TONSILITIS
Disusun Oleh :
Chayne Rivar Onthoni
42170194
A. Identitas Pasien
a. Nama : Ny. IK
b. Usia : 41 Tahun
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Pekerjan : Perawat
e. Alamat : Jl. Kaliurang km 12
f. Tanggal masuk RS : 05 September 2019
g. Jam Masuk RS : 14.00 WIB
B. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Batuk
d. Riwayat pengobatan
Rhinofeed dan Codein
f. Lifestyle
Alkohol : (-)
Rokok : (-)
Aktivitas fisik :
Pasien adalah seorang perawat di rumah sakit swasta di jogjakarta, pasien
bertugas di ruangan, jadwal kerja pasien ditentukan oleh rumah sakit dan kegiatan
pasien sehari hari juga sebagai ibu rumah tangga, jadwal kerja pasien adalah 8 jam.
Pola Makan :
Makan teratur 2 – 3 x sehari dengan porsi sedang, cukup daging dan sayur.
Pasien juga suka mengonsumsi gorengan, namun dari keterangan pasien, pasien tidak
terlalu menyukai minuman dingin atau es.
g. Riwayat alergi
Pasien memiliki riwayat alergi debu (+) dan alergi cokelat (+)
3
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik 09 Agustus 2019 (pukul 14.11)
a. Status generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : E4 V5 M6 (Compos Mentis)
Vital Sign
Tensi : 100/70 mmHg
Nadi : 76x / menit
Respirasi : 16x / menit
Suhu : 36,8 C
SaO2 : 100%
Status Psikologis : tenang
b. Status Lokalis
Kepala
Ukuran kepala : Normocephali
Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-),
Leher : pembengkakan Lnn (-)
Thorax
Inspeksi : dinding dada . IC (-), otot bantu nafas (-)
Palpasi : IC di SIC 5 MCS, ketertinggalan gerak nafas (-), fremitus dbn
Perkusi : sonor (+/+), batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1 dan S2 dbn, rhonki basah kasar (+/+), wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi : Jejas (-), perut datar sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : Peristaltik Usus (+) 8x/menit
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), hepatospleenomegali (-)
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
Ekstremitas
Ekstremitas atas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)
4
c. Status Lokalis THT
Telinga
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Auricula dbn, deformitas (-) dbn, deformitas (-)
Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada
Tumor Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada
Planum mastoidium Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Glandula limfatik Pembesaran (-) Pembesaran (-)
Canalis Auditorik Eksterna Serumen (+), Hiperemis (-), Serumen (+), Hiperemis (-),
edema (-) edema(-)
Membran Timpani Perforasi (-), Hiperemis (-), Perforasi (-), Hiperemis (+),
cone of light tampak terlihat cone of light tidak tampak
arah jam 5, serumen 40%, tertutup serumen 80%,
retraksi (-) retraksi (-)
Dorsum nasi Deformitas (-), krepitasi (-), jejas (-), nyeri tekan (-)
Rhinoskopi anterior
5
Konka media Tidak tampak pada -
pemeriksaan
Rhinoskopi Posterior: Tidak dilakukan
Oropharynx
Pemeriksaan Dekstra Sinistra
Gusi dan gigi Warna merah muda, karies dentis (-), ulkus (-)
Lingua Simetris, atrofi papil (-), lidah kotor (-), ulserasi (-)
Tonsila Palatina T2, hiperemis (-), detritus T4, hiperemis (+), detritus
(-), permukaan tidak rata, (+), permukaan tidak rata,
kripta melebar (-) kripta melebar (+)
Vital Sign
Tensi : 130/70 mmHg
Nadi : 73x / min
Respirasi : 21x / min
6
Suhu : 36,8 derajat Celcius
SaO2 : 100% on ventilator
Status Psikologis : tenang
Risiko Jatuh : ya, Berat (Johns Hopkins Assesment Tools, 2007)
Fungsional : bergantung penuh
b. Status Lokalis
Kepala
Ukuran kepala : Normocephali
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-)
Hidung : sesuai dengan status lokalis THT
Mulut : sesuai dengan status lokalis THT
Telinga : sesuai dengan status lokalis THT
Leher : pembengkakan Lnn (-), terpasang tracheostomi
Thorax
Inspeksi : dinding dada . IC (-), otot bantu nafas (-)
Palpasi : IC di SIC 5 MCS, ketertinggalan gerak nafas (-), vremitus dbn
Perkusi : batas jantung dbn, lapang paru sonor
Auskultasi : S1 dan S2 dbn, rhonki basah kasar (+/+), wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi : Jejas (-), perut datar sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : Peristaltik Usus (+) 12x/menit
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), hepatospleenomegali (-)
Perkusi : Timpani di seluruh region abdomen
Ekstremitas
Ekstremitas atas : akral sianotik, CRT > 2 detik, edema (+)
Ekstremitas bawah : akral sianotik, CRT > 2 detik, edema (+)
Dorsum nasi Deformitas (-), krepitasi (-), jejas (-), nyeri tekan (-)
Rhinoskopi anterior
8
Oropharynx
