Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan salah satu sarana yang memegang peranan penting
dalam pembentukan karakter individu. Melalui pendidikan, individu mendapat
berbagai macam pelajaran, ilmu dan wawasan yang sangat luas. Dari individu
yang tidak tahu dan mengerti apa-apa, tapi dengan adanya pendidikan individu
menjadi tahu dan mengerti.
Pendidikan kesehatan reproduksi remaja (KRR) yang dilakukan oleh
sekolah merupakan salah satu upaya untuk membimbing remaja mengatasi
konflik seksualnya. Oleh berbagai pihak, sekolah dan guru dianggap sebagai
pihak yang layak memberikan pendidikan KRR ini. Pihak sekolah dan guru
melaksanakan pendidikan KRR ini dengan memasukkan mated KRR ke dalam
pelajaran Biolagi, Penjaskes, dan Agama, sebagaimana kebijakan yang ditetapkan
Depdiknas tentang strategi pendidikan KRR di sekolah.
Hasil SDKI 2012 KRR menunjukkan bahwa pengetahuan remaja tentang
kesehatan reproduksi belum memadai yang dapat dilihat dengan hanya 35,3%
remaja perempuan dan 31,2% remaja laki-laki usia 15-19 tahun mengetahui
bahwa perempuan dapat hamil dengan satu kali berhubungan seksual. Begitu pula
gejala PMS kurang dikeketahui oleh remaja. Informasi tetnang HIV relatif lebih
banyak diterima oelh remaja, meskipun hanya 9,9% remaja perempuan dan 10,6%
laki-laki memiliki pengetahuan komprehansif mengenai HIV-AIDS.
Oleh karena itu, diperlukan mengetahui integrasi pendidikan kesehatan
reproduksi dalam kurikulum di sekolah untuk dapat meningkatkan pengetahua
remaja tentang kesehatan reproduksinya.

1.2 TUJUAN
Untuk mengetahui integrasi pendidikan kesehatan reproduksi dalam
kurikulum pendidikan dasar dan menengah di Indonesia.
1.2.1 Diketahuinya pendidikan kesehatan
1.2.2 Diketahuinya pendidikan kesehatan reproduksi remaja

1
1.2.3 Diketahuinya integrasi pendidikan kesehatan reproduksi
1.2.4 Diketahuinya pendidikan kesehatan reproduksi dalam kurikulum
pendidikan dasar
1.2.5 Diketahuinya urgensi pendidikan kesehatan di sekolah

2
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 PENDIDIKAN KESEHATAN


Pendidikan kesehatan hakekatnya adalah suatu bentuk intervensi untuk
menciptakanperilaku yang kondusif untuk kesehatan (Notoatmojo, 2003).
Pendidikan kesehatan akan berjalan dengan baik jika dilakukan dalam lingkungan
yang terorganisir seperti lingkungansekolah. Sejak awal tahun 1980-an,
lingkungan sekolah telah menjadi salah satu lokasi kunciprogram pendidikan
kesehatan.
Badan Kesehatan Dunia (World Health Organisation, WHO)bahkan
menekankan bahwa program pendidikan kesehatan sekolah dapat
menunjangpengembangan keterampilan sosial ekonomi siswa, meningkatkan
produtifitas dan kualitashidup yang lebih baik, serta yang terpenting promosi
kesehatan pada siswa sekolah dapatmeningkatkan hasil belajarnya. Secara
eksplisit, pendidikan kesehatan seharusnya bukanhanya mentransfer ilmu
kesehatan (transfer of knowledge), namun juga membangun karakterperilaku yang
sehat (character building). Jika generasi penerus bangsa memiliki perilaku
sehatdan budi pekerti yang baik, maka negara dapat tumbuh dan berkembang
dengan baik pula.Sayangnya, tantangan lingkungan seperti kemajuan teknologi
informasi dan maraknyapornografi yang tidak direspon dengan baik oleh sekolah
mendorong siswa berperilaku tidaksehat seperti kecanduan miras dan narkoba
serta perilaku seks yang menyimpang.
Masyarakat pada umumnya memandang pendidikan kesehatan hanya
berupa kebiasaan makan yang sehat, olahraga teratur, perilaku hygiene yang
bersih dan sehat serta kewaspadaan terhadap zat berbahaya seperti obat terlarang,
rokok dan alkohol.Selain itu, masyarakat juga mengkaitkan pendidikan kesehatan
di sekolah dengan dengan keberadaan perawat sekolah, UKS dan puskesmas.
Anggapan masyarakat tersebut perlu diluruskan.Pendidikan kesehatan
pada hakekatnya adalah suatu kegiatan atau usaha untuk menyampaikan pesan
kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau individu.Dengan harapan bahwa
dengan adanya pesan tersebut, masyarakat, kelompok atau individu dapat

3
memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik.Akhirnya
pengetahuan tersebut diharapkan dapat berpengaruh terhadap perilakunya.
Dengan kata lain, dengan adanya pendidikan tersebut dapat membawa
akibat terhadap perubahan perilaku sasaran. Pendidikan kesehatan bukan hanya
mencakup pengetahuan kesehatan yang penting dan gangguan kesehatan, namun
juga pengembangan keterampilan untuk dapat mempraktekkan hidup sehat sehari-
hari (SHEG/SCCC, 1990).

2.1.1 Tujuan Pendidikan Kesehatan


Pendidikan kesehatan memiliki beberapa tujuan, yaitu memiliki
pengetahuan tentang isu kesehatan, memiliki nilai dan sikap positif terhadap
prinsip hidup sehat, memiliki keterampilan dalam pemeliharaan, pertolongan dan
perawatan kesehatan, memiliki kebiasaan hidup sehat, mampu menularkan
perilaku hidup sehat, peserta didik tumbuh kembang secara harmonis,
menerapkan prinsip-prinsip pencegahan penyakit, memiliki daya tangkal terhadap
pengaruh buruk dari luar, memiliki kesegaran jasmani dan kesehatan yang optimal
(European Network of Health Promoting Schools dikutip dalam Thurston, 2006).

