GELOMBANG II
PERIODE 9 JULI – 24 AGUSTUS 2018
DISUSUN OLEH :
GELOMBANG II
PERIODE 9 JULI – 24 AGUSTUS 2018
MENYETUJUI :
Pembimbing PKPA Farmasi Rumah Sakit Pembimbing PKPA Farmasi Rumah Sakit
Program Studi Profesi Apoteker RS Universitas Hasanuddin Makassar
Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin
MENGETAHUI:
Koordinator PKPA Farmasi Rumah Sakit Kepala Instalasi Farmasi
Program Studi Profesi Apoteker RS Universitas Hasanuddin Makassar
Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin
Prof. Dr. H.M. Natsir Djide, M.S.,Apt. Faried Ma’ruf, S.Si., Apt.
NIP.19500817 197903 1 003 NIP. 19760506 201012 1 001
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat, kasih karunia, hikmat dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan kegiatan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Rumah Sakit di
Rumah Sakit Universitas Hasanuddin Makassar, serta merampungkan laporannya
sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Pendidikan Profesi
Apoteker (PSPA) pada Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin Makassar.
Pada penulisan laporan ini, penulis tidak terlepas dari bimbingan, arahan,
bantuan, serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Gemini Alam, M.Si.,Apt. Selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin.
2. Ibu Dra. Ermina Pakki, M.Si.,Apt. Selaku Ketua Program Studi Profesi
Apoteker, Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
3. Bapak Prof. Dr. Natsir Djide, M.Si., Apt. selaku Koordinator Praktek Kerja
Profesi Apoteker Rumah Sakit di Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
4. Bapak Faried Ma’ruf, S.Si., Apt. selaku Kepala Instalasi Farmasi Rumah
Sakit Universitas Hasanuddin Makassar yang telah memberi kesempatan
mempelajari peranan apoteker di Rumah Sakit .
5. Ibu Prof. Dr. rer. nat. Marianti A. Manggau, Apt. Selaku pembimbing Rumah
Sakit di Fakultas Farmasi Universitas Hasanudin.
6. Ibu Inul Hajar S, S.Si.,Apt. selaku pembimbing kegiatan PKPA di Rumah
Sakit Universitas Hasanuddin Makassar.
7. Kedua orang tua penulis atas dukungan material dan non material serta segala
doa untuk kesuksesan penulis. Untuk saudara penulis atas motivasi dan doa,
serta kepada sanak keluarga yang turut mendoakan.
8. Staf Rumah Sakit Universitas Hasanuddin yang telah membantu selama
kegiatan PKPA berlangsung hingga selesai.
9. Rekan-rekan peserta Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Farmasi Rumah
Sakit Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan PKPA ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis menerima segala kritik dan saran demi
perbaikan di masa yang akan datang.
Halaman
II.2 Hematuria............................................................................................ 20
Tabel Halaman
III.5 Data Assesment dan Plan Pada Penggunaan Obat Pasien ........................ 53
PENDAHULUAN
Peran seorang apoteker klinis dalam hal pemantauan terapi obat pada
pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial yang disertai hematuria dan
phlebitis-thrombophlebitis sangatlah penting. Apoteker dapat berkontribusi dalam
perawatan pasien dengan mengoptimalkan penggunaan obat dan mengurangi efek
obat yang tidak diharapkan dengan cara mengidentifikasi Drug Related Problems
(DRPs), memberikan solusi terhadap DRPs, dan mencegah DRPs melalui
pelayanan farmasi klinik sehingga pengobatan dapat berlangsung secara optimal,
efektif dan efisien. Berdasarkan hasil analisa DRPs yang dilakukan oleh
Setyaningrum pada pasien cedera kepala berat dan fractur cruris pasien IMC
ditemukan adanya DRPs kategori dosis berlebih dan pasien mengalami efek
samping merugikan dari obat. Penelitian lain yang dilakukan oleh Radita pada
pasien cedera otak yang menerima pengobatan antiemetik menunjukan hasil
terjadi DRPs indikasi tanpa terapi, dosis berlebih, dosis kurang, terapi obat yang
tidak dibutuhkan, dan interaksi obat (15,16).
Pasien lanjut usia memiliki resiko tujuh kali lebih besar mengalami reaksi
obat yang tidak dikehendaki (ROTD) dibandingkan orang yang lebih muda ( < 60
tahun). Hal ini dapat terjadi karena pasien lanjut usia mendapat berbagai macam
obat untuk mengobati penyakit kronis yang diderita dan terjadi perubahan fisilogis
tubuh sehingga pengobatan pada pasien lanjut usia perlu untuk mendapat
perhatian khusus. Penelitian yang dilakukan oleh Fauna terkait dengan masalah
pengobatan menunjukkan hasil ditemukan masalah pada pengobatan
menggunakan Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) dimana terjadi duplikasi
pengobatan meloxicam dan ketoprofen (62).
Kasus masalah terkait obat juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan
oleh Huri dimana terjadi reaksi obat yang tidak diinginkan dari penggunaan obat
tamsulosin (terjadi hipotensi) pada pasien Benign Prostatic Hyperplasia (64).
1
2
TINJAUAN PUSTAKA
3
4
mL ada di dalam ruang intrakranial. Ruang intradural terdiri dari ruang intraspinal
ditambah ruang intrakranial. Total volume ruang ini pada orang dewasa sekitar
1700 mL, dimana sekitar 8% adalah cairan serebrospinal, 12% volume darah, dan
80% jaringan otak dan medulla spinalis. Karena kantung dura tulang belakang
tidak selalu penuh tegang, maka beberapa peningkatan volume ruang intradural
dapat dicapai dengan kompresi terhadap pembuluh darah epidural tulang
belakang. Setelah kantung dural sepenuhnya tegang, apapun penambahan volume
selanjutnya akan meningkatkan salah satu komponen ruang intrakranial yang
harus diimbangi dengan penurunan volume salah satu komponen yang lain.
Pertambahan volume dari suatu kompartemen hanya dapat terjadi jika terdapat
penekanan (kompresi) pada kompartemen yang lain. Satu-satunya bagian yang
memilik kapasitas dalam mengimbangi (buffer capacity) adalah terjadinya
kompresi terhadap sinus venosus dan terjadi perpindahan Liquor Cerebro
Spinaslis (LCS) ke arah aksis lumbosakral. Ketika manifestasi diatas sudah
maksimal maka terdapat kecenderungan terjadinya peningkatan volume pada
kompartemen (seperti pada massa di otak) akan menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial (TIK) (1-11).
iskemia dan infark jaringan otak. Bila terjadi kenaikan yang relatif kecil dari
volume otak, keadaan ini tidak akan cepat menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial. Sebab volume yang meninggi ini dapat dikompensasi dengan
memindahkan cairan serebrospinalis dari rongga tengkorak ke kanalis spinalis dan
disamping itu volume darah intrakranial akan menurun oleh karena berkurangnya
peregangan durameter. Hubungan antara tekanan dan volume ini dikenal dengan
compliance. Jika otak, darah dan cairan serebrospinalis volumenya terus menerus
meninggi, maka mekanisme penyesuaian (compliance) ini akan gagal dan
terjadilah peningkatan tekanan intrakranial (20).
Muntah proyektil
Edema papil
Edema papil juga merupakan salah satu gejala dari tekanan tinggi
intrakranial. Tekanan tinggi intrakranial akan menyebabkan oklusi vena
sentralis retina, sehingga terjadilah edema papil. Hal ini merupakan
indikator klinis untuk hipertensi intrakranial.
Kejang umum/fokal
Defisit neurologis
Indikator Nilai
Refleks Membuka Mata (E)
Membuka secara spontan 4
Membuka dengan rangsangan suara 3
Membuka dengan rangsangan nyeri 2
Tidak ada respo 1
Refleks Verbal (V)
Orientasi baik 5
Kata baik, kalimat baik, tapi isi percakapan membingungkan 4
Kata-kata baik tapi kalimat tidak baik 3
Kata-kata tidak dapat dimengerti, hanya mengerang 2
Tidak ada respon 1
Refleks Motorik (M)
Hal ini justru akan mengakibatkan vasodilatasi sehingga TIK akan meningkat.
Dengan demikian strategi yang sangat penting dalam menjaga TIK adalah
mencegah hematokrit jangan sampai turun dibawah 30% (1,20,43).
