Anda di halaman 1dari 33

TUGAS TAMBAHAN KREATIVITAS

DAN INOVASI

Disusun Oleh :

Limerda Fransiska Tarihoran (150907078)

ILMU ADMNISTRASI BISNIS


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
BAB I

Industri Kreatif, Akhir Ekonomi Dunia

"The success and failure of each country will be decided by the cultural industries in the Zist century. The

final battleground is the cultural industry.” Peter Drucker

Perubahan dan pergeseran zaman memang tak bisa dielakkan oleh siapa pun. Mereka yang enggan

mengikutinya dipastikan akan tertinggal dan tersisihkan dari persaingan. Dan, tuntutan ini pun berlaku

bagi tren bisnis hingga sistem perekonomian di muka bumi ini. Para pelaku bisnis perlu terus

menyesuaikan cara mereka menjalankan bisnisnya.

Seiring derasnya arus globalisasi dan merebaknya teknologi |nternet, para pelaku bisnis tak bisa lagi

hanya mengandalkan produk, tapi juga dituntut memiliki imajinasi, wawasan, dan kreativitas. Aspek-

aspek tersebut perlu diasah karena kompetisi bisnis saat ini tak hanya terjadi pada standar layanan, bahan

baku, maupun branding, tapi juga adu ide. Dunia internet yang menjadi konektor bagi siapa pun, di mana

pun, dan kapan pun mengakibatkan batasan antara satu insan manusia dan lainnya runtuh. Ide, inovasi

dan perbaikan dari produk serta layanan pun menjadi harga mati.

Wait Whitman Rostow dalam buku the Stages of Economic Growth yang terbit pada tahun 1960

mengatakan, tahapan pembangunan ekonomi umumnya berangkat dari masyarakat petani (agraria)

dengan budaya yang tradisional dan bergerak ke arah masyarakat yang rasional, industrialis, dan fokus

pada pelayanan.

Pada saat pendorong ekonomi telah menjadi lebih modern, konsumsi yang dilakukan masyarakat tidak

hanya untuk memenuhi kebutuhan, tapi juga memuaskan keinginan. Bila dahulu orang makan hanya

untuk bertahan hidup, saat ini aktivitas makan berkembang lebih jauh di mana orang-orang mulai

memperhatikan nama restoran, lokasi, hingga panorama yang disajikan. Demikian pula yang terjadi
dengan orientasi bisnis. Di samping mengejar keuntungan, sebuah badan usaha kini mengalihkan

orientasinya pada kesejahteraan sosial serta pembangunan masyarakat yang berkesinambungan. Mereka

menciptakan produk yang bisa mempermudah kehidupan banyak orang dan bahkan tanpa memungut

biaya bagi penggunanya. Contoh mudah yang bisa kita temui adalah produk Google Translate yang

menjembatani komunikasi ribuan bahkan jutaan manusia di muka bumi. Fasilitas penerjemahan tersebut

adalah free of charge, tapi di lain pihak, seperti kita ketahui Google adalah salah satu perusahaan dengan

valuasi tertinggi di dunia. Dengan kata lain, semakin gratis semakin menguntungkan.

Berkaitan dengan transformasi tersebut, pada tahun 2005 Daniel H. Pink menulis sebuah buku berjudul A

Whole New Mind yang memperkenalkan istilah the ConceptuaI Age. Menurutnya pembangunan ekonomi

dunia diawali dengan pertumbuhan sektor pertanian. Tahap tersebut selanjutnya diikuti oleh era industri,

serta era informasi. Yang terbaru adalah era konseptual, di mana ide, inovasi, serta kreatifitas menjadi

sangat berperan. Era konseptual ditandai oleh peningkatan kemakmuran (affluence), teknologi

(technology), serta globalisasi (globalization) atau yang lebih dikenal dengan ATG. Hal ini menunjukkan

adanya hubungan positif antara perkembangan ekonomi dunia dengan peningkatan ATG sebagaimana

dijelaskan pada teori modern klasik.

Tahapan-tahapan tersebut digambarkan Pink dalam gambar di bawah ini.


Pada abad ke-18 yang menjadi era pertanian, tingkat ATG yang dicapai masih amat rendah. Nilai yang

rendah tersebut merupakan gambaran dari banyaknya produk pertanian yang masih bersifat lokal atau

regional dengan penggunaan teknologi seadanya. Bisa ditebak, tingkat kemakmuran masyarakat pun

masih sangat terbatas.

Beranjak satu abad setelahnya, abad ke-19 adalah babak dimulainya industrialisasi. Salah satu ikon masa

itu adalah ditemukannya mesin uap pada tahun 1876. inovasi tersebut menciptakan revolusi sistem

pembuatan barang yang menjadi lebih cepat dan massal. Tingkat ATG di era industrialisasi menjadi lebih

tinggi dari era sebelumnya berkat dukungan teknologi. Kemampuan memasarkan barang-barang pun

menjadi lebih luas karena mesin uap mulai digunakan pada kapal-kapal laut.

Pada abad ke-20, dunia memasuki era informasi. Pada masa ini mulai diciptakan microprocessor untuk

perangkat komputer yang berperan penting mendorong terjadinya pertukaran data dan informasi

melaluijaringan Internet. Hasilnya, ruang dan waktu untuk akses informasi semakin tidak terbatas. Makin

terbukanya peluang dalam mengakses data informasi mendorong pertumbuhan ekonomi dengan lebih

cepat. Sebagai ilustrasi, laporan manufaktur di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sejak Januari 1972

hingga Agustus 2010, era informasi berhasil meningkatkan nilai industri manufaktur sebesar 270%.

Komputerisasi dan otomatisasi membuat operasional perusahaan menjadi lebih efisien, termasukjuga

proses administrasi internal.

Sementara itu, abad ke-21 menjadi era konseptual. lde baru untuk membuat manusia lebih sejahtera

menjadi tumpuan utama dalam perkembangan ekonomi dunia. Inovasi berbagai penemuan dan kreativitas

menjadi modal utama dalam meningkatkan daya saing dan peluang memimpin.

Pada era konseptual, kreativitas dan ide memiliki peran sangat penting dalam menciptakan daya saing

serta peningkatan kontribusi terhadap ekonomi. Bayangkan, bila pada era industrialisasi (labor intensive)

dibutuhkan 10.000 orang untuk menggerakkan satu industri, maka pada era konseptual peran tersebut bisa
dilakukan oleh satu orang saja. Salah satu contoh adalah peran yang dilakukan Steve Jobs, pendiri Apple,

yang dengan inovasi dan kreativitasnya membuat industri konten dan aplikasi begitu semarak. Industri

yang berbasis konseptual dan kreativitas inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan industri kreatif.

Sebenarnya, industri kreatif sudah ada sejak era pertanian, industri, maupun informasi. Sayangnya, pada

masa itu tingkat kebutuhan dan interaksi sosial manusia belum begitu interis seperti sekarang. Kondisi

tersebut membuat ekonomi kreatif belum menjadi pusat perhatian atau fokus dalam pengembangan

industri yang diyakini dapat berkontribusi secara positif terhadap perekonomian suatu bangsa. Hal ini

senada dengan ungkapan Peter Drucker yang mengatakan ”T he success and failure of each country will

be decided by the cultural industries in the 215t century. The final battleground is the cultural industry.”

Peran penting industri kreatif terhadap pembangunan ekonomi sebuah negara memang tak bisa disangkal.

