Anda di halaman 1dari 43

TUTORIAL KLINIK

TONSILITIS

Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kelulusan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga Hidung dan Tenggorokan
Pada Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana

Dosen Pembimbing Klinik :


dr. Arin Dwi Iswarini, Sp.THT-KL., M.Kes

Disusun Oleh :
Chayne Rivar Onthoni
42170194

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN


RUMAH SAKIT BETHESDA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2019
1
BAB I
STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
a. Nama : Ny. IK
b. Usia : 41 Tahun
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Pekerjan : Perawat
e. Alamat : Jl. Kaliurang km 12
f. Tanggal masuk RS : 05 September 2019
g. Jam Masuk RS : 14.00 WIB

B. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Batuk

b. Riwayat penyakit sekarang.


1 Minggu SMRS pasien mengeluhkan batuk, batuk tidak berdahak, pasien
tidak merasa demam, tidak ada flu, tidak ada nyeri menelan, dan pasien juga tidak
mengeluhkan adanya sesak nafas. Pasien memutuskan untuk mengonsumsi rhinofeed
dan kodein, obat tersebut diminum selama tiga hari, dan pasien merasa tidak ada
perbaikan.
7 jam SMRS pasien merasa agak demam saat pasien mau pergi kerja, namun
pasien lupa mengukur suhu tubuhnya sendiri, pasien mengeluhkan masih gatal di
bagian tenggorokan, karena terlalu gatal pasien kadang memaksakan diri untuk batuk
sehingga pasien kadang merasa seperti mau muntah. Pasien juga tidak mengeluhkan
hidung tersumbat, pasien tidak merasa telinga seperti penuh dan juga tidak ada pusing
serta sakit ataupun sulit menelan.

c. Riwayat penyakit dahulu


 Keluhan utama belum pernah sebelumnya
 Riwayat Asma (+), Sinusitis (+), Rhinitis (+), Dermatitis (+)
 Os belum pernah operasi, pernah mondok karena menderita edema cerebri akibat
infeksi CMV
2
 Riwayat Alergi obat (-), Riwayat alergi Debu (+) dan alergi cokelat (+)

d. Riwayat pengobatan
Rhinofeed dan Codein

e. Riwayat keluarga dan lingkungan sekitar


 Ibu pasien menderita asma (+)

f. Lifestyle
Alkohol : (-)
Rokok : (-)

Situasi tempat tinggal :


Pasien tinggal dirumahnya di jalan kaliurang KM 12, pasien tinggal bersama
suami dan kedua anaknya, rumah pasien memiliki ventilasi cukup dan sinar matahari,
lingkungan sekitar pasien juga bersih dan rumah pasien agak masuk ke jalan bagian
dalam dan tidak terlalu bising.

Aktivitas fisik :
Pasien adalah seorang perawat di rumah sakit swasta di jogjakarta, pasien
bertugas di ruangan, jadwal kerja pasien ditentukan oleh rumah sakit dan kegiatan
pasien sehari hari juga sebagai ibu rumah tangga, jadwal kerja pasien adalah 8 jam.

Pola Makan :
Makan teratur 2 – 3 x sehari dengan porsi sedang, cukup daging dan sayur.
Pasien juga suka mengonsumsi gorengan, namun dari keterangan pasien, pasien tidak
terlalu menyukai minuman dingin atau es.

g. Riwayat alergi
Pasien memiliki riwayat alergi debu (+) dan alergi cokelat (+)

h. Riwayat sosial dan ekonomi


Status sosial ekonomi pasien menengah ke atas dengan pembiayaan pemeriksaan
kesehatan menggunakan pembiayaan sendiri (umum)

3
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik 09 Agustus 2019 (pukul 14.11)
a. Status generalis
 Keadaan umum : Baik
 Kesadaran : E4 V5 M6 (Compos Mentis)
Vital Sign
 Tensi : 100/70 mmHg
 Nadi : 76x / menit
 Respirasi : 16x / menit
 Suhu : 36,8 C
 SaO2 : 100%
Status Psikologis : tenang
b. Status Lokalis
 Kepala
Ukuran kepala : Normocephali
Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-),
Leher : pembengkakan Lnn (-)
 Thorax
Inspeksi : dinding dada . IC (-), otot bantu nafas (-)
Palpasi : IC di SIC 5 MCS, ketertinggalan gerak nafas (-), fremitus dbn
Perkusi : sonor (+/+), batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1 dan S2 dbn, rhonki basah kasar (+/+), wheezing (-)
 Abdomen
Inspeksi : Jejas (-), perut datar sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : Peristaltik Usus (+) 8x/menit
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), hepatospleenomegali (-)
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
 Ekstremitas
Ekstremitas atas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)

Ekstremitas bawah : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)

4
c. Status Lokalis THT
 Telinga
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Auricula dbn, deformitas (-) dbn, deformitas (-)
Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada
Tumor Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada
Planum mastoidium Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Glandula limfatik Pembesaran (-) Pembesaran (-)
Canalis Auditorik Eksterna Serumen (+), Hiperemis (-), Serumen (+), Hiperemis (-),
edema (-) edema(-)
Membran Timpani Perforasi (-), Hiperemis (-), Perforasi (-), Hiperemis (+),
cone of light tampak terlihat cone of light tidak tampak
arah jam 5, serumen 40%, tertutup serumen 80%,
retraksi (-) retraksi (-)

 Hidung dan Sinus Paranasal


HIDUNG

Pemeriksaan Dekstra Sinistra

Dorsum nasi Deformitas (-), krepitasi (-), jejas (-), nyeri tekan (-)

Cavum nasi Discharge (-) Discharge (-)

Rhinoskopi anterior

Vestibulum nasi Discharge (-), edema (-), hiperemis (-)

Septum nasi Deviasi septum (+), perforasi (-)

Meatus nasi inferior Edema (-), hiperemis (-), -


discharge (-), perdarahan (-
)
Konka Inferior Edema (-), hiperemis (-) -

Meatus nasi media Edema (-), hiperemis (-), -


discharge (-)

5
Konka media Tidak tampak pada -
pemeriksaan
Rhinoskopi Posterior: Tidak dilakukan

 Oropharynx
Pemeriksaan Dekstra Sinistra

Bibir Sianosis (-), kering (-), laserasi (-)

Mukosa oral Stomatitis (-), warna merah muda

Gusi dan gigi Warna merah muda, karies dentis (-), ulkus (-)

Lingua Simetris, atrofi papil (-), lidah kotor (-), ulserasi (-)

Atap mulut Ulkus (-)

Dasar mulut Ulkus (-) Ulkus (-)

Uvula Uvula tampak normal

Tonsila Palatina T2, hiperemis (-), detritus T4, hiperemis (+), detritus
(-), permukaan tidak rata, (+), permukaan tidak rata,
kripta melebar (-) kripta melebar (+)

Peritonsil Abses (-) Abses (-)

Faring Abses (-)

Pemeriksaan Fisik 10 Juli 2019 (pkl. 14.30 WIB)


a. Status generalis
 Keadaan umum : Buruk
 Kesadaran : E3 V1 M4 (apatis)