Pemeriksaan Dekstra Sinistra
Gusi dan gigi Warna merah muda, karies dentis (-), ulkus (-)
Lingua Simetris, atrofi papil (-), lidah kotor (-), ulserasi (-)
Tonsila Palatina T2, hiperemis (-), detritus T2, hiperemis (-), detritus
(-), permukaan tidak rata, (-), permukaan tidak rata,
kripta melebar (-) kripta melebar (-)
9
Fungsional : bergantung penuh
b. Status Lokalis
Kepala
Ukuran kepala : Normocephali
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-)
Hidung : sesuai dengan status lokalis THT
Mulut : sesuai dengan status lokalis THT
Telinga : sesuai dengan status lokalis THT
Leher : pembengkakan Lnn (-), terpasang tracheostomi
Thorax
Inspeksi : dinding dada . IC (-), otot bantu nafas (-)
Palpasi : IC di SIC 5 MCS, ketertinggalan gerak nafas (-), vremitus dbn
Perkusi : batas jantung dbn, lapang paru sonor
Auskultasi : S1 dan S2 dbn, rhonki basah kasar (+/+), stridor (-)
Abdomen
Inspeksi : Jejas (-), perut datar sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : Peristaltik Usus (+) 12x/menit
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), hepatospleenomegali (-)
Perkusi : Timpani di seluruh region abdomen
Ekstremitas
Ekstremitas atas : akral sianotik, CRT > 2 detik, edema (+)
Ekstremitas bawah : akral sianotik, CRT > 2 detik, edema (+)
10
Status Psikologis : Tenang
Risiko Jatuh : ya, Berat (Johns Hopkins Assesment Tools, 2007)
Fungsional : bergantung penuh
b. Status Lokalis
Kepala
Ukuran kepala : Normocephali
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-)
Hidung : sesuai dengan status lokalis THT
Mulut : sesuai dengan status lokalis THT
Telinga : sesuai dengan status lokalis THT
Leher : pembengkakan Lnn (-) terpasang tracheostomi
Thorax
Inspeksi : dinding dada . IC (-), otot bantu nafas (-)
Palpasi : IC di SIC 5 MCS, ketertinggalan gerak nafas (-), vremitus dbn
Perkusi : batas jantung dbn, lapang paru sonor
Auskultasi : S1 dan S2 dbn, rhonki basah kasar (+/+), wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi : Jejas (-), perut datar sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : Peristaltik Usus (+) 8x/menit
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), hepatospleenomegali (-)
Perkusi : Timpani di seluruh region abdomen
Ekstremitas
Ekstremitas atas : akral sianotik, CRT > 2 detik, edema (+)
Ekstremitas bawah : akral sianotik, CRT > 2 detik, edema (+)
11
Glandula limfatik Pembesaran (-) Pembesaran (-)
Canalis Auditorik Eksterna Serumen (+), Hiperemis (-), Serumen (+), Hiperemis (-),
edema (-) edema (-)
Membran Timpani Perforasi (-), Hiperemis (-), Perforasi (-), Hiperemis (-),
cone of light tampak terlihat cone of light tidak tampak
arah jam 5, serumen 40%, tertutup serumen 80%,
retraksi (-) retraksi (-)
Dorsum nasi Deformitas (-), krepitasi (-), jejas (-), nyeri tekan (-)
Rhinoskopi anterior
Oropharynx
12
Pemeriksaan Dekstra Sinistra
Gusi dan gigi Warna merah muda, karies dentis (-), ulkus (-)
Lingua Simetris, atrofi papil (-), lidah kotor (-), ulserasi (-)
Tonsila Palatina T2, hiperemis (-), detritus T2, hiperemis (-), detritus
(-), permukaan tidak rata, (-), permukaan tidak rata,
kripta melebar (-) kripta melebar (-)
13
e. Status Lokalis
Kepala
Ukuran kepala : Normocephali
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-)
Hidung : sesuai dengan status lokalis THT
Mulut : sesuai dengan status lokalis THT
Telinga : sesuai dengan status lokalis THT
Leher : pembengkakan Lnn (-) terpasang tracheostomi
Thorax
Inspeksi : dinding dada . IC (-), otot bantu nafas (-)
Palpasi : IC di SIC 5 MCS, ketertinggalan gerak nafas (-), vremitus dbn
Perkusi : batas jantung dbn, lapang paru sonor
Auskultasi : S1 dan S2 dbn, rhonki basah kasar (+/+), wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi : Jejas (-), perut datar sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : Peristaltik Usus (+) 18x/menit
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), hepatospleenomegali (-)
Perkusi : Timpani di seluruh region abdomen
Ekstremitas
Ekstremitas atas : akral sianotik, CRT > 2 detik, edema (+)
Ekstremitas bawah : akral sianotik, CRT > 2 detik, edema (+)
Dorsum nasi Deformitas (-), krepitasi (-), jejas (-), nyeri tekan (-)
Rhinoskopi anterior
Oropharynx
Pemeriksaan Dekstra Sinistra
Gusi dan gigi Warna merah muda, karies dentis (-), ulkus (-)
15
Lingua Simetris, atrofi papil (-), lidah kotor (-), ulserasi (-)
Tonsila Palatina T2, hiperemis (-), detritus T2, hiperemis (-), detritus
(-), permukaan tidak rata, (-), permukaan tidak rata,
kripta melebar (-) kripta melebar (-)
16
Leher : pembengkakan Lnn (-) terpasang tracheostomi
