Anda di halaman 1dari 17

Dari Kong Jour ke Rohingya: Catatan Perjalanan Memahami Myanmar

Oleh: Wening Fikriyati*

Bulan Juli lalu saat sedang mengikuti pelatihan selama tiga minggu di Thailand, saya
berkesempatan berkunjung ke Koung Jor Refugee Camp yang terletak di Thailand Utara,
lebih tepatnya di dekat perbatasan Thailand dan Myanmar. Di Koung Jor saya dan teman-
teman perwakilan dari beberapa Negara Asia mengunjungi pengungsian yang dihuni oleh
orang-orang dari Shan State, Myanmar. Bagi saya yang lebih familiar dengan pengungsi
Rohingya, keberadaan pengungsi dari Shan ini menarik perhatian saya.
Tahun 2002 orang-orang Shan menyeberang ke wilayah Thailand akibat konflik antara Shan
State Army-South (SSA-S) dan tentara Burma yang menghacurkan desa-desa mereka dan
memakan korban jiwa. Meningkatnya eskalasi konflik di wilayah tersebut membuat mereka
memutuskan untuk mengungsi ke Thailand Utara. Konflik etnis Shan dengan tentara Burma
sebenarnya telah bermula sejak kudeta militer di tahun 1962 dan masih berlangsung hingga
saat ini. Meski ada kesepakatan untuk gencatan sejata di tahun 2012, hingga sekarang situasi
di Shan State belum kondusif dengan masih adanya bentrokan antara SSA-S dan tentara
Burma[1].
Di pengungsian tersebut kurang lebih 400 orang Shan tinggal di rumah-rumah semi permanen
yang terbuat dari bambu. Orang-orang Shan di pengungsian itu tidak diperbolehkan
mendirikan rumah permanen karena pengungsian tersebut hanya bersifat sementara. Selain
itu karena statusnya bukan pengungsian resmi yang terdaftar oleh United Nations High
Commissioner for Refugees (UNHCR), pengungsi di Koung Jor tidak mendapat bantuan dari
PBB. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka bekerja sebagai buruh tani dan
sebagian perempuan membuat berbagai macam kerajinan tenun seperti baju, syal, sapu
tangan dan sebagainya.
Meski diperbolehkan tinggal di wilayah Thailand, pengungsi di Koung Jor tidak
diperbolehkan untuk keluar dari distrik di mana mereka tinggal. Untuk memenuhi kebutuhan
listrik, mereka memasang panel surya di atap rumah. Mandi dan buang air dilakukan di toilet
bersama yang tersedia di beberapa titik.
Dengan segala keterbatasan yang mereka alami, pengungsi di Koung Jor merasa keadaan
mereka lebih baik dibandingkan saat masih tinggal di Shan State. Situasi konflik dan
kekerasan mengancam keamanan hingga membuat anak-anak tidak bisa mendapat
pendidikan dan orang dewasa sulit mendapat pekerjaan. Sementara di Thailand, walaupun
status kewararganegaraannya tidak jelas, mereka masih bisa bekerja dan anak-anak
diperbolehkan untuk belajar di sekolah-sekolah milik pemerintah Thailand.
Perjumpaan dengan pengungsi Shan State tersebut membawa saya memahami situasi
Myanmar yang rumit. Saya pun sering berdiskusi dengan tiga teman sesama peserta pelatihan
yang berasal dari Kachin, Shan, dan Kayah State. Ketiganya menceritkan adanya konflik
antara etnis minoritas dan militer Burma selain di Rakhine yaitu di wilayah Kachin State,
Shan State, Kayin State, dan Kayah State. Tak mengenal agama, di konflik-konflik tersebut
orang Budha yang mayoritas pun menjadi korban kekejaman militer Burma[2]. Dari sisi
agama, tidak hanya Muslim Rohingya yang dipersekusi, orang-orang Kristen di Kachin State
pun mengalami hal yang serupa[3].