Vital Sign
 Tensi : 130/70 mmHg
 Nadi : 73x / min
 Respirasi : 21x / min
6
 Suhu : 36,8 derajat Celcius
 SaO2 : 100% on ventilator
Status Psikologis : tenang
Risiko Jatuh : ya, Berat (Johns Hopkins Assesment Tools, 2007)
Fungsional : bergantung penuh
b. Status Lokalis
 Kepala
Ukuran kepala : Normocephali
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-)
Hidung : sesuai dengan status lokalis THT
Mulut : sesuai dengan status lokalis THT
Telinga : sesuai dengan status lokalis THT
Leher : pembengkakan Lnn (-), terpasang tracheostomi
 Thorax
Inspeksi : dinding dada . IC (-), otot bantu nafas (-)
Palpasi : IC di SIC 5 MCS, ketertinggalan gerak nafas (-), vremitus dbn
Perkusi : batas jantung dbn, lapang paru sonor
Auskultasi : S1 dan S2 dbn, rhonki basah kasar (+/+), wheezing (-)
 Abdomen
Inspeksi : Jejas (-), perut datar sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : Peristaltik Usus (+) 12x/menit
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), hepatospleenomegali (-)
Perkusi : Timpani di seluruh region abdomen
 Ekstremitas
Ekstremitas atas : akral sianotik, CRT > 2 detik, edema (+)
Ekstremitas bawah : akral sianotik, CRT > 2 detik, edema (+)

c. Status Lokalis THT


 Telinga
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Auricula dbn, deformitas (-) dbn, deformitas (-)
7
Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada
Tumor Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada
Planum mastoidium Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Glandula limfatik Pembesaran (-) Pembesaran (-)
Canalis Auditorik Eksterna Serumen (+), Hiperemis (-), Serumen (+), Hiperemis (-),
edema (-) edema (-)
Membran Timpani Perforasi (-), Hiperemis (-), Perforasi (-), Hiperemis (+),
cone of light tampak terlihat cone of light tidak tampak
arah jam 5, serumen 40%, tertutup serumen 80%,
retraksi (-) retraksi (-)

 Hidung dan Sinus Paranasal


HIDUNG

Pemeriksaan Dekstra Sinistra

Dorsum nasi Deformitas (-), krepitasi (-), jejas (-), nyeri tekan (-)

Cavum nasi Discharge (-) Discharge (-)

Rhinoskopi anterior

Vestibulum nasi Discharge (-), edema (-), hiperemis (-)

Septum nasi Deviasi septum (-), perforasi (-)

Meatus nasi inferior Edema (-), hiperemis (-), -


discharge (-), perdarahan (-
)
Konka Inferior Edema (-), hiperemis (-) -

Meatus nasi media Edema (-), hiperemis (-), -


discharge (-)
Konka media Tidak tampak pada -
pemeriksaan
Rhinoskopi Posterior: Tidak dilakukan

8
 Oropharynx
Pemeriksaan Dekstra Sinistra

Bibir Sianosis (-), kering (-), laserasi (-)

Mukosa oral Stomatitis (-), warna merah muda

Gusi dan gigi Warna merah muda, karies dentis (-), ulkus (-)

Lingua Simetris, atrofi papil (-), lidah kotor (-), ulserasi (-)

Atap mulut Ulkus (-)

Dasar mulut Ulkus (-) Ulkus (-)

Uvula Uvula tampak normal

Tonsila Palatina T2, hiperemis (-), detritus T2, hiperemis (-), detritus
(-), permukaan tidak rata, (-), permukaan tidak rata,
kripta melebar (-) kripta melebar (-)

Peritonsil Abses (-) Abses (-)

Faring Abses (-)

Pemeriksaan Fisik 11 Agustus 2019 (pkl. 18.50 WIB)


a. Status generalis
 Keadaan umum : Buruk
 Kesadaran : E3 V1 M4 (apatis)
Vital Sign
 Tensi : 135/80 mmHg
 Nadi : 120x / min
 Respirasi : 22x / min
 Suhu : 36,5 derajat Celcius
 SaO2 : 100% on ventilator

Status Psikologis : tenang


Risiko Jatuh : ya, Berat (Johns Hopkins Assesment Tools, 2007)

9
Fungsional : bergantung penuh
b. Status Lokalis
 Kepala
Ukuran kepala : Normocephali
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-)
Hidung : sesuai dengan status lokalis THT
Mulut : sesuai dengan status lokalis THT
Telinga : sesuai dengan status lokalis THT
Leher : pembengkakan Lnn (-), terpasang tracheostomi
 Thorax
Inspeksi : dinding dada . IC (-), otot bantu nafas (-)
Palpasi : IC di SIC 5 MCS, ketertinggalan gerak nafas (-), vremitus dbn
Perkusi : batas jantung dbn, lapang paru sonor
Auskultasi : S1 dan S2 dbn, rhonki basah kasar (+/+), stridor (-)
 Abdomen
Inspeksi : Jejas (-), perut datar sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : Peristaltik Usus (+) 12x/menit
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), hepatospleenomegali (-)
Perkusi : Timpani di seluruh region abdomen
 Ekstremitas
Ekstremitas atas : akral sianotik, CRT > 2 detik, edema (+)
Ekstremitas bawah : akral sianotik, CRT > 2 detik, edema (+)

Pemeriksaan Fisik 12 Agustus 2019 (pkl. 07.05 WIB)


a. Status generalis
 Keadaan umum : Buruk
 Kesadaran : E3 V1 M4 (somnolent)
Vital Sign
 Tensi : 140/90 mmHg
 Nadi : 150x / min
 Respirasi : 15x / min
 Suhu : 36,2 derajat Celcius
 SaO2 : 100% on ventilator

10
Status Psikologis : Tenang
Risiko Jatuh : ya, Berat (Johns Hopkins Assesment Tools, 2007)
Fungsional : bergantung penuh
b. Status Lokalis
 Kepala
Ukuran kepala : Normocephali
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-)
Hidung : sesuai dengan status lokalis THT
Mulut : sesuai dengan status lokalis THT
Telinga : sesuai dengan status lokalis THT
Leher : pembengkakan Lnn (-) terpasang tracheostomi
 Thorax
Inspeksi : dinding dada . IC (-), otot bantu nafas (-)
Palpasi : IC di SIC 5 MCS, ketertinggalan gerak nafas (-), vremitus dbn
Perkusi : batas jantung dbn, lapang paru sonor
Auskultasi : S1 dan S2 dbn, rhonki basah kasar (+/+), wheezing (-)
 Abdomen
Inspeksi : Jejas (-), perut datar sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : Peristaltik Usus (+) 8x/menit
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), hepatospleenomegali (-)
Perkusi : Timpani di seluruh region abdomen
 Ekstremitas
Ekstremitas atas : akral sianotik, CRT > 2 detik, edema (+)
Ekstremitas bawah : akral sianotik, CRT > 2 detik, edema (+)

c. Status Lokalis THT


 Telinga
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Auricula dbn, deformitas (-) dbn, deformitas (-)
Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada
Tumor Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada
Planum mastoidium Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

11
Glandula limfatik Pembesaran (-) Pembesaran (-)
Canalis Auditorik Eksterna Serumen (+), Hiperemis (-), Serumen (+), Hiperemis (-),
edema (-) edema (-)
Membran Timpani Perforasi (-), Hiperemis (-), Perforasi (-), Hiperemis (-),
cone of light tampak terlihat cone of light tidak tampak
arah jam 5, serumen 40%, tertutup serumen 80%,
retraksi (-) retraksi (-)

 Hidung dan Sinus Paranasal


HIDUNG

Pemeriksaan Dekstra Sinistra

Dorsum nasi Deformitas (-), krepitasi (-), jejas (-), nyeri tekan (-)

Cavum nasi Discharge (-) Discharge (-)

Rhinoskopi anterior

Vestibulum nasi Discharge (-), edema (-), hiperemis (-)

Septum nasi Deviasi septum (-), perforasi (-)

Meatus nasi inferior Edema (-), hiperemis (-), -


discharge (-), perdarahan (-
)
Konka Inferior Edema (-), hiperemis (-) -

Meatus nasi media Edema (-), hiperemis (-), -


discharge (-)
Konka media Tidak tampak pada -
pemeriksaan
Rhinoskopi Posterior: Tidak dilakukan

 Oropharynx

12
Pemeriksaan Dekstra Sinistra

Bibir Sianosis (-), kering (-), laserasi (-)

Mukosa oral Stomatitis (-), warna merah muda

Gusi dan gigi Warna merah muda, karies dentis (-), ulkus (-)

Lingua Simetris, atrofi papil (-), lidah kotor (-), ulserasi (-)

Atap mulut Ulkus (-)