Thorax
Inspeksi : dinding dada . IC (-), otot bantu nafas (-)
Palpasi : IC di SIC 5 MCS, ketertinggalan gerak nafas (-), vremitus dbn
Perkusi : batas jantung dbn, lapang paru sonor
Auskultasi : S1 dan S2 dbn, rhonki basah kasar (+/+), wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi : Jejas (-), perut datar sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : Peristaltik Usus (+) 14x/menit
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), hepatospleenomegali (-)
Perkusi : Timpani di seluruh region abdomen
Ekstremitas
Ekstremitas atas : akral sianotik, CRT > 2 detik, edema (+)
Ekstremitas bawah : akral sianotik, CRT > 2 detik, edema (+)
17
Hidung dan Sinus Paranasal
HIDUNG
Dorsum nasi Deformitas (-), krepitasi (-), jejas (-), nyeri tekan (-)
Rhinoskopi anterior
Oropharynx
Pemeriksaan Dekstra Sinistra
Gusi dan gigi Warna merah muda, karies dentis (-), ulkus (-)
Lingua Simetris, atrofi papil (-), lidah kotor (-), ulserasi (-)
18
Atap mulut Ulkus (-)
Tonsila Palatina T2, hiperemis (-), detritus T2, hiperemis (-), detritus
(-), permukaan tidak rata, (-), permukaan tidak rata,
kripta melebar (-) kripta melebar (-)
j. Pemeriksaan Penunjang
PDL
Pembekuan
darah
- 9,7 (L) - - - -
PT
- 11,10 - - - -
PT Kontrol
- 28,8 - - - -
APTT
- 25,30 - - - -
APTT
Kontrol
Kadar Protein
serum
- - 4,9 (L) - - -
Protein total
- - 2,7 (L) - - -
Albumin
- - 2,2 - - -
Globulin
20
Fungsi Ginjal
Ureum 30,0 - - - - -
Creatinin 0,88 - - - - -
GDS 259 (H) 255 (H) 150 163 216 276 g/dL
Elektrolit
Kimia Darah
21
Kesan : Tanda infark luas lobus dektra cerebellum dan infark di lobus frontalis dektra dan di
paraventrikel lateralis bilateral. Terdapat tanda atrofi serebri.
EKG (31,07/2019) :
k. Diagnosis
CVA Infark
Distress Pernapasan
DM
Hipertensi
l. Planning
Plan for Diagnosis
Foto rontgen thorak AP
Brain CT dengan kontras
HbA1C
Plan for Therapy
Infus RL 20 tpm
Manitol 4 x 125 ml IV
Cefoperazone Sulbactam 3 x 1 gram IV
Methylcobalamin 3 x 1
Ondansetron 4 mg IV
Pantoprazole 1 x 40 mg (1 ampul) IV
Neulin IV
Novorapid 3 x 4 unit
Brainact 3 x 500 mg IV
Sucralfat syrup 3 x 10 ml
Concord 2,5 1 x 1
Candesartan 1 x 8 mg
Levaside 3 x 1
Nebulizer: Combivent + Flexotide 3 x 1
Plan for Monitoring
22
Monitoring TTV, GDS setiap pagi, GDS setiap pagi
Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad Fungsionam : dubia ad malam
Ad Sanationam : dubia ad malam
23
BAB II
LANDASAN TEORI
24
Mukosa pada nasofaring sama dengan organ respirasi, sedangkan orofaring dan
laringofaring sama dengan saluran cerna. Mukosa faring tidak memilki muskularis
mukosa. Lamina propria tebal, mengandung serat elastin. Lapisan fibroelastis menyatu
dengan jaringan ikat interstisiel. Orofaring dan laringofaring dilapisi epitel berlapis
gepeng, mengandung kelenjar mukosa murni.
5. Laring
Organ berongga dengan panjang 42 mm dan diameter 40 mm. Terletak antara faring
dan trakea. Dinding dibentuk oleh tulang rawan tiroid dan krikoid. Muskulus ekstrinsik
mengikat laring pada tulang hyoid. Muskulus intrinsik mengikat laring pada tulang
tiroid dan krikoid berhubungan dengan fonasi. Lapisan laring merupakan epitel
bertingkat silia. Epiglotis memiliki epitel selapis gepeng, tidak ada kelenjar. Fungsi
laring untuk membentuk suara, dan menutup trakea pada saat menelan (epiglotis). Ada
2 lipatan mukosa yaitu pita suara palsu (lipat vestibular) dan pita suara (lipat suara).
Celah diantara pita suara disebut rima glotis. Pita suara palsu terdapat mukosa dan
lamina propria. Pita suara terdapat jaringan elastis padat, otot suara ( otot rangka).
Vaskularisasi: A.V Laringeal media dan Inferior. Inervasi: N Laringealis superior.
6. Trakea
Tersusun atas 16 – 20 cincin tulang rawan. Celah diantaranya dilapisi oleh jaringan
ikat fibro elastik. Struktur trakea terdiri dari: tulang rawan, mukosa, epitel bersilia, jaringan
limfoid dan kelenjar. Berdasarkan letaknya, saluran pernafasan dibagi menjadi dua, yaitu
saluran pernafasan atas dan saluran pernafasan bawah, yang dibatasi oleh cartilago
crichoidea.
Saluran pernafasan bawah dimulai dari bagian bawah cartilage crichoidea, yaitu
bagian distal dari larynx, hingga ke alveolus. Larynx termasuk dalam bagian saluran
pernafasan atas. Larynx memiliki rangka yang disusun oleh cartilage thyroidea, cricoidea,
dan arytenoidea. Cartilago thyroidea adalah penyusun terbesar dari rangka larynx. Secara
anatomis permukaan, cartilage ini nampak sebagai penonjolan Adam’s Apple. Rangka
larynx yang tersusun atas cartilage memungkinkan larynx memiliki susunan yang cukup
kuat dan fleksibel.
