Anda di halaman 1dari 44

i

Laporan Kasus

Seorang Laki-laki Usia 48 Tahun Datang Dengan Keluhan


Nyeri Perut Kanan Atas Sejak 7 Hari SMRS

Pembimbing:
dr. Dini Ardiyani, SpPD

Oleh:
Retno Widyastuti 04054821618080
Chyntia Tiara Putri 04054821719049
Andini Fatma Trinata 04084821719183

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUDH. M. RABAIN MUARA ENIM
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

“ Seorang Laki-laki Usia 48 Tahun Datang Dengan Keluhan


Nyeri Perut Kanan Atas Sejak 7 Hari SMRS”

Retno Widyastuti 04054821618080


Chyntia Tiara Putri 04054821719049
Andini Fatma Trinata 04084821719183

Sebagai syarat untuk mengikuti kepaniteraan klinik periode 19 Juni 2017 – 28 Agustus
2017 di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya/RSUD H. M. Rabain Muara Enim.

Muara Enim, Juli 2017

dr. Dini Ardiyani, SpPD

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan hidayah-
Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “ Seorang Laki-laki Usia
48 Tahun Datang Dengan Keluhan Nyeri Perut Kanan Atas Sejak 7 Hari SMRS”.
Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW, sebagai
tauladan umat manusia.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Dini
Ardiyani, SpPD selaku pembimbing.
Penulis menyadari banyak kekurangan dari laporan ini. Oleh karena itu, kritik dan
saran membangun sangat penulis harapkan. Demikian, semoga laporan ini tetap dapat
berkonstribusi untuk kemajuan ilmu kedokteran.

Muara Enim, Juli 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................................ i


HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
BAB II. STATUS PASIEN ................................................................................................... 3
2.1. Identifikasi Pasien ...................................................................................................... 3
2.2. Anamnesis.................................................................................................................. 3
2.3. Pemeriksaan Fisik ...................................................................................................... 5
2.4. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................................. 9
2.5. Rencana Pemeriksaan .............................................................................................. 10
2.6. Diagnosis Sementara................................................................................................ 10
2.7 Diagnosis Banding ................................................................................................... 10
2.8. Pemeriksaan Penunjang Tambahan ......................................................................... 10
2.9. Penatalaksanaan ....................................................................................................... 12
2.10 Prognosis................................................................................................................. 12
2.11. Follow Up .............................................................................................................. 13
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 14
3.1. Anatomi dan Fisiologi Hepar ................................................................................... 14
3.2. Abses Hepar ............................................................................................................. 16
BAB IV. ANALISIS KASUS .............................................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 39

iv
1

BAB I
PENDAHULUAN

Abses hepar merupakan akumulasi material supuratif yang terbungkus


dalam parenkim hati, yang dapat disebabkan oleh infeksi bakteri (piogenik), jamur
dan atau parasit amuba.1 Abses hepar amuba disebabkan oleh Entamoeba
histolytica sedangkan abses hepar piogenik sering merupakan infeksi sekunder
dari jaringan sekitar, trakus hepatobilier atau penyebaran hematogen. Abses hepar
piogenik paling banyak disebabkan oleh Escherichia coli and Klebsiella sp. 2,3
Beberapa faktor yang meningkatkan risiko abses hepar diantaranya diabetes
melitus, sirosis, keadaan imunosupresi, pengguanaan proton pump inhibitor (PPI)
dan faktor usia.1,2
Abses hepar amuba adalah manifestasi ekstraintestinal tersering dari
amubiasis berupa penimbunan debris nekro-inflamatori purulen di dalam
parenkim hati. Amubiasis terjadi pada 10% populasi dunia, dan paling banyak
terjadi di daerah tropis dan subtropik. Asia tenggara merupakan salah satu daerah
endemis amubiasis. Abses hepar lebih banyak ditemui pada laki-laki.3 Di dunia,
hampir 40-50 juta orang menderita abses akibat amuba dan sebagian besar terjadi
di Negara berkembang. Di Negara endemis seperti di Asia Tenggara,
prevalensinya lebih besar dari 5% - 10%.2,3
Kista E. histolytica yang menginfeksi masuk ke vena porta hepatica
hingga ke hati. Di hati, amuba mengeluarkan enzim proteolitik yang melisiskan
jaringan pejamu sehingga terbentuk jaringan nekrotik.3 Pada umumnya pasien
mengeluhkan nyeri perut kanan atas yang disertai dengan demam, mual, muntah,
malaise dan penurunan berat badan. Sedangkan ikterus jarang ditemukan.3,4 Pada
pemeriksaan fisik didapatkan hepatomegali dan nyeri tekan abdomen kanan
atas.2,3 Hasil pemeriksaan laboratorium yang umumnya ditemukan adalah
hipoalbuminemia, peningkatan enzim hepar, dan leukositosis.4 Tanda dan gejala
serta temuan laboratorium sering tidak spefisik, sehingga memerlukan
pemeriksaan penunjang radiologi. Pemeriksaan ultrasonografi merupakan pilihan
utama dan bermanfaat menunjang diagnosis serta pemilihan tatalaksana.1
Abses hepar yang tidak ditatalaksana hampir selalu menjadi fatal karena
menyebabkan berbagai komplikasi serius. Tatalaksana pada umumnya berupa
drainase pus, baik secara perkutan maupun dengan prosedur bedah, dan terap
antibiotik.2
Walaupun insidensinya rendah, mortalitas akibat abses hepar tergolong
tinggi dan sering menimbulkan komplikasi serius. Sehinga identifikasi dini sangat
penting untuk manajemen efektif dan tercapainya luaran yang lebih baik. Namun,
diagnosis abses hepar dapat menjadi lebih sulit karena gejalanya yang bervariasi
dan terkadang temuan objektif juga tidak spesifik.1 Kompetensi dokter umum
untuk abses hepar amuba adalah 3A. Artinya dokter umum mampu membuat
diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan serta menentukan rujukan
yang paling tepat, juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
Untuk itu, penulis merasa perlu untuk membahas kasus abses hepar amuba ini.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi
Nama :Leo
Tanggal Lahir : 24 April 1969
Usia : 48 tahun
Jenis Kelamin :Laki-laki
Alamat :Desa Mulak, Lahat
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Petani
Pendidikan : SLTP
MRS : 24 Juli 2017
No. Rekmed : 213020

2.2 Ananmnesis
Autoanamnesis (tanggal, 25 Juli2017pukul 08.00 WIB)
Keluhan Utama :
Nyeri perut kanan atas sejak ± 7 hari sebelum masuk rumah sakit(SMRS).
Keluhan Tambahan:
Mual sejak ± 7 hari SMRS.

Riwayat Perjalanan Penyakit:


Sejak ± 2 minggu SMRS pasien mengeluh nyeri perut kanan atas,
nyeri dirasakan hilang timbul seperti ditusuk-tusuk benda tajam, namun
tidak terlalu mengganggu akivitas, nyeri timbul tiba-tiba, tidak dipengaruhi
oleh makanan, nyeri berkurang dengan istirahat, nyeri tidak menjalar ke
tempat lain. Mual dan muntah tidak ada, nyeri ulu hati tidak ada,
penurunan nafsu makan tidak ada, demam tidak ada, sesak tidak ada, badan
dan mata kuning tidak ada. BAB dan BAK tidak ada keluhan.

3
± 7 hari SMRS pasien mengeluh nyeri perut kanan atas semakin hebat,
nyeri dirasakan terus menerus seperti ditusuk-tusuk, nyeri berkurang jika
membungkukkan badan, nyeri tidak menjalar ke tempat lain. Pasien juga
mengeluh mual namun tidak muntah, nafsu makan turun, demam tidak
terlalu tinggi yang terjadi terus menerus, badan lemah serta nyeri sendi.
Sesak tidak ada, badan dan mata kuning tidak ada, BAB dempul tidak ada,
BAK warna teh tua tidak ada. Pasien berobat ke IGD RSUD H. M. Rabain
Muara Enim.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit kencing manis disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat sakit jantung disangkal
Riwayat penyakit tumor disangkal
Riwayat sakit kuning ada, 15 tahun yang lalu
Riwayat batu empedu disangkal

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


Riwayat penyakit kencing manis dalam keluarga disangkal
Riwayat hipertensi dalam keluarga disangkal
Riwayat sakit jantung dalam keluarga disangkal
Riwayat penyakit tumor dalam keluarga disangkal
Riwayat sakit kuning dalam keluarga disangkal.
Riwayat batu empedu dalam keluarga disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi, Pekerjaan dan Kebiasaan


Os merupakan seorang petani. Pendapatan os dan keluarga tidak menentu
karena pekerjaannya hanya sebagai petani. Os tidak terlalu memperhatikan
kebersihan. Sebelum makan os jarang mencuci tangan. Riwayat konsumsi
alkohol disangkal. Riwayat mengonsumsi obat steroid atau jamu disangkal.

4
Riwayat Gizi
Sebelum sakit, os makan tidak teratur karena pendapatan yang rendah. Os
biasanya hanya makan sedikit nasi dengan lauk seadanya, seperti tahu,
tempe atau ikan. Os mengaku juga jarang minum air putih.

