Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diagnosis dan Intervensi Komunitas

Diagnosis dan intervensi komunitas adalah suatu kegiatan untuk


menentukan adanya suatu masalah kesehatan di komunitas atau masyarakat
dengan cara pengumpulan data di lapangan dan kemudian melakukan
intervensi sesuai dengan permasalahan yang ada. Diagnosis dan intervensi
komunitas merupakan suatu prosedur atau keterampilan dari ilmu kedokteran
komunitas. Dalam melaksanakan kegiatan diagnosis dan intervensi
komunitas perlu disadari bahwa yang menjadi sasaran adalah komunitas atau
sekelompok orang sehingga dalam melaksanakan diagnosis komunitas sangat
ditunjang oleh pengetahuan ilmu kesehatan masyarakat (epidemiologi,
biostatistik, metode penelitian, manajemen kesehatan, promosi kesehatan
masyarakat, kesehatan lingkungan, kesehatan kerja dan gizi) (Notoatmodjo,
2010).

2.2. Teori Perilaku

2.2.1. Pengertian Perilaku

Perilaku merupakan hasil daripada segala macam pengalaman


serta interaksi manusia dengan lingkunganya yang terwujud dalam
bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Menurut Skinner, seperti yang
dikutip oleh Notoatmodjo (2011), merumuskan bahwa perilaku adalah
respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).
Pengertian ini dikenal dengan teori “Stimulus-Organisme-Respon”.
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat
dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2011):
1) Responden respon atau reflexive response
Adalah respon yang dihasilkan oleh rangsangan-rangsangan
tertentu. Biasanya respon yang dihasilkan bersifat relatif tetap
disebut juga eliciting stimuli. Perilaku emosional yang menetap
misalnya orang akan tertawa apabila mendengar kabar gembira
atau lucu, sedih jika mendengar musibah, kehilangan dan gagal
serta minum jika terasa haus.
2) Instrument respon atau Operant response
Respon operant atau instrumental respon yang timbul dan
berkembang diikuti oleh stimulus atau rangsangan lain berupa
penguatan. Perangsang perilakunya disebut reinforcing stimulus
yang berfungsi memperkuat respon. Misalnya, petugas kesehatan
melakukan tugasnya dengan baik dikarenakan gaji yang diterima
cukup, kerjanya yang baik menjadi stimulus untuk memperoleh
promosi jabatan.

2.2.2. Prosedur Pembentukan Perilaku

Pembentukan perilaku menurut Ircham (2005) ada beberapa cara,


diantaranya:
1. Conditioning atau kebiasaan
Salah satu cara pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan
conditioning kebiasaan. Dengan cara membiasakan diri untuk
berperilaku seperti yang diharapkan akhirnya akan terbentuklah
perilaku.
2. Pengertian (Insight)
Pembentukan perilaku yang didasarkan atas teori belajar kognitif yaitu
belajar disertai dengan adanya pengertian.
3. Menggunakan Model
Cara ini menjelaskan bahwa domain pembentukan perilaku pemimpin
dijadikan model atau contoh oleh yang dipimpinnya. Cara ini
didasarkan atas teori belajar sosial (social learning theory) atau
observational learning theory oleh Bandura (1977).
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata
diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain
fasilitas dan faktor dukungan (support). Praktik ini mempunyai beberapa tingkatan:

A. Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang
akan diambil adalah praktik tingkat pertama.
B. Respon terpimpin (guide response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai
dengan contoh adalah indikator praktik tingkat kedua.
C. Mekanisme (mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah
mencapai praktik tingkat tiga.
D. Adopsi (adoption)
Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang
dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi
kebenaran tindakan tersebut.
Menurut penelitian Rogers (1974) seperti dikutip Notoatmodjo
(2003), mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru,
didalam diri orang tersebut terjadi proses berurutan yakni:
1. Kesadaran (awareness)
Dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih
dahulu terhadap stimulus (objek).
2. Tertarik (interest)
Dimana orang mulai tertarik pada stimulus.
3. Evaluasi (evaluation)
Menimbang-nimbang terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut
bagi dirinya. Sikap responden sudah lebih baik lagi.
4. Mencoba (trial)
Dimana orang telah mulai mencoba perilaku baru
5. Menerima (adoption)
Dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

2.2.3. Bentuk Perilaku


Menurut Notoatmodjo (2011), dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus,
maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua.

1. Bentuk pasif /Perilaku tertutup (covert behavior)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau


tertutup. Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada
perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran dan sikap yang terjadi pada
seseorang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara
jelas oleh orang lain.

2. Perilaku terbuka (overt behavior)

Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk


tindakan atau praktik, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat orang lain.

2.2.4. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku


Menurut teori Lawrance Green dan kawan-kawan (dalam Notoatmodjo,
2007) menyatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua faktor pokok,
yaitu faktor perilaku (behaviorcauses) dan faktor diluar perilaku (non behaviour
causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor
yaitu:

1. Faktor predisposisi (predisposing factors), yang mencakup pengetahuan, sikap,


kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
a. Pengetahuan, apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku
melalui proses yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang
positif, maka perilaku tersebut akan bersifat long lasting daripada
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan
seseorang dalam hal ini pengetahuan yang tercakup dalam domain
kognitif mempunyai tingkatan (Notoatmodjo, 2007).
b. Sikap, menurut Zimbardo dan Ebbesen, adalah suatu predisposisi
(keadaan mudah terpengaruh) terhadap seseorang, ide atau obyek yang
berisi komponen-komponen cognitive, affective dan behavior (dalam
Linggasari, 2008). Terdapat tiga komponen sikap, sehubungan dengan
faktor-faktor lingkungan kerja, sebagai berikut:
1) Afeksi (affect) yang merupakan komponen emosional atau
perasaan.
2) Kognisi adalah keyakinan evaluatif seseorang. Keyakinan-
keyakinan evaluatif, dimanifestasi dalam bentuk impresi atau
kesan baik atau buruk yang dimiliki seseorang terhadap objek atau
orang tertentu.
3) Perilaku, yaitu sebuah sikap berhubungan dengan kecenderungan
seseorang untuk bertindak terhadap seseorang atau hal tertentu
dengan cara tertentu (Winardi, 2004). Seperti halnya pengetahuan,
sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu: menerima (receiving),
menerima diartikan bahwa subjek mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan. Merespon (responding), memberikan
jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Menghargai
(valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat
tiga.
2. Faktor pemungkin (enabling factor), yang mencakup lingkungan fisik,
tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana
keselamatan kerja, misalnya ketersedianya alat pendukung, pelatihan dan
sebagainya.
3. Faktor penguat (reinforcement factor), faktor-faktor ini meliputi undang-
undang, peraturan-peraturan, pengawasan dan sebagainya menurut
Notoatmodjo(2007).

2.2.5. Perilaku Kesehatan


Perilaku kesehatan menurut Notoatmodjo (2007) adalah suatu respon
seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit
atau penyakit, sistim pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta
lingkungan. Perilaku kesehatan menurut Notoatmodjo (2011) ini mencakup:
1. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit
Perilaku seseorang terhadap penyakit yaitu bagaimana manusia berespon
baik secara pasif (mengetahui, bersikap dan mempersepsikan penyakit dan
rasa sakit yang ada pada dirinya dan diluar dirinya) maupun aktif (tindakan
yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut). Hal-hal yang
berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan
meningkatkan kesehatannya. Termasuk tindakan mencegah penyakit,
kebersihan perorangan.
a. Perilaku Sakit (Illness Behavior)
Tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang individu
yang merasa sakit untuk merasakan dan mengenal keadaan
kesehatannya atau rasa sakit. Termasuk kemampuan individu
untuk mengidentifikasi penyakit, penyebab sakit, serta usaha
mencegah penyakit tersebut.
b. Perilaku peran sakit (The Sick Role Behavior)
Tindakan atau kegiatan yang dilakukan individu yang sedang
sakit untuk memperoleh kesembuhan.
c. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance)
Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara
atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk
penyembuhan bilamana sakit.
d. Perilaku pencarian sistem atau fasilitas kesehatan (health seeking
behaviour)
Sering disebut perilaku pencairan pengobatan. Perilaku ini adalah
menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita
penyakit dan atau kecelakaan.

2. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan

Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan adalah respon


seseorang terhadap sistem pelayanan kesehatan modern maupun
tradisional. Perilaku ini menyangkut respon terhadap fasilitas
kesehatan, cara pelayanan, petugas kesehatan, obat- obatan.

3. Perilaku terhadap makanan (nutrition behavior)

Perilaku terhadap makanan adalah respon seseorang terhadap


makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Unsur-unsur yang
terkandung di dalamnya zat gizi, pengelolaan makanan, dan
sebagainya.

4. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan


Perilaku terhadap lingkungan kesehatan adalah respon seseorang
terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia. Perilaku
ini mencakup air kotor, limbah, rumah yang sehat, pembersihan sarang-
sarang nyamuk.

Dirumuskan bahwa perilaku kesehatan terkait dengan : Perilaku


pencegahan, penyembuhan penyakit, serta pemulihan dari penyakit,
Perilaku peningkatan kesehatan dan Perilaku gizi (makanan dan minuman).

2.2.6. Domain Perilaku


Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda
disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang
bersangkutan yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan,
tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.
2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik,
sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini
merupakan faktor dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

2.3 Perilaku Pencarian Pengobatan


2.3.1 Pengertian Perilaku Pencarian Pengobatan
Perilaku pencarian pengobatan adalah perilaku orang atau masyarakat yang
sedang mengalami sakit atau masalah kesehatan lain, untuk memperoleh
pengobatan sehingga sembuh atau teratasi masalah kesehatannya. Bagi keluarga,
masalah kesehatan atau penyakit bukan hanya terjadi pada diri sendiri, tetapi juga
anggota keluarga lain terutama anak-anak (Notoatmodjo, 2011).

2.3.2 Kebutuhan Terhadap Pelayanan Kesehatan


Menurut Notoatmodjo (2003), respon seseorang apabila sakit adalah sebagai
berikut:
a. Tidak bertindak atau tidak melakukan kegiatan apa-apa (no action). Dengan
alasan antara lain : (a) bahwa kondisi yang demikian tidak akan mengganggu
kegiatan atau kerja mereka sehari-hari, (b) bahwa tanpa bertindak apapun
simptom atau gejala yang dideritanya akan lenyap dengan sendirinya. Hal
ini menunjukkan bahwa kesehatan belum merupakan prioritas di dalam
hidup dan kehidupannya, (c) fasilitas kesehatan yang dibutuhkan tempatnya
sangat jauh, petugas kesehatan kurang ramah kepada pasien, (d) takut
disuntik dokter dan karena biaya mahal.
b. Tindakan mengobati sendiri (self treatment), dengan alasan yang sama
seperti telah diuraikan. Alasan tambahan dari tindakan ini adalah karena
orang atau masyarakat tersebut sudah percaya dengan diri sendiri, dan
merasa bahwa berdasarkan pengalaman yang lalu usaha pengobatan sendiri
sudah dapat mendatangkan kesembuhan. Hal ini mengakibatkan pencarian
obat keluar tidak diperlukan.
c. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional (traditional
remedy), seperti dukun.
d. Mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat
(chemist shop) dan sejenisnya, termasuk tukang-tukang jamu.
e. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas modern yang diadakan oleh
pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta, yang dikategorikan ke
dalam balai pengobatan, puskesmas, dan rumah sakit.
f. Mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan khusus yang diselenggarakan
oleh dokter praktek (private medicine).