25
Gambar 2.1 Cartilago Cricoidea
Pada larynx terdapat ligamentum vocale, suatu ligament yang membentang dari cartilage
aretenoideum di bagian anterior ke cartilage throideum di bagian posterior. Susunan lig. Vocale
ini memungkinkan diproduksinya suara, akibat adanya pergetaran lig. Vocale oleh gerakan udara
yang keluar dan masuk saluran pernafasan.
26
Gambar 2.3 ligamentum penghubung cartilage
Trachea adalah bagian dari saluran pernafasan bawah. Trachea memiliki panjang 28-30
cm, dimulai dari bagian distal cartilage crichoidea hingga ke bifucartio trachea setinggi VT4.
Trachea tersusun atas cincin cartilage trachea dan ligamentum anularia, jaringan pengikat yang
menghubungkan cincin-cincin cartilage trachea. Hal ini memungkinkan trachea memiliki sifat
yang cukup kuat, namun tetap fleksibel.
27
Gambar 2.5 : Trachea dan Bronchus
7. Bronchus
Cabang utama trakea disebut bronki primer atau bronki utama. Bronki primer
bercabang menjadi bronki lobar, segmental, subsegmental. Struktur bronkus primer
mirip dengan trakea hanya cincin berupa lempeng tulang rawan tidak teratur. Makin ke
distal makin berkurang, dan pada bronkus subsegmental hilang sama sekali.
8. Bronchiolus
Cabang ke 12 – 15 bronkus. Tidak mengandung lempeng tulang rawan, tidak
mengandung kelenjar submukosa. Otot polos bercampur dengan jaringan ikat longgar.
28
9. Bronchiolus respiratorius
Merupakan peralihan bagian konduksi ke bagian respirasi paru. Lapisan :
epitel kuboid, kuboid rendah, tanpa silia. Mengandung kantong tipis (alveoli).
10. Duktus alveolaris
Lanjutan dari bronkiolus. Banyak mengandung alveoli. Tempat alveoli bermuara.
11. Alveolus
Kantong berdinding sangat tipis pada bronkioli terminalis. Tempat terjadinya
pertukaran oksigen dan karbondioksida antara darah dan udara yang dihirup.
Jumlahnya 200 - 500 juta. Bentuknya bulat poligonal, septa antar alveoli disokong
oleh serat kolagen, dan elastis halus.
Sel epitel terdiri sel alveolar gepeng ( sel alveolar tipe I ), sel alveolar besar (
sel alveolar tipe II). Sel alveolar gepeng ( tipe I) jumlahnya hanya 10% ,
menempati 95
12. Pleura
Membran serosa pembungkus paru. Jaringan tipis ini mengandung serat
elastin, fibroblas, kolagen. Yang melekat pada paru disebut pleura viseral, yang
melekat pada dinding toraks disebut pleura parietal. Ciri khas mengandung
banyak kapiler dan pembuluh limfe. Saraf adalah cabang n. frenikus dan n.
interkostal. [4]
29
kardiopulmoner, saraf dan muskuloskeletal dapat terganggu oleh berbagai penyakit,
pembedahan atau obat anestesi.
Ditinjau dari sisi THT, gawat napas terutama disebabkan karena adanya
sumbatan saluran pernafasan, yaitu saluran pernafasan atas dan saluran pernafasan
bawah. Saluran nafas atas dimulai dari hidung sampai laring, sedangkan saluran nafas
bawah dimulai dari trachea hingga ke bronchus.
b) Etiopatogenesis
Penyebab sumbatan saluran napas dapat beberapa hal, antara lain :
Saluran nafas atas :
- Corpal
- Tumor
- Kelemahan otot-otot faring
- Kelenjar tonsil dan adenoid
- Neuropati
- Gangguan SSP peranfasan
Saluran nafas bawah
- Benda asing : eksogen / endogen
- Bronchitis / tracheitis
- Aspirasi amnion pada fetus
- Aneurisma aorta
- Hipertrofi kelenjar throid
- Hypertrofi kelenjar thymus
- Tumor mediastinum
- Corpal di esophagus
- Neuropati
- Gangguan SSP pernafasan
Mekanisme fisiologis dalam mencegah korpal adalah gerakan sillia pada lapisan
epitel yang melindungi mukosa saluran pernafasan, reflex batuk, dan kemampuan
mendeham.
Mukosa saluran pernafasan dilapisi oleh sel pitel kolumner bersillia yang
disertai dengan adanya sel goblet. Sel goblet adalah penghasil mucus yang berguna
untuk menangkap benda asing, sedangkan sel epitel bersillia memiliki peran untuk
mengeluarkan mucus. Jika ada gangguan pada system mucosillia saluran pernafasan,
dapat terjadi retensio mucus / sputum.
Pada faring, laring, trachea, dan jaringan paru dapat ditemukan reflek batuk,
yang berperan membantu pengeluaran benda asing, begitu juga gerakan mendeham.
