Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Sirosis adalah suatu keadaan yang menggambarkan stadium akhir dari
fibrosis hepatic dimana sel hepatosit yang mati digantikan oleh jaringan ikat
fibrosa. Keadaan patologis ini berlangsung secara progresif yang ditandai dengan
distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Secara klinis
sirosis hepatis dibedakan menjadi sirosis hepatis kompensata dan sirosis hepatis
dekompensata.
Sirosis Hati (SH) merupakan dampak tersering dari perjalanan klinis yang
panjang dari semua penyakit hati kronis yang ditandai dengan kerusakan parenkim
hati. Deskripsi suatu “Sirosis” hati berkontraksi baik dengan status pato-fisiologis
maupun klinis, dan untuk menetapkan prognosis pasien dengan penyakit hati.
Salah satu terapi yang dilakukan pada pasien sirosis hepatis yang masih
bersifat reversibel adalah terapi intervensi. Dalam terapi ini dibutuhkan penentuan
prognosis dengan perangkat prognostik sehingga dapat dilakukan pada saat yang
tepat. Perangkat prognostik tersebut selain dapat menentukan berat ringannya
penyakit juga dapat menentukan prioritas pasien yang akan menjalani terapi
intervensi. Agar terapi intervensi dapat dilakukan pada waktu yang tepat, maka
dibutuhkan penghitungan skor yang valid pula. Pada saat ini perangkat prognostik
yang dipakai untuk menentukan angka harapan hidup pasien sirosis hepatis adalah
menggunakan sistem skor, yaitu : skor Mayo End-Stage Liver Disease (MELD),
skor Maddrey’s Discriminant Function (MDF), dan skor Child-Pugh.
Skor Child-Pugh digunakan untuk memprediksi ketahanan hidup
perioperatif pada pasien yang dilakukan operasi intra abdomen. Skor MELD
digunakan untuk memprediksi pasien yang akan menjalani terapi Transjugular
Intrahepatic Portosystem (TIPS) dan sebagai alat untuk menentukan prioritas pasien
sirosis hepatis yang menunggu transplantasi hepar. Pada tahun 2001 Kamath PS et
al yang membuat dan melakukan validasi MELD melaporkan bagaimana MELD
dapat diaplikasikan dan mengkaji kelebihan serta kekurangannya. Pada umumnya
skor MELD lebih baik jika dibandingkan dengan skor Child-Pugh, sebab sebagai
prediktor ketahanan hidup skor MELD dianggap lebih objektif daripada skor Child-
Pugh.5,6 Namun pertanyaan apakah skor MELD ini cukup valid atau tidak dalam
memprediksi ketahanan hidup pasien masih belum terjawab. Sampai saat ini skor
Child-Pugh lah yang dianggap sebagai prediktor yang valid dalam meprediksi
ketahanan hidup pada pasien sirosis hepatis. Namun sayangnya skor Child-Pugh ini
sulit digunakan untuk memprediksi ketahanan hidup jangka pendek yakni 12
minggu, dikarenakan indikator yang digunakan dalam skor Child-Pugh tidak bisa
dikerjakan dengan cepat. Sehingga jika skor Child-Pugh dikerjakan secara cepat,
validitas hasil prediksinya mungkin saja dapat menurun.

1.2 Rumusan Masalah


Sesuai dengan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimanakah perbandingan validitas
antara Skor MELD dan skor Child-Pugh dalam menentukan ketahanan hidup 12
minggu pertama pada pasien sirosis hepatis?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan umum

Mengetahui perbandingan tingkat validitas skor MELD dan skor Child-


Pugh dalam memprediksi ketahanan hidup 12 minggu pertama pasien
sirosis hepatis.

1.3.2. Tujuan khusus

1.3.2.1. Mengetahui tingkat validitas skor MELD dalam menentukan ketahanan


hidup 12 minggu pertama pasien sirosis hepatis.
1.3.2.2. Mengetahui tingkat validitas skor Child-Pugh dalam menentukan
ketahanan hidup 12 minggu pertama pasien sirosis hepatis.
1.3.2.3. Membandingkan tingkat validitas skor MELD dan skor Child-Pugh dalam
menentukan ketahanan hidup 12 minggu pertama pasien sirosis hepatis.

