Abstrak: Kadar asam urat diduga merupakan salah satu faktor resiko terjadinya batu saluran kemih.
Hal tersebut berkaitan dengan adanya kristalisasi asam urat pada saluran kemih, yang berujung pada
batu asam urat. Penelitian bertujuan untuk melihat apakah ada hubungan antara kadar asam urat
dengan kejadian batu asam urat pada pasien batu saluran kemih. Penelitian dilakukan di
Departemen Urologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Juni 2012 hingga Juni 2013 dengan
menggunakan data rekam medis pasien tahun 2009-2011 sebanyak 102 sampel. Data yang diambil
adalah kadar asam urat pasien yang dikelompokkan menjadi normal (≤6,8 mg/dL) dan tinggi (>6,8
mg/dL), serta hasil analisis batu saluran kemih, apakah terdapat batu asam urat atau tidak. Hasil
menunjukkan bahwa pada pasien dengan kadar asam urat normal, batu asam urat terjadi pada 33
dari 84 orang (39,3%), dan pada pasien dengan kadar asam urat tinggi terjadi pada 6 dari 18 orang
(33,3%). Hasil uji chi-square menunjukkan p=0,637, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat hubungan bermakna antara kadar asam urat dengan kejadian batu asam urat.
Kata kunci: batu saluran kemih, kadar asam urat, batu asam urat
Abstract: Uric acid level in blood is thought to be one of many risk factors in urolithiasis. It is
related to the crystallization of uric acid in the urinary tract which will become uric acid stone.
Objective of this study was to determine whether there is a correlation between uric acid level in
blood with uric acid stone occurrence or not. The study was done at Urology Department Cipto
Mangunkusumo Hospital in June 2012 until June 2013, using 102 data from medical record year
2009-2011. Data used for study were uric acid level, which was categorized into normal (≤6,8
mg/dL) and high (>6,8 mg/dL), and stone analysis, whether there was uric acid or not. The results
showed that uric acid stone occured in 33 of 84 patients (39,3%) with normal uric acid level, and in
6 of 18 patients (33,3%) with high uric acid level. Chi-square test showed that p=0,637, which
proved that there was no correlation between uric acid level with uric acid stone occurrence.
Tinjauan Pustaka
A. Pembentukan Urin
Urin dibentuk dalam ginjal melalui tiga proses utama. Proses tersebut dimulai dengan
penyaringan, penyerapan kembali, dan penambahan zat sisa. Berikut penjelasan dari masing-masing
proses pembentukan urin tersebut.
1. Penyaringan (Filtrasi)
Proses penyaringan, atau disebut juga filtrasi, terjadi di dalam glomerulus, suatu susunan
jaringan kapiler. Glomerulus berfungsi untuk menahan komponen seluler dan protein besar agar
tidak ikut terbuang. Glomerulus merupakan jaringan kapiler yang memiliki tiga lapisan. Lapisan
tersebut adalah kapiler endothelial, membran dasar, dan epitelium visceral.
Susunan glomerulus yang berupa jaringan kapiler berasal dari arteriol aferen, dan setelah
glomerulus, menyatu kembali membentuk arterrol eferen. Terdapat sel epitel yang membungkus
glomerulus, disebut juga dengan kapsula bowman. Di antara glomerulus dan kapsula bowman
terdapat suatu daerah yang memiliki fungsi sebagai pengumpul filtrat glomerular, yaitu cairan yang
tersaring dari glomerulus. Area tersebut disebut juga sebagai area bowman.10
Adanya tekanan hidrostatik darah kapiler dan tekanan onkotik pada cairan dalam area
bowman merupakan dasar terjadinya proses filtrasi. Selain itu, tahanan filtrasi yang ada bersifat
selektif permeable. Dengan adanya kedua tekanan dari dua sisi serta adanya tahanan selektif
permeable, maka hanya zat tertentu yang dapat melewati tahanan tersebut. Molekul dengan ukuran
radius 4 nm atau lebih tidak akan dapat melewati tahanan, sedangkan yang kurang dari 2 nm pasti
akan lolos. Dalam keadaan normal, komponen seluler dan protein plasma akan tetap berada di
dalam darah, sedangkan yang bersifat cair seperti air dan larutan lainnya keluar menjadi urin. Hasil
dari filtrasi tersebut disebut juga urin primer.10 Hal lain yang mempengaruhi proses filtrasi adalah
muatan listrik dari setiap molekul. Kation lebih mudah tersaring dibandingkan dengan anion. Selain
Penyerapan kembali, atau disebut juga reabsorbsi, merupakan proses kedua dari
pembentukan urin, dan terjadi pada tubulus kontortus proksimal hingga distal pada nefron. Proses
reabsorbsi pada tubulus kontortus proksimal dilakukan terhadap urin primer dan berfungsi untuk
mengambil kembali zat-zat yang masih berguna. Zat tersebut adalah glukosa dan asam amino. Jika
terdapat kelebihan garam dan bahan lainnya, bahan tersebut tidak direabsorbsi. Hasil dari reabsorbsi
disebut urin sekunder. Sedangkan pada tubulus kontortus distal dilakukan reabsorbsi terhadap
air.10,11
Penambahan zat sisa, atau disebut juga dengan augmentasi, terjadi pada tubulus kontortus
distal. Augmentasi dilakukan dengan menambahkan hasil anabolisme dari zat makanan yang
awalnya memiliki molekul kompleks seperti CO2, H2O, NHS, asam urat, dan pigmen empedu. CO2
dapat digunakan sebagai penjaga kestabilan pH, sedangkan H2O dapat digunakan sebagai pelarut.