Dasar mulut Ulkus (-) Ulkus (-)

Uvula Uvula tampak normal

Tonsila Palatina T2, hiperemis (-), detritus T2, hiperemis (-), detritus
(-), permukaan tidak rata, (-), permukaan tidak rata,
kripta melebar (-) kripta melebar (-)

Peritonsil Abses (-) Abses (-)

Faring Abses (-)

Pemeriksaan Fisik 13 Agustus 2019 (pkl. 14.05 WIB)


d. Status generalis
 Keadaan umum : Buruk
 Kesadaran : E3 V1 M4 (somnolent)
Vital Sign
 Tensi : 100/70 mmHg
 Nadi : 107x / min
 Respirasi : 17x / min
 Suhu : 36,6 derajat Celcius
 SaO2 : 100% O2 NRM 5 liter/ menit
Status Psikologis : Tenang
Risiko Jatuh : ya, Berat (Johns Hopkins Assesment Tools, 2007)
Fungsional : bergantung penuh

13
e. Status Lokalis
 Kepala
Ukuran kepala : Normocephali
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-)
Hidung : sesuai dengan status lokalis THT
Mulut : sesuai dengan status lokalis THT
Telinga : sesuai dengan status lokalis THT
Leher : pembengkakan Lnn (-) terpasang tracheostomi
 Thorax
Inspeksi : dinding dada . IC (-), otot bantu nafas (-)
Palpasi : IC di SIC 5 MCS, ketertinggalan gerak nafas (-), vremitus dbn
Perkusi : batas jantung dbn, lapang paru sonor
Auskultasi : S1 dan S2 dbn, rhonki basah kasar (+/+), wheezing (-)
 Abdomen
Inspeksi : Jejas (-), perut datar sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : Peristaltik Usus (+) 18x/menit
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), hepatospleenomegali (-)
Perkusi : Timpani di seluruh region abdomen
 Ekstremitas
Ekstremitas atas : akral sianotik, CRT > 2 detik, edema (+)
Ekstremitas bawah : akral sianotik, CRT > 2 detik, edema (+)

f. Status Lokalis THT


 Telinga
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Auricula dbn, deformitas (-) dbn, deformitas (-)
Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada
Tumor Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada
Planum mastoidium Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Glandula limfatik Pembesaran (-) Pembesaran (-)
Canalis Auditorik Eksterna Serumen (+), Hiperemis (-), Serumen (+), Hiperemis (-),
edema (-) edema (-)
14
Membran Timpani Perforasi (-), Hiperemis (-), Perforasi (-), Hiperemis (-),
cone of light tampak terlihat cone of light tidak tampak
arah jam 5, serumen 40%, tertutup serumen 80%,
retraksi (-) retraksi (-)

 Hidung dan Sinus Paranasal


HIDUNG

Pemeriksaan Dekstra Sinistra

Dorsum nasi Deformitas (-), krepitasi (-), jejas (-), nyeri tekan (-)

Cavum nasi Discharge (-) Discharge (-)

Rhinoskopi anterior

Vestibulum nasi Discharge (-), edema (-), hiperemis (-)

Septum nasi Deviasi septum (-), perforasi (-)

Meatus nasi inferior Edema (-), hiperemis (-), -


discharge (-), perdarahan (-
)
Konka Inferior Edema (-), hiperemis (-) -

Meatus nasi media Edema (-), hiperemis (-), -


discharge (-)
Konka media Tidak tampak pada -
pemeriksaan
Rhinoskopi Posterior: Tidak dilakukan

 Oropharynx
Pemeriksaan Dekstra Sinistra

Bibir Sianosis (-), kering (-), laserasi (-)

Mukosa oral Stomatitis (-), warna merah muda

Gusi dan gigi Warna merah muda, karies dentis (-), ulkus (-)

15
Lingua Simetris, atrofi papil (-), lidah kotor (-), ulserasi (-)

Atap mulut Ulkus (-)

Dasar mulut Ulkus (-) Ulkus (-)

Uvula Uvula tampak normal

Tonsila Palatina T2, hiperemis (-), detritus T2, hiperemis (-), detritus
(-), permukaan tidak rata, (-), permukaan tidak rata,
kripta melebar (-) kripta melebar (-)

Peritonsil Abses (-) Abses (-)

Faring Abses (-)

Pemeriksaan Fisik 14 Agustus 2019 (pkl. 07.05 WIB)


g. Status generalis
 Keadaan umum : Buruk
 Kesadaran : E3 V1 M4 (somnolent)
Vital Sign
 Tensi : 114/90 mmHg
 Nadi : 110x / min
 Respirasi : 23x / min
 Suhu : 36,8 derajat Celcius
 SaO2 : 97% Binasal kanul 3 liter/ menit
Status Psikologis : Tenang
Risiko Jatuh : ya, Berat (Johns Hopkins Assesment Tools, 2007)
Fungsional : bergantung penuh
h. Status Lokalis
 Kepala
Ukuran kepala : Normocephali
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-)
Hidung : sesuai dengan status lokalis THT
Mulut : sesuai dengan status lokalis THT
Telinga : sesuai dengan status lokalis THT

16
Leher : pembengkakan Lnn (-) terpasang tracheostomi
 Thorax
Inspeksi : dinding dada . IC (-), otot bantu nafas (-)
Palpasi : IC di SIC 5 MCS, ketertinggalan gerak nafas (-), vremitus dbn
Perkusi : batas jantung dbn, lapang paru sonor
Auskultasi : S1 dan S2 dbn, rhonki basah kasar (+/+), wheezing (-)
 Abdomen
Inspeksi : Jejas (-), perut datar sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : Peristaltik Usus (+) 14x/menit
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), hepatospleenomegali (-)
Perkusi : Timpani di seluruh region abdomen
 Ekstremitas
Ekstremitas atas : akral sianotik, CRT > 2 detik, edema (+)
Ekstremitas bawah : akral sianotik, CRT > 2 detik, edema (+)

i. Status Lokalis THT


 Telinga
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Auricula dbn, deformitas (-) dbn, deformitas (-)
Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada
Tumor Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada
Planum mastoidium Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Glandula limfatik Pembesaran (-) Pembesaran (-)
Canalis Auditorik Eksterna Serumen (+), Hiperemis (-), Serumen (+), Hiperemis (-),
edema (-) edema (-)
Membran Timpani Perforasi (-), Hiperemis (-), Perforasi (-), Hiperemis (-),
cone of light tampak terlihat cone of light tidak tampak
arah jam 5, serumen 40%, tertutup serumen 80%,
retraksi (-) retraksi (-)

17
 Hidung dan Sinus Paranasal
HIDUNG

Pemeriksaan Dekstra Sinistra

Dorsum nasi Deformitas (-), krepitasi (-), jejas (-), nyeri tekan (-)

Cavum nasi Discharge (-) Discharge (-)

Rhinoskopi anterior

Vestibulum nasi Discharge (-), edema (-), hiperemis (-)

Septum nasi Deviasi septum (-), perforasi (-)

Meatus nasi inferior Edema (-), hiperemis (-), -


discharge (-), perdarahan (-
)
Konka Inferior Edema (-), hiperemis (-) -

Meatus nasi media Edema (-), hiperemis (-), -


discharge (-)
Konka media Tidak tampak pada -
pemeriksaan
Rhinoskopi Posterior: Tidak dilakukan

 Oropharynx
Pemeriksaan Dekstra Sinistra

Bibir Sianosis (-), kering (-), laserasi (-)

Mukosa oral Stomatitis (-), warna merah muda

Gusi dan gigi Warna merah muda, karies dentis (-), ulkus (-)

Lingua Simetris, atrofi papil (-), lidah kotor (-), ulserasi (-)

18
Atap mulut Ulkus (-)

Dasar mulut Ulkus (-) Ulkus (-)

