Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

ANALISA YURIDIS KETENTUAN PASAL 28 AYAT (2) UU


INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

PADA KASUS BUNI YANI

Tugas mata kuliah Hukum


Dosen pembimbing

Disusun oleh

JURUSAN
FAKULTAS
UNIVERSITAS
2019
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami ucapkan kepada Tuhan YME, karena dengan limpahan
rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat membuat dan
menyelesaikan makalah untuk memenuhi tugas mata kuliah “Analisa Yuridis
Ketentuan Pasal 28 Ayat (2) Uu Informasi Dan Transaksi Elektronik Pada Kasus
Buni Yani “ sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Dalam penyusunan makalah ini, banyak sekali pihak yang telah membantu.
Untuk itu tidak lupa penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibu/Bapak dosen
yang telah memberikan pengarahan dalam penyusunan makalah ini.

Penulis sangat menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh
dari sempurna, untuk itu kami mengharap kritik dan saran yang bersifat konstruktif.
Kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kelangsungan proses belajar
mengajar dikelas khususnya.

Penulis

ii
DAFTAR ISI

BAB HALAMAN
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 5
C. Ruang Lingkup .............................................................................. 5
D. Metode Penelitian .......................................................................... 6
E. Sistematika Penulisan .................................................................... 6
II GAMBARAN KEADAAN .................................................................... 8
A. Data dan Fakta ............................................................................... 8
B. Permasalahan.................................................................................. 17
III PEMBAHASAN ..................................................................................... 19
A. Analisis Permasalahan .................................................................. 19
B. Pemecahan Masalah ...................................................................... 26
IV KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 30
A. Kesimpulan ................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 28

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai suku, ras, agama
dan budaya. Hal ini disebabkan oleh faktor geografis Indonesia dari Sabang
sampai Merauke yang terdiri dari lima pulau besar dan ribuan pulau-pulau keeil.
Perbedaan-perbedaan tersebut yang membuat Indonesia kaya akan
keanekaragaman budaya. Meskipun beranekaragam, Indonesia tetap satu sesuai
dengan semboyannya, Bhineka Tunggal Ika yang artinya meskipun berbeda-
beda tetapi tetap satu jua.
Untuk menyatukan ataupun menghubungkan sebagian maupun seluruh
masyarakat yang tersebar di berbagai daerah tersebut tidaklah mudah.
Dibutuhkannya media yang mampu menampung aspirasi setiap orang dan juga
yang mampu mempermudah komunikasi dan penyampaian informasi ke seluruh
penjuru negeri. Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang selanjutnya disingkat IPTEK, setiap orang dengan mudahnya
berkomunikasi dengan orang lainnya di mana pun orang tersebut berada. Hal ini
didukung dengan adanya koneksi internet dan juga media elektronik yang
digunakan oleh masyarakat.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat
tersebut banyak memberikan dampak positif dan negatif bagi kalangan
masyarakat. Dari segi dampak positifnya, tidak perlu diberikan penjelasan yang
lebih detail lagi karena sudah terealisasikan seperti dengan mudahnya meneari
berita dan informasi terbaru dari berbagai belahan dunia baik itu mengenai
politik, hukum, kesehatan, kemiliteran dan lain sebagainya. Contoh nyatanya
untuk meneari informasi yang dibutuhkan seperti hukum internet, betapa
mudahnya setiap orang meneari informasi tersebut melalui media internet hanya
dengan mengetikkan kata kunei hukum internet yang kita eari pada browser
Google dan setelah itu maka akan ditampilkan pilihan halaman seputar tentang
hukum internet dan tinggal kita pilih.

1
Namun dengan perkembangan globalisasi yang eukup pesat tidak
terlepas dari adanya dampak positif maupun negatif. Yang jadi masalah yaitu
dampak negatif dari ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Dampak
negatifnya dapat kita lihat dikehidupan sehari-hari yaitu bahwa masyarakat luas
tidak bisa lepas dari penggunaan media elektronik dan internet seperti
penggunaan telepon genggam berbagai merek yang harus bisa menggunakan
koneksi jaringan internet yang eepat untuk kepentingan hiburan media sosial
semata.
Di semua kalangan masyarakat, penggunaan dan kebutuhan akan barang
- barang elektronik yang terhubung ke internet semakin meningkat bukan
semakin berkurang sehingga hal ini menyebabkan banyaknya terjadi
penyalahgunaan media tersebut. Salah satu yang menjadi dampak negatif
penggunaan media elektronik tersebut adalah kebiasaan masyarakat yang
menyebarluaskan informasi yang belum bisa dipereaya kebenarannya tanpa
memikirkan dampak dari perbuatannya tersebut yang seeara jelas diatur dalam
Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang selanjutnya disingkat UU ITE.
Bukti nyata, pada 4 November 2016 yang lalu, terjadi aksi demo oleh
sebagian masyarakat beragama Islam terhadap ealon gubernur DKI Jakarta
yaitu Basuki Tjahaja Purnama yang sering dipanggil Ahok karena diduga
melakukan penistaan agama dengan menyebutkan isi Al-Quran yaitu Surat Al
Maidah 51 pada saat kampanye di Kepulauan Seribu. Namun banyak dari
kalangan masyarakat yang tidak mengetahui kebenaran dan penyebab dari
terjadinya aksi demo tersebut. Penyebab terjadinya aksi demo tersebut karena
adanya orang yang belakangan ini diketahui bernama Buni Yani
menyebarluaskan transkrip Video kampanye Ahok di Kepulauan Seribu dengan
melakukan editing terlebih dahulu terhadap keaslian Video kampanye tersebut.
Hal tersebut menyebabkan sebagian besar masyarakat yang beragama Islam
merasa dileeehkan oleh Ahok melalui kampanyenya tersebut. Oleh karena hal
tersebut, sebagian besar masyarakat muslim melaporkan Ahok ke pihak

2
berwenang dengan tuntutan adanya penistaan agama dan melanggar Pasal 156a
KUHP, yang menentukan :
"Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa
dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan :
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga
yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa."
Penyebaran Video yang telah di edit terlebih dahulu oleh Buni Yani
tersebut, adanya penghilangan bagian pada kampanye Ahok yaitu Ueapan Ahok
"dibohongi pakai Surat Al Maidah 51" yang ditulis Buni Yani jadi "dibohongi
Surat Al Maidah 51." Penghilangan kata "pakai" pada video tersebut yang
memieu terjadinya kemarahan sebagian besar umat muslim. Hal tersebutlah
yang menyebabkan terjadinya aksi demo oleh sebagian besar umat muslim pada
tanggal 4 NoVember 2016 dengan tuntutan agar Ahok di proses seeara hukum
atas dugaan penistaan agama.
Kasus tersebut jelas terjadinya pelanggaran oleh Buni Yani terhadap
pengeditan dan penyebarluasan Video editan yang melanggar Pasal 28 ayat (2)
Undang - Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dan karena hal tersebut
Ahok juga harus diproses seeara hukum dengan dugaan penistaan agama sesuai
dengan tuntutan sebagian besar umat muslim. Sesuai Pasal 28 ayat (2) UU ITE,
Buni Yani dianggap telah menyebarkan informasi yang bisa menimbulkan rasa
kebeneian atau permusuhan yang berdasarkan atas SARA dengan mengedit
Video kampanye Ahok di Kepulauan Seribu dan menyebarluaskannya melalui
sosial media Facebook dan juga menambahkan tulisan pada postingan Video
tersebut yang menjadi pemieu tambahan yang menimbulkan kemarahan
sebagian umat Islam.
Berkaitan dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang menentukan, 'setiap
orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan
untuk menimbulkan rasa kebeneian atau permusuhan indiVidu dan/atau

