Anda di halaman 1dari 3

InfoSAWIT, JAKARTA - Indonesia adalah salah satu produsen dan

pengekspor terbesar minyak sawit mentah (CPO) di dunia. Selain bisa untuk
menjadi bahan baku untuk sector makanan juga bisa untuk bahan baku
pembuatan energi terbarukan (renewable energy), atau yang tren dikenal
dengan biodiesel.

Ini pula yang menjadi salah satu faktor paling berpengaruh penyebab
tingginya permintaan minyak kelapa sawit di pasar dunia. Namun, dalam
perdagangan internasional, konsumen yang memilih untuk membeli CPO
sensitif terhadap berbagai isu negatif atau kampanye hitam (black campaign).

Isu yang mengemuka adalah produksi kelapa sawit yang terus mengalami
peningkatan di Indonesia dan Malaysia telah menimbulkan berbagai dampak
negatif terhadap lingkungan, antara lain konversi lahan dari hutan tropis,
pemusnahan beberapa spesies fauna, efek rumah kaca dan perubahan iklim.
Isu-isu ini berdampak pada tidak stabilnya harga CPO dunia.

Ada beberapa bentuk kampanye negatif minyak sawit. Pertama, di era 1980-
an, minyak sawit dituding mengandung kolestrol tinggi sehingga
membahayakan kesehatan konsumen. Namun, hal ini dapat dipatahkan oleh
hasil penelitian lembaga riset Malaysia.

Kedua, perkebunan sawit khususnya di lahan gambut dituding menyebabkan


tingginya emisi karbon dan merusak lingkungan. Indonesia dianggap sebagai
penjahat iklim karena turut andil meningkatkan emisi karbon pemicu
pemanasan global. Ketiga, perkebunan sawit merusak satwa liar. Keempat,
diskriminasi minyak sawit. Kandungan lemak pada CPO dianggap berdampak
negatif bagi kesehatan. Meski sudah dibantah Malaysia dan Indonesia,
pembicaraan ini terus berlanjut.

Salah satu bukti kampanye negatif dilakukan Negara-negara di Uni Eropa


(UE) yang mengeluarkan kebijakan EU Labelling Regulation 1169/2011 yang
mana mempersyaratkan pencantuman sumber minyak nabati secara spesifik
untuk seluruh produk makanan yang beredar di UE.

Selain itu Indonesia juga mendapat tuduhan dari UE atas produk biodiesel
dan fatty alcohol. Kementerian Perdagangan RI telah mempertanyakan hal
tersebut kepada Pemerintah UE seperti Perancis atau Italia. Hasilnya, kedua
negara itu mengaku bahwa aturan pelabelan itu bukan peraturan pemerintah
tapi peraturan yang dibuat dan diterapkan oleh swasta.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Seiring meningkatnya dominasi minyak
sawit pada perdagangan minyak nabati dunia, ada yang merasa terancam
eksistensi bisnisnya. Hal ini memicu sengitnya persaingan minyak sawit dari
Asia Tenggara dan minyak kedelai dari Eropa dan Amerika Serikat.

Saat ini, persaingan bisnis head to head tidak dapat melawan minyak sawit,
karena tanaman kelapa sawit paling produktif dan biaya produksinya paling
ekonomis. Ada dugaan kuat negara-negara penghasil minyak nabati non-sawit
menggunakan alasan lingkungan dan kebijakan ekonomi-politik negara untuk
menghambat ekspansi minyak sawit.

Kecemburuan internasional terhadap perkembangan kelapa sawit perlu


didalami dengan mengurai isu negatif (black campaign) pembangunan kelapa
sawit dimana pembangunan kelapa sawit dikhawatirkan tidak berkelanjutan.

Dengan mengurai isu pembangunan kelapa sawit berkelanjutan, maka dapat


diketahui bahwa akar masalahnya adalah di pasar pangsa minyak sawit
menguat dibandingkan minyak nabati lainnya, dan hal ini dimungkinkan
karena produktivitas dan efisiensi minyak sawit lebih tinggi dibandingkan
minyak nabati lain, yang faktanya diproduksi negara-negara subtropis yang
pada umumnya oleh negara maju. Dengan posisi minyak sawit lebih kuat ini,
isu yang dikembangkan adalah isu pembangunan kelapa sawit berkelanjutan
melalui penciptaan hambatan teknis produksi dan perdagangan.

Bagaimana cara menanggulangi hal tersebut ?

Pertama yang perlu dilakukan yaitu, Indonesia perlu lebih proaktif


mempromosikan perkebunan sawit berkelanjutan. Prosedur Indonesia
Sustainable Palm Oil (ISPO) diharapkan bisa mencerminkan komitmen
Indonesia dalam memproduksi minyak sawit berkelanjutan, menjaga
kelestarian sumber daya alam, dan fungsi lingkungan hidup sesuai tuntutan
masyarakat global. Hubungan intens antar pemerintah juga harus
dikembangkan.

Kedua, perlunya pengungkapan lebih lanjut mengenai isu emisi karbon


tentang keunggulan penggunaan minyak kelapa sawit dibandingkan dengan
minyak nabati lainnya serta fakta-fakta keunggulan lain mengenai minyak
sawit.
Hal tersebut harus dilakukan untuk menjawab isu-isu terkait kelapa sawit
sebagai upaya dalam membangun citra positif kelapa sawit disertai dengan
riset yang mendukung. Disinilah dibutuhkan kerjasama antara lembaga
institusi maupun lembaga riset dalam negeri dan negera tetangga untuk
menjawab isu-isu tersebut.

Ketiga, informasi mengenai karakteristik minyak sawit dan minyak nabati


lain terkait dengan kesehatan dapat diungkap secara fair pada konsumen.
Dukungan tenaga riset yang andal akan mampu memprediksi berbagai
kemungkinan kampanye negatif industri sawit sekaligus mempersiapkan
jawabannya berbasis hasil riset.

Riset ini memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun, dengan
besarnya hasil yang diperoleh minyak sawit di Indonesia dan Malaysia serta
komitmen pemerintah akan dapat mendukung biaya yang dikeluarkan.
Sebagian bea keluar CPO dapat dialokasikan untuk riset ini.

Berbagai isu dari kampanye negatif dan diskriminasi terhadap industri sawit
ini dapat dianggap sebagai upaya menghambat pemanfaatan keunggulan
sumber daya lahan dan akan menurunkan devisit pendapatan ekspor negara
yang berujung juga merugikan industri sawit Indonesia. Maka dari itu
perlunya upaya yang lebih keras dalam membangun citra positif industri sawit
di dunia.

(Penulis Silmi Rahim/ Jurusan Agribisnis 2015, Fakultas


Pertanian, Universitas Padjadjaran)

Anda mungkin juga menyukai