2.1.2 Prinsip Pendidikan Kesehatan


Adapun prinsip pendidikan kesehatan antara lain:
1) Pendidikan kesehatan bukan hanya pelajaran di kelas, tetapi merupakan
kumpulan pengalaman dimana saja dan kapan saja sepanjang dapat
mempengaruhi pengetahuan sikap dan kebiasaan sasaran pendidikan,
2) Pendidikan kesehatan tidak dapat secara mudah diberikan oleh seseorang
kepada orang lain, karena pada akhirnya sasaran pendidikan itu sendiri
yang dapat mengubah kebiasaan dan tingkah lakunya sendiri,
3) Bahwa yang harus dilakukan oleh pendidik adalah menciptakan sasaran
agar individu, keluarga, kelompok dan masyarakat dapat mengubah sikap
dan tingkah lakunya sendiri,
4) Pendidikan kesehatan dikatakan berhasil bila sasaran pendidikan (individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat) sudah mengubah sikap dan tingkah
lakunya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan (Denman, 2002).

4
2.2 PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA
Kelompok remaja yaitu penduduk dalam rentang usia 10 sampai 19 tahun,
di Indonesia memiliki proporsi kurang lebih 1/5 dari jumlah seluruh penduduk. Ini
sesuai dengan proporsi remaja di dunia di mana jumlah remaja diperkirakan 1,2
milyar atau sekitar 1/5 dari jumlah penduduk dunia (WHO, 2003 dalam Dinkes,
2009).
Masa remaja merupakan periode terjadi pertumbuhan dan perkembangan
pesat baik fisik, psikologis maupun intelektual. Pola karakteristik pesatnya
tumbuh kembangn ini menyebabkan remaja di mana pun ia menetap, mempunyai
sifat yang sama yaitu mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai
petualangan dan tantangan serta cenderung berani menanggung risiko atas
perbuatannya tanpa didahului oleh pertimbangan yang matang. Sifat tersebut
dihadapkan pada ketersediaan sarana di sekitarnya yang dapat memenuhi
keingintahuan tersebut.
Faktor-faktor yang menyebabkan perilaku berisiko pada remaja adalah
kondisi lingkungan yang permisif terhadap perilaku berisiko (ketersediaan
fasilitas atau sarana yang mendukung perilaku berisiko, ketiadaan penegak hukum
terkait kesehatan) atau bahkan mendorong perilaku berisiko (melalui informasi
yang salah seperti iklan). Secara rinci terjadinya faktor lingkungan tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Informasi yang merugikan mudah di akses
2. Subtansi merugikan mudah didapat
3. Turunnya nilai-nilai sosial dalam masyarakat
4. Kemiskinan
Perilaku berisiko yang mereka lakukan dapat mengakibatkan terjadinya
hal-hal merugikan seperti kehamilan yang tidak diinginkan, terinfeksi penyakit
menular seksual, terpaparnya tindak kekerasan, serta timbulnya komplikasi akibat
penyalahgunaan narkoba. Semua keadaan tersebut menunjukkan besarnya
masalah kesehatan saat ini dan mengisyaratkan perlunya penanganan dengan
segera melalui pendidikan kesehatan reproduksi yang ditanamkan pada diri
remaja.

5
Sampai saat ini, Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) masih
menimbulkan kontroversi di kalangan pendidik. Beberapa sekolah telah
berinisiatif untuk memberikan pendidikan KRR sebagai bagian integratif
utamanya dalam pembelajaran IPA-Biologi; sekolah lain memasukkan KRR
sebagai muatan lokal atau kegiatan ekstra kurikuler; namun, ada juga sekolah
yang menolak mengakomodir pendidikan KRR dalam kegiatan belajar-
mengajarnya. Terlepas dari kontroversi yang ada, pembelajaran kesehatan
reproduksi idealnya merupakan suatu kolaborasi.

2.3 INTEGRASI PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI


UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas) di gugat ke Mahkamah Konstitusi lantaran tidak mencantumkan pasal
soal kurikulum kesehatan reproduksi. Menurut para pemohon, pengetahuan soal
kesehatan reproduksi sangat diperlukan khususnya bagi usia anak yang
mengalami perubahan biologis dalam dirinya. Mereka menggugat pasal 37 Ayat
(1) huruf h UU Sisdiknas. Pasal ini menyebutkan kurikulum pendidikan dasar dan
menengah wajib memuat semua mata pelajaran mencakup pendidikan jasmani
dan olah raga.
Anak dengan usia 10-18 tahun merupakan masa transisi dari masa anak-
anak ke masa dewasa. Pada masa itu mereka sering kali dihadapkan pada
kebiasaan yang tidak sehat khususnya perilaku seks beresiko. Kemudian materi
materi dan pengetahuan soal kesehatan reproduksi sangat diperlukan dalam usia
tumbuh kembang anak. Dintara kasus yang berhubungan dengan kesehatan
reproduksi adalah kehamilan yang tidak dikehendaki, aborsi, penyakit seks
menular, kekerasan seksual, pencabulan, pernikahan dini, dan potensi terkena
virus HIV/Aids.
Dari data Komnas perlindungan anak pada tahun 2010,mengungkap
terdapat 859 kasus kekerasan seksual terhadap anak.Setelah tahun 2010, tahun
berikutnya angka kekerasan pada anak terus meningkat.Tahun 2011 mencapai
1.455 kasus.Lalu tahun 2012 meningkat lagi mencapai 1.634 kasus.
Berhubungan denga UU no. 36 tahun 2009 tentang kesehatan
menyebutkan bahwa telah menjamin setiap orang berhak memperolah informasi

