Anda di halaman 1dari 36

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Organisasi Rasional
Model organisasi bisnis yang "rasional", yang lebih tradisional, mendefinisikan organisasi
sebagai suatu hubungan formal yang bertujuan mencapai tujuan teknis atau ekonomi dengan
efisiensi maksimal. E. H. Schein memberikan satu definisi ringkas tentang organisasi dari
perspektif tersebut:
Organisasi adalah koordinasi rasional atas aktivitas-aktivitas sejumlah individu untuk
mencapai tujuan atau sasaran eksplisit bersama, melalui pembagian tenaga kerja dan fungsi
dan melalui hierarki otoritas dan tanggung jawab.
Jika suatu organisasi dilihat dengan cara seperti itu, maka sebagian besar realita dasar
organisasi merupakan hierarki otoritas formal yang diidentifikasikan dalam bagan
organisasional yang mewakili berbagai jabatan resmi dan garis kewenangan dalam organisasi.
Pada bagian dasar organisasi terdapat "tingkat operator": para pegawai dan pengawas
mereka yang secara langsung memproduksi barang dan jasa yang merupakan output organisasi.
Pekerjaan tukang las di Ford yang dikutip pada bagian awal bab ini ada di tingkat ini. Di atas
tingkat operator terdapat "manajer madya" yang mengarahkan unit-unit di bawahnya dan
memperoleh arahan dari jabatan atau tingkat yang lebih tinggi dalam garis kewenangan formal.
Manajer pabrik dalam kutipan kedua terletak pada tingkat menengah. Pada puncak piramida
adalah manajemen tertinggi: dewan direksi, pimpinan pejabat eksekutif dan para stafnya.
Mantan pimpinan Konglomerat dalam kutipan ketiga ada di tingkat organisasi ini.
Model organisasi rasional mengasumsikan bahwa sebagian besar informasi dikumpulkan
dari tingkat operator, naik melewati sejumlah tingkat manajemen formal, yang masing-masing
mengumpulkan informasi serupa, sampai akhirnya mencapai manajemen tertinggi.
Berdasarkan informasi ini, manajer tertinggi membuat keputusan tentang kebijakan-kebijakan
umum, yang selanjutnya diturunkan melalui hierarki formal, dan diperjelas dalam setiap tingkat
manajerial sampai menjangkau tingkat operator dalam bentuk instruksi kerja yang mendetail.
Keputusan-keputusan semacam ini didesain untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi umum
seperti efisiensi, produktivitas, keuntungan, pengembalian investasi maksimum, dan
sebagainya. Tujuan ditetapkan oleh individu-individu yang menduduki jabatan tertinggi dalam
hierarki otoritas yang dianggap memiliki hak yang sah untuk membuat keputusan semacam itu.
Kontrak yang mengikat berbagai lapisan atau tingkat dalam organisasi (para pegawai
dan manajer) dan yang mengatur semua individu tersebut ke dalam tujuan organisasi dan
hierarki formal. Model ini mengasumsikan pegawai sebagai agen yang secara bebas dan sadar
telah setuju untuk menerima otoritas formal organisasi dan berusaha meraih tujuan organisasi,
dan sebagai gantinya mereka memperoleh dukungan dalam bentuk gaji dan kondisi kerja yang
baik. Perjanjian kontraktual ini mengikat masing-masing pegawai ke dalam organisasi dengan
cara mendefinisikan secara formal kewajiban-kewajiban setiap pegawai dan jangkauan
otoritasnya. Dari perjanjian kontraktual tersebut, pegawai menerima tanggung jawab moral
untuk mematuhi atasan dalam usaha mencapai tujuan organisasi, dan selanjutnya, organisasi

1
juga memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan dukungan ekonomi pada para pegawai
seperti yang telah dijanjikan.
Seperti yang telah kita bahas, saat dua orang secara sadar dan tanpa paksaan setuju
melakukan pertukaran barang atau jasa, maka masing-masing pihak memiliki kewajiban moral
untuk memenuhi apa yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Teori utilitarian memberikan
dukungan tambahan pada pandangan bahwa pegawai memiliki kewajiban untuk berusaha
mencapai tujuan perusahaan secara loyal: bisnis tidak dapat berfungsi secara efisien dan
produktif jika pegawainya tidak memusatkan perhatian pada usaha untuk mencapai tujuan
perusahaan. Jika setiap pegawai bebas menggunakan sumber daya perusahaan untuk meraih
tujuan-tujuannya sendiri, maka kekacauan akan muncul dan utilitas dari semua orang akan
turun.
Tanggung jawab etis dasar yang muncul dari aspek-aspek “rasional” organisasi
difokuskan pada dua kewajiban moral: (a) kewajiban pegawai untuk mematuhi atasan dalam
organisasi, mencapai tujuan-tujuan organisasi, dan tidak melakukan aktivitas-aktivitas yang
mengancam tujuan tersebut; dan (b) kewajiban atasan untuk memberikan gaji yang adil dan
kondisi kerja yang baik. Kewajiban-kewajiban ini selanjutnya ditetapkan melalui garis otoritas
formal organisasi dan melalui perjanjian-perjanjian yang menetapkan secara khusus kewajiban
pegawai serta kondisi kerja mereka.

Kewajiban Pegawai Terhadap Perusahaan


Dalam pandangan rasional tentang perusahaan, kewajiban moral utama pegawai adalah
untuk bekerja mencapai tujuan perusahaan dan menghindari kegiatan-kegiatan yang mungkin
mengancam tujuan tersebut. Jadi, bersikap tidak etis berarti menyimpang dari tujuan-tujuan
tersebut dan berusaha meraih kepentingan sendiri dalam cara-cara yang, jika melanggar hukum
dapat dinyatakan sebagai salah satu bentuk “kejahatan kerah putih".
Contoh : manajer keuangan dipercaya menangani masalah dana dan memiliki tanggung
jawab untuk menangani dana tersebut dalam suatu cara yang mampu meminimalkan risiko
sekaligus juga menjamin tingkat pengembalian yang tepat bagi para pemegang saham
perusahaan. Manajer keuangan memiliki kewajiban kontraktual pada perusahaan dan para
investor karena dia telah menyetujui perjanjian untuk memberikan penilaian terbaik bagi
perusahaan dan melaksanakan kewenangannya hanya demi pencapaian tujuan perusahaan, dan
bukan demi keuntungan-keuntungan pribadi. Manajer keuangan dikatakan gagal memenuhi
kewajiban kontraktual pada perusahaan apabila dia menyalahgunakan dana perusahaan,
menghabiskan dana perusahaan secara sia-sia, lalai atau bertindak curang dalam membuat
laporan keuangan, memberikan laporan yang salah atau menyesatkan, dan seterusnya.
Pandangan-pandangan tradisional tentang kewajiban pegawai pada perusahaan
membentuk apa yang disebut "hukum agensi” –atau dengan kata lain, peraturan yang
menetapkan kewajiban-kewajiban hukum dari "agen" (pegawai) kepada “pimpinan" mereka.
Pernyataan kembali atas hukum agensi ini, misalnya, dalam Bagian 385 menyebutkan bahwa
“seorang agen harus tunduk pada kewajiban terhadap atasannya untuk bertindak semata-mata
hanya untuk keuntungan atasan dalam segala hal yang berkaitan dengan tugasnya"; dan Bagian

2
394 melarang agen bertindak “demi orang-orang yang kepentingannya berkonflik dengan
kepentingan atasan agen tersebut". Pendeknya, pegawai harus berusaha mencapai tujuan
perusahaan dan tidak boleh melakukan apa pun yang berkonflik dengan tujuan-tujuan tersebut
pada saat bekerja pada perusahaan.
Ada sejumlah situasi di mana pegawai gagal melaksanakan kewajiban untuk mencapai
tujuan perusahaan: Pegawai melakukan tindakan yang mengakibatkan terjadinya “konflik
kepentingan”, mencuri dari perusahaan, atau menggunakan jabatannya sebagai sarana untuk
memperoleh keuntungan dari orang lain dengan melakukan pemerasan atau suap. Sekarang
kita akan memelajari masalah-masalah etis yang muncul dari tindakan-tindakan tersebut.
Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan dalam bisnis muncul saat seorang pegawai atau pejabat suatu
perusahaan melaksanakan tugasnya, namun dia memiliki kepentingan-kepentingan pribadi
terhadap hasil dari pelaksanaan tugas tersebut yang (a) mungkin bertentangan dengan
kepentingan perusahaan, dan (b) cukup substansial sehingga kemungkinan memengaruhi
penilaiannya sehingga tidak seperti yang diharapkan perusahaan. Singkatnya, konflik
kepentingan muncul saat kepentingan pribadi pegawai mendorongnya melakukan tindakan
yang mungkin bukan merupakan tindakan yang terbaik bagi perusahaan. Seorang pejabat
perusahaan, misalnya, terlibat konflik kepentingan jika dia memiliki saham di salah satu
perusahaan yang mengajukan tawaran kontrak ke perusahaan tempat dia bekerja.
Kepentingannya agar nilai sahamnya naik mungkin mendorongnya memberikan kontrak pada
perusahaan di mana dia memiliki saham, meskipun tawaran perusahaan tersebut mungkin
bukan yang terbaik bagi perusahaan tempat dia bekerja.
Konflik kepentingan tidak selalu berkaitan dengan masalah uang. Contohnya jika
menantu saya bekerja sebagai sales di perusahaan yang memproduksi peralatan yang
dibutuhkan perusahaan tempat saya bekerja, saya memiliki kepentingan, yang muncul dari
keinginan saya, agar dia berhasil dan mungkin saya akan termotivasi untuk memutuskan
membeli peralatan darinya, meskipun perusahaan lain mungkin memberikan tawaran yang
lebih baik
Konflik kepentingan juga bisa muncul apabila pejabat atau pegawai suatu perusahaan
juga bekerja atau menjadi konsultan perusahaan luar yang menjadi rekan atau pesaing
perusahaan yang pertama. Pegawai suatu bank, misalnya, dapat terlibat konflik kepentingan
jika dia juga bekerja di bank yang menjadi saingan bank pertama atau bekerja di perusahaan
asuransi yang memberikan kontrak untuk peralatan atau fasilitas bank pertama. Dalam hal ini,
setidaknya loyalitas pegawai akan terbagi antara melayani kepentingan dari kedua perusahaan.
Demikian juga, konflik kepentingan dapat terjadi jika seorang akuntan yang bekerja di sebuah
perusahaan asuransi juga memberikan pelayanan audit "independen" untuk sejumlah
perusahaan yang menjadi klien perusahaan asuransi tersebut: dia mungkin terdorong untuk
memberikan informasi yang diperolehnya saat melakukan audit pada perusahaan asuransi
tempat dia bekerja.
Konflik kepentingan bisa bersifat aktual atau potensial. Konflik kepentingan aktual
terjadi saat seseorang melaksanakan kewajibannya dalam suatu cara yang mengganggu
perusahaan dan melakukannya demi kepentingan pribadi. Konflik kepentingan potensial terjadi

3
saat seseorang, karena didorong oleh kepentingan pribadi, bertindak dalam suatu cara yang
merugikan perusahaan. Dalam kasus pertama yang dikutip di atas, misalnya, pejabat
perusahaan hanya terlibat dalam konflik kepentingan potensial, sejauh penilaian tidak
dipengaruhi oleh kepemilikannya atas saham di perusahaan kedua, dan dia memberikan
kontrak pada perusahaan yang mengajukan tawaran terbaik. Konflik kepentingan ini menjadi
konflik aktual jika penilaiannya dipengaruhi oleh kepemilikannya atas saham di perusahaan
kedua dan dia bertindak atas dasar kepentingan tersebut.
Jika kita menerima pandangan (seperti yang dijelaskan dalam Bab 2) bahwa perjanjian
usaha melibatkan kewajiban moral, maka konflik kepentingan aktual menjadi tidak etis karena
bertentangan dengan perjanjian kontrak bahwa seorang pegawai bebas memilih saat menerima
pekerjaan dari suatu perusahaan. Pegawai administratif suatu perusahaan direkrut untuk
menggunakan penilaian yang netral untuk mencapai tujuan-tujuan perusahaan. Dengan
menerima pekerjaan atau jabatan dalam perusahaan, pegawai berarti setuju menangani aset-
aset perusahaan dengan cara yang sejalan dengan tujuan-tujuan itu dan selanjutnya
memperoleh gaji karena berhasil menjalankan tugas-tugas administratifnya. Melanggar
hubungan kontraktual berarti melanggar hak dan kewajiban yang telah ditetapkan dalam
kontrak atau perjanjian.
Konflik kepentingan potensial bisa etis ataupun tidak etis, tergantung pada
kemungkinan di mana penilaian pegawai dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan yang
saling bertentangan. Jelasnya, tidak ada aturan umum untuk menentukan apakah kepentingan
pribadi atau kepentingan-kepentingan yang saling berkonflik cukup signifikan untuk dapat
memengaruhi penilaiannya: Sebagian besar bergantung pada psikologi dan tujuan pribadi
pegawai, jabatan-jabatan dalam perusahaan dan sifat pekerjaannya, seberapa besar dia mampu
bertahan untuk tidak memperoleh keuntungan tambahan dari berbagai transaksi, dan pengaruh
tindakan pegawai pada orang-orang di dalam dan di luar perusahaan. Untuk menghindari
masalah, banyak perusahaan yang (a) menentukan jumlah saham perusahaan pemasok yang
boleh dibeli pegawai; (b) menentukan hubungan dengan pesaing, pembeli, atau pemasok, yang
dilarang perusahaan; dan (c) mewajibkan pejabat penting untuk mengungkapkan semua
investasi finansial luar mereka.
Konflik kepentingan dapat muncul dari berbagai macam situasi dan aktivitas. Ada dua
jenis hasi dan aktivitas yang perlu mendapat perhatian: suap dan pemberian.
Suap dan Pemerasan Komersial. Suap komersial adalah sesuatu yang diberikan atau
ditawarkan pada seorang pegawai oleh orang dari luar perusahaan dengan tujuan agar saat
pegawai itu melakukan transaksi bisnis perusahaan, dia akan melakukan sesuatu yang
menguntungkan orang tersebut atau perusahaan orang tersebut. Sesuatu yang ditawarkan bisa
berupa uang, barang-barang, tambahan gaji, perlakuan khusus, atau keuntungan-keuntungan
lain. Seorang agen pembelian, misalnya, dikatakan menerima suap bila dia menerima uang dari
pemasok dengan tujuan agar si pemasok lebih diutamakan atau diuntungkan saat dia membuat
keputusan tentang pembelian barang. Sebaliknya, seorang pegawai dikatakan terlibat
pemerasan komersial jika dia meminta imbalan dari orang-orang luar perusahaan sebagai syarat
di mana ia akan melakukan tindakan yang menguntungkan bagi mereka saat melakukan
transaksi bisnis dengan perusahaan mereka. Sebagai contoh, agen pembelian yang membeli

4
hanya dari penjual yang telah memberikan barang atau jasa tertentu dapat dikatakan terlibat
pemerasan. Memeras dan menerima suap jelas menciptakan konflik kepentingan yang
melanggar kewajiban moral yang ditetapkan dalam kontrak kerja pegawai--yaitu kewajiban
untuk menggunakan penilaian yang netral untuk mencapai tujuan-tujuan perusahaan.
Pemberian. Menerima pemberian bisa menjadi tindakan yang etis ataupun tidak etis. Agen
pembelian, misalnya, yang menerima pemberian dari penjual tanpa memintanya dan tanpa
menjadikan pemberian tersebut sebagai syarat untuk melakukan sesuatu, bisa dikatakan tidak
melakukan tindakan yang tidak etis. Jika agen tidak melakukan sesuatu yang menguntungkan
orang yang memberikan pemberian dan tidak bertindak merugikan orang yang tidak
memberikan "pemberian", maka tidak ada konflik kepentingan yang muncul. Akan tetapi,
konflik kepentingan potensial bisa muncul dan hal ini bisa mendorong suatu praktik yang
dalam berapa kasus menjadi konflik kepentingan aktual atau mungkin secara diam-diam
memengaruhi penilaian independen seseorang.

