dalam relasi seks.
3. Istri sedang halangan haid, mengandung tua,atau lama mengidap penyakit, sehingga
tidak mampu melakukan relasi seks.
4. Istri menjadi gila.
5. Ditugaskan di tempat jauh, pindah kerja atau didetasir di tempat lain, dan belum
sempat atau tidak dapat memboyong keluarga.
6. Cacat jasmani, sehingga merasa maluuntuk kawin; lalu menyalurkan kebutuhan-
kebutuhan seksnya pada pelacur.
7. Karena profesinya sebagai penjahat, sehingga tidak memungkinkan membina
keluarga.
8. Tidak mendapat kepuasandalm penyaluran kebutuhan seks dengan istrinya.
9. Tidak perlu bertanggung jawab atau akibatrelasi seks dan dirasakan sebagai lebih
ekonomis. Misalnya, tidak perlu memelihara anak keturunan, tidak perlu membina
rumah tangga dan menjamin kehidupan istri. Namun bisabersenang-senang dalam
lautan asmara dengan macam-macam wanita.

C. Ciri-Ciri dan Fungsi Prostitusi


Pelacur bisa digolongkan dalam dua kategori, yaitu:
a) Mereka yang melakukan profesinya dengan sadar dan suka rela berdasarkan motivasi-
motivasi tertentu.
b) Mereka yang melakukan tugas melacur karena ditawan/dijebak dan dipaksa oleh germo-
germo.

Ciri khas dari pelacur ialah sebagai berikut:


a) Wanita, lawan pelacur ialah gigolo (pelacur pria).
b) Cantik, ayu, rupawan, atraktif menarik baik wajah maupun tubuhnya. Bisa merangsang
selera seks kaum pria.
c) Masih muda.
d) Pakaiannya sangat menyolok, beraneka warna, sering aneh-aneh/eksentrik untuk
menarik perhatian kaum pria.
e) Menggunakan teknik-teknik seksual yang mekanistis, cepat, tanpa melibatkan emosi,
tidak pernah mencapai orgasme, sangat provokatif, dan biasanya dilakukan dengan
kasar.
f) Kerap berpindah-pindah dari tempat/kota satu ke tempat/kota lainnya.
g) Berasal dari strata ekonomi dan strata sosial rendah.
h) 60%-80% dari jumlah pelacur memiliki intelek normal. Kurang dari 5% adalah mereka
yang lemah ingatan. Selebihnya adalah mereka yang ada pada garis-batas intelektual.

Ada pula fungsi pelacuran yang positif sifatnya di tengah masyarakat, yaitu sebagai
berikut:
a. Menjadi sumber pelancar dalam dunia bisnis.
b. Menjadi sumber kesenangan bagi kaum politisi yang harus hidup berpisah dari istri dan
keluarganya. Juga dijadikan alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu.
c. Menjadi sumber hiburan bagi kelompok dan individu yang mempunyai jabatan/pekerjaan
mobil, misalnya: pedangang, sopir-sopir pengemudi, anggota tentara, pelaut, pria-pria
yang single atau baru bercerai, dan sebagainya.
d. Menjadi sumber pelayanan dan hiburan bagi orang-orang cacat.

Jenis Protitusi dan Lokalisasi


Jenis protitusi dapat dibagi menurut aktivitasnya yaitu terdaftar dan terorganisasi, dan
yang tidak terdaftar.
a) Prostitusi yang terdaftar
Pelakunya diawasi oleh bagian vice control dari kepolisian, yang dibantu dan bekerja
sama dengan jawatan sosial dan jawatan kesehatan. Pada umunya mereka dilokalisasi
dalam satu daerah tertentu. Penghuninya secara periodik harus memeriksakan diri pada
dokter atau petugas kesehatan dan mendapatkan suntikan serta pengobatan, sebagai
tindakan kesehatan dan kemanan umum.
b) Prostitusi yang tidak terdaftar.
Termasuk dalam kelompok ini ialah mereka yang melakukan prostitusi secara gelap-
gelapan dan liar, baik secara perorangan maupun dalam kelompok. Perbuatanya tidak
terorganisir, tempatnya pun tidak tertentu karena bisa di sembarang tempat, baik mencari
mangsa sendiri, maupun melalui calo-calo dan panggilan. Mereka tidak mencatatkan diri
kepada yang berwajib, sehingga kesehatanya sangat diragukan, karena belum tentu
mereka itu mau memeriksakan kesehatannya kepada dokter.

