Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN KARSINOMA NASOFARING

A. DEFINISI
Karsinoma Nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel
mukosa nasofaring atau kelenjar yang terdapat di nasofaring. Carsinoma
Nasofaring merupakan karsinoma yang paling banyak di THT. Sebagian besar
kien datang ke THT dalam keadaan terlambat atau stadium lanjut. Didapatkan
lebih banyak pada pria dari pada wanita, dengan perbandingan 3 : 1 pada usia
/ umur rata-rata 30 –50 th.

B. ANATOMI NASOFARING
NASOFARING \ disebut juga Epifaring, Rinofaring. merupakan yang
terletak dibelakang rongga hidung, diatas Palatum Molle dan di bawah dasar
tengkorak. Bentuknya sebagai kotak yang tidak rata dan berdinding enam,
dengan ukuran melintang 4 sentimeter, tinggi 4 sentimeter dan ukuran depan
belakang 2-3 sentimeter. Batas-batasnya :
1. Dinding depan :
Koane
2. Dinding belakang : Merupakan dinding melengkung setinggi Vertebra
Sevikalis I dan II.
3. Dinding atas : Merupakan dasar tengkorak.
4. Dinding bawah : Permukaan atas palatum molle.
5. Dinding samping : di bentuk oleh tulang maksila dan sfenoid.

Dinding samping ini berhubungan dengan ruang telinga tengah melalui


tuba Eustachius. Bagian tulang rawan dari tuba Eustachius menonjol diatas
ostium tuba yang disebut Torus Tubarius. Tepat di belakang Ostium Tuba.
Terdapat cekungan kecil disebut Resesus Faringeus atau lebih di kenal dengan
fosa Rosenmuller; yang merupakan banyak penulis merupakan local isasi
permulaan tumbuhnya tumor ganas nasofaring.Tepi atas dari torus tubarius
adalah tempat meletaknya oto levator veli velatini; bila otot ini berkontraksi,
maka setium tuba meluasnya tumor, sehingga fungsinya untuk membuka
ostium tuba juga terganggu. Dengan radiasi, diharapkan tumor primer
dinasofaring dapat kecil atau menghilang. Dengan demikian pendengaran dapat
menjadi lebih baik. Sebaliknya dengan radiasi dosis tinggi dan jangka waktu
lama, kemungkinan akan memperburuk pendengaran oleh karena dapat terjadi
proses degenerasi dan atropi dari koklea yang bersifat menetap, sehingga secara
subjektif penderita masih mengeluh pendengaran tetap menurun.

C. ETIOLOGI
Meskipun penyelidikan untuk mengetahui penyebab penyakit ini telah
dilakukan di berbagai negara dan telah memakan biaya yang tidak sedikit,
namun sampai sekarang belum berhasil. Dikatakan bahwa beberapa faktor
saling berkaitan sehingga akhirnya disimpulkan bahwa penyebab penyakit ini
adalah multifaktor.
Kaitan antara suatu kuman yang di sebut sebagai virus Epstein-Barr dan
konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini.
Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa
menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk
mengaktifkan virus ini di butuhkan suatu mediator. Sebagai contoh, kebiasaan
untuk mengkomsumsi ikan asin secara terus-menerus mulai dari masa kanak-
kanak, merupakan mediator utama yang mendiator yang dapat mengaktifkan
virus ini sehingga menimbulkan Karsinoma Nasofaring. Mediator yang
dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring ialah :
1. Zat Nitrosamin. Didalam ikan asin terdapat nitrosamin yang ternyata
merupakan mediator penting. Nitrosamin juga ditemukan dalam ikan /
makanan yang diawetkan di Greenland . juga pada ” Quadid ” yaitu daging
kambing yang dikeringkan di tunisia, dan sayuran yang difermentasi (
asinan ) serta taoco di Cina.
2. Keadaan sosial ekonomi yang rendah. Lingkungan dan kebiasaan hidup.
Dikatakan bahwa udara yang penuh asap di rumah-rumah yang kurang baik
ventilasinya di Cina, Indonesia dan Kenya, meningkatnya jumlah kasus
KNF. Di Hongkong, pembakaran dupa rumah-rumah juga dianggap
berperan dalam menimbulkan KNF.
3. Sering kontak dengan zat yang dianggap bersifat Karsinogen. Yaitu yang
dapat menyebabkan kanker, antara lain Benzopyrene, Benzoathracene (
sejenis Hidrokarbon dalam arang batubara ), gas kimia, asap industri, asap
kayu dan beberapa Ekstrak tumbuhan- tumbuhan.
4. Ras dan keturunan. Ras kulit putih jarang terkena penyakit ini.Di Asia
terbanyak adalah bangsa Cina, baik yang negara asalnya maupun yang
perantauan. Ras melayu yaitu Malaysia dan Indonesia termasuk yang agak
banyak kena.
5. Radang Kronis di daerah nasofaring. Dianggap dengan adanya peradangan,
mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadapa karsinogen lingkungan.