Sedangkan ammonia memang merupakan zat yang berbahaya bagi tubuh, sehingga harus
dikeluarkan. Ammonia disimpan tubuh dalam bentuk yang tidak berbahaya, yaitu urea.10 Sedangkan
warna pada urin dihasilkan oleh empedu, yang merupakan hasil dari perombakan eritrosit. Asam
urat memiliki daya racun lebih rendah dibandingkan dengan ammonia, hal tersebut dikarenakan
daya larutnya yang lebih rendah dalam air.11 Hasil akhir urin yang dikeluarkan memiliki komposisi
air 96%, garam 1,5%, urea 2,5%, dan substansi lainnya.10,11
Proses pembentukan batu saluran kemih hingga saat ini masih belum diketahui,1 hanya
diduga terdapat beberapa faktor yang berperan. Faktor tersebut diantaranya adalah faktor genetik,
biologis, dan beberapa faktor lain seperti jenis kelamin, ras, dan gaya hidup.12 Faktor-faktor tersebut
adalah:
1. Supersaturasi urin. Merupakan adanya kelebihan suatu bahan dalam urin hingga
melebihi batas kelarutan dalam urin. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahan-bahan
tersebut adalah garam-garam
Gambar
2.1.
Bagan
faktor
resiko
terjadinya
batu
oksalat, sistein, asam urat, dan asam
urat
xantin. Dalam konsentrasi tinggi,
terutama jika ditambah dengan
pengurangan volume urin,
memudahkan terjadinya
kristalisasi.1 Faktor yang
mempengaruhi terjadinya
supersaturasi adalah pH urin,
konsentrasi cairan, kekuatan ion, dan pembentukan kompleks.3,4 Sedangkan dalam batu
asam urat, yang mempengaruhi adalah rendahnya pH urin, volume urin berkurang, dan
hiperurikosuria. Secara lengkap, dapat dilihat pada bagan di atas faktor yang
mempengaruhi terjadinya batu asam urat.
2. Faktor proteksi. Dalam urin normal terdapat zat-zat yang dapat memecahkan kristal yang
sudah terbentuk, mencegah agar kristal tidak melekat dengan cara membungkusnya, dan
membuat garam urin untuk menghambat pembentukan kristal. Pada kondisi zat proteksi
3. PH urin. Kadar pH urin yang bervariasi mempengaruhi terbentuknya kristal garam. Hal
tersebut terjadi pada kadar urin yang terlalu asam atau terlalu basa. Normalnya pH urin
dijaga pada kadar 5,6-6,5 agar tidak terbentuk batu saluran kencing. Pada pH yang
terlalu asam, akan lebih mudah terbentuk asam urat, sedangkan pada pH yang terlalu
basa, akan memudahkan terbentuk batu kalsium dan struvit. Batu asam urat akan lebih
mudah terbentuk pada pH yang rendah dikarenakan kelarutan asam urat pada urin yang
lebih rendah pada pH yang rendah. Pada pH 5, kelarutan asam urat sangat rendah,
sehingga jumlah asam urat yang rendah cukup untuk menyebabkan mulai terbentuknya
kristal asam urat. Sedangkan pada pH 6,5, kelarutan asam urat tinggi, hingga asam urat
sebesar 12 mg/dL masih dapat dilarutkan dalam urin. Variasi dari pH urin tersebut
dipengaruhi oleh berbagai macam hal. PH urin yang rendah dipengaruhi oleh diet
protein hewani yang tinggi, penyakit gout, obesitas, dan resistensi insulin. Selain itu,
diare juga dapat mempengaruhi rendahnya pH.13
4. Nukleasi. Inti kristal dapat terbentuk dari kristal dari partikel debris dan ireguler di
dalam dinding saluran kencing. Inti kristal tersebut dapat menjadi sumber terjadinya
batu. Sedangkan debris, sebagai sumber dari inti kristal, dapat terbentuk karena adanya
benda asing, aliran urin yang kurang lancer, obstruksi, kelainan kongenital, maupun
infeksi.1
Batu saluran kemih dapat dibagi berdasarkan komposisi batu tersebut. Bahan komposisi
batu dapat dilihat dari tabel di bawah ini.3,14
Asam urat 6
Sistin 1-2
Lainnya ± 10
1. Batu kalsium. Lebih mudah terjadi dalam kondisi hiperkalsiuria absorptive, hiperkalsiuria
renalis, dan rendahnya kadar sitrat.