Menurut jumlahnya, prostitue dapat dibagi dalam :


a. Prostitue yang beroperasi secara individual merupakan single operator atau
b. Prostitue yang bekerja dengan bantuan organisasi dan sindikat yang teratur rapi. Jadi,
mereka itu tidak bekerja sendirian, akan tetapi diatur melalui satu sistem kerja suatu
organisasi.
Sedang menurut tempat penggolongan atau lokasinya, prostitusi dapat dibagi menjadi:
a. Segregrasi / lokalisasi , yang terisolasi atau terpisah dari kompleks penduduk lainya.
Kompleks ini dikenal sebagai daerah lampu merah, atau petak-petak daerah tertutup.
b. Rumah-rumah panggilan 9 call houses, tempat rendezvous, parlour.
c. Dibalik front organisasi atau di balik bisnis-bisnis terhormat (apotik, salon, anak wayang
sirkus, tempat mandi uap dan tempat pijat).
Lokalisasi itu pada umumnya terdiri ats rumah – rumah kecil yang berlampu merah,
yang di kelola oleh mucikari atau germo. Di tempat tersebut disediakan segala perlengkapan;
tempat tidur, kursi tamu, pakaian dan alat berhias. Juga tersedia macam-macam gadis dengan
tipe karakter dan suku bangsa yang berbeda. Disiplin ditempat-tempat lokalisasi tersebut
diterapkan dengan ketat, misalnya tidak boleh mencuri uang langganan, dilarang merebut
langganan orang lain, tidak boleh mengadakan janji diluar, dilarang memonopoli seorang
langganan dan lain-lain. Wanita-wanita pelacur itu harus membayar pajak rumah dan pajak
obat-obatan, sekaligus juga uang kemanan agar mereka terlindung dan terjamin identitasnya.
Tujuan dari lokalisasi ialah :
a. Untuk menjauhkan masyarakat umum, terutama anak-anak puber dan adolesens dari
pengaruh-pengaruh immoril dari praktik pelacuran .juga menghindarkan gangguan-gangguan
kaum pria hidung belang terhadap wanita-wanita baik ;
b. Memudahkan pengawasan para wanita tunasusila, terutama mengenai kesehatan dan
kemananya. Memudahkan tindakan preventif dan kuratif terhadap penyakit kelamin;
c. Mencegah pemerasan yang keterlaluan terhadap para pelacur, yang pada umunya selalu
menjadi pihak yang paling lemah;
d. Memudahkan bimbingan mental bagi para pelacur, dalam usaha rehabilitasi dan
resosialisasi. Kadang kala juga diberi pendidikan keterampilan dan latihan-latihan kerja,
sebagai persiapan untuk kembali dalam masyarakat biasa. Khususnya diberikan pelajaran
agama guna memperkuat iman, agar bisa tabah dalam penderitaan ;
e. Kalau mungkin, diusahakan pasangan hidup bagi para wanita tunasusila yang benar-
benar tanggung jawab dan mampu membawanya kejalan yang benar. Selanjutnya, ada dari
mereka itu diikutsertakan dalam usaha transmigrasi, setelah mendapatkan suami,
keterampilan dan kemampuan secara wajar. Usaha ini bisa mendukung program pemerataan
penduduk dan memperluas kesempaan kerja di daerah baru.

