termasuk reformasi di bidang kesehatan. Sejalan dengan berlakunya kebijakan otonomi daerah (otoda), urusan bidang kesehatan diserahkan sepenuhnya kepada kabupaten/kotamadya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa reformasi di bidang kesehatan juga harus dilakukan oleh masing-masing daerah kabupaten/kotamadya. Dari beberapa pelaksanaan reformasi di bidang kesehatan yang sekarang tengah dilakukan, adalah reformasi puskesmas. Setidaknya ada 4 landasan pokok (raison d’etre), mengapa puskesmas perlu mendapat perhatian (baca: direformasi). Pertama; Citra puskesmas yang selama ini kurang baik, ditandai dengan kualitas pelayanan yang kurang bermutu. Rendahnya kualitas pelayanan lebih disebabkan oleh belum optimalnya pemanfaatan tenaga kesehatan di puskesmas (disfungsi petugas). Ambil contoh saja, masih banyak perawat puskesmas yang melakukan fungsi kuratif, mulai dari membuat diagnosa hingga upaya pengobatan. Padahal, fungsi perawat hakekatnya adalah lebih kearah perawatan (caring). Kesibukan perawat dalam tugas kuratifnya, jelas mempengaruhi mutu pelayanan promotif dan preventif, karena banyak kegiatan primary health care yang tidak dilaksanakan dan akibatnya banyak informasi penting yang bersifat penyuluhan kepada masyarakat tidak tersampaikan (Rosalio Sciortino, 1999). Sementara dokter puskesmas lebih berfungsi sebagai kepala puskesmas, yang waktunya banyak terserap pada urusan manajerial puskesmas. Sedangkan fungsi pelayanan medik yang menjadi kompetensinya menjadi terbatas. Akibatnya pelayanan yang diberikan puskesmas kurang bermutu, karena upaya pengobatan yang dilakukan adalah minimal, bahkan sering salah. Terbukti dari data di RSUD Syaiful Anwar Malang, menunjukkan dari 428 kasus rujukan terdapat 288 rujukan dari puskesmas di Malang, diagnosanya tidak jelas (Kompas, 23/3/01). Kondisi demikian diperparah dengan penampilan fisik puskesmas yang ‘ala kadarnya’ dan sikap tenaga kesehatan puskesmas yang kurang ramah alias judes dalam memberikan informasi kepada pasiennya. Telah menjadi rahasia umum, bahwa interaksi antara staf puskesmas dengan pasien tidak terjadi transfer pengetahuan dan informasi, yang ada adalah komunikasi tertutup/satu arah. Keberadaan pasien hanya menjadi obyek penderita yang tidak mempunyai kewenangan untuk bertanya terlalu jauh mengenai kondisinya. Rosalio Sciortino, dalam bukunya “Menuju Kesehatan Madani”, menyebut kondisi ini sebagai ‘konstruksi rahasia’ yang menunjukkan sebuah bentuk ektrim dari pengendalian informasi oleh staf puskesmas dengan membiarkan pasien dalam kondisi ketidaktahuan total mengenai masalah kesehatan diri mereka. Situasi ini, dalam era otoda, tidak boleh terjadi lagi, karena masyarakat berhak tahu atas kondisi kesehatannya. Dalam UU Perlindungan Konsumen telah mengatur hal tersebut, bahkan UUD 1945 pasal 28H ayat 1, jelas menyebutkan bahwa setiap Warga Negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak, baik dari segi kualitas layanan maupun pemenuhan informasinya. Kedua, Perencanaan program puskesmas selama ini bersifat top down, ditandai dengan penetapan upaya pokok puskesmas yang tidak sesuai dengan kebutuhan daerah. Selama ini, puskesmas ‘dipaksa’ melakukan 18 usaha kegiatan pokok puskesmas, sehingga program yang berjalan tidak berkesinambungan dan tidak sesuai dengan realita dilapangan. Pada masa sentralisasi, sebenarnya mekanisme untuk melakukan perencanaan secara bottom up telah disediakan, namun pada kenyataannya tidak pernah terjadi. Karena proses perencanaan puskesmas selama ini berjalan biasanya dikerjakan hanya oleh unit pelaksana dan dikoordinir oleh seseorang yang diserahi tugas oleh kepala puskesmas. Diperparah lagi, penerapan model penganggaran terpusat, maka sering kali apa yang direncanakan dengan apa yang didapat sering tidak match. Bahkan puskesmas yang tidak mengajukan perencanaan, tetap mendapat dana anggaran. Hal inilah yang membuat puskesmas tidak berusaha menyusun perencanaan yang baik. Ditambah lagi