D. HISTOLOGI NASOFARING
Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat
banyak jaringan limfosid, sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta.
Hubungan antara epitel dengan jaringan limfosid ini sangat erat, sehigga sering
disebut ” Limfoepitel ”.
Bloom dan Fawcett ( 1965 ) membagi mukosa nasofaring atas empat
macam epitel :
1. Epitek selapis torak bersilia ” Simple Columnar Cilated Epithelium ”
2. Epitel torak berlapis “ Stratified Columnar Epithelium “.
3. Epitel torak berlapis bersilia “Stratified Columnar Ciliated Epithelium“
4. Epitel torak berlapis semu bersilia “ Pseudo-Stratifed Columnar Ciliated
Epithelium.

Mengenai distribusi epitel ini, masih belum ada kesepakatan diantara para
hali.60 % persen dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng “
Stratified Squamous Epithelium “, dan 80 % dari dinding posteroir nasofaring
dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral dan depan dilapisi oleh
epitel transisional, yang meruapkan epitel peralihan antara epitel berlapis
gepeng dan torak bersilia. Epitel berlapis gepeng ini umumnya dilapisi Keratin,
kecuali pada Kripta yang dalam. Di pandang dari sudut embriologi, tempat
pertemuan atau peralihan dua macam epitel adalah tempat yang subur untuk
tumbuhnya suatu karsinoma.

E. KLASIFIKASI
WHO 1978
1. Tipe. 1 : Karsinoma sel skuamosa dengan berkeratinisasi
2. Tipe 2 : Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi
3. Tipe 3 : Karsinoma tanpa diferensiasi

Working formulation
1. Karsinoma Tipe A : anaplasia / Pleomorfy nyata-derajat keganasan
menegah.
2. Karsinoma Tipe B : anaplasia / pleomorfy ringan-derajat keganasan ringan.

Jenis tanpa keratinisasi dan tanpa diferisiensi mempunyai sifat


radiosensitif dan mempunyai titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr,
sedangkan jenis karsinoma sel skuamosa dengan berkeratinisasi tidak begitu
radiosensitif dan tidak menunjukkan hubungan dengan virus Epstein-Barr.
Klasifikasi Working Formulation digunakan untuk membandingkan
respon radiasi pada karsinoma nasofaring dengan metastasis ke kelenjar leher,
respons radiasi paling baik pada karsinoma nasofaring tipe B, kurang begitu
baik pada tipe A dan paling kurang baik pada karsinoma sel skuamosa
berkeratin.

F. MANIFESTASI KLINIS
1. Gejala Dini
Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka
diagnosis dan pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting
untuk mengetahui gejala dini KNF dimana tumor masih terbatas di rongga
nasofaring.
a. Gejala telinga :
1) Kataralis/sumbatan tuba eutachius Pasien mengeluh rasa penuh di
telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan
pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini.
2) Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan
ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan
muara tuba, dimana rongga teliga tengah akan terisi cairan. Cairan
yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya
terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan
pendengaran.

b. Gejala Hidung :
1) Mimisan Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan
dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan.
Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan
seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah
jambu.
2) Sumbatan hidung Sumbutan hidung yang menetap terjadi akibat
pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana.
Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan
gangguan penciuman dan adanya ingus kental.
3) Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas
untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa,
misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga
sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang.

2. Gejala Lanjut
a. Pembesaran kelenjar limfe leher. Tidak semua benjolan leher
menandakan pemyakit ini. Yang khas jika timbulnya di daerah samping
leher, 3-5 sentimeter di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini
merupakan pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama
sebelum sek tumor ke bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan ini tidak
dirasakan nyeri, karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya
sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan
mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan
sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi.
Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang
mendorong pasien datang ke dokter.
b. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Tumor dapat meluas
ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga tengkorak dan
kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan
menyebabkan gejala akibat kelumpuhan otak syaraf yang sering
ditemukan ialah penglihatan dobel (diplopia), rasa baal (mati rasa)
didaerah wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah, nahu, leher
dan gangguan pendengaran serta gangguan penciuman. Keluhan lainnya
dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak
rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang
terkena tumor. Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi
tubuh saja (unilateral) tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan
mengenai ke dua sisi tubuh.
c. Gejala akibat metastasis. Sel-sel kanker dapat ikur mengalir bersama
aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari
nasotoring, hal ini yang disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada
tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu stadium dengan
prognosis sangat buruk.