Uvula Uvula tampak normal

Tonsila Palatina T2, hiperemis (-), detritus T2, hiperemis (-), detritus
(-), permukaan tidak rata, (-), permukaan tidak rata,
kripta melebar (-) kripta melebar (-)

Peritonsil Abses (-) Abses (-)

Faring Abses (-)

Pemeriksaan Fisik 15 Agustus 2019 (pukul 07.00)


d. Status generalis
 Keadaan umum : Buruk
 Kesadaran : E1 V1 M4 (Somnolent)
Vital Sign
 Tensi : 100/70 mmHg
 Nadi : 121x / min
 Respirasi : 36x / min
 Suhu : 36,3 derajat Celcius
 SaO2 : 97% Binasal kanul 3 liter/ menit
Status Psikologis : tenang
Risiko Jatuh : ya, Berat (Johns Hopkins Assesment Tools, 2007)
Fungsional : ketergantungan total
e. Status Lokalis
 Kepala
Ukuran kepala : Normocephali
Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-),
Leher : pembengkakan Lnn (-), terpasang tracheostomi
 Thorax
Inspeksi : dinding dada . IC (-), otot bantu nafas (-)
Palpasi : IC di SIC 5 MCS, ketertinggalan gerak nafas (-), fremitus dbn
Perkusi : sonor (+/+), batas jantung dalam batas normal
19
Auskultasi : S1 dan S2 dbn, rhonki basah kasar (+/+), wheezing (-)
 Abdomen
Inspeksi : Jejas (-), perut datar sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : Peristaltik Usus (+) 8x/menit
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), hepatospleenomegali (-)
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
 Ekstremitas
Ekstremitas atas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)

Ekstremitas bawah : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)

j. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan 31/07/2019 08/08/2019 11/08/ 12/09/ 13/09/ 14/09/ Satuan


Penunjang 2019 2019 2019 2019

PDL

Hb 11,4 (L) 11,4 - - - - g/dL

HCT 33,4 (L) 32,1 (L) - - - - %

AT 131 349 - - - - ribu/mm3

AL 249.000 16.64 (H) - - - - /mm3

Pembekuan
darah
- 9,7 (L) - - - -
PT
- 11,10 - - - -
PT Kontrol
- 28,8 - - - -
APTT
- 25,30 - - - -
APTT
Kontrol

Kadar Protein
serum
- - 4,9 (L) - - -
Protein total
- - 2,7 (L) - - -
Albumin
- - 2,2 - - -
Globulin

20
Fungsi Ginjal

Ureum 30,0 - - - - -

Creatinin 0,88 - - - - -

GDS 259 (H) 255 (H) 150 163 216 276 g/dL

Elektrolit

Na+ 131,9 (H) 144 131,9 - - - mmoL


(L)
K+ 3,77 3,42 - - - mmoL
4,08

Kimia Darah

SGPT (ALT) 37,4 - - - - -

SGOT (AST) 55,3 (H) - - - - -

Fibrinogen - 839,7 (H) - - - -

D - Dimer - 2,78 (H) - - - -

CT SCAN KEPALA (31/07/2019)

21
Kesan : Tanda infark luas lobus dektra cerebellum dan infark di lobus frontalis dektra dan di
paraventrikel lateralis bilateral. Terdapat tanda atrofi serebri.

EKG (31,07/2019) :

Irama Sinus, Takikardia, Normo Axis  sinus Tachycardia

k. Diagnosis
 CVA Infark
 Distress Pernapasan
 DM
 Hipertensi
l. Planning
Plan for Diagnosis
 Foto rontgen thorak AP
 Brain CT dengan kontras
 HbA1C
Plan for Therapy
 Infus RL 20 tpm
 Manitol 4 x 125 ml IV
 Cefoperazone Sulbactam 3 x 1 gram IV
 Methylcobalamin 3 x 1
 Ondansetron 4 mg IV
 Pantoprazole 1 x 40 mg (1 ampul) IV
 Neulin IV
 Novorapid 3 x 4 unit
 Brainact 3 x 500 mg IV
 Sucralfat syrup 3 x 10 ml
 Concord 2,5 1 x 1
 Candesartan 1 x 8 mg
 Levaside 3 x 1
 Nebulizer: Combivent + Flexotide 3 x 1
Plan for Monitoring

22
 Monitoring TTV, GDS setiap pagi, GDS setiap pagi
Prognosis
 Ad vitam : dubia ad malam
 Ad Fungsionam : dubia ad malam
 Ad Sanationam : dubia ad malam

23
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 ANATOMI SISTEM PERNAFASAN


Bagian-bagian sistem pernafasan yaitu Cavum nasi, faring, laring, trakea, karina,
bronchus principalis, bronchus lobaris, bronchus segmentalis, bronchiolus terminalis,
bronchiolus respiratoryus, saccus alveolus, ductus alveolus dan alveoli.
1. Hidung
Tersusun atas tulang dan tulang rawan hialin, kecuali naris anterior yang dindingnya
tersusun atas jaringan ikat fibrosa dan tulang rawan. Permukaan luarnya dilapisi kulit
dengan kelenjar sebasea besar dan rambut. Terdapat epitel respirasi: epitel berlapis
silindris bersilia bersel goblet dan mengandung sel basal. Didalamnya ada konka nasalis
superior, medius dan inferior. Lamina propria pada mukosa hidung umumnya
mengandung banyak pleksus pembuluh darah.
2. Alat penghidu
Mengandung epitel olfaktoria: bertingkat silindris tanpa sel goblet, dengan lamina
basal yang tidak jelas. Epitelnya disusun atas 3 jenis sel: sel penyokong, sel basal dan
sel olfaktoris.
3. Sinus paranasal
Merupakan rongga-rongga berisi udara yang terdapat dalam tulang tengkorak yang
berhubungan dengan rongga hidung. Ada 4 sinus: maksilaris, frontalis, etmoidalis dan
sphenoidalis.
4. Faring
Lanjutan posterior dari rongga mulut. Saluran napas dan makanan menyatu dan
menyilang. Pada saat bernapas udara dihantarkan ke laring. Ada 3 rongga : nasofaring,
orofaring, dan laringofaring.

24
Mukosa pada nasofaring sama dengan organ respirasi, sedangkan orofaring dan
laringofaring sama dengan saluran cerna. Mukosa faring tidak memilki muskularis
mukosa. Lamina propria tebal, mengandung serat elastin. Lapisan fibroelastis menyatu
dengan jaringan ikat interstisiel. Orofaring dan laringofaring dilapisi epitel berlapis
gepeng, mengandung kelenjar mukosa murni.
5. Laring
Organ berongga dengan panjang 42 mm dan diameter 40 mm. Terletak antara faring
dan trakea. Dinding dibentuk oleh tulang rawan tiroid dan krikoid. Muskulus ekstrinsik
mengikat laring pada tulang hyoid. Muskulus intrinsik mengikat laring pada tulang
tiroid dan krikoid berhubungan dengan fonasi. Lapisan laring merupakan epitel
bertingkat silia. Epiglotis memiliki epitel selapis gepeng, tidak ada kelenjar. Fungsi
laring untuk membentuk suara, dan menutup trakea pada saat menelan (epiglotis). Ada
2 lipatan mukosa yaitu pita suara palsu (lipat vestibular) dan pita suara (lipat suara).
Celah diantara pita suara disebut rima glotis. Pita suara palsu terdapat mukosa dan
lamina propria. Pita suara terdapat jaringan elastis padat, otot suara ( otot rangka).
Vaskularisasi: A.V Laringeal media dan Inferior. Inervasi: N Laringealis superior.
6. Trakea
Tersusun atas 16 – 20 cincin tulang rawan. Celah diantaranya dilapisi oleh jaringan
ikat fibro elastik. Struktur trakea terdiri dari: tulang rawan, mukosa, epitel bersilia, jaringan
limfoid dan kelenjar. Berdasarkan letaknya, saluran pernafasan dibagi menjadi dua, yaitu
saluran pernafasan atas dan saluran pernafasan bawah, yang dibatasi oleh cartilago
crichoidea.
Saluran pernafasan bawah dimulai dari bagian bawah cartilage crichoidea, yaitu
bagian distal dari larynx, hingga ke alveolus. Larynx termasuk dalam bagian saluran
pernafasan atas. Larynx memiliki rangka yang disusun oleh cartilage thyroidea, cricoidea,
dan arytenoidea. Cartilago thyroidea adalah penyusun terbesar dari rangka larynx. Secara
anatomis permukaan, cartilage ini nampak sebagai penonjolan Adam’s Apple. Rangka
larynx yang tersusun atas cartilage memungkinkan larynx memiliki susunan yang cukup
kuat dan fleksibel.