D. Pihak yang Terlibat dalam Prostitusi


Gadis-gadis Remaja, Tindak Immoril dan Pelacuran
Statistik menunjukkan, bahwa kurang lebih 75% dari jumlah pelacur adalah wanita-
wanita muda di bawah umur 30 tahun. Mereka pada umumnya memasuki dunia pelcuran
pada usia 13-24 tahun dan yang paling banyak adalah usia 17-21 tahun.
Tindak-tindak immoril seksual, berupa relasi seksual terang-terangan tanpa malu,
sangat kasar, dan sangat provokatif coitus/bersenggama, dan dilakukan dengan banyak pria
(promiskuitas) pada umumnya dilakukan oleh anak-anak gadis remaja penganut seks bebas.
Tindal immoril yang dilakukan oleh gadis-gadis muda itu khususnya disebabkan oleh:
a. Kurang terkendalinya rem-rem psikis.
b. Melemahnya sistem pengontrol diri.
c. Belum atau kurangnya pembentukan karakter pada usia prapuber, usia puber, dan
adolesens.
Immoralitas seksual pada anak-anak gadis ini pada umumnya bukanlah didorong oleh
motif-motif pemuasan nafsu seks seperti pada anak laki-laki umumnya. Akan tetapi, biasanya
didorong oleh pemanjaan diri dan kompensasi terhadap labilitas kejiwaan, karena anak-anak
gadis itu merasa tidak senang dan tidak puas atas kondisi diri sendiri dan situasi
lingkungannya. Rasa tidak puas itu antara lain disebabkan oleh:
a. Menentang kewibawaan pendidik dan berkonflik dengan orang tua atau salah satu
anggota keluarga.
b. Tidak mampu berprestasi di sekolah, konflik dengan kawan-kawan sekolah atau dengan
guru.
c. Merasa tidak puas atas nasib sendiri atau karena lingkungan rumah tangga yang buruk.
Misalnya broken home, banyak konflik dan ketegangan, lingkungan yang tidak memberikan
kehangatan dan kasih sayang.
d. Kekacauan kepribadian, mengalami disharmonisasi dan banyak konflik batin yang tidak
bisa diselesaikan.
e. Memberontak terhadap semua bentuk otoritas dan mengikuti kemauan sendiri atau semau
gue.
Adakalanya tindak immoril anak gadis melakukan praktik pelacuran itu distimulasi
oleh Geltungstrieb atau dorongan untuk menuntut hak dan kompensasi, karena dia tidak
pernah merasakan kehangatan, perhatian, dan kasih sayang orang tua atau familinya. Dicari
kompensasi bagi kekosongan hatinya, dengan jalan melakukan intervensi aktif dalam bentuk
relasi seksual yang ekstrem tidak terkendali, alias pelacuran.
Ada pula anak-anak gadis yang melakukan tindak kompensatoris disebabkan oleh
rasa-rasa takut dan kebimbangan. Biasanya mereka itu baru berumur 11 atau 12 tahun, namun
mengaku sudah berusia 17 atau 18 tahun. Maka oleh nafsu petualangan dan ingin
membanggakan diri, anak-anak itu sesumbar dan membual mampu memberikan layanan
seksual yang hebat luar biasa, sebagai kompensasi dari kekerdilan dan rasa rendah diri. Lalu
mereka melakukan praktik pelacuran.
Ringkasannya, sifat-sifat kurang baik anak-anak gadis, misalnya: pemanjaan diri,
nafsu bersenang-senang tanpa kendali, “ijdelheid” atau kesombongan diri, lapar petualangan
seks, gila hormat dan gila pujian, lemah mental terhadap cumbu rayu kaum pria, semua itu
merangsang pergaulan yang bersifat netral menjadi hubungan seksual sungguhan. Tidak lama
kemudian, anak-anak gadis itu terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan immoril dengan
banyak laki-laki, tidak ubahnya dengan perilaku pelacur biasa.
Karena itu, coitus/senggama bagi anak-anak puber dan adolesens itu merupakan perilaku
menggugah nafsu-nafsu seksual yang terlalu dini atau terlalu cepat. Kematangan seks
sebelum waktunya mengakibatkan terganggunya pembentukan karakter dan kepribadian
sehingga kepribadiannya tetap berada pada tingkat primitif.

Fungsi dan Partisipasi Para Pelacur


Disamping efek-efek buruk dan mendemoralisasi yang ditimbulkan oleh pelacuran
(disfungsi dan plecuran), prostitusi juga mempunyai fungsinya, yaitu menjadi sumber
eksploitasi bagi kelompok-kelompok tertentu. Khususnya, mereka itu juga memberikan
partisipasi sosial dan ekonomi.