3
kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA)'.
Pasal tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut : unsur
subjektif : dengan sengaja dan unsur objektif : menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebeneian atau permusuhan indiVidu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras,
dan antargolongan (SARA).
Ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tersebut terdapat norma kabur. Hal
ini berkaitan kata "kebencian" yang memiliki cakupan yang sangat luas dan tidak
spesifik yang menimbulkan penafsiran. Kebeneian itu sendiri adalah sebuah
emosi yang sangat kuat dan melambangkan ketidaksukaan, permusuhan, atau
antipati untuk seseorang, sebuah hal, barang, atau fenomena. Hal ini juga
merupakan sebuah keinginan untuk, menghindari, menghaneurkan atau
menghilangkannya. Dari pengertian kebeneian itu sendiri, memiliki makna
yang sangat luas. Hal tersebut yang membuat isi dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE
yang mengandung unsur kebeneian yang tidak jelas makna yang dimaksud dari
pasal itu sendiri sehingga menyebabkan Buni Yani terjerat kasus pidana padahal
dari keterangan yang diberikan oleh Buni Yani tidak berniat untuk menyebarkan
kebencian.
Kasus penyebaran Video yang dilakukan oleh Buni Yani, beliau
melakukan tindakan penyebaran Video kampanye Ahok hanya sebatas
menyebarkan berita melalui akun media sosialnya sendiri. Tindakan yang
dilakukan Buni Yani tersebut tidak memiliki rasa kebeneian dari sisi pelaku
sendiri untuk melalukan tindakan penyebaran Video tersebut. Namun dalam hal
ini jika dikaitkan dengan adanya rasa kebeneian, tindakan penyebaran Video
tersebut menyebabkan adanya dampak yang menimbulkan rasa benei bagi
sebagian masyarakat yang beragama muslim.
Selain itu juga, dalam pasal tersebut penyebaran informasi yang
menimbulkan "rasa kebeneian" yang dimaksud juga tidak memberikan
pengertian yang bisa dipahami. Hal ini berkaitan dengan bentuk penyebaran
informasi yang dimaksud seperti melalui berita, pernyataan atau pendapat

4
pribadi, pidato, pamflet atau spanduk maupun siaran yang berisi kebeneian.
Oleh karena hal tersebut, ketentuan dan penjelasan serta pemahaman dari isi
pasal tersebut menimbulkan multitafsir dan menyulitkan para penegak hukum
untuk pemecahan dan penanganan masalah yang berkaitan dengan isi pasal
tersebut.
Untuk penyalahgunaan informasi di media sosial yang menggunakan
media elektronik yang dalam hal ini penyebarluasan Video editan diatur dalam
Undang - Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang -
Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Berdasarkan realita pada latar belakang di atas maka penulis
mengangkat judul penelitian "ANALISA YURIDIS KETENTUAN PASAL
28 AYAT (2) UU INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK PADA
KASUS BUNI YANI".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang penulisan skripsi ini maka dapat dirumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah makna kata "kebencian" menurut ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU
ITE?
2. Bagaimanakah sebaiknya pengaturan ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE
di masa yang akan datang?

C. Tujuan Penulisan Makalah


Adapun beberapa tujuan penelitian ini yaitu :
1. Untuk mengetahui makna kata "kebencian" menurut ketentuan Pasal 28
ayat (2) UU ITE.
2. Untuk mengetahui pengaturan ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE di masa
yang akan dating.

5
D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan paper ini yaitu :
1. Studi Kepustakaan
Yaitu pengumpulan data dengan jalan membaca, mengkaji dan
mempelajari buku-buku, dokumen-dokumen laporan, literasi dan peraturan
perundang-undangan serta dari bahan-bahan media online yang berlaku
yang berkaitan dengan penelitian.

E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam tugas akhir ini, disusun sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini berisi mengenai latar belakang, rumusan masalah, ruang
lingkup, metode penelitian, sistematika penulisan.
BAB II GAMBARAN KEADAAN
Dalam bab ini berisi mengenai data dan fakta dan permasalahan yang terjadi.
BAB III PEMBAHASAN
Pada bab ini berisi meanalisis permasalahan dan pemecahan masalah.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bagian ini berisi kesimpulan dan saran.

6
BAB II
GAMBARAN KEADAAN

A. Data dan Fakta


1. Penggunaan Pasal 28 Ayat 2
Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik,Pasal 28 ayat (2) dan Jo Pasal 45 merupakan ketentuan
yang mulai digunakan dalam kasus-kasus penyebaran kebencian berbasis
SARA. Walaupun ada ketentuan pidana dalam KUHP dan UU Nomor 40 tahun
2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (UU Diskriminasi
Rasial), namun pasal-pasal dalam UU ITE jauh lebih mudah digunakan terkait
Penyebar kebencian berbasis SARA di dunia maya.
Bunyi Pasal 28 ayat (2) UU ITE adalah sebagai berikut:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA).
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis (UU Diskriminasi) khususnya di Pasal 4 dan Pasal
16 elemen utamanya adalah “kebencian atau rasa benci kepada orang karena
perbedaan ras dan etnis” atau “kebencian atau rasa benci kepada orang lain
berdasarkan diskriminasi ras dan etnis”. Sedangkan KUHP umumnya
digunakan pasal-pasal penyebar kebencian terhadap golongan/agama 156, 156
a dan 157.
Sedangkan jika menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) khususnya pasal 28 ayat
(2) juga mememiliki unsur penting yakni “menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas
suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).” Berbeda dengan UU
Diskriminasi, UU ITE menggunakan unsur SARA yang diterjemahkan dengan
“suku, agama, ras, dan antargolongan” ini menunjukkan bahwa muatannya

7
lebih luas lingkupnya di banding UU Diskriminasi. Karena tidak hanya
mengatur etnas dan ras namun ada unsur kejahatan dalam frase “agama dan
antar golongan”, yang tidak ada dalam UU Diskriminiasi tersebut.
Karena pasal 28 ayat (2) ITE merupakan pasal paling kuat bagi tindak
pidana penyebaran kebencian di dunia maya di banding pasal-pasal pidana
lainnya. Maka tren penggunaan pasal 28 ayat (2) ITE ditahun-tahun mendatang
pasti lebih meningkat, ini karena elemennya lebih luas, dengan ancaman pidana
yang lebih berat dan secara spesifik mudah menyasar penyebar kebencian
berbasis SARA di dunia maya, dibanding UU lainnya.