1.4. Manfaat Hasil Penelitian

1.4.1. Menambah informasi tentang perbandingan tingkat validitas Skor MELD


dengan skor Child-Pugh dalam memprediksi ketahanan hidup 12 minggu
pertama pasien sirosis hepatis.

1.4.2. Memberi informasi yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sirosis Hati (SH) merupakan dampak tersering dari perjalanan klinis yang
panjang dari semua penyakit hati kronis yang ditandai dengan kerusakan parenkim
hati. Deskripsi suatu “Sirosis” hati berkontraksi baik dengan status pato-fisiologis
maupun klinis, dan untuk menetapkan prognosis pasien dengan penyakit hati.
Sirosis hepatis merupakan keadaan yang menggambarkan akhir dari
perjalanan histologi pada berbagai macam penyakit hepar kronik. Istilah sirosis
pertama kali diperkenalkan oleh Laennec tahun 1826. Istilah ini diambil dari
bahasa Yunani yaitu scirrhus yang digunakan untuk mendeskripsikan permukaan
hepar yang berwarna oranye jika dilihat pada saat autopsi. Tapi karena kemudian
arti kata sirosis atau scirrhus banyak yang salah menafsirkannya akhirnya istilah ini
berubah artinya menjadi pengerasan. Berbagai bentuk dari kerusakan sel hepar
ditandai dengan adanya fibrosis. Fibrosis merupakan peningkatan deposisi
komponen matrix ekstraseluler (kolagen, glikoprotein, proteoglikan) di hepar.
Sirosis hepatis adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui
penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium
akhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati (Sujono, 2002).

2.2 Anatomi dan Fisiologi


Hati merupakan organ terbesar didalam tubuh, beratnya sekitar 1500 gram.
Letaknya dikuadaran kanan atas abdomen, dibawah diafragma dan terlindungi oleh
tulang rusuk (costae). Hati dibagi menjadi 4 lobus dan setiap lobus hati terbungkus
oleh lapisan tipis jaringan ikat yang membentang kedalam lobus itu sendiri dan
membagi massa hati menjadi unit-unit kecil, yang disebut lobulus.

Sirkulasi darah ke dalam dan keluar hati sangat penting dalam


penyelenggaraan fungsi hati. Hati menerima suplai darahnya dari dua sumber yang
berbeda. Sebagian besar suplai darah datang dari vena porta yang mengalirkan
darah yang kaya akan zat-zat gizi dari traktus gastrointestinal. Bagian lain suplai
darah tersebut masuk ke dalam hati lewat arteri hepatika dan banyak mengandung
oksigen. Kedua sumber darah tersebut mengalir ke dalam kapiler hati yang disebut
sinusoid hepatik. Dengan demikian, sel-sel hati (hepatosit) akan terendam oleh
campuran darah vena dan arterial. Dari sinusoid darah mengalir ke vena sentralis di
setiap lobulus, dan dari semua lobulus ke vena hepatika. Vena hepatika mengalirkan
isinya ke dalam vena kava

inferior. Jadi terdapat dua sumber yang mengalirkan darah masuk ke dalam
hati dan hanya terdapat satu lintasan keluarnya. Disamping hepatosit, sel-sel
fagositosis yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial juga terdapat dalam hati.
Organ lain yang mengandung sel-sel retikuloendotelial adalah limpa, sumsum
tulang, kelenjar limfe dan paru-paru. Dalam hati, sel-sel ini dinamakan sel kupfer.
Fungsi utama sel kupfer adalah memakan benda partikel (seperti bakteri) yang
masuk ke dalam hati lewat darah portal.