Kompleksitas konflik-konflik yang terjadi di Myanmar perlu dipahami dengan cermat. Apa
yang terjadi di Rohingya tak bisa disederhanakan sebagai konflik agama antara Muslim dan
Budha saja. Meski tak dipungkiri ada konteks sejarah dan Islamophobia yang menumbuhkan
kebencian, kecemburuan dan perasaan terancam di kalangan sebagian Budhis di Rakhine
dalam memandang etnis Rohingya[4], namun itu bukan faktor utama. Kebijakan rezim
pemerintah yang menguntungkan segelintir elit menimbulkan perlawanan di berbagai
kelompok etnis yang menuntut kesejahteraan dan keadilan. Khusus Rohingya pengakuan
sebagai warga Negara yang setara dan keinginan untuk memiliki kekuasaan yang otonom
menjadi penting. Sejak kudeta militer tahun 1962 kondisi orang-orang Rohingya semakin
menyedihkan terutama dengan adanya operasi Naga Min yang tidak memasukkan Rohingya
sebagai salah satu dari 135 “National race” yang diakui pemerintah Burma[5]. Diskriminasi
terhadap etnis Rohingya pun semakin mempersulit kehidupan mereka. Munculah gerakan-
gerakan memperjuangkan wilayah Rohingya dengan pemerintahan sendiri yang oleh
pemerintah Burma dianggap sebagai teroris dan semakin memicu tindakan represif junta
militer terhadap Rohingya. Belakangan warga Budhist Rakhine pun dimobilisasi dengan isu
SARA untuk mengalihkan kemarahan mereka atas proyek pipa gas dan minyak di wilayah
Rakhine[6].
Pola-pola semacam ini hampir serupa dengan konflik yang terjadi di beberapa wilayah di
Myanmar. Perebutan sumber daya alam dan ketimpangan sosial yang terjadi akibat
pemerintahan yang sentralistik dan otoriter memicu perlawanan dari kelompok-kelompok
etnis minoritas. Praktik-praktik kekerasan oleh militer Burma seperti penyiksaan, perkosaan,
kerja paksa, pembunuhan dan pemusnahan kampung-kampung dialami oleh berbagai etnis
minoritas Myanmar yang mengalami konflik[7].Melihat fakta tersebut sudah seharusnya kita
tidak hanya peduli pada penderitaan etnis Rohingya, tetapi lebih luas lagi kita patut perihatin
atas konflik etnis yang terjadi di banyak daerah di Myanmar.
Apa yang bisa kita maknai dari kondisi Myanmar?
Tentu saja kekerasan atas nama apapun tak bisa ditolerir dan harus segera dihentikan.
Kekerasan dan penelantaran terhadap etnis Rohingya tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.
Untuk itu kita perlu mendukung pemerintah Indonesia melakukan upaya diplomasi untuk
menghentikankekerasan terhadap etnis Rohingya dan mendorong bantuan kemanusiaan bagi
para pengungsi yang terdampak konflik.
Selain itu, bagi umat Islam di Indonesia tidak seharusnya terpancing dengan sentimen agama
yang disebarkan di media sosial dengan menggunakan foto-foto Hoax. Selain mempersulit
situasi muslim di Myanmar dan memperkuat berkembangnya Islamophobia di sana, sentimen
agama dapat menumbuhkan kebencian terhadap umat Budha di Indonesia yang pada
gilirannya akan merusak relasi Islam-Budha di Negara ini.