30
Perbedaan dari kedua mekanisme ini adalah pusat dari rangsangan, dimana reflex batuk
dierankan oleh system saraf otonom sedangkan mendeham merupakan gerakan yang
disadari berpusat pada otak. Pada kedua mekanisme ini, terjadi kinerja sinergis antara
system saraf dan otot sebagai efektor, yaitu saat seeorang terpicu reflex batuk atau
hendak melakukan dehaman, akan terjadi relaksasi dari diaphragm, kontraksi otot perut
dan intercostal sehingga akan timbul tekanan positif yang tinggi dan mendadak.
Tekanan ini berfungsi untuk mengeluarkan corpal yang masuk saluran pernafasan.
Gangguan pada reflex batuk dan mekanisme mendeham dapat menyebabkan
benda asing tetap berada di saluran pernafasan dan mengobstruksi saluran nafas.
Obstruksi saluran nafas dapat terjadi secara langsung korpal menutup saluran
pernafasan, atau secara tidak langsung dengan memicu peradangan pada saluran
pernafasan, sehingga terjadi edema yang menutup saluran pernafasan.
Pada trauma kepala dan leher, dapat terjadi obstruksi jalan napas akibat trauma
laring (merupakan penyebab kematian ke-2 setelah intra kranial). Hal ini karena laring
merupakan daerah relative terbuka, terletak didaerah mandibula, kompleks
sternoklavikula dan bagian belakanganya terdapat tulang servikal. Gejala klinis trauma
laring adalah : deformitas leher, emfisema, nyeri pada palpasi dan krepitasi tulang.
Pada gangguan obstruksi laring, dapat disebabkan beberapa hal antara lain :
Radang (dfteri dan non difteri)
Tumor
Kongenital (langiromalasia, trakeomalasia, lesi anatomic (selaput pita
suara, stenosis, hemangioma), kelumpuhan pita suara
Paresis nervus rekuren laring
Trauma laring dan trakea
Benda asing yang menyumbat laring
Gejala umum obstruksi laring adalah sridror, sesak napas,retraksi (fosa
suprasternal, epigastrium, infraklavikula, intercostal), suara parau (disfonia), sianosis.
Tindakan segera yang dapat dilakukan adalah:
Laringoskopi indirek : isap secret (membebaskan jalan napas) dan
melihat kelainan
Laringoskopi indirek : dapat dilakukan pada pasein dewasa dan tidak
terlalu sesak
Stadium dan penatalaksanaan obstruksi laring :
31
I. Terdapat stridor, sedikit retraksi di fosa suprasternal. Pasien tidak
tampak ketakutan. Tatalaksana dengan injeksi kortikostreoid dan
pengawasan ketat.
II. Cekungan makin dalam di fosa suprasternal dan retraksi epigastrium
persiapan trakesotomi
III. Retraksi jelas di fosa suprasternal, epigastrium, infraklavikula, dan
interkosta. Intubasi segera dilakukan atau dirawat diruang ICU dan
dilakukan trakeostomi
IV. Retraksi tambah dalam, wajah ketakutan, kulit pucat kebiruan/ sianosis
intubasi harus cepat (krikotirotomi) dan beri oksigen. Jika keadaan
membaik maka dilakukan trakeostomi.
32
g. Faktor kecerobohan, seperti meletakkan benda asing dimulut, persiapan
makan yang kurang baik , makan dan minum yang tergesa-gesa, makan sambil bermain
pada anak-anak, dan memberikan kacang atau permen pada anak yang gigi molarnya
belum lengkap.
Benda asing mati di hidung cenderung menyebabkan edema dan inflamasi
mukosa hidung, dapat terjadi ulserasi, epistaksis , jaringan granulasi dan dapat berlanjut
menjadi sinusitis. Benda asing hidup menyebabkan reaksi inflamasi dengan derajat
bervariasi dari infeksi lokal sampai destruksi masif tulang rawan dan tulang hidung
dengan membentuk daerah supurasi yang dalam dan berbau.
Gejala sumbatan benda asing di saluran nafas tergantung pada lokasi benda
asing, derajat sumbatan, bentuk dan ukuran benda asing. benda asing yang masuk
melalui hidung dapat tersangkut di hidung, nasofaring, laring, trakea, dan bronkus.
Seseorang yang mengalami aspirasi benda asing akan mengalami 3 stadium:
1. Stadium pertama : gejala permulaan yaitu batuk-batuk hebat secara tiba-
tiba, rasa tercekik, rasa tersumbat ditenggorokan, bicara gagap dan obstruksi jalan
nafas.
2. Stadium kedua : gejala stadium permulaan diikuti oleh interval
asimtomatik hal ini terjadi karena benda asing tersangkut, reflek-reflek akan melemah
dan gejala rangsangan akut menghilang. Stadium ini berbahaya sering menyebabkan
keterlambatan diagnosis dan cenderung mengabaikan kemungkinan aspirasi benda
asing karena gejala dan tanda tidak jelas.
3. Stadium ketiga : telah terjadi gejala komplikasi dengan obstruksi, erosi
atau infeksi sebagai akibat reaksi terhadap benda asing sehingga timbul batuk-batuk,
himoptisis, pneumonia, dan abses paru.
a. Benda asing di hidung
Pada anak sering luput dari perhatian orangtua karena tidak ada gejala dan
bertahan dalam waktu yang lama. Dapat timbul rinolith disekitar benda asing.