6. Terapi osmotik (50)
Terapi osmotik menarik cairan yang berlebihan. Baik mannitol
maupun salin hipertonik memiliki manfaat rheologik tambahan dalam
menurunkan viskositas darah dan menurunkan volume dan rigiditas sel
darah merah.
a. Salin hipertonik
Loading dose 30 ml salin 23% diberikan dalam 10-20 menit
melalui Central Venous Catheter (CVC), dosis pemeliharaan salin 3%
adalah 1 mg/kg/jam. Na harus diperiksa tiap 6 jam. Pemasukan salin
hipertonik ini berkaitan dengan edema. Dosis efektif dalam infus kontinyu
salin 3% adalah 0,1 ml/kgBB/jam - 1,0 ml/kgBB/jam. Osmolalitas serum
dipertahankan pada 320 mOsm/L. Salin hipertonik dihentikan setelah 72
jam untuk mencegah terjadinya edema rebound.
b. Mannitol 20% (dosis 0,25-1 gr/kg)
Loading dose 1gr/kg BB, diikuti dengan dosis pemeliharaan
0,5 gr/kg BB tiap 4-6 jam dengan kadar osmolaritas serum 300-320
mOsm. Osmolalitas serum diperiksa tiap 6 jam. Sediaan manitol yang
digunakan biasanya 15 dan 20%. Manitol diberikan bolus 0,25 – 1
gr/KgBB dalam 10 – 20 menit, setiap 4 – 8 jam. Sebelum memberikan
mannitol harus dilakukan pemeriksaan darah rutin, fungsi ginjal, gula
darah, dan elektrolit darah. Penghitungan osmolaritas awal darah
dilakukan sebelum pemberian manitol. Dan harus terpasang foley kateter
untuk pengukuran diuresis.Waktu paruh mannitol adalah 0,16 jam. Efikasi
terlihat dalam 15-30 menit, dan durasi efek adalah 90 menit hingga 6 jam.
Mekanisme mannitol memberikan efek yang menguntungkan dalam terapi
ini masih kontroversial, tetapi mungkin meliputi kombinasi berikut:
1. Menurunkan TIK :
17
7. Pilihan lainnya :
a. Totilac®
Merupakan cairan hipertonik sodium laktat dengan konsentrasi
fisiologis potasium klorida dan kalsium klorida. Cairan ini memiliki
osmolaritas 1020 mOsm/L dengan pH 7.0. Cairan ini netral dan ketika
laktat dimetabolisme, dan tidak menyebabkan asidosis.
Dosis penggunaan 10 cc/kg BB selama 12 jam intravena.
Totilac® mengandung ion yang akan berdisosiasi menjadi anion (laktat
dan klorida) dan kation (sodium, potasium, kalsium). Sodium, kation
di ekstraseluler, jika konsentrasinya tinggi akan menjaga hipertonisitas
sehingga memperbaiki hemodinamik. Laktat, metabolik fisiologis
dimana akan dioksidasi di mitokondria, dimana oksidasinya akan
menghasilkan energi yang sama dengan glukosa. Kalsium, memegang
peranan pada kontraktilitas jantung. Potasium, mencegah hipokalemia,
dimana dapat disebabkan infus sodium laktat.
19
b. Barbiturat (50)
Bolus Fenobarbital 5-20 mg/kg diikuti 1-4 mg/kg/jam. Barbiturat
menurunkan metabolic demand dan selanjutnya CBF, CBV dan TIK.
Resiko penggunaan meliputi hipotensi, kesulitan menilai pasien karena
efek sedatifnya, dan supresi jantung.
c. Induksi hipotermia hingga 32-34ºC dapat menurunkan CBF dan TIK
dengan menurunkan metabolic demand. Tiap penurunan temperatur
1ºC akan menurunkan metabolisme oksigen otak (CMRO2) 7%.
Efek samping hipotermi meliputi infeksi sistemik, bakteremia,
koagulopati, pneumonia, hipokalemia, dan aritmia
d. Steroid : seperti deksametason tidak efektif digunakan pada pasien
trauma kapitis. Biasanya berguna untuk edema yang berhubungan
dengan tumor dan infeksi. Dosis awal yang biasa digunakan adalah 10
mg deksametason intravena diikuti 4 mg tiap 6 jam (50).
e. Penggunaan gastroprotektor (50,58)
Ulkus Cushing terjadi di lambung, duodenum atau esofagus pada
pasien dengan penyakit intrakranial, dan sering terjadi perforasi.
Lesi yang berasosiasi dengan cedera intrakranial diperkirakan
disebabkan oleh stimulasi langsung nukleus vagus, yang menyebabkan
hipersekresi asam lambung. Pemberian terapi farmakologis profilaksis
acid supressive agent dengan H2 blocker, proton pump inhibitor (PPI),
dan gastric mucosal protector dapat membantu penurunan insiden
perdarahan gastrointestinal dan stress related mucosal damage
(SRMD).
f. Pemberian vitamin saraf (50)
Kondisi defisit neurologis merupakan salah satu dari gejala pada
pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial. Pemberian vitamin
saraf berfungsi untuk perbaikan kerusakan saraf yang timbul dari
adanya peningkatan tekanan intrakranial. Profilaksis stroke iskemik
(53)
20
urologi. Darah yang berasal dari nefron disebut hematuria glomerulus. Pada
keadaan normal, sel darah merah jarang ditemukan pada urin. Adanya eritrosit
pada urin dapat terjadi pada kelainan herediter atau perubahan struktur glomerulus
dan integritas kapiler yang abnormal. Eritrosit bila berikatan dengan protein Taam
Horsfall akan membentuk silinder eritrosit. Ini merupakan petunjuk
penyakit/kelainan glomerulus yang merupakan penanda penyakit ginjal kronik.
Pada penyakit nefron/glomerulus biasanya hanya ditemukan sel darah merah saja
tanpa silinder. Proteinuria merupakan tanda lesi nefrologi/glomerulus. Evaluasi
pemeriksaan mikroskopis bila ditemukan hematuria, yaitu ditemukan eritrosit
dalam urin 3 per lapang pandang besar. Hematuria mikroskopik: bila ditemukan
eritrosit 3 atau lebih/lapang pandang besar. Bila hematuria disertai proteinuria
positif 1 dengan menggunakan dipstick dilanjutkan dengan pemeriksaan
kuantitatif ekskresi protein/24 jam. Pada ekskresi protein lebih dari 500 mg/24
jam yang makin meningkat atau persisten diperkirakan tejadi suatu kelainan
parenkim ginjal. Perlu diperhatikan dalam pengambilan, misalnya pada
perempuan harus disingkirkan penyebab hematuria lain misalnya menstruasi,
adanya laserasi pada organ genitalia, sedangkan pada laki-laki apakah
disirkumsisi atau tidak. Bila pada urinalisis ditemukan eritrosit, leukosit, dan
silinder eritrosit merupakan tanda sugestif penyakit ginjal akut atau penyakit
ginjal kronik, perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut.
a. Tumor jinak/tumor ganas, antara lain tumor Wilm, tumor Grawitz, tumor
pielum, tumor ureter, tumor buli-buli, tumor prostat, dan hiperplasia
prostat jinak.
b. Infeksi/inflamasi, antara lain pielonefritis, glomerulonefritis, ureteritis,
sistitis, dan urethritis
c. Kelainan bawaan sistem urogenitalia, antara lain kista ginjal dan ren
mobilis.
d. Kanker ginjal atau kandung kemih
e. Trauma yang mencederai sistem urogenitalia
f. Batu saluran kemih
g. Menstruasi
h. Penyakit akibat virus
i. Anemia sel sabit
Apabila hematuria disebabkan oleh infeksi ginjal, gejala yang lain dapat
meliputi demam, nyeri pinggang, atau nyeri pada bagian bawah punggung.
Apabila hematuria disebabkan oleh batu ginjal, pasien biasanya akan
mengalami gejala seperti nyeri yang parah pada perut atau panggul.
Apabila pasien memiliki infeksi saluran kemih, gejala yang umum terjadi
adalah rasa perih saat buang air kecil, demam, nyeri pada bagian bawah
perut, dan iritasi.
a. Phlebitis Kimia
pH dan osmolaritas cairan infus yang ekstrim selalu diikuti resiko phlebitis
tinggi. pH larutan dekstrosa berkisar antara 3-5 (dimana keasaman diperlukan
untuk mencegah karamelisasi dekstrosa selama proses sterilisasi autoklaf),
jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino dan lipid yang digunakan
dalam nutrisi parenteral bersifat lebih flebitogenik dibandingkan normal salin.
Obat suntik yang bisa menyebabkan peradangan vena yang hebat, antara
lain Kalium Klorida, Vancomycin, Amphotrecin B, Cephalosporins, Diazepam,
Midazolam dan banyak obat kemoterapi. Larutan infus dengan osmolaritas > 900
mOsm/L harus diberikan melalui vena sentral. Mikropartikel yang terbentuk bila
partikel obat tidak larut sempurna dalam pencampuran juga merupakan faktor
kontribusi terhadap phlebitis. Jadi, jika diberikan obat intravena masalah bisa
diatasi dengan penggunaan filter sampai 5 μm. Jenis obat – obatan yang bisa di
berikan melalui infus antara lain seperti: Golongan antibiotik (Ampicicilin,
amoxcicilin, clorampenicol, dll), antidiuretik (furosemid) antihistamin atau
setingkatnya (Adrenalin, dexamethasone, difenhidramin). Karena kadar puncak
obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus
(suntikan langsung ke pembuluh balik/vena), agar peningkatan cepat konsentrasi
obat dalam darah tercapai. Misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia
25
berat dan mengancam nyawa, pada (penderita diabetes mellitus). Alasan ini juga
sering digunakan untuk pemberian antibiotika melalui infus/suntikan,
namun perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang
baik, dan mampu mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri.