Young (1980) menyatakan bahwa ada tiga pertanyaan pokok yang


biasanya dipakai dalam pengambilan keputusan yaitu :
1. Alternatif apa yang dilihat oleh anggota masyarakat agar mampu
menyelesaikan masalahnya, disini alternatif yang dimaksud adalah
pengobatan sendiri, pengobatan tradisional, paramedis, dokter dan rumah
sakit.
2. Kriteria apa yang dipakai untuk memilih salah satu dari berbagai alternatif
yang ada. Kriteria yang dipakai untuk memilih sumber pengobatan adalah
keparahannya, pengetahuan tentang pengalaman sakit dan pengobatannya,
keyakinan efektivitas pengobatan dan obat, serta biaya dan jarak yang
terjangkau.
3. Bagaimana proses pengambilan keputusan untuk memilih alternatif
tersebut. Proses pengambilan keputusan ini dimulai dengan penerimaan
informasi, memproses berbagai informasi dengan kemungkinan
dampaknya, kemudian mengambil keputusan dari berbagai kemungkinan
dan melaksanakannya.

Menurut Anderson dalam Notoatmodjo (2007), ada tiga faktor-faktor


penting dalam mencari pelayanan kesehatan yaitu : (1) mudahnya menggunakan
pelayanan kesehatan yang tersedia, (2) adanya faktor-faktor yang menjamin
terhadap pelayanan kesehatan yang ada dan (3) adanya kebutuhan pelayanan
kesehatan.

Menurut Faisal (2012) untuk memilih tempat berobat ditentukan oleh


beberapa faktor, antara lain :
a) Daya tarik (gravity) yaitu tingkat keparahan yang dirasakan oleh
kelompok referensi individu.
b) Pengetahuan tentang cara penyembuhan yang populer.
c) Kepercayaan (faith) yaitu kepercayaan individu keberhasilan dari
berbagai pilihan pengobatan.

d) Kemudahan (accesbility) meliputi : biaya, tersedianya fasilitas


pelayanan kesehatan.

2.4 Health Belief Model


Berdasarkan teori Health Belief Model berkembangnya pelayanan
kesehatan masyarakat akibat kegagalan dari orang atau masyarakat untuk menerima
usaha-usaha pencegahan atau penyembuhan penyakit yang diselenggarakan oleh
provider (Edberg, 2009). Ada 6 variabel yang menyebabkan seseorang mengobati
penyakitnya:

1. Persepsi Kerentanan (perceived susceptibility)


Persepsi seseorang terhadap resiko dari suatu penyakit. Agar seseorang
bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia harus merasakan
kalau ia rentan terhadap penyakit tersebut.
2. Persepsi Keparahan ( perceived seriousness)
Tindakan seseorang dalam pencarian pengobatan dan pencegahanpenyakit
dapat disebabkan karena keseriusan dari suatu penyakit yang dirasakan
misalnya dapat menimbulkan kecacatan, kematian, atau kelumpuhan, dan
juga dampak sosial seperti dampak terhadap pekerjaan, kehidupan keluarga,
dan hubungan sosial.
3. Persepsi Manfaat (perceived benefits)
Penerimaan seseorang terhadap pengobatan penyakit dapat disebabkan
karena keefektifan dari tindakan yang dilakukan untuk mengurangi
penyakit. Faktor lainnya termasuk yang tidak termasuk dengan perawatan
seperti, berhenti merokok dapat menghemat uang.
4. Persepsi Hambatan ( perceived barriers)
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindakan pencegahan penyakit akan
mempengaruhi seseorang untuk bertindak. Pada umumnya manfaat
tindakan lebih menentukan daripada rintangan atau hambatan yang mungkin
ditemukan dalam melakukan tindakan tersebut.
5. Petunjuk untuk Bertindak (cues to action)
Kesiapan seseorang akibat kerentanan atau manfaat yang dirasakan dapat
menjadi faktor yang potensial untuk melakukan tindakan pengobatan. Selain
faktor lainnya seperti faktor lingkungan, media massa atau anjuran dari
keluarga, teman-teman dan sebagainya.
6. Efikasi Diri (self efficacy)
Efikasi diri adalah kepercayaaan seseorang terhadap kemampuannya dalam
pengambilan tindakan.

2.5 Pelayanan Kesehatan


2.5.1 Pengertian Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan adalah upaya, pekerjaan atau kegiatan kesehatan yang
ditunjukkan untuk mencapai derajat kesehatan perorangan/masyarakat yang
optimal /setinggi-tingginya (Pusdokkes Polri, 2006). Pelayanan kesehatan
dibedakan dalam dua golongan yakni :
1. Pelayanan kesehatan primer (primary helath care), atau pelayanan
kesehatan masyarakat adalah pelayanan kesehatan yang paling depan,
yang pertama kali diperlukan masyarakat pada saat mereka
mengalami gangguan kesehatan atau kecelakaan.
2. Pelayanan kesehatan sekunder dan tersier (secondary and tertiary
health care), adalah rumah sakit, tempat masyarakat memerlukan
perawatan lebih lanjut (rujukan).