Gejala yang paling sering adalah hidung tersumbat , rinorea unilateral dengan
cairan kental dan berbau. Kadang-kadang terdapat rasa nyeri, demam, epistaksis dan
bersin. Pada pemeriksaan tampak edema dengan inflamasi mukosa hidung unilateral
dan dapat terjadi ulserasi. Benda asing biasanya tertutup oleh mukopus, sehingga
disebut sinusitis. Dalam hal demikian bila akan menghisap mukopus haruslah berhati-
hati supaya benda asing itu tidak dapat masuk kelaring, trakea dan bronkus. Benda asing
seperti karet busa, sangat cepat menimbulkan sekret yang berbau busuk.
33
b. Benda asing di orofaring dan hipofaring
Benda asing di orofaring dan hipofaring dapat tersangkut antaralain di tonsil,
dasar lidah, valekula, sinus piriformis yang menimbulkan rasa nyeri pada waktu
menelan (odinofagi) baik makanan maupun ludah. Terutama bila benda asing tajam
seperti tulang ikan, tulang ayam. Untuk memeriksa dan mencari benda itu di dasar
lidah, vanekula dan sinus piriformis diperlukan kaca tenggorokan yang besar.
c. Benda Asing di Laring
d. Benda asing di trakea
Disamping gejala batuk dengan tiba-tiba yang berulang-ulang dengan rasa
tercekik (choking), rasa tersumbat ditenggorokan (gagging), terdapat gejala
patonomomik yaitu audible slap, pappatory thud dan asthmatoid wheeze ( nafas bunyi
saat ekspirasi) . benda asing di trakea yang masih dapat digerakkan, pada saat benda
asing itu sampai di karina, dengan timbulnya batuk, benda asing akan terlempar ke
laring. Sentuhan benda asing dapat terasa merupakan getaran di derah tiroid yang
disebut oleh jackson sebagai palpatory trud atau dapat dapat didengar oleh stetoskop di
daerah tiroid, yang disebut audible slap. Selain itu terdapat juga gejala suara serak,
dispne dan sianosis, tergantung pada besar benda asing serta lokasinya. Gejala
palpatory thud serta audible slap lebih jelas teraba atau terdengar bila pasien tidur
terlentang dengan mulut terbuka saat batuk, sedangkan gejala mengi (asthmatoid
wheeze) dapat didengar pada saat pasien membuka mulut dan tidak ada hubungannya
dengan penyakit asma bronkial.
e. Benda asing di bronkus
Lebih banyak masuk kebronkus kanan karena bronkus kanan hampir
merupakan garis lurus dengan trakea, sedangkan bronkus kiri membuat sudut dengan
trakea. Pasien dengan benda asing di bronkus datang ke rumah sakit kebanyakan berada
pada fase asimtomatik. Pada fase ini keadaan umum pasien masih baik dan foto rontgen
toraks belum memperlihatkan kelainan. Pada fase pulmonum, benda asing berada di
bronkus dan dapat digerakan ke perifer. Pada fase ini udara dapat masuk ke segmen
paru terganggu secara progresif dan pada auskultasi terdengar ekspirasi memanjang
disertai dengan mengi. derajat sumbatan bronkus dan gejala yang ditimbulkannya
bervariasi, tergantung pada bentuk, ukuran, dan sifat benda asing dan dapat timbul
emfisema, atelektasis, drowned lung serta abses paru.
Pada kasus benda asing di saluran nafas dapat dilakukan pemeriksaan radiologik
dan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis. Benda asing yang bersifat
34
radioopak dapat dibuat Ro foto segera setelah kejadian, sedangkan benda asing yang
berasal dari radiolusen ( seperti kacang-kacangan) dibuat Ro setelah 24 jam kejadian,
karena sebelum 24 jam kejadian belum menunjukan gambaran radiologis yang berarti.
Biasanya setelah 24 jam baru tampak tanda atelektasis atau emfisema.
f. Benda asing di dasar lidah
Dapat dilihat dengan kaca tenggorokan yang besar pasien diminta menarik
lidahnya sendiri dan pemeriksa memegang kaca tenggorokan dengan tangan kiri,
sedangkan tangan kiri memegang cunam untuk mengambil benda tersebut. Bila pasien
sangat perasa sehingga sulit dilakukan tindakan, sebelumnya dapat disemprotkan obat
seperti xylocain atau pantokain ( anastetikum).
2. Vertigo
Sedangkan menurut Gowers Kapita Selekta neurologi, 2005, mendefinisikan
vertigo adalah setiap gerakan atau rasa gerakan tubuh penderita atau objek-objek
disekitar penderita yang bersangkutan dengan gangguan sistem keseimbangan
(ekuilibrum).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan penurunaan pendengaran dan kesulitan
dalam berjalan “Tandem” dengan mata tertutup. Berjalan tandem yaitu berjalan dengan
telapak kaki lurus kedepan, jika menapak tumit kaki yang satu menyentuh jari kaki
lainnya dan membentuk garis lurus kedepan.
3. Epistaksis
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang penyebabnya bisa lokal atau
sistemik. Perdarahan bisa ringan sampai serius dan bila tidak segera ditolong dapat
berakibat fatal. Sumber perdarahan biasanya berasal dari bagian depan atau bagian
belakang hidung.
1. Epistaksis ringan biasanya berasal dari bagian anterior hidung,
umumnya mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri.