Fungsi metabolik hati:

1. Metabolisme glukosa
Setelah makan glukosa diambil dari darah vena porta oleh hati dan
diubah menjadi glikogen yang disimpan dalam hepatosit. Selanjutnya glikogen
diubah kembali menjadi glukosa dan jika diperlukan dilepaskan ke dalam
aliran darah untuk mempertahankan kadar glukosa yang normal. Glukosa
tambahan dapat disintesis oleh hati lewat proses yang dinamakan
glukoneogenesis. Untuk proses ini hati menggunakan asam-asam amino hasil
pemecahan protein atau laktat yang diproduksi oleh otot yang bekerja.
2. Konversi amonia
Penggunaan asam-asam amino untuk glukoneogenesis akan
membentuk amonia sebagai hasil sampingan. Hati mengubah amonia yang
dihasilkan oleh proses metabolik ini menjadi ureum. Amonia yang diproduksi
oleh bakteri dalam intestinum juga akan dikeluarkan dari dalam darah portal
untuk sintesis ureum. Dengan cara ini hati mengubah amonia yang merupakan
toksin berbahaya menjadi ureum yaitu senyawa yang dapat diekskresikan ke
dalam urin.
3. Metabolisme protein
Organ ini mensintesis hampir seluruh plasma protein termasuk
albumin, faktor-faktor pembekuan darah protein transport yang spesifik dan
sebagian besar lipoprotein plasma. Vitamin K diperlukan hati untuk
mensintesis protombin dan sebagian faktor pembekuan lainnya. Asam-asam
amino berfungsi sebagai unsur pembangun bagi sintesis protein.
4. Metabolisme lemak
Asam-asam lemak dapat dipecah untuk memproduksi energi dan benda
keton. Benda keton merupakan senyawa-senyawa kecil yang dapat masuk ke
dalam aliran darah dan menjadi sumber energi bagi otot serta jaringan tubuh
lainnya. Pemecahan asam lemak menjadi bahan keton terutama terjadi ketika
ketersediaan glukosa untuk metabolisme sangat terbatas seperti pada kelaparan
atau diabetes yang tidak terkontrol.
5. Penyimpanan vitamin dan zat besi
6. Metabolisme obat
Metabolisme umumnya menghilangkan aktivitas obat tersebut
meskipun pada sebagian kasus, aktivasi obat dapat terjadi. Salah satu lintasan
penting untuk metabolisme obat meliputi konjugasi (pengikatan) obat tersebut
dengan sejumlah senyawa, untuk membentuk substansi yang lebih larut. Hasil
konjugasi tersebut dapat diekskresikan ke dalam feses atau urin seperti ekskresi
bilirubin.
7. Pembentukan empedu
Empedu dibentuk oleh hepatosit dan dikumpulkan dalam kanalikulus
serta saluran empedu. Fungsi empedu adalah ekskretorik seperti ekskresi
bilirubin dan sebagai pembantu proses pencernaan melalui emulsifikasi lemak
oleh garam-garam empedu.

8. Ekskresi bilirubin
Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan hemoglobin
oleh sel-sel pada sistem retikuloendotelial yang mencakup sel-sel kupfer dari
hati. Hepatosit mengeluarkan bilirubin dari dalam darah dan melalui reaksi
kimia mengubahnya lewat konjugasi menjadi asam glukuronat yang membuat
bilirubin lebih dapat larut didalam larutan yang encer. Bilirubin terkonjugasi
diekskresikan oleh hepatosit ke dalam kanalikulus empedu didekatnya dan
akhirnya dibawa dalam empedu ke duodenum. Konsentrasi bilirubin dalam
darah dapat meningkat jika terdapat penyakit hati, bila aliran empedu terhalang
atau bila terjadi penghancuran sel-sel darah merah yang berlebihan. Pada
obstruksi saluran empedu, bilirubin tidak memasuki intestinum dan sebagai
akibatnya, urobilinogen tidak terdapat dalam urin. (Smeltzer & Bare, 2001)

2.3 Penyebab Sirosis Hepatis

Penyebab sirosis hepatis bermacam-macam. Ada penyebab didapat

maupun genetik. Di Amerika Serikat alkoholisme kronis dan hepatitis C

merupakan penyebab terbanyak dari sirosis hepatis. Sedangkan di Indonesia

penyebab terbanyak adalah karena virus hepatitis tipe B dan C.