G. STADIUM
Stadium T = Tumor Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut
UICC (1992). T = Tumor primer
T0 - Tidak tampak tumor.
T1 - Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap dan
lain-lain).
T2 - Tumor terdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas di
dalam rongga nasofaring .
T3 - Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau
orofaring dsb).
T4 - Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak
atau mengenai saraf-saraf otak.
TX - Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.

N = Nodule
N - Pembesaran kelenjar getah bening regional .
N0 - Tidak ada pembesaran.
N1 - Terdapat penbesaran tetapi homolateral dan masih dapat di gerakkan.
N2 - Terdapat pembesaran kontralateral/bilateral dan masih dapat di gerakkan.
N3 - Terdapat pembesaran , baik homolateral ,kontralateral ,maupun bilateral
yang sudah melekat pada jaringan sekitar .

M = Metastasis
M = Metastesis jauh
M0 - Tidak ada metastesis jauh.
M1 - Terdapat Metastesis jauh .

Stadium I :
T1 dan N0 dan N0
Stadium II :
T2 dan N0 dan M0

Stadium III :
T1/T2/T3 dan N1 dan M0 atau T3 dan N0 dan M0

Stadium IV :
T4 dan N0/N1 dan M0 atau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan M0 atau T1/T2/T3/T4
dan N0/N1/N2/N3 dan M1.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan radiologi konvisional foto tengkorak potongan antero-
postofor lateral, dan posisi waters tampak jaringan lunak di daerah
nasofaring. Pada foto dasar tengkorak ditemukan destruksi atau erosi tulang
daerah fosa serebia media.
2. Pemeriksaan tomografi, CT Scaning nasofaring. Merupakan pemeriksaan
yang paling dipercaya untuk menetapkan stadium tumor dan perluasan
tumor. Pada stadium dini terlihat
asimetri dari saresus lateralis, torus tubarius dan dinding posterior
nasofaring.
3. Scan tulang dan foto torak untuk mengetahui ada tidaknya metastasis jauh.
4. Psemeriksaan serologi, beruoa pemeriksaan titer antibodi terhadap virus
Epsten-Barr ( EBV ) yaitu lg A anti VCA dan lg A anti EA.
5. pemeriksaan aspirasi jarum halus, bila tumor primer di nasofaring belum
jelas dengan pembesaran kelenar leher yang diduga akibat metatasisi
karsinoma nasifaring. pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal untuk
mendeteksi adanya metatasis.

I. DIAGNOSIS
Persoalan diagnosis sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-scan
daerah kepada dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun
tidak akan terlalu sulit ditemukan. Pemeriksaan serologi lg A anti EA dan lg A
anti VCA untuk infeksi virus E-B telah menunjukkan kemajuan dalam
mendeteksi karsinoma nasofaring. Diagnosa pasti ditegakkan dengan
melakukan Biopsi nasofaring. Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan 2 cara,
yaitu : dari hidung atau dari mulut.
Biopsi melaui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya ( blind
biopsy ). Cunam biopsi dimasukkan melalui ronga hidung menyulusuri konka
media de nasofaring kemudian cunam di arahkan ke lateral dan dilakukan
biopsi.
Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung keteter yang berada dalam mulut diterik
keluar dan diklem bersama-sama ujung keteter yang di hidung. Demikian juga
dengan keteter yang di hidung di sebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke
atas. Kemudian denan kaca laring di lihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan
dengan melihat tumoir melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop
yang dimasukkan melalui mulut, masa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi
tumor nasofaring umumnya dilakukan dengan anestesi topikal dengan Xylocain
10%. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka
dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.

