BAB II Tinjauan Pustaka
BAB II Tinjauan Pustaka
TINJAUAN PUSTAKA
35–40 benih per kerucut dengan jumlah benih 50.000–60.000 benih per kg
(Hidayat dan Hansen 2001).
Kayu pinus memiliki berat jenis rata-rata 0,55 dan termasuk kelas kuat III
serta kelas awet IV (Siregar 2005). Kayu pinus memiliki ciri warna teras yang
sukar dibedakan dengan gubalnya, kecuali pada pohon berumur tua, terasnya
berwarna kuning kemerahan, sedangkan gubalnya berwarna putih krem. Pinus
merupakan pohon yang tidak berpori namun mempunyai saluran dammar aksial
yang menyerupai pori dan tidak mempunyai dinding sel yang jelas. Permukaan
radial dan tangensial pinus mempunyai corak yang disebabkan karena perbedaan
struktur kayu awal dan kayu akhirnya, sehingga terkesan ada pola dekoratif. Riap
tumbuh pada pinus agak jelas terutama pada pohon-pohon yang berumur tua, pada
penampang lintang kelihatan seperti lingkaran-lingkaran (Pandit dan Ramdan
2002).
Daun pinus terdapat 2 jarum dalam satu ikatan dengan panjang 16–25 cm
(Hidayat dan Hansen 2001), akan gugur dan menjadi serasah. Serasah pinus
merupakan serasah daun jarum yang mempunyai kandungan lignin dan ekstraktif
tinggi serta bersifat asam, sehingga sulit untuk dirombak oleh mikroorganisme.
Serasah pinus akan terdekomposisi secara alami dalam waktu 8–9 tahun (Siregar
2005).
2.1.2 Penyebaran
P. merkusii menyebar di kawasan Asia Tenggara yaitu di Burma,
Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Indonesia (Sumatera), dan Filipina (P. Luzon
dan Mindoro). Pinus yang tumbuh di Pulau Hainan (China) diperkirakan hasil
penanaman. Pinus tumbuh pada ketinggian 30–1.800 mdpl pada berbagai tipe
tanah dan iklim, serta menyebar pada 23ºLU–2ºLS dengan suhu tahunan rata-rata
19–28ºC. Tegakan alami pinus di Indonesia terdapat di Sumatera bagian Utara
(Aceh, Tapanuli, dan Kerinci) (Hidayat dan Hansen 2001), sehingga secara alami,
tegakan pinus dapat dibagi ke dalam tiga strain, yaitu :
1. Strain Aceh, penyebarannya dari pegunungan Seulawah Agam sampai sekitar
Taman Nasional Gunung Leuser. Dari sini menyebar ke selatan mengikuti
Pegunungan Bukit Barisan lebih kurang 300 km melalui Danau Laut Tawar,
5
telah mulai melebar. Pengumpulan buah dapat dilakukan setiap tahun, karena
pohon pinus berbuah setiap tahun. Biji kering berisi antara 45.000–60.000 butir
setiap kilogramnya. Sebelum ditabur terlebih dahulu dilakukan seleksi biji, biji
yang baik mempunyai ciri-ciri warna kulit biji kuning kecoklatan dengan bintik-
bintik hitam, bentuk biji bulat, padat, dan tidak mengkerut. Penyeleksian biji
dilakukan dengan cara direndam dalam, biji yang baik ialah biji yang tenggelam.
Lama perendaman biji yaitu 3–4 jam di dalam air dingin sebelum ditabur (Dephut
1990).
Penaburan biji dilakukan dengan memperhatikan media yang bebas dari
hama-penyakit (steril). Bahan campuran media berupa pasir dan tanah (humus)
dengan perbandingan 1:2. Media yang telah siap dimasukkan ke dalam bak plastik
setinggi ±5cm. Benih-benih yang terpilih kemudian ditaburkan ke dalam bak tabur
dan ditutup kembali dengan media tabur. Setelah 10–15 hari, benih akan
berkecambah. Proses perkecambahan berlangsung sampai satu bulan. Setelah bibit
berumur 5–8 minggu di bak tabur kemudian dilakukan penyapihan. Sebelumnya
terlebih dahulu disiapkan kantong plastik (polibag) yang berisi media tumbuh.
Media tumbuh untuk tingkat semai pinus yang paling baik baik adalah campuran
dari tanah, pasir, dan kompos dengan perbandingan 7:2:1 dengan penambahan
pupuk NPK sebanyak 0,25 gram per 300 gram media. (Dephut 1990).