6
mengenai kesehatan reproduksi.Pendidikan kesehatan reproduksi selama ini masih
dianggap tabu untuk dibahas oleh masyarakat Indonesia, sebagai penganut
budaya timur. Padahal pengetahuan tentang kesehatan reproduksi perlu diberikan
sejak dini. International Conference on Population (ICPD) di Kairo tahun 1994,
menyatakan bahwa kesehatan reproduksi remaja perlu mendapatkan perhatian
khusus secara global, karena pada masa remaja muncul berbagai masalah
kesehatan reproduksi akibat pengetahuan yang diperoleh remaja tentang kesehatan
reproduksi masih minim. Hasil analisis Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat
Depkes dan Kesejahteraan Sosial RI (2010), menunjukkan bahwa kondisi
kesehatan reproduksi di Indonesia dewasa ini masih belum seperti yang
diharapkan, bila dibandingkan dengan keadaan di negara-negara ASEAN lainnya.
Indonesia masih tertinggal jauhdalam aspek kesehatan reproduksi, termasuk
kesehatan reproduksi remaja.
Permasalahan utama yang muncul pada siswa SMA yang sedang berada
pada masa remaja adalah, ketidaktahuan terhadap tindakan yang harus dilakukan
sehubungan dengan perkembangan yang sedang dialami, khususnya masalah
kesehatan reproduksi remaja. Kegiatan seksual menempatkan remaja pada
tantangan resiko terhadap berbagai masalah kesehatan reproduksi. Setiap tahun
sekitar 15 juta remaja berusia 15-19 tahun melahirkan, 4 juta melakukan aborsi,
dan hampir 100 juta terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS) yang dapat
disembuhkan. Secara global 40% dari semua kasus infeksi HIV terjadi pada kaum
muda yang berusia 15-24 tahun. Oleh sebab itu, penyebaran informasi kesehatan
di kalangan remaja, perlu diupayakan secara tepat guna agar dapat memberi
informasi yang benar. Salah satu upaya yang dianggap efektif terutama adalah
pada institusi pendidikan yang paling dekat dengan siswa, yaitu sekolah,
khususnya pada pembelajaran biologi. Pembelajaran biologi di sekolah, yang
membahas tentang sistem reproduksi manusia, seharusnya mempunyai peranan
yang besar untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan reproduksi pada remaja.
Pada masa remaja tubuh dan hormone seksual berkembang pesat yang
ditandai dengan menstruasi pada perempuan dan mimpi basah pada laki-laki yang
biasanya masa ini disebut dengna masa pubertas. Proses ini alamiah dan terjadi
pada seluruh remaja di dunia. Tetapi proses perubahan yang cepat ditambah

7
minimnya informasi mengenai apa yang terjadi pada tubuh remaja tersebut
kadang membuat banyak remaja bingung dan tidak siap ditambah pula banyak
mitos yang beredar, norma sosial dan tekanan teman sebaya yang kuat serta
pornografi yang beredar luas bisa menempatkan remaja menjadi rentan dan
beresiko terhadap kesehatan reproduksi dan seksual, oleh sebab itu mendapatkan
pendidikan kesehatan reproduksi menjadi penting dan menjadi bagian hak remaja.

2.3.1 Tujuan Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja di Sekolah


Sekolah merupakan target pendidikan kesehatan reproduksi yang strategis
mengingat>50% penduduk Indonesia merupakan pelajar, generasi masa depan.
Selain itu, siswa memiliki kehidupan multi komunitas sehingga diharapkan
dengan berperilaku reproduksi sehat, seorang pelajar dapat menjadi role model di
berbagai komunitasnya seperti keluarga, tetangga maupun teman sebaya. Menurut
dr. Nina Surtiretna (1997), pendidikan kesehatan reproduksi berupaya untuk
memberikan pengetahuan tentang fungsi organ reproduksi dengan menanamkan
moral etika serta ajaran agama agar tidak terjadi penyalahgunaan terhadap fungsi
reproduksi tersebut. Intinya adalah pembentukan perilaku reproduksi yang sehat
yaitu keadaan sehat jasmani, psikologi, sosial, yang berhubungan dengan fungsi
dan proses sistem reproduksi.

2.3.2 Topik Pendidikan Kesehatan Reproduksi


Menurut UNESCO, pendidikan kesehatan reproduksi adalah sebuah
pendidikan yang dikembangkan dengan pendekatan yang sesuai dengan usia, peka
budaya dan komprehensif yang mencakup program yang memuat informasi
ilmiah akurat, realistis dan tidak bersifat menghakimi. Pendidikan kesehatan
reproduksi yang komprehensif memberikan kesempatan bagi remaja untuk
megeksplorasi nilai-nilai dan sikap diri serta melatih kemampuan pengambilan
keputusan, komunikasi dan keterampilan penekanan resiko di semua aspek
seksualitas.
Agar pendidikan kesehatan reproduksi yang remaja terima menjadi
lengkap. Ada 7 komponen topic yang harus ada :