2.5.2 Fasilitas Pelayanan Kesehatan


Jenis fasilitas pelayanan kesehatan menurut UU nomor 47 tahun 2016
terdiri atas fasilitas pelayanan kesehatan tradisional dan fasilitas pelayanan
kesehatan non-tradisional (puskesmas, rumah sakit, klinik pengobatan). Yang
dimaksud pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan atau perawatan
dengan cara, obat dan pengobatnya yang mengacu pada pengalaman,
keterampilan turun-temurun dan atau pendidikan/pelatihan yang diterapkan
sesuai norma yang berlaku dalam masyarakat.
Pelayanan kesehatan didirikan berdasarkan asumsi bahwa masyarakat
membutuhkannya. Namun kenyataannya masyarakat baru mau mencari
pengobatan atau pelayanan kesehatan setelah benar-benar tidak dapat berbuat
apa-apa. Hal ini bukan berarti mereka harus mencari pengobatan ke fasilitas-
fasilitas kesehatan modern (puskesmas dan sebagainya) tetapi juga ke fasilitas
pengobatan tradisional (dukun dan sebagainya) yang kadang-kadang menjadi
pilihan masyarakat yang pertama. Itulah sebab rendahnya penggunaan
puskesmas atau tidak digunakannya fasilitas-fasilitas pengobatan modern
seperti puskesmas dengan ruang rawat inap
Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif,
kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah
daerah dan/atau masyarakat. Pelayanan promotif adalah upaya meningkatkan
kesehatan masyarakat ke arah yang lebih baik lagi dan yang preventif
mencegah agar masyarakat tidak jatuh sakit agar terhindar dari penyakit. Oleh
sebab itu pelayanan kesehatan masyarakat itu tidak hanya tertuju pada
pengobatan individu yang sedang sakit saja, tetapi yang lebih penting adalah
upaya-upaya pencegahan (preventif) dan peningkatan kesehatan (promotif).
Sehingga, bentuk pelayanan kesehatan bukan hanya puskesmas atau balkesma
saja, tetapi juga bentuk-bentuk kegiatan lain, baik yang langsung kepada
peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit, maupun yang secara tidak
langsung berpengaruh kepada peningkatan kesehatan.
Bentuk-bentuk pelayanan kesehatan tersebut antara lain berupa Posyandu,
dana sehat, Polindes (poliklinik desa), pos obat desa (POD), pengembangan
masyarakat atau community development, perbaikan sanitasi lingkungan, upaya
peningkatan pendapatan (income generating) dan sebagainya.

2.5.3 Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan


Faktor Yang Memengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan:
1. Keterjangkauan lokasi tempat pelayanan
Tempat pelayanan yang tidak strategis sulit dicapai, menyebabkan
berkurangnya pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh peserta
Jamkesmas.
2. Jenis dan kualitas pelayanan yang tersedia
Jenis dan kualitas pelayanan yang kurang memadai menyebabkan
rendahnya akses peserta Jamkesmas terhadap pelayanan kesehatan.
3. Keterjangkauan informasi
Informasi yang kurang menyebabkan rendahnya penggunaan pelayanan
kesehatan yang ada.
4. Biaya yang tidak terjangkau (faktor ekonomi).
5. Tradisi yang menghambat pemanfaatan fasilitas (faktor budaya).
Menurut Dever (1984) faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan
pelayanan kesehatan adalah :
a. Faktor Sosiokultural yang terdiri dari :
(1) Norma dan nilai sosial yang ada di masyarakat
(2) Teknologi yang digunakan dalam pelayanan kesehatan.
b. Faktor Organisasi yang terdiri dari :
(1) Ketersediaan sumber daya mencukupi baik dari segi kuantitas dan
kualitas, sangat mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan.
(2) Keterjangkauan lokasi berkaitan dengan keterjangkauan tempat
dan waktu. Keterjangkauan tempat diukur dengan jarak tempuh,
waktu tempuh dan biaya perjalanan
(3) Keterjangkauan sosial dimana konsumen memperhitungkan sikap
petugas kesehatan terhadap konsumen.
(4) Karakteristik struktur organisasi formal dan cara pemberian
pelayanan kesehatan misalnya rumah sakit.
c. Faktor Interaksi Konsumen-Petugas Kesehatan:
(1) Faktor yang berhubungan dengan konsumen
Tingkat kesakitan atau kebutuhan yang dirasakan oleh konsumen
berhubungan langsung dengan penggunaan atau permintaan
pelayanan kesehatan. Kebutuhan dipengaruhi oleh : (a) faktor
sosiodemografi, yaitu umur, sex, ras, bangsa, status perkawinan,
jumlah keluarga dan status sosial ekonomi, (b) faktor sosio
psikologis, yaitu persepsi sakit, gejala sakit, dan keyakinan
terhadap perawatan medis atau dokter, (c) faktor epidemiologis,
yaitu mortalitas, morbiditas, dan faktor resiko.
(2) Faktor yang berhubungan dengan petugas kesehatan yang terdiri dari:
(a) faktor ekonomi, yaitu adanya barang substitusi, serta adanya
keterbatasan pengetahuan konsumen tentang penyakit yang
dideritanya, (b) karakteristik dari petugas kesehatan yaitu tipe
pelayanan kesehatan, sikap petugas, keahlian petugas dan fasilitas
yang dipunyai pelayanan kesehatan tersebut.