Pencurian Pegawai dan Komputer


Pegawai suatu perusahaan memiliki perjanjian kontraktual untuk hanya menerima keuntungan-
keuntungan tertentu sebagai ganti hasil kerjanya dan menggunakan sumber daya perusahaan
hanya dalam usaha untuk mencapai tujuan perusahaan. Tindakan pegawai yang mencari
tambahan keuntungan pribadi atau menggunakan sumber daya perusahaan untuk dirinya
sendiri merupakan tindakan pencurian karena keduanya berarti mengambil atau menggunakan
properti milik orang lain (perusahaan) tanpa persetujuan pemilik yang sah.
Pencurian yang dilakukan pegawai sering merupakan pencurian kecil-kecilan, misalnya
mencuri alat-alat kecil, peralatan kantor, atau pakaian. Pada tingkat manajer, pencurian kecil-
kecilan kadang terjadi melalui manipulasi atau mengubah laporan pengeluaran, meskipun
jumlahnya kadang cukup besar. Bentuk pencurian manajerial lainnya, yang kadang disebut
kejahatan kerah putih, adalah penggelapan, pencurian, penipuan karena menyerahkan
kepercayaan, dan pemalsuan. Akan tetapi, etika dari bentuk-bentuk pencurian relatif jelas.
Yang tidak selalu jelas adalah bentuk-bentuk pencurian modern: pencurian yang melibatkan
berbagai bentuk informasi dan penggunaan komputer.
Pencurian Komputer
Misalnya dalam kebijakan formal atau informal perusahaan, semua tindakan di atas adalah
bentuk-bentuk pencurian yang etis karena semuanya melibatkan penggunaan atau pengambilan
properti milik orang lain tanpa persetujuan pemiliknya yang sah. Tentu saja, informasi dalam
sebuah bank data dan program-program komputer suatu perusahaan bukanlah properti nyata,
dan pegawai yang memeriksa, menggunakan, atau menyalin informasi atau program tersebut
mungkin sama sekali tidak mengubah informasi atau program tersebut (dan perusahaan
mungkin juga tidak pernah menyadari apa yang dilakukan pegawainya). Namun demikian,
tindakan memeriksa, menggunakan, atau menyalin informasi atau program komputer
merupakan pencurian. Disebut pencurian karena informasi yang dikumpulkan dalam bank data
komputer oleh suatu perusahaan dan program komputer yang dikembangkan atau dibeli
perusahaan merupakan properti dari perusahaan yang bersangkutan.

5
Pencurian seperti ini dapat dipahami dengan mempertimbangkan sifat properti, seperti
yang telah kita lihat pada Bab 3: properti terdiri dari sejumlah hak yang terikat dengan aset
yang dapat dikenali. Hak yang paling penting adalah hak eksklusif atas penggunaan aset
tersebut; hak untuk menjual, memperdagangkan, atau memberikannya kepada orang lain; hak
atas penghasilan dari penggunaannya; dan hak untuk mengubah atau memodifikasi aset
tersebut. (hak-hak ini, tentu saja dibatasi oleh hak-hak orang lain, misalnya hak untuk tidak
dirugikan). Semua hak tersebut dapat dan memang ada pada komputer, data komputer, dan
program-program komputer yang dikembangkan perusahaan dengan menggunakan sumber
dayanya sendiri atau yang dibeli perusahaan dengan menggunakan sumber dayanya sendiri.
Jadi, informasi atau program komputer semacam itu merupakan properti perusahaan, dan hanya
perusahaan yang berhak atas penggunaan atau keuntungan-keuntungannya. Merampas hak atas
properti, termasuk penggunaannya, merupakan salah satu bentuk pencurian properti sehingga
otomatis juga tidak etis.

Rahasia Perdagangan
“Informasi kepemilikan” atau “rahasia perdagangan” terdiri dari informasi non-publik yang (a)
menyangkut aktivitas, teknologi, perencanaan, kebijakan, atau catatan suatu perusahaan dan
yang, jika diketahui pesaingnya, akan berpengaruh secara material pada kemampuan
perusahaan untuk bersaing secara komersial dengan para pesaingnya; (b) dimiliki perusahaan
(meskipun mungkin tidak dimiliki hak paten atau hak ciptanya) karena dikembangkan oleh
perusahaan, untuk digunakan sendiri, dari sumber daya yang dimilikinya atau dibeli dari pihak
lain dengan dananya sendiri; dan (c) ditunjukan oleh perusahaan melalui perintah yang
eksplisit, langkah-langkah pengamanan, atau perjanjian kontraktual dengan pegawai bahwa
perusahaan tidak ingin ada orang luar yang diizinkan memilikinya.
Sebagai contoh, jika suatu perusahaan, dengan menggunakan teknologi dan sumber
daya yang dimiulikinya, mengembangkan sebuah proses rahasia untuk memproduksi disket
komputer yang kapasitasnya lebih besar dibandingkan disket yang di produksi perusahaan lain,
dan perusahaan tersebut melakukan langkah-langkah eksplisit untuk memastikanm bahwa
proses rahasia ini tidak diketahui orang luar, maka informasi tentang proses inilah yang disebut
rahasia perdagangan. Demikian juga, daftar pemasok atau konsumen, hasil-hasil penelitian,
rumus-rumus, program komputer, data-data, rencana pemasaran dan produksi, serta informasi-
informasi lain yang dikembangkan oleh suatu perusahaan, untuk digunakan sendiri, dari
sumber daya yang dimilikinya, semua merupakan rahasia perdagangan. Karena pegawai,
khususnya pegawai di bagian litbang , biasanya memiliki akses pada rahasia-rahasia
perdagangan tersebut agar perusahaan dapat melanjutkan bisnisnya, maka mereka sering punya
banyak kesempatan untuk menggunakan informasi tersebut untuk kepentingan mereka sendiri
dengan cara menjualnya pada perusahaan pesaing. Penggunaan rahasia perdagangan semacam
ini tidak etis karena berarti menggunakan properti pihak lain untuk hal-hal yang tidak disetujui
oleh pihak lain tersebut, dan karena pegawai memiliki kewajiban kontrak inplisit (bahkan
kadang juga eksplisit) untuk tidak menggunakan sumber daya perusahaan untuk tujuan yang
tidak disetujui oleh perusahaan.
Sebagai contoh, seorang pegawai teknis perempuan, yang direkrut untuk mengawasi
pengembangan proses pemanufakturan rahasia yang mampu memberi nilai tambah bagi

6
perusahaan untuk bersaing, dikatakan bertindak salah jika dia memutuskan mengundurkan diri
dari perusahaan dan bekerja bagi perusahaan pesaing yang menjanjikan gaji lebih besar dimana
sebagai gantinya dia memberikan informasi penting proses yang pengembangannya dibiayai
oleh perusahaan sebelumnya.

Namun demikian, keahlian yang diperoleh dari pegawai yang bekerja di suatu
perusahaan tidak termasuk rahasia perdagangan karena rahasia perdagangan terdiri dari
informasi, bukan keahlian. Keahlian yang dimiliki pegawai dianggap sebagai bagian dari
dirinya dan bukan properti perusahaan, seperti informasi. Sejumlah perusahaan berusaha
menghindari masalah rahasia perdagangan dengan mewajibkan pegawai menandatangani
kontrak yang tidak mengizinkan mereka bekerja di perusahaan pesaing dalam waktu 1 atau 2
tahun setelah meninggalkan perusahaan, namun pengadilan biasanya menolak validitas
perjanjian semacam itu. Perusahaan-perusahaan lain menangani masalah ini dengan tetap
memberi gaji setelah pegawai keluar atau pensiun dengan syarat mereka tidak menyebarkan
informasi perusahaan.

Masalah etis penyalahgunaan informasi perusahaan semakin mencolok dalam dekade


terahir saat “teknologi informasi” baru (misalnya komputer) semakin mengubah informasi
menjadi aset bernilai dan pegawai memiliki akses secara reguler. Selama teknologi informasi
terus berkembang, masalah ini juga akan semakin penting.

Hak kepemilikan perusahaan atas informasi adalah terbatas. Secara khusus, hak ini
dibatasi oleh hak agen-agen lain, misal hak pegawai untuk mengetahui risiko kesehatan
sehubungan dengan pekerjaan mereka. Hak perusahaan untuk merahasiakan informasi tidak
mutlak, namun harus diseimbangkan dengan hak-hak sah dari pihak lain.

Insider Trading
Definisi insider trading sebagai tindakan membeli dan menjual saham perusahaan berdasarkan
informasi “orang dalam” perusahaan. Informasi “dari dalam” atau “dari orang dalam” tentang
suatu perusahaan merupakan informasi rahasia yang tidak dimiliki publik di luar perusahaan,
namun memiliki harga material pada harga saham perusahaan.
Sebagai contoh, direktur perusahaan yang memproduksi alat-alat sistem pertahanan
mungkin mengetahui bahwa perusahaannya akan menerima kontrak senilai miliaran dollar dari
pemerintah sebelum ada orang lain dari luar perusahaan mengetahuinya. Ia selanjutnya
membeli sejumlah besar saham perusahaanya karena mengetahui bahwa nilai saham itu akan
naik saat berita tersebut tersebar, dan penjual dan pembeli saham menawar harga yang lebih
tinggi. Pembelian saham seperti inilah yang disebut insider trading. Sang direktur mungkin
juga memberitahu orang lain (misalnya ayahnya), yang selanjutnya juga cepat-cepat membeli
saham sebelum masyarakat tahu. Pembelian saham ini juga termasuk insider trading.

Insider trading adalah ilegal. Selama dekade lalu, sejumlah besar pedagang saham,
bankir, dan manajer dituntut karena ilegal, namun juga orang yang melakukannya berarti
“mencuri” informasi dan memperoleh keuntungan yang tidak adil dari anggota masyarakat
lain. Namun demikian, sejumlah pihak menyatakan bahwa insider trading secara sosial

7
menguntungkan dan, menurut prinsip utilitarian, tindakan ini seharusnya tidak dilarang, malah
dianjurkan.

Pertama, kadang dikatakan, si orang dalam dan teman-temannya membawa informasi


dari dalam perusahaan menuju pasar saham dan, dengan melakukan jual beli berdasarkan
informasi ini, menawar harga saham lebih tinggi (atau lebih rendah) sehingga harga saham naik
(atau turun) untuk merefleksikan nilai sesungguhnya dari saham tersebut. Apabila orang dari
dalam perusahaan memperdagangkan saham berdasarkan informasi dari dalam perusahaan dan
menawar harga lebih tinggi (atau lebih rendah), berarti ia membawa informasi yang mereka
miliki ke pasar saham dan, dengan memperdagangkan saham tersebut, mereka memberikan
“sinyal” kepada orang lain tentang berapa nilai saham tersebut sebenarnya. Jadi, insider trading
merupakan tindakan yang bermanfaat untuk menyampaikan informasi dari dalam menuju ke
pasar saham sehingga memastikan bahwa nilai pasar dari saham-saham tersebut merefleksikan
dengan lebih akurat nilai saham yang sesungguhnya dan otomatis menciptakan pasar yang
lebih efisien.

Kedua, insider trading tidak merugikan siapa pun. Para praktikus insider trading kadang
mengklaim bahwa insider (orang dalam) yang memiliki informasi khusus merugikan orang
lain yang menjual saham kepadanya, tanpa menyadari bahwa pembeli itu tahu harga sahamnya
lebih besar dari yang dibayarnya. Namun orang-orang yang mendukung etika insider trading
menyatakan bahwa saat seseorang menjual sahamnya, itu karena dia butuh uang saat itu. Tidak
masalah apakah mereka menjualnya pada insider atau orang lain, dia akan memperoleh uang
senilai harga pasar dan sahammnya. Lebih jauh lagi, menurut pendukung insider trading, saat
insider mulai memnbeli saham dengan berdasarkan informasi yang mereka miliki, harga saham
tersebut secara bertahap mulai naik. Ini berarti orang yang ingin menjual sahamnya selama
periode kenaikan harga akan memperoleh uang lebih banyak dibandingkan dengan yang
mereka terima jika insider itu tidak melakukan pembelian yang menaikan harga saham. Jadi,
insider tidak hanya tidak merugikan orang-orang yang menjual saham kepadanya, namun juga
memberikan keuntungan bagi orang-orang yang menjual saham kepadanya di saat-saat
berikutnya.

Ketiga, menurut pendukung insider trading, tidak benar bila insider diuntungkan atas
orang lain yang tidak memiliki akses atas informasi yang dimilikinya dari dalam perusahaan.
Faktanya, banyak orang yang menjual dan membeli saham di pasar saham yang memiliki
informasi yang lebih baik dari orang lain.

Akan tetapi, orang-orang yang mengklaim bahwa insider trading tidak etis
menyebutkan bahwa para pendukung insider trading mengabaikan beberapa fakta penting
tentang insider trading. Pertama, informasi yang dimiliki pelaku insider trading bukan
informasi yang merupakan miliknya. Eksekutif, manajer, pegawai dan orang-orang yang
bekerja di suatu perusahaan dan yang mengetahui peristiwa-peristiwa dalam perusahaan yang
akan berpengaruh pada harga saham perusahaan, bukanlah pemilik perusahaan tersebut.
Sumber daya yang mereka gunakan saat mereka bekerja, termasuk informasi yang perusahaan
berikan pada mereka adalah sumber daya yang secara kolektif memiliki para pemegang saham.
Pegawai memiliki kewajiban etis (atau”gadai”) untuk menghindari penggunaan informasi
tersebut demi keuntungan bagi dirinya sendiri atau teman-temannya. Seperti halnya semua

8
pegawai memiliki kewajiban etis untuk menggunakan sumber daya perusahaan hanya demi
keuntungan para pemilik dan pemegang saham, mereka juga memiliki kewajiban etis untuk
menggunakan informasi perusahaan hanya untuk kepentingan pemilik dan pemegang saham.
Jadi, insider yang mengambil informasi dari dalam perusahaan dan menggunakannya untuk
memperkaya diri sendiri berarti mencuri apa yang bukan miliknya. Pelaku insider trading
melanggar hak moral dari semua pemegang saham, khususnya yang secara tidak sadar menjual
saham kepadanya.

Kedua, menurut orang-orang yang menyatakan bahwa insider trading tidak etis,
informasi yang dimiliki insider juga sama sekali tidak fair. Karena informasi itu adalah
informasi yang dia curi, berarti berbeda dengan informasi yang dimiliki para pakar bursa saham
atau analis informasi yang dimiliki insider dianggap tidak fair karena merupakan hasil curian
dari orang lain, pemilik perusahaan yang melakukan investasi yang ahirnya menghasilkan
informasi tersebut. Jadi, keuntungan yang dimiliki insider ini berasal dari tindakan mencuri
hasil kerja orang lain. Dan ini sangat berbeda dengan informasi yang dimiliki analis karena
informasi itu merupakan hasil pekerjaannya.

Ketiga, menurut orang-orang yang menyatakan bahwa insider trading tidak etis, tidak
benar bahwa tidak ada seorangpun yang dirugikan oleh insider trading. Berbagai hasil
penelitian menunjukan bahwa insider trading memiliki dua pengaruh pada pasar saham yang
merugikan semua orang di pasar saham pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya.
Pertama, insider trading cenderung mengurangi ukuran pasar, dan ini merugikan semua orang,
semua orang tahu bahwa insider memiliki keuntungan atas orang lain, jadi semakin banyak
tindakan insider trading yang terjadi di pasar, semakin banyak orang yang meninggalkan pasar
dan ukuran pasar menjadi semakin kecil.
Pengaruh kedua dari insider trading adalah tindakan ini menaikan biaya pembelian dan
penjualan saham (atau biaya transaksi), dan ini juga merugikan. Semakin banyak insider yang
muncul, semakin tinggi pula biaya yang dinaikan dan semakin tinggi biaya pertukaran saham.
Dalam kasus-kasus ekstrem, biaya ini sedemikian tinggi sehingga terjadi kemacetan di pasar
saham, dan dalam kasus yang tidak terlalu ekstrem kenaikan biaya ini membuat pasar tidak
efisien. Jadi, bagaimanapun insider trading merugikan pasar saham.