8
1. Keadilan dan kesetaraan gender : gender dan jenis kelamin, peran
gender, maskulinitas dan femininitas;, perlindungan
2. Kesehatan reproduksi dan seksual serta HIV-AIDS : memahami IMS
dan HIV, kehamilan, respon seksual, hidup dengan HIV, anatomi,
seksualitas
3. Hak asasi manusia serta hak reproduksi dan seksual :Hak asasi
manusia, kebijakan, hukum dan strucutues, layanan dan sumber daya,
partisipasi, choicejoyable dan konsensual; seks lebih dari hubungan,
biologi dan emosi, masturbasi, hubungan dan komunikasi
4. Aspek positif dari seksualitas :seks harus memenuhi norma-norma dan
nilai-nilai sosial, ketidaksetaraan gender
5. Kekerasan berbasis gender dan seksual : jenis, hak dan hukum, opsi
dukungan, norma masyarakat dan mitos tentang kekuasaan dan
gender; pencegahan; referral
6. Keberagaman : kisaran keanekaragaman, misalnya iman, budaya,
etnis, kemampuan / ketidakmampuan, orientasi seksual, gender,
identitas seksual, status HIV, diskriminasi
7. Hubungan antar manusia : emosi, keintiman (emosional dan fisik),
hak dan tanggung jawab; dinamika kekuasaan; pemaksaan
Kebutuhan terhadap pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual sudah
menjadi isu yang perlu ditangani di tingkat nasional, bukan hanya tanggung jawab
orang tua di lingkungan keluarga. Pendidikan kesehatan reproduksi akan
membantu remaja untuk memiliki informasi yang akurat menyangkut tubuh serta
aspek reproduksi dan seksual secara akurat, memiliki nilai-nilai positif dalam
memandang tubuh serta aspek reproduksi dan seksual dan memiliki ketrampilan
untuk melindungi diri dari resiko-resiko reproduksi dan seksual termasuk
kemampuan memperjuangkan hak-hak remaja untuk sehat.

2.3.3 Peran UKS Dalam Kesehatan Reproduksi Remaja


Usaha kesehatan sekolah (UKS) adalah bagian dari usaha kesehatan pokok
yang menjadi beban tugas puskesmas yang ditujukan kepada sekolah-sekolah
dengan anak beserta lingkungan hidupnya, dalam rangka mencapai keadaan

9
kesehatan anak sebaik-baiknya dan sekaligus meningkatkan prestasi belajar anak
sekolah setinggi- tingginya (Azwar dalam Nasrul, 1998).
Pengertian ini mengandung batasan bahwa usaha kesehatan sekolah adalah
bagian dari usaha kesehatan pokok yang menjadi beban tugas Puskesmas, yang
ditujukan ke pada sekolah-sekolah dengan anak didik beserta lingkungan
hidupnya, dalam rangka mencapai keadaan kesehatan anak yang sebaik-baiknya
dan sekaligus meningkatkan prestasi belajar anak sekolah setinggitingginya. Dari
pengertian ini agar anak memiliki suatu kebiasaan yang baik yaitu terbiasa dengan
kebersihan karena kebersihan adalah pangkal kesehatan. Bila anak tidak
membiasakan bersih maka akan sangat mudah sekali terserang penyakit dan tidak
akan dapat nyaman dalam belajar. Usaha kesehatan sekolah merupakan salah satu
usaha kesehatan pokok yang dilaksanakan oleh puskesmas dan juga usaha
kesehatan masyarakat yang dijalankan disekolah-sekolah dengan anak didik
beserta lingkungan sekolahnya sebagai sasaran utama. Usaha kesehatan sekolah
berfungsi sebagai lembaga penerangan agar anak tahu bagaimana cara menjaga
kebersihan diri, menggosok gigi yang benar, mengobati luka, merawat kuku dan
memperoleh pendidikan seks yang sehat (Effendi, 2009).
Pada penelitan Muhammad Arif Budiono dan Muji Sulistyowati mengenai
peran UKS dalam penyampaian informasi kesehatan reproduksi terhadap siswa
SMP di Surabaya, pendapat atau pandangan siswa terhadap peran ruang UKS
dalam menyampaikan informasi terkait dengan kesehatan reproduksi. Siswa
masih banyak menganggap bahwa ruang UKS adalah tempat orang yang sakit
untuk diberi perawatan, meskipun ada juga yang sudah menganggap ruang UKS
adalah tempat untuk merawat, membina dan mencari informasi tentang kesehatan
termasuk kesehatan reproduksi. Di mana sesuai dengan definisi UKS sendiri
yaitu: upaya sekolah untuk membina dan mengembangkan kebiasaan hidup sehat
serta meningkatkan kesehatan murid-murid dan lingkungan sekolah (Pedoman
untuk tenaga kesehatan UKS di tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, dan
Pondok Pesantren). Murid-murid dididik untuk selalu berperilaku bersih dan sehat
sehingga dapat tumbuh sehat jasmani rohani, pandai dan bertanggung awab.
(Modul Pelatihan Dokter Kecil, Dinas Kesehatan Prop. DKI Jakarta, 2002).
Sehingga perlu adanya pemberian pemahaman terhadap peran UKS di sekolah

10
secara keseluruhan baik oleh tim pelaksana UKS maupun petugas di UKS. Masih
banyak juga siswa yang pergi ke ruang UKS hanya untuk berobat, dan beberapa
dari mereka ada yang hanya bergosip, konsultasi, dan mencari informasi
kesehatan reproduksi.
Dalam UKS seharusnya juga ada pelayanan konseling sesuai dengan
bentuk kegiatan UKS yaitu petugas UKS/ puskesmas ditugaskan untuk membina
kesehatan reproduksi remaja ( Reproduksi dan Pola Asuh) di mana diuraikan
menjadi: penyuluhan kesehatan reproduksi remaja melalui kelompok sebaya dan
pola asuh anak sebagai calon orang tua, konseling dan, Pendidikan Keterampilan
Hidup Sehat (PKHS). (Pedoman untuk tenaga kesehatan UKS di sekolah dasar,
sekolah menengah, dan pondok pesantren, 2011).