2.3 Pemeriksaan Fisik (tanggal 25 Juli 2017, pukul 08.00 WIB)


KEADAAN UMUM
Keadaan umum : Sakit sedang, lemas
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg (lengan kanan, posisi tidur)
Nadi : 80 x/menit
Pernafasan :20x/menit, Tipe pernapasan abdomino-torakal
Suhu : 37,10C
Berat Badan : 50kg
Tinggi Badan : 168cm
IMT : 17,7 (normoweigth)

KEADAAN SPESIFIK
Pemeriksaan Organ
Kepala
Bentuk : Normocephali
Ekspresi : Kesakitan
Rambut : Hitam, lurus dan tidak mudah dicabut
Alopesia : (-)
Deformitas : (-)
Perdarahan temporal : (-)
Nyeri tekan : (-)
Wajah sembab : (-)

5
Mata
Eksoftalmus : (-)
Endoftalmus : (-)
Palpebral : Edema (-)
Konjungtiva palpebra : Pucat (+)
Sklera : Ikterik (-)
Kornea : Katarak (-)
Pupil :Bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, reflek
cahaya (+/+)
Hidung
Sekret : (-)
Epistaksis : (-)
Telinga
Meatus akustikus eksternus : Lapang
Nyeri tekan : Processus mastoideus (-/-), tragus (-/-)
Nyeri tarik : Aurikula (-/-)
Sekret : (-)
Pendengaran : Baik
Mulut
Higiene : baik
Bibir : Cheilitis (-), rhagaden (-),sianosis (-),
Lidah : Kotor (-), atrofi papil (-)
Tonsil : T1-T1

Mukosa
Mulut : Basah, stomatitis (-), ulkus (-)
Gusi : Hipertrofi (-), berdarah (-), stomatitis (-)
Faring hiperemis : (-)
Bau Pernapasan : Bau keton (-)

6
Leher
Inspeksi : Trachea deviasi (-)
Palpasi : Pembesaran kelenjartiroid/struma (-)
Auskultasi : Bruit (-)
Tekanan vena jugularis : (5-2) cmH2O.
Dada
Inspeksi : Bentuk dada normal, sela iga melebar (-), retraksi
dinding dada (-), spider nevi (-), venektasi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi (-)
Paru-paru (Anterior)
Inspeksi :
Statis : Simetris kanan dan kiri, sela iga normal
Dinamis : Simetris kanan dan kiri, sela iga normal, retraksi (-)
Palpasi :Nyeri tekan (-), stem fremitus paru kanan sama dengan kiri
Perkusi : Nyeri ketok (-), sonor pada paru kanan dan kiri, batas paru
hepar pada ICS VI linea midclavicularis dextra,
peranjakan 1 sela iga.
Auskultasi :Vesikuler paru kanan dan kiri normal, ronkhi (-),
wheezing (-) pada paru kanan dan kiri
Paru-paru (Posterior)
Inspeksi :
Statis : Simetris kanan dan kiri, sela iga normal
Dinamis : Simetris kanan dan kiri, sela iga normal, retraksi (-)
Palpasi :Nyeri tekan (-), stem fremitus paru kanan sama dengan kiri
Perkusi : Nyeri ketok (-), sonor pada paru kanan dan kiri
Auskultasi :Vesikuler paru kanan dan kiri normal, ronkhi (-),
wheezing (-) pada paru kanan dan kiri
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

7
Perkusi : Batas atas ICS II linea parasternalis dextra,
Batas kanan ICS IV linea sternalis dextra,
Batas kiri ICS V line midclavicularis sinistra
Auskultasi : HR 80x/menit, reguler, BJ I-II normal,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), skar (-).
Palpasi : Lemas, hepar teraba 4 jari dibawah arcus costae,
tepi tajam, konsistensi kenyal, permukaan rata,
teraba benjolan, nyeri tekan (+) pada regio
hipokondrium kanan dan epigastrium, defans
muskuler (-),Ballotement ginjal (-).
Perkusi :Timpani,shifting dullness (-), nyeri ketok CVA(-)
Auskultasi : Bising usus normal, bruit (-)
Ekstremitas
Inspeksi :
Superior : Deformitas (-), kemerahan (-), edema (-/-), koilonikia
(-), sianosis (-), jari tabuh (-), palmar eritem (-), kulit
lembab, flapping tremor (-), onikomikosis (-), palmar
pucat (-)
Inferior : Deformitas (-), kemerahan (-), edema pretibial (-/-),
koilonikia (-), sianosis (-), jari tabuh (-), onikomikosis
(-)
Palpasi :
Superior : Akral hangat (+/+), Edema (-/-), krepitasi (-/-)
Inferior : Akral hangat (+/+), Edema pretibial (-/-), krepitasi (-/-)
ROM :
Superior : Kekuatan 5, rom aktif pasif luas.
Inferior : Kekuatan 5, rom aktif pasif luas.
Genitalia
Tidak dilakukan

8
Kulit
Kulit : Cokelat kehitaman
Efloresensi : (-)
Turgor : Baik
Keringat : Baik
Pertumbuhan rambut : Dalam batas normal
Lapisan lemak : kurang
Ikterus : (-)
Lembab/kering : Lembab
Kelenjar Getah Bening (KGB)
Tidak terdapat pembesaran KGB pada regio periauricular,
submandibula, cervical anterior dan posterior, supraclavicula,
infraclaviculla, axilla, dan inguinal.
Pembuluh Darah
a.temporalis, a.carotis, a.brakhialis, a.femoralis, a.poplitea, a.tibialis
posterior, a.dorsalis pedis : teraba

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium:
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hb 10,5 g/dl 14-18 g/dL
RBC 3,92x106/mm3 4,5-6,0x106/mm3
Leukosit 14.480/mm3 5.000-10.000/mm3
Hematokrit 31,5% 40-52%
MCV 80,4 fL 82-92 fL
MCH 26,8 pg 27-31 pg
MCHC 33,3 g/dL 32-36 g/dL
Trombosit 755.000/mm3 150.000-450.000/µL
RDW-CV 15,70% 11,5-14,5%
Diff. count 0,6/0,9/74,6/16/7,9 0-1/1-3/50-70/20-40/2-8

9
2.5 Rencana Pemeriksaan
 Liver Function Tests
 Bilirubin Total, Bilirubin Direct, Bilirubin Indirect
 Protein Total, Albumin, Globulin
 Ureum, Kreatinin
 Imunoserologi Hepatitis
 USG Abdomen

2.6 Diagnosis Sementara


Abses Hepar

2.7 Diagnosis Banding


1. Hepatoma
2. Hepatitis Kronik

2.8 Pemeriksaan Penunjang Tambahan


Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
SGOT 41 U/L < 37 U/L
SGPT 25 U/L < 41 U/L
Bilirubin Total 1,1 mg/dL 0,1 -1,2mg/dL
Bilirubin Direct 0,3 mg/dL 0-0,25mg/dL
Bilirubin Indirect 0,8 mg/dL 0.8 mg/dL
Protein Total 5,7 mg/dL 6,6-8,8 mg/dL
Albumin 2,4mg/dL 3,5-5,2 mg/dL
Globulin 3,3 mg/dL 1,3-2,7 mg/dL
Ureum 25mg/dL 10-50 mg/dL
Kreatinin 0,7 mg/dL 0,9-1,3 mg/dL
HBs Ag Negatif Negatif
Anti HBs Negatif Negatif

10
USG Abdomen :

Gambar 1. USG Abdomen (25 Juli 2017)

- Hepar : ukuran membesar, sudut tajam, tekstur parenkim inhomogen, kapsul


tidak menebal. Tampak massa hipoechoic inhomogen berdinding tebal, tepi
irreguler, disertai internal echo berukuran 12,5 x 10,8 x 11,7 cm di lobus
kanan hepar, yang memberikan flow di perifernya. Vena porta dan vena
hepatika tidak melebar. Tidak tampak koleksi cairan di sekitarnya.
- Gallbladder : besar normal, dinding normal, tidak tampak batu / sludge
Duktus biliaris inra / ekstrahepatal tidak melebar, tidak tampak batu.
- Spleen : ukuran tidak membesar, tekstur parenkim homogen halus, tidak
tampak nodul/massa. Vena lienalis tidak melebar.
- Pankreas : besar normal, kontur normal, tekstur parenkim homogen, tidak
tampak massa/kalsifikasi. Duktus pankreatikus tidak melebar.
- Ginjal kanan kiri : ukuran normal, kontur normal, parenkim normal, intensitas
gema normal. Batas tekstur parenkim dengan central echocomplek normal.
Tidak tampak batu. Sistem pelvikokalises tidak melebar. Ureter tidak
terdeteksi.