Partisipasi Sosial
Kurang lebih 30% dari para pelacur– terutama dari kelas menengah dan kelas tinggi—
mempunyai pekerjaan sebagai kedok penutup, misalnya sebagai sekretaris, juru ketik,
pelayang took, bar, disko, rumah makan, resepsionis hotel, pegawai penginapan dan hotel,
dan seterusnya. Pada umumnya, mereka itu membenci pekerjaan atau malas bekerja. Kalau
malam mereka giat bekerja, sedang pagi dan siang hari lebih suka tidur dan bersantai-santai.
Mereka memberikan jasanya dalam bentuk pelayanan seks dan hiburan pengisi waktu kosong
kepadakaum laki-laki iseng, antarlain kepada: kaum pedagang, penjudi, anggota tentara,
pelaut, pengemudi, politisi , dan laik-lain. Juga memberikan cinta dan relasi heteroseksusal
kepada orang cacat dan para penjahat. Banyak pula pelacur yang cantik-cantik dan inteligen
dipakai sebagai alat pelancar dalam dunia bisnis politik dan spionase.
Pelacur-pelacur kelas menengah dan kelas tinggi banyak yang kawin. Mereka itu
kurang promiskuous, karena selalu memilih langganan-langganan yang berduit banyak.
Pelayanan mereka lebih mesra, kurang mekanistis, lebih human, biasanya pelayanannya
merupakan all night date (berkencan semalam suntuk ). Ada pula yang dijadikan gundik atau
istri piaraan oleh satu atau dua orang pejabat penting, pedagang kaya atau politikus terkenal.
Biasanmya mereka disimpan di daerah-daerah suburban (pinggiran,kota, kota satelit) atau di
daerah peristirahatan dengan mendapatkan rumah mewah, lengkap dengan perabot dan mobil,
serta catu bulanan yang tinggi.