25
Gambar 2.1 Cartilago Cricoidea

Terdapat suatu ligament di antara cartilage penyusun larynk. Ligament tersebut


dinamakan sesuai dengan nama cartilage yang dihubungkan, antara lain ligamentum throideum
medianum, lig. Cricothroideum, lig. Cricoaretenoideum.

Gambar 2.2 Cartilago Cricoidea dan Aritenoidea

Pada larynx terdapat ligamentum vocale, suatu ligament yang membentang dari cartilage
aretenoideum di bagian anterior ke cartilage throideum di bagian posterior. Susunan lig. Vocale
ini memungkinkan diproduksinya suara, akibat adanya pergetaran lig. Vocale oleh gerakan udara
yang keluar dan masuk saluran pernafasan.

26
Gambar 2.3 ligamentum penghubung cartilage

Gambar 2.4 ligamentum penghubung cartilage

Trachea adalah bagian dari saluran pernafasan bawah. Trachea memiliki panjang 28-30
cm, dimulai dari bagian distal cartilage crichoidea hingga ke bifucartio trachea setinggi VT4.
Trachea tersusun atas cincin cartilage trachea dan ligamentum anularia, jaringan pengikat yang
menghubungkan cincin-cincin cartilage trachea. Hal ini memungkinkan trachea memiliki sifat
yang cukup kuat, namun tetap fleksibel.

27
Gambar 2.5 : Trachea dan Bronchus
7. Bronchus
Cabang utama trakea disebut bronki primer atau bronki utama. Bronki primer
bercabang menjadi bronki lobar, segmental, subsegmental. Struktur bronkus primer
mirip dengan trakea hanya cincin berupa lempeng tulang rawan tidak teratur. Makin ke
distal makin berkurang, dan pada bronkus subsegmental hilang sama sekali.
8. Bronchiolus
Cabang ke 12 – 15 bronkus. Tidak mengandung lempeng tulang rawan, tidak
mengandung kelenjar submukosa. Otot polos bercampur dengan jaringan ikat longgar.

28
9. Bronchiolus respiratorius
Merupakan peralihan bagian konduksi ke bagian respirasi paru. Lapisan :
epitel kuboid, kuboid rendah, tanpa silia. Mengandung kantong tipis (alveoli).
10. Duktus alveolaris
Lanjutan dari bronkiolus. Banyak mengandung alveoli. Tempat alveoli bermuara.

11. Alveolus
Kantong berdinding sangat tipis pada bronkioli terminalis. Tempat terjadinya
pertukaran oksigen dan karbondioksida antara darah dan udara yang dihirup.
Jumlahnya 200 - 500 juta. Bentuknya bulat poligonal, septa antar alveoli disokong
oleh serat kolagen, dan elastis halus.
Sel epitel terdiri sel alveolar gepeng ( sel alveolar tipe I ), sel alveolar besar (
sel alveolar tipe II). Sel alveolar gepeng ( tipe I) jumlahnya hanya 10% ,
menempati 95
12. Pleura
Membran serosa pembungkus paru. Jaringan tipis ini mengandung serat
elastin, fibroblas, kolagen. Yang melekat pada paru disebut pleura viseral, yang
melekat pada dinding toraks disebut pleura parietal. Ciri khas mengandung
banyak kapiler dan pembuluh limfe. Saraf adalah cabang n. frenikus dan n.
interkostal. [4]

2.2 Distress Pernapasan


a) Definisi
Struktur yang mengatur respirasi tersebut adalah: (1) Paru yang menyediakan
permukaan pertukaran gas, (2) Jalan nafas sebagai penghantar udara keluar masuk paru,
(3) Dinding dada yang bertindak sebagai bellow, mendukung dan melindungi paru, (4)
Otot-otot pernafasan yang menghasilkan energi yang penting untuk pergerakan udara
keluar masuk paru, dan (5) pusat pernafasan dengan reseptor yang sensitif beserta saraf
penghubungnya, yang bertugas mengontrol dan mengatur ventilasi (Papadakos, 2002).
Menurut Kreit dan Rogers (1995) berbagai proses patologis dapat mengenai
setiap komponen fungsional tersebut dan menyebabkan kesulitan bernapas yang dapat
dinilai secara objektif merupakan gawat napas / distres pernapasan. Gejalanya meliputi
sesak napas, napas cepat, dan sianosis (SpO2 menurun). Interaksi sistem

29
kardiopulmoner, saraf dan muskuloskeletal dapat terganggu oleh berbagai penyakit,
pembedahan atau obat anestesi.
Ditinjau dari sisi THT, gawat napas terutama disebabkan karena adanya
sumbatan saluran pernafasan, yaitu saluran pernafasan atas dan saluran pernafasan
bawah. Saluran nafas atas dimulai dari hidung sampai laring, sedangkan saluran nafas
bawah dimulai dari trachea hingga ke bronchus.

b) Etiopatogenesis
Penyebab sumbatan saluran napas dapat beberapa hal, antara lain :
 Saluran nafas atas :
- Corpal
- Tumor
- Kelemahan otot-otot faring
- Kelenjar tonsil dan adenoid
- Neuropati
- Gangguan SSP peranfasan
 Saluran nafas bawah
- Benda asing : eksogen / endogen
- Bronchitis / tracheitis
- Aspirasi amnion pada fetus
- Aneurisma aorta
- Hipertrofi kelenjar throid
- Hypertrofi kelenjar thymus
- Tumor mediastinum
- Corpal di esophagus
- Neuropati
- Gangguan SSP pernafasan

Mekanisme fisiologis dalam mencegah korpal adalah gerakan sillia pada lapisan
epitel yang melindungi mukosa saluran pernafasan, reflex batuk, dan kemampuan
mendeham.
Mukosa saluran pernafasan dilapisi oleh sel pitel kolumner bersillia yang
disertai dengan adanya sel goblet. Sel goblet adalah penghasil mucus yang berguna
untuk menangkap benda asing, sedangkan sel epitel bersillia memiliki peran untuk
mengeluarkan mucus. Jika ada gangguan pada system mucosillia saluran pernafasan,
dapat terjadi retensio mucus / sputum.
Pada faring, laring, trachea, dan jaringan paru dapat ditemukan reflek batuk,
yang berperan membantu pengeluaran benda asing, begitu juga gerakan mendeham.
30
Perbedaan dari kedua mekanisme ini adalah pusat dari rangsangan, dimana reflex batuk
dierankan oleh system saraf otonom sedangkan mendeham merupakan gerakan yang
disadari berpusat pada otak. Pada kedua mekanisme ini, terjadi kinerja sinergis antara
system saraf dan otot sebagai efektor, yaitu saat seeorang terpicu reflex batuk atau
hendak melakukan dehaman, akan terjadi relaksasi dari diaphragm, kontraksi otot perut
dan intercostal sehingga akan timbul tekanan positif yang tinggi dan mendadak.
Tekanan ini berfungsi untuk mengeluarkan corpal yang masuk saluran pernafasan.
Gangguan pada reflex batuk dan mekanisme mendeham dapat menyebabkan
benda asing tetap berada di saluran pernafasan dan mengobstruksi saluran nafas.
Obstruksi saluran nafas dapat terjadi secara langsung korpal menutup saluran
pernafasan, atau secara tidak langsung dengan memicu peradangan pada saluran
pernafasan, sehingga terjadi edema yang menutup saluran pernafasan.
Pada trauma kepala dan leher, dapat terjadi obstruksi jalan napas akibat trauma
laring (merupakan penyebab kematian ke-2 setelah intra kranial). Hal ini karena laring
merupakan daerah relative terbuka, terletak didaerah mandibula, kompleks
sternoklavikula dan bagian belakanganya terdapat tulang servikal. Gejala klinis trauma
laring adalah : deformitas leher, emfisema, nyeri pada palpasi dan krepitasi tulang.
Pada gangguan obstruksi laring, dapat disebabkan beberapa hal antara lain :
 Radang (dfteri dan non difteri)
 Tumor
 Kongenital (langiromalasia, trakeomalasia, lesi anatomic (selaput pita
suara, stenosis, hemangioma), kelumpuhan pita suara
 Paresis nervus rekuren laring
 Trauma laring dan trakea
 Benda asing yang menyumbat laring
Gejala umum obstruksi laring adalah sridror, sesak napas,retraksi (fosa
suprasternal, epigastrium, infraklavikula, intercostal), suara parau (disfonia), sianosis.
Tindakan segera yang dapat dilakukan adalah:
 Laringoskopi indirek : isap secret (membebaskan jalan napas) dan
melihat kelainan
 Laringoskopi indirek : dapat dilakukan pada pasein dewasa dan tidak
terlalu sesak
Stadium dan penatalaksanaan obstruksi laring :

