Anda di halaman 1dari 4

Pelayanan Kesehatan Dasar di Era Otonomi Daerah

Posted by: Erni Yusnita

Created: 14 Oktober 2012

Pemberlakuan otonomi daerah mulai diterapkan melalui UU Nomor 22 tahun 1999, dan
pelaksaanaannya baru dimulai tahun 2001. Tujuan Desentralisasi tersebut di bidang kesehatan
adalah mewujudkan pembangunan nasional di bidang kesehatan yang berlandaskan prakarsa dan
aspirasi masyarakat dengan cara memberdayakan, menghimpun, dan mengoptimalkan potensi
daerah untuk kepentingan daerah dan prioritas Nasional dalam mencapai Indonesia Sehat 2010.
Untuk mencapai tujuan desentralisasi tersebut ditetapkan berbagai kebijakan salah satunya
optimalisasi peran pelayanan kesehatan dasar. Dalam artikel ini telah banyak membahas tentang
realita pelayanan kesehatan dasar di era desentralisasi, khususnya bagi daerah terpencil. Banyak
pendapat yang menyatakan belum siapnya Negara ini dengan pelaksanaan konsep desentralisasi.
Dampak implementasi pelaksanaan desentralisasi di semua bidang khususnya di bidang
kesehatan belum sesuai dengan tujuan desentralisasi yang sebenarnya. Hal ini terlihat dari realita
kondisi kesehatan yang kita hadapi saat ini, seperti adanya perbedaan status kesehatan antara
daerah yang masih tinggi, rendahnya kualitas kesehatan masyarakat miskin, adanya beban ganda
penyakit, masih rendahnya kualitas, kuantitas, pemerataan dan akses terhadap pelayanan
kesehatan. Permasalah kesehatan juga dihadapkan pada permasalahan kesehatan lingkungan,
pendanaan sektor kesehatan dan penguasaan teknis pelaksanaan desentralisasi oleh pemerintah.
Adanya otonomi daerah ini menjadikan pemerintah harus bekerja keras dalam mengupayakan
segala aspek pembangunan salah satunya aspek pendanaan. Saat ini tak asing lagi dimana sektor
kesehatan dijadikan salah satu sumber anggaran pendapatan daerah. Hal ini berarti pasien (orang
sakit) merupakan tulang punggung sumber pendapatan, secara tidak langsung hal ini
menghendaki peningkatan angka kesakitan setiap tahunnya. Fenomena ini sangat ironis dan
bertolak belakang dengan tujuan pembangunan nasional dimana pembangunan nasional
bertumpu pada pembangunan masyarakat seutuhnya, sehat jasmani dan rohani sehingga lebih
produktif dan dapat mendukung pembangunan negara.
Membahas tentang pelayanan kesehatan dasar di era desentralisasi, sepatutnya kita merujuk pada
realita di daerah-daerah pedesaan, terpencil, kepulauan, rawan bencana dan daerah-daerah
miskin. Di daerah-daerah inilah yang paling tepat menjadi cermin dan akan memberikan
gambaran realitas yang sebenarnya. Berbeda dengan masyarakat perkotaan yang mempunyai
banyak alternatif sarana pelayanan kesehatan, masyarakat di wilayah kecamatan terutama di
daerah terpencil menaruh harapan hanya pada unit pustu dan polindes dibawah lingkup
puskesmas. Sehingga puskesmas menjadi ujung tombak terdekat yang akan memberikan
pelayanan kesehatan terbaik kepada masyarakat.
Kenyataan yang ada saat ini, pelayanan kesehatan yang diberikan jauh dari harapan masyarakat.
Berbagai permasalahan yang timbul dalam pelayanan puskesmas yang kesemuanya merujuk
pada mutu pelayanan yang kurang memadai.
Kualitas pelayanan kesehatan dapat diukur melalui berbagai indikator, yaitu lain indikator input,
proses dan output. Indikator input dalam pelayanan kesehatan meliputi unsur ketenagaan, modal,
teknologi, fasilitas, pelayanan dan pemasaran. Indikator proses yaitu terkait dengan indikator
pelayanan dan indikator output terkait dengan pencapaian program meliputi angka kesakitan,
angka kematian, dan ukuran-ukuran derajat kesehatan lainnya. Semua indikator tersebut dapat
digunakan untuk mengevaluasi mutu suatu pelayanan kesehatan.
1. Evaluasi Input
Saat ini berbagai permasalahan terjadi hampir di semua pelayanan kesehatan tingkat dasar. Mulai
dari kakurangan tenaga kesehatan baik medis, paramedis maupun non medis. Dalam artikel ini
diungkapkan bahwa pada beberapa puskesmas hanya terdapat satu tenaga dokter yang menjabat
sebagai kepala puskesmas dan juga merangkap sebagai tenaga medis. Kondisi ini tidak
seharusnya terjadi. Mengingat beban ganda yang harus diemban. Kebanyakan dokter yang juga
merangkap sebagai kepala puskesmas tidak dapat melaksanakan tugas medisnya dengan baik dan
ironisnya sebagian besar tugas medis tersebut diserahkan kepada perawat atau bidan di
puskesmas tersebut. Sehingga akses layanan kesehatan semakin tidak terpenuhi. Kedepannya
diharapkan yang menjadi kepala puskesmas di semua daerah adalah yang memiliki latar