J. PENGOBATAN
Sampai saaat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring
adalah radiasi, karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang Bersifat
radiosensitif. Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat
menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau dengan akselerator linier ( linier
Accelerator atau linac). Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah
nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher
atas, bawah seerta klasikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan
sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran kelenjar.
Metode brakhiterapi, yakni dengan memasukkan sumber radiasi kedalam
rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal
pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cidera yang seius pada jaringan
sehat disekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus-kasus yang telah
memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa
jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal.
perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan
pemberian radiasi yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan
menimbulkan efek samping sesedikit mungkin. Metode yang disebut sebagai
IMRT ( Intersified Modulated Radiotion Therapy ) telah digunakan dibeberapa
negara maju.
Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1) RNA
“Ribose Nucleic Acid“ dan (2) DNA “ Desoxy Ribose Nucleic Acid “. DNA
terutama terdapat paa khromosom “ ionizing radiation “ menghambat
metabolisme DNA dan menghentikan aktifitas enzim nukleus. Akibatnya pada
inti sel terjadi khromatolisis dan plasma sel menjadi granuar serta timbul
vakuola-vakuola yang kahirnya berakibat sel akan mati dan menghilang.
Pada suatu keganasan ditandai oleh mitosis sel yang berlebihan ; stadium
profase mitosis merupakan stadium yang paling rentan terhadap radiasi. daerah
nasofaring dan sekitarnya yang meliputi fosa serebri media, koane dan daerah
parafaring sepertiga leher bagian atas. Daerah-daerah lainnya yang dilindungi
dengan blok timah. Arah penyinaran dri lateral kanan dan kiri, kecuali bila ada
penyerangan kerongga hidung dan sinus paranasal maka perlu penambahan
lapangan radiasi dari depan.
Pada penderita dengan stadium yang masih terbataas (T1,T2), maka luas
lapangan radiasi harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai 4000 rad ,
terutama dari atas dan belakang untuk menghindari bagian susunan saraf pusat
. Dengan lapangan radiasi yang terbatas ini, radiasi dilanjutkan sampai
mencapai dosis seluruh antara 6000- 7000 rad . pada penderita dengan stadium
T3 dan T4, luas lapangan radiasi tetap dipertahankan sampai dosis 6000 rad.
Lapangan diperkecil bila dosis akan ditingkatkan lagi sampai sekitar 7000 rad.
Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula. Apabila tidak ada
metastasis kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik
dengan dosis 4000 rad, sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang
sama dengan dosis daerah tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk
menghindari gangguan penyinaran terhadap medullaspinalis, laring dan
esofagus, maka radiasi daerah leher dan supraklavikula ini, sebaiknya diberikan
dari arah depan dengan memakai blok timah didaerah leher tengah.
Dosis radiasi umumnya berkisar antara 6000 – 7000 rad, dalam waktu 6 –
7 minggu dengan periode istirahat 2 – 3 minggu (“split dose”). Alat yang
biasanya dipakai ialah “cobalt 60”, “megavoltage”orthovoltage”.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2007). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10. EGC.
Jakarta.
Doenges, M. G. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3 EGC. Jakarta.
Dunna, D.I. Et al. (1995). Medical Surgical Nursing ; A Nursing Process Approach.
2 nd Edition : WB Sauders.
Lab. UPF Ilmu Penyakit THT FK Unair. (1994). Pedoman Diagnosis Dan Terapi
Lab/UPF Ilmu
Penyakit THT. Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetom Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. Surabaya.
Makalah Kuliah THT. Tidak dipublikasikan Prasetyo B, Ilmu Penyakit THT, EGC
Jakarta
Rothrock, C. J. (2000). Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. EGC :
Jakarta.
Sjamsuhidajat & Wim De Jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.
Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. (2000). Buku Ajar Ilmu Kesehatan
THT. Edisi kekempat. FKUI : Jakarta.
Sri Herawati. (2000). Anatomi Fisiologi Cara Pemeriksaan Telinga, Hidung,
Tenggorokan. Laboratorium Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Surabaya.
Rasad U, Dalam : Nasopharyngeal Carcinoma. Medical Progress. July Vol 23 no 7
1996 ; 11-16
Soepardi EA, Iskandar N. Dalam : Karsinoma Nasofaring. Buku Ajar THT. Edisi
Kelima. Balai Penerbit FK UI. Jakarta, 2000 : 146-150
Iskandar N, Munir M, Soetjiepto D. Tumor Ganas THT : Balai Penerbit FKUI.
Jakarta, 1989.
Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. Dalam : Bahaya Radiasi dan Pencegahan.
Radiologi Diagnostik, FKUI, 1985 : 25-28.
Susworo. Dalam : Kanker Nasofaring Epidemologi dan Pengobatan Mutakhir.
Cermin Dunia Kedokteran. 2004 : 16-20

Anda mungkin juga menyukai