11
- Vesika urinaria : terisi cukup, dinding tidak menebal, reguler, tidak tampak
batu/massa.
- Tampak koleksi cairan minimal di antara usus-usus di abdomen bawah.
Kesan :
- Abses hepar
- Ascites minimal
- USG Gallbladder, spleen, prankeas, ginjal kanan/kiri, vesika urinaria
saat ini tak tampak kelainan

2.9 Penatalaksanaan
Non Farmakologis:
 Istirahat
 Edukasi
 R/ Aspirasi abses hepar

Farmakologis:
 IVFD D5% gtt XX/m (mikro)
 Injeksi Cepraz 2 x 1 gr
 Injeksi Metronidazole 3x1
 Curcuma 2x1 po
 Injeksi Ondansentron 2x1
 Injeksi Omeprazole 1x1
 Paracetamol 3x500 mg po

2.10 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

12
2.11 Follow Up
Tanggal P
26/7/2017 S : nyeri perut kanan atas, mual, Non Farmakologis:
lemas Istirahat
O : sens : CM, TD : 120/80 Edukasi
mmHg, N : 84x/menit, RR :
19x/menit, T : 37,10C. Nyeri Farmakologis:
tekan kuadran kanan atas (+), IVFD D5% gtt XX/m (mikro)
hepar teraba 4 jbac dengan Injeksi Cepraz 2 x 1 gr
benjolan InjeksiMetronidazole 3x1
Dilakukan aspirasi abses hepar, Curcuma 2x1 po
didapatkan 750 cc cairan Injeksi Ondansentron 2x1
berwarna pink kemerahan. Injeksi Omeprazole 1x1
Paracetamol 3x500 mg po
A: Abses Hepar

28/7/2017 S : nyeri perut kanan atas Non Farmakologis:


berkurang, mual berkurang, Istirahat
lemas berkurang Edukasi
O : sens : CM, TD : 120/80
mmHg, N : 80x/menit, RR : Farmakologis:
19x/menit, T : 36,70C. Nyeri IVFD D5% gtt XX/m (mikro)
tekan kuadran kanan atas (+), Injeksi Cepraz 2 x 1 gr
hepar teraba 2 jbac, benjolan (-) InjeksiMetronidazole 3x1
A: Abses Hepar Curcuma 2x1 po
Injeksi Ondansentron 2x1
Injeksi Omeprazole 1x1
Paracetamol 3x500 mg po

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Hepar


Hepar adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar
1.500gram atau 2 % berat badan orang dewasa normal. Letaknya sebagian besar
di regio hipokondria dekstra, epigastrium, dan sebagian kecil di hipokondria
sinistra. Hepar memiliki dua lobus utama yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan
dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan.
Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiformis.
Di bawah peritoneum terdapat jaringan ikat padat yang disebut kapsula Glisson
yang meliputi seluruh permukaan hepar. Setiap lobus hepar terbagi menjadi
struktur-struktur yang disebut sebagai lobulus, yang merupakan unit mikroskopis
dan fungsional organ yang terdiri atas lempeng-lempeng sel hepar dimana di
antaranya terdapat sinusoid. Selain sel-sel hepar, sinusoid vena dilapisi oleh sel
endotel khusus dan sel Kupffer yang merupakan makrofag yang melapisi sinusoid
dan mampu memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus
hepatikus. Hepar memiliki suplai darah dari saluran cerna dan limpa melalui vena
porta hepatika dan dari aorta melalui arteria hepatika. Hepar mempunyai beberapa
fungsi yaitu5:
a. Pembentukan dan ekskresi empedu
Dalam hal ini terjadi metabolisme pigmen dan garam empedu. Garam
empedu penting untuk pencernaan dan absorpsi lemak serta vitamin larut-
lemak di dalam usus5.
b. Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak, protein)
setelah penyerapan dari saluran pencernaan.
 Metabolisme karbohidrat: menyimpan glikogen dalam jumlah besar,
konversi galaktosa dan friktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, serta
pembentukan banyak senyawa kimia dari produk antara metabolisme
karbohidrat.

14
 Metabolisme lemak: oksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi
fungsi tubuh yang lain, sintesis kolesterol,fosfolipid,dan sebagian besar
lipoprotein, serta sintesis lemak dari protein dan karbohidrat
 Metabolisme protein: deaminasi asam amino, pembentukan ureum
untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein
plasma, serta interkonversi beragam asam amino dan sintesis senyawa
lain dari asam amino5.
c. Penimbunan vitamin dan mineral
Vitamin larut-lemak ( A,D,E,K ) disimpan dalam hepar, juga vitamin
B12, tembaga, dan besi dalam bentuk ferritin. Vitamin yang paling banyak
disimpan dalam hepar adalah vitamin A, tetapi sejumlah besar vitamin D dan
B12 juga disimpan secara normal.
 Hepar menyimpan besi dalam bentuk ferritin
Sel hepar mengandung sejumlah besar protein yang disebut
apoferritin, yang dapat bergabung dengan besi baik dalam jumlah sedikit
maupun banyak. Oleh karena itu, bila besi banyak tersedia dalam cairan
tubuh, maka besi akan berikatan dengan apoferritin membentuk ferritin
dan disimpan dalam bentuk ini di dalam sel hepar sampai diperlukan. Bila
besi dalam sirkulasi cairan tubuh mencapai kadar rendah, maka ferritin
akan melepaskan besi.
 Hepar membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam
jumlah banyak
Zat-zat yang dibentuk di hepar yang digunakan pada proses
koagulasi meliputi fibrinogen, protrombin, globulin akselerator, faktor
VII, dan beberapa faktor koagulasi lainnya. Vitamin K dibutuhkan oleh
proses metabolisme hepar, untuk membentuk protrombin dan faktor VII,
IX, dan X5.
d. Hepar mengeluarkan obat-obatan, hormon,danzat lain
Medium kimia yang aktif dari hepar dikenal kemampuannya dalam
melakukan detoksifikasi atau ekskresi berbagai obat-obatan meliputi
sulfonamid, penisilin, ampisilin, dan eritromisin ke dalam empedu. Beberapa

15
hormon yang disekresi oleh kelenjar endokrin diekskresi atau dihambat secara
kimia oleh hepar meliputi tiroksin dan terutama semua hormon steroid seperti
estrogen, kortisol, dan aldosteron5.
e. Hepar berfungsi sebagai gudang darah dan filtrasi
Hepar adalah organ venosa yang mampu bekerja sebagai tempat
penampungan darah yang bermakna saat volume darah berlebihan dan mampu
menyuplai darah ekstra di saat kekurangan volume darah. Sinusoid hepar
merupakan depot darah yang mengalir kembali dari vena cava (gagal jantung
kanan). kerja fagositik sel Kupffer membuang bakteri dan debris dari darah5.

Gambar 1. Anatomi Hepar6.

3.2 Abses Hepar


Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hepar yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hepar nekrotik, sel-sel inflamasi atau
sel darah didalam parenkim hepar. Abses Hepar dibagi menjadi dua, yaitu abses
hepar amuba (AHA) dan abses hepar piogenik (AHP)7.

16
3.2.1 Abses Hepar Amuba (AHA)
3.2.1.1 Definisi
AHA adalah manifestasi ekstarintestinal paling umum dari amubiasis.
Dibandingkan dengan orang-orang yang tinggal di daerah endemik, abses hepar
amuba lebih sering terjadi pada orang-orang yang baru saja pergi ke daerah
endemik dan cenderung laki-laki lanjut usia. Jika AHA terjadi pada orang yang
belum pergi ke atau tinggal di daerah endemik, perlu ditingkatkan kecurigaan
terhadap keadaaan imunosupresi, khususnya Acquired Immunodeficiency
Syndrome (AIDS). Faktor predisposisi yang memberikan kontribusi untuk tingkat
keparahan penyakit adalah usia muda, kehamilan, malnutrisi, alkoholisme,
penggunaan glukokortikoid, dan keganasan8.

3.2.1.2 Epidemiologi
Di negara – negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara
endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. Hampir 10 % penduduk dunia
terutama negara berkembang terinfeksi E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang
memperlihatkan gejala. Insidens amubiasis hepar di rumah sakit seperti Thailand
berkisar 0,17 % sedangkan di berbagai rumah sakit di Indonesia berkisar antara 5-
15% pasien/tahun. Penelitian di Indonesia menunjukkan perbandingan pria dan
wanita berkisar 3:1 sampai 22:1, yang tersering pada dekade keempat. Penularan
umumnya melalui jalur oral-fekal dan dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan
yang menderita amubiasis hepar adalah pria dengan rasio 3,4-8,5 kali lebih sering
dari wanita. Usia yang sering dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama dewasa
muda dan lebih jarang pada anak. Infeksi E.histolytica memiliki prevalensi yang
tinggi di daerah subtropikal dan tropikal dengan kondisi yang padat penduduk,
sanitasi serta gizi yang buruk9.

3.2.1.3 Etiologi
AHA disebabkan oleh parasit amuba, yang paling sering yaitu Entamoeba
hystolitica. Sebagai host definitif, individu-individu yang asimptomatis
mengeluarkan tropozoit dan kista bersama kotoran mereka. Infeksi biasanya

17
terjadi setelah meminum air atau memakan makanan yang terkontaminasi kotoran
yang mengandung tropozoit atau kista tersebut. Dinding kista akan dicerna oleh
usus halus, keluarlah tropozoit imatur. Tropozoit dewasa tinggal di usus besar
terutama sekum. Strain Entamoeba hystolitica tertentu dapat menginvasi dinding
kolon. Strain ini berbentuk tropozoit besar yang mana di bawah mikroskop
tampak menelan sel darah merah dan sel PMN. Pertahanan tubuh penderita juga
berperan dalam terjadinya amubiasis invasif8.