Kebutuhan seseorang terhadap pelayanan kesehatan adalah sesuatu yang


subjektif, karena merupakan wujud dari masalah-masalah kesehatan yang ada di
masyarakat yang tercermin dari gambaran pola penyakit. Dengan demikian untuk
menentukan perkembangan kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan dapat
mengacu pada perkembangan pola penyakit di masyarakat. Untuk dapat
menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan baik, maka banyak hal yang perlu
diperhatikan diantaranya adalah kesesuaian dengan kebutuhan masyarakat,
sehingga perkembangan pelayanan kesehatan secara umum dipengaruhi oleh besar
kecilnya kebutuhan dan tuntutan dari masyarakat yang sebenarnya merupakan
gambaran dari masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat tersebut (Jefkins,
2002).
Pelayanan kesehatan didirikan berdasarkan asumsi bahwa masyarakat
membutuhkannya. Namun kenyataannya masyarakat baru mau mencari pengobatan
atau pelayanan kesehatan setelah benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa.
Masyarakat atau anggota masyarakat yang mendapat penyakit dan tidak merasakan
sakit (disease but not illness) sudah tentu tidak akan bertindak apa-apa terhadap
penyakitnya tersebut. Tetapi bila mereka diserang penyakit dan juga merasakan
sakit, maka baru akan timbul berbagai macam perilaku dan usaha. Hal ini bukan
berarti mereka harus mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas kesehatan modern
(puskesmas dan sebagainya) tetapi juga ke fasilitas pengobatan tradisional (dukun
dan sebagainya) yang kadang-kadang menjadi pilihan masyarakat yang pertama.
Itulah sebab rendahnya penggunaan puskesmas atau tidak digunakannya fasilitas-
fasilitas pengobatan modern seperti puskesmas dengan ruang rawat inap (Depkes
RI, 2004).

2.5.4 Kader Kesehatan di Lingkungan Masyarakat


Fungsi pelayanan kesehatan dan pemeliharaan kesehatan tidak dapat lagi
seluruhnya ditangani oleh para dokter saja. Apalagi kegiatan itu mencakup
kelompok masyarakat luas. Para dokter memerlukan bantuan tenaga para medis,
sanitasi gizi, ahli ilmu sosial dan juga anggota masyarakat (tokoh masyarakat,
kader) untuk melaksanakan program kesehatan, tugas tim kesehatan ini dapat
dibedakan menurut tahap/jenis program kesehatan yang dijalankan, yaitu promosi
kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan dan rehabilitasi (Depkes RI, 2005).
Peran anggota masyarakat (kader) adalah sebagai motivator atau penyuluh
kesehatan yang membantu para petugas untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang perlunya hidup sehat dan memotivasi mereka untuk
melakukan tindakan pencegahan penyakit dengan menggunakan sarana kesehatan
yang ada (Sarwono, 2004). Tanggapan kader adalah suatu persepsi kader atau
suatu proses pemberian arti oleh kader terhadap masyarakat di lingkungannya.
Kader dapat memberikan tanggapan yang baik atau buruk pada masyarakat
tergantung dari sikap dari kadernya sendiri dan penilaian terhadap faktor-faktor
lain yang ada di masyarakat.
Berdasarkan teori Green tersebut maka faktor-faktor yang mempengaruhi
(perilaku) tanggapan kader terhadap kunjungan masyarakat adalah sebagai
berikut:
a. Faktor internal:
1) Umur
Umur menggambarkan pengalaman seseorang, kader yang
berumur tua relatif lebih disegani dibandingkan dengan kader
yang berumur lebih muda. Hal ini berkaitan dengan
kepercayaan masyarakat bahwa kader yang berumur lebih tua
lebih berpengalaman apalagi ditunjang oleh lamanya dia
menjadi kader.
2) Lamanya Menjadi Kader
Semakin lama ia menjadi kader maka semakin ia memahami
tugas-tugas yang dijalankannya dan pada akhirnya akan lebih
meningkatkan ketrampilannya dalam menyelenggarakan
kegiatan kesehatan.
3) Tingkat Pendidikan
Mamdy (1989) menyatakan bahwa salah satu syarat menjadi
kader adalah dapat membaca dan menulis sehingga dalam hal
ini pendidikan merupakan salah satu kriteria dalam pemilihan
seorang kader. Sebab pendidikan yang lebih tinggi akan lebih
membantu tingkat pemahaman dan pengetahuan kader
dibandingkan dengan pendidikan kader yang rendah.

4) Pekerjaan
Menurut Mantra (1983) menyatakan bahwa salah satu syarat
untuk menjadi kader adalah mempunyai cukup waktu untuk
masyarakat, jika ibu mempunyai kesibukan bekerja maka
waktu luang yang disediakan untuk kegiatan kesehatan dapat
sangat terbatas. Oleh karena itu, kader yang tidak bekerja
cenderung memiliki waktu luang yang lebih banyak dalam
membantu kegiatan kesehatan dibandingkan mereka yang
bekerja.
5) Penghasilan
Mereka yang mempunyai penghasilan rendah atau dari tingkat
ekonomi keluarga yang rendah cenderung akan lebih fokus
pada masalah ekonominya tersebut dan sedikit waktu luang
untuk ikut serta kegiatan kemasyarakatan. Sedangkan mereka
yang tingkat ekonominya tercukupi akan lebif fokus pada
kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.
6) Pengetahuan dan sikap kader terhadap tugasnya
Pengetahuan dan sikap kader akan mempengaruhi
tanggapannya terhadap kunjungan masyarakat. Sikap kader
yang mengerti terhadap tugasnya akan lebih merespon
masyarakat yang berkunjung, sedangkan sikap kader yang
kurang mengerti tugasnya akan bersikap acuh tak acuh
terhadap kunjungan masyarakat.
7) Kepercayaan
Kepercayaan akan mempengaruhi peran serta kader atau
masyarakat dalam kegiatan kesehatan.
b. Faktor eksternal
1) Pelatihan kader
Pembinaan atau bimbingan merupakan salah satu bentuk
bimbingan yang diberikan oleh seorang petugas kesehatan
kepada kader. Ketidakteraturan dalam memberikan bimbingan
juga berdampak pada keaktifan kader sehingga seharusnya
bimbingan kader diberikan secara teratur dan
berkesinambungan dan akhirnya kader akan berpersepsi
dirinya diperhatikan dan merasa dibutuhkan untuk membantu
petugas kesehatan dalam penyelenggaraan kegiatan.
2) Ketersediaan sarana
3) Jarak tempat tinggal atau keterjangkauan fasilitas kesehatan
4) Dukungan tokoh masyarakat dan dukungan Puskesmas