2.4 PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI DALAM KURIKULUM


PENDIDIKAN DASAR
Berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi
remaja diatas memerlukan suatu upaya pengembangan program pendidikan
kesehatan reproduksi remaja yang dapat mencakup penyediaan pelayanan klinis,
pemberian informasi akurat, mempertimbangkan kemampuan dan sisi kehidupan
remaja, menjamin program yg cocok atau relevan dg remaja serta utamanya
mendapat dukungan masyarakat. Pendidikan KRR berbasis sekolah merupakan
salah satu alternatif strategi yang tepat karena bisa mencakup semua tantangan
diatas.Pendidikan kesehatan reproduksi remaja (KRR) yang dilakukan oleh
sekolah merupakan salah satu upaya untuk membimbing remaja mengatasi
konflik seksualnya.Oleh berbagai pihak, sekolah dan guru dianggap sebagai pihak
yang layak memberikan pendidikan KRR ini.Pendidikan KRR untuk memberikan
bekal pengetahuan kepada remaja mengenai anatomi dan fisiologi reproduksi,
proses perkembangan janin, dan berbagai permasalahan reproduksi seperti
kehamilan, PMS, HIV/AIDS, KTD dan dampaknya, serta pengembangan perilaku
reproduksi sehat untuk menyiapkan diri melaksanakan fungsi reproduksi yg sehat
(fisik, mental, ekonomi, spiritual).Pendidikan KRR dapat diwujudkan dalam
penyuluhan, bimbingan dan konseling, pencegahan, penanganan masalah yang

11
berkaitan dg KRR termasuk upaya mencegah masalah perinatal yang dapat
dialami oleh ibu dan anak yang dapat berdampak pada anggota keluarga lainnya.
Mengingat pentingnya tujuan pendidikan kesehatan dan tercapainya
sekolah sehat tersebut, sekolah memiliki peran yang penting dalam
mengorganisasikan pendidikan kesehatan di sekolah, termasuk mengupayakan
bagaimana bentuk model dan pengelolaan pendidikan kesehatan yang tepat dan
sesuai untuk kebutuhan anak didiknya. Penelitian Kartika Ratna Pertiwi di
Kabupaten Sleman, Yogyakarta (2007) tentang Urgensi Pendidikan Kesehatan
Reproduksi di Sekolah mendapatkan bahwa anak menghabiskan sebagian besar
waktunya di sekolah dan bahwa anak mempercayai sosok Guru sebagai pemberi
informasi yang benar dan akurat dalam berbagai masalah kesehatan.
Di Indonesia, pengelolaan pendidikan kesehatan sekolah bertumpu pada
suatu wadah yang disebut dengan UKS (Usaha Kesehatan Sekolah), yaitu usaha
membina dan mengembangkan kebiasaan dan perilaku hidup bersih dan sehat
siswa sekolah secara komprehensif dan terpadu.Saat ini, UKS berada di bawah
Kementerian Kesehatan, yang artinya program UKS dikoordinasikan oleh Dinas
Kesehatan melalui Puskesmas setempat.Terdapat tiga program pokok UKS yang
dikenal sebagai Trias UKS, meliputi pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan
dan pemeliharaan lingkungan sekolah yang sehat. Dari ketiga Trias UKS tersebut,
program yang menjadi unggulan adalah pelayanan kesehatan yang meliputi
pemeriksaan kesehatan umum dan kesehatan gigi mulut siswa sekolah yang
dilaksanakan oleh tenaga kesehatan Puskesmas bersama dengan guru UKS terlatih
serta dokter kecil secara berjenjang. Dokter Kecil adalah siswa yang dipilih guru
untuk melaksanakan sebagian usaha pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
terhadap diri sendiri, teman, keluarga, dan lingkungan sekolah.Kebanyakan
peserta yang merupakan guru SD menganggap bahwa UKS merupakan tanggung
jawab Puskesmas setempat dan beranggapan bahwa mereka bukan pelaku utama
dalam mewujudkan sekolah sehat.Anggapan seperti ini perlu diluruskan.
Meskipun saat ini kegiatan UKS berada dalam ranah koordinasi Kementerian
Kesehatan, namun ke depannya, seyogyanya terjalin upaya terpadu lintas program
dan lintas sektoral untuk lebih mengoptimalkan peran sekolah dalam pendidikan

12
kesehatan, dimana sekolah bukan lagi menjadi objek namun menjadi subjek yang
berperan aktif dalam tiap programnya.
Untuk mendapatkan status sebagai Sekolah Sehat, sekolah wajib
mengembangkan, mempertahankan sekaligus meningkatkan keberlangsungan
empat kegiatan pokok Sekolah Sehat yaitu Pendidikan Individu, Sosial dan
Kesehatan (PSHE) termasuk didalamnya :
1. Pendidikan seks dan reproduksi (SRE, Sexual and Reproductive
Education) dan pendidikan mengenai obat-obat terlarang,
2. Kebiasaan Makan Sehat,
3. Aktivitas fisik teratur, dalam hal ini adalah olahraga serta
4. Kesejahteraan dan Kesehatan mental.
Ditilik dari muatannya, PSHE mengajarkan nilai-nilai moral yang saat ini
juga mulai mendapat perhatian di Indonesia. Pendidikan Nasional sesuai dengan
amanat Undang-undang Dasar 1945 bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan membangun manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur,
berkepribadian, serta memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat dan bangsa.
Secara lebih rinci, UU No 20 / 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menegaskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan mengembangkan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Secara eksplisit, pendidikan seharusnya bukan hanya mentransfer ilmu
pengetahuan (transfer of knowledge), namun juga membangun karakter perilaku
yang sehat (character building).Jika generasi penerus bangsa memiliki perilaku
sehat dan budi pekerti yang baik, maka Negara dapat tumbuh kembang dengan
baik pula.
Ruang lingkup pendidikan kesehatan reproduksi antara lain mencakup
struktur fungsi organ reproduksi, tumbuh kembang reproduksi dan pubertas,
siklus menstruasi (reproduksi), fertilisasi, kontrasepsi, aborsi, penyakit yang

13
berhubungan dengan fungsi reproduksi seperti kelainan menstruasi,
penyimpangan perilaku seksual serta penyakit menular seksual (PMS) dan HIV-
AIDS. Diantara materi tersebut yang termuat dalam SKKD Penjaskes yaitu alat
reproduksi, penyimpangan seksual dan cara menjaga diri dari pelecehan seksual,
PMS dan cara menghindarinya, seks bebas dan HIV-AIDS. Materi tersebut dalam
SKKD dimulai dari kelas V sampai kelas XI.