2. Epistaksis berat berasal dari bagian posterior hidung yang dapat
menimbulkan syok dan anemia serta dapat menyebabkan terjadinya iskemia serebri,
insufisiensi koroner dan infark miokard yang kalau tidak cepat ditolong dapat berakhir
dengan kematian. Pemberian infus dan transfusi darah serta pemasangan tampon atau
tindakan lainnya harus cepat dilakukan. Disamping itu epistaksis juga dapat merupakan
tanda adanya pertumbuhan suatu tumor baik ganas maupun jinak. Ini juga memerlukan
penatalaksanaan yang rinci dan terarah untuk menegakkan diagnosis dan menentukan
modalitas pengobatan yang terbaik.
35
Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan
sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah,
infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti
penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir,
kelainan hormonal dan kelainan kongenital
Epitaksis anterior (depan) dapat berasal dari pleksus kiesselbach atau dari a.
etmoid anterior. Pleksus kieselbach ini sering menjadi sumber epitaksis terutama pada
anak-anak dan biasanya dapat sembuh sendiri. Epitaksis posterior (belakang) dapat
berasal dari a. sfenopalatina dan a. etmoid posterior. Perdarahan biasanya hebat dan
jarang berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi,
arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit jantung. Pemeriksaan yang diperlukan
adalah darah Lengkap dan fungsi hemostasis.
Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir
keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaan lemah sebaiknya setengah
duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus diperhatikan jangan sampai
darah mengalir ke saluran napas bawah. Pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan
dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan tidak bergerak-gerak.
Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian
depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior, terutama pada
anak, dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit,
seringkali berhasil. Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan
dikaustik dengan larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Sesudahnya area tersebut
diberi krim antibiotik.
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan
hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Untuk
menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang
disebut tampon Bellocq. Tampon ini dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat
dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan
sebuah di sisi berlawanan.Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi,
digunakan bantuan kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak
di orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang
tampon Bellocq tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampai benang
keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk
dapat melewati palatum mole masuk ke nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka
36
dapat ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua benang yang keluar dari
hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan nares anterior, supaya tampon
yang terletak di nasofarinf tetap pada tempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut
diikatkan secara longgar pada pipi pasien. Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar
melalui mulut setelah 2-3 hari.
c) Tatalaksana
Langkah awal seorang ottolaringologist dalam menangani gawat napas adalah
menilai airway dengan melakukan pemeriksaan fisik. Adanya stridor menadakan
adanya obstruksi saluran pernafasan. Stridor yang terdengar saat inspirasi menandakan
adanya sumbatan saluran pernafasan pada saluran pernafas atas di atas larynk. Stridor
yang terdengar saat ekspirasi menandakan adanya sumbatan di saluran yang nafas atas
yang letaknya lebih rendah, umunya sumbatan pada trakea. Stridor bifasik dapat
ditemukan jika ada sumbatan di daerah subglotis.
Dasar penatalaksanaan terdiri dari penatalaksaan suportif/non spesifik dan
kausatif/spesifik. Umumnya dilakukan secara simultan antara keduanya
Penatalaksanaan pasien dengan distress pernapasan dapat juga ditinjau
berdasarkan penanganan non-bedah dan penanganan bedah.
Penatalaksanaan non spesifik adalah tindakan yang secara tidak langsung
ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas, yaitu :
Atasi Hiperkarbia: Perbaiki ventilasi
- Perbaiki jalan nafas. Pada semua pasien gangguan pernapasan harus dipikirkan
dan diperiksa adanya obstruksi jalan napas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan
napas artifisial seperti endotracheal tube (ETT).
- Bantuan Ventilasi: Face mask, ambu bag
- Ventilasi Mekanik
Fisioterapi dada. Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret, sputum
Terapi Oksigen
Atasi hipoksemia. Dapat dengan bantuan obat – obatan inhalasi bronkodilator
(Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik), ekspektoran dan kortikosteroid
Penatalaksanaan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga pengobatan untuk
masing-masing penyakit akan berlainan
37
Pada saat tatalaksana non bedah tidak dapat dilaksanakan, perlu dilaksanakan
tatalaksana bedah untuk mengatasi distress pernapasan. Perimbangkan trakeostomi jika
obstruksi di atas trakea. Tatalaksana bedah yang dilaksanakan oleh seorang
ottolaringologist adalah tracheotomy atau cricothyroidotomy. Tracheostomy harus
dibedakan dengan tracheotomy, tracheostomy adalah sebuah prosedur untuk membuka
trakea hingga nampak ke kulit, sehingga terbentuk suatu fistula trakeo-cutan yang lebih
permanent, sedangkan tracheotomy adalah prosedur membuat lubang pada trachea.
Berdasarkan letanya, tracheotomy dibagi menjadi dua jenis, yaitu letak tinggi
dan letak rendah, dengan cartilage trachea ke 3 sebagai batasnya. Menurut waktunya,
tracheotomy dibagi menjadi dua jenis, yaitui darurat yang dilaksanakan dalam kondisi
emergency yang tidak ada waktu untuk persiapan dan tracheotomy berencana yang
didahului dengan persiapan dan dilaksanakan dengan lebih lege artis.
Fungsi Trakeostomi
1. Mengurangi tahanan aliran udara pernafasan yang selanjutnya
mengurangi kekuatan yang diperlukan untuk memindahkan udara sehingga
mengakibatkan peningkatan regangan total dan ventilasi alveolus yang lebih efektif.