3.2.1.4 Entamoeba hystolytica


Manusia merupakan satu-satunya hospes parasit ini. Walaupun beberapa
binatang yaitu anjing, kucing, tikus dan monyet dapat diinfeksi secara
eksperimental dengan E.histolytica, hubungan dengan penularan zoonisasi masih
belum jelas10.
E.histolytica mempunyai 2 stadium yaitu trofozoit dan kista. Bila kista
matang tertelan, kista tersebut tiba dilambung masih dalam keadaan utuh karena
dinding kista tahan terhadap asam lambung. Dirongga terminal usus halus,
dinding kista dicernakan, terjadi ekskistasi dan keluarlah stadium trofozoit yang
masuk kerongga usus besar. Dari satu kista yang mengandung 4 buah inti, akan
terbentuk 8 buah trofozoit. Stadium trofozoit berukuran 10-60 mikron,
mempunyai inti entamoba yang terdapat di endoplasma. Ektoplasma bening
homogeny terdapat dibagian tepi sel dapat dilihat dengan nyata. Pseudopodium
yang dibentuk dari ektoplasma besar dan lebar seperti daun, dibentuk dengan
mendadak, pergerakannya cepat dan menuju suatu arah. Endoplasma berbutir
halus, biasanya mengandung bakteri10.
Stadium trofozoit dapat bersifat patogen dan menginvasi jaringan usus
besar. Dengan aliran darah menyebar ke jaringan hati, paru, otak, kulit dan vagina.
Hal tersebut disebabkan sifatnya yang dapat merusak jaringan. Stadium trofozoit
berkembang biak secara belah pasang. Pada tinja segar, pseudopodium terlihat
dibentuk perlahan-lahan sehingga pergerakkannya lambat. Stadium kista dibentuk
dari stadium trofozoit yang berada dirongga usus besar. Di usus besar, trofozoit
berubah menjadi prekist yang berinti satu kemudian membelah menjadi berinti 2

18
dan akhirnya berinti 4 yang dikeluarkan bersama tinja. Dalam tinja, stadium ini
biasanya berinti 1 atau 4 kadang-kadang terdapat yang berinti 2. Pada kista
matang, benda kromatoid dan vakuol glikogen biasanya tidak ada lagi. Stadium
kista tidak pathogen tetapi merupakan stadium yang infektif. Infeksi terjadi
dengan menelan kista matang. Infeksi yang disebabkan oleh E.histolytica dapat
ditetapkan dengan menemukan stadium kista atau trofozoit dalam tinja. Stadium
trofozoit ditemukan pada tinja yang konsistensinya lembek atau cair, sedangkan
stadium kista biasanya ditemukan pada tinja padat10.

Gambar 2. Siklus Hidup Entamoeba hystolytica10.

3.2.1.5 Patogenesis
Cara penularan umumnya melalui fecal-oral yaitu dengan menelan kista,
baik melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi langsung
pada orang dengan higiene yang buruk. Kasus yang jarang terjadi adalah
penularan melalui seks oral ataupun anal11.
Selama siklus hidupnya, Entamoeba hystolytica dapat berbentuk sebagai
trophozoit yang menyebabkan penyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang
dapat ditemukan pada lumen usus. Bentuk kista tahan terhadap asam lambung
namun dindingnya akan diurai oleh tripsin dalam usus halus. Setelah menginfeksi
kista amuba melewati saluran pencernaan dan menjadi tropozoit di usus besar,
tropozoit kemudian melekat ke sel epitel dan mukosa kolon dengan Gal dimana
mereka menginvasi mukosa. Lesi awalnya berupa mikro ulserasi mukosa caecum,
kolon sigmoid dan rektum yang mengeluarkan eritrosit, sel inflamasi dan sel

19
epitel. Ulserasi yang meluas ke submukosa menghasilkan ulkus khas berbentuk
termos (flask-shaped) yang berisi tropozoit di batas jaringan mati dan sehat.
Organisme dibawa oleh sirkulasi vena portal ke hepar, tempat abses dapat
berkembang8.
Entamoeba hystolytica sangat resisten terhadap lisis yang dimediasi
komplemen, oleh karena itu dapat bertahan di aliran darah. Terkadang organism
ini menginvasi organ selain hepar dan dapat membuat abses dalam paru-paru atau
otak. Pecahnya abses hepar amuba ke dalam pleura, perikard dan ruang peritoneal
juga dapat terjadi. Di dalam hepar, E.histolytica mengeluarkan enzim proteolitik
yang berfungsi melisiskan jaringan pejamu. Lesi pada hepar berupa “well
demarcated abscess” mengandung jaringan nekrotik dan biasanya mengenai lobus
kanan hepar karena lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior
dan vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika
inferior dan aliran limfatik8.
Respon awal pejamu adalah migrasi sel-sel PMN. Amuba juga memiliki
kemampuan melisiskan PMN dengan enzim proteolitiknya, sehingga terjadilah
destruksi jaringan. Abses hepar mengandung debris aseluler dan tropozoit hanya
dapat ditemukan pada tepi lesi. Dinding abses bervariasi tebalnya, bergantung
pada lamanya penyakit. Secara klasik, cairan abses menyerupai ”achovy paste”
dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta sel darah
merah yang dicerna8.

3.2.1.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi sistemik abses hepar piogenik lebih berat dari pada abses hepar
amebik. Dicurigai adanya abses hepar piogenik apabila ditemukan sindrom klinis
klasik berupa nyeri spontan perut kanan atas, yang ditandai dengan jalan
membungkuk ke depan dengan kedua tangan diletakkan di atasnya. Apabila AHP
letaknya dekat diafragma, maka akan terjadi iritasi diagfragma sehingga terjadi
nyeri pada bahu sebelah kanan, batuk ataupun terjadi atelektesis, rasa mual dan
muntah, berkurangnya nafsu makan, terjadi penurunan berat badan yang
unintentional12.

20
Demam atau panas tinggi merupakan manifestasi klinis yang paling utama,
anoreksia, malaise, batuk disertai rasa sakit pada diafragma, anemia, hepatomegali
teraba sebesar 3 jari sampai 6 jari di bawah arcus-costa, ikterus terdapat pada 25
% kasus dan biasanya berhubungan dengan penyebabnya yaitu penyakit traktus
biliaris, abses biasanya multipel, massa di hipokondrium atau epigastrium, efusi
pleura, atelektasis, fluktuasi pada hepar, dan tanda-tanda peritonitis12.

3.2.1.7 Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik memberikan petunjuk penting dalam
menegakkan diagnosis AHA. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
berupa laboratorium, tes serologi (amuba), kultur darah, kultur cairan aspirasi dan
pencitraan (USG, CT scan)8.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan temperatur, pembesaran
hepar dan nyeri tekan. Jaundice cukup jarang didapatkan, tetapi jika didapatkan
diduga adanya obstruksi traktus biliaris atau sudah terdapat penyakit hepar kronik
sebelumnya. Aspirasi pada abses amuba harus dilakukan jika diagnosis masih
belum jelas dengan gambaran pasta coklat kemerahan dan berbau. Tropozoit
hanya didapatkan pada 20% aspirasi. Hasil foto thoraks abnormal didapatkan pada
50-80% pasien dengan gambaran atelektasis paru lobus kanan bawah, efusi pleura
kanan, dan kenaikan hemidiafragma kanan8.
USG abdomen merupakan pilihan utama untuk tes awal karena non invasif
dengan sensitivitas tinggi (80-90%) untuk mendapatkan lesi hipoechoic dengan
internal echoes.CT scan kontras dilakukan terutama untuk mendiagnosis abses
yang lebih kecil, dapat melihat seluruh kavitas peritoneal yang mungkin dapat
memberikan informasi tentang lesi primer8.
Tes serologi yang dapat digunakan meliputi ELISA, indirect
hemagglutination, cellulose actate precipitin, counterimmunoelectrophoresis,
immunofluorecent antibody, dan rapid latex agglutination test. Hasil tes serologi
harus diinterpretasikan dengan klinis pasien karena kadar serum antibodi mungkin
masih tinggi selama beberapa tahun setelah perbaikan atau penyembuhan.
Sensitivitas tes sekitar 95% dan spesifisitas lebih dari 95%. Hasil negatif palsu

21
mungkin terjadi pada 10 hari pertama infeksi. Tes berbasis PCR untuk mendeteksi
DNA amuba dan pemeriksaan ELISA untuk mendeteksi antigen amuba pada
serum sudah sering dilakukan8.
Sherlock (2002) membuat kriteria diagnosis AHA8:
1. Adanya riwayat berasal dari daerah endemik
2. Pemebesaran hepar pada laki-laki muda
3. Respon baik terhadap metronidazole
4. Lekositosis tanpa anemia pada riwayat sakit yang tidak lama dan
lekositosis dengan riwayat sakit yang sama
5. Ada dugaan amubiasis pada pemeriksaan foto thoraks PA dan lateral
6. Pada pemeriksaan scan didapatkan filling defect
7. Tes fluorecen antibodi amuba positif
Bila ke 7 kriteria ini dipenuhi maka AHA sudah hampir pasti ditegakkan.