adanya fakta bahwa antara proses pengajuan dengan turunnya dana membutuhkan waktu yang sangat panjang. Sering ditemui rencana tahun ini, anggarannya baru keluar tahun depannya. Kondisi diatas, sebenarnya lebih menunjukkan bahwa puskesmas tidak mempunyai kewenangan dan kemampuan dalam menentukan upaya yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta ketersediaan sumber yang dimiliki puskesmas. Hampir seluruh kegiatan puskesmas telah didesain dan diatur oleh pusat. Puskesmas hanya sebagai ‘kambing congek’, pelaksana segala kebijakan yang ditetapkan oleh pusat. Dalam konteks otoda, prinsip otoda adalah pembangunan berbasis lokal masyarakat, maka puskesmas kedepan seyogyanya mempunyai kewenangan yang besar untuk merencanakan dan mendisain programnya sesuai dengan kondisi lingkup wilayah kerjanya, sekaligus juga kewenangan untuk mengelola sumber daya, baik tenaga kerjanya maupun pengelolaan keuangan. Apalagi ditinjau dari segi kuantitas puskesmas di Indonesia yang sangat besar, sekitar 6.700 puskesmas, memiliki potensi strategis bagi pembangunan kesehatan didaerah. Demikian pula keberadaan puskesmas di Kab. Lamongan yang berjumlah sekitar 17 puskesmas (ditambah 108 puskesmas pembantu) mempunyai posisi strategis dalam meningkatkan derjat kesehatan di Lamongan. Ketiga, Sistem informasi puskesmas sangat lemah. Hal yang sangat memprihatinkan adalah manajemen data dan informasi puskesmas yang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kemampuan manajemen pelayanan puskesmas. Ternyata lebih banyak digunakan sebagai sekedar ‘laporan rutin’ ke atas. Akhirnya data dan informasi yang diberikan tidak valid (baca: rekayasa). Budaya AAS (Asal Atasan Senang) sangat mengemuka. Ujungnya evaluasi puskesmas dalam bentuk stratifikasi puskesmas tidak pernah menunjukkan kondisi riil. Segalanya adalah rekayasa. Dalam pelaksanaan otoda bidang kesehatan, puskesmas diharapkan sebagai sumber perencanaan pembangunan kesehatan daerah, sehingga sistem manajemen dan informasi puskesmas menjadi sangat menentukan keberhasilan pembangunan kesehatan daerah. Logika sederhananya, bila sistem informasi puskesmas amburadul, maka pelaksanaan pembangunan kesehatan daerah kurang optimal, begitu sebaliknya. Karena itu, upaya Dinas Kesehatan Kab. Lamongan yang melaksanakan program internetisasi di seluruh puskesmas di wilayah kerjanya patut mendapat dukungan. Diharapkan dengan program tersebut, aliran data dan informasi semakin lancar dan cepat. Namun yang perlu diingat, kesiapan SD di puskesmas, jangan sampai program diberlakukan tanpa melihat kesiapan tenaga di puskesmas. Bila tenaganya saja belum disiapkan, maka dana yang telah dikeluarkan akan sia-sia belaka. Intinya perlu ada peningakatan capacity bulding bagi tenaga di puskesmas. Jangan sampai kejadian disalah satu kabupaten di Jawa Timur terjadi di Lamongan. Program Internetisasi hanya bertahan dalam hitungan bulan, disebabkan petugas di puskesmas ‘tidak tahu’ mesti diapakan komputer tersebut, akhirnya kembali pada ‘cara lama’. Keempat, Kesalahan penataan dan penerapan fungsi dan peran puskesmas. Selama ini fungsi dan peran puskesmas sebagai pusat pembangunan kesehatan dan pusat pembinaan peran serta masyarakat btidak pernah dijabarkan dalam operasional. Fungsi dan peran puskesmas selama ini ditonjolkan pada fungsi pengobatan saja, layaknya sebagai ‘miniatur kecil Rumah Sakit’. Kedepan, sejalan dengan penerapan paradigma sehat, fungsi dan peran puskesmas lebih menitikberatkan sebagai penggerak pembangunan berwawasan kesehatan di kecamatan, menumbuhkan pemberdayaan masyarakat dan keluarga di bidang kesehatan. Namun tidak melupakan fungsi sebagai unit pelayanan kesehatan tingkat pertama yang bermutu dan efisien. Akhirnya, dalam otoda ini, diharapkan penentu kebijakan di daerah dapat semakin menyadari pentingnya kesehatan bagi pengembangan sumber daya manusia di daerah. Salah satunya jalan yang perlu dilaksanakan segera, mereformasi puskesmas. Wallahu alam bishowab.