Menurut FKUI (2001), penyebab sirosis hepatis antara lain :

1. Malnutrisi
2. Alkoholisme
3. Virus hepatitis
4. Kegagalan jantung yang menyebabkan bendungan vena hepatika
5. Penyakit Wilson (penumpukan tembaga yang berlebihan bawaan)
6. Hemokromatosis (kelebihan zat besi)
7. Zat toksik

Ada 3 tipe sirosis atau pembetukan parut dalam hati :

1. Sirosis Laennec (alkoholik, nutrisional), dimana jaringan parut secara khas


mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.

2. Sirosis pascanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai
akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.

3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati disekitar
saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi
(kolangitis).

2.4 Patofisiologi

Meskipun ada beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi sirosis, konsumsi
minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang utama. Sirosis terjadi
dengan frekuensi paling tinggi pada peminum minuman keras. Meskipun defisiensi
gizi dengan penurunan asupan protein turut menimbulkan kerusakan hati pada
sirosis, namun asupan alkohol yang berlebihan merupakan faktor penyebab yang
utama pada perlemakan hati dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Namun
demikian, sirosis juga pernah terjadi pada individu yang tidak memiliki kebiasaan
minum minuman keras dan pada individu yang dietnya normal tetapi dengan
konsumsi alkohol yang tinggi (Smeltzer & Bare, 2001).

Sebagian individu tampaknya lebih rentan terhadap penyakit ini dibanding


individu lain tanpa ditentukan apakah individu tersebut memiliki kebiasaan
meminum minuman keras ataukah menderita malnutrisi. Faktor lainnya dapat
memainkan peranan, termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon
tetraklorida, naftalen terklorinasi, asen atau fosfor) atau infeksi skistosomiasis yang
menular. Jumlah laki-laki penderita sirosis adalah dua kali lebih banyak daripada
wanita, dan mayoritas pasien sirosis berusia 40-60 tahun (Smeltzer & Bare, 2001).

2.5 Tanda dan Gejala

Pada tahap awal, sirosis tidak menimbulkan gejala apapun. Hal ini karena
masih banyak sel hati yang berfungsi normal, meskipun ada yang rusak. Namun
seiring bertambahnya kerusakan hati, penderita akan mengalami gejala berikut:

 Lemas
 Perut kembung
 Nyeri perut
 Mual dan muntah
 Kehilangan nafsu makan
 Berat badan menurun
 Telapak tangan memerah
 Muncul tanda seperti sarang laba-laba di kulit

Bila sirosis semakin parah, penderitanya dapat mengeluhkan gejala berupa:

 Perut membesar (asites)


 Mudah memar
 Peyakit kuning dan gatal-gatal
 BAB berdarah (melena) dan muntah darah
 Bicara kacau dan hilang kesadaran

Selain gejala di atas, sirosis juga dapat menyebabkan terhentinya menstruasi pada
wanita. Sedangkan pada pria, sirosis bisa menyebabkan penurunan gairah seks,
payudara membesar (ginekomastia), dan penyusutan ukuran testis.
2.6 Asuhan Keperawatan Pada Penyakit Sirosis Hepatis

2.6.1 Pengkajian
Data tergantung pada penyebab dasar kondisi klien, yaitu:

1. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Kelemahan, kelelahan, terlalu lelah.
Tanda : Letargi dan Penurunan masa otot atau tonus.

2. Sirkulasi
Gejala : Riwayat GJK kronis, perikarditis, penyakit jantung
reumatik, kanker.
Disritmia, bunyi jantung ekstra (S3,S4).

3. Eliminasi
a. Gejala : Flatus.
b. Tanda : Distensi abdomen.
Penurunan atau tak adanya bising usus.
Feses warna tanah liat, melena.
Urine gelap, pekat.

