Anda di halaman 1dari 6

Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa

ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ ‫ور‬َ ‫ت ه ْج َ ُرت ُه إىل هللا‬ ْ َ َ ْ َ َ ََ ِّ ‫بالن َّيات وإ َّنما ل ُك‬


ِّ َ َ ‫َّإن‬
‫ول ِه‬ ‫س‬
ِ ُُ ْ ِ ِ ‫ان‬‫ك‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ف‬ ‫ى‬ ‫و‬ ‫ن‬ ‫ما‬ ‫امريء‬
ٍ ‫ل‬ ِ ِ ‫ال‬ ‫األعم‬ ‫ا‬ ‫م‬
َ َ ُ َْ ُ ْ ُ َ ْ ُ ُ َُ ْ ْ َ َ ْ َِ ْ ُ َ ُ َُ ْ
‫فهجرته إىل ما‬ ِ ‫ا‬‫ه‬ ‫ح‬ ‫ك‬ِ ‫ن‬‫ي‬ ‫أة‬
ٍ ‫ر‬ ‫ام‬ ‫أو‬ ‫ها‬‫ب‬ ‫ي‬ ‫ص‬ِ ‫ي‬ ‫ا‬ ‫ي‬ ‫ن‬ ‫د‬ ‫ل‬ِ ‫ه‬ ‫ت‬
‫ر‬ ‫ج‬ ‫ه‬
ِ ‫ت‬ ‫ان‬ ‫ك‬ ‫ن‬ ‫وم‬ ‫ه‬ِ ‫ل‬ ِ ‫و‬‫س‬ ‫ور‬ ‫هللا‬
ِ ‫إىل‬ ‫ه‬ ‫فهجرت‬ ِ
َ َ َ
‫إليه‬
ِ ‫هاجر‬
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan
apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya
untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita
yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR.
Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907]

Kalimat “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya”, ini dilihat dari sudut
pandang al-manwi, yaitu amalan. Sedangkan kalimat “Setiap orang akan mendapatkan apa
yang ia niatkan”, ini dilihat dari sudut pandang al-manwi lahu, yaitu kepada siapakah
amalan tersebut ditujukan, ikhlas lillah ataukah ditujukan kepada selainnya.

Dari Abu Yazid Ma’an bin Yazid bin Al Akhnas radhiyallahu ‘anhum, -ia, ayah dan kakeknya
termasuk sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, di mana Ma’an berkata bahwa
ayahnya yaitu Yazid pernah mengeluarkan beberapa dinar untuk niatan sedekah. Ayahnya
meletakkan uang tersebut di sisi seseorang yang ada di masjid (maksudnya: ayahnya
mewakilkan sedekah tadi para orang yang ada di masjid, -pen). Lantas Ma’an pun
mengambil uang tadi, lalu ia menemui ayahnya dengan membawa uang dinar tersebut.
Kemudian ayah Ma’an (Yazid) berkata, “Sedekah itu sebenarnya bukan kutujukan padamu.”
Ma’an pun mengadukan masalah tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ‫ َو َل َك َما َأ َخ ْذ َت َيا َم ْعن‬، ‫ت َيا َيز ُيد‬


َ ََْ َ َ َ
‫لك ما نوي‬
ِ
“Engkau dapati apa yang engkau niatkan wahai Yazid. Sedangkan, wahai Ma’an, engkau
boleh mengambil apa yang engkau dapati.” (HR. Bukhari, no. 1422).

Tidak mungkin suatu amalan itu ada kecuali sudah didahului niat. Adapun jika ada amalan
yang tanpa niat, maka tidak disebut amalan seperti amalan dari orang yang tertidur dan
gila. Sedangkan orang yang berakal tidaklah demikian, setiap beramal pasti sudah memiliki
niat. Para ulama mengatakan, “Seandainya Allah membebani suatu amalan tanpa niat,
maka itu sama halnya membebani sesuatu yang tidak dimampui.”
Akan ada satu kelompok pasukan yang hendak menyerang Ka’bah, kemudian setelah
mereka berada di suatu tanah lapang, mereka semuanya dibenamkan ke dalam perut bumi
dari orang yang pertama hingga orang yang terakhir.” ‘Aisyah berkata

‫ل يَا‬
ََ ‫سو‬ َ ‫ف َكي‬
‫ْفَ ّ ه‬
ُ ‫َللاَ َر‬ َ ‫ َوآخه هر هه َْم بهأ َ ّو هل هه َْم ي ُْخ‬، ‫ن أَس َْواقُ ُه َْم َوفهي هه َْم‬
َُ ‫س‬ ََ ‫مه ْن ُه َْم لَي‬
َْ ‫ْس َو َم‬

Wahai Rasulullah, bagaimanakah semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang
terakhir, sedangkan di tengah-tengah mereka terdapat para pedagang serta orang-orang
yang bukan termasuk golongan mereka (yakni tidak berniat ikut menyerang Ka’bah)?