2. Defenisi Informasi Elektronik


Berdasarkan ketentuan umum dalam Pasal 1 Bab 1 Undang - Undang
No. 11 tahun 2008, pada angka 1, bahwa yang dimaksud dengan informasi
elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto, Elektronik Data
Interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy
atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perfrasi yang
telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.
Informasi elektronik merupakan salah satu hal yang diatur secara
substansial dalam Undang - Undang ITE selain transaksi elektronik.
Perkembangan pemanfaatan informasi elektronik dewasa ini, sudah
memberikan kenyamanan dan kemanfaatannya. Sebagai contoh penggunaan
email untuk memudahkan setiap orang untuk berkomunikasi. Pemanfaatan
informasi elektronik, memberikan manfaat dengan menjamurnya usaha kecil
dan menengah di bidang penjualan jasa seperti warung-warung internet
(warnet). Pemanfaatan informasi elektronik juga dimanfaatkan oleh kalangan
pemerintah, seperti lembaga - lembaga pemerintah baik sipil maupun TNI/
Polri, Komisi Pemilihan Umum, untuk secara otomatis memanfaatkan
informasi elektronik untuk kepentingan pengawasan dan pengendalian fungsi
pemerintah. Pada perkembangannya digunakan untuk mencegah terjadinya

8
praktik - praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme. Beberapa instansi
pemerintahan sudah menyelenggarakan suatu system nobody - contact, seperti
instansi Kementerian Hukum dan HAM dalam pengangkatan pejabat notaris
dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dan pejabat calon pendaftar hanya
mengirimkan berkas permohonan melalui loket - loket dan pengumuman
keberatan diterima atau tidaknya diumumkan melalui mass media cetak atau
melalui e-mail sehingga informasi itu tidak dapat diakses.
Perbuatan yang dilarang oleh undang - undang berkaitan dengan
informasi elektronik adalah mendistribusikan, atau membuat dapat diaksesnya
informasi elektronik yang muatannya berisi melanggar kesusilaan, muatan
perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik atau pemerasan dan atau
pengancaman.

3. Defenisi Teknologi Informasi


Dalam Pasal 1 angka 3 Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, pengertian teknologi informasi
adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan,
memproses, mengumumkan, menganalisis dan atau menyebarkan informasi.
Istilah "teknologi informasi" mulai dipergunakan secara luas tahun 80-an.
Teknologi ini merupakan perkembangan dari teknologi komputer yang
dipadukan dengan teknologi telekomunikasi. Defenisi kata "informasi"
sendiri secara internasional disepakati sebagai "hasil dari pengolahan data"
yang secara prinsip memiliki nilai atau value yang lebih dibandingkan dengan
data mentah. Komputer merupakan teknologi informasi pertama yang dapat
melakukan proses pengolahan data menjadi informasi.

4. Defenisi Transaksi Elektronik


Dalam Pasal 1 angka 2 Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dimaksud dengan Transaksi
Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan
komputer, jaringan komputer, danl atau media elektronik lainnya.

9
Perbuatan hukum penyelenggara transaksi elektronik dapat dilakukan
dalam lingkup publik ataupun privat. Para pihak yang melakukan transaksi
elektronik wajib beritikad baik dalam melakukan interaksi danl atau pertukaran
informasi elektronik dan atau dokumen elektronik selama transaksi
berlangsung. Penyelenggaraan transaksi elektronik ini diatur dengan peraturan
pemerintah.

5. Defenisi Kebencian
Kebencian merupakan sebuah emosi yang sangat kuat dan
melambangkan ketidaksukaan, permusuhan, atau antipati untuk seseorang,
sebuah hal, barang, atau fenomena. Hal ini juga merupakan sebuah keinginan
untuk, menghindari, menghancurkan atau menghilangkannya. Dalam ilmu
psikologi, Dr. Sigmund Freud mendefinisikan benci sebagai pernyataan ego
(ke-akuan) yang ingin menghancurkan sumber-sumber ketidak bahagiaannya.
Defenisi benci yang lebih baru menurut Penguin Dictionary of Psychology
adalah "emosi yang dalam dan bertahan kuat, yang mengekspresikan
permusuhan dan kemarahan terhadap seseorang, kelompok, atau objek
tertentu".
Dalam arti hukum lebih dikenal Ujaran Kebencian (Hate Speech) adalah
perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat
memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak
pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut. Arti dari pada
Ujaran Kebencian (Hate Speech) sendiri adalah tindakan komunikasi yang
dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan,
ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal
berbagai aspek seperti ras, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual,
kewarganegaraan, agama dan lain-lain.
Hampir semua negara diseluruh dunia mempunyai undang-undang yang
mengatur tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech), di Indonesia pasal-pasal
yang mengatur tindakan tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech) terhadap
seseorang, kelompok ataupun lembaga berdasarkan Surat Edaran Kapolri No:

10
SE1061X12015 terdapat di dalam Pasal 156, Pasal 157, Pasal 310, Pasal 311,
kemudian Pasal 28 jis.Pasal 45 ayat (2) UU No 11 tahun 2008 tentang informasi
& transaksi elektronik dan Pasal 16 UU No 40 Tahun 2008 tentang
penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Pada Pasal 156 KUHP lebih dikenal dengan pernyataan perasaan
permusuhan, kebencian atau penghinaan. Perbuatan menyatakan perasaan
permusuhan (vijanschap), adalah perbuatan menyatakan dengan ucapan yang
isinya dipandang oleh umum sebagai memusuhi suatu golongan penduduk
Indonesia. Perbuatan menyatakan kebencian (haat), adalah berupa perbuatan
menyatakan dengan ucapan yang isinya dipandang atau dinilai oleh umum
sebagai membenci terhadap suatu golongan penduduk Indonesia. Demikian
juga perbuatan menyatakan ucapan yang isinya dipandang oleh umum sebagai
menghina, merendahkan atau melecehkan terhadap suatu golongan penduduk
Indonesia. Tiga perbuatan ini mencerminkan sifat rasa yang sama, ialah
perasaan tidak senang atau tidak bersahabat, perasaan kedudukan yang tidak
sejajar antara sesama golongan penduduk, yang seharusnya sebagai rakyat
Indonesia tidak perlu memiliki perasaan seperti itu.
Didalam Surat Edaran Kapolri NOMOR SE1061X12015 tentang Ujaran
Kebencian (Hate Speech) dijelaskan pengertian tentang Ujaran Kebencian
(Hate Speech) dapat berupa tindak pidana yang di atur dalam KUHP dan
ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain:
a. Penghinaan
b. Pencemaran nama baik
c. Penistaan
d. Perbuatan tidak menyenangkan
e. Memprovokasi
f. Menghasut
g. Menyebarkan berita bohong
Semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada
tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan atau konflik sosial.
Selanjutnya dalam Surat Edaran (SE) pada huruf (h) disebutkan, Ujaran

11
Kebencian (Hate Speech) sebagaimana dimaksud diatas dapat dilakukan
melalui berbagai media,antara lain:
a. Dalam Orasi kegiatan kampanye
b. Spanduk atau banner
c. Jejaring media sosial
d. Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi)
e. Ceramah keagamaan
f. Media masa cetak atau elektronik
g. Pamflet

6. Defenisi Media Sosial


Kasus yang dialami oleh Buni Yani merupakan kasus yang terjadi di
media sosial. Dalam hal ini, kasus tersebut terjadi di media sosial yang bernama
Facebook. Media sosial sendiri tidak hanya Facebook saja melainkan banyak
hal - hal lainya yang bisa dikategorikan sebagai media sosial.
Media sosiall social media atau yang dikenal juga dengan jejaring sosial
merupakan bagian dari media baru. Jelas kiranya bahwa muatan interaktif
dalam media baru sangatlah tinggi. Media sosial, dikutip dari Wikipedia,
didefinisikan sebagai sebuah media online, dengan para penggunanya bisa
dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog,
jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki
merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat
di seluruh dunia.
Ardianto dalam buku Komunikasi 2.0 mengungkapkan, bahwa media
sosial online, disebut jejaring sosial online bukan media massa online karena
media sosial memiliki kekuatan sosial yang sangat mempengaruhi opini
publik yang berkembang di masyarakat. Penggalangan dukungan atau gerakan
massa bisa terbentuk karena kekuatan media online karena apa yang ada di
dalam media sosial, terbukti mampu membentuk opini, sikap dan perilaku
publik atau masyarakat. Fenomena media sosial ini bisa dilihat dari kasus Prita