Kegiatan pemeliharaan semai perlu dilakukan, yaitu penyiraman secara
hati-hati, dan untuk menghindari damping off perlu dilakukan penyemprotan
dengan fungisida. Gangguan semai oleh rumput-rumput liar, serangga maupun
penyakit perlu dihindari, oleh karena itu kebersihan persemaian sangat menunjang
keberhasilan bibit yang disapih (Dephut 1990).
Sebelum melaksanakan penanaman, perlu dilakukan persiapan, antara lain
(1) pembersihan lapangan dari tumbuhan pengganggu, (2) pengolahan tanah, (3)
pemasangan ajir, dan (4) pembuatan lubang tanaman. Pada saat bibit akan
ditanam, kantong plastik dilepas secara hati-hati supaya media tumbuh tetap utuh,
kemudian bibit dimasukkan ke dalam lubang tanam dan ditutup kembali dengan
tanah dan dipadatkan. Penanaman dilakukan pada permulaan musim penghujan,
setelah curah hujan cukup merata (Dephut 1990).
7
2.1.4 Manfaat
Hidayat dan Hansen (2001) menyatakan bahwa kayu pinus dapat
digunakan untuk berbagai keperluan ialah konstruksi ringan, mebel, pulp, korek
api, sumpit, dan alat-alat rumah tangga lainnya. Selanjutnya Orwa et al. (2009)
menyatakan bahwa P. merkusii menghasilkan kayu yang cukup tahan lama dan
berat, dapat digunakan untuk pembuatan perahu (kapal) dan lantai. Nilai energi
dari kayu ini adalah 20.300–23.200 kJ/kg.
Getah pinus juga disadap untuk berbagai keperluan lainnya selain kayu.
Pohon tua dapat menghasilkan 30–60 kg getah, 20–40 kg resin murni dan 7–14 kg
terpentin per tahun (Hidayat dan Hansen 2001). Hasil non-kayunya berupa getah
(resin) yang menghasilkan produk gondorukem dan terpentin tersebut bernilai jual
tinggi. Minyak yang mengandung senyawa terpene yaitu salah satu isomer
hidrokarbon tak jenuh dari C10Hl63 terutama monoterpene alfa-pinene dan beta-
pinene, terpentin biasanya digunakan sebagai pelarut untuk mengencerkan cat
minyak, bahan campuran vernis yang biasa kita gunakan untuk mengkilapkan
permukaan kayu dan bisa untuk bahan baku kimia lainnya (Murni 2010 dalam
Iriando 2011). Selain itu, dalam penelitian yang dilakukan di Filipina, ekstrak etil
alkohol dari P. merkusii menunjukkan aktivitas anti kanker. Hal ini menunjukkan
bahwa P. merkusii juga bermanfaat dalam dunia kesehatan (Orwa et al. 2009).
8
2.2 Serangga
2.2.1 Pengenalan Serangga
Serangga disebut juga insekta atau heksapoda. Menurut Pracaya (2008)
insect berasal dari bahasa Latin yaitu insecare. Kata in artinya menjadi, sedangkan
secare artinya memotong atau membagi. Jadi, arti insect adalah binatang yang
badannya terdiri dari potongan-potongan atau segmen-segmen. Sementara itu,
heksapoda (hexapoda) berasal dari kata hexa yang berarti enam dan podos adalah
kaki, sehingga heksapoda berarti binatang yang berkaki enam.
Serangga telah hidup di bumi kira-kira 350 juta tahun, sedangkan manusia
kurang dari dua juta tahun. Selama kurun waktu tersebut, mereka telah mengalami
perubahan evolusi dalam beberapa hal dan menyesuaikan kehidupan pada hampir
setiap tipe habitat dan telah mengembangkan banyak sifat-sifat yang tidak biasa,
indah dan bahkan mengagumkan. Ukuran serangga berkisar dari kira-kira 0,25–
330 mm panjang dan kira-kira 0,5–300 mm dalam bentangan sayap; sebuah fosil
capung mempunyai bentangan sayap lebih dari 760 mm. Beberapa serangga yang
terpanjang sangat ramping (serangga yang panjangnya 330 mm yakni seekor
serangga tongkat terdapat di Kalimantan), tetapi beberapa kumbang mempunyai
tubuh hampir sebesar kepalan tinju (Borror et al. 1996).