Dalam pemberian antibiotik melalui IV perlu diperhatikan dalam pencampuran
serbuk antibiotik tersebut, hal ini untuk menghindari terjadinya komplikasi seperti
tromboplebitis karena kepekatan dan tidak tercampurnya obat secara baik.
Biasanya untuk mencampur serbuk antibiotik / obat-oabat yang lain yang
diberikan secara IV adalah cairan aquades dengan perbandingan 4 cc larutan
aquades berbanding 1 vial antibiotik atau 6 cc larutan aquades berbanding 1 vial
serbuk antibiotik. Bila pencampuran obat terlalu pekat maka aliran dalam infus
terhambat dan dapat menyebabkan phlebitis.
Kateter yang terbuat dari silikon dan poliuretan kurang bersifat iritasi
dibanding politetrafluoroetilen (teflon) karena permukaan lebih halus, lebih
termoplastik dan lentur. Resiko tertinggi untuk phlebitis dimiliki kateter yang
terbuat dari polivinil klorida atau polietilen.
b. Phlebitis mekanis
Penempatan kanula pada vena proksimal (kubiti atau lengan bawah) sangat
dianjurkan untuk larutan infus dengan osmolaritas > 500 mOsm/L. Misalnya
Dextrose 5%, produk darah, dan albumin. Hindarkan vena pada punggung tangan
jika mungkin, terutama pada pasien usia lanjut, karena akan mengganggu
kemandirian lansia.
2) Ukuran kanula
c. Phlebitis bakterial
5) Perawatan infus
6) Faktor pasien
Dilakukan Sendiri
Gunakan obat anti inflamasi yang dijual bebas (OTC) seperti ibuprofen.
Memakai stoking khusus bila terjadi pada tungkai. Stoking khusus ini
dapat mencegah terjadinya Deep Vein Thrombosis (DVT).
1. Morfologi
a. Anemia makrositik
Anemia megaloblastik (Defisiensi vitamin B12 dan Anemia defisiensi
asam folat)
b. Anemia mikrositik, hipokromik
Anemia defisiensi besi
Anomali genetik (sickle cell anemia, thalassemia, hemoglobinopati
lainnya)
c. Anemia normositik
Kehilangan darah
Hemolisis
Kegagalan sumsum tulang
Anemia penyakit kronis
Gagal ginjal
Kelainan endokrin
Anemia mielopastik
2. Etiologi
Defisiensi : Besi, vitamin B12, asam folat, piridoksin
Pusat, disebabkan gangguan fungsi sumsum tulang : anemia
penyakit kronis, anemia pada lansia, kanker sumsum tulang
Peripheral : pendarahan, hemolysis
3. Patofisiologi
1. Kehilangan darah berlebihan
Pendarahan
Trauma
Tukak lambung
Infeksi lambung
29
Hemorroid
2. Pendarahan kronis
Pendarahan vagina
Peptic ulcer
Parasit intestinal
Aspirin dan AINS lainnya
3. Destruksi sel darah merah berlebihan
Faktor ekstrakorpuskular (diluar sel)
Antibodi SDM
Obat-obatan
Trauma fisik terhadap SDM (katup artificial)
Sequestrasi berlebih pada limfa
4. Faktor intrakorpuskular
Hereditas
Kelainan sintesis hemoglobin
5. Produksi sel darah merah tidak cukup
Defisiensi nutrient (B12, asam folat, besi, protein)
Defisiensi eritrosit (anemia aplastik, eritroblastopenia terisolasi,
antagonis asam folat, antibodi)
Kondisi infiltrasi sumsum tulang (limfoma, leukemia,
mielofibrosis, karsinoma
Abnormalitas endokrin (hipotiroid, insufisiensi adrenal,
insufisiensi pituitary)
Penyakit ginjal kronis
Penyakit inflamasi kronis (Granulatomatous disease, collagen
vascular disease)
Penyakit hati
30
HCT
Hgb
RBC
Indeks
Morfologi sel
darah merah
Hct ↓ MCV ↑
Hgb ↓ RBC ↓ Hct ↓ Retic Ct ↓ Hct ↓ MCV ↓
Retic Ct Normal Hgb ↓
Fe Normal Hgb ↓ MCHC ↓
TIBC Normal Kehilangan darah akut
Fe : TIBC ratio 25%–30% Fe ↓
Haptoglobin ↓
Maturasi defektif Bilirubin (indirect) ↑ TIBC ↑
nukleus Hct ↓ Retic Ct ↑
Dengan penurunan Hgb ↓
Fe: TIBC ratio
produksi
Anemia hemolitik <15%
Hct ↓ Retic Ct ↓
Serum Folat ↓
Hgb ↓
STUDI KASUS
33
III.3 Data Klinik
Berdasarkan hasil pemeriksaan maka diperoleh data hasil pemeriksaan klinik pasien yang dapat dilihat pada tabel III.1
2 Pernapasan 32 22 26 28 20 20 20 20 20 20 20 25 20
(kali/menit)
3 Denyut Nadi 95 75 75 94 84 80 80 88 80 82 80 85 88
(kali/menit)
4 Suhu Badan (°C) 38,5 36,9 36 37 36,2 36,8 39,2 36,7 36,5 36 36 36,4 36
5 Demam + - - - - - + - - - - - -
6 Menggigil - - - - - - + - - - - - -
7 Nyeri dada - - - - - - - - - - - - -
8 Sesak nafas - - - - - - - - - - - - -
9 Mual - - - - - - - - - - - - -
10 Muntah - - - - - - - - - - - - -
11 Lemah + + + + + + + + + + + + -
34
Lanjutan Tabel III.1 Data klinik pasien selama dirawat di rumah sakit
Keterangan :
(+) Ada Keluhan
(-) Tidak ada keluhan
(↓) Berkurang
(BL) Bicara Lancar
35
III.4 Data Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan oleh pasien meliputi pemeriksaan hematologi dan pemeriksaan lainnya, diperoleh
data hasil pemeriksaan hematologi dan pemeriksaan lainnya seperti pada tabel III.2
3 3
1 WBC 4,0-10,0 x 10 /mm 13,310 - 6,61
6 3
2 RBC 4,0-6,0 x 10 /mm 3,820 - 3,520
9 RDW-SD 37,0-54,0 fl - - 35
36
Lanjutan Tabel III.2 Data hasil pemeriksaan hematologi dan pemeriksaan lainnya
Keterangan :
Merah : Tinggi
Hitam : Normal
Biru : Rendah
37
Lanjutan Tabel III.2 Data hasil pemeriksaan hematologi dan pemeriksaan lainnya
(sedimen urin : 10/08/18)
Keterangan :
Merah : Tinggi
Hitam : Normal
38
Lanjutan Tabel III.2 Data hasil pemeriksaan hematologi dan pemeriksaan lainnya
(urin rutin : 10/08/18)
Keterangan :
Merah : Tinggi
Hitam : Normal
39
Lanjutan Tabel III.2 Data hasil pemeriksaan hematologi dan pemeriksaan lainnya
Keterangan :
Biru : Rendah
Hitam : Normal
40
41
Untuk 24 jam :
312+130 × 20
Kebutuhan natrium 2 mEq/KgBB/Hari = = 6 𝑡𝑝𝑚
1440
Berdasarkan pengobatan yang diberikan pada pasien, diperoleh data pengobatan pasien seperti pada tabel III.3
1 02 - - -
2 Lpm √ √ √
2 RL Infus - - - - -
20 tpm Iv √
4 Paracetamol Tiap 8 - - -
Vial 1 gr 23.30 15.00 12.00
inj (Prn) jam (iv)
5 Tiap 12 - - - - -
Ceftriaxone inj Vial 1 gr 00.30
jam (iv)
6 500 Tiap 12 - 06.00 07.00 07.00 06.45
Citicolin inj Amp 00.30
mg jam (iv) 14.00 18.00 18.00 19.00
7 - √
Nacl 0,9 % Infus 7 tpm Iv √ √ √ √
43
Lanjutan Tabel III.3 Data pengobatan pasien
8 Tiap 24 - -
Clopidogrel Tablet 75 mg 10.00 18.00 18.00 19.00
jam (po)
9 500 mg/ Tiap 8 - - - - -
Sucralfat Sirup 10.00
5 ml jam (po)
10 Nacl 3 % Infus 10 tpm Iv √ √ √ √ √
Tiap 24 - - -
11 Atorvastatin Tablet 20 mg 18.00 18.00 18.00
jam (po)
12 SF Tiap 24 - - - -
Tablet 300 mg 18.00 07.00
jam (po)
14 200 mg Tiap 12 - - - - - -
Curcuma Tablet
jam (po)
44
Lanjutan Tabel III.3 Data pengobatan pasien
15 Tiap 12 - - - - - -