31
I. Terdapat stridor, sedikit retraksi di fosa suprasternal. Pasien tidak
tampak ketakutan. Tatalaksana dengan injeksi kortikostreoid dan
pengawasan ketat.
II. Cekungan makin dalam di fosa suprasternal dan retraksi epigastrium
persiapan trakesotomi
III. Retraksi jelas di fosa suprasternal, epigastrium, infraklavikula, dan
interkosta. Intubasi segera dilakukan atau dirawat diruang ICU dan
dilakukan trakeostomi
IV. Retraksi tambah dalam, wajah ketakutan, kulit pucat kebiruan/ sianosis
 intubasi harus cepat (krikotirotomi) dan beri oksigen. Jika keadaan
membaik maka dilakukan trakeostomi.

Kegawatdaruratan di bidang THT adalah sebgai berikut


1. Benda Asing di Saluran napas
Benda asing yang berasal dari luar tubuh, disebut benda asing eksogen, biasanya
masuk melalui hidung dan mulut sedangkan yang berasal dari dalam tubuh disebut
benda asing endogen. Benda asing eksogen terdiri dari benda padat, cair atau gas.
Benda eksogen padat terdiri dari zat organik, seperti kacang-kacangan(dari tumbuhan),
tulang (dari kerangka binatang), dan zat anorganik seperti paku, jarum, peniti, batu lain-
lain. Benda asing eksogen cair terbagi dalam benda cair bersifat iritatif, seperti zat
kimia, dan benda cair non-iritatif, yaitu dengan ph 7,4. Benda asing endogen dapat
berupa sekret kental, darah dan bekuan darah,nanah krusta cairan amnion, mekonium
dapat masuk kedalam saluran nafas bayi pada saat proses persalinan.
Terdapat bebrapa faktor resiko yang mempermudah terjadinya benda asing kedalam
saluran pernafasan yaitu sebagai berikut:
a. Faktor personal, seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi sosial,
tempat tinggal.
b. Faktor kegagalan mekanisme proteksi normal, misal keadaan tidur,
kesadaran menurun, alkoholisme, dan epilepsi.
c. Faktor fisik yaitu kelainan dan penyakit neurologik.
d. Proses menelan surgical misal tindakan bedah , ekstraksi gigi, dan gigi
molar yang belum tumbuh pada anak umur <4tahun.
e. Faktor kejiwaan, misal emosi dan gangguan psikis.
f. Faktor ukuran dan bentuk serta sifat benda asing.

32
g. Faktor kecerobohan, seperti meletakkan benda asing dimulut, persiapan
makan yang kurang baik , makan dan minum yang tergesa-gesa, makan sambil bermain
pada anak-anak, dan memberikan kacang atau permen pada anak yang gigi molarnya
belum lengkap.
Benda asing mati di hidung cenderung menyebabkan edema dan inflamasi
mukosa hidung, dapat terjadi ulserasi, epistaksis , jaringan granulasi dan dapat berlanjut
menjadi sinusitis. Benda asing hidup menyebabkan reaksi inflamasi dengan derajat
bervariasi dari infeksi lokal sampai destruksi masif tulang rawan dan tulang hidung
dengan membentuk daerah supurasi yang dalam dan berbau.
Gejala sumbatan benda asing di saluran nafas tergantung pada lokasi benda
asing, derajat sumbatan, bentuk dan ukuran benda asing. benda asing yang masuk
melalui hidung dapat tersangkut di hidung, nasofaring, laring, trakea, dan bronkus.
Seseorang yang mengalami aspirasi benda asing akan mengalami 3 stadium:
1. Stadium pertama : gejala permulaan yaitu batuk-batuk hebat secara tiba-
tiba, rasa tercekik, rasa tersumbat ditenggorokan, bicara gagap dan obstruksi jalan
nafas.
2. Stadium kedua : gejala stadium permulaan diikuti oleh interval
asimtomatik hal ini terjadi karena benda asing tersangkut, reflek-reflek akan melemah
dan gejala rangsangan akut menghilang. Stadium ini berbahaya sering menyebabkan
keterlambatan diagnosis dan cenderung mengabaikan kemungkinan aspirasi benda
asing karena gejala dan tanda tidak jelas.
3. Stadium ketiga : telah terjadi gejala komplikasi dengan obstruksi, erosi
atau infeksi sebagai akibat reaksi terhadap benda asing sehingga timbul batuk-batuk,
himoptisis, pneumonia, dan abses paru.
a. Benda asing di hidung
Pada anak sering luput dari perhatian orangtua karena tidak ada gejala dan
bertahan dalam waktu yang lama. Dapat timbul rinolith disekitar benda asing.
Gejala yang paling sering adalah hidung tersumbat , rinorea unilateral dengan
cairan kental dan berbau. Kadang-kadang terdapat rasa nyeri, demam, epistaksis dan
bersin. Pada pemeriksaan tampak edema dengan inflamasi mukosa hidung unilateral
dan dapat terjadi ulserasi. Benda asing biasanya tertutup oleh mukopus, sehingga
disebut sinusitis. Dalam hal demikian bila akan menghisap mukopus haruslah berhati-
hati supaya benda asing itu tidak dapat masuk kelaring, trakea dan bronkus. Benda asing
seperti karet busa, sangat cepat menimbulkan sekret yang berbau busuk.