4. Makanan/Cairan
a. Gejala : Anoreksia, tidak toleran terhadap makanan / tidak dapat
menerima
Mual / muntah.
b. Tanda : Penurunan berat badan atau peningkatan ( cairan ).
Penggunaan jaringan.
Edema umum pada jaringan
Kulit kering, turgor buruk.
Ikterik; angioma spider
Nafas berbau, pendarahan gusi.
5. Neurosensori
a. Gejala : Orang terdekat dapat melaporkan perubahan kepribadian,
penurunan mental.
b. Tanda : Perubahan mental, bingung halusinasi, koma.
Bicara lambat atau tidak jelas.
Asterik (ensefalofati hepatic)

6. Nyeri/Kenyamanan
a. Gejala : Nyeri tekan abdomen / nyeri kuadran kanan atas.
Pruritus
b. Tanda : Perilaku berhati-hati / distraksi.
Fokus pada diri sendiri.

7. Pernapasan
a. Gejala : Dispnea.
b. Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal, bunyi napas tambahan.
Ekspansi paru terbatas (asites).
Hipoksia.

8. Keamanan
a. Gejala : Pruritus.
b. Tanda : Demam (lebih umum pada sirosis alkoholik).
Ikterik, ekimosis, petekie.
Angioma spider / teleangiektasis, eritema palmar.

9. Seksualitas
a. Gejala : Gangguan menstruasi, impoten.
b. Tanda : Atrofi testis, ginekomastia, kehilangan rambut (dada,
bawah lengan, pubis)
.

Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium Menurut Smeltzer & Bare (2001) yaitu:


1) Darah lengkap Hb/ Ht dan SDM mungkin menurun karena perdarahan.
Kerusakan SDM dan anemia terlihat dengan hipersplenisme dan defisiensi
besi. Leukopenia mungkin ada sebagai akibat hiperplenisme.
2) Kenaikan kadar SGOT, SGPT
3) Albumin serum menurun
4) Pemeriksaan kadar elektrolit : hipokalemia
5) Pemanjangan masa protombin
6) Glukosa serum : hipoglikemi
7) Fibrinogen menurun
8) BUN meningkat

b. Pemeriksaan diagnostik Menurut smeltzer & Bare (2001) yaitu:


1) Radiologi Dapat dilihat adanya varises esofagus untuk konfirmasi hipertensi
portal.
2) Esofagoskopi Dapat menunjukkan adanya varises esofagus.
3) USG
4) Angiografi Untuk mengukur tekanan vena porta.
5) Skan/ biopsi hati Mendeteksi infiltrat lemak, fibrosis, kerusakan jaringan hati.
6) Partografi transhepatik perkutaneus Memperlihatkan sirkulasi sistem vena
portal.

2.6.2 Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang dapat ditemukan pada klien sirosis hepatis
menurut Doenges (2000) antara lain:
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru, asites.
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake inadekuat.
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan ascites, edema.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
5. Gangguan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu pada
kulit.
6. Resiko perdarahan berhubungan dengan gangguan metabolisme protein.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan pertahanan tubuh.
8. Resiko perubahan proses pikir berhubungan dengan peningkatan amonia dalam
darah.

2.6.3 Intervensi

Menurut Doenges (2000) pada klien sirosis hepatis ditemukan diagnosa


keperawatan dengan intervensi dan rasional sebagai berikut:

1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru, asites.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam pola nafas
menjadi efektif.

Kriteria hasil :

a. Melaporkan pengurangan gejala sesak nafas.


b. Memperlihatkan frekuensi respirasi yang normal (12-18 x/ menit) tanpa
terdengarnya suara pernapasan tambahan.
c. Memperlihatkan pengembangan toraks yang penuh tanpa gejala pernapasan
dangkal.
d. Tidak mengalami gejala sianosis.

Intervensi :

1) Awasi frekuensi, kedalaman dan upaya pernapasan.