Serangga merupakan golongan hewan yang dominan di muka bumi. Lebih
dari seribu spesies terdapat pada satu lapangan yang berukuran sedang, dan
populasi mereka seringkali berjumlah jutaan pada tanah seluas satu acre (= 4047
m²) (Borror et al. 1996). Jumlah serangga di dalam tanah per hektar lebih kurang
2,5–10 juta. Sementara itu, pada lapisan tanah hutan dengan kedalaman 45cm
terdapat lebih kurang 150 juta serangga per hektar. Pada pagi hari, serangga yang
beterbangan lebih kurang 7.000 ekor per hektar di udara, sedangkan pada sore hari
lebih kurang 27.000 serangga per hektar (Pracaya 2008).
Serangga adalah makhluk yang berdarah dingin. Bila suhu lingkungan
menurun, suhu tubuh mereka juga menurun, dan proses fisiologik mereka menjadi
lamban. Banyak serangga tahan terhadap suhu beku pada periode pendek, tetapi
beberapa mampu bertahan pada suhu beku atau dibawah beku dalam waktu yang
10
panjang. Beberapa serangga yang tahan hidup pada suhu-suhu yang rendah ini
yaitu dengan menyimpan etilen glikol di dalam jaringan-jaringan mereka, etilen
glikol merupakan zat kimia yang sama yang kita tuangkan ke dalam radiator
kendaraan kita, untuk melindunginya dari pembekuan selama musim dingin
(Borror et al. 1996).
Serangga mengalami metamorfosis dalam perkembangannya, pada
metamorfosis tak sempurna (incomplete metapmophosis) belalang dan beberapa
ordo lain, hewan muda mirip dengan hewan dewasa tetapi berukuran lebih kecil
dan memiliki perbandingan tubuh yang berbeda. Hewan itu akan mengalami
serangkaian pergantian kulit atau molting, setiap kali setelahnya hewan itu
kelihatan lebih mirip hewan dewasa, sampai ia mencapai ukuran penuhnya.
Serangga dengan metamorfosis sempurna (complete metamorphosis) memiliki
tahapan larva yang dikhususkan untuk makan dan tumbuh yang dikenal dengan
nama seperti belatung (maggot), tempayak (grub), atau ulat (terpillar). Tahapan
larva tampak berbeda sama sekali dari tahapan dewasa, yang dikhususkan untuk
penyebaran dan reproduksi. Metamorfosis dari tahapan larva sampai dewasa
terjadi selama tahapan pupa (Campbell 2003).
Daya reproduksi serangga seringkali sangat hebat. Kapasitas tiap hewan
untuk membentuk jumlah populasinya melalui reproduksi tergantung dari tiga
sifat, yaitu : (1) Jumlah telur yang fertile yang diletakkan oleh tiap betina (yang
pada serangga dapat bervariasi dari satu sampai ribuan), (2) Lama waktu suatu
generasi (yang dapat bervariasi dari beberapa hari sampai beberapa tahun), dan (3)
Perbandingan kelamin tiap generasi yaitu betina yang akan memproduksi generasi
berikutnya (pada beberapa serangga tidak ada jantan) (Borror et al. 1996).
1. Karakteristik morfologi
Kandungan tanaman dapat memproduksi stimulus fisik juga penghalang
aktivitas serangga. Variasi pada ukuran daun, bentuk, warna, dan ada/tidaknya
sekresi glandular mungkin dapat membagi penerimaan serangga terhadap
inangnya. Pubescence dan jaringan yang kuat kadang-kadang menjadi faktor
pembatas dalam proses mobilisasi dan pemangsaan oleh serangga.
2. Karakteristik fisiologi
Karakteristik fisiologi yang mempengaruhi reaksi serangga, biasanya berupa
zat-zat kimia yang dihasilkan pada proses metabolisme tanaman. Proses
metabolism pada tanaman umumnya menghasilkan substansi yang dapat
berfungsi sebagai katalis reaksi, membangun jaringan dan menyediakan
energi. Tanaman membutuhkan ion anorganik dan penghasil enzim, hormon
dan karbohidrat, lipid, protein, dan komponen fosfat untuk energi transfer.
kecoa yang suka ditempat gelap, ketika lampu nyala, langsung bergerak
dengan arah tak tentu.
3. Taksis
Gerakan yang terarah, yang sifatnya mendekati atau menjauhi suatu
rangsangan, jadi bisa bersifat positif atau negatif, sifat taksis ini di antaranya :
(1) fototaksis, pengaruh sumber cahaya, (2) geotaksis, pengaruh tanah, (3)
thigmotaksis, pengaruh rangsangan kontak atau sentuhan, (4) kemotaksis,
pengaruh rangsangan kimia, (5) termotaksis, pengaruh suatu rangsangan suhu
tertentu, dan (6) higrotaksis, pengaruh kandungan air atau kelembaban.