Partisipasi Ekonomi
Tidak sedikit sumbangan keuangan yang diberikan para pelacur itu kepada macam-
macam pihak. Khususnya, para mucikari atau madam-masam/mami-mami mendapatkan kira-
kira 1/3-1/2 dari penghasilan bersih para pelacur. Pihak-pihak lain yang ikut mendapatkan
keuntungan ekonomis dari para pelacur antara lain ialah pengemudi –pengemudi taksi dan
tukang-tukang becak, dokter dan mantri-mantri kesehatan, para penegak hukum, hakim,
polisi, pengacara, aborsionis atau ahli menggugurkan kandungan, calo-calo, penjahat-
penjahat, pedagang-pedagang pakaian dan bahan kosmetik, penjual-penjual candu, ganja,
bahan narkotik lainnya dan minuman keras, pengusaha sirkus, pengusaha pusat-pusat
hiburan, penjual alat kontraseptif, dukun-dukun bayi dan lain-lain.
Juga tidak kecil artinya dana sumbangan yang diberikan oleh para wanita tunasusila
itu kepada: gereja, usaha-usaha sosial, panti werda, panti asuhan yatim piatu, yayasan
rehabilitasi orang cacat jasmani dan dana-dana pembangunan dalam bentuk iuran memasuki
daerah lampu merah.
Penyesuaian Diri/Adjusment dan Maladjustment
Opini umum menyatakan bahwa pekerjaan melacurkan diri itu hanya bisa dilakukan
oleh wanita-wanita lemah ingatan, abnormal jiwanya, psikopatik ataupun yang mengalami
demoralisasi berat. Memang tipe-tipe wanita demikian ada cukup banyak terdapat dikalangan
para pelacur. Lagi pula, menurut logika umum, pastilah tidak akan ada seorang wanita normal
yang mau merendahkan diri melakukan pekerjaan asusila sedemikian itu.
Namun, bukti-bukti penilaian kemudian menunjukkan bahwa pelacuran itu
merupakan bentuk penyimpangan sosio-psikologis, yaitu penyimpangan disebabkan faktor-
faktor sosial dan faktor-faktor psikologis (intemalisasi yang keliru). Semakin inteligen,
cerdas-cerdik, semakin tinggi pendidikan,dan semakin enter-prising (giat berusaha) seorang
pelacur, maka semakin jauhlah dia dari atribut psikopatik. Dengan kata lain, dia itu benar-
benar normal, bahakan bisa dikatan supernommal dan cerdik. Maka setiap gadis bisa dan
setiap wanita normal bisa menjadi prostitue atau sengaja menjadikan diri sebagai pelacur.
Sehubungan dengan uraian diatas, tingkah laku immoril dari pelacur itu terutama
sekali ditampilkan oleh simptom-simptom instabilitas jiwanya. Mobilitas profesionalnya bisa
dimakan dengan hasrat-pengembaraannya yang psikopatik dan sifatnya. Keengganannya
bekerja itu identik dengan kemalasan yang abnormal, ketidakacuhan dan “ndableg” tanpa
perasaan susila pada dirinya, bisa disamakandengan gejala schizofrenia atau oligofrenia.
Kondisi para pelacur pada masa sekarang ini agak lebih baik dari kurang lebih
setangah abad yang lalu. Hal pertama disebabkan oleh toleransi masyarakat yang lebih besar
terhadap para pelacur. Kedua, disebabkan oleh kondisi ekonomi masyarakat yang semakin
membaik pada periode kemerdekaan. Ketiga, oleh adanya usaha resosialisasi dari departemen
sosial dan msyarakat sehingga dengan jalan mencarikan pasangan hidup yang permanen, dan
memberikan latihan-latihan kerja/ keterampilan kepada para wanita tunasusila, dengan tujuan
agar mereka bisa kembali hidup wajar ditengah masyarakat biasa.
Menyadari bahwa pekerjaan melacur itu tidak mungkin bisa dilakukan dalam waktu
yang lama, maka sejak awal mula para pelacur itu sudah mulai menabung. Usaha mendeponir
dana bagi masa tua ini mulai dikerjakan sejak usia kurang lebih 14 tahun sampai umur 30
tahunan dan mulai “membeli” seorang suami. Biasanya calon suami ini adalah seorang
petani miskin, tanpa memiliki tanah sendiri atau buruh tani, dan berasal dari daerah asalnya.
Jika kegiatan prostitusi dihentikan, maka dirinya dihantui oleh bayangan kemiskinan,
kelaparan dan penderitaan. Terjadilah konflik-konflik batin yang serius, sehingga tidak jarang
menjelma jadi gangguan mental. Mereka itulah yang dimasukkan dalam kelompok prostitue
marginal.
Gejala khas yang sangat menyolok pada pelacur-pelacur umumnya ialah: mereka itu cepat
menjadi tua dan layu. Adapun sebab-sebabnya ialah sebagai berikut.
1) Mempunyai kebiasaan-kebiasaan buruk. Misalnya makan, tidur, dan bekerja tidak teratur,
sering berpergian dan kurang istirahat
2) Badan menjadi lemas dan lemah, karena bekerja kelewat batas.
3) Bergaul dengan banyak laki-laki kasar, sehingga badannya dimanipulasi serta diremas-remas
dengan kasar, dan dieksploitasi dengan hebat.
4) Sering mendapat penyakit kotor dan terkena infeksi parah, serta beberapa kali mengalami
keguguran. Semua itu mengakibatkan gangguan menstruasi dan mempercepat
kerusakan/kelayuan badan.
5) Banyak minum obat-obatan untuk menjaga kesehatan dan minum-minuman keras
(mengandung kadar alkohol tinggi), sehingga tidak sedikit dari mereka itu menjadi mandul
tidak bisa punya anak.
6) Setelah energinya banyak terkuras dan kecantikannya mulai melayu, kemampuan seksualnya
juga berkurang. Maka penghasilannya juga menjadi semakin menyusut, karena ditinggalkan
para langganan.
7) Pada usia-usia yang kritis yaitu kurang lebih 30 tahun (prostitusi marginal), terjadi banyak
konflik jiwa yang sangat melelahkan lahir-batinnya. Yaitu konflik antara konsepsi diri
sebagai prostitusi dan meneruskan profesi pelacuran, melawan kebutuhan untuk berhenti dan
memperbaiki cara hidupnya.
Banyak wanita tunasusila yang inteligen pada usia kritis itu lalu beralih pekerjaannya
dengan jalan memilih jenis pekerjaan yang lebih ringan. Misalnya menjadi mucikari, dukun
pijat, aborsionis, bakul jamu, dan lain-lain. Sedang mereka yang tidak inteligen dan kurang
mampu mengadakan penyesuaian diri dengan tuntutan umurnya, akan semakin jatuh
tergelincir pada prostitusi tingkat lebih rendahan lagi. Masuk penjara atau mati terlantar dan
kesepian dirumah sakit atau panti werda.
Sebab, pada umumnya masyarakat tidak suka memperkerjakan mereka karena adanya
merk dosa-noda yang tetap melekat seumur hidup dan kurang bisa dipercaya kesusilaan serta
tanggung jawabnya.