Rasional : Pernapasan dangkal cepat/ dispnea mungkin ada hubungan
dengan akumulasi cairan dalam abdomen.
2) Pertahankan kepala tempat tidur tinggi, posisi miring.
Rasional : Memudahkan pernapasan dengan menurunkan tekanan pada
diafragma.
3) Ubah posisi dengan sering, dorong latihan nafas dalam, dan batuk.
Rasional : Membantu ekspansi paru dan memobilisasi sekret.
4) Berikan tambahan oksigen sesuai indikasi.
Rasional : Untuk mencegah hipoksia.
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake inadekuat.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kebutuhan
nutrisi tubuh terpenuhi.

Kriteria hasil :

a. Menunjukkan peningkatan berat badan secara progresif.


b. Tidak mengalami tanda malnutrisi lebih lanjut.

Intervensi :

1) Ukur masukan diet harian dengan jumlah kalori.


Rasional : Memberikan informasi tentang kebutuhan pemasukan.
2) Berikan makan sedikit tapi sering.
Rasional : Buruknya toleransi terhadap makanan banyak mungkin
berhubungan dengan peningkatan tekanan intraabdomen/ asites.
3) Berikan perawatan mulut sering dan sebelum makan.
Rasional : Klien cenderung mengalami luka dan perdarahan gusi dan rasa
tidak enak pada mulut dimana menambah anoreksia.
4) Timbang berat badan sesuai indikasi.
Rasional : Mungkin sulit untuk menggunakan berat badan sebagai indikator
langsung status nutrisi karena ada gambaran edema/ asites.
5) Awasi pemeriksaan laboratorium, contoh glukosa serum, albumin, total
protein dan amonia.
Rasional : Glukosa menurun karena gangguan glukogenesis, penurunan
simpanan glikogen, atau masukan tidak adekuat.
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan ascites, edema.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam terjadi
balance cairan.
Kriteria hasil :
a. Menunjukkan volume cairan stabil dengan keseimbangan pemasukan dan
pengeluaran.
b. Berat badan stabil.
c. Tanda vital dalam rentang normal dan tidak ada edema.

Intervensi :

1) Ukur masukan dan haluaran, catat keseimbangan positif.