َ‫ف‬ َ ‫ َوآخه هر هه ْمَ هبأ َ َّو هل هه ْمَ ي ُْخ‬، ‫ع َلى يُ ْب َعثُونََ ث َُّم‬
ُ ‫س‬ َ َ‫هنيّا هت هه ْم‬

Mereka semuanya akan dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, kemudian
nantinya mereka akan dibangkitkan sesuai dengan niat mereka.
(HR. Bukhari, no. 2118 dan Muslim, no. 2884, dengan lafal dari Bukhari).

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

ُ ِّ ُ ْ َ َ َّ َ َ َ َْ َ ْ َ َ ْ َ ِّ ُ ْ َ ْ َ ُّ َ َ ُ َّ ِّ َ
‫اق ال ُعل َم ِاء ؛ ف ِإن ن َوى ِبقل ِب ِه َول ْم َيتكل ْم ِب ِل َس ِان ِه أ ْج َزأته الن َّية‬
ِ ‫والنية محلها القلب ِبات‬
‫ف‬
َ ِّ
‫ِباتف ِاق ِه ْم‬
“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya
tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan
kesepakatan para ulama.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 18:262)

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Siapa saja yang menginginkan melakukan


sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan,
lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat.
Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika
seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah
pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu
amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam
hatinya, inilah yang namanya niat.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 18:262)

(1) niat pada siapakah ditujukan amalan tersebut (al-ma’mul lahu)

 Niat awal dalam ibadahnya ikhlas, namun di pertengahan ia tambahkan dari amalan awalnya
tadi kepada selain Allah –misalnya dengan ia perpanjang bacaan qur’annya dari biasanya karena
ada temannya-, maka tambahannya ini yang dinilai batal. Namun niat awalnya tetap ada dan
tidak batal. Inilah amalan yang tercampur riya.
 Jika niat awalnya sudah ikhas, namun setelah ia lakukan ibadah muncul pujian dari orang lain
tanpa ia cari-cari, maka ini adalah berita gembira berupa kebaikan yang disegerakan bagi orang
beriman (tilka ‘aajil busyra lil mu’min, HR. Muslim, no. 2642 dari Abu Dzar radhiyallahu
‘anhu) (Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah karya Syaikh Shalih Alu Syaikh hlm. 25-27.)

(2) niat amalan.


Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

‫اس‬
َّ َ ُ ُ
‫الن‬ ‫وه‬‫ج‬ ‫و‬ ‫ه‬‫ب‬ َ ‫الس َف َه َاء َأ ْو َي ْْص‬
‫ف‬ ُّ ‫ب ْالع ْل َم ل ُي َجار َى به ْال ُع َل َم َاء َأ ْو ل ُي َمار َى به‬
َ ‫َم ْن َط َل‬
ِِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ
ِ َّ ِ ُ َّ ِ ُ َ َ ْ َ ْ َ
َ‫النار‬ ‫ِإلي ِه أدخله اَّلل‬
“Barangsiapa menuntut ilmu hanya ingin digelari ulama, untuk berdebat dengan orang
bodoh, supaya dipandang manusia, Allah akan memasukkannya dalam neraka.” (HR.
Tirmidzi, no. 2654 dan Ibnu Majah, no. 253. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits
ini hasan.)

Sedangkan niat amalan itu ada dua fungsi:

Fungsi pertama adalah untuk membedakan manakah adat (kebiasaan),

Fungsi kedua adalah untuk membedakan satu ibadah dan ibadah lainnya

Kaedah Menggabungkan Niat Ibadah


Dalam kitab Qawa’id Muhimmah wa Fawaid Jammah, Syaikh As-
Sa’di rahimahullah mengatakan dalam kaedah ketujuh:

Jika ada dua ibadah yang (1) jenisnya sama, (2) cara pengerjaannya sama, maka sudah
mencukupi bila hanya mengerjakan salah satunya.

Kasus ini ada dua macam:

Pertama:

Cukup mengerjakan salah satu dari dua macam ibadah tadi dan menurut pendapat yang
masyhur dalam madzhab Hambali disyaratkan meniatkan keduanya bersama-sama.
Contoh:

– Siapa yang memiliki hadats besar dan kecil sekaligus, dalam madzhab Hambali cukup
bersuci hadats besar saja untuk mensucikan kedua hadats tersebut.