E. Akibat-Akibat Prostitusi
Beberapa akibat yang ditimbulkan oleh pelacuran ialah sebagai berikut:
a. Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit. Penyakit yang paling
banyak terdapat ialah syphilis dan gonorrhoe (kencing tanah). Terutama akibat syphilis,
apabila tidak mendapatkan pengobatan yang sempurna, bisa menimbulkan cacat jasmani dan
rohani pada diri sendiri dan anak keturunan. Antara lain ialah (1) congenital syphilis (sipilis
herediter/keturunan) yang menyerang bayi semasih di dalam kandungan, sehingga terjadi
abortus/keguguran atau bayi lahir mati. Jika bayi bisa lahir, biasana kurang bobot, kurang
darah, buta, tuli, kurang inteligensina, defect (rusak cacat) mental dan defect jasmani lainnya.
(2)Syphilitic amentia, yang mengakibatkan cacat mental ringan, retardasi atau lemah ingatan
dan imbisilitas. Sedang yang berat bisa mengakibatkan serangan epilepsy atau ayan,
kelumpuhan sebagian dan total, bisa jadi idiot psikotik, atau menurunkan anak-anak idiocy.
b. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga. Suami-suami yang tergoda oleh pelacur biasana
melupakan fungsinya sebagai kepala keluarga, sehingga keluarga menjadi berantakan.
c. Mendemoralisasi atau memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan khususnya
anak-anak muda remaja pada masa puber dan adolesensi.
d. Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika (ganja, morfin,
heroin, dll).
e. Merusak sendi-sendi moral, susila, hokum dan agama. Terutama sekali menggoyahkan
norma perkawinan, sehingga menyimpang dari adat kebiasaan, norma hokum, agama, karena
digantikan dengan pola pelacuran dan promiskuitas,yaitu digantikan dengan pola pemuasan
kebutuhan sex dan kenikmatan sex yang awut-awutan, murah serta tidak bertanggung jawab.
Bila pola pelacuran ini telah mebudaya, maka rusaklah sendi-sendi kehidupan keluarga yang
sehat.
f. Adanya pengeksploitasian manusia oleh manusia lain. Pada umumnya wanita-wanita
pelacur itu cuma menerima upah sebagian kecil sajadari pendapatan yang harus diterimanya,
karena sebagian besar ahrus diberikan kepada germo, calo-calo, pelindung dan lain-lain.
Dengan kata lain, ada sekelompok manusia benalu yang memeras darah dan keringat para
pelacur ini.
g.Bisa menyebabkan terjadinya disfungsi seksual, misalnya: impotensi, anorgasme,
nymphomania, satyriasis, ejakulasi premature, dan lain-lain.

Reaksi Sosial
Kenyataan membuktikan, bahwa semakin ditekan pelacuran, maka semakin luas
menyebar prostitusi tersebut. Sikap reaktif dari masyarakat luas atau reaksi sosialnya
bergantung pada 4 faktor, yaitu :
a. Derajat penampakan / visibilitas tingkah laku; yaitu menyolok tidaknya perilaku
immoril para pelacur;
b. Besarnya pengaruh yang mendemoralisasi lingkungan sektarnya;
c. Kronis tidaknya komplek tersebut menjadi sumber penyakit kotor syphilis dan gonorhoe
dan penyebab terjadinya abortus serta kematian bayi-bayi;
d. Pola cultural: adat istiadat, norma-norma susila dan agama menentang pelacuran, yang
sifatnya represif dan memaksakan.
e. Reaksi social itu bisa bersifat menolak sama sekali dan mengutuk keras serta
memberikan hukuman berat sampai pada sikap netral , masa bodoh dan acuh serta menerima
dengan baik. Sikap menolak bisa bercampur dengan rasa benci, ngeri, jijik, takut dan marah.
Sedang sikap menerima bisa bercampur dengan rasa senang, memuji-muji, mendorong dan
simpati.