2.4.1 Tingkat Sekolah Dasar


Pokok bahasan kesehatan reproduksi yang termuat dalam SKKD
Penjaskes tingkatSD/MI dapat dilihat pada tabel:

Tingkat Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

Kelas V semester Menerapkan a. Mengenal cara HigieneAlat


1 budaya hidup menjaga Reproduksi
sehat kebersihan alat
Penyimpangan
reproduksi
Seksual
b. Mengenal
berbagai Teknik Bela Diri
bentuk
pelecehan
seksual
c. Mengenal cara
menjaga diri
dari pelecehan
seksual

Kelas VI Menerapkan Mengenal cara Pelecehan Seksual


semester 2 budaya hidup menolak perlakuan
Teknik Bela Diri
sehat pelecehan seksual
Dari tabel, dapat dilihat bahwa untuk tingkat SD/MI yang rerata siswanya
berumur 6-12tahun, muatan materi kesehatan reproduksi dalam SKKD yaitu
higiene alat reproduksi, pelecehan seksual dan cara menjaga diri. Materi ini cukup

14
relevan dengan usia siswa di tingkat tersebut. Namun, dari sisi kecukupan materi,
kompetensi dasar materi tersebut kurang jelas dan belum memadai. Untuk dapat
mengajarkan cara menjaga kebersihan alat reproduksi, tentunya siswa harus lebih
dahulu mengenal alat reproduksinya serta mengetahui perbedaan alat reproduksi
dengan lawan jenisnya.
Di Indonesia saat ini, muatan isi pendidikan kesehatan Sekolah Dasar
tercakup dalam mata pelajaran IPA dan Penjaskes (Pendidikan Jasmani dan
Kesehatan).Karena keterbatasan waktu dengan beban kinerja guru yang saat ini
cukup berat, guru SD pada mata pelajaran tersebut tidak mampu menyampaikan
muatan materi yang seharusnya diajarkan dalam pendidikan kesehatan.Akibatnya,
siswa hanya mendapatkan sedikit informasi mengenai kesehatan dan bukannya
mendapatkan pengetahuan tentang tubuhnya serta gangguan kesehatan yang
berkaitan. Kedua hal tersebut penting untuk membekali mereka sehingga memiliki
perilaku hidup yang bersih dan sehat di sertai materi pelecehan seksualyaitu
pengenalan berbagai bentuk pelecehan seksual serta cara menjaga diri dan
menolakperlakuan tersebut diajarkan secara bertahap yaitu di kelas V semester 1
bersambung ke kelasVI semester 2.
Untuk tingkat SD/MI, SKKD Penjaskes tidak memuat satu materi krusial
yang sangat penting untuk mulai diajarkan di sekolah dasar, yaitu materi
mengenai Pubertas. Masa transisi dari anak-anak ke dewasa ini ditandai dengan
perubahan fisik, psikis dan pematangan fungsi seksual yang sangat cepat. Tanda
pasti pubertas yaitu terjadinya menstruasi pertama (menarche) pada perempuan
dan mimpi basah pada laki-laki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata usia
menarche remaja putri DIY pada tahun 2007 adalah 11 tahun, yang berarti usia
SD kelas V-VI. Apalagi munculnya tanda-tanda seks sekunder yang menyertai
pubertas seperti pembesaran payudara dan menstruasi pada siswa perempua yang
mungkin dapat mengganggu aktifitas mereka dalam berolahraga.

2.4.2 Tingkat Sekolah Menengah Pertama


Pokok bahasan kesehatan reproduksi yang termuat dalam SKKD
Penjaskes tingkatSMP/MTS dapat dilihat pada tabel.

15
Tingkat Standar Kompetensi Dasar Materi
Kompetensi
Kelas VII Menerapkan Memahami Penyakit Menular
semester 2 budaya hidup sehat berbagai penyakit Seksual
menular seksual
(PMS)
Memahami cara
menghindari
penyakit menular
seksual
Kelas VIII Menerapkan Mengenal bahaya Seks Bebas
semester 1 budaya hidup sehat seks bebas
Menolak budaya
seks bebas

Rerata siswa SMP/MTS berusia antara 12 – 15 tahun, yang mana anak


pada usia tersebut bercirikan antara lain memiliki rasa ingin tahu, terikat erat /
solider dengankelompoknya, dan memiliki idola (Piaget dalam Carin, 1989). Usia
tersebut yang juga dikenal dengan tahap remaja dini sangat tepat dan efektif
sebagai sasaran Pendidikan Kesehatan Reproduksi. Fenomena yang amat miris
seperti pornografi, terjangkitnya Penyakit Seks Menular (PMS), HIV / AIDS,
penyimpangan perilaku seks bahkan aborsi akibat kehamilan tak diinginkan
(KTD) bersumber dari rasa ingin tahu yang menggejolak pada usia ini. Oleh
karena itu materi SKKD diatas yaitu PMS dan seks bebas cukup relevan untuk
diberikan pada remaja seusia SMP/MTS ini mengingat kurangnya pengetahuan
dan persepsi yang salah akan kesehatan reproduksi. Selain itu, mereka juga lebih
terhanyut pada mitos-mitos menyesatkan yang berkembang di masyarakat karena
ketiadaan sumber informasi yang benar.
Bagi para siswa SMP ini, pengetahuan mengenai seksualitas manusia
kebanyakan didapatkan lewat lingkaran pergaulan mereka, bahkan di usia yang
masih sangat dini. Sekolah hanya mengajarkan pertemuan dua organ kelamin
yang bagai peristiwa mekanis saja serta penyakit-penyakit yang menghantuinya.