Setidaknya, hal ini dikuatkan oleh laporan Department for Culture Media & Sport United Kingdom pada

awal tahun 2014 yang berjudul Creative Industries Economic Estimates. Laporan tersebut mengukur

kontribusi langsung industri kreatif terhadap tiga aspek ekonomi di Inggris, yaitu ketersediaan lapangan

kerja, gross value added (GVA), serta eksporjasa-jasa.

Pada periode 2011-2012, industri kreatif menyumbang 1,68 juta lapangan kerja di Inggris atau setara

5,6% dari keseluruhan lapangan pekerjaan. Bahkan, pada periode tersebut pertumbuhan industri kreatif

naik 8,6% atau lebih tinggi ketimbang ekonomi Inggris keseluruhan yang hanya mencapai 0,7%.

Di sisi lain, pada tahun 2012 gross value added (GVA) industri kreatif Inggris terhitung mencapai £ 71,4

miliar (5,2% dari ekonomi). Dengan hitungan kurs Rp 19.500 per poundsterling, maka angka itu setara

Rp 1.392 triliun. Sejak tahun 2008, pertumbuhan GVA industri kreatif lebih tinggi tiga kali lipat (15,6%)

dari GVA ekonomi Inggris yang baru menyentuh angka S,4%. Ditambah dengan kinerja eksporjasa-jasa

yang bernilai £ 15,5 miliar pada 2011 (8% dari total ekspor), terlihat jelas peran signifikan yang

dimainkan sektor industri kreatif dalam pembangunan ekonomi di Inggris.


Studi lain terkait peran industri kreatif terhadap ekonomi juga dilakukan oleh the Organization of

American States (OAS), the InterAmerican Development Bank (IDB), dan British Council. Kerja sama

ketiganya menghasilkan sebuah laporan yang cukup menarik. Menurut study berjudul The Economic

Impact of the Creative Industries in the Americas yang dirilis Januari 2014 itu, ekspor barang dan jasa

kreatif dunia mencapai sekitar US$ 640 miliar atau setara Rp 7.680 triliun (kurs Rp 12.000 per dollar AS).

Dari angka tersebut, sebanyak US$ 87 miliar (14%) berasal dari Amerika.

Bila dilihat dari kontribusi sektor kreatif terhadap produk domestik bruto (PDB), persentase dari suatu

negara ke negara lain bisa cukup bervariasi. Bila di Chili hanya berkisar di bawah 2%, kontribusi sektor

kreatif di Brazil dan Amerika Serikat bisa mencapai lebih dari 10%. Meski demikian, rata-rata

pertumbuhan sektor industri kreatif secara konsisten melaju lebih tinggi dari ekonomi secara keseluruhan.

Mirip dengan yang terjadi di Inggris, studi tersebut juga menunjukkan betapa signihkannya penyerapan

tenaga kerja oleh industri kreatif, yaitu antara 5% hingga 11% dari total lapangan pekerjaan di Kanada,

Kolombia, Meksiko, dan Trinidad. Sektor kreatif juga disebut sebagai sektor yang paling besar menyerap

tenaga kerja muda dibandingkan sektor-sektor lainnya.

Studi lain yang dilakukan World Intellectual Property Organization (WIPO) pada tahun 2013 juga

menunjukkan hasil yang tak jauh berbeda. Penelitian ini menganalisis kontribusi ekonomi dari industri

dengan hak cipta (copyright industries) terhadap PDB per kapita dan penyerapan tenaga kerja. Simak

hasilnya berikut ini.


Grafik di atas menunjukkan bahwa negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang baik mendapatkan

dukungan kuat dari copyright industries. Tidak hanya AS, negara tetangga seperti Singapura, Malaysia,

dan Filipina juga mendapat dukungan dari sektor ini. Sementara itu, Indonesia berada di bawah Afrika

Selatan dan tertinggal beberapa posisi dari Thailand.

Di samping memberikan kontribusi terhadap PDB, copyright industries juga memi|iki kontribusi yang

besar terhadap penyerapan tenaga kerja. Dalam hal ini, Filipina dan Meksiko menjadi dua negara dengan

penyerapan tenaga kerja paling besar mencapai sekitar 11%. Dari rata-rata kontribusi S,32%, Indonesia

masih berada cukup jauh di bawah. Lebih jelasnya, simak grafik berikut ini.

Mengenali Potensi Creative Cultural Industry

Salah satu contoh peran penting industri kreatif terhadap pembangunan ekonomi bisa dilihat pada Korea

Selatan. Negeri Ginseng ini sukses mengelola bisnis berbasis konten dengan baik sehingga tak hanya

menyerap tenaga kerja, tetapi juga mendatangkan devisa sekaligus membangun branding negaranya di

mata dunia. Korean Wave (Hallyu) atau yang akrab disebut Demam Korea pun terjadi di mana-mana.
Berdasarkan data Korea Creative Content Agency (KOCCA), pasar industri konten di Korea Selatan pada

tahun 2008 bernilai US$ 54,5 miliar. Meski pada tahun tersebut terjadi penurunan jumlah perusahaan

5,3% dari tahun sebelumnya, namun penjualan per perusahaan naik 37% menjadi US$ 439.000.

Pada tahun 2008, pasar permainan (games) Korea Selatan tumbuh 9% dari tahun sebelumnya. Sejak

empat tahun sebelumnya, pasar untuk kategori ini mencatatkan rata-rata pertumbuhan 24.7%. Ekspor

terbesar games dari Korea Selatan mengalir ke Jepang. Tiongkok, AS, Eropa, Taiwan, serta Asia

Tenggara.

Kinerja industri musik Korea Selatan pun tumbuh tak kalah tinggi. Nama-nama beken seperti Psy

"Gangnam Style", Wonder Girls, BIGBANG, Girls' Generation, dan Super Junior adalah artis-artis asal

Korsel yang sukses membawa K-Pop mendunia. Pada tahun 2008, hasil penjualan industri musik Korea

Selatan mencapai US$ 2 miliar atau Rp 24 triliun, terutama berkat dukungan regulasi Hak Kekayaan

Intelektual (HKI) yang semakin besar.

Di sisi lain, pertumbuhan pasar kartun di Korea Selatan banyak didorong oleh kartun-kartun bertema

pendidikan. Tidak jarang pula kartun-kartun yang telah populer diproduksi ulang sebagai serial TV, flim,

maupun games. Pada periode 2005-2008, rata-rata pertumbuhan pasar kartun Korea Selatan mencapai

18,4% per tahun.

Beranjak ke pasar animasi, sektor ini tumbuh makin mandiri di Korea Selatan. Dahulu, animasi Korea

Selatan masih menjadi subkontraktor dari perusahaan-perusahaan global. Namun, seiring masuknya dana

investasi, kontribusi animasi untuk perekonomian Korea Selatan menunjukkan peningkatan yang makin

berarti. Pada tahun 2008, pasar animasi tumbuh 30,1% mencapai USS 300 juta. KOCCA menyebutkan

diversifukasi negara tujuan ekspor dan joint projects sebagai dua faktor yang mendorong pertumbuhan di

sektor ini.

Bagian lain dari industri kreatif Korea Selatan yang kian menunjukkan taringnya adalah karakter. Dari

segi lisensi saja, karakter-karakter khas Korsel seperti Pororo dan Pucca bisa memberikan keuntungan
yang lumayan besar, terutama dari pasar Tiongkok. Belum lagi bila ditambah dengan produksi wholesale

dan juga retail. Sektor karakter berhasil menyumbang US$ 4,7 miliar, hampir menyamai capaian sektor

games.