2.6 Puskesmas
2.6.1 Pengertian Puskesmas
Pusat Kesehatan Masyarakat sebagai salah satu jenis fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama memiliki peranan penting dalam sistem kesehatan
nasional, khususnya subsistem upaya kesehatan. Pusat Kesehatan Masyarakat
yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan
preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
di wilayah kerjanya. Pelayanan tersebut ditujukan kepada semua penduduk
dengan tidak membedakan jenis kelamin dan golongan umur, sejak dari
pembuahan dalam kandungan sampai tutup usia (PERMENKES, 2014; Effendi,
2009).

2.6.2 Tujuan Puskesmas


Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas bertujuan
untuk mewujudkan masyarakat yang:

a. Memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan dan


kemampuan hidup sehat,
b. Mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu,
c. Hidup dalam lingkungan sehat,
d. memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat.
Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas mendukung
terwujudnya kecamatan sehat.

2.6.3 Fungsi Puskesmas


Puskesmas menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama
dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama dilaksanakan secara terintegrasi
dan berkesinambungan meliputi upaya kesehatan masyarakat esensial dan upaya
kesehatan masyarakat pengembangan.

Upaya kesehatan masyarakat esensial meliputi:

a. Pelayanan promosi kesehatan;


b. Pelayanan kesehatan lingkungan;
c. Pelayanan kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana;
d. Pelayanan gizi; dan
e. Pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit.

Upaya kesehatan masyarakat pengembangan merupakan upaya kesehatan


masyarakat yang kegiatannya memerlukan upaya yang sifatnya inovatif dan/atau
bersifat ekstensifikasi dan intensifikasi pelayanan, disesuaikan dengan prioritas
masalah kesehatan, kekhususan wilayah kerja dan potensi sumber daya yang
tersedia di masing-masing Puskesmas.

Upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama dilaksanakan dalam bentuk:

a. Rawat jalan;
b. Pelayanan gawat darurat;
c. Pelayanan satu hari (one day care);
d. Home care; dan/atau
e. Rawat inap berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan
kesehatan.

Menurut Effendi (2009) ada beberapa proses dalam melaksanakan fungsi


tersebut yaitu merangsang masyarakat termasuk swasta untuk melaksanakan
kegiatan dalam rangka menolong dirinya sendiri, memberikan petunjuk kepada
masyarakat tentang bagaimana menggali dan menggunakan sumber daya yang ada
secara efektif dan efisien, memberikan bantuan yang bersifat bimbingan teknis
materi dan rujukan medis maupun rujukan kesehatan kepada masyarakat dengan
ketentuan bantuan tersebut tidak menimbulkan ketergantungan memberikan
pelayanan kesehatan langsung kepada masyarakat, bekerja sama dengan
sektorsektor yang bersangkutan dalam melaksanakan program puskesmas.

2.6.4. Manfaat Puskemas


Dalam implementasi sistem kesehatan nasional prinsip managed
care diberlakukan, dimana terdapat 4 (empat) pilar yaitu Promotif, Preventif,
Kuratif dan Rehabilitatif. Prinsip ini akan memberlakukan pelayanan kesehatan
akan difokuskan di Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)/Faskes Primer
seperti di Puskesmas, klinik atau dokter prakter perseorangan.
Pelayanan kesehatan di FKTP itu sendiri memiliki beberapa manfaat,
sebagai berikut (PERMENKES RI NO.28 TAHUN 2014) :
1. Administrasi pelayanan;
2. Pelayanan promotif dan preventif;
a. Penyuluhan kesehatan perorangan, meliputi paling sedikit penyuluhan
mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih
dan sehat.
b. Imunisasi dasar, meliputi Baccile Calmett Guerin (BCG), Difteri
Pertusis Tetanus dan Hepatitis-B (DPT-HB), Polio, dan Campak.
c. Keluarga berencana, meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi,
tubektomi, termasuk komplikasi KB bekerja sama dengan lembaga yang
membidangi keluarga berencana.
d. Vaksin untuk imunisasi dasar dan alat kontrasepsi dasar disediakan oleh
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
e. Pelayanan skrining kesehatan tertentu diberikan secara selektif untuk
mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan, yaitu:

1) Diabetes Melitus tipe II


2) Hipertensi
3) Kanker Leher Rahim
4) Kanker Payudara, dan
5) Penyakit lainnya yag ditetapkan Menteri

f. Pelayanan skrining kesehatan tertentu dalam poin c. merupakan


pelayanan yang termasuk dalam lingkup non- kapitasi, yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemeriksaan penunjang pelayanan skrining kesehatan meliputi :

1) Pemeriksaan Gula Darah


2) Pemeriksaan IVA untuk kasus Ca Cervix ; dan
3) Pemeriksaan Pap Smear
g. Khusus untuk kasus dengan pemeriksaan IVA positif dapat dilakukan
pelayanan terapi Krio.

3. Pemeriksanaan, pengobatan, dan konsultasi medis;


4. Tindakan medis non-spesialistik, baik operatif maupun non-operatif;
5. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;
6. Transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis
7. Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pratama; dan
8. Rawat inap tingkat pertama sesuai dengan indikasi medis.