Rasional : Menunjukkan status volume sirkulasi.
2) Auskultasi paru, catat penurunan/ tidak adanya bunyi napas dan terjadinya
bunyi tambahan.
Rasional : Peningkatan kongesti pulmonal dapat mengakibatkan
konsolidasi, gangguan pertukaran gas, dan komplikasi.
3) Dorong untuk tirah baring bila ada asites.
Rasional : Dapat meningkatkan posisi rekumben untuk diuresis.
4) Awasi TD dan CVP.
Rasional : Peningkatan TD biasanya berhubungan dengan kelebihan
volume cairan.
5) Awasi albumin serum dan elektrolit.
Rasional : Penurunan albumin serum mempengaruhi tekanan osmotik
koloid plasma, mengakibatkan edema.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan selama 1x24 jam klien toleran terhadap
aktivitas.
Kriteria hasil :
a. Melaporkan peningkatan kekuatan dan kesehatan klien.
b. Merencanakan aktivitas untuk memberikan kesempatan istirahat yang
cukup.
c. Meningkatkan aktivitas dan latihan bersamaan dengan bertambahnya
kekuatan.
Intervensi :
1) Tawarkan diet tinggi kalori, tinggi protein (TKTP).
Rasional : Memberikan kalori bagi tenaga dan protein bagi proses
penyembuhan.
2) Berikan suplemen vitamin (A, B kompleks, C dan K)
Rasional : Memberikan nutrien tambahan.
3) Motivasi klien untuk melakukan latihan yang diselingi istirahat.
Rasional : Menghemat tenaga klien sambil mendorong klien untuk
melakukan latihan dalam batas toleransi klien.
4) Motivasi dan bantu klien untuk melakukan latihan dengan periode waktu
yang ditingkatkan secara bertahap.
Rasional : Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan percaya diri.
5. Gangguan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu
pada kulit.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam integritas
kulit terjaga.
Kriteria hasil :
a. Memperlihatkan turgor kulit yang normal pada ekstremitas dan batang
tubuh.
b. Tidak memperlihatkan luka pada tubuh.
c. Memperlihatkan jaringan yang normal tanpa gejala eritema, perubahan
warna atau peningkatan suhu didaerah tonjolan tulang.
Intervensi :
1) Batasi natrium seperti yang diresepkan.
Rasional : Meminimalkan pembentukan edema.
2) Berikan perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit.
Rasional : Jaringan dan kulit yang edematous mengganggu suplai nutrien
dan sangat rentan terhadap tekanan serta trauma.
3) Balik dan ubah posisi klien dengan sering.
Rasional : Meminimalkan tekanan yang lama dan meningkatkan
mobilisasi edema.
4) Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas edematous.
Rasional : Meningkatkan mobilisasi edema.
5) Letakkan bantalan busa yang kecil dibawah tumit, dan tonjolan tulang
lain.
Rasional : Melindungi tonjolan tulang dan meminimalkan trauma jika
dilakukan dengan benar.
6. Resiko perdarahan berhubungan dengan gangguan metabolisme protein.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam tidak
terjadi perdarahan.
Kriteria hasil :
a. Mempertahankan homeostasis dengan tanpa perdarahan.
b. Menunjukkan perilaku penurunan resiko perdarahan.
Intervensi :
1) Kaji adanya tanda-tanda dan gejala perdarahan gastrointestinal.
Rasional : Traktus GI paling bisa untuk sumber perdarahan sehubungan
dengan mukosa yang mudah rusak dan gangguan dalam homeostasis
karena sirosis.
2) Observasi adanya ptekie, ekimosis, perdarahan dari satu atau lebih
sumber.
Rasional : Adanya gangguan faktor pembekuan.
3) Awasi nadi, TD, dan CVP bila ada.
Rasional : Peningkatan nadi dengan penurunan TD dan CVP dapat
menunjukkan kehilangan volume darah sirkulasi, memerlukan evaluasi
lanjut.
4) Awasi Hb/ Ht dan faktor pembekuan.
Rasional : Indikator anemia, perdarahan aktif.
5) Catat perubahan mental/ tingkat kesadaran.
Rasional : Perubahan dapat menunjukkan penurunan perfusi jaringan
serebral sekunder terhadap hipovolemia, hipoksemia.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan pertahanan tubuh.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam tidak
terjadi infeksi.

Kriteria hasil :
a. Tanda-tanda vital dalam batas normal.

b. Menunjukkan teknik melakukan perubahan pola hidup untuk menghindari


infeksi ulang.

Intervensi :

1) Kaji tanda vital dengan sering.


Rasional : Tanda adanya syok septik.
2) Lakukan teknik isolasi untuk infeksi, terutama cuci tangan efektif.
Rasional : Mencegah transmisi penyakit virus ke orang lain.
3) Awasi/ batasi pengunjung sesuai indikasi.
Rasional : Klien terpajan terhadap proses infeksi potensial resiko
komplikasi sekunder.
4) Berikan obat sesuai indikasi : antibiotik.
Rasional : Pengobatan untuk mencegah/ membatasi infeksi sekunder.
8. Resiko perubahan proses pikir berhubungan dengan peningkatan amonia
dalam darah.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam tidak
terjadi perubahan proses pikir.
Kriteria hasil :
a. Mempertahankan tingkat mental/ orientasi kenyataan.
b. Menunjukkan perilaku/ pola hidup untuk mencegah/ meminimalkan
perubahan mental.
Intervensi :
1) Observasi perubahan perilaku dan mental.
Rasional : Karena merupakan fluktuasi alami dari koma hepatik.
2) Konsul pada orang terdekat tentang perilaku umum dan mental klien.
Rasional : Memberikan dasar untuk perbandingan dengan status saat ini.
3) Pertahankan tirah baring, bantu aktivitas perawatan diri.
Rasional : Mencegah kelelahan, meningkatkan penyembuhan,
menurunkan kebutuhan metabolik hati.
4) Awasi pemeriksaan laboratorium, contoh : amonia, elektrolit, pH, BUN,
glukosa dan darah lengkap.
Rasional : Peningkatan kadar amonia, hipokalemia, alkalosis metabolik,
hipoglikemia, anemia, dan infeksi dapat mencetuskan terjadinya koma
hepatik.