Dengan demikian, ada alasan yang baik untuk mendukung pandangan bahwa insider
tidak etis karena melanggar hak seseorang, karena tindakan tersebut dilakukan dengan
didasarkan pada keuntungan yang tidak adil, dan karena tindakan tersebut merugikan utilitas
masyarakat secara menyeluruh. Pendeknya, insider trading melanggar hak, keadilan, dan
utilitas masyarakat.
Namun hukum tentang insider trading telah ditetapkan, meskipun kurang jelas.
Securitas and Exschange Commision (SEC) telah mengajukan tuntutan atas kasus-kasus
insider trading. Dan keputusan pengadilan dalam kasus-kasus ini cenderung menyatakan
sebagai tindakan ilegal. Juga ditetapkan bahwa tindakan ini termasuk memperdagangkan
sekuritas, dan yang diperoleh atau diketahui diperoleh dengan melanggar kewajibannya untuk
merahasiakan informasi tersebut. Seperti yang ditunjukan dalam definisi ini, tidak hanya
pegawai perusahaan yang dapat dinyatakan bersalah melakukan insider trading, namun siapa

9
saja dapat dinyatakan bersalah memperdagangkan saham dengan menggunakan informasi
curian yang bisa berpengaruh pada harga saham.

Kewajiban Perusahaan Terhadap Pegawai

Kewajiban moral dasar perusahaan terhadap pegawai, menurut pandangan rasional


adalah memberikan kompensasi yang secra sukarela dan sadar telah mereka setujui sebagai
imbalan atas jasa mereka. Ada dua masalah yang berkaitan dengan kewajiban ini : kelayakan
gaji dan kondisi kerja pegawai. Gaji dan kondisi kerja merupakan aspek-aspek kompensasi
yang diterima pegawai dari jasa yang mereka berikan, dan keduanya berkaitan dengan masalah
apakah pegawai menyetujui kontrak kerja secra sukarela dan sadar. Jika seorang egawai
“dipaksa” menerima pekerjaan tanpa upah yang memadai atau kondisi kerja yang layak, maka
kontrak kerja tersebut dianggap tidak adil.

Gaji
Dari sudut pandang pegawai, gaji merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi pegawai dan keluarganya. Dari sudut pandang pengusaha atau perusahaan, gaji
merupakan biaya produksi yang harus ditekan agar harga produk tidak terlalu tinggi dari
kemampuan pasar. Namun sayangnya, tidak ada rumus sederhana untuk menentukan “gaji
yang layak”. Kelayakan gaji sebagian bergantung pada dukungan yang diberikan masyarakat
(jaminan sosial, perawatan kesehatan, kompensasi pengangguran, pendidikan umum,
kesejahteraan, dan sebagainya, kebebasan pasar kerja, kontribusi pegawai, dan posisi
kompetitif perusahaan).

Meskipun tidak ada cara untuk menentukan gaji yang layak dengan pasti, namun
setidaknya bisa mengidentifikasi sejumlah faktor yang perlu dipertimbangkan untuk
menentukan gaji dan upah.

1. Gaji dalam industri dan wilayah tempat seseorang bekerja. Meskipun pasar kerja dalam
suatu industri atau wilayah mungkin termanipulasi atau terdistori (misalkan oleh
kelangkaan pekerja), namun pasar pekerja setidaknya secara umum memberikan indikator
kasar tentang gaji yang layak jika cukup kompetitif dan jika kita mengasumsikan bahwa
pasar kompetitif adalah adil. Sebagai tambahan, biaya hidup disuatu wilayah juga perlu
dipertimbangkan jika perusahaan ingin agar pegawainya memperoleh penghasilan yang
memadai bagi keluarga mereka.
2. Kemampuan perusahaan. Secara umum, semakin tinggi keuntungan perusahaan, semakin
besar gaji yang bisa dibayarkan kepada pegawai. Semakin kecil keuntungannya, semakin
kecil pula yang bisa diberikan. Menggunakan tenaga kerja yang murah saat perusahaan
sepenuhnya mampu membayar gaji yang lebih tinggi adalah eksploitasi.
3. Sifat pekerjaan. Pekerjaan yang mengandung resiko lebih tinggi, kurang memberikan
jaminan keamanan, memerlukan lebih banyak pelatihan, atau pengalaman, memberikan

10
beban fisik atau emosional yang lebih besar, atau memerlukan tingkat kerja yang lebih
besar, haruslah disertai dengan tingkat kompensasi yang lebih tinggi.
4. Peraturan upah minimum. Upah minimum yang ditetapkan merupakan batas dasar gaji
yang diberikan. Dalam sebagaian besar kasus, nilai yang lebih rendah dianggap tidak adil.
5. Hubungan dengan gaji lain. Jika struktur gaji dalam suatu organisasi ingin dianggap adil,
maka para pegawai yang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang kurang lebih sama haruslah
diberikan gaji yang sebanding.
6. Kelayakan negosiasi gaji. Gaji dan upah yang dihasilkan dari negosiasi yang “tidak
dilakukan secara sukarela” dimana salah satu pihak menggunakan penipuan, kekuasaan,
ketidaktahuan, atau ketidakjujuran untuk mencapai tujuannya, maka hal tersebut tidak bisa
dikatan adil. Sebagai contoh, saat manajemen sebuah perusahaan mengancam melakukan
relokasi untuk memaksa konsesi upah terhadap suatu komunitas, atau saat terikat serikat
pekerja “memeras” perusahaan yang tengah merugi dengan mengancam melakukan aksi
mogok yang bisa dipastikan akan membuat perusahaan tersebut bangkrut, maka keputusan
gaji yang dihasilkan juga tidak bisa dikatakan adil.
7. Biaya hidup lokal. Barang dan jasa yang dibutuhkan keluarga untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan dasar (makanan, rumah, pakaian, transportasi, perawatan anak, dan pendidikan)
berbeda dari satu wilayah ke wilayah lain. Gaji yang diberikan haruslah cukup untuk
memenuhi kebutuhan keluarga pegawai (dengan mempertimbangkan apakah wilayah
tersebut umumnya dihuni keluarga yang memiliki satu atau dua penghasilan), sekalipun
nilai gaji tersebut diatas gaji minimum.

Kondisi Kerja : Kesehatan dan Keamanan


Setiap tahun, lebih dari 5000 pengawai tewas dan lebih dari 3.000.000 luka berat akibat
kecelakaan di tempat kerja. Sepuluh persen tenaga kerja mengalami kecelakaan atau sakit
setiap tahun, dengan jumlah hari kerja yang terlewat mencapai lebih dari 31 juta hari kerja
setiap tahun. Penyakit yang muncul dari penggunaan bahan kimia dan ancaman fisik
menambah jumlah tersebut. Biaya tahunan untuk kematian dan kecelakaan kerja pada tahun
1995 diperkirakan sebesar $119 miliar.
Bahaya di tempat kerja tidak hanya kategori-kategori ancaman yang jelas seperti
kecelakaan, tersengat listrik, dan terbakar, namun juga suhu yang sangat panas atau sangat
dingin, suara yang keras dari mesin, debu batuan, debu filter, asap kimia, merkuri, timah,
berilium, arsenic, karat, racun, iritasi kulit, dan radiasi kulit.
Pada tahun 1970, Kongres menetapkan Occupational Safety and Health Act dan
membentuk Occupational Safety and Health Act Administration (OSHA) “untuk sejauh
mungkin menjamin bahwa para pegawai memperoleh kondisi kerja yang aman dan sehat.”
Namun sayangnya, semenjak awal OSHA sudah menghadapi banyak kontroversi. Meskipun
banyak memperoleh kritik, jumlah inspektur lapangan yang tidak memadai (800), dan
peraturan-peraturan yang belum efisien, namun keberadaan OSHA telah mendorong banyak
perusahaan untuk melaksanakan program keselamatan kerja. Salah satu survey menunjukkan
bahwa 36 persen dari seluruh perusahaan yang disertakan dalam survey telah menerapkan
program-program pengamanan karena adanya OSHA, dan 72 persen mengatakan bahwa
keberadaan OSHA berpengaruh kepada usaha-usaha pengamanan dan keselamatan kerja.

11
Meskipun saat ini lebih banyak perhatian yang diberikan pada masalah keselamatan
pegawai, namun tingkat kecelakaan kerja belum turun. Antara tahun 1960 sampai 1993, jumlah
pekerja yang tewas dalam pekerjaan turun drastic dari 21 kematian per 100.000 pekerja
menjadi 8. Namun juga kecelakaan yang menyebabkan cacat naik dari 2 juta pada tahun 1960,
menjadi 3,2 juta tahun 1993.
Resiko merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pekerjaan. Pembalap, pemain
sirkus, dan rodeo semua menerima resiko sebagai bagian dari pekerjaan mereka. Sejauh mereka
(a) memperoleh kompensasi penuh dalam menghadapi resiko tersebut dan (b) secara sukarela
dan sadar menerimanya dan memperoleh kompensasi sebagai imbalan, maka kita bisa
mengamsumsikan bahwa pengusaha atau perusahaan telah bertindak etis.
Akan tetapi, masalahnya adalah dalam banyak pekerjaan berbahaya, syarat-syarat
berikut tidak terpenuhi :
1. Gaji atau upah dikatan gagal memberikan nilai kompensasi yang proporsional terhadap
risiko pekerja jika pasar tenaga kerja dalam suatu industri tidak kompetitif atau bila pasar
tidak mempertimbangkan risiko-risiko tersebut karena memang belum diketahui. Di
sejumlah wilayah pertambangan pedesaan, misalnya, sebuah perusahaan pertambangan
mungkin memonopoli pekerjaan. Resiko kesehatan yang berkaitan dengan usaha
penambangan bahan mineral tertentu (misalnya uranium) mungkin belum diketahui sampai
beberapa tahun kedepan. Dalam kasus semacam ini, gaji tidak dapat memberikan
kompensasi penuh atas risiko.
2. Pegawai mungkin menerima resiko tanpa mengetahuinya karena tidak memiliki akses ke
informasi tentang resiko-resiko tersebut. Mengumpulkan informasi tentang penanganan
bahan kimia, misalnya, memerlukan waktu, usaha, dan dana yang cukup besar. Jadi,
mungkin mereka merasa terlalu mahal bila harus mencari informasi untuk dapat meneilai
resiko pekerjaan yang mereka terima,
3. Pegawai menerima resiko karena putus asa, karena mereka tidak dapat memperoleh
pekerjaan dalam industri-industri yang kurang resiko, atau karena mereka tidak memiliki
informasi tentang alternatif-alternatif yang tersedia bagi mereka. Para penambang mineral
yang miskin, misalnya, mungkin tahu tentang bahaya penambangan mineral. Namun
karena mereka tidak punya sumber daya untuk pergi ke tempat lain, maka mereka terpaksa
harus memilih: menerima pekerjaan itu atau kelaparan.

Apabila ada salah satu dari ketiga kondisi di atas yang tidak dipenuhi, maka kontrak
antara perusahaan dan pegawai dikatakan tidak fair. Perusahaan tidak memiliki kewajiban,
dalam kasus-kasus seperti ini, untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk
menjamin bahwa pegawai tidak dimanipulasi secara tidak adil agar menerima resiko, tanpa
menyadari, dengan paksaan, atau tanpa kompensasi yang layak. Secara khusus:
1. Perusahaan wajib menawarkan gaji yang merefleksikan prevalensi resiko-premi dalam
pasar kerja yang serupa, namun kompetitif.
2. Untuk menjamin pegawai terhadap bahaya yang diketahui, perusahaan perlu memberikan
program ansuransi kesehatan yang sesuai.
3. Perusahaan perlu (secara individual atau perusahaan lain) mengumpulkan informasi
tentang bahaya kesehatan yang terdapat dalam suatu pekerjaan dan menyebarkan informasi
tersebut keseluruh pegawai.

12
Kondisi Kerja : Kepuasan Kerja
Pandangan rasional tentang organisasi menempatkan nilai yang tinggi pada masalah
efisiensi, semua pekerjaan dan tugas didesain untuk mencapai tujuan perusahaan seefisien
mungkin. Apabila efisiensi dicapai melalui spesialisasi, maka pandangan rasional tentang
organisasi cenderung memasukkan pekerjaan-pekerjaan yang sangat spesifik.

Pekerjaan dapat dispesialisasikan dalam dua spesialisasi. Secara horizontal dengan


membatasi jangkauan tugas dalam suatu pekerjaan dan meningkatkan repetisi atau
pengulangan dalam cakupan tugasnya. Contoh : Tukang las yang dikutip dalam pendahuluan
dalam bab ini, misalnya, tidak melakukan pekerjaan lain selain mengelas kerangka mobil,
“sekitar tiga pulih dua pekerjaan las per mobil, empat puluh delapan unit per jam, delapan jam
sehari”.

Pekerjaan juga dispesialisasikan secara vertical dengan membatasi jangkauan


pengawasan dan pengambilan keputusan atas kegiatan-kegiatan dalam suatu pekerjaan.
Pekerjaan tukang las diatas secara vertical sangat terspesialisasi, sementara pekerjaan manajer
pabrik secara vertical sangat kurang terspesialisasi.

Spesialisai pekerjaan terlihat paling jelas pada tingkat operator dalam organisasi.
pekerjaan di pabrik perakitan biasanya terdiri dari tugas-tugas yang diawasi dengan ketat,
berulang-ulang, dan sederhana. Pekerjaan dibagian administrasi juga cenderung terbagi-bagi ,
berulang-ulang, membosankan, dan diawasi dengan ketat, seperti yang ditunjukkan dalm
contoh :

Saya pernah bekerja beberapa lama di Fair Plan Insurance Company, diamana
ratusan perempuan duduk sambil mengetik dan memisah-misahkan formulir ansuransi
yang berjumlah enam lembar. Pekerjaan saya adalah menanganik lembar pengesahan:
salianan pertaman, kedua, dan ketiga diklip jadi satu/lembar berwarna merah muda
diletakkan di bawah lembar berwarna kuninh/ jika dalam pengesahannya ada hipotek
baru/beri stempel lembar kelima “perlu sertifikat..” Bagian lain, seperti pengodean,
pengecekan, arsip dan mengetik pengesahan, mencangkup tulis menulis yang serupa.
Para perempuan dibagian-bagian lain dududk diatas kursi besi, seperti saya,
mengerjakan setumpuk formulir atau kartu. Setiap bagian ada pengawas yang
tugasnya menghitung dan memeriksa pekerjaan. Dai mencatat jumlah pekerjaan yang
diselesaikan, dan jumlah kesalahan yang kami buat, diatas lembar cacatan produksi.
Lembar produksi ini dipai sebagai dasar kenaikan gaji berkala. Selain menghitung dan
memeriksa, pengawas juga mengawasi agar pegawai tidak saling berbicara atau
mekan di tempat kerja.

Tidak semua pegawai sama-sama terpengaruh oleh spesialisasi pekerjaan. Para pegawai
berusia lanjut dan pegawai yang tinggal di wilayah kota besar terlihat lebih toleran terhadap
pekerjaan yang monoton, tampaknya karena pegawai berusia lanjut menurunkan pengharapan,
sementara pegawai di wilayah perkotaan menolak etika kerja puritan dan memilih untuk tidak
terlalu terlibat dalam pekerjaan. Namun demikian, hanya 24% dari pekerja kasar yang memilih

13
pekerjaan yang sama jika mereka dapat memulainya kembali sebuah indikasi bahwa sebagian
pegawai tidak merasa bahwa pekerjaan mereka secara intrinsic memuaskan.