Di bidang penyiaran, kinerja Korea Selatan pada tahun 2008 juga terbilang sukses. Meskipun penyiaran

terrestrial dan satelit menurun, cable broadcasting tumbuh hingga 15,696 mencapai US$ 2 miliar dan

mendorong penjualan keseluruhan sektor penyiaran Korea Selatan ke angka US$ 9,7 miliar.

Untuk mengetahui lebih rinci mengenai kinerja industri kreatif Korea Selatan pada tahun 2008, simak

tabel berikut ini. Pada tabel tersebut terlihat bahwa total jumlah perusahaan untuk seluruh industri kreatif

digital di Korea Selatan lebih dari 80.000. Kita bisa bandingkan dengan jumlah unit usaha kreatif digital

di Indonesia yang masih di kisaran ratusan unit bahkan umumnya mereka tidak berbadan usaha.

Berkaitan dengan industri kreatif, fenomena Korean Wave memang menarik untuk dikaji. Pasalnya,

demam Korea yang melanda berbagai penjuru dunia tidak hanya dihasilkan oleh kreativitas para seniman,

tetapi juga berkat dukungan teknologi informasi dan komunikasi digital.

Hal ini sejalan dengan apa yang diutarakan Dal Yong Jin, Associate Professor of Communications Simon

Fraser University, dalam sebuah konferensi bertajuk Hallyu 2.0: The Korean Wave in the Age of Social
Media. Menurutnya, keberhasilan Korean Wave berbasis industri kreatif sangat terbantu dengan adanya

teknologi digital dan sosial media seperti YouTube, social network sites (SNSs), serta ponsel pintar.

Teknologi digital bahkan disebut sebagai mesin yang mendorong Korean Wave hingga bisa diterima di

banyak negara.

The New Korean Wave yang disebut Hallyu 2.0 memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan

Hallyu 1.0. Era Hallyu 1.0 yang terjadi pada periode 1990-2007 menjadi momen arus ekspor yang keluar

dari Korea Selatan, terutama ke Asia Timur, hanya berupa barang-barang budaya. Namun, pada Hallyu

2.0, online gaming dan K-Pop adalah dua subsektor yang menggenjot industri kreatif Korea Selatan

paling signifikan. Ditambah dengan pembangunan infrastruktur digital yang baik, tidak aneh bila industri

kreatif dan produk budaya Korea Selatan menjalar bagai epidemi.

Sejalan dengan teori yang ditulis Pink, Pemerintah Korea Selatan memang mengandalkan konten kultural

untuk mendorong ekonominya pada abad ke-21. Pemerintahan Lee Myung-Bak yang menjabat pada era

2008-2013 mengerahkan fokusnya untuk melakukan komoditisasi kreativitas dengan mengaitkannya ke

sektor konten. Sejak tahun 2009, para pengambil kebijakan pun cenderung menggunakan istilah creative

content industry daripada sekadar creative industry.

Mengutip penjelasan Yong .Iin, ekspansi budaya Korea Selatan banyak dimulai oleh penyebaran drama

televisi ke negara-negara lain. Pada era Hallyu 1.0, produk budaya Korea Selatan masuk ke pasar

Tiongkok melalui drama What is Love All About dan Stars in My Heart. Keduanya masuk pada tahun

2007 dan langsung populer di kawasan Asia Timur. Antara tahun 2004-2006, Korea Selatan menjual

program-program televisi lain ke Jepang dan Hong Kong seperti judul-judul Stairways to Heaven, Winter

Sonata, serta Daejanggeum.

Ekspansi produk budaya tersebut memberikan manfaat yang besar bagi Korea Selatan. Sejak tahun 1995-

2007, ekspor program televisi Korsel meningkat tajam dari US$ 5,5 juta menjadi US$ 150,9juta. Dari
sekian banyak produk budaya populer Korsel yang tersebar di Asia, Jepang mendominasi dengan 57,496

lalu diikuti Taiwan 18.4% serta Tiongkok dan Hong Kong 8,9%.

Booming produk budaya Korea Selatan makin menjadi-jadi ketika pusat industri film dan hiburan dunia,

Hollywood, tertarik untuk mengadopsinya dalam versi barat. Film Siworae (2000) diproduksi ulang oleh

Hollywood pada tahun 2006 dan bergantijudul menjadi Lake House. Begitu pula dengan film Yeogijeogin

Geunyeo (2001) yang diproduksi menjadi My Sassy Girl pada 2008 dan Jungdok (2002) yang diadopsi

menjadi Possession pada 2008.

Memasuki era Hallyu 2.0, perpaduan budaya dan teknologi menjadi kombinasi yang membuat industri

kreatif Korea Selatan makin tak terbendung. Tak hanya konten yang makin beragam dan berbasis

teknologi digital, Korea Selatan pun memproduksi perangkat yang sempat menyita perhatian dunia, yaitu

Samsung seri Galaxy.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, online gaming dan KPop adalah dua sektor yang mendorong

The New Korean Wave tumbuh subur. Sejak tahun 2000 hingga 2010, terjadi peningkatan ekspor game

yang cukup drastis di Korea Selatan. Dari yang semula hanya US$ 102 juta pada tahun 2000, angka

tersebut tumbuh menjadi US$ 1,6 miliar pada tahun 2010. Meski tak setinggi capaian game, ekspor musik

K-Pop juga tumbuh signifikan. Ekspor industri musik Korea Selatan pada tahun 2011 menyentuh angka

US$ 177juta, naik 112% dari tahun sebelumnya.

Secara kuantitatif, angka-angka tersebut menceritakan bagaimana era teknologi digital telah mengubah

dunia, termasuk orientasi bIsnis dalam menjalankan usaha. lndustri kreatif yang dikelola dengan baik

menjadi solusi ekonomi sekaligus elemen yang efektif dalam melejitkan pemasukan. Bila ditarik lebih

jauh, fenomena di Korea Selatan menunjukkan bahwa sejak tahun 2005, kinerja cultural content industry

telah melampaui industri manufaktur negara.


Di samping pertumbuhan yang tinggi, industri kreatif di Korea Selatan juga mendorong tumbuhnya

bisnis-bisnis lain. Ketika budaya Korea Selatan sudah menjadi demam di banyak negara, semakin mudah

bagi produk-produk lain dari Korsel untuk mendapatkan tempat di hati konsumen. Sektor turisme juga

kebagian untung. Analisis Korea Foundation for International Culture Exchange menyebut pada tahun

2007, 10% turis yang mengunjungi Korea Selatan karena alasan Korean Wave.

Melirik Industri Kreatif Negeri Matahari Terbit

Selain Korea Selatan, Jepang adalah negara lain yang cukup sukses membangun ekonomi dengan

menggenjot industri kreatif. Creative Industries Internationalization Committee Jepang dalam laporannya

pada pertengahan 2013 menyebut industri kreatif sebagai pendongkrak gaya hidup dan budaya Jepang di

seantero dunia, termasuk dalam hal konten, fesyen, makanan, serta pelayanan.

Berdasa rkan data Ministry of Economy, Trade and Industry (METI) Jepang, output produksi domestik

industri kreatif (desain, produk lokal, seni, fesyen, pariwisata, iklan, konten, mata pencaharian, dan

kullner) dl Jepang mencapal ¥ 64,4 trlilun atau setara Rp 7.084 triliun (kurs Rp 110 per yen). Selain itu,

industri kreatif di Jepang berhasil mempekerjakan sekitar 5,9 juta orang. Dibandingkan dengan industri

otomotif yang selama bertahun-tahun menjadi ikon Jepang, dua capaian industri kreatif itu sudah lebih

tinggi.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, salah satu keunggulan dari industri kreatif adalah

kemampuannya untuk menstimulasi ekonomi secara keseluruhan. Hal ini terbukti di Jepang. Sebagai

contoh, Pokemon adalah produk yang pada awalnya dirilis sebagai software video game. Namun, pada

perkembangannya, produk ini berlanjut hingga menjadi salah satu franchise besar yang terdiri atas anime,

film, serta produk-produk lainnya. Bisnis Pokemon pun tumbuh dari yang semula hanya ¥ 1 triliun dan

berhasil menghasilkan dampak ekonomi senilai ¥ 3,8 triliun pada 2011.

