Anda di halaman 1dari 3

A.

Pengertian Pembuktian
Pembuktian adalah penyajian alat – alat bukti yang sah menurut hukum oleh para pihak
yang berperkara kepada hakim dalam suatu persidangan, dengan tujuan untuk memperkuat
kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga hakim
memperoleh dasar kepastian unntuk menjatuhkan keoutusan. Menurut M. Yahya Harahap,
pembuktian adalah kemampuan penggugat dan tergugat memanfaatkan hukum pembuktian
untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa – peristiwa yang
didalilkan atau dibantahkan dalam hubungan hukum yang diperkarakan. Subekti, mantan
ketua MA RI dan guru besar hukum perdata pada Universitas Indonesia berpendapat bahwa
pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat – alat bukti dipergunakan, diajukan atau
dipertahankan sesuatu hukum acara yang berlaku.
Menurut Sudikno Mertokusumo, membuktikan mengandung beberapa pengertian,
yaitu:
a. Membuktikan dalam arti logis, berarti memberi kepastian yang bersifat mutlah,
karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan;
b. Membuktikan dalam arti konvensional, berarti memberi kepastian tetapi bukan
kepastian mutlak melainkan kepastian yang relatif sifatnya yang mempunyai
tingkatan – tingkatan sebagai berikut :
1. Kepastian yang hanya didadarkan pada perasaan, sehingga berdifat instuitif dan
disebut conviction intime ;
2. Kepastian yang didasarkan pada pertimbangan akal, sehingga disebut
conviction raisonee;
3. Mebuktikan dalam arti yuridis (dalam hukum acara perdata), tidak lain berati
memberi dasar- dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara guna
memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Pada tahap penyelesaian perkara di pengadilan, acara pembuktian merupakan tahap
terpenting untuk kebenaran terjadinya suatu peristiwa atau hubungan hukum tertentu, atau
adanya suatu hak, yang dijadikan dasar oleh penggugat untuk mengajukan gugatan ke
pengadilan. Pada tahap pembuktian juga pihak tergugat daoat menggunakan haknya untuk
menyangkal dalil – dalil yang diajukan oleh penggugat. Melalui pembuktian dengan
mengguganakan alat – alat bukti inilah, hakim akan memperoleh dasar – dasar untuk
menjatuhkan putusan dalam menyelesaikan suatu perkara.
Hukum pembuktian (law of evidence) dalam berkerpara merupakan bagian yang sangat
kompleks dalam proses litigasi. Kompelsitas itu ajab semakin rumit karena pembuktian
berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu (past event)
sebagai suatu kebenaran (truth). Meskipun kebenaran yang dicari dalam proses peradilan
perdata, bukan kebenaran yang absolut (ultimate truth), tetapi kebenaran yang bersifat retalif
atau bahkan cukup bersifat kemungkinan (probable), namun untuk menemukan kebenaran
yang demikian pun tetap menghadapi kesulitan.
Sampai saat ini sistem pembuktian hukum perdata di Indonesia, masih menggunakan
ketentuan – ketentuan yang diatur di dalam KUHPer dari Pasal 1865 – Pasal 1945,
sedangkan di dalam HIR berlaku bagi golongan Bumi Putera untuk daerah Jawa dan
Madura di dalam Pasal 162 – Pasal 165, Pasal 167, Pasal 169 – Pasal 177, dan dalam RBg
berlaku bagi golongan Bumi Putera untuk daerah luar Jawa dan Madura diatu dalam pasal
282 – Pasal 314.

B. Beban Pembuktian
Beban pembuktian tercantum dalam Pasal 163 HIR, Pasal 283 RBg, Pasal 1865 BW,
yang berbunyi: “barangsiapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada
suatu peristiwa untuk menguatkan hak itu atau untuk menyangkal hak orang lain, harus
membuktikan adanya hak atau peristiwa itu”. Tetapi ketentuan pasal ini kurang jelas, karena
itu sulit untuk diterapkan secara tegas, apakah beban pembuktian itu ada pada penggugat
atau tergugat.
Untuk menentukan beban pembuktian itu ada pada pihak mana, dilihat dari bunyi pasal
tersebut, sebagai berikut :
1. Barang siapa yang mengatakan mempunyai hak, dia harus membuktikan adanya
hak itu. Biasanya penggugat yang mengatakan mempunyai hak, maka penggugatlah
yang harus diberi beban pembuktian lebih dahulu;
2. Barang siapa yang menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya, dia
harus membuktikan adanya peristiwa itu. Apabila yang menyebutkan peristiwa itu
penggugat, maka dialah yang harus membuktikan, beban pembuktian ada pada
penggugat. Tetapi apabila yang menyebutkan peristiwa itu tergugat, maka dialah
yang harus membuktikan adanya peristiwa itu, beban pembuktian ada pada
tergugat.
3. Barang siapa yang menyebutkan suatu peristiwa untuk membantah adanya hak
orang lain, dia harus membuktikan peristiwa itu. Jika yang menyebut peristiwa itu
penggugat, beban pembuktian ada pada penggugat, dan jika yang menyebutkan
peristiwa itu tergugat, maka beban pembuktian ada pada pembuktian.
Ini berarti bahwa kedua belah pihak baik penggugat maupun tergugat dapat dibebani
dengan pembuktian. Terutama penggugat wajib membuktikan peristiwa yang
diajukannya, sedangkan tergugat berkewajiban membuktikan bantahannya. Penggugat
tidak diwajibkan membantahkan kebenaran bantahan tergugat, sebaliknya tergugat
tidak diwajibkan untuk membuktikan peristiwa yang diajukan oleh penggugat.
Kalau penggugat tidak dapat membuktiakn peristiwa yang dijukannya ia harus
dikalahkan. Sedang kalau tergugat tidak dapat membuktikan bantahannya, ia harus
dikalahkan juga. Jadi, kalau salah satu pihak dibebani dengan pembuktian dan dia tidak
dapat membuktikannya, maka ia akan dikalahkan.

Anda mungkin juga menyukai