Kecelakaan kerja yang dialami oleh para pegawai yang sangat terspesialisasi seperti
menciptakan satu masalah penting tentang keadilan bagi pegawai. Bentuk pekerjaan yang
paling terspesialisasi adalah pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan keahlian paling rendah
(karena fungsi spesialisasi adalah menghapuskan kebutuhan untuk memberikan pelatihan).
Kerugian dari spesialisasi mungkin tidak hanya tidak adil, namun juga sering berkaitan dengan
tidak adanya kebebasan. Jadi, kebebasan, yang dalam hal ini merupakan unsur penting dalam
kontrak kerja yang adil, sering tidak ada.
Spesialisasi pekerjaan yang berlebihan memang tidak baik karena alasan lain, yaitu
bahwa cara ini memberikan beban yang tidak adil pada pekerja. Juga ada banyak bukti bahwa
cara ini tidak mendukung efisiensi. Hasil-hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa ada
hubungan antara produktivitas pegawai dengan program-program yang ditujukan untuk
meningkatkan kualitas kehidupan kerja dengan memberikan tingkat keterlibatan serta kontrol
yang lebih besar atas berbagai tugas kerja pada pegawai.

Bagaimana masalah-masalah ketidakpuasan kerja dan kerugian mental ini ditangani?


Hackman, Oldham, Jansen, dan Purdy menyatakan bahwa ada tiga determinan kepuasan kerja:

1) Arti yang dialami. Seseorang harus melihat pekerjaannya sebagai sesuatu yang bernilai
atau penting melalui sistem nilai yang diterimanya.
2) Tanggung jawab yang dialami. Dia harus percaya bahwa dia secara pribadi
bertanggung jawab atas hasil kerjanya.
3) Pengetahuan akan hasil. Dia harus mampu menentukan, secara teratur, apakah hasil
kerjanya memuaskan.

Untuk memengaruhi ketiga determinan tersebut, pekerjaan haruslah diperluas sepanjang


lima dimensi berikut:

1. Keragaman keahlian. Tingkat di mana suatu pekerjaan mewajibkan pegawai melaksanakan


aktivitas yang menantang keahlian dan kemampuannya.
2. Identitas tugas. Tingkat di mana pekerjaan mewajibkan penyelesaian seluruh tugas yang
diberikan—melaksanakan pekerjaan dari awal sampai akhir dengan hasil yang jelas.
3. Arti penting tugas. Tingkat di mana pekerjaan memiliki pengaruh yang substansial dan
dapat dipahami pada kehidupan orang lain, baik dalam organisasinya ataupun dalam dunia
pada umumnya.
4. Otonomi. Tingkat di mana pekerjaan memberikan kebebasan, kemandirian dan keleluasaan
pada pegawai dalam usahanya merencanakan pekerjaan serta menentukan seberapa baik
dia akan melaksanakannya.
5. Umpan balik. Tingkat di mana seorang pegawai, dalam usahanya melaksanakan aktivitas
pekerjaan, memperoleh informasi tentang efektivitas usaha-usahanya.

14
Pendeknya, pemecahan masalah ketidakpuasan kerja adalah dengan memperluas cakupan
kegiatan dari pekerjaan-pekerjaan yang sangat terspesialisasi: memperluas pekerjaan secara
“horizontal” dengan memberikan tugas-tugas yang lebih beragam pada pegawai dan
memperdalam pekerjaan secara “vertical” dengan memberikan kontrol yang lebih besar pada
pegawai atas tugas-tugas tersebut. Contohnya, pekerjaan dapat diperluas secara horizontal
dengan mengganti seorang pegawai yang melakukan pekerjaan yang monoton dengan tim yang
terdiri dari tiga atau empat pegawai yang semuanya bertanggung jawab atas penyelesaian
sejumlah pekerjaan perakitan untuk beberapa mesin. Tim kerja ini dapat diperluas secara
vertical dengan memberikan tanggung jawab pada mereka untuk menentukan tugas kerja, jam
istirahat dan prosedur pengawasan.

2.2 Organisasi Politik

Bagi semua orang yang pernah bekerja di sebuah organisasi besar, struktur berorientasi
tujuan dan efisien yang diberikan dari model organisasi rasional pada perusahaan bisnis
mungkin akan terlihat agak tidak lengkap atau malah tidak sesuai dengan kenyataan. Meskipun
banyak perilaku dalam organisasi sejalan dengan gambaran yang diberikan model rasional,
namun sejumlah besar perilaku organisasi tidak bisa dikatakan berorientasi tujuan, efisien, atau
rasional. Para pegawai dalam organisasi sering terlibat dalam berbagai intrik, persaingan
memperoleh sumber daya organisasi, membentuk kelompok-kelompok kecil yang saling
bermusuhan, perlakuan pengawas yang sewenang-wenang, berebut memperoleh kesempatan
memajukan karier, saling berdebat tentang apa dan bagaimana “tujuan” organisasi yang
sesungguhnya, serta berselisih tentang strategi untuk mencapai tujuan tersebut. Perilaku-
perilaku di atas tampak tidak sejalan dengan pola pencapaian tujuan organisasi secara
tradisional. Untuk memahami perilaku-perilaku tersebut serta masalah-masalah etis yang
diakibatkannya, kita perlu beralih pada model kedua—model yang tidak terlalu fokus pada
aspek-aspek rasional, namun lebih menekankan pada aspek politik: mode politik dari
organisasi.

Analisis politik atas organisasi yang kita akan lihat sekarang merupakan pandangan yang
lebih mutakhir tentang organisasi dibandingkan analisis rasional. Tidak seperti model rasional,
model politik organisasi tidak hanya melihat pada garis kewenangan (otoritas) dan komunikasi
dalam organisasi ataupun mengansumsikan bahwa semua perilaku organisasi secara rasional
didesain untuk mencapai suatu tujuan dan sasaran ekonomi seperti keuntungan atau
produktivitas. Namun sebaliknya, model politik melihat organisasi sebagai suatu sistem yang
terdiri dari sejumlah koalisi kekuatan yang saling bersaing, jalur pengaruh dan komunikasi
formal dan informal yang terbentuk dari koalisi-koalisi tersebut.

Dalam model politik, individu dilihat berkumpul membentuk koalisi yang selanjutnya
saling bersaing satu sama lain memperebutkan sumber daya, keuntungan dan pengaruh.
Dengan demikian, “tujuan” organisasi menjadi tujuan yang dibentuk oleh koalisis yang paling
kuat dan paling dominan. Tujuan tidak ditetapkan oleh otoritas yang “sah”, namun ditetapkan
melalui tawar menawar antara berbagai koalisi. Realita dasar organisasi, menurut model ini.
bukanlah otoritas formal atau hubungan kontraktual, namun kekuasaan: kemampuan (individu

15
atau kelompok individu) untuk mengubah perilaku pihak lain menuju cara yang diinginkan
tanpa harus mengubah perilaku mereka sendiri menuju cara yang tidak diinginkan.

Perilaku dalam organisasi mungkin tidak ditunjukkan pada tujuan-tujuan rasional


organisasi seperti efisiensi atau produktivitas, dan kekuasaan dan informasi mungkin melewati
jalur otoritas komunikasi di luar jalur formal. Namun demikian, otoritas manajerial dan
jaringan komunikasi formal memberikan kekuasaan yang berlimpah.

Jika kita memfokuskan pada kekuasaan sebagai dasar realita organisasional, maka
permasalahan etis utama yang akan kita temui saat kita mengamati suatu organisasi adalah
masalah yang berkaitan ddengan akuisisi dan pelaksanaan kekuasaan. Masalah etis utama
difokuskan bukan pada kewajiban kontraktual perusaahaan dan pegawai (seperti dalam model
rasional), namun pada hambatan-hambatan moral terhadap penggunaan kekuasaan di dalam
organisasi.

Hak Pegawai
Hak moral pegawai serupa dengan hak sipil warga negara yaitu hak privasi, hak untuk setuju,
hak atas kebebasan berbicara dan sebagainya.

Hak Privasi
Hak privasi dapat didefinisikan sebagai hak individu untuk menentukan apa, dengan
siapa dan seberapa banyak informasi tentang dirinya yang boleh diungkapkan pada orang lain.
Hak pegawai untuk memperoleh privasi menjadi sangat rentan sejalan dengan perkembangan
teknologi terutama teknologi komputer. Metode-metode untuk memperoleh, menyimpan,
mengambil kembali, menyusun dan mengomunikasikan informasi dengan menggunakan
komputer memungkinkan perusahaan untuk mengumpulkan informasi tentang para pegawai,
seperti catatan medis, sejarah kredit, catatan kriminal, penangkapan oleh polisi, informasi FBI
dan sejarah kepegawaian. Pengujian urine memungkinkan perusahaan untuk menyeleksi
pegawai yang termasuk pemakai narkoba, pemabuk atau perokok. Tes psikologi tertulis, tes
inventarisasi kepribadian dan tes kejujuran memungkinkan perusahaan mengetahui sejumlah
besar karakteristik pribadi dan kecenderungan para calon pegawai yang kemungkinan besar
ingin dirahasiakan, seperti tingkat kejujuran atau orientasi seksual mereka.

Inovasi-inovasi ini tidak hanya merupakan ancaman pada privasi seseorang, namun
juga ditemukan pada saat para manajer sangat ingin mengetahui lebih banyak tentang para
pegawai mereka. Kemajuan psikologi industri berhasil menunjukkan hubungan antara
kehidupan rumah tangga seseorang atau karakteristik kepribadiannya dengan prestasi dan
produktivitas kerja. Ada dua jenis privasi yaitu

1. Privasi psikologis yaitu privasi yang berkaitan dengan pemikiran, keyakinan, nilai,
perasaan dan keinginan seseorang.
2. Privasi fisik yaitu privasi yang berkaitan dengan aktivitas-aktivitas fisik seseorang
khususnya yang mengungkapkan kehidupan pribadi seseorang dan aktivitas-aktivitas
fisik yang secara umum dianggap sebagai aktivitas pribadi.

16
Privasi memungkinkan kita melindungi informasi tentang diri kita yang bisa membuat kita
merasa malu, melindungi kita agar orang lain tidak ikut campur dalam kehidupan kita, secara
umum melindungi reputasi kita. Privasi juga memungkinkan kita menjalin keakraban sehingga
kita bisa mengembangkan hubungan cinta, persahabatan, dan kepercayaan serta
memungkinkan kita menentukan identitas diri dengan mengendalikan cara di mana masyarakat
dan individu-individu tertentu melihat diri kita.

Pegawai memiliki kepentingan khusus dalam usaha mereka mempertahankan privasi atas
informasi-informasi tentang diri mereka dan perusahaan juga perlu diakui memiliki hak atas
privasi. Secara khusus, perusahaan memiliki hak untuk mengamati aktivitas pegawai atau calon
pegawai. Perusahaan berhak mengetahui, misalnya apa saja pengalaman kerja calon pegawai
tersebut dan apakah dia mampu melaksanakan pekerjaannya dulu dengan baik.

Kebebasan Suara Hati


Seorang pegawai ketika melaksanakan pekerjaannya mungkin menemukan bahwa perusahaan
tempatnya bekerja melakukan sesuatu yang menurutnya merugikan masyarakat. Individu-
individu dalam perusahaan biasanya merupakan pihak pertama yang mengetahui bahwa
misalnya, perusahaan memasarkan produk-produk yang tidak aman, mencemari lingkungan,
menyembunyikan informasi kesehatan atau melanggar hukum.

Pegawai yang memiliki perasaan tanggung jawab moral, yang menemukan bahwa
perusahaan melakukan sesuatu yang merugikan masyarakat, biasanya akan merasa perlu
melakukan sesuatu agar perusahaan menghentikan aktivitas-aktivitas yang merugikan tersebut
dengan melaporkannya kepada atasan. Namun sayangnya, jika manajemen internal perusahaan
tidak bersedia melakukan apa-apa sehubungan dengan laporan tersebut, maka pegawai hanya
memiliki sedikit pilihan. Jika setelah ditolak perusahaan, pegawai tersebut memiliki keberanian
untuk membawa masalah itu ke lembaga pemerintah di luar perusahaan atau menyebarkan
masalah ini kepada publik, maka perusahaan memiliki hak yang sah untuk menghukumnya
dengan cara memecatnya. Jika permasalahannya cukup serius, perusahaan bisa melakukan
langkah-langkah untuk memperkuat hukuman dengan menambahkannya pada catatan kerja
pegawai yang bersangkutan dan dalam kasus-kasus ekstrem, berusaha memastikan agar dia
tidak akan diterima bekerja oleh perusahaan-perusahaan lain dalam industri.

Pelanggaran atas hak untuk memperoleh kebebasan suara hati dikarenakan individu
yang bersangkutan dipaksa bekerja sama dalam suatu aktivitas yang bertentangan dengan
keyakinannya. Hak atas kebebasan suara hati berasal dari kepentingan individu yang berpegang
pada keyakinan religius atau moralnya. Individu yang memiliki keyakinan religius atau moral
biasanya melihat hak ini sebagai sesuatu yang mengikat secara mutlak dan hanya dapat
dilampaui dengan akibat-akibat psikologi yang cukup berat. Hak atas kebebasan suara hati
melindungi kepentingan-kepentingannya dengan mewajibkan individu yang bersangkutan
untuk tidak bekerja sama dalam aktivitas-aktivitas yang secara sadar dianggapnya salah.
Dengan tidak adanya perlindungan hukum terhadap hak atas kebebasan suara hati, sejumlah
penulis selanjutnya mendukung tindakan whistleblowing.

17
Whistleblowing
Whistleblowing merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh seorang anggota atau
mantan anggota suatu organisasi untuk mengungkapkan kesalahan atau aktivitas merugikan
yang dilakukan oleh organisasi yang bersangkutan.

Contoh : Mr. Mackowiak direkrut sebagai inspektur bagian las di University Nuclear
System, Inc., (UNSI) sebuah perusahaan yang bertanggung jawab dalam pemasangan system
pemanas, ventilasi dan AC di sebuah pembangkit listrik tenaga nuklir di Washington Public
Power Supply. Mackowiak bertugas menginspeksi pekerjaan para pegawai UNSI dan
memastikan bahwa semuanya sesuai dengan standar kualitas dan keselamatan yang ditetapkan
pemerintah federal – sebuah tugas yang ditetapkan melalui peraturan pemerintah federal yang
mewajibkan kontraktor membangun pembangkit listrik tenaga nuklir untuk memberikan
wewenang dan kebebasan organisasional bagi para inspektur untuk melaksanakan peran
mereka sebagai pengamat independen atas proses pembangunan. Akan tetapi, menurut
Mackowiak, sejumlah pegawai UNSI tidak mengizinkannya masuk ke bagian-bagian tertentu
yang belum memenuhi spesifikasi pemerintah federal. Mackowiak membawa masalah tersebut
kepada atasannya. Saat dia tidak menanggapi laporannya, Mackowiak melakukan
whistleblowing. Dia menemui pejabat-pejabat Nuclear Regulatory Commission (NRC) di
rumahnya dan mengungkapkan keprihatinannya tentang masalah keselamatan dan kualitas
kerja UNSI. NRC menerima pernyataan secara serius, menindaklanjutinya dan melaksanakan
penyelidikan penuh atas UNSI untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Namun demikian, pihak
perusahaan mengetahui bahwa Mackowiak telah berbicara pada agen federal dan pada awal
tahun berikutnya dia dipecat karena dia menunjukkan sikap penuh curiga pada manajemen
meskipun kualifikasi dan keahliannya sangat baik dan inspektur yang baik.
Whistleblowing bisa bersifat internal maupun eksternal. Whistleblowing internal
adalah pelanggaran yang dilaporkan hanya pada pihak-pihak yang lebih tinggi dalam
organisasi. Whistleblowing eksternal adalah pelanggaran yang dilaporkan pada individu
eksternal, atau lembaga- lembaga seperti agen pemerintah, surat kabar, atau kelompok-
kelompok kepentingan publik.