Melihat potensi besar yang dimiliki industri kreatif dalam pembangunan ekonomi, Jepang pun merancang

sebuah kampanye yang disebut CoolJapan. Dalam dokumennya, CoolJapan Advisory Council

menyebutkan tiga konsep dasar dari kampanye ini, yaitu memperkuat self-awareness ”Japanese Style",

mengukuhkan mekanisme sosial, organisasi, serta seni Jepang yang unik, dan terakhir mempersembahkan

Jepang sebagai sebuah cerita.

Langkah ini sangat relevan dengan hasil studi yang dilakukan A.T. Kearney. Pasar industri kreatif disebut-

sebut akan tumbuh sangat pesat, terutama di kawasan Asia dan di negara-negara berkembang. Bila pasar

industri kreatif saat ini baru mencapai X 463 triIiun, pasar ini diprediksi akan tumbuh menjadi X 900

triliun pada tahun 2020.

Berkaitan dengan hal tersebut, METI Jepang menyatakan saat ini perusahaan-perusahaan asal Jepang di

luar negeri baru bisa membukukan penjualan ¥ 2,3 triliun dengan pangsa pasar sangat kecil, yaitu 0.5%.

Ini menunjukkan bahwa popularitas Jepang di luar negeri belum cukup dimanfaatkan untuk mendorong

kinerja bisnis. Oleh sebab itu, pengembangan industri kreatif yang dipercaya tak hanya melahirkan efek

ekonomis tapi juga penguatan branding negara (non-ekonomis), menjadi perhatian penting bagi Jepang.

Konkretnya, Jepang sudah merilis beberapa gerakan di beberapa negara. Di Asia misalnya, terdapat

program bernama Hello! Japan yang dirilis di Singapura dan menjadi saluran hiburan eksklusif Jepang di

Asia. Ada juga saluran anime berbasis web dengan nama DAISUKI yangjuga menjadi platform penjualan

produk-produk terkait. Selain itu, juga ada acara anime Rising Star, versi lokal dari Kyojin no Hoshi,
yang disiarkan di India. Di Indonesia juga ada acara televisi serupa berjudul Kokoro No Tomo yang

disiarkan salah satu stasiun televisi swasta nasional.

Pengembangan ekonomi dan industri kreatif berbasis kreativitas sejatinya melahirkan lebih dari satu

keuntungan. Dalam laporan UNDP-UNESCO berjudul Creative Economy Report 2013, Widening Local

Development Pathways, setidaknya ada empat keuntungan yang bisa dihasilkan, yaitu ekonomi, sosial,

budaya, serta lingkungan.

Secara ekonomi, manfaat yang diberikan industri kreatif tentu tak perlu dipertanyakan. Selain

meningkatkan pendapatan dan produksi domestik, industri kreatifjuga mendorong investasi, menyerap

tenaga kerja, mengurangi tingkat kemiskinan, meningkatkan pemasukan sektor pariwisata, serta

menjamin kesejahteraan masyarakat.


Di sisi sosial, industri kreatif menjadi jembatan komunikasi antarbudaya di samping juga memperkuat

identitas sosial sebuah komunitas masyarakat. Identitas kultural dan kekayaan sosial terpelihara dengan

baik melalui produk-produk kreatif yang tidakjarang terinspirasi dari lingkungan sosial sekitar. Edukasi

dan proteksi terhadap hak asasi manusia juga menjadi keuntungan lain dari industri kreatif karena

perbedaan etnis dalam sebuah komunitas lokal bisa terakomodasi.

Manfaat lain dari industri kreatif juga bisa diiihat dari sisi kultural. Ketika masyarakat dengan antusias

berpartisipasi dalam aktivitas konsumsi maupun produksi, akan tercipta budaya baik dalam masyarakat

yang secara simultan juga menguntungkan pelestarian kreativitas. Semangat untuk terus belajar dan

menghargai budaya lain menjadi aspek positif industri kreatif.

Dari sudut pelestarian lingkungan, industri kreatif menjadi media untuk meningkatkan kesadaran publik

terhadap isu-isu lingkungan. Eesan-pesan moral dapat diselipkan dalam tayangan televisi, film dan

berbagai jenis produk kreatif agar timbul kesan yang kuat dalam benak audiens. Tak hanya itu, budaya

juga menjadi driver serta enabler pengembangan ekonomi, sosial, serta lingkungan. Dan, hal inilah yang

disadari betul oleh sejumlah negara maju seperti AS, Inggris, Korea Selatan, dan Jepang. Mereka telah

menyadari betapa pentingnya arti industri kreatif. Sehingga, ucapan Peter Drucker pun semakin menjadi

sebuah kenyataan dan relevan pada masa kini.

Larry Page Dan Sergey Brin

Larry Page dan Sergey Brin membangun sebuah bisnis yang kini meniodi roksosoateknologi dari sebuah

garasi milik teman merekdyang berlokasi di 232 Sania MargariIto, Menlo Park, California. Garasi milik

Susan Woicicki itu disewa Larry dan Sergey seharga US$ 1.700 per bulan seteiah keduanya memutuskan

untuk melaniutkan proyek tahun terakhir mereka di Stanford University menjadi sebuah bisnis. Pada

tahun 1998 itu, Susan tengah mengandung dan butuh uang tambahan, sehingga tanpa pikir panjang ia pun

menerimanya. Siapa sangka, perusahaan yang semula hanya mesin pencari Internet (Search engine) ini

berhasil mengembangkan bisnIs hingga ke berbagai sektor termasuk energi terbarukan. Sejak berdiri
pada 4 September 1998, Google berhasil mengumpulkan pnluhan ribu orang sebagai karyawan dan

mencatatkan penghasil miliaran dolar. Google juga dinobatkan sebagai perusaha an terbaik tahun 2014

untuk bekerja versi Majalah Fortune.

Nama Google diambil dari kata googol yang bermakna satu angka dengan seratus nol dibelakangnya.

Perusahaan ini terhitung sebagai perusahaan yang rajin membeli startup. Setiap minggu, Google

mengakuisi setidaknya satu perusahaan sejak tahun 2010. Ragam produk Google terbentang dari search

tool, jasa iklan, communication and publishing tool, sistem operasi, hingga hardware. Meski gemar

membeli bisnis dan produk baru, Google juga tidak terlepas dari kegagalan mempertahankan produknya

yang lain.

Setiap tahun, ada saja produk yang harus dieliminasi. Misalnya, Google Wave yang dibuat untu

menyaingi Facebook, tapi malah dicap sebagai produk paling gagal Google Video , sebuah layanan video

yang tidak dapat diterima pasar, hingga SearchWiki, Knol, dan Sidewiki yang diciptakan untuk melawan

Wikipedia,harus dihentikan karena gagal diterima pasar.

Tak hanya itu, Google juga menemui kegagalan pada Jaiku, situs microblogging yang diakuisisi pada

tahun 2007 tapi harus ditutup, Google Print Ads dan Google Radio Ads, yang semula diciptakan untuk

menyasar pengiklan tapi dua proyek ini akhirnya tak berkelanjutan. Contoh kegagalan juga dirasakan

Google pada produk Dodgeball, Google Answer, Google Lively, dan masih banyak lagi.