33
b. Benda asing di orofaring dan hipofaring
Benda asing di orofaring dan hipofaring dapat tersangkut antaralain di tonsil,
dasar lidah, valekula, sinus piriformis yang menimbulkan rasa nyeri pada waktu
menelan (odinofagi) baik makanan maupun ludah. Terutama bila benda asing tajam
seperti tulang ikan, tulang ayam. Untuk memeriksa dan mencari benda itu di dasar
lidah, vanekula dan sinus piriformis diperlukan kaca tenggorokan yang besar.
c. Benda Asing di Laring
d. Benda asing di trakea
Disamping gejala batuk dengan tiba-tiba yang berulang-ulang dengan rasa
tercekik (choking), rasa tersumbat ditenggorokan (gagging), terdapat gejala
patonomomik yaitu audible slap, pappatory thud dan asthmatoid wheeze ( nafas bunyi
saat ekspirasi) . benda asing di trakea yang masih dapat digerakkan, pada saat benda
asing itu sampai di karina, dengan timbulnya batuk, benda asing akan terlempar ke
laring. Sentuhan benda asing dapat terasa merupakan getaran di derah tiroid yang
disebut oleh jackson sebagai palpatory trud atau dapat dapat didengar oleh stetoskop di
daerah tiroid, yang disebut audible slap. Selain itu terdapat juga gejala suara serak,
dispne dan sianosis, tergantung pada besar benda asing serta lokasinya. Gejala
palpatory thud serta audible slap lebih jelas teraba atau terdengar bila pasien tidur
terlentang dengan mulut terbuka saat batuk, sedangkan gejala mengi (asthmatoid
wheeze) dapat didengar pada saat pasien membuka mulut dan tidak ada hubungannya
dengan penyakit asma bronkial.
e. Benda asing di bronkus
Lebih banyak masuk kebronkus kanan karena bronkus kanan hampir
merupakan garis lurus dengan trakea, sedangkan bronkus kiri membuat sudut dengan
trakea. Pasien dengan benda asing di bronkus datang ke rumah sakit kebanyakan berada
pada fase asimtomatik. Pada fase ini keadaan umum pasien masih baik dan foto rontgen
toraks belum memperlihatkan kelainan. Pada fase pulmonum, benda asing berada di
bronkus dan dapat digerakan ke perifer. Pada fase ini udara dapat masuk ke segmen
paru terganggu secara progresif dan pada auskultasi terdengar ekspirasi memanjang
disertai dengan mengi. derajat sumbatan bronkus dan gejala yang ditimbulkannya
bervariasi, tergantung pada bentuk, ukuran, dan sifat benda asing dan dapat timbul
emfisema, atelektasis, drowned lung serta abses paru.
Pada kasus benda asing di saluran nafas dapat dilakukan pemeriksaan radiologik
dan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis. Benda asing yang bersifat

34
radioopak dapat dibuat Ro foto segera setelah kejadian, sedangkan benda asing yang
berasal dari radiolusen ( seperti kacang-kacangan) dibuat Ro setelah 24 jam kejadian,
karena sebelum 24 jam kejadian belum menunjukan gambaran radiologis yang berarti.
Biasanya setelah 24 jam baru tampak tanda atelektasis atau emfisema.
f. Benda asing di dasar lidah
Dapat dilihat dengan kaca tenggorokan yang besar pasien diminta menarik
lidahnya sendiri dan pemeriksa memegang kaca tenggorokan dengan tangan kiri,
sedangkan tangan kiri memegang cunam untuk mengambil benda tersebut. Bila pasien
sangat perasa sehingga sulit dilakukan tindakan, sebelumnya dapat disemprotkan obat
seperti xylocain atau pantokain ( anastetikum).
2. Vertigo
Sedangkan menurut Gowers Kapita Selekta neurologi, 2005, mendefinisikan
vertigo adalah setiap gerakan atau rasa gerakan tubuh penderita atau objek-objek
disekitar penderita yang bersangkutan dengan gangguan sistem keseimbangan
(ekuilibrum).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan penurunaan pendengaran dan kesulitan
dalam berjalan “Tandem” dengan mata tertutup. Berjalan tandem yaitu berjalan dengan
telapak kaki lurus kedepan, jika menapak tumit kaki yang satu menyentuh jari kaki
lainnya dan membentuk garis lurus kedepan.
3. Epistaksis
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang penyebabnya bisa lokal atau
sistemik. Perdarahan bisa ringan sampai serius dan bila tidak segera ditolong dapat
berakibat fatal. Sumber perdarahan biasanya berasal dari bagian depan atau bagian
belakang hidung.
1. Epistaksis ringan biasanya berasal dari bagian anterior hidung,
umumnya mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri.
2. Epistaksis berat berasal dari bagian posterior hidung yang dapat
menimbulkan syok dan anemia serta dapat menyebabkan terjadinya iskemia serebri,
insufisiensi koroner dan infark miokard yang kalau tidak cepat ditolong dapat berakhir
dengan kematian. Pemberian infus dan transfusi darah serta pemasangan tampon atau
tindakan lainnya harus cepat dilakukan. Disamping itu epistaksis juga dapat merupakan
tanda adanya pertumbuhan suatu tumor baik ganas maupun jinak. Ini juga memerlukan
penatalaksanaan yang rinci dan terarah untuk menegakkan diagnosis dan menentukan
modalitas pengobatan yang terbaik.

35
Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan
sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah,
infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti
penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir,
kelainan hormonal dan kelainan kongenital
Epitaksis anterior (depan) dapat berasal dari pleksus kiesselbach atau dari a.
etmoid anterior. Pleksus kieselbach ini sering menjadi sumber epitaksis terutama pada
anak-anak dan biasanya dapat sembuh sendiri. Epitaksis posterior (belakang) dapat
berasal dari a. sfenopalatina dan a. etmoid posterior. Perdarahan biasanya hebat dan
jarang berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi,
arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit jantung. Pemeriksaan yang diperlukan
adalah darah Lengkap dan fungsi hemostasis.
Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir
keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaan lemah sebaiknya setengah
duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus diperhatikan jangan sampai
darah mengalir ke saluran napas bawah. Pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan
dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan tidak bergerak-gerak.
Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian
depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior, terutama pada
anak, dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit,
seringkali berhasil. Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan
dikaustik dengan larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Sesudahnya area tersebut
diberi krim antibiotik.
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan
hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Untuk
menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang
disebut tampon Bellocq. Tampon ini dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat
dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan
sebuah di sisi berlawanan.Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi,
digunakan bantuan kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak
di orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang
tampon Bellocq tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampai benang
keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk
dapat melewati palatum mole masuk ke nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka

36
dapat ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua benang yang keluar dari
hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan nares anterior, supaya tampon
yang terletak di nasofarinf tetap pada tempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut
diikatkan secara longgar pada pipi pasien. Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar
melalui mulut setelah 2-3 hari.

c) Tatalaksana
Langkah awal seorang ottolaringologist dalam menangani gawat napas adalah
menilai airway dengan melakukan pemeriksaan fisik. Adanya stridor menadakan
adanya obstruksi saluran pernafasan. Stridor yang terdengar saat inspirasi menandakan
adanya sumbatan saluran pernafasan pada saluran pernafas atas di atas larynk. Stridor
yang terdengar saat ekspirasi menandakan adanya sumbatan di saluran yang nafas atas
yang letaknya lebih rendah, umunya sumbatan pada trakea. Stridor bifasik dapat
ditemukan jika ada sumbatan di daerah subglotis.
Dasar penatalaksanaan terdiri dari penatalaksaan suportif/non spesifik dan
kausatif/spesifik. Umumnya dilakukan secara simultan antara keduanya
Penatalaksanaan pasien dengan distress pernapasan dapat juga ditinjau
berdasarkan penanganan non-bedah dan penanganan bedah.
Penatalaksanaan non spesifik adalah tindakan yang secara tidak langsung
ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas, yaitu :
 Atasi Hiperkarbia: Perbaiki ventilasi
- Perbaiki jalan nafas. Pada semua pasien gangguan pernapasan harus dipikirkan
dan diperiksa adanya obstruksi jalan napas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan
napas artifisial seperti endotracheal tube (ETT).
- Bantuan Ventilasi: Face mask, ambu bag
- Ventilasi Mekanik
 Fisioterapi dada. Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret, sputum
 Terapi Oksigen
 Atasi hipoksemia. Dapat dengan bantuan obat – obatan inhalasi bronkodilator
(Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik), ekspektoran dan kortikosteroid
Penatalaksanaan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga pengobatan untuk
masing-masing penyakit akan berlainan