12
Mulyasari versus Rumah Sakit Omni International. Inilah alasan mengapa
media ini disebut media sosial bukan media massa. (Ardianto, 2011: xii)
Andreas M Kaplan dan Michael Haenlein membuat klasifikasi untuk
berbagai jenis media sosial yang ada berdasarkan ciri - ciri penggunaannya
yang dimuat dalam artikelnya berjudul "User oj the World, Unite! The
Challenges and Opportunities oj Social Media," di Majalah Business
Horizons (2010) halaman 69-68 yaitu :
Pertama, proyek kolaborasi website, di mana user-nya diizinkan untuk dapat
mengubah, menambah, atau pun membuang konten-konten yang termuat di
website tersebut, seperti Wikipedia.
Kedua, blog dan microblog, di mana user mendapat kebebasan dalam
mengungkapkan suatu hal di blog itu, seperti perasaan, pengalaman,
pernyataan, sampai kritikan terhadap suatu hal, seperti Twitter.
Ketiga, konten atau isi, di mana para user di website ini saling membagikan
konten-konten multimedia, seperti e-book, video, foto, gambar, dan lain-lain
seperti Youtube.
Keempat, situs jejaring sosial, di mana user memperoleh izin untuk terkoneksi
dengan cara membuat informasi yang bersifat pribadi, kelompok atau sosial
sehingga dapat terhubung atau diakses oleh orang lain, seperti misalnya
Facebook.
Kelima, virtual game world, di mana pengguna melalui aplikasi 3D dapat
muncul dalam wujud avatar-avatar sesuai keinginan dan kemudian berinteraksi
dengan orang lain yang mengambil wujud avatar juga layaknya di dunia nyata,
seperti online game.
Keenam, virtual social world, merupakan aplikasi berwujud dunia virtual yang
memberi kesempatan pada penggunanya berada dan hidup di dunia virtual
untuk berinteraksi dengan yang lain. Virtual social world ini tidak jauh berbeda
dengan virtual game world, namun lebih bebas terkait dengan berbagai aspek
kehidupan, seperti Second Lije.
Dengan muatan seperti itu, maka medsos tidak jauh dari ciri-ciri berikut
ini:

13
a. Konten yang disampaikan dibagikan kepada banyak orang dan tidak
terbatas pada satu orang tertentu;
b. Isi pesan muncul tanpa melalui suatu gatekeeper dan tidak ada gerbang
penghambat;
c. Isi disampaikan secara online dan langsung;
d. Konten dapat diterima secara online dalam waktu lebih cepat dan bisa
juga tertunda penerimaannya tergantung pada waktu interaksi yang
ditentukan sendiri oleh pengguna;
e. Medsos menjadikan penggunanya sebagai kreator dan aktor yang
memungkinkan dirinya untuk beraktualisasi diri;
f. Dalam konten medsos terdapat sejumlah aspek fungsional seperti identitas,
percakapan (interaksi), berbagi (sharing), kehadiran (eksis), hubungan
(relasi), reputasi (status) dan kelompok (group).
Media sosial merupakan bagian dari sistem relasi, koneksi dan
komunikasi, maka kita harus menyikapinya dalam kaitannya dengan fungsi-
fungsi yang terkandung dalam teori relasi, koneksi dan komunikasi masyarakat.
Berikut ini sikap yang harus kita kembangkan terkait dengan peran, manfaat
dan fungsi medsos :
a. Sarana belajar, mendengarkan, dan menyampaikan. Berbagai aplikasi
medsos dapat dimanfaatkan untuk belajar melalui beragam informasi,
data dan isu yang termuat di dalamnya. Pada aspek lain, medsos juga
menjadi sarana untuk menyampaikan berbagai informasi kepada pihak lain.
Konten - konten di dalam medsos berasal dari berbagai belahan dunia
dengan beragam latar belakang budaya, sosial, ekonomi, keyakinan, tradisi
dan tendensi. Oleh karena itu, benar jika dalam arti positif, medsos adalah
sebuah ensiklopedi global yang tumbuh dengan cepat. Dalam konteks ini,
pengguna medsos perlu sekali membekali diri dengan kekritisan, pisau
analisa yang tajam, perenungan yang mendalam, kebijaksanaan dalam
penggunaan dan emosi yang terkontrol.
b. Sarana dokumentasi, administrasi dan integrasi. Bermacam aplikasi medsos
pada dasarnya merupakan gudang dan dokumentasi beragam konten, dari

14
yang berupa profil, informasi, reportase kejadian, rekaman peristiwa,
sampai pada hasil-hasil riset kajian. Dalam konteks ini, organisasi, lembaga
dan perorangan dapat memanfaatkannya dengan cara membentuk kebijakan
penggunaan medsos dan pelatihannya bagi segenap karyawan, dalam
rangka memaksimalkan fungsi medsos sesuai dengan target-target yang
telah dicanangkan. Beberapa hal yang bisa dilakukan dengan medsos,
antara lain membuat blog organisasi, mengintegrasikan berbagai lini di
perusahaan, menyebarkan konten yang relevan sesuai target di masyarakat,
atau memanfaatkan medsos sesuai kepentingan, visi, misi, tujuan, efisiensi
dan efektifitas operasional organisasi.
c. Sarana perencanaan, strategi dan manajemen. Akan diarahkan dan dibawa
ke mana medsos, merupakan domain dari penggunanya. Oleh sebab itu,
medsos di tangan para pakar manajemen dan marketing dapat menjadi
senjata yang dahsyat untuk melancarkan perencanaan dan strateginya.
Misalnya saja untuk melakukan promosi, menggaet pelanggan setia,
menghimpun loyalitas customer, menjajaki market, mendidik publik,
sampai menghimpun respons masyarakat.
d. Sarana kontrol, evaluasi dan pengukuran. Medsos berfaedah untuk
melakukan kontrol organisasi dan juga mengevaluasi berbagai perencanaan
dan strategi yang telah dilakukan. Ingat, respons publik dan pasar menjadi
alat ukur, kalibrasi dan parameter untuk evaluasi. Sejauh mana masyarakat
memahami suatu isu atau persoalan, bagaimana prosedur-prosedur ditaati
atau dilanggar publik, dan seperti apa keinginan dari masyarakat, akan bisa
dilihat langsung melalui medsos. Pergerakan keinginan, ekspektasi,
tendensi, opsi dan posisi pemahaman publik akan dapat terekam dengan
baik di dalam medsos. Oleh sebab itu, medsos juga dapat digunakan sebagai
sarana preventif yang ampuh dalam memblok atau memengaruhi
pemahaman publik.