Asal lubang trakheostomi cukup besar (paling sedikit pipa 7)
2. Proteksi terhadap aspirasi
3. Memungkinkan pasien menelan tanpa reflek apnea, yang sangat penting
pada pasien dengan gangguan pernafasan
4. Memungkinkan jalan masuk langsung ke trachea untuk pembersihan
5. Memungkinkan pemberian obat-obatan dan humidifikasi ke traktus
respiratorius
6. Mengurangi kekuatan batuk sehingga mencegah pemindahan secret ke
perifer oleh tekanan negative intratoraks yang tinggi pada fase inspirasi batuk yang
normal
Indikasi dari trakeostomi antara lain:
a) Terjadinya obstruksi jalan nafas atas.
b) Sekret pada bronkus yang tidak dapat dikeluarkan secara fisiologis,
misalnya pada pasien dalam keadaan koma.
c) Untuk memasang alat bantu pernafasan (respirator).
d) Apabila terdapat benda asing di subglotis.
38
e) Penyakit inflamasi yang menyumbat jalan nafas ( misal angina ludwig),
epiglotitis dan lesi vaskuler, neoplastik atau traumatik yang timbul melalui mekanisme
serupa.
f) Obstruksi laring
g) Karena radang akut, misalnya pada laryngitis akut, laryngitis difterika,
laryngitis membranosa, laringo-trakheobronkhitis akut, dan abses laring.
h) Karena radang kronis, misalnya perikondritis, neoplasma jinak dan
ganas, trauma laring, benda asing, spasme pita suara, dan paralise Nerus Rekurens.
i) Sumbatan saluran napas atas karena kelainan kongenital,
traumaeksterna dan interna, infeksi, tumor.
j) Cedera parah pada wajah dan leher.
k) Setelah pembedahan wajah dan leher.
l) Hilangnya refleks laring dan ketidakmampuan untuk menelan sehingga
mengakibatkan resiko tinggi terjadinya aspirasi.
m) Penimbunan sekret di saluran pernafasan. Terjadi pada tetanus, trauma
kapitis berat, Cerebro Vascular Disease (CVD), keracunan obat, serta selama dan
sesudah operasi laring
Kontraindikasi dari trakheostomi antara lain :
Infeksi pada tempat pemasangan, dan gangguan pembekuan darah yang tidak
terkontrol, seperti hemofili.
39
melaksanakan tracheotomy adalah spuit dengan analgesic, scalpel, pinset anatomi,
gunting panjang tumpul, pengait tumpul sepasang, klem arteri, gunting, suction,
electrocautery, dan canul yang sesuai dengan ukuran pasien.
Posisi pasien terlentang, kemudian desinfeksi pada daerah leher pasien. Pasien
terlentang dengan posisi ektensi pada persendian atlanto-occipital, sehingga cartilage
crichoidea nampak jelas. Obat anestesi kemudian diinjeksikan di pertengahan krikoid
dan fossa suprasternal. Setelah obat bereaksi, dilaksanakan penyayatan secara vertical
pada linea mediana mulai dari bawah krikoid hingga fossa suprasternal. Sayatan juga
dapat dibuat secara horizontal pada bagian tengah anatara cricoid dengan fossa
suprasternalis (2 jari di bawah cricoid). Panjang sayatan ± 5 cm, sehingga memudahkan
proses selanjutnya.
Setelah sayatan cutan, dilakukan sayatan lanjutan untuk membuka lapisan kulit
dan otot. Sayatan ini kemudian ditarik dengan kuat dan lembut ke arah lateral untuk
identifikasi isthmus thyroid. Isthmus throid kemudian dapat ditarik ke arah superior
akan menampakkan cartilage atau dapat diklem pada kedua sisi kanan dan kirinya untuk
kemudian dipotong. Jika dilaksanakan pemotongan, penjahitan isthmus perlu dilakukan
pada kedua ujung yang telah dipotong agar perdarahan dapat berhenti dan memudahkan
visualisasi kartilago.
40
Setelah dilaksanakan pembukaan kulit, otot, dan isthmus thyroid akan tampak
cartilage thyroidea. Cartilage thyroidea ke 3 yang sudah nampak kemudian akan
dipotong dengan gunting yang tajam sehingga terbentuk stoma. Canula yang sesuai
dengan ukuran pasien akan dipasang pada stoma yang sudah terbentuk, kemudian balon
di kembangkan untuk fiksasi serta terakhir adalah koneksi dengan ventilator.
Komplikasi yang dapat muncul setelah prosedur tracheotomy adalah emfisema
subcutis, pneumomediastinum, pneumothorax, tracheoesophageal fistula, dan infeksi.
41
DAFTAR PUSTAKA
Katyal, Puneet and Ognjen Gajic. 2012. Pathophysiology of Respiratory Failure and Use of
Mechanical Ventilation. Rochester: Mayo Clinic.
Lalwani, Ani K. 2016. Current Diagnosis and Treatment : Ottolaryngology Head and
Neck Surgery 2nd Ed. New York: Mc Graw Hill Companies.
Neema, Praven Kumar. 2003. Respiratory Failure. New Delhi: Indian J. Anesth.
Hel, M, Hazel, A. and Smith, J. (2008). The mechanics of airway closure. Respiratory
Physiology and Neurobiology. 163(1-3), pp. 214-221
Soepardi, Eflaty Arsyad, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher Ed. 7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Brodie, D., Slutsky, AS (2017). Sindrom gangguan Pernapasan Akut: Kemajuan dalam
Diagnosis dan Perawatan. JAMA. 319(7): 698- 710. Doi: 10.001/jama.2017.2197
42
LAMPIRAN
43