3.2.1.8 Diagnosis Banding8


1. Kista hepar
2. Keganasan pada hepar
3. AHP

Tabel 1. Perbedaan AHA dan AHP8.


AHP AHA
Demografi Usia 50-70 tahun Usia 20-40 tahun
Jenis kelamin laki- Jenis kelamin laki>
laki=perempuan perempuan (>10:1)
Faktor risiko Infeksi bakteri akut, khususnya Bepergian atau menetap di
mayor intra abdominal daerah endemik (pernah
Obstruksi bilier menetap)
Diabetes mellitus
Gejala klinis Nyeri perut regio kuadran kanan Akut: demam tinggi,
atas, demam, menggigil, rigor, menggigil, nyeri abdomen,
lemah, malaise, anoreksia, sepsis
penurunan berat badan, diare, Sub akut: penurunan berat
batuk, nyeri dada pleuritik badan, demam, nyeri abdomen
relatif jarang
Khas: tak ada gejala kolonisasi
usus dan kolitis

22
Tanda klinis Hepatomegali disertai nyeri Nyeri tekan perut regio kanan
tekan, massa abdomen, ikterus
atas bervariasi
Laboratorium Lekositosis, anemia, penigkatan
Serologi ameba positif (70-
enzim-enzim hati (alkali
95%)
fosfatase melebihi
Lekositosis bervariasi dan
aminotransferase), peningkatan
anemia
bilirubin, hipoalbuminemia Tidak ditemukan eosinofilia
Alkali fosfatase meningkat,
namun aminotransferasi
biasanya normal
Pencitraan Abses multifokal (50%) Abses tunggal (80%)
Biasanya lobus kanan Biasanya lobus kanan
Tepi ireguler Rounded atau oval, bersepta
Wall enchacement pada CT
scan dengan kontras intravena
Cairan aspirasi Purulent Konsistensi dan warna
Tampak kuman pada pewarnaan bervariasi
gram Steril
Kultur positif (80%) Tropozoid jarang ditemukan

3.2.1.9 Tatalaksana13
1. Medikamentosa
Abses hepar amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan
penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba.
Pengobatan yang dianjurkan adalah:
Metronidazole
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk
amubiasis intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping yang
paling sering adalah sakit kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap
logam. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hepar amoeba adalah
3 x 750 mg per hari selama 5 – 10 hari. Sedangkan untuk anak ialah
35-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis. Derivat nitroimidazole
lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800
mg perhari selama 5 hari, untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari
dalam dosis tunggal selama 3-5 hari.

23
Dehydroemetine (DHE)
Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang direkomendasikan
untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari
atau 1-1,5 mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10
hari. DHE relatif lebih aman karena ekskresinya lebih cepat dan
kadarnya pada otot jantung lebih rendah. Sebaiknya tidak digunakan
pada penyakit jantung, kehamilan, ginjal, dan anak-anak
Chloroquin
Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis ekstraintestinal
ialah 2x300 mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150
mg/hari selama 2 atau 3 minggu. Dosis untuk anak ialah 10
mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi selama 3 minggu. Dosis yang
dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan diikuti 500 mg/hari
selama 20 hari.
2. Aspirasi
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di
atas tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada
ancaman ruptur atau bila terapi dcngan metronidazol merupakan
kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi.
Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.
3. Drainase Perkutan
Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman
ruptur atau diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi
campuran, letak abses dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda
perforasi dan abses pada lobus kiri hepar. Selain itu, drainase perkutan
berguna juga pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan
perikardial.
4. Drainase Bedah
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil
mcmbaik dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis
susah dicapai dengan aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah

24
diindikasikan juga untuk perdarahan yang jarang tcrjadi tetapi
mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses.
Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami
infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila
usaha dekompresi perkutan tidak berhasil Laparoskopi juga
dikedepankan untuk kemungkinannya dalam mengevaluasi tcrjadinya
ruptur abses amuba intraperitoneal.

3.2.1.10 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6 %. Ruptur
dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau kulit.
Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau drainase.
Infeksi pleuropneumonal adalah komplikasi yang paling umum terjadi.
Mekanisme infeksi termasuk pengembangan efusi serosa simpatik, pecahnya
abses hepar ke dalam rongga dada yang dapat menyebabkan empiema, serta
penyebaran hematogen sehingga terjadi infeksi parenkim. Fistula hepatobronkial
dapat menyebabkan batuk produktif dengan bahan nekrotik mengandung amoeba.
Fistula bronkopleural mungkin jarang terjadi. Komplikasi pada jantung biasanya
dikaitkan pecahnya abses pada lobus kiri hepar dimana ini dapat menimbulkan
kematian. Pecah atau rupturnya abses dapat ke organ-organ peritonium dan
mediastinum. Kasus pseudoaneurysm arteri hepatika telah dilaporkan terjadi
sebagai komplikasi14.

3.2.2 Abses hepar piogenik (AHP)


3.2.2.1 Definisi
AHP adalah proses supuratif yang terjadi pada jaringan hati yang
disebabkan oleh invasi bakteri melalui aliran darah, sistem bilier, maupun
penetrasi langsung. AHP dapat berupa abses tunggal maupun abses multipel. AHP
masih merupakan permasalahan kesehatan sehubungan dengan angka kesakitan
dan kematian yang masih cukup tinggi bila terlambat didiagnosis8.

25
3.2.2.2 Epidemiologi
AHP ini tersebar di seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan
kondisi hygiene /sanitasi yang kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8–15 per
100.000 kasus AHP yang memerlukan perawatan di RS, dan dari beberapa
kepustakaan Barat, didapatkan prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29–1,47%
sedangkan prevalensi di RS antara 0,008-0,016%. AHP lebih sering terjadi pada
pria dibandingkan perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih dari 40 tahun,
dengan insidensi puncak pada dekade ke-69.
Abses hepar piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal setelah
otopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG, CT Scan dan
MRI lebih mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi otopsi berkisar antara
0,29-1,47 % sedangkan insidennya 8-15 kasus/100.000 penderita9.

3.2.2.3 Etiologi8
Abses hepar piogenik sebagian besar akibat infeksi dari tempat lain, dimana
sumber infeksi umumnya berasal dari organ intraabdomen lain. Penyebab
tersering adalah kolangitis yang disebabkan oleh baru maupun strikur. Sekitar
15% kasus abses hepar piogenik tidak diketahui sumber infeksinya (abses
kriptogenik).
Tabel 2. Sumber infeksi dan penyebab AHP.
Saluran empedu Penyebaran langsung
Batu empedu Empiema kandung empedu
Kolangiokarsinoma Perforasi ulkus peptikum
Striktur Abses subfrenik
Vena porta Trauma
Apendisitis Iatrogenik
Penyakit Crohn Biopsi hati
Arteri hepatika Blocked biliary tract
Infeksi gigi Kriptogenik
Endokarditis bakterial Kista hati terinfeksi

Escherichia coli dan Klebsiella pneumonia merupakan kuman yang paling


banyak diisolasi pada kelompok bakteri aerobic gram negatif. Klebsiella terutama
ditemukan pada pasien AHP dengan diabetes dan intoleransi glukosa. Pada

26
kelompok bakteri gram positif, AStafilokokus merupakan bakteri yang paling
seirng ditemukan pada infeksi monomikrobial. Streptokokus dan Enterokokus
paling sering ditemukan pada infeksi polimikrobial. Pada suatu studi besar,
ditemukan S. aureus dan Streptokokus beta hemolitikus merupaka bakteri
penyebab AHP pada trauma, streptokokus grup D, K. pneumonia, dan
Klostridium sp. berhubungan dengan infeksi sistem bilier, serta Bakterioides dan
Klostridium sp. berhubungan dengan penyakit kolon.

Tabel 3. Mikroba Patogen pada Abses Hepar Piogenik.


Bakteri aerobik gram negatif Bakteri anaerobik
Escherichia coli Anaerobic streptokokus
Klebsiella pneumoniae Bacetriodes sp.
Pseudomonas aeruginosa Fusobacterium sp.
Proteus dp. Peptostreptokokus sp.
Enterobacter sp. Prevotella sp.
Ctrobacter feundii Actinomyces sp.
Morganella sp Eubacterium
Serratia sp. Propionibacterium acnes
Haemophilus sp. Clostridium sp.
Legionella pneumophilia Lactobacillus sp.
Yersinia sp. Preptokokus sp.
Bakteri aerobik gram positif
Viridans streptococci Eubakterium sp.
Staphylococcus aureus Sphaerophous sp.
Capynocytophaga sp. (facultatively
anaerobic)
Enterococcus sp. Bakteri mikroaerofilik
Streptokokus beta hemolitikus Streptokokus milleri grup
Lain-lain
Streptokokus pneumonia Mycobacterium sp.
Listenia monositogen Chlamidya sp.
Candida sp.
Kriptokokus sp.
Verticillium sp.