F. Penanggulangan Prostitusi
Prostitusi sebagai masalah sosial sejak sejarah kehidupan manusia sampai sekarang
dan selalu ada pada setiap tingkatan peradaban, perlu ditanggulangi dengan penuh
kesungguhan. Usaha ini sangat sukar melalui proses dan waktu yang panjang, dan
memerlukan pembiayaan yang besar, usaha untuk mengatasi masalah tunasusila ini dapat
dibagi menjadi dua,yaitu:
a. Usaha yang bersifat preventif
b. Tindakan yang bersifat represif dan kuratif.
Usaha yang bersifat preventif diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan untuk mencegah
terjadinya pelacuran. Usaha ini antara lain berupa :
1. penyempurnaan perundang-undangan mengenai larangan atau pengaturan
penyelenggaraan pelacuran.
2. intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan kerohanian, untuk memperkuat
keimanan terhadap nilai-nilai religius dan norma kesusilaan
3. menciptakan bermacam-macam kesibukan dan kesempatan rekreasi bagi anak-anak
puber dan adolesens untuk menyalurkan kelebihan energinya
4. memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita, disesuaikan dengan kodrat dan
bakatnya, serta mendapatkan upah/gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
setiap harinya
5. penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan
keluarga
6. pembentukan badan atau tim koordinasi dari semua usaha penanggulangan pelacuran
yang dilakukan oleh beberapa instansi sekaligus mengikutsertakan potensi masyarakat
lokal untuk membantu melaksanakan kegiatan pencegahan atau penyebaran pelacuran
7. penyitaan terhadap buku-buku dan majalah-majalah cabul, gambar-gambar porno,
film-film biru dan sarana-sarana lain yang merangsang nafsu seks
8. meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya.
Sedang usaha yang represif dan kuratif dimaksudkan sebagai kegiatan untuk
menekan (menghapuskan, menindas) dan usaha menyembuhkan para wanita dari
ketunasusilaannya untuk kemudian membawa mereka ke jalan yang benar.
Usaha represif dan kuratif ini antara lain berupa :
a. Melalui lokalisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi, orang melakukan
pengawasan/kontrol yang ketat demi menjamin kesehatan dan keamanan para prostitue serta
lingkungannya
b. Untuk mengurangi pelacuran, diusahakan melalui aktivitas rehabilitasi dan resosialisasi,
agar mereka bisa dikembalikakan sebagai warga masyarakat yang susila. Rehabilitasi dan
resosialisasi ini dilakukan melalui pendidikan moral dan agama, latihan-latihan kerja dan
pendidikan keterampilan agar mereka bersifat kreatif dan produktif.
c. Penyempurnaan tempat-tempat penampungan bagi para wanita tunasusila terkena
razia;disertai pembinaan yang sesuai dengan bakat dan minat masing-masing;
d. Pemberian suntikan dan pengobatan pada interval waktu tetap untuk menjamin kesehatan
para prostitue dan lingkungannya;
e. Menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan profesi
pelacuran dan mau memulai hidup susila;
f. Mengadakan pendekatan terhadap pihak keluarga para pelacur dan msyarakat asal mereka
agar mereka mau menerima kembali bekas-bekas wanita tunasusila itu mengawali hidup
baru;
g. Mencarikan pasangan hidup yang permanen/suami bagi para wanita tunasusila untuk
membawa mereka ke jalan yang benar,
h. Mengikutsertakan ex-WTS (bekas wanita tuna susila) dalam usaha transmigrasi, dalam
rangka pemerataan penduduk di tanah air dan perluasan kesempatan kerja bagi kaum wanita.

G. Hubungan Pancasila dengan Prostitusi


Pemahaman nilai sila-sila pancasila.
Dalam rangka mengurani dan memberantas perdagangan manusia di Indonesia hal
utama yang harus kita tanamkan di hati kita sebagai seorang warga Negara Indonesia yang
mengerti dan memahami tentang arti penting dan berharganya suatu kehidupan yang tidak
bisa di tukar dengan apapun. Maka pemahaman nilai sila ke-2 dan ke-5 pancasila lah yang
harus kita tekankan nilai dan artinya di jiwa, hati dan raga kita tentunya demi mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tanpa adanya pelanggaran-pelanggaran hak
asasi manusia dan exploitasi serta perdagangan manusia di indonesia.

1. Sila ke-2 pancasila yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab.
Yang yang memiliki nilai penting, bahwa Tuhan Yang Maha Esa, yang memiliki
potensi, pikir, rasa, karsa dan cipta. Karena potensi ini manusia mempunyai, menempati
kedudukan dan martabat yang tinggi. Kata adil mengandung makna bahwa suatu keputusan
dan tindakan didasarkan atas ukuran / norma-norma yang obyektif, dan tidak subyektif,
sehingga tidak sewenang-wenang.
Kata beradab berasal dari kata adab, artinya budaya. Jadi adab mengandung arti
berbudaya, yaitu sikap hidup, keputusan dan tindakan yang selalu dilandasi oleh nilai-nilai
budaya, terutama norma sosial dan kesusilaan / moral.Kemanusiaan yang adil dan beradab
mengandung pengertian adanya kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang didasarkan
kepada potensi budi nurani manusia dalam hubungannya dengan norma-norma dan
kebudayaan umumnya.Potensi Aplikasi Nilai Pancasila Sila ke-2 dan ke-5 dalam Memerangi
Perdagangan Manusia di Indonesia. kemanusiaan dimiliki oleh semua manusia di dunia,
tanpa memandang ras, keturunan dan warna kulit, serta bersifat universal