2.6.5. Biaya Pengobatan Puskesmas (nanti diliat di puskesmas waktu


intervensi)
Menurut Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta,
mengenai tarif layanan pusat kesehatan masyarakat khsususnya puskesmas adalah
sebagai berikut :

2.7 Perilaku Berobat dalam Islam


2.7.1 Ikhtiar
Kata ikhtiar berasal dari Bahasa Arab (ikhtaea-yakhtaru-ikhtiyaaran yang
berarti memiliki, ikhtiar diartikan berusaha karena ada hakikatnya orang yang
berusaha berarti memilih. Adapun menurut istilah, berusaha dengan
mengerahkan segala kemampuan yang ada untuk meraih suatu harapan dan
keingina yang dicita-citakan, ikhtiyar juga juga dapat diartikan sebagai usaha
sungguh-sungguh yang dilakukan untuk mendapatkan kebahagiaan hidup,
baik di dunia maupun di akhirat.

Berikut ini adalah dalil tentang ikhtiar dalam alquran

11 ‫َّللاَ ََل يُغ َِي ُر َما ِبقَ ْو ٍم َحتَّى يُغ َِي ُروا َما ِبأ َ ْنفُ ِس ِه ْم * سورة الرعد‬
َّ ‫ِإ َّن‬
Artinya : … Sesungguhnya allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum
sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri … ( QS.
Ar-Ra’du 11 )

2.7.2 Fiqih
Fiqih salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas
persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik
kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya.
Beberapa ulama fikih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fikih sebagai
pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah.
Fiqih membahas tentang cara beribadah, prinsip Rukun Islam, dan hubungan antar
manusia sesuai yang tersurat dalam Al-Qur'an dan Sunnah.

2.7.3 Menjaga Kesehatan dan Berobat dalam Islam


Berobat pada dasarnya dianjurkan dalam agama islam sebab berobat termasuk
upaya memelihara jiwa dan raga, dan ini termasuk salah satu tujuan syari’at islam
ditegakkan, terdapat banyak hadits dalam hal ini, diantaranya;

1) Dari Abu Darda berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ دواء وان داء ان زل أن هللا إن‬، ‫ دواء داء كم ن عم وج‬، ‫تداووا ف‬


، ‫حرام ان ب تداووا ت ال و‬
‘’Sesungguhnya Alloh menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia
jadikan setiap penyakit ada obatnya, maka berobatlah kalian, tetapi jangan
berobat dengan yang haram.’’ (HR.Abu Dawud 3874, dan disahihkan oleh
al-Albani dalam Shahih wa Dha’if al-Jami’ 2643)

2) Dari Usamah bin Syarik berkata, ada seorang arab baduwi berkata kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‫ ال ق ؟ تداوي ن ال أ هللا سىل ر ا ي‬: ( ‫ داووا ت‬، ‫م ن هللا إن ف‬
‫ ىا ان ق ) واحد داء ال إ فاء ش ه ن ضع و ال إ داء ضع ي‬: ‫ر ا ي‬
‫سىل‬
‫ ال ق ؟ هى وما هللا‬: ( ‫) انهرم‬
‘’Wahai Rosululloh, apakah kita berobat?, Nabi bersabda,’’berobatlah,
karena sesungguhnya Alloh tidak menurunkan penyakit, kecuali pasti
menurunkan obatnya, kecuali satu penyakit (yang tidak ada obatnya),’’
mereka bertanya,’’apa itu’’ ? Nabi bersabda,’’penyakit tua.’’ (HR.Tirmidzi
2038, dan disahihkan oleh al-Albani dalam Sunan Ibnu Majah 3436)

1. Menjadi wajib dalam beberapa kondisi:


a. Jika penyakit tersebut diduga kuat mengakibatkan kematian,
maka menyelamatkan jiwa adalah wajib.
b. Jika penyakit itu menjadikan penderitanya meninggalkan perkara
wajib padahal dia mampu berobat, dan diduga kuat penyakitnya
bisa sembuh, berobat semacam ini adalah untuk perkara wajib,
sehingga dihukumi wajib.
c. Jika penyakit itu menular kepada yang lain, mengobati penyakit
menular adalah wajib untuk mewujudkan kemaslahatan bersama.
d. Jika penyakit diduga kuat mengakibatkan kelumpuhan total, atau
memperburuk penderitanya, dan tidak akan sembuh jika
dibiarkan, lalu mudhorot yang timbul lebih banyak daripada
maslahatnya seperti berakibat tidak bisa mencari nafkah untuk
diri dan keluarga, atau membebani orang lain dalam perawatan
dan biayanya, maka dia wajib berobat untuk kemaslahatan diri
dan orang lain.

2. Berobat menjadi sunnah/ mustahab


Jika tidak berobat berakibat lemahnya badan tetapi tidak sampai
membahayakan diri dan orang lain, tidak membebani orang lain, tidak
mematikan, dan tidak menular , maka berobat menjadi sunnah baginya
3. Berobat menjadi mubah/ boleh
Jika sakitnya tergolong ringan, tidak melemahkan badan dan tidak
berakibat seperti kondisi hukum wajib dan sunnah untuk berobat, maka
boleh baginya berobat atau tidak berobat
4. Berobat menjadi makruh dalam beberapa kondisi
a. Jika penyakitnya termasuk yang sulit disembuhkan, sedangkan obat yang
digunakan diduga kuat tidak bermanfaat, maka lebih baik tidak berobat
karena hal itu diduga kuat akan berbuat sis- sia dan membuang harta.
b. Jika seorang bersabar dengan penyakit yang diderita, mengharap balasan
surga dari ujian ini, maka lebih utama tidak berobat, dan para ulama
membawa hadits Ibnu Abbas dalam kisah seorang wanita yang bersabar
atas penyakitnya kepada masalah ini.
c. Jika seorang fajir/rusak, dan selalu dholim menjadi sadar dengan
penyakit yang diderita, tetapi jika sembuh ia akan kembali menjadi rusak,
maka saat itu lebih baik tidak berobat.
d. Seorang yang telah jatuh kepada perbuatan maksiyat, lalu ditimpa suatu
penyakit, dan dengan penyakit itu dia berharap kepada Alloh
mengampuni dosanya dengan sebab kesabarannya.
e. Dan semua kondisi ini disyaratlkan jika penyakitnya tidak mengantarkan
kepada kebinasaan, jika mengantarkan kepada kebinasaan dan dia
mampu berobat, maka berobat menjadi wajib.
5. Berobat menjadi haram
Jika berobat dengan sesuatu yang haram atau cara yang haram maka
hukumnya haram, seperti berobat dengan khomer/minuman keras, atau
sesuatu yang haram lainnya.
2.8 Kerangka Teori
Konsep yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada teori Lawrence
Green, yang menyatakan bahwa perilaku oleh beberapa factor yang memengaruhi
terbentuknya perilaku, yaitu :