15
7. Ujaran Kebencian (Hate Speech)
Ujaran Kebencian (Hate Speech) sendiri adalah tindakan
komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam
bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok
yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, gender, cacat,
orientasi seksual, kewarganegaraan, agama dan lain-lain.
Dalam arti hukum Ujaran Kebencian (Hate Speech) adalah
perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena
dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah
dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan
tersebut. Website yang menggunakan atau menerapkan Ujaran Kebencian
(Hate Speech) ini disebut (Hate Site). Kebanyakan dari situs ini
menggunakan Forum Internet dan Berita untuk mempertegas suatu sudut
pandang tertentu
Namun, perkembangan teknologi tidak hanya berupa memberikan
dampak positif saja, namun juga memberikan dampak negatif, tindak
pidana penghinaan atau ujaran kebencian (hate speech) dan/atau
penghinaan, serta penyebaran informasi di media sosial yang ditujukan
untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan antar individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras
dan antar golongan (SARA). Tindak pidana tersebut selain menimbulkan
dampak yang tidak baik juga dapat merugikan korban dalam hal
pencemaran nama baik, dengan modus operandi menghina korban dengan
menggunakan kata-kata maupun gambar dan meme-meme kata yang
menghina dengan ujaran kebencian. Sehingga dalam kasus ini diperlukan
adanya ketegasan pada tindak pidana tersebut, agar tidak terjadi
kesalahpahaman yang akhirnya merugikan masyarakat.
Hampir semua Negara diseluruh Dunia mempunyai undang-
undang yang mengatur tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech), di
Indonesia Pasal- Pasal yang mengatur tindakan tentang Ujaran Kebencian
(Hate Speech) terhadap seseorang, kelompok ataupun lembaga

16
berdasarkan Surat Edaran Kapolri No: SE/06/X/2015 terdapat di dalam
Pasal 156, Pasal 157, Pasal 310, Pasal 311, kemudian Pasal 27, Pasal 28
jis.Pasal 45 ayat (2) UU No 11 tahun 2008 tentang informasi & transaksi
elektronik dan Pasal 16 UU No 40 Tahun 2008 tentang penghapusan
diskriminisasi ras dan etnis.
Selama ini, Ujaran Kebencian (Hate Speech) berdampak pada
pelanggaran HAM ringan hingga berat. Selalu awalnya hanya kata-kata,
baik di media sosial, maupun lewat selebaran, tapi efeknya mampu
menggerakan massa hingga memicu konflik dan pertumpahan darah. Oleh
sebab itu maka di perlukan adanya suatu tindakan dari para aparat dan
penegak hukum khususnya Kepolisian untuk mencegah dan melakukan
tindakan preventif maupun represif dalam menangani kasus Ujaran
Kebencian (Hate Speech) ini. Apabila tidak ditangani dengan efektif
efisien dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan
berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas, dan berpotensi
menimbulkan tindak diskriminasi, kekerasan dan atau penghilangan
nyawa.

B. Permasalahan
Pasal 28 ayat (2) UU ITE merupakan salah satu peraturan dalam hukum
positif Indonesia yang dipergunakan untuk membatasi perbuatan-perbuatan
yang melanggar di media sosial terkait dengan rasa kebencian dan juga unsur
suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Pasal 28 ayat (2) UU ITE
berbunyi, 'setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi
yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA)'. Terkait pemahaman dari kebencian itu sendiri, dalam
pasal tersebut tidak ada pemahaman yang cukup jelas. Oleh karena itu, terkait
dengan hal tersebut, dalam Pasal 156 KUHP lebih mengarah ke perbuatan yang
menyatakan permusuhan (vijanschap) yaitu, perbuatan yang menyatakan
dengan ucapan yang isinya dipandang oleh umum sebagai memusuhi suatu

17
golongan penduduk Indonesia. Perbuatan menyatakan kebencian (haat) adalah
berupa perbuatan menyatakan dengan ucapan yang isinya dipandang atau
dinilai oleh masyarakat umum sebagai membenci terhadap suatu golongan
penduduk Indonesia. Perbuatan yang isinya dipandang oleh umum menyatakan
ucapan yang menghina, merendahkan, melecehkan terhadap suatu golongan
penduduk Indonesia.
Pada faktanya, adanya sebuah kasus yang dianggap telah melanggar
ketentuan dari pasal tersebut yaitu kasus penyebaran video editan di media
sosial Facebook oleh Buni Yani. Buni Yani dianggap telah melakukan
penyebaran rasa kebencian di media sosial. Melalui akun media sosialnya,
Buni Yani menyebarkan sebuah video yang isinya tentang pidato Ahok di
Kepulauan Seribu yang pada pidatonya, Ahok mengucapkan Surat Al-Maidah
51. Akibat dari penyebaran video tersebut, sebagian umat muslim menganggap
bahwa agamanya telah di nodai oleh Ahok yang pada faktanya terjadi demo
yang menuntut Ahok untuk dipenjara atas dugaan penodaan agama.
Dampak dari perbuatan penyebaran video tersebut, Buni Yani dianggap
telah melakukan penyebaran rasa kebencian di media sosial yang
menyebabkan dirinya dikenai pelanggaran Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, Buni Yani telah melakukan penyebaran
rasa kebencian di media sosial yang mengandung unsur SARA. Terkait dengan
hal tersebut, keterangan dari Buni Yani sendiri mengatakan bahwa tujuan dari
menyebarkan video tersebut adalah untuk mengajak para pengguna media
sosial lainnya berdiskusi, bukan untuk menyebarkan rasa kebencian yang
mengandung unsur SARA.

Oleh karena berdasarkan keterangan dari Buni Yani tersebut,


menimbulkan adanya pemahaman yang multitafsir terkait ketentuan Pasal 28
ayat (2) UU ITE tersebut terhadap penggunaanya pada kasus Buni Yani yang
dapat dikatakan mampu bertentangan dengan hak kebebasan berpendapat dan
berekspresi di media sosial.
Ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE pada faktanya masih memerlukan

18
penjelasan terkait maksud dari rasa kebencian tersebut dan juga terkait dengan
perbuatan-perbuatan yang di anggap melanggar ketentuan pasal tersebut. Hal
tersebut berguna untuk mencegah adanya pelanggaran terkait hak kebebasan
berpendapat di media sosial dan juga untuk tidak menimbulkan kesan
multitafsir atau norma kabur terhadapan ketentuan pasal tersebut di masa yang
akan datang. Hal tersebut berdasarkan fakta yang terjadi banyaknya perbuatan-
perbuatan yang belum tentu dapat dianggap melanggar peraturan perundang-
undangan. Selain itu juga perlunya batasan-batasan terkait perbuatan di media
sosial. Hal ini karena setiap perbuatan di media sosial, memungkinkan untuk
memberikan pengaruh bagi opini publik yang berkembang di masyarakat.
Salah satu kasus yang pernah terjadi yang dapat dikatakan merupakan suatu
pelanggaran hak kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah kasus Prita
Mulyasari terhadap Rumah Sakit Omni Internasional.