Perusahaan yang menyandarkan hidup pada kreativitas dan inovasi sejatinya memang harus berhadapan

dengan proses trial and error. Namun, bagi seorang inventor, sebuah kesalahan coding atau rendahnya

penerimaan pasar bukan menjadi halangan. Dan, Google telah membuktikan semua itu dan berhasil

menjadi salah satu perusahaan TIK paling besar di muka bumi ini. Berawal dari bisnis yang dirintis dari

sebuah garasi, Larry Page dan Sergery Brin pun menjadi miliarder dengan kekayaan masing-masing US $

30 miliar atau setara Rp 360 triliun jika menggunakan kurs Rp. 12.000 per dollar AS.
BAB II

Ketika Dunia Melirik Industri Kreatif

”We built it and we didn’t expect it to be a company. We were just building this because we thought if

was awesome. ”. Mark Zuckerberg

Sebelum menjelaskan industri kreatifdigital, rasanya kita perlu meIakukan pemetaan definisi istilah-

istilah yang selama ini beredar di masyarakat. Setidaknya, ada tiga terminologi yang dikenal luas, yaitu

industri kreatif (creative industries), ékonomi kreatif (creative economy), serta industri budaya (cultural

industries). Penggunaan ketiga istilah ini dilakukan secara bergantian atau bersamaan untuk

menggambarkan maksud yang serupa. Meski begitu, ada juga yang menganggap ketiganya berbeda

secara definisi.

Menurut Creative Economy. Report 2013 yang disusun UNDPUNESCO, istilah ekonomi kreatif

dipopulerkan pada tahun 2001 oleh John Howkins, seorang penulis dan pengelola media. Ia menggunakan

istilah ini untuk kategori industri mulai dari seni.

Di samping ekonomi kreatif dan industri kreatif, ada pula yang menggunakan istilah industri budaya.

Secara genealogi, istilah ini berasal dari studi yang dilakukan Frankfurt School pada periode 1930-1940.

Berangsur-angsur, istilah ini mulai digunakan secara massal dalam bidang akademik dan pengambilan

keputusan, salah satunya melalui upaya propaganda UNESCO pada tahun 1980-an. Industri budaya

menggambarkan bentuk produksi dan konsumsi budaya yang memiliki simbol dan elemen ekspresif.

Beberapa bidang yang termasuk dalam hal ini adalah musik, seni, tulisan, fesyen, desain, serta berbagai

bentuk media.

Department for Culture, Media and Sport lnggris berpendapat bahwa ekonomi kreatif memiliki cakupan

yang lebih luas dibanding industri kreatif. Ekonomi kreatif meliputi seluruh kontribusi yang diberikan

oleh orang-orang yang bekerja di bidang kreatif, meski bidang tersebut berada di luar industri kreatif yang
telah dipetakanf Sementara itu, industri kreatif hanya menghitung mereka yang bekerja di bidang yang

termasuk dalam pemetaan industri kreatif.

Teknologi Digital, Roh Industri Kreatif Masa Depan

Dari sekian banyak bidang, industri kreatif yang berbasis teknologi digital adalah jenis yang berkembang

dengan pesat saat ini. Para pelaku industri kreatif yang berbasis teknologi

digital selanjutnya disebut Digital Company (DiCo) tidak bisa terlepas dari kebutuhannya dalam

memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TlK). Teknologi berperan penting dalam industri

kreatif digital karena menjadi alat untuk menstimulasi pengembangan produk dan layanan, kanal

distribusi, model bisnis, bahkan kemungkinan ekspansi ke sektor ekonomi yang baru. Salah satu contoh

peran penting TIK bagi industri kreatif digital adalah pendistribusian konten dan aplikasi perangkat lunak

dengan membangun pasar yang potensial.

Salah satu kemajuan penting dalam penggunaan teknologi digital adalah pemanfaatan komputasi awan

(cloud computing). Menyimpan aplikasi dan konten pada sistem cloud computing telah menjadi tren saat

i/ni sehingga para pengguna dapat menggunakan berbagai portal, aplikasi, dan lain sebagainya dari

berbagai lokasi, bahkan di luar negeri. Gambar berikut ini memberikan penjelasan bagaimana pengguna

sistem informasi menggunakan perangkat (Device) yang dimilikinya untuk terhubung dengan Aplikasi

dan Konten pada sistem cloud computing melalui Network.


Perkembangan teknologi digital yang pesat memberikan ruang bagi tumbuhnya bisnis di bidang ini.

Selain penyedia infrastruktur Hsik, bisnis-bisnis baru yang bergerak di bidang penyediaan konten dan

portal pun tumbuh makin subur. Pergeseran model bisnis telekomunikasi yang semula hanya berfokus

pada pengelolaan infrastruktur bergeser ke arah penyediaan konten. Bahkan, kondisi itu menjadi tren saat

ini.

Bisnis konten dan portal pun semakin dilirik banyak orang karena memiliki nilai lebih tinggi daripada

infrastruktur yang mendukungnya. Biaya membangun infrastruktur memang tidak murah, tapi bisnis

konten bisa memberikan nilai lebih tinggi kepada perusahaan karena biaya tambahan (marginal cost) atas

penggunaan layanan hampir tidak ada.

Pergeseran fokus ini terjadi 180 derajat. Bila pada era dulu sektor infrastruktur menempati posisi paling

besar dan dilanjutkan dengan portal lalu konten, struktur tersebut berubah terbalik. Pada era Telco 2.0 saat

ini, sektor konten dan device menjadi bagian dengan porsi paling besar dan diikuti oleh portal lalu

infrastruktur. Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara-negara maju, tetapi juga di negara-negara

berkembang seperti Indonesia, meskipun pengembangan infrastrukturjuga masih menjadi prioritas karena

cakupan wilayah yang luas.

Salah satu bukti perekonomian berbasis kreativitas teknologi digital semakin berkembang ditunjukkan

oleh tumbuh pesatnya beberapa perusahaan multinasional seperti Apple Inc. dan Facebook Inc. Dua
perusahaan ini terus melakukan penetrasi sekaligus ekspansi ke berbagai negara dan mencatatkan kinerja

yang terus meningkat.

Bila dibagi berdasarkan jenis, setidaknya ada tiga kategori bisnis kreatif digital, yaitu perangkat (device),

jaringan (network), serta aplikasi dan konten (application & content). Dari studi yang dilakukan, terlihat

jelas bahwa perusahaan TIK dunia yang berhasil mencatatkan kinerja baik adalah mereka yang

menggarap bidang aplikasi dan konten. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang ini mempunyai

rasio dari market capitalization to revenue lebih besar ketimbang perusahaan yang berbasis perangkat atau

jaringan.

Tabel di atas menunjukkan tiga perusahaan yang bergerak di bidang aplikasi dan konten (tiga paling

bawah) memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dari perusahaan yang lain. Apple dengan pendapatan sebesar

US$ 42,91 miliar mempunyai market capitalization senilai USS 254,55 miliar. Di lain sisi, Facebook yang

menghasilkan pendapatan US$ 700 juta mempunyai market capitalization sebesar US$ 25 miliar atau

rasio market capitalization to revenue lebih besar daripada Apple maupun perusahaan telekomunikasi

dunia seperti Verizon, AT&T, dan Telefonica. Ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang

bergerak di bidang aplikasi dan konten dihargai lebih tinggi oleh para investor.
Bila melihat kinerja beberapa perusahaan Telco seperti AT&T, Deutsche Telekom, Vodafone, America

Movistar, serta Telefonica, rata-rata bisnis layanan digital Telco belum memberikan hasil yang

menggembirakan meski broadband data revenue diakui cukup meningkat. Hal ini menggambarkan bahwa

Telco masih lebih dipandang sebagai connectivity provider, bukan sebagai perusahaan digital. Sebaliknya,

bagi DiCo seperti Apple, Google, Yahoo, Amazon, dan Microsoft, dengan fasilitas infrastruktur yang

makin baik mereka semakin mengejar revenue size top Telco di atas.