Kadang dikatakan bahwa Whistleblowing eksternal adalah salah, karena pegawai


memiliki kewajiban kontraktual untuk loyal pada perusahaan dan menjaga semua kerahasiaan
semua aspek bisnis. Hal seperti ini merupakan tindakan yang melanggar hak perusahaan.
Namun jika seorang pegawai memiliki kewajiban moral agar orang lain tidak dirugikan dan
satu-satunya cara agar orang lain tidak dirugikan adalah dengan melakukan Whistleblowing,
maka kontrak kerja tersebut tidak bisa mewajibkan pegawai yang bersangkutan untuk diam
saja. Jadi, Whistleblowing eksternal dibenarkan jika memang diperlukan untuk mencegah
kesalahan di mana seseorang secara moral berkewajiban mencegahnya, atau jika tindakan
tersebut memberikan keuntungan di mana seseorang memiliki hak atau kewajiban moral untuk
melakukannya.
Whistleblowing eksternal dibenarkan secara moral jika
1. Ada bukti yang jelas, kuat, dan cukup komprehensif bahwa suatu organisasi melakukan
aktivitas yang melanggar hokum atau berakibat serius pada pihak lain;

18
2. Usaha-usaha lain telah dilakukan untuk mencegahnya melalui Whistleblowing internal
dan gagal;
3. Dapat dipastikan bahwa tindakan Whistleblowing eksternal akan mampu mencegah
kerugian tersebut;
4. Pelanggaran tersebut cukup serius dan lebih buruk dibandingkan akibat tindakan
Whistleblowing pada diri seseorang, keluarganya, dan pihak-pihak lain.

Hak Untuk Berpartisipasi dan Manajemen Partisipatif


Tradisi politik demokratis telah lama menyatakan bahwa pemerintah haruslah dibentuk atas
persetujuan yang diperintah karena mereka memiliki hak atas kebebasan dan hak ini
mengimplikasikan bahwa mereka berhak berpartisipasi dan keputusan-keputusan politik yang
berpengaruh pada diri mereka. Jadi dalam suatu demokrasi pengambilan keputusan biasanya
memiliki dua karakteristik

1. Keputusan yang berpengaruh pada kelompok ditetapkan oleh mayoritas anggotanya .


2. Keputusan ditetapkan setelah dilaksanakan diskusi yang menyeluruh, bebas dan
terbuka. Semua anggota kelompok bisa berpartisipasi secara langsung dalam proses
pengambilan keputusan ataupun melalui wakil-wakil yang telah dipilih sebelumnya.
Langkah pertama untuk menuju demokrasi yaitu sebagian penulis menyatakan bahwa
meskipun keputusan-keputusan yang berpengaruh pada pegawai tidak boleh ditetapkan oleh
pegawai itu sendiri, namun semua keputusan itu haruslah ditetapkan setelah dilakukan diskusi
yang menyeluruh, bebas, dan terbuka dengan para pegawai. Ini artinya komunikasi terbuka
antara pegawai dengan penyelia mereka dan pembentukan suatu lingkungan yang mendukung
proses konsultasi dengan pegawai. Para pegawai diizinkan menyampaikan kritik secara
terbuka, memperoleh informasi yang tepat tentang keputusan-keputusan yang akan
berpengaruh pada mereka, menyampaikan usulan, dan memprotes keputusan.

Langkah kedua adalah dengan bukan hanya memberikan hak untuk berkonsultasi, namun
juga hak untuk membuat keputusan tentang aktivitas-aktivitas kerja mereka. Keputusan ini bisa
mencakup aspek-aspek seperti jam kerja, masa istirahat, pengaturan tugas kerja, dan cakupan
tanggung jawab pegawai dan penyelia. Langkah ketiga, yaitu mengizinkan pegawai
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan-keputusan besar yang berpengaruh pada operasi
perusahaan secara umum.

Sejumlah manajemen mendesak manajer menerapkan gaya kepemimpinan yang disebut


pemimpin partisipatif, berdasarkan prinsip utilitarian bahwa gaya kepemimpinan ini akan
meningkatkan kepuasan pegawai dan mendukung kinerja dan produktivitas perusahaan. Ada
beberapa teori yang mendukung pernyataan tersebut :

1. Teori Douglas McGregor mengambarkan dua teori atau rangkaian asumsi yang dapat
dibentuk manajer atas para pegawai. Teori X, manajer mengasumsikan bahwa pegawai
adalah orang-orang yang malas dan egois, lebih suka dipimpijn resistan atau menolak
perubahan, dan memerlukan penghargaan, hukuman, dan pengawasan untuk bisa bekerja
guna mencapai tujuan-tujuan organisasional. Manajer yang menggunakan teori X
cenderung lebih otoriter, suka memerintah, mengendalikan dan kurang konsultatif.

19
Sedangkan teori Y, manajer mengasumsikan bahwa pegawai ingin dan mampu
mengembangkan kapasitas untuk menerima tanggung jawab memiliki kesiapan untuk
mendukung tujuan-tujuan organisasional, dan mampu menentukan bagi diri sendiri cara
terbaik apa yang bisa dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut serta bersedia
mencurahkan usaha untuk mencapainya. Teori Y, menurut McGregor, merupakan
deskripsi yang lebih akurat tentang tenaga kerja modern, dan menggunakan Teori Y
memiliki arti bahwa manajer menyerahkan keputusan pada pegawai, memperluas cakupan
tanggung jawab, menggunakan gaya manajemen yang partisipatif dan konsultatif, serta
mengizinkan pegawai mengevaluasi diri sendiri berdasarkan pencapaian tujuan yang telah
mereka tetapkan sendiri sebagai sarana mencapai tujuan-tujuan perusahaan.
Kepemimpinan Teori Y, menurut McGregor, akan menciptakan organisasi yang lebih
efektif sekaligus lebih produktif.
2. Teori Raymond Miles, secara umum menyetujui pandangan McGregor, namun melangkah
lebih jauh dengan membedakan tidak hanya dua, namun tiga ”model” atau rangkaian
asumsi yang dapat dibentuk manajer tentang para pegawai. Model "tradisional"
mengasumsikan bahwa sebagian besar pegawai tidak suka bekerja, tidak ingin atau tidak
mampu menjadi kreatif atau mengarahkan diri sendiri, dan lebih mempertimbangkan
berapa banyak yang mereka peroleh dibandingkan dengan apa yang mereka lakukan.
Dalam asumsi-asumsi tersebut, manajer harus memberikan semua arahan, mengawasi dan
mengatur pegawai dengan ketat, dan menetapkan semua rutinitas dan prosedur kerja.
Model kedua adalah model ”hubungan manusia” yang mengasumsikan bahwa sebagian
besar pegawai ingin menjadi bagian dari sesuatu dan ingin diakui, merasa berguna dan
penting, dan bahwa pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut lebih panting bagi mereka
dibandingkan apa yang mereka peroleh. Manajer ”hubungan manusia” berusaha
berkomunikasi dengan pegawai, mendengarkan mereka, mendorong pembentukan
pengarahan-diri dan pengendalian-diri, dan berusaha membuat setiap pegawai merasa
berguna dan penting. Dan model terakhir adalah model "sumber daya manusia" yang
mengasumsikan bahwa sebagian besar pegawai merasa senang dengan pekerjaan mereka,
mereka ingin memberikan sumbangan pada tujuan yang telah ditetapkan bersama, dan
mereka ingin menjadi kreatif dan bertanggung jawab serta memiiiki pengarahan-diri dan
pengendaiian-diri yang lebih baik dibandingkan saat ini. Manajer sumber daya manusia
berusaha menciptakan suasana lingkungan di mana semua orang bisa memberikan
kontribusi sampai pada batas kemampuan mereka, mendorong partisipasi penuh dalam
hal-hal penting, terus mengembangkan pengarahan-diri dan pengendalian-diri, dan
berusaha memanfaatkan sumber daya manusia yang ”belum dimanfaatkan”. Miles
menyatakan bahwa kepuasan pegawai dan efektivitas serta produktivitas organisasional
akan berkembang dengan menerapkan manajemen sumber daya manusia.
3. Teori Rensis Likert, melangkah lebih jauh dari teori Miles dengan mengajukan empat
”sistem organisasi”: Sistem 1, ”otoriter eksploitatif”; Sistem 2, ”otoriter yang baik”;
Sistem 3, ”konsultatif”; dan Sistem 4, ”partisipatif”. Kepemimpinan tersebut memiliki
jangkauan mulai dari tidak adanya kepercayaan dalam sistem 1, sampai pada sikap
saling memercayai sepenuhnya antara manajer dan pegawai dalam sistem 4; mulai dari
tidak adanya kebebasan pegawai untuk mendiskusikan permasalahan sampai kebebasan
penuh; dari gagasan-gagasan pegawai yang sama sekali tidak digunakan sampai

20
penggunaan yang konstan; dari tidak adanya keterlibatan pegawai dalam pengambilan
keputusan sampai keterlibatan penuh; dari kontrol manajemen yang mutlak atas
pekerjaan sampai kebebasan penuh; dari tidak adanya kerja tim sampai penggunaan tim
yang kooperatif; dari semua pengaruh dan keputusan berasal dari atas sampai pengaruh
dan keputusan yang mengalir ke atas, ke bawah, dan menyamping. Likert menyatakan
bahwa Sistem 4, yang memasukkan tingkat partisipasi pegawai paling tinggi,
kemungkinan besar akan menghasiikan efektivitas dam produktivitas paling tinggi.’

Jika gaya manajemen partisipatif seperti yang diusulkan oleh McGregor, Miles, dan Likert
benar-benar membuat organisasi semakin elektif dan produktif, maka berdasarkan prinsip
utilitarian, manajer memiliki kewaiiban moral untuk menerapkan gaya kepemimpinan
semacam itu. Namun demikian, penelitian yang dilaksanakan untuk mengetahui apakah
manajemen partisipatif lebih elektif dan produktif masih belum memperoleh kesimpulan yang
tegas. Dalam beberapa kasus, manajemen partisipatif sangat berhasil dan mampu mengubah
perusahaan yang sama sekali tidak produktif dan hampir bangkrut menjadi perusahaan yang
sangat efisien. Dalam kasus-kasus lain, manajemen partisipatif tidak menghasilkan pengaruh-
pengaruh positif atas kinerja dan produktivitas. "Lebih jauh lagi, para kritikus pendekatan
partisipatif terhadap manajemen menyatakan bahwa orang berbeda-beda dan tidak semuanya
ingin atau mampu berpartisipasi dalam pengambilan keputusan manajemen, dan bahwa
organisasi dan tugas-tugas organisasional berbeda-beda dan tidak semuanya cocok dengan
gaya manajemen partisipatif. Jika ini benar, maka argumen utilitarian yang mendukung
manajemen partisipatif paling-paling hanya mampu menunjukkan bahwa manajer memiliki
kewajiban untuk menggunakan gaya manajemen partisipatif apabila orang-orang dan konteks
organisasionalnya sesuai.

Hak atas Proses yang Layak dan PHK Sepihak


Saat tim penyelidik internal General Motors menemukan apa yang dianggap sebagai bukti yang
memadai dari sebuah rencana rahasia untuk menipu perusahaan tanpa berbicara dengan
pegawai yang dicurigai, GM langsung melakukan apa yang oleh seorang wartawan disebut
“keadilan perusahaan yang kejam”, dalam deskripsinya tentang proses pemecatan di kantor
GM Tarrytown, New York.
Hanya beberapa hari menjelang Natal, dan para pegawai General Motors yang
bekerja di kantor divisi Chevrolet di sini sedang menantikan hari libur panjang dan
sama sekali tidak tahu tentang cobaan berat yang akan mereka hadapi. Tiba-tiba,
tanpa peringatan sebelumnya, sekitar 25 pegawai dipanggil, satu per satu, mereka
masing-masing digiring melewati pabrik dengan tiga ruang dimana sejumlah pejabat
GM dari Detroit dengan wajah serius memecat mereka, menarik mobil perusahaan dan
keuntungan-keuntungan lain, dan memberi uang taksi untuk pulang. Salah seorang
pegawai, yang telah bekerja lebih dari 20 tahun, mengingat dengan rasa tidak percaya
diri bagaimana dia melihat seorang pejabat GM dengan membawa peta dan penggaris
mengukur jarak dari perusahaan ke rumahnya dan menyerahkan uang $15. Dalam satu

21
jam proses tersebut selesai. GM memecat seluruh staf bagian penjualan dan pelayanan
yang bertugas mengawasi dealer-dealer Chevrolet di Kota New York.

Sampai belum lama ini, tenaga kerja Amerika menempati posisi yang mencolok dalam
employment at will (PHK sepihak), sebuah doktrin yang, kecuali jika tenaga kerja dilindungi
oleh kontak eksplisit, perusahaan boleh memecat pegawai secara sepihak dengan alasan yang
baik, tanpa alasan apa pun, ataupun alasan yang secara moral salah, tanpa perlu diputus
bersalah secara hukum. Doktrin PHK sepihak didasarkan pada asumsi bahwa sebagai pemilik
perusahaan, pengusaha memiliki hak untuk memutuskan siapa yang bekerja padanya sejauh
pegawai bebas menerima atau menolak pekerjaan yang diberikan.
Doktrin PHK sepihak banyak mendapat kecaman. Pertama, pegawai sering bebas untuk
menerima atau menolak pekerjaan tanpa menderita kerugian karena banyak di antara mereka
yang tidak bisa memperoleh pekerjaan lain. Lebih jauh lagi, sekalipun mereka bisa
memperoleh pekerjaan lain, namun mereka tetap menanggung beban yang berat untuk mencari
pekerjaan sementara tidak memperoleh penghasilan saat mencarinya. Kedua, pegawai biasanya
melakukan usaha yang sungguh-sungguh untuk memberikan kontribusi pada perusahaan,
namun mereka melakukannya dengan harapan perusahaan akan memperlakukan mereka
dengan adil dan sungguh-sungguh. Pegawai tentu saja tidak akan memilih bekerja di suatu
perusahaan yang mereka yakini akan memperlakukan mereka dengan tidak adil. Jadi, ada
semacam perjanjian implisit bahwa perusahaan akan memperlakukan pegawainya dengan adil,
dan dari perjanjian kontraktual para pegawai berhak atas perlakuan seperti itu. Ketiga, pegawai
berhak diperlakukan dengan hormat sebagai individu yang bebas dan sederajat. Sebagian dari
hak ini mencakup hak atas perlakuan yang tidak adil atas dasar tuduhan yang tidak benar.
Karena pemecatan atau pengurangan gaji atau penurunan pangkat jelas merugikan pegawai.
Untuk alasan tersebut, sebuah kecenderungan baru muncul dan secara bertahap menggantikan
doktrin PHK sepihak yang menyatakan bahwa pegawai memiliki hak atas proses yang layak.

Bagi banyak orang, hak paling penting pegawai adalah hak atas proses yang layak.
Untuk tujuan kita, proses yang layak mengacu pada proses yang adil saat para pembuat
keputusan menetapkan sanksi pada bawahan. Sistem ideal dari proses yang layak adalah sistem
dimana individu diberi petunjuk yang jelas tentang peraturan yang harus mereka ikuti, dengan
disertai kesempatan untuk mengajukan pembelaan pada pihak-pihak yang dircurigai telah
melakukan pelanggaran, dengan menerapkan semua peraturan secara konsisten dan tanpa
diskriminasi, dengan tujuan untuk memperoleh kebenaran seobjektif mungkin, dan dengan
tidak meminta pertanggungjawaban atas suatu masalah yang diluar wewenang individu yang
bersangkutan.