Faktor predisposisi Faktor pendukung Faktor pendorong

1. Pengetahuan 1. Sarana 1. Keluarga


2. Sikap kesehatan 2. Medis &
3. Usia 2. Transportasi paramedis
4. Jenis Kelamin 3. Tokoh
5. Kepercayaan masyarakat,
6. Kebiasaan tokoh agama,
7. Tradisi dan petugas
8. Tingkat
pendidikan
9. Ekonomi
10. Pekerjaan

Perilaku

Sumber : (Lawrence Green dalam Notoatmodjo, 2003)


2.9 Kerangka Konsep
Berdasarkan teori sebelumnya, dapat dibuat suatu kerangka konsep
yang berhubungan dengan area permasalahan yang terjadi pada keluarga
binaan di Kampung Kebon Rengas RT 005 RW 002, Desa Talok,
Kecamatan Kresek, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Kerangka
konsep ini terdiri dari variabel independen dari kerangka teori yang
dihubungkan dengan area permasalahan.

VARIABEL INDEPENDEN
1. Pengetahuan VARIABEL DEPENDEN
2. Sikap
3. Jenis Kelamin Perilaku Pencarian
4. Usia Pengobatan ke Puskesmas
5. Tingkat Pendidikan
6. Pekerjaan
7. Sosial Ekonomi
8. Pemafaatan
Puskesmas
9. Peran tokoh
masyarakat, tokoh
agama, dan petugas
10. Puskesmas
2.10 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Pengukuran
1 Pengetahuan Tingkat pemahaman Kuesioner Wawancara 1. Baik, jika hasil ≥ 3 Ordinal
Pencarian responden mengenai 2. Buruk, jika hasil <3

Pengobatan ke pencarian pengobatan ke


Puskesmas Puskesmas
2 Sikap Pencarian Pandangan responden Kuesioner Wawancara 1. Baik, jika ≥ 3 Ordinal
Pengobatan ke terhadap pencarian 2. Kurang, jika < 3
Puskesmas pengobatan ke Puskesmas
3 Jenis Kelamin Membedakan orang Kuisioner Wawancara Dikelompokan menjadi: Nominal
berdasarkan seks 1. Perempuan
2. Laki-laki
4 Usia Jumlah usia yang telah Kuisioner Wawancara Dikelompokan menjadi: Interval
dilalui responden, yang 1. 17 - 20 tahun
dihitung hingga 2. 21 – 35 tahun
ulangtahun akhir 3. 36 – 50 tahun
4. 51 – 59 tahun
5. ≥ 60 tahun
5 Tingkat Proses jenjang Kuesioner Wawancara 1. Rendah : tidak Ordinal
Pendidikan pendidikan formal bersekolah,
SD/sederajat
terakhir yang ditamatkan
2. Sedang:
oleh keluarga binaan dan SLTP/sederajat,SL
faktor yang TA/sederajat
3. Tinggi:
mempengaruhi tingkat
akademi/diploma,
pendidikan seseorang. perguruan tinggi
6 Pekerjaan Kegiatan yang dilakukan Kuisioner Wawancara 1. Bekerja: bila Nominal
responden untuk mendapatkan
penghasilan
mendapatkan
2. Tidak bekerja:
penghasilan. bila tidak
mendapatkan
penghasilan
7 Sosial Ekonomi Pendapatan yang didapat Kuisioner Wawancara 1. Tinggi, jika ≥ Rp. Ordinal
oleh responden dalam 3.841.368,19
2. Rendah, jika < Rp.
kurun satu
3.841.368,19
Bulan berdasarkan Upah
Minimum Region Kab.
Tangerang
9 Peran tokoh Kegiatan petugas Kuesioner Wawancara 1. Peran petugas baik , Ordinal
masyarakat, kesehatan menjalankan jika hasil ≥ 3
program kesehatan oleh
tokoh agama, petugas kesehatan atau 2. Peran petugas kurang,
dan petugas kader. jika hasil < 3

10 Penggunaan Pemanfaatan fasilitas Kuisioner Wawancara j


Puskesmas pelayanan kesehatan
tingkat pertama yang
memiliki peranan penting 1. Baik, jika hasil ≥ 3
2. Buruk, jika hasil < 3
dalam sistem kesehatan
nasional yang lebih 1.

mengutamakan pada
upaya promotif dan
preventif untuk mencapai
derajat kesehatan
masyarakat yang
setinggi-tingginya di
wilayah kerjanya

11 Perilaku Perilaku atau aktifitas Kuesioner Wawancara 3. Baik, jika hasil ≥ 3 Ordinal
Pencarian seseorang dalam 4. Buruk, jika hasil < 3

Pengobatan ke pencarian pengobatan ke


Puskesmas Puskesmas

Anda mungkin juga menyukai