Grafik di atas menunjukkan dengan jelas bahwa CAGR perusahaan DiCo pada periode 2008-2012

meningkat 24%. Sementara CAGR perusahaan Telco cenderung stagnan (CAGR " 0%). Data tersebut

juga menunjukkan rasio agregat revenue para operator Telco dibandingkan dengan para DiCo menurun

dari yang semula 2,72 kali pada 2008 menjadi 1,20 kali pada tahun 2012.

Dari sisi investasi, peningkatan market capitalization DiCo yang jauh lebih tinggi dari Telco menjadi

indikator betapa bisnis ini menjadi bintang di industri kreatif. Pada periode 2008-2012, kapitalisasi pasar

dari lima pemain digital tumbuh 26%, sedangkan lima operator Telco justru turun 2%. Dengan ini, dapat

disimpulkan bahwa bisnis perusahaan yang hanya mengandalkan telekomunikasi tanpa mau masuk ke

sektor digital akan mengalami ancaman stagnasi pertumbuhan. Pun bila mereka mau masuk, mereka
harus bisa mengembangkan layanan yang baik sehingga bisa bersaing dan menawarkan value yang

kompetitif.

The Kings of Media are DiCo Players

Perkembangan industri kreatif digital yang makin menggembirakan turut membawa para penggagasnya

menjadi pusat perhatian bisnis. Popularitas tersebut tidak hanya diraih karena keberhasilan membangun

bisnis yang sukses dengan ide dan kreativitas yang luar biasa, tetapi juga karena usia yang relatif masih

muda. Bayangkan, sang pendiri Facebook, Mark Zuckerberg yang saat itu berusia 27 tahun, bisa memiliki

kekayaan US$ 17,5 miliar. Begitu juga dengan duet Larry Page dan Sergey Brin, pendiri Google, yang

pada usia 28 tahun berhasil mengumpulkan kekayaan US$ 33,4 miliar.

Bila dibandingkan dengan taipan media seperti Rupert Murdoch dan T. Turner, anak-anak muda itu telah

menorehkan prestasi yang gemilang. Pada usianya yang ke-80, Murdoch tercatat memiliki kekayaan US$

7,6 miliar, sedangkan Turner pada usia 73 tahun, mengantongi kekayaan USS 2,1 miliar. Hal ini

menunjukkan industri kreatif digital memiliki potensi bisnis yang begitu besar dan dibutuhkan kreativitas

untuk bisa mewujudkannya menjadi keuntungan.


Bila melihat kembali cerita berdirinya Facebook, tak banyak yang mengira situs jejaring sosial ini akan

booming dan populer di berbagai kalangan. Zuckerberg memulai Facebook sebelumnya bernama

Facemash pada 28 Oktober 2003 di bilik asrama kampus. Ia menggunakan Facebook sebagai media

mencurahkan perasaan sekaligus mengundang teman-temannya di Harvard untuk membandingkan para

mahasiswi yang mereka anggap paling cantik.

Kreativitas Zuckerberg berlanjut pada Januari 2004. Kala itu ia menulis coding untuk situs yang

disebutnya Thefacebook, sebuah nama yang diambil dari kertas edaran yang biasanya disebarkan pada

mahasiswa tingkat pertama Harvard untuk mengumpulkan data. Situs ini pun resmi membuka laman di

jagad Internet pada 4 Februari 2004 dengan keanggotaan dibatasi untuk para mahasiswa.

Dalam satu bulan pertama sejak diluncurkan, Thefacebook berhasil menarik lebih dari separuh mahasiswa

sarjana Harvard untuk mendaftar. Popularitasnya terus meningkat, sehingga pada Maret 2004 juga mulai

diperkenalkan di beberapa kampus terkenal lain.

Tak butuh waktu lama bagi Thefacebook sebelum akhirnya diadopsi oleh semua perguruan tinggi yang

termasuk dalam Ivy League.

The facebook terus memperluas cakupan hingga ke Kanada. Dengan ukuran yang makin besar, pada Juni

2004 markas Thefacebook dipindahkan ke daerah Palo Alto, California lalu menghilangkan kata The dari

namanya saat membeli domain facebook.com senilai US$ 200.000 setahun setelahnya.

Bisnis Facebook makin melejit saat meninggalkan lingkungan kampus dan bisa diakses oleh siapa saja

yang memiliki email. Sejauh ini, Facebook tidak mengenakan biaya keanggotaan dan menghasilkan uang

dari pendapatan iklan. Pertumbuhan bisnis Facebook makin melesat saat startup ini memutuskan

melakukan Initial Public Offering (IPO) pada 18 Mei 2012.


Berdasarkan valuasi resmi awal Mei, harga saham Facebook diprediksi berada di antara US$ 28-USS 35

per saham. Namun pada 14 Mei 2014, nilai tersebut meningkat antara US$ 34-US$ 38. Dengan harga per

saham US$ 38, nilai Facebook mencapai US$ 104 miliar dan menjadi valuasi terbesar yang pernah

dilakukan perusahaan AS saat IPO kala itu.

Meski mengalami antiklimaks di hari pertama transaksi saham (hanya mampu naik 0,6%), Facebook

masih menjadi perusahaan kreatif digital yang menguntungkan dan dihargai tinggi oleh para investor.

Zuckerberg pun menjadi inspirasi bahwa seorang mahasiswa pun mampu menjadi miliarder. Semua itu

berkat sentuhan kreativitas dan dukungan teknologi digital. Setidaknya, Facebook menjadi model

bagaimana membangun startup yang baik sehingga memancing sumber pemasukan yang sangat potensial.

Silicon Valley, Kiblat Industri Kreatif Digital Dunia

Nama Silicon Valley tentu sudah tak asing lagi bagi para penggiat industri kreatif berbasis teknologi

digital. Kawasan di sepanjang semenanjung barat daya San Francisco Bay ini menjadi tempat lahirnya

berbagai perusahaan teknologi dunia. Apple Inc., Cisco Systems, eBay, Facebook, Google, Hewlett-

Packard, Intel, Netflix, dan Yahoo! adalah beberapa nama yang menjadi penghuni Silicon Valley.
Menurut beberapa sumber, istilah Silicon Valley pertama kali diperkenalkan oleh seorangjurnalis bernama

Don Hoefler dan dihubungkan dengan seorang pengusaha lokal sukses bernama Ralph Vaerst. Sejak 11

Januari 1971, Hoefler menulis seri berjudul ”Silicon Valley in the USA" pada harian Electronic News.

Istilah ini digunakan Hoefler untuk menggambarkan wilayah yang menjadi pusat pembuatan

semikonduktor di mana perusahaan seperti IBM mulai memasarkan personal computer, software, dan

hardware kepada konsumen. Istilah ini pun makin dikenal luas dan digunakan pada era 1980-an. Kata

Silicon sendiri merujuk pada bahan yang biasanya digunakan untuk membuat semikonduktor.