Meloxicam Tablet 7,5 mg
jam (po)
16 Tiap 24 - - - - - -
Neurosanbe Amp 3 ml
jam (im)
17 Tiap 24 - - - - - -
Neurodex Tablet 500 mg
jam (po)
Tiap 12 - - - - - -
18 Ranitidin Tablet 150 mg
jam (po)
19 - - - - - -
KCl 7,46% Infus 10 tpm Iv
20 Tiap 12 - - - - - -
Citicolin Tablet 500 mg
jam (po)
21 Tiap 24 - - - - - -
Harnal Ocas Tablet 0,4 mg
jam (po)
45
Lanjutan Tabel III.3 Data pengobatan pasien
1 02 - - - - - - -
2 Lpm
2 RL Infus - - - - - - -
28 tpm Iv
5 Ceftriaxone Tiap 12 - - - - - - -
Vial 1 gr
inj jam (iv)
6 Tiap 12 07.00 07.00 07.00 07.00 - - -
Citicolin inj Amp 500 mg
jam (iv) 19.00 19.00 19.00 19.00
7 - - -
Nacl 0,9 % Infus 7 tpm Iv √ √ √ √
8 Tiap 24 -
Clopidogrel Tablet 75 mg 19.00 18.00 18.00 19.00 19.00 18.00
jam (po)
46
Lanjutan Tabel III.3 Data pengobatan pasien
500 - - - - - - -
9 Tiap 8
Sucralfat Sirup mg/ 5
jam (po)
ml
10 - - -
Nacl 3 % Infus 10 tpm Iv √ √ √ √
11 Tiap 24
Atorvastatin Tablet 20 mg 19.00 18.00 18.00 19.00 19.00 18.00 -
jam (po)
12 SF Tiap 24 - - - - - -
Tablet 300 mg 07.00
jam (po)
13 Paracetamol Tiap 8 - - - - -
Tablet 500 mg 10.00 07.00
(Prn) jam (po)
14 200 mg Tiap 12 - - 07.00 07.00 06.00
Curcuma Tablet 18.00 06.00
jam (po) 19.00 19.00 19.00
47
Lanjutan Tabel III.3 Data pengobatan pasien
19 - - - - -
KCl 7,46% Infus 10 tpm Iv √ √
20 Tiap 12 - - - - - -
Citicolin Tablet 500 mg 07.00
jam (po)
21 Harnal Ocas Tiap 24 - - - - - -
Tablet 0,4 mg 18.00
jam (po)
48
III.6 Analisa Rasionalitas Obat
Data analisa rasionalitas penggunaan obat pada pasien dapat dilihat pada tabel III.4
Analisa Rasionalitas
No. Nama Obat Sediaan Indikasi Obat Dosis Aturan Penderita Cara Lama
Pakai Pemberian Pemberian
1 02
R R R R R R R
2 RL Infus
R R R R R R R
3
Ranitidin inj Amp R R R R R R R
4 Paracetamol inj
Vial R R R R R R R
(Prn)
5
Ceftriaxone inj Vial IR IR IR IR IR IR IR
6
Citicoline inj Amp IR IR IR IR IR IR IR
7
Nacl 0,9 % Infus R R R R R R IR
49
Lajutan Tabel III.4 Data analisa rasionalitas penggunaan obat
Analisa Rasionalitas
No. Nama Obat Sediaan Indikasi Obat Dosis Aturan Penderita Cara Lama
Pakai Pemberian Pemberian
8 Clopidogrel Tablet R R R R R R R
9 Sucralfat Sirup IR IR IR IR IR IR IR
10 Nacl 3 % Infus R R R R R R IR
11 Atorvastatin Tablet R R R R R R R
SF
12 Tablet R R R IR R R R
Paracetamol (Prn)
13 Tablet R R R R R R R
14 Curcuma Tablet R R R R R R R
50
Lajutan Tabel III.4 Data analisa rasionalitas penggunaan obat
Analisa Rasionalitas
No. Nama Obat Sediaan
Indikasi Obat Dosis Aturan Penderita Cara Lama
Pakai Pemberian Pemberian
15 Meloxicam Tablet R R R R R R R
16 Neurosanbe Amp R R R R R R R
17 Neurodex Tablet R R R R R R R
18 Ranitidin Tablet R R R R R R R
20 Citicoline Tablet IR IR IR IR IR IR IR
51
52
Amlodipine 10 mg (1x1)
Atorvastatin 20 mg (1x1)
Obat asam urat ( putih, pink, kuning )
Data assessment dan plan penggunaan obat pada pasien dapat dilihat pada tabel III.5
Problem
Subjek Objek Terapi DRPs Assesment Plan Monitoring
Medik
Pasien dikatakan
infeksi apabila terjadi
peningkatan nilai
neutrofil, limfosit,
monosit, eosinofil,
dan basophil (57).
WBC = Hasil pemeriksaan
3 3
13,310 x 10 /mm ; pasien mengalami
peningkatan nilai
Monosit = 11,2 % WBC, monosit (tidak
Disarankan Nilai WBC,
naik terlalu tinggi) dan
Limfosit = 14,7% Penggunaan untuk tidak neutrofil,
Ceftriaxone suhu tubuh, tetapi
Inflamasi - obat tanpa perlu dilakukan limfosit,
Inj tidak meningkat untuk
Neutroflil = 68,5 x indikasi pemberian monosit; Suhu
nilai neutrofil dan
3 antibiotik Tubuh
10 /ml limfosit. Adanya
peningkatan WBC,
Suhu =38,5°C monosit, dan suhu
tubuh dapat
mengindikasikan
pasien hanya
mengalami inflamasi
(59). Sehingga tidak
diperlukan pemberian
antibiotik
53
Lanjutan Tabel III.5 Data assessment dan plan penggunaan obat pasien
Problem
Subjek Objek Terapi DRPs Assesment Plan Monitoring
Medik
Pemberian citicolin
sebagai terapi
kombinasi dengan
vitamin saraf
dianggap tidak perlu
karena citicolin tidak
status
memberikan makna Sebaiknya
GCS = 10; Penggunaan kesadaran
Citicoline klinis yang efektif pemberian
E3 M5 V2 obat tanpa (nilai GCS)
bagi pasien dengan citicoline
indikasi dan respon
peningkatan tekanan dihentikan
pasien
intrakranial. Terapi
dengan vitamin saraf
Lemah,
bicara tidak saja sudah cukup
Benign untuk mengatasi
lancar
intracranial defisit neurologis
(defisit
hypertension pada pasien
neurologis)
Kondisi defisit
neurologis merupakan
Neurosanbe salah satu dari gejala
pada pasien dengan
status
peningkatan tekanan
kesadaran
GCS = 10; intrakranial. Tetap
- (nilai GCS)
E3 M5 V2 Pemberian vitamin dilanjutkan
dan respon
saraf berfungsi untuk
pasien
Neurodex perbaikan kerusakan
saraf yang timbul dari
adanya peningkatan
tekanan intrakranial.
54
Lanjutan Tabel III.5 Data assessment dan plan penggunaan obat pasien
Problem
Subjek Objek Terapi DRPs Assesment Plan Monitoring
Medik
Pemberian terapi
farmakologis
profilaksis acid
supressive agent
dengan H2 blocker,
proton pump inhibitor
(PPI), dan gastric
mucosal protector
dapat membantu Jika adanya
Tetap
Ranitidin - penurunan insiden keluhan nyeri
dilanjutkan
perdarahan ulu hati pasien
gastrointestinal dan
stress related mucosal
Benign
- - damage
intracranial
(SRMD).penurunan
hypertension
insiden perdarahan
gastrointestinal dan
stress related mucosal
damage (SRMD).
Adanya duplikasi
terapi pada pemberian
sucralfat yang
Sebaiknya
Penggunaan diberikan bersamaan Jika adanya
pemberian
Sucralfat obat tanpa dengan ranitidin keluhan nyeri
sucralfat
indikasi sebagai ulu hati pasien
dihentikan
gastoprotektor. Tidak
dibutuhkan kombinasi
(50)
55
Lanjutan Tabel III.5 Data assessment dan plan penggunaan obat pasien
Problem
Subjek Objek Terapi DRPs Assesment Plan Monitoring
Medik
Pasien mengalami
demam yang
Tetap
berptensi untuk
dilanjutkan dan
Suhu = 38,5°C memperburuk
Demam Paracetamol - hanya diberikan Suhu tubuh
dan 39,2°C kondisi, sehingga
pada saat pasien
diberikan terapi
demam
paracetamol untuk
mengatasi demamnya.
Benign
intracranial Atorvastatin
hypertension Adanya kombinasi
penggunaan
atorvastatin dan
Tetap LDL dan
- - - clopidogrel pada
dilanjutkan HDL; PT
pasien untuk
mencegah terjadinya
iskemik.