2. Batu oksalat. Lebih mudah terjadi pada kondisi adanya faktor genetik (autosomal resesif),
ingesti-inhalasi dari vitamin C, methoxyflurance, ethylene glycol, anestesi, dan kondisi
hiperoksaluria enteric.
3. Batu asam urat. Lebih mudah terjadi jika mengkonsumsi makanan yang banyak
mengandung purin, penggunaan sitostatik pada pengobatan neoplasma, dehidrasi kronis, dan
konsumsi obat-obatan seperti tiazid, furosemide, dan salisilat.
C. Hiperurisemia
Merupakan kondisi kadar asam urat dalam plasma atau serum lebih dari 6,8 mg/dL. Hal
tersebut dapat terjadi karena meningkatnya produksi dari asam urat atau menurunnya ekskresi dari
asam urat, dan juga dapat terjadi karena keduanya sekaligus. Hiperurisemia merupakan faktor
predisposisi seseorang untuk mendapatkan gout, urolitiasis, atau disfungsi ginjal.15
Peningkatan produksi urat dapat disebabkan berbagai macam penyakit seperti polisitemia
vera, psoriasis, ataupun dari olahraga, alcohol, obesitas, dan diet kaya purin. Sedangkan eksresi
asam urat yang menurun dapat disebabkan oleh insufisiensi ginjal, penyakit ginjal polikistik,
diabetes insipidus, hipertensi, penyakit lainnya, serta karena konsumsi obat seperti salisilat, diuretik,
alkohol, levodopa, etambutol, dan lainnya.15
Metode
Desain penelitian terpilih adalah studi cross-sectional analitik untuk mengetahui hubungan
antara kadar asam urat dengan kejadian batu asam urat. Populasi target dari penelitian ini adalah
pasien batu saluran kemih di Indonesia, dengan populasi terjangkau pasien batu saluran kemih di
Departemen Urologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Subyek penelitian ini adalah pasien batu
saluran kemih di Departemen Urologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo periode tahun 2009-2011
yang memenuhi kriteria penelitian.
Penelitian dilakukan di Departemen Urologi RSCM sejak Juni 2012 hingga Juni 2013.
Sampel berjumlah 102 diambil dengan kriteria inklusi yaitu rekam medis pasien penderita batu
saluran kemih (urolithiasis) di Departemen Urologi pada tahun 2009-2011 serta terdapat data yang
diperlukan, berupa kadar asam urat dan analisa batu urat ada dalam status. Kriteria eksklusi pada
Hasil
Pada periode tahun 2009-2011 di Departemen Urologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
periode tahun 2009-2011, didapatkan data yang memenuhi kriteria sebagai subyek penelitian
sebanyak 102. Karakteristik pasien batu asam urat berdasarkan data tersebut dapat dilihat pada
Tabel 4.1. Pasien batu asam urat sebagian besar merupakan laki-laki (60,8%), memiliki rerata usia
49,5 tahun dan sebagian besar memiliki kadar asam urat normal (≤6,8 mg/dL).
Gambar 4.1 Grafik perbandingan pasien dengan komposisi batu saluran kemih terdapat
asam urat dengan tidak terdapat asam urat, dikelompokkan berdasarkan kadar asam urat
dalam darah.