2. Sila ke-5 pancasila yang berbunyi Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Yang yang memiliki nilai penting, bahwa manusia Indonesia menyadari hak dan
kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan soial dalam kehidupan berbangsa dan
bermasyarakat Indonesia. Dalam rangka ini dikembangkan perbuatan luhur yang
mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan. Untuk itu
dikembangkan sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban,
serta menghormati hak-hak orang lain.
Di dalamnya terkandung makna keadilan-sosial (keadilan-socius) atau
pemerataan-bersama bagi seluruh-rakyat (atas dasar keadilan distributif), bukan
keadilan bagi segolongan/pemerintah/penguasa.
Dengan memahami menghayati, serta meaplikasikan sila ke-2 dan ke -5 pancasila
dalam kehidupan kita sehari hari maka kita tidah perlu bersusah payah untuk memberantas
tindak kejahatan perdagangan manusia. Karena nilai moral yang telah kita tanamkan pada diri
kita melalui kedua sila tersebut akan menyadarkan kita bahwa tindakan tersebut melanggar
norma ketentuan yang berlaku d Negara kita Indonesia. Dan saya yakin pengurangan tindak
perdagangan manusia di Indonesia akan lebih mudah terkontrol jika pemerintah dan aparat
jajarannya menyadari pentingnya kehidupan suatu individu. Tentunya dengan tindakan yang
tepat berdasarkan landasan Negara kita yaitu pancasila.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Prostitusi atau pelacuran merupaan salah satu bentuk penyakit masyarakat
yang harus dihentian penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan
perbaikan. Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur
kehidupan manusia itu sendiri. Pelacuran itu selalu ada pada semua Negara
berbudaya, sejak zaman purba sampai sekarang. Senantiasa menjadi masalah sosial
atau menjadi objek urusan hukum dan tradisi. Dengan perkembangan teknologi, turut
berkembang pula pelacuran dalam berbagai bentuk dan tingkatannya.
Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi
impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan terintegrasi dalam bentuk pelampiasan
nafsu-nafsu seks tana kendali dengan banyak orang (promiskuitas), disertai eksploitasi
dan komersialisasi seks yang impersonal tanpa afeksi sifatnya.
Prostitusi sebagai masalah sosial sejak sejarah kehidupan manusia sampai
sekarang dan selalu ada pada setiap tingkatan peradaban, perlu ditanggulangi dengan
penuh kesungguhan. Usaha ini sangat sukar melalui proses dan waktu yang panjang,
dan memerlukan pembiayaan yang besar, usaha untuk mengatasi masalah tunasusila
ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu usaha yang bersifat preventi dan tindakan yang
bersifat represif dan kuratif.
B. Saran
Prostitusi sudah menimbulkan banyak akibat terhadap orang yang terlibat
maupun bagi lingkungan sosialnya. Pemerintah pusat maupun daerah sudah banyak
melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan masalah tersebut. Kita selaku
calon pekerja sosial yang sudah mengetahui tentang masalah sosial ini harus mampu
bersikap tanggap dalam membantu upaya-upaya yang telah dilakukan dalam proses
pencegahan, penanggulangan dan penyembuhan bagi seluruh komponen tentang
prostitusi. Melalui paper ini kami menyarankan agar pembaca dapat menerapkan ilmu
yang ada untuk mengatasi masalah prostitusi di Indonesia. Jika tidak ada yang peduli
terhadap masalah sosial ini, maka prostitusi akan semakin berkembang dan
menyebabkan lebih banyak korban.
DAFTAR PUSTAKA
Kartono, Kartini. 2013. Patologi Sosial Jilid I. Cetakan ke-12. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
https://viedkamedia.wordpress.com/makalah-prostitusi/
http://materiilmuku.blogspot.com/2017/07/makalah-pengertian-prostitusi.html
http://stsarah-ramadhan.blogspot.com/2016/10/makalah-prostitusi.html

Anda mungkin juga menyukai