37
Pada saat tatalaksana non bedah tidak dapat dilaksanakan, perlu dilaksanakan
tatalaksana bedah untuk mengatasi distress pernapasan. Perimbangkan trakeostomi jika
obstruksi di atas trakea. Tatalaksana bedah yang dilaksanakan oleh seorang
ottolaringologist adalah tracheotomy atau cricothyroidotomy. Tracheostomy harus
dibedakan dengan tracheotomy, tracheostomy adalah sebuah prosedur untuk membuka
trakea hingga nampak ke kulit, sehingga terbentuk suatu fistula trakeo-cutan yang lebih
permanent, sedangkan tracheotomy adalah prosedur membuat lubang pada trachea.
Berdasarkan letanya, tracheotomy dibagi menjadi dua jenis, yaitu letak tinggi
dan letak rendah, dengan cartilage trachea ke 3 sebagai batasnya. Menurut waktunya,
tracheotomy dibagi menjadi dua jenis, yaitui darurat yang dilaksanakan dalam kondisi
emergency yang tidak ada waktu untuk persiapan dan tracheotomy berencana yang
didahului dengan persiapan dan dilaksanakan dengan lebih lege artis.
Fungsi Trakeostomi
1. Mengurangi tahanan aliran udara pernafasan yang selanjutnya
mengurangi kekuatan yang diperlukan untuk memindahkan udara sehingga
mengakibatkan peningkatan regangan total dan ventilasi alveolus yang lebih efektif.
Asal lubang trakheostomi cukup besar (paling sedikit pipa 7)
2. Proteksi terhadap aspirasi
3. Memungkinkan pasien menelan tanpa reflek apnea, yang sangat penting
pada pasien dengan gangguan pernafasan
4. Memungkinkan jalan masuk langsung ke trachea untuk pembersihan
5. Memungkinkan pemberian obat-obatan dan humidifikasi ke traktus
respiratorius
6. Mengurangi kekuatan batuk sehingga mencegah pemindahan secret ke
perifer oleh tekanan negative intratoraks yang tinggi pada fase inspirasi batuk yang
normal
Indikasi dari trakeostomi antara lain:
a) Terjadinya obstruksi jalan nafas atas.
b) Sekret pada bronkus yang tidak dapat dikeluarkan secara fisiologis,
misalnya pada pasien dalam keadaan koma.
c) Untuk memasang alat bantu pernafasan (respirator).
d) Apabila terdapat benda asing di subglotis.

38
e) Penyakit inflamasi yang menyumbat jalan nafas ( misal angina ludwig),
epiglotitis dan lesi vaskuler, neoplastik atau traumatik yang timbul melalui mekanisme
serupa.
f) Obstruksi laring
g) Karena radang akut, misalnya pada laryngitis akut, laryngitis difterika,
laryngitis membranosa, laringo-trakheobronkhitis akut, dan abses laring.
h) Karena radang kronis, misalnya perikondritis, neoplasma jinak dan
ganas, trauma laring, benda asing, spasme pita suara, dan paralise Nerus Rekurens.
i) Sumbatan saluran napas atas karena kelainan kongenital,
traumaeksterna dan interna, infeksi, tumor.
j) Cedera parah pada wajah dan leher.
k) Setelah pembedahan wajah dan leher.
l) Hilangnya refleks laring dan ketidakmampuan untuk menelan sehingga
mengakibatkan resiko tinggi terjadinya aspirasi.
m) Penimbunan sekret di saluran pernafasan. Terjadi pada tetanus, trauma
kapitis berat, Cerebro Vascular Disease (CVD), keracunan obat, serta selama dan
sesudah operasi laring
Kontraindikasi dari trakheostomi antara lain :
Infeksi pada tempat pemasangan, dan gangguan pembekuan darah yang tidak
terkontrol, seperti hemofili.

Perawatan trakeostomi meliputi:


1. Pembersihan secret atau biasa disebut trakeobronkial toilet
2. Perawatan luka pada trakeostomi
3. Perawatan anak kanul
4. Humidifikasi untuk menjaga kelembapan
Tujuan Perawatan Trakeostomi
1. Untuk mencegah sumbatan pipa trakeostomi (Pluging)
2. Untuk mencegah infeksi
3. Meningkatkan fungsi pernafasan (ventilasi dan oksigenasi)
4. Bronkial toilet yang efektif
5. Mencegah pipa tercabutTracheotomy berencana secara lege artis
sebaiknya dilaksanakan di ruang operasi. Langkah awal sebelum melaksanakan
tracheotomy adalah mempersiapkan alat dan personil. Alat-alat yang dibutuhkan untuk

39
melaksanakan tracheotomy adalah spuit dengan analgesic, scalpel, pinset anatomi,
gunting panjang tumpul, pengait tumpul sepasang, klem arteri, gunting, suction,
electrocautery, dan canul yang sesuai dengan ukuran pasien.
Posisi pasien terlentang, kemudian desinfeksi pada daerah leher pasien. Pasien
terlentang dengan posisi ektensi pada persendian atlanto-occipital, sehingga cartilage
crichoidea nampak jelas. Obat anestesi kemudian diinjeksikan di pertengahan krikoid
dan fossa suprasternal. Setelah obat bereaksi, dilaksanakan penyayatan secara vertical
pada linea mediana mulai dari bawah krikoid hingga fossa suprasternal. Sayatan juga
dapat dibuat secara horizontal pada bagian tengah anatara cricoid dengan fossa
suprasternalis (2 jari di bawah cricoid). Panjang sayatan ± 5 cm, sehingga memudahkan
proses selanjutnya.
Setelah sayatan cutan, dilakukan sayatan lanjutan untuk membuka lapisan kulit
dan otot. Sayatan ini kemudian ditarik dengan kuat dan lembut ke arah lateral untuk
identifikasi isthmus thyroid. Isthmus throid kemudian dapat ditarik ke arah superior
akan menampakkan cartilage atau dapat diklem pada kedua sisi kanan dan kirinya untuk
kemudian dipotong. Jika dilaksanakan pemotongan, penjahitan isthmus perlu dilakukan
pada kedua ujung yang telah dipotong agar perdarahan dapat berhenti dan memudahkan
visualisasi kartilago.

Gambar 2.8 : Sayatan Traceotomi

40
Setelah dilaksanakan pembukaan kulit, otot, dan isthmus thyroid akan tampak
cartilage thyroidea. Cartilage thyroidea ke 3 yang sudah nampak kemudian akan
dipotong dengan gunting yang tajam sehingga terbentuk stoma. Canula yang sesuai
dengan ukuran pasien akan dipasang pada stoma yang sudah terbentuk, kemudian balon
di kembangkan untuk fiksasi serta terakhir adalah koneksi dengan ventilator.
Komplikasi yang dapat muncul setelah prosedur tracheotomy adalah emfisema
subcutis, pneumomediastinum, pneumothorax, tracheoesophageal fistula, dan infeksi.

41
DAFTAR PUSTAKA

Forte P, and Friends. 2006. Approach tp Respiratory Failure in Emergency


Department. Rome: Department of Emergency Medicine.

Katyal, Puneet and Ognjen Gajic. 2012. Pathophysiology of Respiratory Failure and Use of
Mechanical Ventilation. Rochester: Mayo Clinic.

Lalwani, Ani K. 2016. Current Diagnosis and Treatment : Ottolaryngology Head and
Neck Surgery 2nd Ed. New York: Mc Graw Hill Companies.

Neema, Praven Kumar. 2003. Respiratory Failure. New Delhi: Indian J. Anesth.

Hel, M, Hazel, A. and Smith, J. (2008). The mechanics of airway closure. Respiratory
Physiology and Neurobiology. 163(1-3), pp. 214-221

Soepardi, Eflaty Arsyad, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher Ed. 7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia

Brodie, D., Slutsky, AS (2017). Sindrom gangguan Pernapasan Akut: Kemajuan dalam
Diagnosis dan Perawatan. JAMA. 319(7): 698- 710. Doi: 10.001/jama.2017.2197

Hadiwikarta A, Rusmarjono, Soepardi EA. Penanggulangan Sumbatan laring. Dalam :Buku


Ajar Ilmu kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala dan leher.Ed. 6. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta

42
LAMPIRAN

43

Anda mungkin juga menyukai