2.2.4.3 Komunikasi
Komunikasi antar serangga diperlukan diantaranya dalam mendapatkan
pasangan, komunikasi terjadi bila salah satunya memberi signal atau isyarat yang
bisa berupa signal visual, sentuhan suara, dan kimiawi. Komunikasi ini bisa
16
dilakukan dalam jarak jauh, biasanya melibatkan alat visual, bahan kimia tersebar
di udara, alat pendengar (auditory) dan lain-lain. Untuk komunikasi jarak dekat
biasanya menggunakan kombinasi beberapa organ perasa. Jenis komunikasi ini
ada yang sifatnya khusus digunakan antar individu dalam satu spesies
(intraspesifik) dan ada yang digunakan antar spesies yang berbeda (interspesifik)
(Hidayat 2008).
Komunikasi visual berhubungan dengan penglihatan, seperti kupu-kupu
jantan melihat adanya kupu-kupu betina, kunang-kunang jantan yang terbang dan
menyala di malam hari, dan komunikasi pada lebah madu yang melakukan tari-
tarian untuk memberi tahu temannya jika menemukan sumber makanan.
Komunikasi suara atau auditory communication dapat terjadi karena adanya
gerakan fibrase dan gerakan pada alat stidulasi. Alat stidulasi, gerakan
menggaruk, seperti pada belalang ketika sayap belakangnya menggaruk femur
belakang. Komunikasi kimia terjadi karena adanya bahan kimia yang
mempengaruhi perilaku. Dalam tubuh serangga bahan kimia diproduksi di suatu
bagian dan disebarkan ke bagian lain, disebut hormon, dan ada yang dikeluarkan
oleh suatu individu untuk mempengaruhi individu lain (Hidayat 2008).
Genus : Pineus
Spesies : boerneri Annand.
Kutulilin pinus bertubuh lunak, berbentuk bulat, berwarna kuning
kecoklatan, berukuran kecil (±1 mm), tinggal dan bereproduksi di pucuk bagian
luar dari pohon pinus. Kutu ini mengeluarkan lilin putih dari kelenjar lilin yang
terdapat di tubuhnya. Kutu betina mempunyai ovipositor, rostrum yang panjang, 4
pasang spirakel pada abdomen dan tidak aktif (sessile). Sebagian besar famili
Adelgidae mempunyai siklus hidup selama 2 tahun. P. boerneri adalah kutu yang
aseksual sepanjang tahun, artinya tidak tergantung musim dan memproduksi telur
secara partenogenesis (berkembang biak tanpa perkawinan), maka populasi kutu
ini cepat sekali berlipat ganda. Bila satu petak tanaman pinus diketahui telah
terserang, maka sangat mungkin bahwa pohon-pohon di petak-petak sekitarnya
akan terserang dengan populasi hama yang relatif rendah sehingga belum
menunjukkan efek merusak (Laela 2008).
P. boerneri tahan terhadap kondisi lingkungan yang dingin (Annand
1928). Penyebaran dan fluktuasi populasinya di lapangan dipengaruhi oleh faktor
barrier (penghalang) berupa barrier alam (jurang, bukit), vegetasi (ada tidaknya
vegetasi lain selain pinus), dan iklim. Pertanaman pinus yang memiliki barrier
alam dan vegetasi lain yang tinggi cenderung lebih lambat terserang dibandingkan
dengan pertanaman yang berada di bentang alam yang terbuka. Namun seiring
waktu apabila tinggi pohon-pohon pinus sudah menyamai/melebihi barrier alam
yang ada, maka tingkat serangan hama kutulilin pinus juga meningkat. Serangan
hama kutulilin pinus meningkat pada musim kemarau; pada musim hujan kutulilin
pinus tertekan namun tetap ada dalam tegakan dalam populasi terbatas (Laela
2008).
Ciesla (2011) menyebutkan bahwa P. boerneri yang berasal dari P. radiate
di California, Amerika Serikat diyakini berasal dari Eurasia sebagai P. laevis
(Maskell) dan P. pini Maquart. Banyak literatur sebelumnya tentang spesies ini
dengan nama-nama tersebut. Spesies ini telah menyebar ke Afrika, Australia,
Amerika Utara (Timut Laut Amerika Serikat dan Hawaii), Amerika Selatan, dan
Selandia Baru. Pertama kali dilaporkan di Afrika dari Kenya dan Zimbabwe pada
tahun 1968 dan menyebar dengan cepat di perkebunan pinus di seluruh benua
18