19
BAB III
PEMBAHASAN

A. Analisis Kasus UU ITE Buni Yani


1. Kronologi Kasus
Kasus yang penulis teliti ini merupakan kasus yang dilakukan
oleh Buniyani pada tanggal 6 Oktober 2016 silam Buni Yani
mengunggah cuplikan video pernyataan Ahok saat bertugas selaku
Gubernur DKI Jakarta di Kepulauan Seribu. Dalam video itu Ahok menyitir
surat Al Maidah ayat 51. Pada tanggal 7 oktober LSM yang berasal dari
kelompok relawan kotak Adja (Komunitas Muda Ahok Djarot) melaporkan
Buni Yani ke Polda Metro Jaya terkait dengan postingan video yang
menampilkan pernyataan Ahok yang menjadi sangat viral di media sosial
itu sempat untuk tidak ditayangkan secara utuh dan berpotensi
memprovoksi masyarakat. Namun Buni Yani melaporkan balik Komunitas
Advokat pendukung Ahok-Djarot ( Kotak Adja ). Buni merasa tidak pernah
mengedit video Ahok terkait dugaan Penistaan Agama karena merasa
difitnah dan dihalang-halangi dalam hal kebebasan berpendapat. Video
yang diunggah Buni Yani ini menjadikan ratusan orang melakukan aksi
demonstrasi agar Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ditangkap.
Setelah video ahok diunggah polisi mendapatkan setidaknya ada 11 laporan
yang masuk terkait kasus dugaan penistaan agama dengan terlapor ahok dari
11 laporan itu ada yang dilaporkan di Palu, Palembang, Mapolda Metro
Jaya dan juga Bareskrim Polri. Pada tanggal 4 November masyarakat
berkumpul di area monas yang merupakan aksi bela islam agar proses
hukum terhadap ahok dijalankan. Pada tanggal 23 november BuniYani
memenuhi panggilan polisi untuk pertama kalinya dimintai keterangan dan
setelah 8 jam diperiksa oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda
Metro Jaya menetapkan Buni Yani, pengunggah video pidato Ahok di
Kepulauan Seribu, sebagai tersangka atas kasus penghasutan berbau SARA.
Hal ini disampaikan oleh Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Awi

20
Setiyono yang mengatakan, bukti yang dimiliki polisi sudah cukup untuk
menaikkan status Buni Yani dari sebelumnya saksi terlapor menjadi
tersangka.

2. Media Sosial Sebagai


3. Pengaturan Rasa Kebencian sesuai dengan Ketentuan Hukum Positif di
Indonesia
Pengaturan terkait rasa kebencian dalam hukum positif di Indonesia
diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Diantaranya yaitu,
Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 20 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Pasal 16 juncto Pasal 1
angka 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis, Pasal 28 juncto 45 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan ada juga
peraturan-peraturan lainnya yang terkait.
Pemahaman terkait rasa kebencian dalam Pasal 156 KUHP6,
disebutkan bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan ucapan yang berisi
kata-kata atau kalimat tertentu. Oleh karena dinyatakan dengan ucapan,
maka disebut menyatakan perasaan dengan lisan. Isinya pernyataan
perasaan tersebut dinyatakan dalam tiga macam yaitu pernyataan mengenai
permusuhan, kebencian, dan penghinaan terhadap golongan penduduk
Indonesia.
Kriteria suatu ucapan agar dapat dipandang oleh umum sebagai
pernyataan permusuhan, kebencian, atau menghina terhadap suatu atau
beberapa golongan penduduk Indonesia yang dapat dijadikan pegangan
adalah pada nilai-nilai moral, tata susila dan kepatutan dalam pergaulan
hidup bermasyarakat sebagai suatu bangsa yaitu bangsa Indonesia.
Pemahaman terkait rasa kebencian dalam Pasal 28 ayat (2) UU
ITE tidak ada penjelasan lebih lanjut. Hal ini yang menimbulkan adanya

21
pemahaman yang multitafsir dan banyaknya pandangan dan pendapat dari
banyak pihak terkait dengan kebencian yang dimaksud dan juga ketentuan
pasal tersebut. Pendapat pertama, mengatakan merupakan suatu tindak
pidana formil. Selesainya tindak pidana terletak pada selesainya perbuatan.
Alasannya dalam rumusan pasal, tidak secara tegas melarang menimbulkan
akibat tertentu. Hal tersebut terletak pada frasa "ditujukan untuk" dalam
rumusan pasal tersebut, yang bisa diartikan bahwa perbuatan menyebarkan
informasi ditujukan agar timbul rasa kebencian. Berdasarkan penjelasan
tersebut, membutuhkan pembuktian, bahwa perbuatan menyebarkan
tersebut bertujuan untuk menimbulkan rasa benci. Caranya dengan
melogikan wujud dari perbuatan tersebut menurut sifat dan keadaannya
dapat menimbulkan kebencian antar golongan dan sebagainya yang
disadari dan dikehendaki si pembuat.
Pendapat kedua, perbuatan tersebut termasuk tindak pidana materiil.
Tindak pidana selesai sempurna jika akibat adanya rasa kebencian atau
permusuhan antar kelompok masyarakat telah timbul. Alasan pendapat
kedua adalah dalam hubungannya dengan pembuktian. Perasaan
permusuhan dan kebencian, hanya ada dalam hati. Tidak bisa diketahui dan
dibuktikan sebelum ada wujud nyata dari tindakan yang menggambarkan
rasa ketidak senangan atau permusuhan tersebut. Dalam hal ini, jika
perbuatan telah terwujud sementara akibat tidak timbul, kejadian itu
termasuk percobaan, pelakunya sudah dapat dipidana.
Berdasarkan penjelasan tersebut, terkait ketentuan Pasal 28 ayat (2)
UU ITE masih menimbulkan pemahaman yang multitafsir. Namun pada
faktanya, ketentuan dari pasal tersebut telah dipergunakan dalam
menyelesaikan banyak kasus yang melanggar isi pasal tersebut diantaranya
yaitu, kasus Sandy Hartono, Alexander Aan, Muhamad Rokhisun. Ketiga
kasus tersebut, memiliki latarbelakang yang berbeda-beda dan sudah
mendapatkan putusan akhir.
Pada pelaksanaan penggunaan pasal tersebut di lingkungan
peradilan, para penegak hukum terkhusus hakim, harus menggunakan

22
penafsiran hukum untuk memberikan pemahaman bahwa suatu perbuatan
telah melanggar pasal tersebut. Penafsiran itu sendiri, menurut Profesor
Mr. D. Simons, syarat pokok untuk melakukan penafsiran terhadap suatu
peraturan perundang-undangan adalah bahwa peraturan tersebut itu harus
ditafsirkan berdasarkan peraturan perundang-undangan itu sendiri. Dalam
menguraikan penafsiran tersebut, tidak boleh mencari bahan-bahan di luar
peraturan tersebut. Pada faktanya, meskipun suatu peraturan perundang-
undangan itu telah dibentuk dengan mempergunakan kata-kata dan istilah
yang tegas, akan tetapi masih ada kemungkinan untuk memberikan
penafsiran, bahkan dapat menimbulkan keraguan.
Berdasarkan dari ketiga kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa
perbuatan yang dapat dikategorikan telah melanggar ketentuan Pasal 28
ayat (2) UU ITE yaitu, 1) adanya pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh
perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang berkaitan dengan unsur
SARA, 2) Perbuatan tersebut memuat gambar-gambar tentang orang-orang
yang disucikan dalam suatu agama yang bertentangan dengan gambar
aslinya, 3) Membuat tulisan yang menjelek-jelekan isi dari kitab suci suatu
agama yang berbeda dengan ajaran agama tersebut atau, 4)
Menyebarluaskan hal-hal yang bersifat pribadi yang bertentangan atau
melanggar norma-norma kesopanan dan kesusilaan, 5) Perbuatan yang
dilakukan mengandung unsur SARA dan dilakukan di media sosial.
Terkait dengan perbuatan yang melanggar ketentuan Pasal 28 ayat
(2) UU ITE belakangan ini yang sedang terjadi dan masih dalam proses
peradilan yaitu kasus Buni Yani. Buni Yani dianggap telah melakukan
penyebaran rasa kebencian di media sosial Facebook dengan menyebarkan
video pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang menyebutkan Surat Al-
Maidah 51. Berdasarkan keterangan dari saksi ahli bahwa perbuatan Buni
Yani telah memenuhi unsur-unsur dari ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE
tersebut. Hal tersebut berdasarkan keterangan tambahan pada caption
video tersebut sebelum disebar. Namun berdasarkan penjelasan dari pelaku
sendiri tidak bertujuan untuk menimbulkan rasa kebencian, dan hanya untuk

