Disusun Oleh :
Felia Endah Sari (030.15.076)
Dokter Pembimbing :
dr. Atika Sari, Sp.P
Telah diterima dan disetujui oleh dr. Atika Sari, Sp.P selaku dokter pembimbing
Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSAL dr. Mintohardjo
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat,
karunia serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul “Tuberkulosis Paru pada Penderita HIV”. Penulisan Referat ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat Kepanitiaan Klinik Ilmu Penyakit
Dalam di RSAL dr. Mintohardjo.
Saya sangat berharap referat ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan ilmu pengetahuan kita mengenai Tuberkulosis Paru pada Penderita HIV.
Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam referat ini terdapat kekurangan
dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap adanya kritik,
saran dan masukan demi perbaikan referat yang telah saya buat di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran serta
masukkannya yang membangun.
Semoga referat ini dapat dipahami dan berguna bagi siapapun yang
membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja dalam pengejaan kalimat serta
penyebutan nama tempat, istilah serta nama orang. Wassalammuallaikum, Wr.Wb.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................2
2.1 Definisi TB HIV...................................................................................2
2.2 Epidemiologi........................................................................................3
2.3 Mikrobiologi.........................................................................................4
2.4 Etiologi dan faktor resiko.....................................................................6
2.5 Patofisiologi dan Patogenesis...............................................................7
2.6 Klasifikasi.............................................................................................9
2.7 Penegakkan diagnosis.........................................................................11
2.8 Diagnosis banding..............................................................................20
2.9 Penatalaksanaan..................................................................................22
BAB III KESIMPULAN......................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................32
3
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis yang merupakan kuman berbentuk
batang (basil), kuman ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tahun
1882. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai
organ tubuh lainnya. Menurut hasil penelitian, penyakit tuberkulosis sudah ada
sejak zaman Mesir kuno yang dibuktikan dengan penemuan pada mumi.(1,2)
Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi
TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000
penduduk terinfeksi setiap tahun. Menurut WHO ARTI di Indonesia bervariasi
antara 1-3%. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia,
terjadi pada negara-negara berkembang. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok
usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun).(1)
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk). Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya
tahan tubuh seluler (cellular immunity) dan merupakan faktor risiko paling kuat
bagi yang terinfeksi TB untuk menjadi sakit TB (TB Aktif). Bila jumlah orang
terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan
demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.(1)
Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk
lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Pada tahun 1990-
an, situasi TB didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan
banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang
dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden
countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB
sebagai kedaruratan dunia (global emergency).(1,2)
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Pasien TB dapat
mengeluarkan kuman TB dalam bentuk droplet yang infeksius ke udara pada
waktu pasien TB tersebut batuk (sekitar 3.000 droplet) dan bersin (sekitar 1 juta
droplet). Droplet tersebut dengan cepat menjadi kering dan menjadi partikel yang
sangat halus di udara. Ukuran diameter droplet yang infeksius tersebut hanya
sekitar 1 – 5 mikron. Pada umumnya droplet yang infeksius ini dapat bertahan
dalam beberapa jam sampai beberapa hari. Pada keadaan gelap dan lembab kuman
TB dalam droplet tersebut dapat hidup lebih lama sedangkan jika kena sinar
matahari langsung (sinar ultra-violet) maka kuman TB tersebut akan cepat mati.
(3,4)
2
2.2 Epidemiologi
Epidemi HIV menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi
TB di seluruh dunia yang berakibat meningkatnya jumlah kasus TB di
masyarakat. Pandemi HIV merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TB.
Di Indonesia diperkirakan sekitar 3% pasien TB dengan status HIV positif.
Sebaliknya TB merupakan tantangan bagi pengendalian Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) karena merupakan infeksi oportunistik
terbanyak (49%) pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Indonesia berada pada level epidemi HIV terkonsentrasi (concentrated
epidemic) kecuali Tanah Papua yang termasuk epidemi HIV yang meluas.
Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi
berisiko tinggi yaitu pengguna Napza suntik (penasun), hetero dan homoseksual
(WPS, waria).