Clopidogrel
56
Lanjutan Tabel III.5 Data assessment dan plan penggunaan obat pasien
Problem
Subjek Objek Terapi DRPs Assesment Plan Monitoring
Medik
Lama pemberian tidak
tepat. Menurut
rekomendasi terapi
Sebaiknya
NaCl diberikan
Terapi NaCl
sampai kadar serum
Dosis dihentikan dan
Na mencapai 125 Nilai Natrium
Lebih di maintenance
mmol/L (tidak lebih
dengan NaCl
dari 72 jam/ 3 hari)
0,9%
sedangkan pada
pasien diberikan lebih
Benign Lemah; Na = 107 mmol/L; dari 3 hari
intracranial Defisit GCS = 10; NaCl 3% Terjadi efek samping
hypertension neurologis E3 M5 V2 phlebitis dari
pemberian NaCl 3%.
Penggunaan NaCl 3%
tidak lebih dari 72 jam Terapi NaCl
Reaksi obat
(3 hari) atau dapat dihentikan;
tidak
dihentikan setelah berikan terapi
diinginkan
dicapai nilai Natrium untuk phlebitis
125 mmol/L (nilai Na
pasien sudah
mencapai 127
mmol/L)
57
Lanjutan Tabel III.5 Data assessment dan plan penggunaan obat pasien
Problem
Subjek Objek Terapi DRPs Assesment Plan Monitoring
Medik
Penggunaan curcuma
Penurunan Pasien sudah tepat karena
Tetap
nafsu malas - Curcuma - pasien mengalami -
dilanjutkan
makan makan penurunan nafsu
makan
08/08/18 :
HGB = 10,6 g/dL
MCV = 72,8 fl Aturan pakai tablet SF
RBC = 3,820 pada pasien kurang
Sebaiknya
x106/mm3 tepat (hanya diberikan
Tablet SF aturan
Anemia HCT = 27,8% 1 kali sehari) Aturan Nilai HBG,
(Ferrous Dosis pemberian tablet
mikrositik Lemah pakai tablet SF yang MCV, RBC,
Sulfat) kurang SFditingkatkan
hipokromik 11/08/18 : disarankan untuk dan HCT
menjadi 300 mg
HGB = 9,6 g/dL anemia defisiensi besi
2 kali sehari
MCV = 75,9 fl adalah 300 mg 2 – 4
RBC = 3,520 kali sehari (33)
x106/mm3
HCT = 26,7%
58
Lanjutan Tabel III.5 Data assessment dan plan penggunaan obat pasien
Problem
Subjek Objek Terapi DRPs Assesment Plan Monitoring
Medik
Penggunaan RL
sudah tepat karena
hanya diberikan
sekali untuk koreksi
cepat dehidrasi (
karena pasien tidak Tetap diberikan
Nilai Na, Cl,
RL sadarkan diri dan sampai loading
dan K
tidak makan dan dose selesai
minum sebelumnya)
dan kandungan
Other kalium pada infus
Na: 107, 127,
disorder of RL dapat membantu
Lemah, 127
fluid and - konduksi saraf
Cl : 76, 92, 94
electrolytes
K : 2,5; 3,4 Pemberian KCl
balance
7,46% sudah tepat
Tetap Nilai Cl dan
KCL 7,46% untuk mengatasi
dilanjutkan K
hypokalemia dan
hipoklorida
59
Lanjutan Tabel III.5 Data assessment dan plan penggunaan obat pasien
Pemberian
meloxicam sudah
Phlebitis- Nyeri dan Tetap Keluhn nyeri
- Meloxicam - tepat untuk
thrombophlebitis bengkak dilanjutkan dan bengkak
menangani nyeri dan
bengkak phlebitis
Penggunaan Harnal
ocas sudah tepat
Hasil
untuk mengatasi Hasil
Sakit saat pemeriksaan urin Tetap
Hematuria Harnal ocas - hematuria yang pemeriksaan
berkemih → Blood dilanjutkan
diakibatkan karena urin
+++(250 RBC/ul) adnya gangguan
prostat
60
III.10 Visite dan KIE
61
Lanjutan Tabel III.6 Data hasil visite dan konseling
62
Lanjutan Tabel III.6 Data hasil visite dan konseling
63
64
1. Ceftriaxone (33,34,35,37,55)
Komposisi
Setiap serbuk untuk injeksi mengandung natrium ceftriaxone 1,19 g yang
setara dengan 1 g ceftriaxone
Indikasi
Infeksi yang disebabkan oleh patogen yang sensitif terhadap ceftriaxone,
seperti : infeksi saluran napas, infeksi THT, saluran kemih, sepsis,
meningitis, tulang, sendi dan jaringan lunak. Infeksi intra abdominal,
genital (termasuk gonore), profilaksis pra operasi dan pada pasien dengan
gangguan sistem pertahanan tubuh.
Mekanisme Kerja
Ceftriaxone merupakan jenis antibiotik sefalosporin generasi ketiga,
membasmi mikroorganisme lain dengan cara menghambat sintesis dinding
sel mikroba sehingga mikroba tersebut tidak dapat membentuk dinding sel
dengan sempurna. Dengan pemberian secara parenteral, ceftriaxone dapat
berdifusi ke dalam jaringan dan cairan tubuh, dimana kadar bakterisid obat
akan bertahan selama 24 jam.
Dosis dan Aturan Pakai
Dewasa dan anak > 12 tahun : 1-2 gram satu kali sehari. Pada infeksi
berat atau kasus berat dapat dinaikkan sampai 4 gram satu kali sehari. Bayi
14 hari : sekali sehari 20-50 mg/kg BB, tidak boleh melebihi 50 mg/kg
BB. Bayi 15 hari-12 tahun: sekali sehari 20-80 mg/kg BB. Anak-anak
dengan berat badan 50 kg atau lebih dapat digunakan dosis dewasa. Dosis
intravena 50 mg/kg BB atau lebih harus diberikan melalui infus paling
sedikit 30 menit. Untuk pengobatan gonore dosis tunggal 250 mg
intramuscular. Pencegahan preoperatif: Tergantung dari resiko infeksi :
1-2 gram dosis tunggal diberikan 30-90 menit sebelum operasi. Pemberian
injeksi ceftriaxone diteruskan > 2 hari sesudah gejala dan tanda klinis
infeksi tidak tampak, umumnya selama 4-14 hari. Gangguan fungsi ginjal
65
dan fungsi hati: Pada kasus payah ginjal preterminal (bersihkan kreatinin,
10 ml/menit), dosis tidak boleh melampaui 2 gram sehari.
Efek Samping
Gastrointestinal: feses encer/diare, mual, muntah, stomatitis dan glositis
Kulit : pruritus, urticaria, dermatitis alergika, udema, eksantem, eritema
multiforme
Hematologi: esinofilia, hematoma/ perdarahan, trombositopenia,
leukopenia, granulositopenia dan anemia hemolitik
Lain-lain : sakit kepala, pusing, reaksi anafilaktik, nyeri di tempat
suntikan (IM), flebitis (IV).
Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap sefalosporin Pada pasien yang hipersensitif terhadap
penisilin, kemungkinan terjadinya reaksi alergi harus diperhatikan.
Farmakokinetik
Absorpsi. IM : sangat baik terabsorpsi
Distribusi. Vd 6-14 L; kebanyakan melalui jaringan dan cairan tubuh
(kantung empedu, paru-paru, tulang, empedu, Cairan serebrospinal.
Ikatan protein. 85% sampai 95%
Waktu paruh eliminas. fungsi ginjal dan hati Normal : 5-9 jam; Gangguan
ginjal (sedang sampai berat ): 12-16 jam
Waktu puncak serum. IM: 2 – 3 jam
Ekskresi. Urin (33% sampai 67% sebagai obat tak berubah); feses (sebagai
obat inaktif).
Perhatian
1) Anemia Hemolitik. Beberapa kasus dilaporkan setelah pemberian
ceftriaxone, seperti reaksi hemolisis intravaskular yang parah dan
anemia, penurunan konsentrasi hemoglobin, retikulositosis,
hemoglobinuria, dan henti jantung.
Bentuk Sediaan
vial 100 mL
66
2. Citicoline (31,32,38,39,56)
Komposisi
Setiap ml mengandung citicoline base 125 mg
Indikasi
Kehilangan kesadaran yang disertai trauma serebral, kecelakaan lalu lintas
dan bedah otak, gangguan psikiatrik atau gangguan saraf. Untuk
memperbaiki aliran darah serebral misalnya pada stroke iskemik.
Mekanisme Kerja
Peran citicoline sebagai neuroprotektan pada level neuronal adalah
memperbaiki membran sel dengan cara menambah sintesis
phosphotidylcholine yang merupakan komponen utama membran sel
terutama di otak. Citicoline (Cytidine 5-diphosphocholine atau CDP-
Choline) berfungsi mengaktivasi biosintesis struktur fosfolipid membran
sel neuron, meningkatkan metabolise otak dan menambah level
neurotransmitter termasuk acetylcolin dan dopamin. Citicolin juga
berfungsi memperbaiki aktifitas enzim mitochondria ATPase dan Na/K
ATPase serta menghambat enzim phospholipase A2.