Jadi, cukup jelas mengapa hak atas proses yang layak dilihat oleh banyak orang sebagai
hak pegawai yang paling penting. Proses yang layak menjamin bahwa individu tidak
diperlakukan secara sewenang-wenang, tidak adil, atau kejam oleh atasannya dalam usaha
melaksanakan peraturan perusahaan dan juga menerapkan batasan moral atas pelaksanaan atas
kekuasaan atasan. Jika ha katas proses yang layak tidak dilaksanakan dalam perusahaan, maka
sekalipun perusahaan tersebut melindungi hak-hak pegawai yang lain, namub perlindungan ini
mungkin diberikan secara sporadis ataupun sekehendak hati.

22
Bidang paling penting dimana proses yang layak memainkan peran adalah
mendengarkan keluhan. Perusahaan dapat memastikan bahwa proses yang layak menjadi
realita institusional dengan melaksanakan prosedur yang adil dan menangani keluhan dengan
benar. Berikut ini adalah contoh serangkaian prosedur yang adil untuk menjamin proses
penanganan keluhan.

Trotta dan Gudenberg mengidentifikasi beberapa karateristik berikut ini sebagai komponen
penting dalam prosedur penanganan keluhan :

1. Tiga sampai lima langkah penanganan, tergantung ukuran organisasi. Tiga langkah
biasanya sudah cukup.

2. Satu catatan tertulis atas keluhan saat melewati tingkat pertama. Hal ini mendukung
proses komunikasi dan penetapan permasalahan.

3. Rute alternatif untuk menangani masalah sehingga pegawai bisa melewati penyelia jika
diinginkan. Bagian personalia bisa menjadi rute alternatif paling logis.
4. Batas waktu untuk setiap langkah sehingga pegawai memiliki perkiraan kapan bisa
memperoleh jawaban.

5. Izin bagi pegawai untuk meminta satu atau dua rekan kerja menemaninya saat
wawancara atau dengan pendapat. Hal ini membantu mengatasi rasa takut dan
kekhawatiran akan pembalasan.

Hak Pegawai dan Penutupan Pabrik


Selama dua atau tiga dekade terakhir, banyak perusahaan pabrikasi di Amerika yang ditutup
sementara kapasitas pabrikasi negara asing naik. Pada tahun 1960, misalnya perusahaan mobil
Amerika menguasai 95 persen pasar kendaraan bermotor domestik, menjelang tahun 1994,
pangsa pasar mereka turun sampai 72 persen, yang lainnya dikuasai perusahaan asing.
Meskipun 24,8 persen dari semua kendaraan yang terjual di dunia dibuat di Amerika tahun
1986, namun menjelang tahun 1991, pangsa pasar Amerika turun menjadi 20,7 persen, sebuah
penurunan hampir sebesar 17 persen. Demikian juga, sementara 95 persen konsumsi baja
dihasilkan dari pabrik di Amerika tahun 1960, menjelang tahun 1994, perusahaan Amerika
hanya menyediakan 82 persen baja yang digunakan secara domestik.

Ada beberapa faktor yang berkaitan dengan perubahan kapasitas pabrikasi Amerika
yang beralih ke negara asing. Pertama, gaji pekerja kasar cenderung jauh lebih murah di
negara-negara lain. Kedua, sejumlah pesaing luar negeri melakukan investasi untuk peralatan-
peralatan yang lebih efisien, menjalin hubungan yang lebih produktif antara perusahaan-
pegawai, menerapkan peraturan kerja yang lebih kooperatif, dan melaksanakan program lain
yang mampu meningkatkan produktivitas secara relatif terhadap tingkat produksi Amerika.
Ketiga, pihak pemerintah dari sejumlah industry manufaktur luar negeri memberikan
perencanaan, subsidi keuangan, perlindungan tarif, tingkat pajak yang menguntungkan dan
kebijakan industry lain yang didesain untuk mengembangkan dan mendukung dasar industry
mereka, sementara pemerintah Amerika hanya melakukan sedikit langkah dalam arah ini.

23
Saat pabrik-pabrik Amerika mulai kurang aktif, banyak di antaranya yang ditutup dan
menciptakan pengangguran. Antara tahun 1987 sampai 1994, industry sepatu Amerika,
misalnya menutup hampir 100 pabrik dan kehilangan sepertiga lapangan kerja. Secara
keseluruhan, antara tahun 1980 sampai 1993, perusahaan Fortune 500 melepaskan hampir 4,4
juta pekerjaan, lebih dari seperempat jumlah total tahun 1980 (dan jumlah kompensasi untuk
rata-rata CEO selama periode yang sama naik sebesar 6 kali lipat). Antara tahun 1993 sampai
1995, 12 persen dari pegawai pria berpendidikan perguruan tinggi kehilangan pekerjaan.
Meskipun angka pengangguran rata-rata nasional tahun 1995 sekitar 6 persen (atau 8 juta
orang) namun kota-kota yang dulunya bergantung pada fasilitas pabrik yang telah ditutup terus
menunjukkan angka pengangguran dua digit.

Hilangnya daya saing tentu saja bukanlah satu-satunya alasan penutupan pabrik. Pabrik
juga ditutup karena produk mereka sudah ketinggalan zaman (misalnya pabrik lampu minyak)
karena teknologi yang digunakan sudah ketinggalan zaman permintaan beralih dari desain
produk tertentu sebelum pabrik diperlengkapi.

Apapun penyebabnya, persaingan, perubahan permintaan domestik, atau kesalahan


manajemen, penutupan pabrik membebankan biaya yang tinggi pada pegawai dan komunitas
mereka. tabungan mereka habis. Banyak yang kehilangan rumah, terpaksa menerima pekerjaan
serabutan dengan gaji dan status yang jauh lebih rendah, kehilangan hak pensiun, dan
menderita penyakit mental akut karena merasa tidak berguna, mergukan diri sendiri, menderita
penyakit psikosomatis, mabuk-mabukan, suka bertengkar, melakukan penyiksaan, dan
percobaan bunuh diri. Masyarakat juga dirugikan karena penutupan pabrik berarti penurunan
pendapatan dari pajak, hilangnya pekerjaan, menambah pengeluaran untuk memberikan
pelayanan sosial pada para pengangguran. Dalam beberapa kasus, suatu kota bisa menjadi kota
mati saat sebuah pabrik yang menjadi satu-satunya sumber pekerjaan sebagian besar warga
kota ditutup.

Penutupan pabrik tidak selalu dapat dihindari dalam ekonomi pasar seperti Amerika.
Namun demikian, meskipun penutupan seperti ini kadang perlu, namun hak-hak moral pegawai
harus tetap dihargai sekalipun usaha bisnis tempat pegawai tersebut bekerja terpaksa ditutup.
Diantara hak-hak yang harus dihormati adalah hak untuk diperlakukan sejauh yang telah
mereka setujui secara sadar dan sukarela.

Negara seperti Swedia, Jerman, dan Inggris semuanya mewajibkan pemberitahuan


terlebih dahulu tentang rencana penutupan pabrik. Hukum yang sama juga menyebutkan bahwa
para pegawai juga memiliki hak untuk berpatrisipasi dalam keputusan penutupan pabrik dan
mungkin bahkan memberikan kesempatan pada mereka untuk membeli pabrik tersebut dan
mengoperasikannya sendiri. Lebih jauh lagi prinsip utilitarian mengimplikasikan bahwa
kerugian yang diakibatkan dari PHK haruslah ditekan, dan ini selanjutnya berarti biaya
penutupan pabrik harus ditanggung oleh pihak yang memiliki sumber daya lebih besar dan juga
pihak-pihak yang paling sedikit dirugikan dari tindakan tersebut. Jadi, karena pemilik
perusahaan yang berencana menutup salah satu pabriknya sering memiliki sumber daya yang
lebih besar dibandingkan pegawai, maka pemilik perusahaan harus menanggung biaya
pelatihan kembali, transfer, relokasi dan sebagainya dengan mengembangkan atau membiayai
program-program untuk menangani masalah tersebut. Banyak perusahaan yang berhasil

24
menerapkan program-program semacam ini. Terakhir, pertimbangan akan masalah keadilan
mengimplikasikan bahwa para pegawai dan komunitas yang telah memberikan sumbangan
penting selama pengoperasian pabrik harus memperoleh jaminan dari perusahaan bahwa
mereka tidak akan kehilangan hak pensiun, tunjangan kesehatan, dan ketergantungan
komunitas pada hasil pajak.

Pertimbangan-pertimbangan etis tersebut dimasukkan dalam usulan-usulan yang dengan


baik disampaikan oleh William Diehl, mantan wakil direktur salah satu industri baja, tentang
delapan langkah yang dapat dilakukan perusahaan untuk menekan pengaruh-pengaruh
merugikan dari penutupan pabrik :
1. Pemberitahuan sebelumnya. Jika perusahaan bisa menyampaikan pemberitahuan
tanggal penutupan 12 sampai 8 bulan sebelumnya, maka mereka akan memiliki waktu
untuk mempersiapkan diri. Pemberitahuan yang diberikan satu hari sebelum
pelaksanaan dianggap tidak adil dan tidak dapat diterima.

2. Pesangon. Rumus yang banyak diusulkan untuk pesangon bagi masing-masing


pegawai adalah sama dengan satu minggu gaji untuk setiap tahun kerja.
3. Jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan bagi pegawai haruslah ditanggung perusahaan
selama setidaknya satu tahun setelah pemutusan hubungan kerja.

4. Pensiun awal. Para pegawai yang akan pensiun dalam waktu 3 tahun berhak
memperoleh tunjangan pensiun penuh, dengan kerja dihitung sampai mereka berusia
65 tahun.

5. Transfer. Dalam kasus perusahaan dengan banyak pabrik, semua pegawai di pabrik
yang ditutup wajib memperoleh kesempatan untuk ditransfer ke pekerjaan lain dengan
gaji yang sama di pabrik lain, dengan biaya pindah yang sepenuhnya ditanggung
perusahaan.

6. Pelatihan kembali. Program-program pelatihan yang disponsori perusahaan perlu


dilaksanakan untuk melatih dan menempatkan pegawai pada pekerjaan lain dalam
komunitas lokal. Program-program ini haruslah mencakup konseling keluarga bagi
semua pegawai.

7. Pembelian oleh pegawai. Para pegawai dan komunitas lokal wajib memberi
kesempatan untuk membeli pabrik dan mengoperasikannya dibawah Employee Stock
Ownership Plan (ESOP), jika memungkinkan.

8. Pembayaran pajak lokal. Perusahaan wajib membayar pajak lokal selama periode 5
tahun. Pajak ini bisa mencakup sumbangan sukarela pada pemerintah lokal jika pabrik
dan peralatannya disingkirkan dalam suatu cara yang sangat mengurangi pajak
kepemilikan.

Serikat Pekerja dan Hak Untuk Berorganisasi

25
Seperti halnya pemilik perusahaan yang berhak dengan bebas menjalin hubungan untuk
mendirikan dan menjalankan bisnis untuk mencapai tujuan-tujuan yang secara moral sah,
demikian juga pegawai berhak dengan bebas menjalin hubungan satu sama lain dan
membentuk serta menjalankan serikat pekerja untuk mencapai tujuan-tujuan yang secara moral
sah. Hak yang sama untuk menjalin hubungan secara bebas yang membenarkan pembentukan
dan keberadaan perusahaan juga mendasari organisasi pekerja yang kita sebut serikat pekerja.

Hak pekerja untuk berorganisasi dalam serikat pekerja berasal dari hak untuk
diperlakukan sebagai manusia yang bebas dan sederajat. Pejabat perusahaan, khususnya selama
periode-periode dengan angka pengangguran yang tinggi atau di wilayah dimana hanya ada
satu atau beberapa perusahaan yang beroperasi, dapat memberikan tekanan yang tidak
seimbang pada seorang pegawai dengan memaksa pegawai tersebut memilih menerima syarat-
syarat yang mereka ajukan atau tidak bekerja.

Pekerja tidak hanya berhak untuk membentuk serikat pekerja, namun serikat pekerja
juga berhak melakukan pemogokan. Hak serikat pekerja untuk melakukan pemogokan berasal
dari hak pekerja untuk berhenti melakukan pekerjaan sejauh pelaksanaan pekerjaan tersebut
melanggar perjanjian atau hak orang lain. Jadi, pemogokan serikat pekerja secara moral
dibenarikan sejauh jal itu tidak melanggar ketentuan perjanjian untuk tidak mogok (yang
mungkin saja dinegosiasikan oleh perusahaan) dan sejauh pemogokan tersebut tidak melanggar
hak-hak moral pihak lain.

Ada banyak faktor yang berkaitan dengan penurunan keanggotaan serikat pekerja,
termasuk kenaikan jumlah pekerja kerah putih dan pekerja perempuan, perubahan dari industry
manufaktur menuju industry jasa, dan turunnya kepercayaan public terhadap serikat pekerja.
Salah satu penyebabnya utamanya adalah meningkatnya penolakan terhadap serikat pekerja
oleh para manajer dan bertambahnya penggunaan taktik-taktik illegal untuk mengalahkan
usaha-usaha serikat pekerja. Ini patut disayangkan karena penurunan efektivitas serikat pekerja
disertai dengan kenaikan jumlah tuntutan pengadilan untuk menetapkan perlindungan terhadap
pelanggaran-pelanggaran yang sebelumnya dilindungi oleh serikat pekerja. Saat efektivitas hak
pekerja untuk membentuk seikat pekerja dan melakukan pemogokan terus menyusut, kita bisa
mengandalkan pada pengembangan hukum untuk menjamin hak-hak yang tidak lagi dapat
diperoleh para pekerja di dalam organisasi.

Politik Organisasional

Hubungan kekuasaan formal dalam organisasi, masalah-masalah etis yang muncul dari
kekuasaan yang diberikan oleh struktur formal organisasi pada manajer terhadap para
bawahannya. Hubungan kekuasaan ini nyata dan jelas semuanya dituangkan dalam “bagan
organisasional” perusahaan, disebutkan dalam kontrak kerja dan deskripsi pekerjaan yang
menetapkan kewajiban pekerja terhadap perusahaan, diakui oleh hukum, digunakan oleh para
atasan dan sebagian besar diterima sebagai sesuatu yang sah oleh para bawahan.

26
Hambatan etis atas penggunaan kekuasaan formal ini sebagian besar didasarkan pada
perspektif moral. Hak atas privasi, proses yang layak, kebebasan suara hati dan persetujuan
semuanya dapat diformalisasikan dalam organisasi (dengan merumuskan dan menerapkan
peraturan, undang-undang dan prosedur) seperti halnya hubungan kekuasaan yang juga
diformalisasikan.

Taktik Politik dalam Organisasi


Politik organisasional adalah proses dimana individu atau kelompok menggunakan
taktik-taktik kekuasaan yang dibentuk secara non formal untuk mencapai tujuannya sendiri.
Taktik ini dinamakan taktik politik.

Ada dua faktor yang cenderung menekan konflik-konflik yaitu (a) karier individu sering
bergantung pada “kesehatan” organisasi, dan (b) hubungan yang berlangsung lama dengan
organisasi cenderung menciptakan ikatan loyalitas pada organisasi. Jadi apa yang mungkin
dilihat oleh sesorang sebagai konflik antara tujuan suatu kelompok tertentu dengan kepentingan
organisasi mungkin sebenarnya adalah konflik antara keyakinan orang tersebut dengan
keyakinan kelompok sehubungan dengan apa yang dimaksud dengan “kepentingan”
organisasi. Kelompok tersebut mungkin meyakini bahwa X adalah kepentingan utama
organisasi dan juga kepentingan kelompok mereka, sementara orang tersebut mungkin
meyakini bahwa Y, yang berkonflik dengan X, adalah kepentingan utama organisasi.