2.6.4 Implementasi

Dari intervensi keperawatan yang direncanakan, terdapat beberapa


intervensi yang lambat dilakukan karena beberapa prosedur harus direncanakan
jauh-jauh hari penjadwalannya seperti pemeriksaan USG hepar, dan pemeriksaan
EGD, tetapi secara umum intervensi keperawatan dapat dilaksanakan sesuai
jadwal baik intervensi mandiri maupun intervensi yang bersifat kolaborasi.

Intervensi keperawatan lain yang telah dilakukan berkaitan dengan


pendidikan kesehatan dan bagaimana mempersiapkan discaharge planing pada
pasien, hal ini dilakukan sejak pasien masuk RS.

Beberapa metode yang digunakan dalam tahap implementasi keperawatan pada


asuhan keperawatan diantara yaitu :

1. Penjelasan tentang pengertian, penyebab, pengobatan dan komplikasi


serosis hati.

2. Cara tentang pemenuhan nutrisi. Terutama pembatasan masukan


Natrium dan cairan lainnya.

3. Cara pengukuran input dan out put cairan


4. Menganjurkan pasien untuk mengikuti jadawal yang telah dibuat
bersama perawat dan pasien terhadap aktifitas dan istirahat yang
dilakukan

2.6.5 Evaluasi

Evaluasi yang dilakukan berdasarkan masing-masing diagnosa


keperawatan dalam bentuk catatan perkembangan pasien, format catatan
perkembangan pasien mengikuti format yang ada diruangan dan sudah tersedia
diruangan. Penulisan catatan perkembangan dalam bentuk SOAP dilakukan setiap
hari atau per 24 jam. SOAP ini mengacu pada perkembangan kondisi pasien dan
respon pasien secara terstruktur.

Dari beberapa masalah keperawatan yang muncul, keseluruhan masalah


keperawatan tersebut 95% dapat teratasi dengan baik sesuai tujuan yang
diharapkan, adapun ringkasan evaluasi dari setiap masalah keperawatan adalah
sebagai berikut:

1. Gangguan volume cairan; lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


terganggunya mekanisme pengaturan (penurunan plasma protein)
2. Resiko gangguan nutrisi; kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang
tidak adekuat (anoreksia,nausea/vomitus).
3. Resiko tinggi injuri (perdarahan) berhubungan dengan ketidaknormalan
profil darah dan gangguan absorsi vit K
4. Terbatasnya pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai proses penyakit,
prognosis dan penatalaksanaannya berhubungan dengan terbatasnya
informasi

2.7 Pendidikan kesehatan

2.7.1 Pokok Bahasan : Sirosis Hepatis (Sirosis Hati)


2.7.2 Sub Pokok Bahasan :

1. Pengertian sirosis hepatis


2. Tanda dan gejala sirosis hepatis
3. Factor yang mengakibatkan sirosis hepatis
4. Siapa yang beresiko terkena sirosis hepatis
5. Pencegahan untuk sirosis hepatis
6. Pengobatan untuk penderita sirosis hepatis
7. Makanan yang baik untuk penderita sirosis hepatis
8. Makanan yang dibatasi untuk penderita sirosis hepatis

2.7.3 Sasaran atau target : Masyarakat

2.7.4 Metode : Ceramah, diskusi/tanya jawab

2.7.5 Media atau alat : Leafleat dan lembar balik

2.7.6 Waktu/tempat :

Hari/tanggal : Minggu, 15 September 2019

Waktu : 09.00-11.00

Tempat : Balai Banjar

2.8 Trend dan Issue

Anda mungkin juga menyukai