Di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan RI hingga akhir
Desember 2010 secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan berjumlah
24.131 kasus dengan infeksi penyerta terbanyak adalah TB yaitu sebesar 11.835
kasus (49%).(3)
Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV di dunia
diperkirakan ada sebanyak 14 juta orang. Sekitar 80% pasien ko-infeksi TB-HIV
tersebut dijumpai di Sub-Sahara Afrika, namun ada sekitar 3 juta pasien ko-
infeksi TB-HIV tersebut terdapat di Asia Tenggara. Dari uraian tersebut di atas,
jelas bahwa epidemi HIV sangatlah berpengaruh pada meningkatnya kasus TB;
sebagai contoh, beberapa bagian dari Sub Sahara Afrika telah memperlihatkan 3-5
kali lipat angka perkembangan kasus notifikasi TB pada dekade terakhir. Jadi,
pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian
HIV. Hal ini berarti bahwa upaya-upaya pencegahan HIV dan perawatan HIV
haruslah juga merupakan kegiatan prioritas bagi pengelola program TB.1,3,9
World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa sebanyak 1,5 juta
orang meninggal karena TB (1.1 juta HIV negatif dan 0.4 juta HIV positif) dengan
rincian 89.000 laki-laki, 480.000 wanita dan 140.000 anak-anak. Pada tahun 2014,
3
kasus TB diperkirakan terjadi pada 9,6 juta orang dan 12% diantaranya adalah
HIV-positif.(3) Pada tahun 2015, jumlah penemuan kasus TB di Indonesia adalah
330.910 kasus. Jumlah tersebut meningkat dari tahun 2014, yaitu sebanyak
324.539 kasus. Kasus terbanyak dilaporkan di provinsi dengan jumlah penduduk
besar, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah (38% dari keseluruhan
kasus di Indonesia). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus pada laki-laki
adalah 1,5 kali dibandingkan pada perempuan. Berdasarkan kelompok umur pada
tahun 2015, terdapat 18,65% penderita berumur 25-34 tahun, 17,33% penderita
berumur 45-54 tahun, dan 17,18% penderita berumur 35-44 tahun.(3,4)
2.3 Mikrobiologi
A. Morfologi dan Struktur Bakteri
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit
melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 –
0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri
dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.
tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa
dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan
dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 –
C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan
dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada
dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan
arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri
M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan
terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam–alkohol.8
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu
komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis
dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah
dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38
kDa, 65 kDa yang memberikan sensitifitas dan spesifisitas yang berfariasi dalam
mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen M.tuberculosis dalam
kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen
4
yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000
a, protein MTP 40 dan lain lain.9
B. Biomolekuler
Genom M. tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan
kandungan guanin (G) dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil pemetaan gen, telah
diketahui lebih dari 165 gen dan penanda genetik yang dibagi dalam 3 kelompok.
Kelompok 1 gen yang merupakan sikuen DNA mikobakteria yang selalu ada
(conserved) sebagai DNA target, kelompok II merupakan sikuen DNA yang
menyandi antigen protein, sedangkan kelompok III adalah sikuen DNA ulangan
seperti elemen sisipan.
Gen pab dan gen groEL masing-masing menyandi protein berikatan posfat
misalnya protein 38 kDa dan protein kejut panas (heat shock protein) seperti
protein 65 kDa, gen katG menyandi katalase-peroksidase dan gen 16SrRNA (rrs)
menyandi protein ribosomal S12 sedangkan gen rpoB menyandi RNA polimerase.
Sikuen sisipan DNA (IS) adalah elemen genetik yang mobile. Lebih dari
16 IS ada dalam mikobakteria antara lain IS6110, IS1081 dan elemen seperti IS
(IS-like element). Deteksi gen tersebut dapat dilakukan dengan teknik PCR dan
RFLP.9
5
2.4.1 Etiologi
Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan
ukuran panjang 1-4/µm dan tebal 0,3-0,6/µm. Sebagian besar dinding kuman
terdiri dari asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan dan arabinoman. Lipid
inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alcohol) sehingga
disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan
kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam
keadaan dingin. Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari
sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit
tuberkulosis menjadi aktif lagi.