60
50
40
Tidak
terdapat
asam
urat
pada
30
batu
10
0
Kadar
asam
urat
normal
Kadar
asam
urat
?nggi
Data yang ditunjukkan pada tabel 4.2 menunjukkan sebagian besar data pasien yang
didapatkan tidak memiliki kandungan asam urat pada batu saluran kemih (63 pasien) dibandingkan
dengan memiliki kandungan asam urat pada batu saluran kemih (39 pasien). Selain itu juga
didapatkan bahwa sebagian besar pasien memiliki kadar asam urat normal (84 pasien) dibandingkan
dengan pasien dengan kadar asam urat tinggi (18 pasien).
Perbandingan data dapat dilihat lebih jelas pada gambar 4.1, terlihat bahwa pasien dengan
kadar asam urat normal, 51 dari 84 orang (60,7%) tidak terdapat asam urat pada batu, sedangkan
Pembahasan
Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya memiliki hasil yang berbeda antara
satu dengan yang lainnya, dengan hasil yang mendukung penelitian ini ataupun tidak mendukung.
Khan et al (2010), menilai kaitan antara kadar asam urat pada penderita batu ginjal dan kelompok
kontrol yang tidak menderita batu ginjal. Didapatkan bahwa rata-rata kadar asam urat dalam darah
antara kedua kelompok tersebut tidak jauh berbeda, dan mereka menyimpulkan bahwa dalam
penelitian mereka didapatkan bahwa kadar asam urat tidak mempengaruhi pembentukan batu
ginjal.8 Sedangkan studi yang dilakukan di RSUD Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan tahun
2008, menunjukkan hasil yang bertolak belakang, yaitu bahwa terdapat kaitan antara peningkatan
kadar asam urat serum dengan kejadian batu ginjal secara keseluruhan.7 Perbedaan hasil tersebut
diduga disebabkan oleh kadar asam urat tersebut sendiri bukan merupakan penyebab langsung
terjadinya batu asam urat, tetapi tetap merupakan salah satu faktor resiko terbentuknya batu asam
urat. Pembentukan batu asam urat lebih disebabkan oleh penurunan pH urin (asam), volume urin
yang rendah, dan hiperurikosuria.3,4
Asam urat dalam urin lebih mudah dilarutkan dalam pH yang lebih tinggi, sehingga dalam
kondisi pH rendah, kristal asam urat lebih mudah terbentuk. Rendahnya pH urin sendiri dipengaruhi
oleh beberapa hal, seperti diet protein hewani yang tinggi, adanya penyakit gout, obesitas, dan
resistensi insulin, serta diare.13 Volume urin yang rendah dapat disebabkan oleh asupan cairan yang
kurang, maupun kondisi diare. Sedangkan hiperurikosuria salah satunya disebabkan oleh
hiperurisemia.
Kesimpulan
Secara deskriptif pasien batu asam urat pada Departemen Urologi RSCM tahun 2009-2011
memiliki rentang usia 28-69 tahun, dengan rata-rata usia 49,5 tahun. Pasien dengan jenis kelamin
laki-laki lebih banyak 1,5 kali dibandingkan perempuan. Tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara kadar asam urat dengan kejadian batu asam urat pada pasien batu saluran kemih yang
dibuktikan dengan uji Chi-square (p>0,05).
Saran
Perlunya penelitian lanjutan mengenai faktor resiko lain yang dapat mempengaruhi
terbentuknya batu asam urat, terutama pH urin. Jika ingin dilakukan penelitian sejenis dengan
meneliti faktor hiperurisemia, maka diperlukan sampel yang lebih banyak dan faktor inklusi dan
ekslusi yang lebih detail, sehingga bias dari faktor lain semakin sedikit.
Referensi
1. Sja’bani M. Pencegahan Kekambuhan Batu Ginjal Kalsium Idiopatik dalam Kumpulan Makalah
Pertemuan Ilmiah ke III Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta. 2001;
46-64.
2. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins Basic Pathology. 8th Edition. Philadelphia:Saunders.
2007; 571-572.
3. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, et al: Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Media
Aesculapius. 2000; 334-335.
4. Reilly, R.F. The Patient with Renal Stones. Manual of Nephrology. 5 th ed. Philadelphia. 2000;
81-90.
5. Statistik Rumah Sakit di Indonesia. Seri 3, Morbiditas dan Mortalitas. Direktorat Jenderal
Pelayanan Medik. Departemen Kesehatan RI. 2002.
6. Kurniari PK, Kambayana G, Putra TR. Hubungan hiperurisemia dan fraction uric acid
clearance di desa Tenganan pegringsingan Karangasem Bali. J Peny Dalam. 2011; 12(2):77-80.