Perkembangan kawasan ini pun tak terlepas dari keberadaan institusi pendidikan yang berorientasi pada

teknologi, yaitu Stanford University. Kampus ini menjadi tempat para staf pengajar dan mahasiswa

mengembangkan teknologi untuk berbagai tujuan, termasuk militer, penelitian, serta kepentingan

komersial.

William Hewlett dan David Packard misalnya, adalah dua lulusan Stanford yang memulai bisnisnya dari

sebuah garasi di Palo Alto dengan bermodalkan uang US$ 500 pada tahun 1938. Terus berlangsung

hingga era sekarang, bisnis-bisnis baru pun mulai bermunculan. Bila Sergey Brin dan Larry Page

mendirikan Google, alumni Stanford yang lain, Jerry Yang dan David Filo, sukses membangun raksasa

teknologi bernama Yahoo!.

Salah satu elemen yang melengkapi perkembangan industri kreatif digital di Silicon Valley adalah

munculnya venture capital yang menempati area Sand Hill Road. Kleiner Perkins Caufield & Byers

(KPCB) adalah salah satu venture capital pertama di kawasan ini pada tahun 1972. Ketika Apple

Computer sukses meraup US$ 1,3 miliar saat IPO di tahun 1980, perusahaan venture capital pun mulai

menginvasi Silicon Valley.


Secara ekosistem, Silicon Valley adalah kawasan yang lengkap. Empat aktor utama industri kreatif yang

disebut Quadruple Helix ada di sana, yaitu Academic, Business, Community, serta Government (ABCG).

Di sisi lain, Silicon Valley juga memiliki fondasi dan pilar pembangunan industri kreatif yang memadai,

yaitu people, industry, technology, resources, institution, serta financial intermediary.

Indonesia, antara Potensi dan Eksekusi

Amerika Serikat, Inggris, Korea Selatan hingga Jepang telah menyadari betapa pentingnya arti industri

kreatif bagi mereka. Entah, berbentuk sebuah karya, kesenian, atau pun produk digital, mereka semua

sadar bahwa industri tersebut tak hanya menjadi magnet bagi siapa saja, melainkan juga sumber

pendapatan bagi negara. Lantas bagaimana dengan Indonesia?

Laporan A.T. Kearney Global Service Location Index menunjukkan potensi bisnis |ndonesia berada pada

peringkat kelima dibandingkan negara berkembang lainnya. Tiga indikator yang diukur oleh A.T. Kearney

adalah financial attractiveness, people skills and availability, serta business environment.
Terlihat bahwa Indonesia memiliki potensi pengembangan ekonomi lebih tinggi dari negara-negara

tetangga seperti Thailand, Vietnam, Filipina, bahkan Brazil. Hal ini membenarkan pendapat banyak pihak

bahwa Indonesia menyimpan potensi yang luar biasa.

Sayangnya, potensi itu hanya menjadi pepesan kosong bila tidak disertai aksi nyata untuk meningkatkan

kompetensi dan mewujudkannya dalam bentuk produk yang bernilai ekonomis. Pada tahap inilah

kreativitas dan inovasi sangat dibutuhkan.

Sebenarnya, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai hal untuk meningkatkan daya saing serta

nilai tambah produk lndonesia. Hal ini setidaknya terlihat dalam Inpres No. 6 tahun 2009 tentang

Pengembangan Ekonomi Kreatif, Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015, serta Rencana

Pengembangan 14 sub sektor Industri Kreatif 2009-2015 yang dibuat oleh Departemen Pariwisata dan

Ekonomi Kreatif. Terlebih lagi, upaya ini juga diperkuat oleh Kementerian Perdagangan dengan

menyusun Pedoman Pengembangan Ekonomi Kreatiflndonesia menuju tahun 2025. 7.


Sejauh ini, industri kreatif Indonesia telah memberikan kontribusi yang cukup menggembirakan. Simak

saja, pada tahun 2010 industri kreatif berhasil menyumbang Rp 468 triliun terhadap PDB (7,29%),

menyerap tenaga kerja 8,6 juta orang (7,9% dari total nasional), menghasilkan 3,4.iuta lapangan usaha

(3,6%), serta potensi pertumbuhan double digit yang di dalamnya termasuk computer services and

software (12,5%), advertismg (12%) serta interactive Emirates games (14,9%). Ekspor Industri kreatif

pun juga tidak kalah. Pada tahun 2010,ekspor industrikreatif mencapai sekitar Rp 115 triliun (8,59% dari

total ekspor) dan tumbuh rata-rata 10,9% sejak tahun 2002.

Angka-angka di atas menunjukkan betapa besar sumbangan industri kreatif terhadap peningkatan nilai

tambah ekonomi. Selain itu, industri kreatif juga memberikan manfaat lain bagi lndonesia, seperti

meningkatkan citra dan identitas bangsa, menumbuhkan inovasi dan kreativitas sumber daya manusia,

mempromosikan industri yang ramah lingkungan, serta meningkatkan hubungan sosial antarmanusia.

Oleh sebab itu, industri kreatif perlu dikembangkan dengan lebih baik agar manfaat yang dihasilkan bisa

lebih besar.

Salah satu hal yang juga membuat industri kreatif perlu mendapat perhatian adalah kemampuannya dalam

menghasilkan devisa. Pada tahun 2007, Departemen Perdagangan menyebutkan penjualan industri kreatif

berbasis budaya di Indonesia telah mencapai lebih dari Rp 72 triliun. Selain itu, Ibu Mari Elka Pangestu,

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif periode 2009-2014 mengatakan, pada tahun 2010 ekonomi

kreatif telah menyumbang devisa melalui kontribusi net trade yang mencapai 57,8% dari total nasional

atau setara dengan Rp 115 triliun.

Industri kreatif digital adalah bagian dari kelompok industri kreatif umum dan sudah dikenal luas.

Menurut definisi yang dikeluarkan UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development),

kelompok industri kreatif digital memiliki dua pertiga dari karakteristik umum industri kreatif sehingga

generalisasi penjelasan industri kreatif digital sebagai industri kreatif dapat dilakukan (Arief Yahya,
2014). Untuk pengelompokan subsektor industri kreatif digital, kami menggunakan skema yang

digunakan MIKTI (Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi lndonesia).

Menurut MIKTI, industri kreatif digital di Indonesia setidaknya terdiri atas lima unsur yang disebut

GEMASS, yaitu Games, Education, Music Digital, Animation, Software, dan Social Media. Kelima

sektor yang disebut sebagai DiCo ini mulai tumbuh dan berkembang dengan baik di Indonesia.

Pada tahun 2012, tercatat ada 303 DiCo di Indonesia yang menjadi penggerak industri kreatif digital

nasional. Meski sebarannya masih didominasi di Pulau Jawa, tapi potensi sumber daya manusia daerah

yang besar akan dapat memacu perkembangan industri kreatif digital Iebih merata. Ditambah dengan

dukungan pemerintah dan dunia usaha, bukan tidak mungkin kota-kota digital tumbuh di pelosok-pelosok

negeri.

Hingga saat ini, industri game dan software masih menjadi pemimpin pertumbuhan industri kreatif digital

Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2010 industri game tumbuh paling besar
mencapai 16,7% lalu diikuti industri software 15,4%. Melihat situasi global yang saat itu baru recovery

dari krisis ekonomi yang melanda, pertumbuhan tersebut adalah prestasi yang sangat membanggakan.

Di samping itu, Indonesia juga menjadi pasar yang sangat potensial bagi konten dan aplikasi lokal,

terutama yang menggunakan platform media sosial. Pada tahun 2012, situs-situs yang berbahasa

Indonesia menjadi situs yang paling sering dikunjungi oleh masyarakat lndonesia. Baik secara online

maupun mobile, situs-situs seperti Twitter, Facebook, Detik, dan Kaskus menjadi aplikasi yang paling

sering digunakan sehari-hari.