3.2.2.4 Patogenesis
Hepar adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari suatu
studi di Amerika, didapatkan 13% abses hepar dari 48% abses viseral. Abses

27
hepar dapat berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini dapat terjadi dari
penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di
dalam rongga peritoneum. Hepar menerima darah secara sistemik maupun melalui
sirkulasi vena portal, hal ini memungkinkan terinfeksinya hepar oleh karena
paparan bakteri yang berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi
sinusoid hepar akan menghindari terinfeksinya hepar oleh bakteri tersebut. Bakteri
piogenik dapat memperoleh akses ke hepar dengan ekstensi langsung dari organ-
organ yang berdekatan atau melalui vena portal atau arteri hepatika15.
Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi aliran empedu
akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya tekanan dan distensi
kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari vena portal dan limfatik sehingga
akan terbentuk formasi abses fileflebitis. Mikroabses yang terbentuk akan
menyebar secara hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik. Penetrasi akibat
trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hepar sehingga
terjadi AHP. Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan nekrosis hepar,
perdarahan intrahepatik dan terjadinya kebocoran saluran empedu sehingga terjadi
kerusakan dari kanalikuli. Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri
ke hepar dan terjadi pembentukan pus. Lobus kanan hepar lebih sering terjadi
AHP dibanding lobus kiri, kal ini berdasarkan anatomi hepar, yaitu lobus kanan
menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus
kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran limfatik15.

3.2.2.5 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis klasik AHP adalah demam dan nyeri perut kanan atas.
Demam tinggi yang naik turun disertai menggigil merupakan keluhan terbanyak.
Nyeri perut kanan atas biasanya menetap dan dapat menyebar ke bahu kanan.
Kebanyakan pasien mengalami keaadan ini kurang dari 2 minggu sebelum pergi
berobat. Gejala tidak khas lainnya meliputi keringat malam, muntah, anoreksia,
kelemahan umum, dan penurunan berat badan. Pasien juga mungkin datang
dengan keluhan pada sumber infeksi primernya, misalnya apendisitis atau
diverkulitis, sebelum gejala AHP berkembang8.

28
Onset penyakit biasnaya terjadi akut. Onset yang tersamar dapat terjadi pada
orang tua. Onset pada abses tunggal biasanya gradual dan umumnya merupakan
abses kriptogenik. Gambaran klinis pada abses multipel biasanya menunjukkan
gambaran akut dan biasanya penyebab primernya diketahui8.
Pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran hepar disertai nyeri pada kuadran
kanan atas. Ikterik dapat dijumpai apabila penyakit telah lanjut. Beberapa pasien
tidak mengeluhkan adanya nyeri perut kuadran kanan atas atau tidak didapatkan
hepatomegali, biasanya gambaran klinis menunjukkan fever of unknown origin
(FUO). Adanya kelainan pada paru kanan berupa pekak pada perkusi dan
penurunan suara napas dijumpai apabila proses penyakit terjadi pada segmen
superior lobus kanan. Anemia dan dehidraasi juga merupakan tanda fisik yang
sering ditemukan8.

3.2.2.6 Tatalaksana13
1. Pencegahan
Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses hepar
piogenik yaitu dengan cara:
a. Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu ataupun
tumor dengan rute transhepatik atau dengan melakukan endoskopi
b. Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal
2. Terapi definitif
Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang adekuat dan
menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari saluran
cerna. Pemberian antibiotika secara intravena sampai 3 gr/hari selama 3
minggu diikuti pemberian oral selama 1-2 bulan. Antibiotik ini yang
diberikan terdiri dari:
 Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan beberapa
jenis bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya sefalosporin
generasi ketiga seperti cefoperazone 1-2 gr/12jam/IV
 Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk bakteri anaerob
terutama B. fragilis. Dosis metronidazole 500 mg/6 jam/IV

29
 Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.
 Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisin-metronidazole,
aminoglikosida dan siklosporin.

a. Drainase abses
Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase
terbuka terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan
konservatif. Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan
drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan abdomen
ultrasound atau tomografi komputer.
b. Drainase bedah
Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi
perkutan, drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen
yang memerlukan manajemen operasi.

3.2.2.7 Komplikasi
Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit berat seperti
septikamia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hepar disertai
peritonitis generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan pleuropulmonal, gagal
hepar, perdarahan ke dalam rongga abses, hemobilia, empiema, fistula
hepatobronkial, ruptur ke dalam perikard atau retroperineum. Sesudah
mendapatkan terapi, sering terjadi diatesis hemoragik, infeksi luka, abses rekuren,
perdarahan sekunder dan terjadi rekurensi atau reaktifasi abses7.

3.2.2.8 Prognosis
Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin,
metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit
dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas
memadai sekitar 2% dan pada fasilitas yang kurang memadai mortalitasnya 10%.
Pada kasus yang membutuhkan tindakan operasi mortalitas sekitar 12%. Jika ada
peritonitis amuba, mortalitas dapat mencapai 40-50%. Kematian yang tinggi ini

30
disebabkan keadaan umum yang jelek, malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab
kematian biasanya sepsis atau sindrom hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit
ini juga dipengaruhi oleh virulensi penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak
serta jumlah abses dan terdapatnya komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5%
pasien dengan infeksi ektraintestinal, serta infeksi peritonial dan perikardium16.
Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang
akurat dengan ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur
anaerob, pemberian antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase
secara bedah. Faktor utama yang menentukan mortalitas antara lain umur, jumlah
abses, adanya komplikasi serta bakterimia polimikrobial dan gangguan fungsi
hepar seperti ikterus atau hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir mortalitas
terjadi pada keadaan sepsis abses subfrenik atau subhepatik, ruptur abses ke
rongga peritonium, ke pleura atau ke paru, kegagalan hepar, hemobilia, dan
perdarahan dalam abses hepar. Penyakit penyerta yang menyebabkan mortalitas
tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan sirosis hepar. Mortalitas abses hepar
piogenik yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial penyebab dan
dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila: terjadi umur di atas
70 tahun, abses multipel, infeksi polimikroba, adanya hubungan dengan
keganasan atau penyakit immunosupresif, terjadinya sepsis, keterlambatan
diagnosis dan pengobatan, tidak dilakukan drainase terhadap abses, adanya
ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit lain16.

31
BAB IV
ANALISA KASUS

Tn. Leo, laki-laki, 48 tahun, datang ke IGD RSUD H.M. Rabain Muara
Enim dengan keluhan nyeri perut kanan atas bertambah hebat sejak ± 7 hari
SMRS disertai dengan mual muntah. Sejak ± 2 minggu SMRS pasien mengeluh
nyeri perut kanan atas, nyeri dirasakan hilang timbul seperti ditusuk-tusuk, namun
tidak terlalu mengganggu akivitas dan berkurang dengan istirahat. ± 7 hari SMRS
pasien mengeluh nyeri perut kanan atas semakin hebat, nyeri dirasakan terus
menerus seperti ditusuk-tusuk, nyeri berkurang jika membungkukkan badan.
Pasien juga mengeluh mual muntah, nafsu makan turun, disertai demam tidak
terlalu tinggi yang terjadi terus menerus, badan lemah serta nyeri sendi. Sesak
tidak ada, badan dan mata kuning tidak ada, BAB dempul tidak ada, BAK warna
teh tua tidak ada. Pasien memiliki riwayat sakit kuning 15 tahun yang lalu. Pasien
bekerja sebagai petani dengan status sosial ekonomi menegah kebawah. Pasien
juga kurang menjaga higienitas pribadi dan jarang mencuci tangan. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, lemas, dengan
kesadaran compos mentis, tanda vital yang lain dalam batas normal dan status gizi
baik. Pada pemeriksaan kepala didapatkan konjungtiva palpebra pucat. Pada
pemeriksaan abdomen didapatkan hepar teraba 4 jari dibawah arcus costae, tepi
tajam, konsistensi kenyal, permukaan rata, teraba benjolan, nyeri tekan (+) pada
regio hipokondrium kanan dan epigastrium.
Pasien ini didiagnosis sementara dengan abses hepar dan diagnosis
banding dengan hepatoma dan hepatitis kronis berdasarkan hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Dari identifikasi didapatkan pasien merupakan laki-laki dengan
usia yang tidak terlalu tua, pasien bekerja sebagai petani namun jarang mencuci
tangan sebelum makan, dan tinggal di Negara endemis. Pasien lebih berisiko
sebagai seorang laki-laki karena penelitian di Indonesia menunjukkan
perbandingan pria dan wanita untuk abses hepar berkisar 3:1 sampai 22:1. Dari
segi usia, pasien juga lebih berisiko karena prevalensi abses hepar yang tersering
adalah pada dekade keempat. Dari segi pekerjaan, kebiasaan dan tempat tinggal,