Dosis dan Aturan Pakai
Stadium akut 250-500 mg 1-2 kali sehari. Injeksi diberikan secara drip/inj
IV. Stadium kronik 100-300 mg injeksi secara IV/IM diberikan 1-2 kali
sehari. Gangguan serebrovaskular dapat diberikan IV atau IM sampai 1000
mg. Dosis dapat ditingkatkan tergantung situasi.
Efek Samping
Syok
Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap citicoline.
Perhatian
Pada pasien dengan gangguan kesadaran akut serius dan progresif yang
menyertai trauma kepala dan operasi otak.
Pasien dengan gangguan kesadaran pada infark serebral akut.
67
Bentuk Sediaan
Ampul 2 ml 125 mg/ml
3. Curcuma ® (31,32,41)
Komposisi
Tiap tablet mengandung Serbuk Rhizoma Curcuma 200 mg
Indikasi
• Membantu memelihara kesehatan fungsi hati
• Membantu memperbaiki nafsu makan
• Membantu melancarkan buang air besar
Mekanisme Kerja
Curcuma merupakan obat herbal yang memiliki kandungan zat aktif yang
mampu merangsang nafsu makan pasien.
Dosis dan Aturan Pakai
1 - 2 tablet Sehari
Efek samping
Konsumsi berlebih dapat menimbulkan iritasi lambung dan mual.
4. Sucralfat (31,32,33,36,37,55)
Komposisi
Setiap 5 mL mengandung sucralfat 500 mg
Indikasi
Pengobatan jangka pendek (sampai 8 minggu) pada tukak lambung dan
duodenal
Mekanisme Kerja
Sucralfat bekerja dengan cara melindungi mukosa dari serangan asam
pepsin pada tukak lambung dan duodenal setelah membentuk kompleks
dengan eksudat yang bersifat protein seperti albumin dan fibrinogen pada
lokasi tukak.; Pada kondisi yang lebih ringan, Sucralfat membentuk
viscous sehingga memberikan perlindungan pada permukaan mukosa
lambung dan duodenum.
68
5. NaCl 3 % (31,32,34,35,42)
Komposisi
Setiap 500 ml larutan mengandung 15 g NaCl (3%, 30 gram natrium
klorida/L atau 513 mEq natrium dan 513 mEq klorida, untuk 500 mL:
256,5 mEq natrium dan 256,5 mEq klorida)
69
Indikasi
Penanganan gejala hiponatremia yang parah termasuk kejang, koma dan
tanda-tanda neurologis lokal.
Mekanisme Kerja
Berperan dalam regulasi tekanan osmotik cairan ekstra-seluler,
pembentukan perbedaan potensial yang pelu bagi kontraksi otot dan
penerusan impuls di saraf.
Dosis dan Aturan Pakai
Diberikan berdasarkan perhitungan nilai defisit natrium. Penggunaan NaCl
3% untuk penggantian, berikan sepertiga sampai setengah dari defisit
natrium yang dihitung selama 8-12 jam pertama atau 100 sampai 200
mL/24 jam. Sisanya dapat diberikan pada hari selanjutnya, pengobatan
dilakukan sampai nilai natrium serum 125 mmol/L atau terjadi
perbaikan/peningakatan gejala neurologis.
Efek Samping
Demam, iritasi pada tempat penyuntikan, perluasan trombosis atau plebitis
dari tempat penyuntikan.
Perhatian
Gunakan dengan hati-hati pada pasien gagal jantung kongestif, sirosis hati,
gagal ginjal berat, sumbatan saluran kencing, atau pada pasien yang
menerima obat yang dapat menyebabkan retensi natrium (seperti
kortikosteroid), hipoproteinemia, edema paru, toxemia pada kehamilan.
Awasi kesetimbangan cairan dan elektrolit.
Bentuk Sediaan
Larutan infus 500 ml.
6. SF Tablet (31,32,33,36,40,55,56)
Komposisi
Setiap tablet mengandung Fe sulfate heptahydrate 60 mg
Indikasi
Anemia defisiensi zat besi
70
Mekanisme Kerja
Zat besi merupakan mineral yang diperlukan untuk memproduksi sel darah
merah
Dosis dan Aturan Pakai
Dosis untuk pengobatan anemia defisiensi besi dewasa : 2 – 4 kali sehari
1 tablet
Efek Samping
Sulit buang air besar, mencret, feses berwarna hitam, mual, dan nyeri
perut.
Kontraindikasi
Penderita zat besi berlebih (hemokromatosis, hemosiderosis), anemia
karena pemecahan sel darah merah (anemia hemolitik), kelainan sel darah
merah (porfiria, talasemia), luka pada lambung (ulkus peptikum) dan usus
besar (kolitif ulseratif) peminum alkohol, dan penerima tranfusi darah
rutin
Farmakokinetik
Absorpsi / distribusi. Besi terutama diabsorpsi dari duodenum dan
jejunum. Garam ferro diabsorpsi 3 kali lebih cepat dibandingkan bentuk
ferri. Garam ferro yang umum (sulfat, glukonat, fumarat) diabsorpsi
hamper dengan dasar milligram tetapi berbeda dengan kandungan besi
elemental.
Ekskresi. Besi ditransportasikan melalui darah dan terikat pada transferrin.
Kehilangan besi dari urin, keringat, dan sel mukosa intestinal sekitar 0,5
hingga 1 mg pada pria sehat. Pada wanita yang menstruasi, kehilangan
normal harian sekitar 1 hingga 2 mg.
Interaksi
H2-Antagonis (Ranitidin): Dapat menurunkan efek dari Ferrous sulfat
dengan cara menurunkan absorpsi dari garam besi (ranitidin
meningkatkan pH lambung)
Bentuk Sediaan
Tablet 300 mg
71
7. Paracetamol (31,32,33,34,35,55)
Komposisi
Setiap ml mengandung paracetamol 10 mg
Setiap tablet mengandung paracetamol 500 mg
Indikasi
Penanganan demam dan nyeri sebagai antipiretik dan analgetik.
Paracetamol digunakan bagi nyeri yang ringan sampai sedang.
Mekanisme Kerja
Paracetamol atau acetaminophen adalah derivat para-aminofenol, bekerja
sebagai analgetik dan antipiretik. Parasetamol menghambat konversi asam
arakidonat menjadi prostaglandin terganggu. Paracetamol menghambat
siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang
menyebabkan paracetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek
pada pusat pengaturan panas. Paracetamol hanya mempunyai efek ringan
pada siklooksigenase perifer. Inilah yang menyebabkan paracetamol hanya
menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang.
Dosis dan Aturan Pakai
Paracetamol untuk dewasa 300 mg-1 g per kali, dengan maksimum 4 g per
hari; untuk anak 6-12 tahun : 150-300 mg/kali, dengan maksimum 1,2
g/hari. Untuk anak 1-6 tahun : 60-120 mg/kali dan bayi di bawah 1 tahun :
60 mg/kali; pada keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari.
Efek Samping
Kerusakan hati, kerusakan ginjal (frekuensi yang lebh kecil dibanding
kerusakan hati), reaksi alergi terhadap derivat para-aminofenol jarang
terjadi. Manifestasinya berupa eritema atau urtikaria dan gejala yang lebih
berupa demam dan lesi pada mukosa.
Kontraindikasi
Penderita yang hipersensitif terhadap paracetamol, dan yang mengalami
gangguan fungsi hati berat
72
Farmakokinetik
Absorpsi. Beragam sesuai bentuk dosis
Ikatan protein. 8% sampai 43%
Metabolisme. Pada dosis normal terapeutik, metabolisme hepatik menjadi
metabolit sulfat dan glucuronide. Sedangkan jumlah yang sedikit di
metabolisme oleh CYP menjadi acetylimidoquinone yang terkonjugasi
dengan glutation dan menjadi tidak aktif (inaktif); pada dosis toksik (lebih
dari 4 mg sehari) konjugasi glutation menjadi tidak cukup untuk
memenuhi metabolisme menyebabkan peningkatan konsentrasi
acetylimidoquinone, yang dapat menyebabkan nekrosis sel hati.
Waktu paruh eliminasi. Neonatus: 2-5 jam ; dewasa: 1-3 jam
(bertambah panjang pada geriatri)
Waktu puncak serum. Oral: 10-60 menit
Ekskresi. Urin (2% sampai 5% dalam bentuk obat tidak berubah ; 55%
sebagai metabolit glucuronide; 30% sebagai metabolit sulfat)
Perhatian
Pemberian harus berhati-hati pada pasien dengan gangguan hati dan ginjal
Bentuk Sediaan
vial 1000 mg/ 100 ml
Tablet 500 mg
Mekanisme Kerja
Potassium adalah salah satu ion essensial tubuh dan merupakan kation dari
cairan intraseluler, berpengaruh dalam fungsi sel dan metabolisme.