Mengeiar Ketertinggalan

Meski industri kreatif di Indonesia menunjukkan performa yang baik, sayangnya, harus diakui bahwa

sektor ini masih tertinggal jauh dari negara-negara lain. Hal ini mengingatkan kita bahwa pemetaan dan

perencanaan saja tidak cukup untuk menjadikan industri kreatif lebih optimal. Diperlukan eksekusi dan

langkah konkret untuk membawa industri ini menjadi sektor yang diperhitungkan di dunia.

Berdasarkan data Departemen Perdagangan, Indonesia memiliki lingkungan bisnis, sumber daya, serta

pasar yang sangat baik. Namun, bila melihat kontribusi industri kreatif negeri ini terhadap Produk

Domestik Bruto (PDB), Indonesia masih kalah jauh dari beberapa negara di dunia. Sebagai contoh, pada

2000 industri kreatif Taiwan telah berhasil menyumbang 5,9% terhadap PDB. Nilai tersebut cukup dekat

dengan kontribusi di negara-negara maju yang telah mencapai lebih dari 7%.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Industri kreatif Indonesia baru bisa berkontribusi 6,28% terhadap

PDB pada tahun 2007. lni menunjukkan betapa jauh perbedaan kinerja Industri kreatif lndonesia dari

negara-negara lain. Setidaknya, Indonesia telah tertinggal lebih dari lima tahun dibandingkan negara-

negara tersebut.

Dalam menggenjot industri kreatif, Indonesia bisa belajar dari Korea Selatan dan Jepang. Di kedua negara

tersebut, industri kreatif telah berkembang dengan baik 'berkat sistem yang tertata rapi. Produk-produk

kreatif Korea Selatan dan Jepang berangkat dari sentuhan inovasi modern dan menyebar melalui konten

seperti animasi, film, game, desain, fesyen, dan pop culture.

Setelah mengenali potensi dan tantangan industri kreatif Indonesia di tengah persaingan global, perlu juga

dilakukan penilaian atas kekuatan dan kelemahan di sektor ini. Hanya melalui penilaian yang

komprehensif, pengembangan industri kreatif dapat mencapai hasil yang maksimal.

Pada tahun 2012, saya melakukan survei pendahuluan terhadap digital company di beberapa kota besar di

Indonesia. Hasil studi tersebut menemukan bahwa dari sisi penjualan dan profitabilitas, kinerja bisnis
DiCo masih tergolong sangat rendah. Dalam hal penjualan, industri kreatif digital Indonesia masih belum

optimal, bahkan masih sangat sulit untuk bisa mencapai penjualan rata-rata 7096-8096. Hal tersebut tentu

menjadi masalah. Pasalnya, Indonesia hanya menguasai 2,02% pangsa pasar produk dan jasa ekonomi

kreatif global yang mencapai US$ 588,64 juta pada tahun 2008. Selain memberikan gambaran lemahnya

penetrasi industri kreatif Indonesia, hal ini juga menunjukkan adanya potensi pasar yang masih sangat

besar. Bukankah dalam setiap tantangan pasti ada peluang?

Di samping itu, pertumbuhan per tahun penjualan industri kreatif Indonesia masih berada di angka 5%

sampai 10%. Capaian tersebut baru separuh dari pertumbuhan penjualan rata-rata global yang mencapai

20% per tahun.

Dari sisi keuntungan, profitabilitas industri kreatif Indonesia juga masih rendah. Pertumbuhan keuntungan

sektor ini masih sekitar 20% per tahun. Untuk sektor yang seharusnya tidak membutuhkan biaya

persediaan produk, capaian ini tentu masih sangat rendah. Jika disandingkan dengan pertumbuhan

profitabilitas industri yang umumnya mencapai 40% sampai 50% per tahun, Indonesia masih memiliki

banyak pekerjaan rumah untuk mendorong sektor industri kreatif tumbuh lebih tinggi.

Selama ini, sebagian kecil pengembangan inkubasi bisnis kreatif digital di Indonesia telah mengikuti dan

menggunakan startup model yang telah dikenal luas di dunia. Beberapa di antaranya adaIah Customer

Development yang diperkenalkan Steve Blank, Lean Startup oleh Eric Ries, dan Running Lean oleh Ash

Maurya. Sayangnya, penggunaan model-model tersebut oleh DiCo di Indonesia tidak menunjukkan

adanya perbaikan kinerja bisnis. Pembuktianpembuktian fenomena inilah yang akhirnya menjadi cikal

bakal lahirnya C2C Startup Model, Creativity to Commerce.

JACK MA

-Pendiri Alibaba.com

Pertengahan September 2014, nama lock Mo mencuci _ koreno keberhasilan Alibaba mengumpulkan

niloi lerbesor ' dolom seioroh lPO dunia, yaitu US$ 25 miliar. Jack Ma (bernama asli Mo Yun) adalah
seorang mantan guru bahasa Inggris asal Hangzhou, Provinsi Zhejiang, Tiongkok yang menirikan Alibaba

pada tahun 1999. Alibaba adalah sebuah bisnis yang menghubungkan para pengusaha Tiongkok dengan

para impor di belahan negara lain.

Pria yang disebut sebagai "Sfeve Jobs" –nya.Tiongkok ini lahir dari keluarga yang miskin Orang tuanya

bekerja se bagai seniman ping tan yang mencerjtakan balada dan kisah dalam budaya Tiongkok. Jack Ma

punya ketertarikan yang tinggi terhadap bahasa Inggris sehingga memtuskan Untuk sekolah keguruan

Untuk memperlancar bahasa inggrisnya, setiap hari Jack Ma mendatangi hotel setempat untuk bertemu

para turis dan berbincang dengan mereka.

Meski memiliki kemampuan bahasa inggris yang baik ,sayangnya kemampuan matematika Jack Ma tidak

mencukupi untuk bisa di terima dikampus yang ia inginkan. La tidak menyerah.Setelah tiga kali

mengikufi tes,dia akhirnya diterima di Hangzhou Teacher Institute, tempat yang menjadi tujuannya.

Mendapat gelar sarjana bahasa inggris pada 1988, jalan Jack Ma tak lantas mulus. Ia ditolak berkali-kali

saat melamar kerja,termasuk untuk posisi manajer di sebuah gerai jaringan Kentucky Fried Chicken, Jack

Ma akhirnya bekerja di Hangzou Dianzi University sebagai guru bahasa inggris dan perdagangan

Internasional.

Merasa percaya diri dengan kemampuan bahasa yang ia miliki, pada tahun 1999 Jack Ma mendirikan

sebuah perusahaan penerjemah, apalagi Tiongkok saat itu sedang gencar malakukan aktivitas ekspor.

Pada tahun itulah untuk peratama kalinya Jack Ma mengunjungi Amerika Serikat dan mengetahui tentang

adanya Internet. Hal tersebut membuka mata Jack Ma mengenai potensi bisnis yang besar. Sekembalinya

ke Tiongkok, pria yang saat kecil tak pernah takut berkelahi ini mendirikan Alibaba yang akhirnya

bersaing ketat dengan eBay dan perusahaan berbasis e-commerce lainnya. Jack Ma pin dikukuhkan

sebagai orang terkaya di Tiongkok menurut Majalah Forbes pada tahun 2014 dengan kekayaan US$ 19,5

miliar atau Rp.234 triliun.

Anda mungkin juga menyukai