32
pasien juga lebih berisiko karena penularan umumnya melalui jalur oral-fekal dan
dapat juga oral-anal-fekal dengan prevalensi yang tinggi di daerah tropikal dengan
kondisi sanitasi yang buruk. Penularan secara fekal oral ini lebih umum terjadi
pada abses hepar amuba, sedangkan abses hepar piogenik biasanya terjadi sebagai
infeksi sekunder dari traktus hepatobilier maupun penyebaran hematogen.
Pasien datang dengan keluhan utama nyeri abdomen kanan atas. Beberapa
organ yang terdapat di abdomen regio kanan atas diantaranya adalah hepar, vesika
vellea, dan hemidiafragma kanan. Nyeri abdomen kanan atas pada pasien ini
terjadi karena adanya pembesaran hepar (hematomegali) akibat akumulasi
jaringan nekrotik dan leukosit (pus) yang menyebabkan teregangnya kapsul hepar.
Teregangnya kapsul hepar ini yang memberikan impuls ke ujung saraf aferen dan
timbul sensasi nyeri pada abdomen kanan atas. Selain itu, adanya proses inflamasi
menyebabkan pengeluaran sitokin proinflamasi juga menimbulkan nyeri. Mual,
muntah, demam tidak terlalu tinggi, nafsu makan turun, badan lemah serta nyeri
sendi terjadi karena prses inflamasi yang terjadi di hepar. Gejala ini tidak spesifik
dan dapat terjadi pula pada infeksi sistemik lainnya. Ikterus terdapat pada 25 %
kasus dan biasanya berhubungan dengan penyebabnya yaitu penyakit traktus
biliaris, abses biasanya multipel, massa di hipokondrium atau epigastrium, efusi
pleura, atelektasis, fluktuasi pada hepar, dan tanda-tanda peritonitis. Pada pasien
tidak ditemukan badan dan mata kuning, BAB dempul dan BAK warna teh tua
membantu menyingkirkan adanya gangguan pada traktus biliaris. Manifestasi
sistemik abses hepar piogenik biasanya lebih berat dari pada abses hepar amebik.
Dicurigai adanya abses hepar piogenik apabila ditemukan sindrom klinis klasik
berupa nyeri spontan perut kanan atas, yang ditandai dengan jalan membungkuk
ke depan dengan kedua tangan diletakkan di atasnya. Apabila AHP letaknya dekat
diafragma, maka akan terjadi iritasi diagfragma sehingga terjadi nyeri pada bahu
sebelah kanan, batuk ataupun terjadi atelektesis, rasa mual dan muntah,
berkurangnya nafsu makan, terjadi penurunan berat badan yang unintentional.
Pada pasien, gejala klinis yang timbul tidak terlalu berat sehingga dipikirkan lebih
mungkin disebabkan oleh amuba dibandingkan dengan piogenik.

33
Pada pemeriksaan kepala didapatkan konjungtiva palpebra pucat. Hal ini
dikonfirmasi dengan kadar hemoglobin pada pemeriksaan darah rutin. Pada
pemeriksaan abdomen didapatkan hepar teraba 4 jari dibawah arcus costae, tepi
tajam, konsistensi kenyal, permukaan rata, teraba benjolan, nyeri tekan (+) pada
regio hipokondrium kanan dan epigastrium. Tanda ini menggambarkan adanya
pembesaran hepar dan proses inflamasi yang terjadi di hepar. Pada pasien ini,
kriteria diagnosis abses hepar amuba menurut Scherlock tahun 2012 dapat dilihat
pada tabel berikut:

Kriteria Diagnosis AHA Sherlock (2002) Pasien


1. Riwayat berasal dari daerah endemik (+)
2. Pemebesaran hepar pada laki-laki muda (+)
3. Respon baik terhadap metronidazole (+)
4. Leukositosis tanpa anemia pada riwayat (+)
sakit yang tidak lama dan leukositosis
dengan riwayat sakit yang sama
5. Ada dugaan amubiasis pada Belum dilakukan pemeriksaan
pemeriksaan foto thoraks PA dan lateral
6. Pada pemeriksaan scan didapatkan Belum dilakukan pemeriksaan
filling defect
7. Tes fluorecen antibodi amuba positif Belum dilakukan pemeriksaan

Bila ke 7 kriteria ini dipenuhi maka AHA sudah hampir pasti ditegakkan.
Hasil pemeriksaan darah rutin didapatkan anemia ringan (gambaran anemia
mikrositik hipokrom) yang mendukung temuan klinis berupa konjungtiva
palpebra pucat. Hepar merupakan tempat penyimpanan cadangan besi tubuh yang
disebut sebagai feritin. Bila parenkim hepar mengalami nekrosis maka tidak
banyak cadangan besi yang tersimpan. Oleh karena itu, kemungkian sebab anemia
ringan pada pasien ini adalah akibat anemia defiensi besi. Selain itu, pada pasien
abses hepar, anemia juga dapat terjadi akibat penyakit kronis pasien. Temuan
abnormal pemeriksaan darah rutin lainnya adalah leukositosis dan peningkatan
jumlah trombosit. Leukositosis pada pasien ini terjadi akibat proses infeksi yang
meningkatkan respon imun sehingga lebih banyak sel darah putih yang berada
didalam pembuluh darah. Namun, pada pasien ini peningkatan leukosit tidak

34
begitu tajam sehingga dipikirkan bukan merupakan abses hepar piogenik. Hepar
juga berfungsi untuk membentuk zat-zat yang digunakan pada proses koagulasi
meliputi fibrinogen, protrombin, globulin akselerator, faktor VII, dan beberapa
faktor koagulasi lainnya. Karena terdapat nekrosis parenkim hepar yang
memproduksi zat-zar tersebut maka terjadi respon untuk meningkatkan trombosit.
Pasien ini didagnosis banding dengan hepatoma dan hepatitis kronis karena dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan tanda dan gejala yang menunjukkan
gangguan kronik pada hepar dan adanya riwayat sakit kuning 15 tahun yang lalu.
Untuk menyingkirkan diagnosis banding dilakukan pemeriksaan penujuang
berupa pemeriksaan Liver Function Tests, Bilirubin Total, Bilirubin Direct,
Bilirubin Indirect, Protein Total, Albumin, Globulin, Ureum, Kreatinin,
Imunoserologi Hepatitis, dan USG Abdomen. Hasil uji fungsi hati menunjukkan
peningkatan ringan SGOT, peningkatan ringan bilirubin direct, penurunan protein
total dan albumin dengan peningkatan globulin. Pemeriksaan HBsAg dan anti
HBs menunjukkan hasil negatif. Hasil pemeriksaan USG Abdomen pada 25 Juli
2017 didapatkan gambaran abses hepar berupa pembesaran hepar dengan sudut
dan tampak massa hipoechoic inhomogen berdinding tebal, tepi irreguler, disertai
internal echo berukuran 12,5 x 10,8 x 11,7 cm di lobus kanan hepar, yang
memberikan flow di perifernya disertai asites minimal berupa koleksi cairan
minimal di antara usus-usus di abdomen bawah. Abses pada pasien ini terletak
pada lobus kanan. Berdasarkan beberapa studi kasus, abses hepar paling banyak
terdapat di lobus kanan hepar karena lobus kanan menerima darah dari arteri
mesenterika superior dan vena portal sehingga sangat rentan terinfeksi. Setelah
dilakukan pemeriksaan penunjang lanjutan, disimpulkan bahwa pasien menderita
abses hepar. Pada aspirasi abses didapatkan cairan 750 cc cairan berwarna pink
kemerahan. Abses hepar amuba biasanya menyerupai ”achovy paste” dan
berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta sel darah merah
yang dicerna.
Setelah diagnosis abses hepar, kemudian ditentukan kemungkinan
penyebab abses hepar, amuba atau piogenik. Abses hepar amuba dan piogenik
dapat dibedakan berdasarkan temuan seperti yang tercamtum dalam tabel berikut:

35
AHP AHA Pasien
Demografi Usia 50-70 tahun Usia 20-40 tahun Usia 48 tahun
Jenis kelamin laki- Jenis kelamin laki> Laki-laki
laki=perempuan perempuan (>10:1)
Faktor Infeksi bakter akut, Bepergian atau menetap Menetap di daerah
risiko terutama intra abdominal di daerah endemik endemik
mayor Obstruksi bilier (pernah menetap)
Diabetes mellitus
Gejala Nyeri perut regio kuadran Akut: demam tinggi, Nyeri abdomen
klinis kanan atas, demam, menggigil, nyeri Mual muntah
menggigil, rigor, lemah, abdomen, sepsis Anoreksia
malaise, anoreksia, Sub akut: penurunan berat BB turun, demam,
penurunan berat badan, badan, demam, nyeri lemah, malaise
diare, batuk, nyeri dada abdomen relatif jarang Tidak ada gejala
pleuritik Khas: tak ada gejala kolonisasi usus dan
kolonisasi usus dan kolitis kolitis
Tanda Hepatomegali disertai Nyeri tekan perut regio Hepatomegali, nyeri
klinis nyeri tekan, massa kanan atas bervariasi tekan perut regio
abdomen, ikterus kanan atas (+)
Ikterus (-)
Laboratori Lekositosis, anemia,
Serologi ameba positif Leukositosis, anemia
um penigkatan enzim-enzim (70-95%) ringan, penigkatan
hati (alkali fosfatase
Lekositosis bervariasi dan ringan SGOT.
melebihi anemia Peningkatan ringan
aminotransferase), Eosinofilia (-) bilirubin,
peningkatan bilirubin,
Alkali fosfatase hipoalbuminemia
hipoalbuminemia meningkat, namun ringan. Eosinofilia (-)
aminotransferasi biasanya Serologi amuba belum
normal diperiksa.
Pencitraan Abses multifokal (50%) Abses tunggal (80%) Abses tunggal di lobus
Biasanya lobus kanan Biasanya lobus kanan kanan, berdinding
Tepi ireguler Rounded atau oval, tebal dengan tepi
bersepta ireguler.
Wall enchacement pada
CT scan dengan kontras.
Cairan Purulent Konsistensi dan warna Warna coklat
aspirasi Tampak kuman pada bervariasi kemerahan
pewarnaan gram Steril Belum dilakukan
Kultur positif (80%) Tropozoid jarang kultur
ditemukan

36
Berdasarkan tanda, gejala, hasil temuan laboratorium, radiologis dan cairan
aspirasi, pasien ini didagnosis dengan abses hepar amuba. Bila dilakukan
pemeriksan foto thoraks mungkin didapatkan gambaran atelektasis paru lobus
kanan bawah, efusi pleura kanan, dan kenaikan hemidiafragma kanan. Bila
dilakukan CT Scan didapatkan lesi hipoechoic dengan internal echoes. CT scan
kontras dilakukan terutama untuk mendiagnosis abses yang lebih kecil, dapat
melihat seluruh kavitas peritoneal yang mungkin dapat memberikan informasi
tentang lesi primer. Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan fto thoraks dan CT
scan karena gambaran abses pada pasien ini sudah cukup jelas dengan
pemeriksaan sederhana. Untuk menentukan pasti penyebab abses hepar
sebenarnya dapat dilakukan tes serologi ELISA, indirect hemagglutination,
cellulose actate precipitin, counterimmunoelectrophoresis, immunofluorecent
antibody, dan rapid latex agglutination test. Pemeriksaan ini tidak dilakukan
karena diagnosis sudah cukup jelas dan keterbatasan pemeriksaan.
Penatalaksanaan non farmakologis pada pasien ini berupa istirahat, edukasi
kepada pasien bahwa penyakitnya disebabkan oleh infeksi parasit amuba yang
menimbulkan penumpukan pus pada hati, edukasi mengenai rencana pemeriksaan
lanjutan dan rencana pengobatan. Berdasarkan hasil USG abdomen, dijumpai
abses dengan ukuran abses > 7 cm sehingga pasien direncanakan untuk dilakukan
drainase perkutaneus atau aspirasi cairan abses. Tatalaksana farmakologis pada
pasien ini Diberikan cairan D5% dengan kecepatan 20 tetes permenit. Sebagai
cairan rumatan karena pasien tidak napsu makan. Sebagai terapi suportif diberikan
curcuma 1 tablet tiap 12 jam. Untuk mengurangi mual dan muntah diberikan
Ondansentron (IV) tiap 12 jam dan Omeprazole (IV) tiap 24 jam. Untuk
mengurangi demam dan nyeri diberikan Paracetamol peroral 500 mg tiap 8 jam.
Antibiotik yang diberikan adalah Metronidazole 3x1 flash intravena dan
cefoperazone 2 x 1 gram intravena. Abses hepar amoeba tanpa komplikasi dapat
menunjukkan penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba.
Metronidazole merupakan pilihan utama untuk abses hepar amuba. Dosis yang
dianjurkan untuk kasus abses hepar amoeba adalah 3 x 750 mg per hari selama 5 –
10 hari. Selain metrnidazol, antibiotic pilihan lain adalah DHE dan golongan

37
klorokuin. Metronidazol lebih dipilih karena efektif dibandingkan DHE karena
lebih mudah didapat dan waktu pemberian lebih singkat dibandinkan dengan
klorokuin yang memerlukan pengobatan 2-3 minggu. Pada pasien ini, diberikan
juga antibiotik sefalosporin yang merupakan antibiotic spektrum luas. Setelah
dilakukan terapi dengan antibiotik intravena dan drainase abses, pasien dievaluasi
respon terhadap terapi yang diberikan. Bila respons kurang, dapat dipikirkan
untuk dilakukan drainase melalui prosedur bedah.
Komplikasi yang paling sering terjadi pada abses hepar adalah ruptur abses.
Ruptur dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau kulit.
Pada pasien ini tidak dijumpai tanda-tanda terjadinya ruptur abses dan komplikasi
ke ekstrahepatik lainnya. Prognosis pasien ini untuk quo ad vitam, fungsionam
dan sanationam adalah dubia ad bonam. Usia pasien tidak terlalu tua, dan pasien
tidak memiliki penyulit penyakit lain seperti diabetes mellitus, keadaan
imunosupresi, keganasan dll. Tanda-tanda adanya komplikasi dan keadaan yang
lebih buruk seperti adanya ikterus juga tidak ditemukan pada pasien. Pasien
didiagnosis cukup dini dan terapi yang diberikan cukup adekuat dan cepat berupa
aspirasi perkutan dan pemberian antibiotik secara intravena.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Mavilia M.G. et al. Evolving nature of hepatic abscess. 2016. Journal of


Clinical and Translational Hepatology. vol. 4. p. 158–168.
2. Bhatti, A.B., Ali, F., Satti, S.A. and Satti, T.M. 2014. Clinical and
Pathological Comparison of Pyogenic and Amoebic Liver Abscesses.
Advances in Infectious Diseases, 4, p. 117-123.
3. Nusi, Iswan A. 2014. 259: Abses Hati Amuba. Dalam Dalam: Setiati, Siti.,
I. Alwi, A.W. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setyohadi, A.F. Syam (Editor).
Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Edisi Keenam Jilid I ( hal. 1991-95).
Jakarta: Interna Publishing

4. Conor McKaigney. 2013. Hepatic Abscess: Case Report And Review.


Western Journal of Emergency Medicine. XIV (2), p. 154-6
5. Sofwanhadi, Rio. Widjaja, Patricia. Koan, Tan Siaw. Julius. Zubir, Nasrul.
Anatomi hati. Gambar tomografi dikomputerisasi (CT SCAN). Magnetic
resonance imaging (MRI) hati. Abses hati. Penyakit hati parasit. Dalam :
Sulaiman, Ali. Akbar, Nurul. Lesmana, Laurentius A. Noer, Sjaifoellah M.
Buku ajar ilmu penyakit hati edisi pertama. Jakarta : Jayabadi. 2007. Hal
1, 80-83, 93-94, 487-491, 513-514.
6. Snell RS. 2011. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta:EGC.
7. Wenas,Nelly Tendean. Waleleng,B.J. Abses hati piogenik. Dalam :
Sudoyo,Aru W. Setiyohadi,Bambang. Alwi,Idrus.Simadibrata,Marcellus.
Setiati,Siti. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007. Hal 460-461.
8. Waleleng, B. J., Wenas, N. T., Rotty, L. Abses Hati Piogenik. Dalam:
Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M. K., Setiyohadi, B.,
Syam, A. F., editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid III. Edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing. 2014. hal. 4130.
9. Friedman, Lawrence S. Rosenthal, Philip J. Goldsmith, Robert S. Liver,
biliary tract and pancreas. Protozoal and helminthic infections. In :

39
Papadakis, Maxine A. McPhee, Stephen J. Tierney, Lawrence M. Current
medical diagnosis and treatment 2008 forty-seventh edition. Jakarta : PT.
Soho Industri Pharmasi. 2008. Page 596, 1304-1306.
10. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. 2009. Buku Ajar
Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
11. Crawford, James M. Hati dan saluran empedu. Dalam : Kumar. Cotran.
Robbins. Robbins buku ajar patologi vol.2 edisi 7. Jakarta : EGC. 2007.
Hal 684.
12. Krige,J. Beckingham, I.J. Liver abscesses and hydatid disease. In :
Beckingham, I.J. ABC of Liver, Pancreas, and Gall Bladder. Spain :
GraphyCems,Navarra. 2001. Chapter 40-42,
13. Fauci. et all. Infectious disease. In : Harrison’s principles of internal
medicine 17th edition. USA. 2008. Chapter 202.
14. Junita,Arini. Widita,Haris. Soemohardjo,Soewignjo. Beberapa kasus abses
hati amuba. Dalam : Jurnal penyakit dalam vol. 7 nomor 2. Mei 2006.
15. Nickloes, Todd A. Pyogenic liver abcesses. 2011. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/193182-overview#showall.
16. Brailita, Daniel. Amebic liver abscesses. 2008. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/183920-overview#showall.

40

Anda mungkin juga menyukai