Anda di halaman 1dari 2

Sang Guru

"Guru adalah warga negara kelas kambing. Namun guru adalah kambing yang pintar dan karena
itu ia bisa menjadi apa saja" ( Sang Guru - Gerson Poyk:174)

Inilah sepenggal ungkapan dari novel Sang Guru yang ditulis sastrawan asal Nusa Tenggara Timur,
Gersan Poyk. Melalui novelnya Poyk mengisahkan perjalanan Ben, seorang guru muda yang
ditugaskan di Pulau Ternate. Dalam novel yang diterbitkan tahun 1973 ini, sang penulis mengisahkan
kesengsaraan Ben pada masa permulaan tugasnya sebagai guru.

Sang tokoh yang dikisahkan pergi jauh ke luar pulau ditemani ibunya, harus menghadapi kenyataan
pahit upah dari pekerjaannya sebagai guru sangat jauh dari layak. Buat beli nasi saja gajinya tak cukup,
sehingga ia terpaksa harus berutang kepada pesuruh di sekolahnya. Meski hidupnya susah tetapi
“Sang Guru” pantang untuk berputus asa, disela-sela kesibukannya mengajar anak-anak, Ben tak malu
untuk bekerja kasar.

Jiwa petualang dan pengalamanya di masa lalu saat ia harus bekerja apa saja, membuatnya kuat untuk
terus menjalani hidup yang keras di perantauan. Sebelum menjadi guru, dalam novel itu dikisahkan,
Ben pernah menjadi buruh kasar pengantar hewan, kuli pemarut kelapa bahkan pernah menjadi
tentara. Tak hanya itu pengalamannya pergi ke banyak tempat membuatnya bisa mengajarkan ilmu
apa saja kepada murid-muridnya

Di lain cerita, ada sebuah film yang dirilis tahun 1981 dengan judul yang sama yaitu “Sang Guru”,
mengisahkan Topaz, yang diperankan aktor S. Bagio, seorang guru yang miskin tetapi sangat jujur dan
lurus. Murid-murid sangat mengaguminya karena saat mengajar selalu menekankan kejujuran dan
budi pekerti. Kisah guru jujur ini menjadi mengharu biru karena konflik di sekolah tempatnya
mengajar. Sang kepala sekolah yang bernama Mursalin menganggap pendidikan sebagai bisnis semata
dan akhirnya Topaz harus menerima kenyataan pahit, dipecat dari sekolah karena protes orangtua
murid yang diberi nilai merah olehnya

Ben dan Topaz memang hanyalah fiksi belaka, tetapi apa yang terjadi dengan mereka bisa jadi banyak
dialami para guru di Indonesia terutama para guru honorer. Mereka yang harus berpendidikan tinggi
untuk menjadi guru, nyatanya ketika bekerja hanya dibayar alakadarnya. Hebatnya meski hari-hari
para guru dihantui dengan ketidakpastian, nyatanya ratusan ribu guru wiyata bhakti ini tetap bertahan
dalam pengabdiannya. Mereka tidak pernah lelah, bahkan tetap bertahan hingga berpuluh tahun
lamanya

Para guru honorer sejatinya adalah Ben dan Topaz dalam dunia nyata. Para cendekia yang rela
menderita untuk kemajuan bangsanya. Mereka adalah pekerja keras dan pemelihara nilai-nilai moral
dan kejujuran, sungguh kita sangat tidak beradab kalau tetap membiarkan mereka berjuang sendiri
padahal mereka selalu berjuang untuk tanah airnya

Sudah saatnya negara dan semua elemen yang ada di dalamnya turun tangan. Menempatkan mereka
dengan cara yang pantas dan memberi kepastian atas profesi yang tetap setia mereka tekuni.
Bukankah Undang-Undang Guru dan Dosen sudah mengamanatkan, para guru harus diberikan
imbalan di atas penghasilan minimum? Kalau tidak dipatuhi itu artinya kita ingkar dan mengabaikan
nilai-nilai kemanusiaan.

Semoga para guru honorer tetap tegar dan tidak pernah lelah untuk berjuang untuk kehidupannya
dan kemajuan bangsanya. Tabik!

Anda mungkin juga menyukai