Karena politik organisasional bertujuan untuk mencapai kepentingan individu atau


kelompok (misalnya memperoleh promosi, kenaikan gaji atau anggaran, status, atau bahkan
kekuasaan yang lebih besar) dengan menggunakan kekuasaan-kekuasaan nonformal atas
individu atau kelompok lain, maka individu-individu politik cenderung menutupi maksud dan
metode mereka.

Taktik politik mungkin mengandung unsur penipuan atau manipulasi. Hal ini terlihat
jelas kita melihat contoh-contoh lain dari taktik politik organisasional. Berikut taktik-taktik
yang dilaporkan dalam sebuah penelitian :

- Menyalahkan atau menyerang pihak lain.


Meminimalkan keterkaitan seseorang dengan rencana atau usaha yang gagal dan
menyalahkan pesaing atas kegagalan tersebut atau “mencemarkan dan mengatakan
bahwa pekerjaan mereka tidak penting, timing-nya salah, egois atau hanya kebetulan
belaka”
- Mengendalikan informasi
Menahan informasi yang sangat penting bagi tujuan seseorang atau merusak informasi
tersebut “untuk menciptakan kesam selektif, tidak langsung” dengan tujuan agar
terlihat rasional atau logis dan untuk menyamarkan hal-hal penting yang merugikan
orang lain.
- Mengembangkan dukungan bagi gagasan seseorang
Meminta orang lain untuk memahami dan mendukung gagasannya sebelum pertemuan
dilaksanakan.

27
- Membangun image
Menciptakan penampilan yang bijaksana, jujur, peka, mendukung aktivitas-aktivitas
penting, disukai banyak orang, dan percaya diri.
- Menjalin hubungan dengan pihak yang berpengaruh
Berusaha agar atasan atau pihak-pihak yang berkuasa merasa bahwa dia adalah teman.
- Membentuk koalisi kekuasaan dan mengembangkan aliansi yang kuat
Membentuk atau bergabung dengan kelompok-kelompok yang telah ada dan yang
mampu membantu dirinya untuk mencapai tujuan.
- Menciptakan kewajiban
Membuat orang lain merasa terikat padanya dengan memberikan pelayanan atau
dukungan pada mereka.

Sejumlah peneliti menyatakan bahwa sumber dasar kekuasaan adalah pembentukan


ketergantungan: A memperoleh kekuasaan atas B dengan cara membuat agar B bergantung
pada A atas sesuatu. Sebagian penulis mengidentifikasi dua kategori taktik politik berikut
sebagai taktik utama untuk menciptakan ketergantungan semacam itu.

Menguasai sumber daya langka yang dibutuhkan orang lain. Mengendalikan pegawai,
bangunan, akses ke orang-orang yang berpengaruh, peralatan, dan informasi yang bermanfaat.

Membentuk hubungan yang menguntungkan. Membuat orang lain merasa terikat dengannya,
membuat mereka beranggapan bahwa dia adalah teman, membangun reputasi sebagai seorang
ahli, dan mendorong orang lain untuk meyakini bahwa dia memiliki kekuasaan dan bahwa
mereka bergantung pada kekuasaan tersebut.

Etika Taktik Politik


Jelasnya, perilaku politik dalam suatu organisasi dapat dengan mudah menjadi kejam: taktik
politik bisa digunakan untuk mencapai kepentingan pribadi dengan mengorbankan
kepentingan organisasi dan kelompok, bisa menjadi tindakan manipulasi dan penipuan, serta
sangat merugikan pihak-pihak yang hanya sedikit atau tidak memiliki kekuasaan dan keahlian
politik. Namun demikian, taktik politik juga dapat digunakan untuk tujuan-tujuan organisasi
dan sosial, kadang diperlukan untuk melindungi yang lemah, dan kadang merupakan satu-
satunya pertahanan yang dimiliki untuk menghadapi taktik pihak lain. Dilema bagi individu
dalam suatu organisasi adalah mengetahui batas-batas yang memisahkan taktik politik yang
sah dan perlu dilakukan dengan taktik yang tidak etis.

Sangat sedikit penulis yang memelajari masalah dilema. Hal ini patut disayangkan
karena meskipun hanya sedikit organisasi yang sepenuhnya diliputi dengan perilaku politik,
namun yang pasti tidak ada organisasi yang terbebas darinya. Kita semua adalah binatang-
binatang politik, sekalipun usaha politik kita sebagian besar terbatas hanya di kantor. Disini
kita hanya akan menganalisis berbagai masalah etis kompleks yang muncul dan manuver
politik yang terjadi dalam organisasi. Masalah-masalah tersebut dapat diselidiki dengan
menjawab empat pertanyaan yang bisa memfokuskan perhatian kita pada karakteristik-
28
karakteristik yang secara moral relevan dengan penggunaan taktik politik: (a) pertanyaan dari
prinsip utilitarian: Apakah tujuan yang ingin dicapai seseorang dengan menggunakan taktik
politik secara sosial menguntungkan atau merugikan?; (b) pertanyaan dari prinsip hak: Apakah
taktik politik digunakan sebagai cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan memperlakukan
orang dalam cara yang konsisten dengan hak-haka moral mereka?; (c) pertanyaan dari prinsip
keadilan: Apakah taktik politik mengarah kepada distribusi keuntungan dan beban yang wajar?;
dan (d) pertanyaan dari prinsip perhatian: Apa pengaruh taktik politik terhadap hubungan-
hubungan yang ada di dalam organisasi?

Utilitas tujuan. Prinsip utilitarian mewajibkan manajer menetapkan tujuan-tujuan yang


menghasilkan keuntungan sosial terbesar dengan kerugian sosial paling kecil. Jika kita
mengasumsikan bahwa organisasi bisnis melaksanakan fungsi yang secara sosial
menguntungkan dan bahwa aktivitas-aktivitas yang merugikan dari organisasi tersebut
kemungkinan akan meniadakan keuntungan sosial, maka utilitarianisme mengimplikasikan
bahwa masing-masing manajer perlu menghindari tindakan yang merugikan organisasi dan
berusaha memastikan bahwa organisasi mampu, seefisien mungkin, melaksanakan fungsi
sosialnya yang menguntungkan. Contohnya, fungsi dasar sebagian besar usaha bisnis adalah
untuk menghasilkan barang dan jasa bagi konsumen. Sejauh suatu organisasi bisnis
melaksanakan fungsi tersebut dalam cara yang secara sosial menguntungkan, maka pegawai
perlu menghindari tindakan yang merugikan organisasi dan berusaha memastikan bahwa
organisasi melaksanakan fungsi produktifnya dengan tingkat pemborosan minimal.

Ada dua jenis taktik politik yang secara langsung bertentangan dengan norma tersebut
dan otomatis juga dinilai tidak etis: taktik politik yang melibatkan usaha mencari tujuan-tujuan
pribadi dengan mengorbankan tujuan-tujuan produktif organisasi, dan taktik politik yang
melibatkan inefisiensi dan pemborosan. Misalkan saja kepala bagian litbang suatu perusahaan
diam-diam menahan informasi penting agar tidak diketahui unit penelitian lain dalam
perusahaan dengan tujuan agar unitnya terlihat lebih baik dibandingkan unit lain. Akibatnya,
ambisi kariernya meningkat dan unitnya memperoleh alokasi anggaran yang lebih besar di
tahun berikutnya. Taktik tidak menahan informasi untuk memperoleh keuntungan dari yang
lain secara moral. Taktik tersebut jelas tidak konsisten dengan usaha perusahaan untuk
melaksanakan fungsi produktifnya.

Tentu saja, bisnis tidak selalu memiliki tujuan yang secara sosial menguntungkan dan
tidak merugikan. Polusi, kelangkaan barang, penetapan harga, dan pembuatan produk-produk
yang berbahaya adalah sebagian tujuan organisasional yang dikecam utilitarianisme. Apabila
suatu usaha bisnis memiliki tujuan-tujuan seperti diatas, maka pegawai memiliki kewajiban
untuk tidak bekerja sama (kecuali jika dia diancam sedemikian rupa sehingga dia terpaksa
tunduk). Prinsip utilitarian mengimplikasikan bahwa secara sukarela berusaha mencapai tujuan
yang secara sosial merugikan atau sukarela bekerja sama dalam usaha tersebut adalah tindakan
immoral, apa pun jenis taktik politik yang digunakannya.

Namun sayangnya, tujuan-tujuan organisasional tidak selalu jelas karena mungkin tidak
ada konsensus atas apa yang menjadi tujuan organisasi yang sesungguhnya. Hal ini terjadi,
misalnya, bila suatu perusahaan tengah melakukan perubahan manajemen atau perubahan
dalam organisasi, dan sejumlah prediksi muncul tentang apa yang akan menjadi tujuan

29
organisasi. Apabila tujuan-tujuan organisasi ditentukan dalam cara yang seperti itu, maka
berbagai koalisi dan individu yang ada dalam organisasi biasanya akan berusaha menggunakan
takti politik untuk menekankan tujuan-tujuan mereka, baik melalui penggunaan kekuasaan
secara unilateral (misalnya manajeman baru mungkin berusaha menyingkirkan para staf lama
dan menggantikannya dengan anggota mereka sendiri) atau melalui kompromi politik
(misalnya manajemen baru mungkin berusaha membujuk para staf lama untuk menerima
tujuan-tujuan baru). Dalam situasi semacam itu, individu tidak punya pilihan selain
mempelajari tujuan-tujuan yang diusulkan oleh berbagai koalisi dan berusaha menentukan
tujuan mana yang dalam jangka panjang paling menguntungkan secara sosial. Meskipun
penggunaan taktik politik untuk menetapkan tujuan-tujuan yang tidak sah adalah tidak etis,
namun taktik politik juga bisa digunakan untuk menetapkan tujuan-tujuan yang secara moral
sah dengan syarat taktik tersebut memenuhi dua kriteria berikut ini:

Konsistensi tindakan politik dengan hak moral. Sejumlah taktik politik terlihat jelas
merupakan bentuk penipuan, misalnya saat seseorang berusaha menciptakan kesan bahwa dia
memiliki suatu keahlian khusus, padahal sebenarnya tidak. Taktik lain adalah taktik
manipulatif. Contohnya, pura-pura mencintai seseorang dengan tujuan untuk memperoleh
dukungan dari orang tersebut. Penipuan dan manipulasi merupakan usaha untuk mengelabui
seseorang agar melakukan (atau memercayai) sesuatu yang tidak akan dilakukan (atau
dipercayainya) jika dia mengetahui apa yang sedang terjadi.

Taktik politik semacam ini tidak etis dalam artian bahwa taktik itu tidak menghargai
hak orang lain, hak untuk diperlakukan bukan hanya sebagai sarana, namun juga sebagai
tujuan: atau dengan kata lain, taktik tersebut tidak menghargai hak orang lain untuk
diperlakukan sejauh yang telah disetujuinya. Pelanggaran moral seperti ini ditunjukkan dalam
taktik-taktik politik yang memanfaatkan ketergantungan dan kerentanan emosional kita, yang
keduanya merupakan cara paling murah dan paling dapat diandalkan guna memperoleh
kekuatan atas diri kita.

Sebagai contoh, seorang administrator ahli dengan mudah bisa berpura-pura


menunjukkan rasa persahabatan dan perhatian, dan membuat orang lain melihatnya dengan
penuh rasa kasihan, kesetiaan, berhutang budi, percaya, bahagia, dan seterusnya. Dia
selanjutnya bisa mengeksploitasi perasaan-perasaan tersebut untuk meminta mereka
melakukan sesuatu yang dalam situasi biasa mereka tidak akan bersedia melakukannya, apalagi
jika mereka tahu bahwa mereka ditipu ataupun mengetahui motif-motif tersembunyi di balik
tindakannya. Seorang administrator yang cerdik juga bisa belajar memperoleh keuntungan dari
kelemahan orang lain, misalnya kesombongan orang lain, kemurahan hati, tanggung jawab,
mudah disanjung, mudah ditipu, naif, atau karakteristik-karakteristik lain yang dengan mudah
menempatkan seseorang dalam belas kasihan orang lain. Dengan secara diam-diam mengambil
keuntungan dari kelemahan tersebut, manajer dapat memanfaatkan para pegawainya untuk
mencapai tujuan-tujuannya, meskipun mereka tidak akan bersedia melakukannya jika mereka
tahu maksud tersembunyi dibalik tindakannya.

Jika anggota-anggota suatu organisasi mengetahui bahwa taktik-taktik politik tertentu


biasa digunakan, dan jika mereka bebas memilih untuk tetap bekerja, dan menjadi ahli
menggunakan dan mempertahankan diri untuk menghadapi taktik-taktik semacam itu, maka

30
kita bisa mengasumsikan bahwa mereka secara tidak langsung menyetujui penggunaan taktik-
taktik tersebut. Mereka dengan sukarela setuju ikut dalam permainan organisani, jika bisa
dikatakan demikian, dimana semua orang tahu bahwa memperalat orang lain dan melakukan
manuver-manuver untuk memperoleh keuntungan semuanya merupakan bagian dari
permainan. Menghadapi orang-orang seperti itu tidak melanggar hak mereka karena mereka
telah secara sukarela dan sadar setuju memilih cara mereka diperlakukan.

Namun demikian, penggunaan taktik politik yang memiliki unsur penipuan dan
manipulasi jelas tidak etis jika: digunakan terhadap orang-orang yang (a) tidak tahu atau tidak
memperkirakan bahwa mereka diperalat, (b) tidak bebas meninggalkan organisasi, atau (c)
tidak mampu mempertahankan diri dalam menghadapi taktik semacam itu. Penggunaan taktik
tersebut, dalam kasus-kasus diatas, merupakan pelanggaran moral terhadap individu yang
bersangkutan, khususnya jika penggunaannya merugikan orang tersebut dengan
memperalatnya untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan-
kepentingannya.

Kewajaran konsekuensi. Taktik politik bisa menciptakan ketidakadilan dengan


merusak perlakuan yang diisyaratkan keadilan. Seseorang yang mengendalikan anggaran atau
sistem informasi suatu organisasi, misalnya, mungkin secara diam-diam mengubah sistem
tersebut dengan menunjukkan sikap pilih kasih pada orang-orang atau kelompok yang
mendukung kariernya. Taktik politik seperti itu jelas melanggar prinsip dasar keadilan
distributif yang dibahas sebelumnya: individu-individu yang dalam semua aspek yang relevan
sangat mirip satu sama lain harus diperlakukan dengan cara yang sama, dan individu yang
berbeda dalam aspek-aspek tersebut haruslah diperlakukan secara berbeda sesuai dengan
perbedaan mereka.
Taktik politik juga menciptakan ketidakadilan di antara para pegawai yang kurang atau
tidak memiliki keahlian politik sama sekali. Orang-orang semacam ini sangat mudah
dipengaruhi untuk menerima bagian keuntungan yang lebih kecil dari kemampuan atau
kebutuhan mereka dibandingkan dengan yang lain. Jadi, keuntungan tidak lagi didistribusikan
pada mereka berdasarkan karakteristik-karakteristik yang relevan: mereka telah diperlakukan
secara tidak adil.

Taktik politik tidak hanya bisa membuat orang lain lebih baik atau lebih buruk
dibandingkan dengan yang layak mereka terima, namun politik juga dapat digunakan untuk
memperoleh keuntungan bagi diri sendiri. Seorang teknisi yang bersaing dengan teknisi lain
untuk memperoleh kenaikan pangkat menjadi kepala bagian, misalnya, mungkin berusaha
memuji atau memanfaatkan atasannya sambil mendiskreditkan saingannya. Akibatnya, dia
mungkin memperoleh promosi, meskipun teknisi yang lain lebih berkualifikasi. Penggunaan
taktik politik seperti itu untuk memperoleh keuntungan berdasarkan karakteristik-karakteristik
yang tidak relevan juga termasuk tidak adil.