16
Sementara itu, keingintahuan para siswa usia SMP mengenai seksualitas mereka
amatlah besar dan tak jarang mereka mencari sumber pengetahuan lain untuk
memuaskan rasa ingin tahu tersebut; untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan
yang tak mungkin mereka tanyakan pada guru mereka. Karena mereka dianggap
masih polos dan belum tahu apa-apa.
Usia remaja terutama SMP adalah usia yang amat rentan. Perubahan-
perubahan fisik mereka serta diri yang tidak bisa disebut kanak-kanak lagi
seringkali membuat mereka merasa terasing dan cenderung labil sehingga kerap
lebih memercayai teman sepermainan dibanding keluarga atau guru sekolah
mereka sendiri.Mengharapkan anak didik terhindar dari hubungan seks pranikah
dan tidak aman tentulah harapan yang baik, tetapi menutup mata atas pengalaman
dan pengetahuan mereka bukanlah solusi atas permasalahan seksualitas remaja.

2.4.3 Tingkat Sekolah Menengah Akhir


Pokok bahasan kesehatan reproduksi yang termuat dalam SKKD
Penjaskes tingkat SMA/MA dapat dilihat pada tabel.
Tingkat Standar Kompetensi Dasar Materi
Kompetensi
Kelas X semester Menerapkan Menganalisis Seks bebas
2 budaya hidup sehat dampak seks bebas
Memahami cara
menghindari seks
bebas
Kelas XI semester Menerapkan Memahami bahaya
1 budaya hidup sehat HIV/AIDS
Memahami cara
penularan
HIV/AIDS
Memahami cara
menghindari
penularan
HIV/AIDS

17
Dari tabel dapat dilihat bahwa materi kesehatan reproduksi kelas X
semester 2merupakan kelanjutan dari materi di kelas VIII semester 1. Usia
SMA/MA dikatakan merupakan usia remaja lanjut dan fakta di Indonesia
menunjukkan ada 2,6 juta kasus aborsi per tahun yang mana 700.000 kasus
dilakukan oleh remaja berumur kurang dari 20 tahun karena kehamilan tak
dikehendaki (KTD). Hasil penelitian tentang Studi Perilaku KRR dan Persepsi
terhadap Pendidikan Kesehatan Reproduksi pada siswa SMA Negeri di Sleman
tahun 2008 menunjukkan bahwa dari 105 responden, ternyata sebanyak 25%
responden menyatakan setidaknya pernah membaca majalah, nonton film, atau
situs di internet bermuatan pornografi (Pertiwi, 2008). Oleh karena itu materi seks
bebas masih sangat relevan pada tingkat ini. Selain itu, siswa seusia SMA/MA
sudah bisa berpikir lebih matang sehingga kajian materi seks bebas ini bisa lebih
diperdalam sampai tahap analisis lebih lanjut tentang dampak jangka pendek dan
jangka panjangnya. Pokok bahasan yang bisa menjadi bahan diskusi lebih lanjut
seperti prostitusi, child trafficking (penjualan anak di bawah umur dengan tujuan
prostitusi), perilaku seks yang menyimpang seperti penyuka sesama jenis,
pedofilia, gerontofilia dan ekshibitionisme.
Masalah kesehatan reproduksi banyak dialami remaja, khususnya siswa
SMA, seperti kehamilan yang tidak dikehendaki, aborsi, penyakit menular
seksual, dan lain-lain. Permasalahan tersebut umumnya muncul dari
ketidaktahuan siswa terhadap perkembangan fisik yang dialaminya ketika
menginjak masa remaja, sedangkan orang tua dan guru tidak membahas hal
tersebut karena masih dianggap tabu. Kenyataan ini membuat remaja berusaha
mencari informasi tentang seksualitas dari sumber yang belum tentu benar, yang
akhirnya membawa mereka pada tindakan yang salah. Oleh sebab itu, penyebaran
informasi kesehatan kepada remaja harus diupayakan secara tepat guna, agar
dapat memberikan informasi yang benar. Salah satu upaya yang dianggap efektif
terutama adalah perluasan informasi melalui institusi pendidikan yang paling
dekat dengan siswa, yaitu sekolah, khususnya pada pembelajaran biologi. Upaya
yang dapat dilakukan adalah mengintegrasikan pendidikan kesehatan reproduksi
pada pembelajaran biologi di SMA, khususnya melalui penerapan kurikulum

18
2013. Hasil yang diharapkan adalah kesadaran dan kepedulian terhadap kesehatan
reproduksi, sehingga remaja dapat bertindak dengan bijaksana.