Diperlukan untuk metabolisme karbohidrat, penyimpanan glikogen dan
untuk sintesa protein, berpengaruh pada “transmembran potential” pada
otot-otot termasuk otot jantung. Klorida merupakan anion ekstraseluler
utama. Erat mengikuti metabolisme natrium. Perubahan keseimbangan
asam-basa tubuh tercermin dari perubahan konsentrasi klorida.
Dosis dan Aturan Pakai
Berdasarkan kondisi pasien. Untuk hipokalemia mild-moderate
(nilai Kalium ≥ 2,5) dapat diberikan 20 – 40 mmol selama 6 sampai 8 jam.
20 – 60 mEq/24 jam. 400 mEq/24 jam diberikan pada kondisi darurat
tertentu (misalnya serum potassium < 2 mEq/L) dengan perhatian ketat.
Efek Samping
Garam kalium menyebabkan mual dan muntah (gejala yang berat dapat
merupakan tanda obstruksi) sehingga rendahnya kepatuhan pengobatan
merupakan kendala utama efektifitas obat. Efek samping yang lain berupa
ulserasi pada oesophagus dan usus kecil. Efek samping yang jarang terjadi
skin rash
Kontraindikasi
Kerusakan ginjal dengan oligouria, anuria; dehidrasi akut, hiperkalemia.
Alergi terhadap obat, dan penyakit Addison.
Interaksi
Meloxicam : dapat menaikkan kadar kalium
Perhatian
Larutan injeksi 7,46% KCl tidak boleh digunakan tanpa pengenceran
terlebih dahulu.
Penyuntikan harus diberikan secara hati-hati, oleh karena takaran ideal
per hari tidak diketahui secara pasti.
Kadar potassium plasma yang tinggi dapat mengakibatkan kematian
karena depresi jantung aritmia atau payah jantung.
75
Bentuk Sediaan
Larutan injeksi 25 ml.
Efek Samping
Reaksi alergi atau gejala anafilaktoid seperti urtikaria terlokalisasi atau
umum dan pruritus; edema periorbital, wajah, dan/atau laring; batuk,
bersin, dan/atau kesulitan bernapas yang dilaporkan selama pemberian
injeksi ringer laktat.
Kontraindikasi
Dikontraindikasikan ketika pemberian natrium, kalium, kalsium, laktat,
atau klorida secara klinis dapat merugikan. Pemberian laktat dikontra-
indikasikan pada asidosis metabolik parah atau alkalosis, dan pada
penyakit hati parah atau keadaan anoksik yang berpengaruh pada
metabolisme laktat.
Perhatian
1) Jangan digunakan pada penderita asidosis laktat
2) Hati-hati penggunaan pada penderita metabolik atau
alkalosis respiratori
3) Pemberian secara intravena dapat menyebabkan
penumpukan cairan, overhidrasi, dan edema pulmonal
4) Hati-hati penggunaan pada penderita gagal jantung kongestif,
insufisiensi ginjal kronik dan retensi natrium
5) Hati-hati penggunaan pada penderita hiperkalemia, gagal ginjal
serius, dan dalam kondisi retensi kalium
Bentuk Sediaan
Infus 500 ml
Indikasi
Ulkus duodenum, hipersekresi GI, ulkus gastritis, Gastroesophageal reflux
(GERD).
Mekanisme Kerja
Penghambat kompetitif histamin pada reseptor-H2 di sel parietal lambung,
sehingga menghambat sekresi asam lambung, volume lambung, dan
mengurangi konsentrasi ion hidrogen. Tidak mempengaruhi sekresi
pepsin, sekresi faktor intrinsik yang dipicu pentagastrin, atau gastrin
serum.
Dosis dan Aturan Pakai
Injeksi IV atau infus intermitten: 50 mg (2 mL) setiap 6 sampai 8 jam.
Tingkatkan frekuensi dosis, bukan jumlah, jika perlu untuk menghilangkan
rasa sakit. Dosis 50 mg setiap 8 sampai 12 jam dapat digunakan jangka
pendek untuk menggantikan dosis oral 150 mg setiap 12 jam pada pasien
yang tidak dapat menggunakan obat oral. Jangan melebihi 400 mg / hari.
Infus kontinyu: 150 mg dapat diberikan sebagai infus berkelanjutan yang
didistribusikan secara merata selama 24 jam. Untuk mempertahankan
tingkan sekresi asam intergastric pada 10 mEq/jam atau kurang, rentang
dosis mungkin lebih tinggi pada pasien dengan sindrom hipersekresi
patologis (Zollinger-Ellison). Literatur menunjukkan dosis awal 1
mg/kg/jam. Ukur keluaran asam lambung dalam 4 jam. Jika di atas 10
mEq/jam atau gejala kambuh, sesuaikan dosis menjadi 0,5 mg/kg/jam
hingga 2,5 mg / kg / jam telah digunakan.
Efek Samping
Rasa tidak nyaman di perut, rasa terbakar dan gatal di tempat penyuntikan,
konstipasi, diare, sakit kepala (parah), dan mual dan muntah merupakan
efek samping yang umum. Reaksi hipersensitivitas (bronkospasme,
demam, ruam, eosinofilia) dapat terjadi.
Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap ranitidin atau komponen dalam formula.
78
Farmakokinetik
Absorpsi. Oral: 50 %.
Distribusi. Fungsi ginjal normal: Vd 1,7 L/kg; Clcr 25 – 35 mL/menit: Vd
1,76 L/kg minimal menembus sawar darah otak; terdistribusi dalam air
susu.
Ikatan protein. 15 %
Metabolisme. Hepatik menjadi metabolit N-oxide, S-oxide, dan N-
desmethyl.
Bioavailabilitas. Oral: 48 %
Waktu paruh eliminasi. Oral: fungsi ginjal normal: 2,5 – 3 jam;
Clcr 25 – 35 mL/menit: 4,8 jam. IV: fungsi ginjal normal: 2 – 2,5 jam
Waktu puncak serum. Oral: 2 – 3 jam; IM: 15 menit
Ekskresi. Urin: Oral: 30 %, IV: 70 % (sebagai obat tidak berubah); feses
(sebagai metabolit).
Interaksi
Pada penggunaan oral, ranitidin akan menurunkan kadar atau efek dari
ferrous sulfat dengan cara menaikkan pH lambung sehingga dapat
menurunkan absorpsi ferrous sulfat.
Perhatian
1) Gunakan antasida secara bersamaan untuk menghilangkan rasa sakit.
2) Gunakan hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati atau ginjal.
3) Hindari penggunaan pada pasien dengan porfiria akut; dapat memicu
serangan porfiria akut.
4) Nyeri lambung dan ulserasi dapat kambuh setelah obat dihentikan.
5) Efek dipertahankan dengan dosis oral. Perawatan total biasanya
dihentikan setelah 6 minggu.
6) Antagonis reseptor-H2 dapat menutupi gejala kanker lambung dan
perawatan khusus diperlukan pada mereka yang gejalanya berubah dan
pada mereka yang setengah baya atau lebih tua.
7) Gunakan secara hati-hati pada ibu hamil dan menyusui.
79
8) Pada penderita gangguan ginjal, gunakan dosis normal pada GFR < 50
ml/menit/1,73 cm2.
Bentuk Sediaan
a. Ampul 50 mg/ 2 ml
b. Tablet salut selaput 150 mg
Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap atorvastatin atau komponen lain yang terdapat
dalam formula. Penyakit hati aktif, atau kenaikan serum transaminase > 3x
batas normal tertinggi. Pada kehamilan (faktor resiko: X) dan menyusui
(atorvastatin diekskresi lewat air susu).
Farmakokinetik
Absorpsi. Cepat
Distribusi. Vd: 318 L
Ikatan protein : 98 %
Metabolisme. Hepatik; bentuk aktif derivat ortho- dan
parahydroxylat; dan inaktif produk beta-oxidasi
Bioavailabilitas. ~14% (obat utama); ~30% (obat utama dan metabolit)
Waktu paruh eliminasi. obat utama: 14 jam; metabolit: 20-30 jam
Waktu puncak serum: 1-2 jam
Ekskresi. empedu; urin (2% sebagai bentuk obat tak berubah)
Interaksi
Clopidogrel : Atorvastatin dapat menurunkan efek terapeutik
clopidogrel
Perhatian
Statin harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat
penyakit hati atau yang minum banyak alkohol (hindari penggunaan pada
penyakit hati yang aktif). Fungsi hati harus diukur sebelum dan sesudah
pengobatan. Obat harus dihentikan bila kadar transaminase serum
meningkat hingga dan bertahan pada 3 kali batas atas nilai normalnya.
Bentuk Sediaan
Tablet salut selaput 20 mg
83
Perhatian
Pasien dengan riwayat penyakit saluran cerna bagian atas, dehidrasi, gagal
jantung kongestif, hypovolemia, sirosis hati, sindroma nefrotik, gangguan
ginjal.