Sifat lain dari kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa
kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal
ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian yang
lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit
tuberkulosis.2
2.4.2 Faktor Resiko
Risiko menjadi sakit TB
1. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
2. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata
terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi
sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA
positif.
3. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk).
HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB
menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan
tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta
(oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit
parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV
meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan
TB di masyarakat akan meningkat pula.
6
Pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan:
1. 50% meninggal
2. 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
3. 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular
7
(limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus
(limfadenitis regional). Limfadenitis ini menjadi kompleks primer dengan proses
3 – 8 minggu.(3,4)
Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :
Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini banyak terjadi.
Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi dihilus , keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya
> 5 mm dan ± 10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman
yang dormant.
Berkomplikasi dan menyebar secara :
a) Perkontinuitatum , yakni menyebar ke sekitarnya.
b) Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru
disebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah
sehingga menyebar ke usus
c) Secara limfogen ke organ tubuh lainnya
d) Secara hematogen ke organ tubuh lainnya.(4)
2.6 Klasifikasi
A. Tuberkulosis Paru
8
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,
tidak termasuk pleura.
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi atas:
a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan
satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif.
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinik dan kelainan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif.
2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.
tuberculosis positif.
2. Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe pasien yaitu :
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan
positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi
aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa
kemungkinan :
1) Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan
dahulu antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
2) Infeksi jamur
3) TB paru kambuh
Bila meragukan harap konsul ke ahlinya.
c. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
9
1) Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).
2) Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif
menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
e. Kasus kronik / persisten
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
Catatan:
a. Kasus pindahan (transfer in):
Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan
kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien pindahan tersebut harus
membawa surat rujukan / pindah.
b. Kasus Bekas TB:
1) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto
serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT
adekuat akan lebih mendukung.
2) Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologik.9
10
2.7 Diagnosis
A. Tanda dan Gejala
Gejala klinik
tuberkulosis dapat dibagi menjadi
2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah
paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang
terlibat).
1. Gejala respiratorik
a. Batuk-batuk lebih dari 2 minggu
b. Batuk darah
c. Sesak napas
d. Nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada
saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka
pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
a. Demam
b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun.
3. Gejala tuberkulosis ekstra paru
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan
11
tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat
gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas
& kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih. Di samping itu, dapat juga diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, berkeringat pada malam hari tanpa aktifitas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise dan badan terasa lemas. Gejala sesak
napas dan nyeri dada dapat ditemukan bila terdapat komplikasi (efusi pleura,
pneumotoraks dan pneumonia).
Gejala klinis TB paru pada ODHA sering kali tidak spesifik. Gejala klinis
yang sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan
(lebih dari 10%). Di samping itu, dapat ditemukan gejala lain terkait TB
ekstraparu (TB pleura, TB perikard, TB milier, TB susunan saraf pusat dan TB
abdomen) seperti diare terus menerus lebih dari satu bulan, pembesaran kelenjar
limfe di leher, sesak napas dan lain-lain.(5,6)
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari
organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya
tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya
terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1
& S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki
basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-
kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold
abscess”
12
Gambar 4. Paru : Apeks Lobus Superior dan Apeks Lobus Inferior
C. Pemeriksaan Bakteriologik
1. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi
jarum halus/BJH)
13
2) 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas
foto toraks, kemudian
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif
o bila 3 kali negatif : BTA negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD
(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease) :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
1) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan.
2) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
3) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
4) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).
D. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi:
foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
1. Fibrotik
2. Kalsifikasi
3. Schwarte atau penebalan pleura
E. Pemeriksaan Lain
1. Analisis Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis.
Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji
Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat
sel limfosit dominan dan glukosa rendah.
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan
14
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan
jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu :
a. Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
b. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen
Silverman)
c. Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi,
trans thoracal biopsy/TTB, biopsy paru terbuka).
3. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang
spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua
dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat
pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan
tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
4. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di
Indonesia dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat
bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan
mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji
yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat
memberikan hasil negatif.
15
kematian ODHA. Oleh karena itu,
pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi.
Namun antibiotik perlu diberikan pada ODHA dengan IO (infeksi
oportunistik) yang mungkin disebabkan oleh infeksi bakteri lain bersama atau
tanpa M.tuberculosis. Jadi, maksud pemberian antibiotik tersebut bukanlah
sebagai alat bantu diagnosis TB tetapi sebagai pengobatan infeksi bakteri lain.
Hindarilah penggunaan antibiotik golongan fluorokuinolon karena memberikan
respons terhadap M.tuberculosis dan dapat menimbulkan resistensi terhadap obat
tersebut.
Pemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam mendiagnosis
TB pada ODHA dengan BTA negatif. Namun perlu diperhatikan bahwa gambaran
foto toraks pada ODHA umumnya tidak spesifik terutama pada stadium lanjut .
Jika sarana pemeriksaan biakan dahak tersedia maka ODHA yang BTA negatif,
sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat
membantu untuk konfirmasi diagnosis TB.
Alur diagnosis TB Paru BTA negatif pada ODHA di bawah ini merupakan
langkah kegiatan yang harus dilakukan dalam penegakan diagnosis TB di daerah
16
dengan prevalens HIV tinggi dengan sarana terbatas. Alur diagnosis ini hanya
untuk ODHA yang dicurigai menderita TB. Perlu diperhatikan, alur diagnosis TB
pada ODHA rawat jalan (tanpa tanda bahaya) berbeda dengan pada ODHA rawat
inap (dengan tanda bahaya).(3,5,6,9)
17
2.8 Diagnosis Banding
Penyakit TB Paru maupun TB ekstraparu pada ODHA mempunyai
kemiripan dengan penyakit lain yang mempunyai gejala seperti batuk, demam dan
kadang nyeri dada serta kemiripan gambaran foto toraks. Pneumonia dapat terjadi
sebagai ko-infeksi TB. Pada setiap kasus harus dilakukan pemeriksaan klinis yang
cermat. Lakukan pemeriksaan mikroskopis BTA pada pasien yang batuk selama 2
minggu atau lebih.
Berikut ini adalah beberapa penyakit paru yang sering ditemukan pada ODHA:
1. Pneumonia Bakterial
Pneumonia ini bisa menyerang bayi, usia lanjut, ketergantungan alkohol,
pasien dengan retardasi mental, pasien pascaoperasi, pasien imunokompromais
yang menderita penyakit pernapasan lain atau infeksi virus sangat rentan terhadap
pneumonia bakterial. Bakteri penyebab pneumonia merupakan flora normal pada
saluran napas atas. Pada saat daya tahan tubuh menurun maka bakteri akan
bermultiplikasi dan merusak parenkim paru.
18
Jika terjadi infeksi, sebagian besar parenkim paru terisi cairan dan infeksi
dapat dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah.
Pneumokokus adalah penyebab tersering pneumonia bakterial tersebut.
Pneumonia bakterial didahului dengan infeksi saluran napas atas kemudian terjadi
aspirasi lendir ke saluran napas bagian bawah sehingga menyebabkan bakteri
saluran napas atas menginfeksi parenkim paru.
Gejala klinis pada pneumonia berupa batuk produktif, demam yang dapat
disertai menggigil, takikardia, takipneu sampai sianosis. Pada keadaan
imunokompeten, tubuh mampu mengadakan perlawanan tetapi tidak pada keadaan
imunokompro-mais sehingga gejala klinis yang terjadi tidak spesifik. Pneumonia
bakterial sering menjadi penyebab infeksi sekunder pada ko-infeksi TB-HIV.
Infeksi sekunder yang tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan sepsis. Hal
ini sering ditemukan namun sulit didiagnosis.