belakang manajemen dan administrasi kesehatan. Selain itu, permasalahan ketenagaan juga
terkait dengan pemerataan distribusi tenaga, terutama di daerah-daerah terpencil. Banyak tenaga
kesehatan yang enggan ditempatkan di daerah terpencil dengan insentif yang tidak sesuai.
Mereka juga beralasan keterbatasan fasilitas, tempat tinggal, alat komunikasi, dll. Permasalahan
ini begitu kompleks dan membutuhkan perhatian dari berbagai sektor.
Selain menyangkut ketenagaan, permasalahan lainnya juga berasal dari pendanaan pelayanan
kesehatan. Hal yang paling sering dikeluhkan oleh tenaga kesehatan pada umumnya adalah
menyangkut insentif program. Walaupun puskesmas sendiri telah membuat rancangan usulan
dana ke kabupaten, namun dana yang terealisasi tidak sesuai dengan permintaan yang diusulkan.
Disatu sisi puskesmas harus memberikan retribusi ke daerah. Hal ini yang kemudian berimbas
pada kualitas pelayanan. Tenaga medis, paramedis maupun non medis lainnya
mengkambinghitamkan imbalan jasa sebagai penyebab rendahnya performance mereka. Dalam
hal ini, hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah adalah bagaimana caranya berusaha
mencari sumber pembiayaan selain yang bersumber dari unit pelayanan. Dan perlu diingat
bahwa sasasaran pelayanan puskesmas adalah masyarakat menengah ke bawah.
2. Evaluasi Proses
Sampai dengan saat ini pelayanan kesehatan dasar dirasakan belum begitu nyata dalam
menyelesaikan permasalahan kesehatan masyarakat. Walaupun telah banyak dilakukan
pengangkatan tenaga tetap maupun tenaga tidak tetap, namun pelayanan kesehatan tetap
dirasakan belum begitu efektif. Selama ini sebagian besar puskesmas belum begitu memahami
dan melaksanakan jenis pelayanan (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif) secara
proporsional. Seyogianya proporsi pelayanan promoven lebih besar dari proporsi pelayanan
kuratif dan rehabilitatif. Mengingat bahwa jumlah masyarakat yang sehat masih lebih besar dari
jumlah masyrakat yang sakit. Namun pada kenyataannya proporsi ini menjadi terbalik. Itulah
sebabnya mengapa mekanisme jaminan kesehatan yang ada selama ini tidak dapat dikelola
secara maksimal dan juga tidak dapat memberikan perubahan yang besar dalam pembangunan
kesehatan. Jaminan kesehatan seharusnya dikelola secara praupaya (kapitasi) sehingga dapat
dilakukan kendali mutu dan kendali biaya. Bagaimana agar alokasi pembiayaan lebih banyak
dialokasikan untuk pemeliharaan kesehatan sehingga angka kunjungan masyarakat yang sakit
dan dapat berobat ke puskesmas menjadi sedikit.
Permasalahan pelayanan kesehatan lainnya juga disebabkan karena tidak sesuainya tupoksi dan
penempatan yang tidak sesuai dengan job description. Fenomena yang terjadi di berbagai daerah
baik daerah terjangkau maupun daerah terpencil saat ini dimana recruitment didasarkan pada
kepentingan politis dan memuat unsur profit. Sehingga tenaga yang ada saat ini sebagian besar
tidak berkualitas karena tidak sesuai dengan kualifikasi keilmuan dan keahlian profesi.
Jika kita menelusuri lebih dalam dari permasalahan-permasalahan kesehatan selama ini, mungkin
tidak terlalu jauh jika kita kaitkan dengan bekal pendidikan yang didapatkan dari setiap profesi.
Saat ini, mutu dan kualitas pendidikan pada umumnya, khususnya dibidang kesehatan sudah
sangat jauh dari apa yang diharapkan. Banyak dari institusi pendidikan saat ini yang tidak lagi
mengedepankan kualitas namun memprioritaskan pada kuantitas yang berujung pada profit
institusi. Sehingga tidak jarang lulusan-lulusan sebuah institusi pendidikan saat ini memiliki
kualitas jauh lebih rendah dari lulusan sebelumnya.
3. Evaluasi output
Pada umumnya suatu pelayanan kesehatan ataupun beberapa bidang pelayanan diantaranya
menitikberatkan penilaiaan keberhasilan program pada evaluasi output. Berbagai ukuran
kesehatan yang digunakan seperti angka kesakitan, angka kematian, cakupan program, dsb.
Namun angka-angka statistik ini kemudian tidak begitu berarti bagi para decission maker.
Pengambilan kebijakan dan penyusunan perencanaan selama ini lebih diutamakan pada
kepentingan perorangan dan sarat akan tujuan politis yang hanya akan menguntungkan beberapa
pihak. Angka cakupan program yang harusnya dikroschek dengan indikator derajat kesehatan
sering kali tidak dilakukan. Para manajer kesehatan sering kali cukup mengevaluasi sampai pada
angka cakupan program. Hal inilah yang menyebabkan mengapa penyelesaian permasalahan
kesehatan tidak juga tuntas sampai saat in.