23
mengajak para pengguna media sosial untuk berdiskusi. Hal tersebut
menimbulkan pemahaman bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi
manusia terkait dengan kebebasan berpendapat dan berekspresi di media
sosial. Berdasarkan penjelasan tersebut menyebabkan norma kabur
sehingga diperlukannya pembaharuan terkait pasal tersebut.

B. Pengaturan Ketentuan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE di Masa yang Akan


Datang
Ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE, pada masa sekarang telah
dipergunakan dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat.
Namun yang terkait dengan penggunaannya, menimbulkan permasalahan
tersendiri di masyarakat. Hal ini terbukti dengan banyaknya perbuatan yang
mengandung unsur SARA dan juga kebencian di media sosial namun tidak bisa
ditindak. Selain itu, banyaknya perbuatan yang sebenarnya tidak melanggar
ketentuan pasal tersebut, dianggap telah melanggar pasal tersebut. Hal ini
menyebabkan banyaknya pihak-pihak yang melakukan aksi saling lapor ke
pihak kepolisian terkait perbuatan-perbuatan tersebut yang menyebabkan pihak
kepolisian sendiri kesusahan.
Ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE pada masa ini dianggap
menyebabkan adanya pembatasan yang tidak jelas terkait dengan hak
kebebasan berpendapat dan berekspresi di media sosial. Hal tersebut melihat
banyaknya perbuatan-perbuatan yang dianggap telah melanggar ketentuan pasal
tersebut. Oleh karena itu, di masa yang akan datang diharapkan bahwa
penggunaan pasal tersebut dalam kehidupan bermasyrakat lebih diperjelas
batasan- batasannya.
Pasal 28 ayat (2) UU ITE terbaru, masih menimbulkan pemahaman
yang multitafsir terkait maksud dari ketentuan pasal tersebut. Hal tersbut
berkaitan dengan tidak adanya penjelasan lebih lanjut terkait hal-hal yang masih
membutuhkan penjelasan sepertinya rasa kebencian yang dimaksud, bentuk
penyebaran informasi dan hal lainnya. Adanya perbedaan pendapat terkait
dengan perbuatan yang dapat dikatakan telah melanggar ketentuan pasal

24
tersebut. Hal tersebut terkait dengan tindak pidana formil dan materiil dari yang
perbuatan dimaksudkan oleh pasal tersebut. Tindak pidana formil jika dikaitkan
dengan pasal tersebut, tidak secara tegas melarang menimbulkan akibat tertentu
dari perbuatan tersebut. Selain itu, perbuatan tersebut memerlukan pembuktian
bahwa perbuatan tersebut bertujuan untuk menimbulkan rasa kebencian, dan
untuk tindak pidana materiil jika dikaitkan dengan pasal tersebut, berkaitan
dengan pembuktian itu sendiri. Perbuatan tersebut telah menimbulkan akibat
yang wujudnya nyata, karena terkait dengan rasa kebencian dan lainnya
merupakan sesuatu hal yang hanya ada dalam diri manusia.
Terkait dengan ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE di masa yang akan
datang, diharapkan mampu memenuhi dan sesuai dengan harapan dari
masyarakat. Hal tersebut agar masyarakat mengetahui batasan-batasan dalam
menggunakan media sosial dan agar masyarakat mengetahui perbuatan-
perbuatan yang dapat dianggap telah melanggar peraturan. Diperlukannya juga
pemberian pemahaman dan pengertian terkait rasa kebencian dan unsur-unsur
SARA.
Usulan-usulan lainnya terkait UU ITE dan juga Pasal 28 ayat (2) yaitu,
perlunya dibuat bab khusus untuk perbuatan-perbuatan yang mengandung
pelanggaran unsur SARA di media sosial. Kedepannya akan lebih baik dalam
pembaharuan di masa yang akan datang menggunakan Surat Edaran Kepolisian
terkait rasa kebencian. Dalam surat edaran tersebut, diberikan pemahaman
terkait bentuk-bentuk ujaran kebencian yang berasal dari KUHP dan juga
aturan-aturan lainnya di luar KUHP. Adapun bentuk- bentuknya yaitu, a)
Penghinaan, b) Pencemaran nama baik, c) Penistaan, d) Perbuatan tidak
menyenangkan, e) Memprovokasi, f) Menghasut, g) Menyebarkan berita
bohong. Semua perbuatan tersebut berkemungkinan menimbulkan
diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan juga konflik sosial. Ada juga
dalam surat edaran tersebut media yang dapat dimungkinkan dipergunakan
untuk melakukan ujaran kebencian yaitu, 1) Dalam orasi kegiatan kampanya,
2) Spanduk atau banner, 3) Jejaring media sosial, 4) Penyampaian pendapat di
media sosial, 5) Ceramah keagamaan, 6) Media massa atau cetak atau

25
elektronik, 7) Pamflet.

C. Upaya Penanggulangan kejahatan Ujaran Kebencian (Hate Speech) dalam


media sosial.
1. Upaya penal
Upaya penanggulangan kejahatan melalui penerapan hukum pidana ini
adalah upaya dalam penanggulangan kejahatan yang lebih menitikberatkan
pada sifat pemberantasan sesudah kejahatan itu terjadi.
a. Tindakan Penyelidikan
Tindakan penyelidikan merupakan tahap awal yang harus dilakukan
oleh penyelidik dalam melakukan penyelidikan tindak pidana dan juga
merupakan tahap tersulit dalam proses penyelidikan, karena dalam tahap ini
penyelidik harus dapat membuktikan tindak pidana yang terjadi faktor
apasaja dari tindak pidana tersebut dan bagaimana upaya
menanggulanginya.
Menurut Willson Buana dalam penyelidikan kasus ujaran kebencian
(hate speech) berupa penghinaan yang dilakukan melalui media sosial,
banyak mengalami kendala dan kesulitan, dikarenakan pelaku kejahatan
tersebut bisa melakukan aksinya kapan saja tanpa sepengetahuan orang lain
dan menggunakan akun palsu. sebab kasus yang berhubungan dengan
kejahatan dunia maya penanganannya berbeda dengan kasus tindak pidana
biasa atau konvensional.
b. Melakukan Penegakan Tuntas Terhadap Pelaku
Dalam hal kasus ujaran kebencian yang dilakukan melalui media
sosial ia melanggar Pasal 28 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ketentuan dalam
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai ketentuan
khusus (lex specialis) dan mendahulukan ketentuan umum tentang tindak
pidana pemerasan dalam KURP (lexgenerali).Ral ini sebagaimana
ketentuan dalam Ketentuan Umum KURP pada Pasal 63 Ayat 2 yang
menyebutkan bahwa "Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan

26
pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana khusus, maka yang
khusus itulah yang diterapkan".
Pasal 28 Ayat (2),menyebutkan setiap orang dengan sengaja dan
tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu danlatau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Pasal 45
Ayat (2) menyebutkan setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan (2) dipidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00,- (satu
miliar rupiah).
c. Tindakan Represif dengan Cara Penal
Artinya tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum
sesudah terjadi kejahatan atau tindak pidana lain dengan cara menegakkan
hukum sesuai Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 atas perubahan dari
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik untuk mengupayakan pengendalian diri terhadap masing-
masing individu serta melakukan regulasi seperti undang-undang ataupun
peraturan pemerintah aturan yang mengenai dalam penggunaan handphone
aturan jam,tipe hand phone yang digunakan, banyaknya handphone yang
harus dimiliki danusia yang dapat atau dibolehkan menggunakan
handphone.

2. Upaya Non Penal


Penanggulangan perilaku kejahatan pemerasan dan pengancaman
melalui media elektronik digunakan upaya Non Penal yang merupakan upaya
yang bersifat preventif, yaitu pencegahan atau penangkalan perilaku
penyembuhan.Terdapat upaya yang dilakukan dengan langkah-langkah internal
dan eksternal.
a. Mengupayakan melakuka pencegahan dengan memberikan pendidikan
mengenai cara pemakaian alat komunikasi yang bijakdimana yang dimulai
dari keluarga sampai masyarakat luas, pihak kepolisian mengedepankan

27
fungsi teknis bagian Reskrimsus yang khusus menangani kasus ujaran
kebencian berupa penghinaan yang dilakukan melalui media sosial yaitu
dengan melaksanakan kegiatan pengaturan, penjagaan, dan patroli khusus di
lokasi yang diduga sering terjadi kasus tersebut. Sosialisasi Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Penjelasannya wajib dilakukan oleh aparat kepolisian, karena kurang
pahamnya masyarakat tentang isi dari UU ITE membuat penting kiranya
pemerintah melakukan kampanye tentang aturan ini.
Sebagai contoh, perumusan Pasal 27 UU ITE dalam penerapannya dapat
menimbulkanmultitafsir dan mengakibatkan hak asasi seseorang dilanggar,
yaitu dalam hal terjadinya kesalahpamahaman dari aparat penegak hukum
yang memandang bahwa tindak pidana dalam UU ITE sebagai lex
specialis.Bahwa tindak pidana dalam UU ITE adalah tindak pidana khusus
dan semua tindak pidana di luar KURP adalah tindak pidana khusus.
b. Menyebarluaskan kasus ujaran kebencian melalui media sosial di seluruh
media sosial Polda Lampung agar masyarakat dapat waspada dan tidak
melakukan hal tersebut.
c. Dari internal atau individu itu sendiri dengan cara meningkatkan
pembinaan agama untuk menjadi pencegah seseorang berbuat menyimpang
dari norma agama. Agama memiliki peran yang sangat besar dalam
kehidupan manusia, Karena di dalamnya memiliki suatu sistem norma
tersendiri yang senantiasa mengajarkan penganutnya untuk melakukan
kebajikan dan menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan terlarang serta
peran dari keluarga dan lingkungan sangat berperan penting untuk
mengontrol perilaku sosial yang ada dan berkembang di masyarakat.
Keluarga merupakan kelompok sosial terkecil dalam masyarakat tetapi
memiliki pengaruh yang besar terhadap lingkungan. Keluarga yang
menanamkan nilai- nilai moral kepada setiap anggotanya membuat perilaku
mereka terhindar dari pengaruh negatif pergaulan di luar rumah.
Upaya penanggulangan terjadinya kejahtan ujaran kebencian (hate speech)
dalam media sosial yaitu terdiri dari upaya penal dan non penal. Dimana

28
upaya penal terdiri dari pemberian sanksi kepada pelaku dengan
memberikan hukuman penjara sesuai dengan apa yang telah ditetapkan
dalam UU ITE untuk memberikan efek jera. Sedangkan upaya non penal
yaitu dengan memberikan penyuluhan ataupun sosialisasi kepada
masyarakat luas mengenai informasi dampak media elektronik jika tidak
digunakan dengan bijak, etika menggunakan media sosial dengan
memberikan pengetahuan hukum mengenai UU ITE.

29
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengaturan tentang rasa kebencian diatur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan dalam hukum positif, secara khusus diatur dalam Pasal 28
ayat (2) Undang - Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun
2008. Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang mengatur secara khusus terkait rasa
kebencian masih menimbulkan pemahaman yang multitafsir atau norma kabur.
Hal tersebut melihat kenyataan yang ada di masyarakat bahwa dalam
menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan kebencian di media sosial masih
sulit untuk diatasi.
Pengaturan tentang rasa kebencian pada amandemen UU ITE terbaru
yaitu Undang - Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 19 Tahun
2016 tentang Perubahan Atas Undang - Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik Nomor 11 Tahun 2008. Dalam UU ITE terbaru tidak ada perubahan
terbaru terkait dengan rasa kebencian yang menyebabkan tetap adanya
pemahaman yang multitafsir karena dalam UU ITE terbaru tersebut lebih
berfokus kepada sanksi dan perubahan pasal lainnya diluar Pasal 28 ayat (2).

30
DAFTAR PUSTAKA

1. BUKU

Chazawi, Adami, 2016, Hukum Pidana Positi] Penghinaan, Media Nusa


Creative, Malang.

Chazawi, Adami dan Ardi Ferdian, 2011, Tindak Pidana In]ormasi & Transaksi
Elektronik Penyerangan Terhadap Kepentingan Hukum Pemanfaatan
Teknologi Informasi dan TransaksiElektronik, Bayumedia Publishing,
Malang.

Kasim, Ifdhal, 2001, Hak Sipil dan Politik, Esai-Esai Pilihan, ELSAM, Jakarta.

Lamintang, P.A.F. dan C. Djisman Samosir, Delik-delik Khusus Kejahatan Yang


Ditujukan Terhadap Hak Milik dan lain-lain Hak Yang Timbul Dari Hak
Milik, Bandung: TARSITO Bandung.

Moeljatno, 2012, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Tim Pusat Humas Kementerian Perdagangan RI, 2014, Panduan Optimalisasi


Media Sosial Untuk Kementerian Perdagangan RI, Cetakan I, Kementerian
Perdagangan RI, Jakarta Pusat.

2. JURNAL

Watie, Errika Dwi Setya, Jurnal : Komunikasi dan Media Sosial (Communications
and Social Media), Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Semarang

3. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi


Elektronik.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Kitab
Undang-undang Hukum Pidana.

31
4. I NTERNET

Rivki, Herianto Batubara, Jumat 4 November 2016 "Petisi Proses Hukum Buni
Yani Muncul, Diteken Lebih dari 50 Ribu Orang", URL:
http://news.detik.com/berita/d-3337863/petisi-proses- hukum-buni-yani-
muncul-diteken-lebih-dari-50-ribu-orang, diakses tanggal 4 Maret 2019

32

Anda mungkin juga menyukai