2. Sarkoma Kaposi
Sarkoma kaposi ditandai oleh lesi tipikal pada kulit dan membran mukosa
berwarna biru kehitaman. Sarkoma kaposi pada membran mukosa saluran napas
menimbulkan gejala batuk, demam, hemoptysis dan dispnea disertai lesi kulit di
tempat lain. Foto toraks menunjukkan infiltrat nodular difus menyebar dari hilus
atau gambaran efusi pleura. Pemeriksaan sitologi cairan pleura dapat membantu
penegakan diagnosis sarkoma kaposi.
3. Pneumonia Pneumocystis jirovecii (PCP)
Pneumonia Pneumocystis jirovecii pada orang dewasa sering terjadi pada
ODHA dengan stadium klinis 4 (AIDS). Gejala klinis berupa batuk tidak
produktif, demam dan sesak napas progresif.
4. Mycobacterium Avium Complex (MAC)
Manifestasi klinis MAC umumnya berupa demam, keringat malam,
penurunan berat badan, lemah/ fatique dan nyeri abdomen. Manifestasi yang
terlokalisir berupa gejala-gejala limfadenitis servikal atau mesenterikal,
pneumonitis, perikarditis, osteomielitis dan infeksi SSP.
19
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan hepatomegali, splenomegali atau
limfadenopati (di paratrakeal, retroperitoneal dan paraaorta). Pada pemeriksaan
laboratorium dapat ditemukan anemia, peningkatan alkali fosfatase.
5. Infeksi parasit
Infeksi parasit yang sering ditemukan pada ODHA Cryptococcus sp. dan
Nocardia sp. Gejala klinis Cryptococcosis sulit dibedakan dengan gejala klinis TB
paru. Diagnosis Cryptococcosis paru ditegakkan dengan ditemukannya spora
fungi pada apusan dahak.
Gejala klinis Nocardiosis mirip TB paru seperti batuk produktif dapat
disertai darah, demam, mual, malaise, sesak napas, keringat malam tanpa aktifitas,
penurunan nafsu makan dan berat badan, nyeri sendi dan nyeri dada. Pada
pemeriksaan fisis dapat ditemukan ronki basah, suara napas melemah,
limfadenopati, skin rash dan hepatosplenomegali.
Kelainan pada foto toraks sering ditemukan pada lobus atas berupa
kavitas. Organisme penyebab dapat ditemukan secara positif lemah pada
pewarnaan tahan asam. Kecurigaan klinis meningkat dengan ditemukannya abses
otak. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya batang pada sediaan dengan
pewarnaan gram positif.1,6
Diagnosis banding berdasarkan foto toraks
Gambaran foto toraks penyakit selain TB dapat juga memberikan gambaran foto
toraks seperti TB.
20
2.9 Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3
bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari
paduan obat utama dan tambahan.
A. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
1. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
21
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
22
d. TB Paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai
dengan kriteria sebagai berikut :
1) Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan, pengobatan OAT
dilanjutkan sesuai jadwal.
2) Pasien menghentikan pengobatannya 2 bulan:
o Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik tidak aktif /
perbaikan, pengobatan OAT STOP. Bila gambaran radiologik aktif,
lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan
mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti
TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih
kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati
dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.
o Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang
lebih lama. Jika telah diobati dengan kategori II maka pengobatan
kategori II diulang dari awal.
o Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik dan
radiologik positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang sama
Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur resistensi)
terhadap OAT.
e. TB Paru kasus kronik
1) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi,
berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil
uji resistensi (minimal terdapat 3 macam OAT yang masih sensitif dengan
H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat lini 2 seperti
kuinolon, betalaktam, makrolid.
2) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.
3) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan.
4) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
Catatan : TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus
Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT
Dosis (mg) / BB (kg)
23
Obat Dosis
Dosis Dosis yang dianjurkan
Maks
(mg/kgB
Harian Intermitten imum
B/Hari)
(mg/kgBB/Hari (mg/kgBB/Hari) < 40 40-60 > 60
)
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai 750 1000
BB
24
Tabel 4. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2
25
Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Catatan:
a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
26
jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik
untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.
1. Pasien rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien
tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas
atau keluhan lain.
2. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
a. Batuk darah (profus)
b. Keadaan umum buruk
c. Pneumotoraks
d. Empiema
e. Efusi pleura masif / bilateral
f. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
a. TB paru milier
b. Meningitis TB
Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan
indikasi rawat
3. Kriteria Sembuh
1. BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
2. Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan
3. Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif
27
sampai dapat ditoleransi dan setelah itu diberi pengobatan ARV. Keputusan
memulai pengobatan ARV pada pasien dengan pengobatan TB sebaiknya
dilakukan oleh dokter yang telah mendapat pelatihan tatalaksana pasien TB-HIV.
2. Pengobatan TB pada ODHA sedang dalam pengobatan ARV
Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB
dimulai minimal di RS yang petugasnya telah dilatih TB-HIV, untuk diatur
rencana pengobatan TB bersama dengan pengobatan ARV (pengobatan ko-infeksi
TB-HIV). Hal ini penting karena ada banyak kemungkinan masalah yang harus
dipertimbangkan, antara lain: interaksi obat (Rifampisin dengan beberapa jenis
obat ARV), gagal pengobatan ARV, IRIS atau perlu substitusi obat ARV.(3,4,5,6,7)
28
BAB III
KESIMPULAN
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium Tuberculosis yang merupakan kuman berbentuk batang (basil),
kuman ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882. Sebagian
besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
29
yang lama (masa laten klinis) dan pada akhirnya menimbulkan tanda dan gejala
AIDS (Acquired Immunodefficiency Syndrome). Faktor yang mempengaruhi
kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah,
diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
Gejala klinis TB paru pada ODHA (orang dengan HIV AIDS) sering kali tidak
spesifik. Gejala klinis yang sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat
badan yang signifikan (lebih dari 10%). Di samping itu, dapat ditemukan gejala
lain terkait TB ekstraparu (TB pleura, TB perikard, TB milier, TB susunan saraf
pusat dan TB abdomen) seperti diare terus menerus lebih dari satu bulan,
pembesaran kelenjar limfe di leher, sesak napas dan lain-lain.
Kategori pengobatan TB tidak dipengaruhi oleh status HIV pada pasien TB. Pada
prinsipnya pengobatan TB pada pasien ko-infeksi TB HIV harus diberikan segera
sedangkan pengobatan ARV dimulai setelah pengobatan TB dapat ditoleransi
dengan baik, dianjurkan diberikan paling cepat 2 minggu dan paling lambat 8
minggu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta, 2011
2. Sejati A, Sofiana L. Faktor-faktor terjadinya TB. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat Ahmad Dahlan
2015;10(2):122-128
3. Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, Dalam : Petunjuk teknis tata laksana klinis
ko-infeksi TB-HIV, Jakarta. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan KeMenkes RI 2012 : 20-26
4. Zulkifli Amin, Asri Bahar, Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
PAPDI, Edisi ke enam, Jakarta 2014 : 863-873
5. WHO, Tuberculosis Care with TB-HIV Co management , Integrated
Management of Adolescent and Adult Illness ( IMAI). 2007 : 14-30
30
6. TB CARE I , International Standards for Tuberculosis Care Edition 3. TB
CARE I. The Haque, 2014: 20-26
7. Henry M, Blumberg M.D, American Journal of Respiratory and Critical
Care medicine. Vol . 167. 2003 : 606
8. Anton Pozniak, MD, FRCP,et all . Tuberculosis : Clinical manifestations
and evaluation of pulmonary Tuberculosis. MD employee of Up To Date
inc. February 2015
9. Timothy R Sterling, MD, et all . Tuberculosisi : Treatment of pulmonary
Tuberculosis in the HIV-infected patient. MD Employee of Up ToDate inc.
June 2015
10. Lee W Riley, MD,et all. Tuberculosis : Natural history, microbiology and
pathogenesis of Tuberculosis. MD Employee of Up To Date inc. March
2015
11. Gary Maartens, MBChB, MMed, et all. Tuberculosis : Epidemiology,
Clinical manifestations and Diagnosis of Tuberculosis in HIV-infected
patients. MD Employee of UpTodate inc. April 2015
31