Inilah wajah sektor kesehatan kita saat ini, dengan berbagai permasalahan yang tak kunjung
selesai. Sektor kesehatan memang memiliki keunikan ciri dibandingkan dengan sektor yang
lainnya. Yang pertama adalah sifat ketidakpastian (uncertainty) dari resiko sakit itu sendiri.
Datangnya suatu penyakit bisa tiba-tiba dan diluar dugaan. Keadaan ini akan menyebabkan
kebutuhan pembiayaan kesehatan yang mendadak dan seringkali dalam jumlah besar yang
memberatkan. Meskipun banyak dokter selaku provider juga peduli akan biaya pelayanan
kesehatan ini, tapi sifat ketidak-pastian ini dapat pula dimanfaatkan secara sepihak untuk
kepentingan yang menguntungkan pemberi jasa pelayanan kesehatan (dokter) itu sendiri.
Karakteristik yang kedua dalam transaksi pelayanan kesehatan adalah kebutuhan akan pelayanan
kesehatan yang amat tidak elastis (inelastic). Ketika seseorang sakit, apalagi pada kasus kasus
yang sifatnya penyelamatan nyawa (life saving), tuntutan in-elastisitas dari kebutuhan pelayanan
kesehatan itu akan mendorong orang untuk mengorbankan apa saja untuk kesembuhan dirinya,
meski pelayanan kesehatan yang canggih kerap kali akan membutuhkan biaya yang amat besar.
Sifat in-elastisitas, yakni sesuatu yang tidak dapat ditunda pada pihak klien yakni pengguna jasa
pelayanan kesehatan dapat pula dimanfaatkan oleh pemberi pelayanan kesehatan (dokter) secara
salah untuk kepentingannya. Karakteristik yang ketiga dari transaksi pelayanan kesehatan adalah
adanya ketidak-seimbangan informasi dari pihak pemberi jasa pelayanan kesehatan (dokter)
terhadap pengguna jasa pelayanan kesehatan/klien/pasien (information asymmetry). Informasi
tentang bagaimana pelayanan pengobatan untuk penyembuhan suatu penyakit hanya dikuasai
dan dipahami oleh pemberi jasa pelayanan kesehatan (dokter). Dengan demikian karena ketidak
pahamannya pasien pasrah menyerahkan sepenuhnya upaya penyembuhannya kepada dokter.
Dokter yang menentukan semua upaya yang perlu dilakukan untuk penyembuhan seorang
pasien.Kebutuhan akan pelayanan kesehatan (demand) dengan demikian tidak ditentukan oleh
pengguna jasa tetapi oleh provider. Keadaan ini sering mendorong apa yang disebut sebagai
supply induce demand. Artinya pemberi jasa pelayanan (dokter) dapat melakukan dorongan
penggunaan pelayanan yang berlebihan, tidak sesuai standar dan nduksi-induksi lainya, dan
pasien dalam keterbatasan pemahamannya menyerah pada induksi-induksi penggunaan
pelayanan kesehatan yang tak perlu dan berlebihan karena menguntungkan dokter dari sisi
ekonomis.

Anda mungkin juga menyukai