– Jama’ah haji yang mengambil manasik qiran yang berniat haji dan umrah sekaligus,
cukup baginya mengerjakan satu thawaf dan satu sa’i. Demikian menurut pendapat yang
masyhur dalam madzhab Hambali.

Kedua:

Cukup dengan mengerjakan satu ibadah, maka ibadah yang lain gugur (tanpa diniatkan).

Contoh:

– Jika seseorang masuk masjid saat iqamah sudah dikumandangkan, maka gugur baginya
tahiyyatul masjid jika ia mengerjakan shalat jama’ah.

– Jika orang yang berumrah masuk Makkah, maka ia langsung melaksanakan thawaf umrah
dan gugur baginya thawaf qudum.

– Jika seseorang mendapati imam sedang ruku’, lalu ia bertakbir untuk takbiratul ihram dan
ia gugur takbir ruku’ menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Hambali.

– Jika Idul Adha bertepatan dengan hari Jum’at, maka cukup menghadiri salah satunya.

Ada penjelasan yang bagus dari Syaikh Prof. Dr. ‘Abdussalam Asy-Syuwai’ir (Dosen di
Ma’had ‘Ali lil Qadha’ Riyadh KSA) hafizahullah, ketika menjelaskan kaedah Syaikh As-Sa’di
di atas, beliau simpulkan kaedah sebagai berikut:

Jika ada dua ibadah, keduanya sama dalam (1) jenis dan (2) tata cara pelaksanaan, maka
asalnya keduanya bisa cukup dengan satu niat KECUALI pada dua keadaan:

1- Ibadah yang bisa diqadha’ (memiliki qadha’). Contoh: Shalat Zhuhur dan shalat Ashar
sama-sama shalat wajib dan jumlah raka’atnya empat, tidak bisa dengan satu shalat saja
lalu mencukupi yang lain. Sedangkan, aqiqah dan qurban bisa cukup dengan satu niat
karena keduanya tidak ada kewajiban qadha’, menurut jumhur ulama keduanya adalah
sunnah.

2- Ia mengikuti ibadah yang lainnya. Contoh: Puasa Syawal dan puasa sunnah yang lain
yang sama-sama sunnah. Keduanya tidak bisa cukup dengan satu niat untuk kedua ibadah
karena puasa Syawal adalah ikutan dari puasa Ramadhan (ikutan dari ibadah yang lain).
Karena dalam hadits disebutkan, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian ia ikutkan
dengan puasa enam hari di bulan Syawal ….” Adapun shalat rawatib dan shalat sunnah
tahiyatul masjid, keduanya bisa cukup dengan satu niat karena shalat tahiyatul masjid tidak
ada kaitan dengan shalat yang lain.

Syaikh ‘Abdussalam Asy-Syuwai’ir juga menyampaikan bahwa ulama Hanafiyah membawa


kaidah:

Jika suatu ibadah yang dimaksudkan adalah zatnya, maka ia tidak bisa masuk dalam ibadah
lainnya, ia mesti dikerjakan untuk maksud itu. Namun jika suatu ibadah yang dimaksudkan
adalah yang penting ibadah itu dilaksanakan, bukan secara zat yang dimaksud, maka ia
bisa dimaksudkan dalam ibadah lainnya.

Contoh:

Shalat rawatib dan tahiyyatul masjid. Shalat tahiyyatul masjid bisa dimasukkan di dalam
shalat rawatib. Cukup dengan niatan shalat rawatib, maka shalat tahiyyatul masjid sudah
termasuk. Karena perintah untuk shalat tahiyyatul masjid yang penting ibadah itu
dilaksanakan, yaitu ketika masuk masjid sebelum duduk, lakukanlah shalat sunnah dua
raka’at. Jika kita masuk masjid dengan niatan langsung shalat rawatib, berarti telah
melaksanakan maksud tersebut.

Referensi:

1. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah. Cetakan Tahun 1420 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir


As-Sa’di. Penerbit Dar Al-Haramain.
2. At-Ta’liqat ‘ala ‘Umdah Al-Ahkam. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Dar ‘Alam Al-Fawaid.
3. Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Ibnu Rajab Al-
Hambali. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
4. Majmu’ah Al-Fatawa. Cetakan keempat, Tahun 1432 H. Syaikhul Islam Ahmad bin
Taimiyah Al-Harrani. Penerbit Dar Al-Wafa’.
5. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah fi Al-Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyyah. Cetakan
kedua, Tahun 1423 H. Al-Imam Ibnu Daqiq Al-‘Ied. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
6. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.
7. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh Shalih bin
‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh. Penerbit Dar Al-‘Ashimah

Anda mungkin juga menyukai