2.5 URGENSI PENDIDIKAN KESEHATAN DI SEKOLAH


Jika ditanya, hampir semua guru pasti menyadari bahwa pendidikan
kesehatan adalah hal yang baik untuk diajarkan (HEA, 1993). Apalagi dalam
kurun waktu belakangan ini, perkembangan teknologi informasi yang sedemikian
pesat menyebabkan guru di sekolah menghadapi tantangan perilaku kesehatan
siswa yang berbahaya seperti rokok, alkohol dan zat/minuman memabukkan
lainnya, NAPZA (narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya) serta perilaku
seks yang tidak sehat (Cordingley et al., 2007). Kartika Ratna Pertiwi (2007)
dalam penelitiannya menemukan bahwa guru saat ini konsen pada bagaimana
mengembangkan suatu model pendidikan kesehatan yang up to date dengan
perkembangan globalisasi budaya melalui media teknologi informasi. Mereka
memahami bahwa tantangan kesehatan bukan lagi masalah higienitas, sanitasi
lingkungan atau kebiasaan makan.Perhatian akan perlunya pendidikan kesehatan
yang terstruktur di sekolah juga dating dari orang tua yang khawatir dengan
komunitas pergaulan anak yang dibayang-bayangi pengaruh buruk rokok, alkohol,
NAPZA dan pornografi.
PSHE merupakan perpaduan dari pendidikan kesehatan, pendidikan
karakter dan pendidikan mental yang dirancang untuk membantu anak dan
generasi muda berkembang sebagai individu yang sehat, sebagai anggota keluarga
yang berbakti, serta bagian dari komunitas masyarakat yang membanggakan.
Tujuannya adalah membekali anak dengan pengetahuan, pemahaman, sikap dan
keterampilan praktis untuk berperilaku sehat, aman dan bertanggung jawab saat
ini maupun di masa depan. Fokus kurikulum PSHE adalah pada pengembangan
mental dan sosial serta kesehatan dan kesejahteraan siswa. Sehingga, di sekolah
dasar akan banyak guru yang terlibat seperti satu orang guru coordinator, guru
kelas, guru olahraga dan tutor. Sementara di sekolah menengah, PSHE merupakan
kolaborasi giuru PKn, IPA dan olahraga dengan melibatkan ahli psikologi
perilaku, dokter dan paramedis serta tokoh masyarakat (OFSTED, 2006).

19
Standar pelaksanaan PSHE mensyaratkan sekolah untuk:
1) Menggunakan kerangka kerja pshe dalam kurikulum standar,
2) Memonitor dan mengevaluasi pembelajaran PSHE untuk menjamin
kualitas belajar mengajar,
3) Menunjuk satu orang guru sebagai penanggung jawab dengan memberikan
bekal pelatihan dan dukungan manajemen sekolah,
4) Memiliki kebijakan terkait dengan pendidikan napza dan seks,
keselamatan anak serta pertolongan pertama pada kecelakaan di sekolah
yang telah dikonsultasikan dengan ahli terkait,
5) Melibatkan ahli professional dari luar yang terkait dengan topik tertentu
seperti dokter, paramedis, psikolog, polisi, dan pmi,
6) Memiliki sistem rujukan jika terjadi kecelakaan di sekolah.

20
BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.1.1 Pendidikan kesehatan sangat diperlukan untuk meningkatkan
pengetahuan remaja. Pendidikan kesehatan ini pada akhirnya
bertujuan agar remaja memiliki prilaku positif mengenai
kesehatannya. Pendidikan kesehatan tidaknya hanya di dapatkan
disekolah saja, tetapi juga bisa melali masyarakat maupun teman
sebaya.
3.1.2 Remaja yang berada dalam masa transisi dari anak-anak menjadi
dewasa selalu memiliki rasa keingintahuan yang tinggi tetapi jika
informasi yang diperolehnya keliru, maka dapat menyebabkan remaja
terjerumus ke dalam perilaku yang menyimpang dan dapat
mempengaruhi kesehatan reproduksinya. Oleh karena itu diperlukan
pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja.
3.1.3 Dalam pelaksaan integrasi kesehatan reproduksi di sekolah masih
banyak menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan. Masih
ada pandangan tabu mengenai kesehatan reproduksi. Padahal dengan
adanya integrasi kesehatan reproduksi remaja dapat mejadi faktor
pelindung bagi remaja untuk masalah kesehatan reproduksinya.
3.1.4 Berbagai permasalahan keseharan reproduksi remaja yang ada pada
saat ini, dengan pendidikan KRR berbasis sekolah merupakan salah
satu alternatif strategi yang tepat dalam mengatahi permasalahan
tersebut. Hal ini dapat dilakukan degan cara memasukan materi-materi
kesehatan reproduksi remaja ke dalam kurikulum pembelajaran yang
dilaksanakan di sekolah.
3.1.5 Perilaku kesehatan siswa yang berbahaya seperti rokok, alkohol dan
zat/minuman memabukkan lainnya, NAPZA (narkotika, psikotropika
dan zat adiktif lainnya) serta perilaku seks yang tidak sehat
memerlukan penaganan secara tepat agar tidak semakin meluas dan
berdampak besar bagi generasi penerus

21
3.2 SARAN
Diharapkan kepada mahasiswa benar-benar memahami mengenai integrasi
pendidikan kesehatan reproduksi dalam kurikulum pendidikan dasar dan
menengah di Indonesia, agar pada saat dilapangan dapat menyesuaikan program
kesehatan reproduksi remaja dengan kurikulum yang ada di sekolah. Penelitian
mengenai masalah-masalah yang terkait juga diperlukan.

22
DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Kurikulum 2013SD/MI. Jakarta:


Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Muhammad Arif & Muji Sulistyowati. Artikel Peran UKS (Usaha Kesehatan
Sekolah) dalam Penyampaian Informasi Kesehatan Reproduksi terhadap
Siswa SMP Negeri X di Surabaya. Fakultas Kesehatan Masyarakat :
Universitas Airlangga
Pusat Pengembangan Jasmani. 2007. Pendidikan Kecakapan Hidup Sekolah
Menengah Pertama. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Pusat Pengembangan Jasmani. 2007. Pendidikan Kecakapan Hidup Sekolah
Menengah Atas. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Ratna, Kartika. 2012. Perkembangan Model Pendidikan kesehatan dalam
Kurikulum nasional Sekolah Dasar di Indonesia.Yogyakarta: Universitas
Yogyakarta
,. 2009.Pendidikan Kesehatan reproduksi Remaja Dalam Kurikulum Pelajaran
Anak Tingkat sekolah menengah Pertama dan Menengah Atas.UNFPA
:Jakarta
Rahmawati D. Jurnal Integrasi Pendidikan Kesehatan Reproduksi Pada
pembelajaran Biologi di SMA dengan Penerapan Kurikulum 2013.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.

23

Anda mungkin juga menyukai