Pengaruh pada perhatian. Sebagai tambahan pada ketidakadilan yang disebutkan


diatas, prevalensi taktik politik dalam suatu organisasi dapat mengakibatkan pengaruh jangka
panjang yang merugikan kualitas hubungan pribadi yang terdapat dalamnya. Beberapa peneliti
menemukan bahwa penggunaan kekuasaan dalam organisasi cenderung menekan perlakuan

31
terhadap individu-individu yang lemah. David Kipnis, misalnya, menemukan bahwa individu
yang memiliki kekuasaan semakin terdorong untuk (a) lebih berusaha mempengaruhi perilaku
dari pihak-pihak yang lebih lemah, (b) merendahkan kinerja dari pihak-pihak yang lebih lemah,
(c) mengaitkan tujuan dari usaha pihak-pihak yang lebih lemah dengan kekuasaan yang mereka
miliki, bukan dengan motivasi mereka untuk melakukan pekerjaan dengan baik, (d) melihat
pihak yang lebih lemah sebagai objek manipulasi, dan (e) lebih berusaha mempertahankan
jarak psikologis dengan pihak yang lebih lemah. Kekuasaan, pendek kata, memang buruk.

Chris Argyris dan yang lain menyatakan bahwa pihak-pihak yang dikuasai oleh yang
kuat “cenderung merasakan frustasi, konflik, dan merasa gagal”; bahwa mereka “meyesuaikan
diri” dengan cara keluar dari organisasi, berusaha menaiki tangga organisasi, bersikap agresif,
suka melamun, menarik diri, atau cuma apatis; dan bahwa organisasi mereka semakin diwarnai
dengan persaingan dan permusuhan. Jadi, dalam upaya memutuskan apakah perlu
menggunakan taktik politik atau tidak, kita perlu mempertimbangkan secara serius
konsekuensi-konsekuensi jangka panjang dari penggunaan taktik tersebut terhadap diri sendiri
dan pada hubungan kita dengan orang lain dalam organisasi.

2.3 Organisasi yang Penuh Perhatian


Sejauh ini kita melihat organisasi memiliki dua aspek. Pertama, kita melihat organisasi
sebagai kumpulan hierarkis sejumlah individu yang saling berhubungan satu sama lain dan
juga berhubungan dengan organisasi melalui perjanjian kontraktual. Pegawai menyetujui
kontrak untuk melaksanakan apa yang tertuang dalam “deskripsi pekerjaan” dan sebagai
imbalannya, dia memperoleh gaji yang dibayarkan oleh perusahaan seperti yang telah
ditetapkan. Pegawai memperoleh perintah dari sejumlah manajer yang berada dalam hierarki
otoritas, di mana bagian puncak terdiri dari CEO dan staf manajemen tertinggi, sementara di
bagian paling bawah terdiri dari para pekerja kasar yang melaksanakan tugas-tugas aktual
organisasi. Seluruh elemen organisasi bekerja untuk mencapai tujuan keuntungan. Kita
menamakan aspek tersebut organisasi rasional. Jalur otoritas formal organisasi rasional yang
saling silang merupakan sistem kekuasaan kedua, yang kita sebut organisasi politik. Eleme-
elemen politik organisasi terdiri dari jaringan hubungan kekuasaan, koalisi, dan jalur-jalur
komunikasi informal di mana individu berusaha mencapai tujuan pribadi dan berusaha agar
orang lain membantunya untuk mencapai tujuan tersebut melalui penggunaan kekuasaan.

Kita masih bisa memahami organisasi sebagai sesuatu yang memiliki rangkaian
hubungan lain yang berbeda. Sejumlah pemikir menyatakan bahwa organisasi dapat dan
haruslah dilihat sebagai jaringan hubungan di mana “individu-individu yang terkait”
membentuk jarring-jaring hubungan pribadi dengan “individu-individu terkait” lainnya. Dalam
aspek organisasi tersebut, fokus pada individu-individu yang merupakan bagian organisasi dan
berinteraksi dengan organisaasi. Kita mengalami aspek ini saat kita menjalin persahabatan
dengan orang-orang yang bekerja bersama kita, yang kita perhatikan, yang kita jaga
kesejahteraannya, dan juga orang-orang di mana kita ingin menjalin hubungan perhatian yang
lebih erat. Para pengusaha juga berkesempatan mempererat hubungan dengan pegawai dan
berusaha mencari cara-cara untuk memerhatikan kebutuhan-kebutuhan mereka dan

32
mengembangkan potensi mereka. Saat kebakaran menghancurkan pabrik utama Malden Mills,
misalnya, CEO Aaron Feuershein menolak memberhentikan pegawai yang menganggur,
namun terus membayar mereka dengan uangnya sendiri meskipun mereka tidak bekerja, sambil
mengatakan bahwa mereka adalah “bagian dari perusahaan, bukan anggaran yang harus
dipotong. Mereka telah lama bersama saya. Kami saling berhubungan baik, dan kami semua
menyadari hal itu”. Para anggota suatu organisasi bahkan bisa menjalin persahabatan dengan
klien atau konsumen mereka, memerhatikan mereka dan berusaha mengembangkan dan
meningkatkan kesejahteraan mereka. Perhatian terhadap kesejahteraan konsumen mungkin
terlihat paling jelas daam organisasi-organisasi profesional yang memberikan pelayanan jasa
pada klien, seperti rumah sakit, firma hukum, dan jasa konsultasi dan juga perusahaan-
perusahaan farmasi yang memproduksi obat-obatan bagi masyarakat. Merck, Inc.. sebuah
perusahaan farmasi yang cukup sukses, misalnya, membuat obat gratis untuk menyembuhkan
penyakit kulit yang bisa menyebabkan kebutaan saat melihat sekelompok konsumen sangat
memerlukan obat tersebut, namun tidak mampu membelinya

Aspek kehidupan organisasional tidak cukup baik digambarkan dalam model kontraktual
yang merupakan dasar dari organisasi “rasional”, ataupun dengan model kekuasaan yang
mendasari organisasi “politik”. Mungkin aspek tersebut paling tepat digambarkan sebagai
organisasi penuh perhatian (caring), di mana konsep-konsep moral utamanya sama dengan
konsep yang mendasari etika memberi perhatian. Jeanne M. Liedtka menggambarkan
organisasi semacam itu sebagai organisasi, atau bagian organisasi, di mana tindakan memberi
perhatian merupakan:

a. Difokuskan sepenuhnya pada individu (pribadi), bukan “kualitas”, “keuntungan”, atau


gagasan-gagasan lain yang saat ini banyak dibicarakan;
b. Dilihat sebagai tujuan dalam dan dari dirinya sendiri, serta bukan hanya sarana untuk
mencapai kualitas, keuntungan, dan sebagainya;
c. Bersifat pribadi, dalam artian bahwa hal tersebut melibatkan individu-individu tertentu
yang memberikan perhatian, pada tingkat subjektif, pada individu tertentu lainnya;
d. Pendorong pertumbuhan bagi yang diberi perhatian, dalam artian bahwa tindakan ini
menggerakkan mereka menuju pemanfaatan dan pengembangan kemampuan
seutuhnya, dalam konteks kebutuhan dan aspirasi mereka sendiri.

Sebelumnya dinyatakan bahwa organisasi bisnis yang mendukung hubungan perhatian


semacam ini akan menunjukkan kinerja ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan
organisasi yang membatasi diri hanya pada hubungan kekuasaan dan kontraktual seperti dalam
organisasi rasional dan politik. Dalam organisasi caring, kepercayaan tumbuh subur karena
“orang merasa wajib saling memercayai jika mereka melihat diri mereka sebagai pihak-pihak
yang saling membutuhkan dan saling terkait”. Karena kepercayaan tumbuh subur dalam
organisasi semacan itu, maka organisasi tidak perlu melakukan banyak investasi untuk
mengawasi para pegawainya dan memastikan bahwa mereka tidak melanggar perjanjian
kontraktual. Jadi, perhatian yang diberikan mampu mengurangi biaya organisasi dan menekan
“biaya tindakan disipliner, pencurian, absensi, moral, dan motivasi yang rendak”. (Dalam
organisasi yang benar-benar menekankan aspek perhatian, tentu saja tindakan memberi
perhatian tidak didasarkan pada motivasi untuk menekan biaya, namun hanya untuk

33
memberikan perhatian saja.) Juga dikatakan bahwa organisasi bisnis yang menekankan pada
aspek perhatian, mengembangkan suatu cara untuk melayani konsumen dan menciptakan nilai
konsumen yang selanjutnya memungkinkan organisasi memperoleh keuntungan kompelitif
dibandingkan organisasi lainnnya. Dalam organisasi bisnis seperti itu, fokusnya bukan pada
memproduksi barang-barang yang beragam dan murah untuk memperoleh pasar, namun
menciptakan nilai bagi-konsumen dan selalu memerhatikan kebutuhan mereka. Fokus pada
usaha untuk mengetahui dan melayani konsumen dinilai memungkinkan perusahaan untuk
beradaptasi dengan perubahan pasar yang menjadi karakteristik sebagian besar pasar saat ini.
Lebih jauh lagi, memberi perhatian yang difokuskan pada konsumen juga mampu memberi
inspirasi dan motivasi pada pegawai untuk menjadi lebih baik, yang tidak dapat diperoleh
melalui hubungan kontraktual ataupun hubungan kekuasaan. Bartlett dan Ghoshal, misalnya
menyatakan:

Hubungan kontraktual tidak memberikan inspirasi untuk melakukan usaha-usaha luar


biasa dan komitmen untuk memperoleh kinerja yang secara konsisten lebih unggul. Untuk itu,
perusahaan membutuhkan pegawai yang penuh perhatian, yang memiliki hubungan emosional
yang kuat dengan organisasi.

Hanya ada sedikit, bahkan mungkin tidak ada organisasi yang sepenuhnya bisa dikatakan
sebagai organisasi yang penuh perhatian, namun ada beberapa perusahaan yang cukup
mendekati gambaran tersebut. W.L. Gore & Associates, Inc, misalnya perusahaan yang sangat
berhasil dan yang menciptakan serta saat ini memproduksi “GORE-TEX”, merupakan suatu
organisasi tanpa manajer, tanpa jabatan, dan tanpa hierarki. Sebaliknya, semua pegawai diberi
kebebasan untuk memilih secara bebas dan sukarela pekerjaan apa yang mereka rasa paling
cocok dan paling mampu mereka laksanakan. Pemimpin muncul saat pegawai bersedia
mengikutinya karena mereka yakin pemimpin tersebut memiliki gagasan atau proyek yang
bermanfaat. Setiap pegawai memiliki satu “sponsor” atau lebih, yang bertugas sebagai pelatih
untuk membantunya mengembangkan potensi yang dimilikinya, dan juga berperan sebagai
“penasihat” saat “tim kompensasi” (yang juga terdiri dari para pegawai lain) memeriksa
kontribusi yang diberikan pegawai yang bersangkutan dan memutuskan kompensasi apa yang
layak diperolehnya di tahun berikut. Unit-unit perusahaan diusahakan tetap kecil (kurang dari
200 orang) sehingga semua orang bisa saling mengenal dan agar semua proses komunikasi
berjalan secara terbuka dan langsung. Dalam organisasi yang tanpa struktur dan tanpa manajer
seperti itu, semua pekerjaan yang dilaksanakan dalam organisasi pada akhirnya bergantung
pada hubungan yang dibentuk antara para pegawai. Sepanjang waktu, pegawai saling memberi
perhatian satu sama lain dan juga pada konsumen untuk menciptakan nilai.

Meskipun organisasi-organisasi seperti W. L. Gore saat ini masih langka, namun


sebagian besar organisasi, dalam tingkatan tertentu, memiliki aspek-aspek organisasi caring.
Dalam sejumlah organisasi, seperti W. L. Gore, usaha memberikan perhatian mendominasi
aspek-aspek rasional dan politik. Namun demikian, di sebagian besar organisasi lainnya, aspek-
aspek kontraktual dan politis lebih berperan. Namun dalam beberapa organisasi, setidaknya
ada beberapa pegawai dan manajer yang menanggapi kebutuhan akan hubungan yang baik satu
sama lain dan juga usaha untuk memahami kebutuhan-kebutuhan konkret dan khusus para
pegawai lain dan juga konsumen mereka.

34
Dalam model kontraktual, masalah etis penting muncul dari kemungkinan terjadinya
pelanggaran terhadap hubungan kontraktual. Dalam model politik, masalah etis penting
muncul dari kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan. Lalu apa masalah etis penting dari
perspektif organisasi caring? Jawabannya adalah memberikan perhatian terlalu banyak atau
kurang banyak.

Masalah moral dari memberikan perhatian terlalu besar. Kebutuhan orang-orang


yang menjadi perhatian kita perlu kita tanggapi, namun hal ini bisa membuat kita kewalahan
dan akhirnya membuat kita “kelelahan”. Di sini, konfliknya adalah antara kebutuhan orang lain
dengan kebutuhan diri kita sendiri. Sejumlah penulis menyatakan bahwa etika memberi
perhatian mensyaratkan keseimbangan yang matang antara memberi perhatian pada kebutuhan
orang lain dan kebutuhan diri kit sendiri. Yang lain menyatakan bahwa “kelelahan” terjadi
bukan karena seseorang kewalahan oleh kebutuhan orang lain, namun karena organisasi
menempatkan beban birokratis pada pihak yang memberikan perhatian dan membatasi otonomi
dan pengaruh mereka dalam proses pengambilan keputusan. Sebagai tambahan terhadap
konflik antara kebutuhan diri sendiri dengan kebutuhan orang lain, usaha memberikan
perhatian bisa mengarah kepada berbagai macam konflik: kebutuhan orang-orang yang kita
perhatikan memerlukan tanggapan yang berkonflik dengan apa yang mungkin kita rasakan
menjadi hutang kita. Ini adalah masalah menyeimbangkan parsialitas terhadap orang-orang
yang kita perhatikan, dengan permintaan imparsial dari pertimbangan-pertimbangan moral
lain, seperti masalah keadilan atau hak moral. Contohnya, seseorang mungkin merasa bingung
saat memilih harus membantu temannya yang melanggar kebijakan perusahaan dan perasaan
keadilan terhadap perusahaan yang mewajibkan bahwa pelanggaran seperti itu harus
dilaporkan. Mana yang perlu dipenuhi: memberikan perhatian parsialitas atau moralitas
imparsial?

Masalah moral dari kurang memberikan perhatian. Masalah yang lebih berat adalah
kegagalan memberikan perhatian yang memadai. Hal ini bisa saja terjadi dalam tingkat
individual ataupun organisasional. Kita mungkin melihat seorang pegawai atau konsumen yang
membutuhkan, namun kelelahan, egois, atau perasaan tidak tertarik bisa mendorong kita
mengabaikan kebutuhan tersebut. Dalam tingkat organisasional, seluruh organisasi mungkin
secara sistematis mengabaikan usaha memberi perhatian, misalnya melakukan PHK besar-
besaran, pembentukan birokrasi yang rumit, penggunaan gaya manajerial yang hanya melihat
pegawai sebagai biaya yang harus ditanggung, atau penggunaan sistem penghargaan yang tidak
mendukung usaha memberi perhatian dan menghargai persaingan.

Bagaimana masalah-masalah moral semacam itu bisa dipecahkan? Sayangnya, sampai


sekarang jawabannya belum jelas. Penelitian dan pemikiran tentang usaha memberi perhatian
dalam organisasi masih relative baru sehingga belum ada konsensus yang jalan tentang
bagaimana masalah seperti itu bisa dipecahkan.

35
DAFTAR PUSTAKA

Sutrisna Dewi. 2010. Etika Bisnis Konsep Dasar Implementasi & Kasus. Denpasar: Udayana
University Press.
Velasquez, Manuel G. 2005. Etika Bisnis: Konsep dan Kasus, Edisi 5. Yogyakarta: Penerbit
Andi.

36

Anda mungkin juga menyukai