Bentuk Sediaan
Tablet 7,5 mg
BAB IV
PEMBAHASAN
Penanganan awal pasien saat masuk ke rumah sakit pada tanggal 8 agustus
yaitu pemasangan O2 2 Lpm selama 3 hari yang rasional diberikan berdasarkan
kondisi pasien yang mengalami takipnea dan merupakan salah satu bentuk
tatalaksana. Kekurangan oksigen akan menyebabkan terjadinya metabolisme
anaerob, sehingga akan terjadi metabolisme tidak lengkap yang akan
menghasilkan asam laktat sebagai sisa metabolisme. Peninggian asam laktat di
otak akan menyebabkan terjadinya asidosis laktat, selanjutnya akan terjadi edema
otak dan peningkatan TIK (50).
88
89
Ditambahkan juga terapi KCl 7,46% injeksi pada tanggal 15 -16 agustus
yang rasional digunakan untuk mengatasi kondisi gangguan keseimbangan
elektrolit berupa hipoklorida dan hipokalemia pada pasien. Adapun dosis yang
diberikan untuk penanganan hypokalemia kategori mild sudah sesuai, dimana
pemberian dihitung selama 6 – 8 jam, jumlah tetes per menit (tpm) yang diberikan
sudah sesuai berdasarkan perhitungan koreksi nilai defisit dan perhitungan
kebutuhan yang diperlukan dan tercapai target perbaikan nilai kalium dan klorida
(mencapai nilai normal) (34,35,57).
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit
Universitas Hasanuddin Makassar pada tanggal 7 juli sampai 24 agustus 2018,
maka disimpukan bahwa:
1. Pasien Tn. MAT. dengan diagnosa Benign intracranial hypertension,
Cerebral edema, Compression of brain, Somnolence, Other disorder of
fluid and electrolytes balance, Fever unspecified, Hematuri unspecified,
Phlebitis and thrombophlebitis masih menerima beberapa pengobatan
yang dianggap kurang rasional dalam hal indikasi, yaitu adanya
penggunaan obat tanpa indikasi (ceftriaxone dan citicoline) dan duplikasi
terapi (sucralfat), dosis kurang (ketidaktepatan aturan pakai tablet SF),
reaksi obat tidak diinginkan (efek samping phlebitis dari penggunaan
NaCl 3%), serta dosis lebih (ketidaktepatan lama pemberian NaCl 3%).
Adapun pengobatan yang rasional adalah infus RL, KCl 7,46%, ranitidin,
paracetamol, NaCl 0,9%, clopidogrel, atorvastatin, curcuma, meloxicam,
neurosanbe, neurodex, dan harnal ocas.
2. Interaksi obat yang potensial terjadi dan perlu untuk dimonitoring antara
lain : interaksi clopidogrel dengan meloxicam, ranitidin dengan tablet SF,
dan KCl dengan meloxicam
V.2 Saran
1. Sebaiknya apoteker turut aktif dalam menentukan regimen terapi pada
pasien serta dalam pemantauan terapi obat dan bekerjasama dengan
perawat, dokter, dan tenaga kesehatan lainnya agar pengobatan menjadi
lebih optimal.
2. Sebaiknya di setiap ruang perawatan disiapkan apoteker untuk melakukan
pelayanan informasi obat kepada pasien serta dapat melakukan visite tim
bersama tenaga kesehatan lainnya.
95
DAFTAR PUSTAKA
5. Moore KL., Dalley AF., Agur AMR., Moore ME. 2013. Anatomi
berorientasi klinis. Edisi ke−5. Jakarta: Erlangga.
7. Helmy A., Vizcaychipi M., Gupta AK. 2007. Traumatic brain injury:
intensive care management. Br J Anaesth. 99: 32–42
9. Manoach S., Labaze GI., Charchaflieh JG. 2012. Traumatic brain injury,
stroke, and brain death. Dalam: Niewfield P, Cottrell JE,
penyunting. Handbook of Neuroanesthesia, edisi ke-5. Lippincott
Williams & Wilkins, Philadelphia
10. Bendo AA. 2010. Perioperative management of adult patient with severe
head injury. Dalam: Cottrell JE, Young WL, penyunting. Cottrell
and Young’s Neuroanesthesia. Mosby Elsevier, Philadelphia.
96
97
13. Gerber GS, Brendler CB. 2011. Evaluation of the urologic patient:
History, physical examination, and the urinalysis. Dalam: Wein AJ,
ed. Campbell-Walsh Urology. 10th ed. Saunders Elsevier,
Philadelphia.
14. Landry Dw, Bazari H. 2011. Approach to the patient with renal disease.
Dalam: Goldman L, Schafer AI, eds. Cecil Medicine. 24th ed.
Saunders Elsevier, Philadelphia.
15. Setyaningrum, N. 2010. Kasus Cedera Kepala Berat Dan Fractur Cruris
Pasien Imc. Laporan Farmasi klinik. RS PKU Muhammadiyah,
Yogyakarta.
16. Radita, N.E. 2015. Studi penggunaan antiemetik pada pasien cedera otak
di RSUD Dr.Soetomo Surabaya. Skripsi. Departemen Farmasi
klinis : Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Surabaya
20. Nakagawa K., Smith WS. 2011. Evaluation and management of increased
intracranial pressure. Continuum Lifelong Learning Neurol.
17(5):1077-93.
32. Yeo,B. 2014. MIMS Edisi Bahasa Indonesia Edisi 15. PT.Bhuana Ilmu
Populer, Jakarta.
35. Gray, Alistair., Jane Wright., Vincent Goodey., Lynn Bruce. 2011.
Injectable Drugs Guide. Pharmaceutical Press, Great Britain.
99
38. Menku, A., Ogden, M., Saraymen, R. 2010. The Protective effect of
propofol and citicoline combination in experimental head injury
in rats. Turkish Neurosurgery. 20 (1)
40. Sukandar, E.Y., Andrajati, R., Sigit, J.I., Adayana, I.K., Setiadi, A.P.,
Kusnandar. 2013. ISO Farmakoterapi Buku 1. ISFI Penerbitan,
Jakarta.
42. Marko F.N. 2012. Hipertonic Saline, Not Mannitol, Should be Considered
Gold- Standard Medical Therapy for Intracranial Hypertension.
Cancer Institute, Cambridge UK.
45. Tolani K., Bendo AA., Sakabe T. 2012. Anesthetic management of head
trauma. Dalam: Niewfield P, Cottrell JE, penyunting. Handbook of
Neuroanesthesia, edisi ke-5. Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia.
46. Manoach S., Labaze GI., Charchaflieh JG. 2012. Traumatic brain injury,
stroke, and brain death. Dalam: Niewfield P, Cottrell JE,
penyunting. Handbook of Neuroanesthesia, edisi ke-5. Lippincott
Williams & Wilkins, Philadelphia.
100
47. Bendo AA. 2010. Perioperative management of adult patient with severe
head injury. Dalam: Cottrell JE, Young WL, penyunting. Cottrell
and Young’s Neuroanesthesia. Mosby Elsevier, Philadelphia.
48. Bullock MR, Povlishock JT. 2007. Journal of Neurotrauma. vol 24,
supp 1.
49. Gisela L & Claudio M. 2015. Mannitol versus Hypertonic Saline Solution
in Neuroanastesia. Santo Domingo, Colombia.
51. Stein, S.M. 2015. Pharmacy Practice Manual Fourth Edition. Lippincott
Williams & Wilkins, Philadelphia.
52. Zafonte R, et al. 2009. The Citicoline Brain Injury Treatment (COBRIT)
Trial. Journal of Neurotrauma. 26: 2207–2216
53. Aminoff, M.J., Greenberg, D.. Simon, R.R. 2010. Clinical neurology sixth
edition. McGraw Hill, USA.
56. Katzung, Bertram G. 2012. Basic & Clinical Pharmacology 12th Edition.
McGraw-Hill Company, United States.
57. Brian K.A., Robin L.C., Michael E.E., B.Joseph G., Pamala A.J., Wayne
A.K., Bradley R.W. 2013. Koda-Kimble and Young’s applied
therapeutics : the clinical use of drugs 10th ed. Lippincott
Williams & Wilkins, Philadelphia
58. Kumar,V., Abbas, A.K., Aster, J.C. 2013. Robbin's Basic Pathology 9 th
Edition. Elsevier Saunders, Philadelphia
101
59. Kathleen D.P., Timothy J.P.,Theresa N.P. 2015. Mosby’s Diagnostic And
Laboratory Test Reference Twelfth Edition. Elsevier Inc, St. Louis
60. Tatro, D.S. 2009. Drug Interaction Facts. Wolters Kluwer Company,
United States of America.
62. Fauna,H., Utomoa,A. 2016. Analisis Risiko Obat yang Tidak dikehendaki
pada Pasien Lanjut Usia di Rumah Sakit Umum Surabaya.
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia. 5 (2) : 98-105.