Melakukan aksi protes terhadap genosida di Rohingya dengan menyasar simbol-simbol
agama Budha[8]justru melukai hubungan Muslim dengan Budha. Alih-alih menarget simbol
agama Budha, akan lebih baik jika umat Islam membangun dialog yang lebih intensif dengan
komunitas Budha di Indonesia. Meski jumlah penganut Budha sangat sedikit di Indonesia,
dalam konteks Asia Tenggara, Budha adalah salah satu agama mayoritas dan banyak dianut
di Negara-negara seperti Thailand, Myanmar, Kamboja, dan Laos. Agar Islampohobia dan
kebencian terhadap Islam tidak semakin meluas ke Negara-negara tersebut sebagai dampak
dari konflik Rohingya, Indonesia sebagai Negara mayoritas Islam seharusnya mampu
menunjukkan bagaimana Muslim di sini memperlakukan umat Budha dengan baik dan juga
sebaliknya. Dialog Muslim-Budhis ini bukan berarti meneguhkan konflik Rohingya sebagai
konflik agama, tetapi merupakan langkah antisipasi agar sentimen agama tidak semakin
berkembang dan memperburuk konflik yang sudah ada. Dengan jalan dialog,Muslim dan
Budhis di Indonesia dapat membangun solidaritas kemanusiaan bersama untuk konflik di
Rohingya, dan juga konflik di berbagai wilayah lain di Myanmar.
Berkaca pada apa yang terjadi di Myanmar mengingatkan kita kembali untuk belajar
mengasah nalar kemanusiaan kita agar bisa melampaui identitas agama, etnis, dan bangsa.
Pun menuntut pemerintah Myanmar untuk memperlakukan muslim Rohingya dengan
beradab harus sejalan juga dengan mendorong pemerintah Indonesia untuk memperlakukan
masyarakat Papua dengan manusiawi. Tak luput juga berbagai kelompok masyarakat lain di
negeri ini yang masih mengalami penindasan akibat dari kebijakan yang hanya
menguntungkan kalangan elit. Jangan sampai seperti peribahasa,semut di seberang lautan
tampak. Gajah di pelupuk mata tak tampak.
* Peneliti dan Staf Media & Jaringan Institute of Southeast Asian Islam (ISAIs) UIN Sunan
Kalijaga
**Tulisan ini telah diterbitkan di seputarsulawesi.com
Sumber : http://isais.or.id/id/dari-kong-jour-ke-rohingya-catatan-perjalanan-memahami-
myanmar/
Memahami Kondisi Myanmar dan Konflik Rohingya
Oleh: A. Aziz Faiz*

Konflik yang sedang meledak kini dan melahirkan pembantaian terhadap Rohingya bermula
ketika gerilyawan Rohingya beberapa waktu lalu menyerang pos polisi dan kemudian
dihantam balik oleh pemerintah Myanmar. Gaya penanganan konflik dengan cara militerisme
tak pelak memakan korban lebih banyak. Gerilyawan yang menggunakan metode sporadis,
sedikit banyak menyebabkan serangan negara terhadap mereka yang dicurigai tanpa pandang
bulu dan menyebabkan eskalasi konfliknya meluas. Publik dunia seketika merespon dengan
kecaman tak luput pula di Indonesia.
Di sini saya akan mencoba untuk memberikan gambaran dari berbagai sudut mengapa konflik
Rohingya berkepanjangan hingga saat ini. Tentu tulisan ini memerlukan data yang lebih jauh
dan kajian lebih mendalam. Namun paling tidak, tulisan ini akan memberikan deskripsi
sederhana mengenai Myanmar dan eskalasi konflik yang sedang berlangsung, sehingga kita
menyikapinya tanpa harus emosional sebelum memahami duduk persoalannya.
Greg Constatine, fotografer asal AS, melalui proyeknya Nowhere People, menggambarkan
secara detail melalui lensa kameranya akan nasib Rohingya yang kehilangan hak-hak dasar
sebagai manusia dan tersebar di beberapa negara Bangladesh, Nepal, Malaysia, Sri Lanka,
dan di Indonesia. Konflik atas nama apapun dan menimpa terhadap siapapun hingga
melewati batas-batas kemanusiaan—meniadakan nyawa—tetap harus dikutuk.
Dibutuhkan suatu pandangan yang jernih untuk mendapatkan suatu pola yang tepat dalam
memahami untuk selanjutnya menentukan sikap. Dalam konteks Myanmar dan konflik yang
berlangsung, ada beberapa point yang akan saya ketengahkan dalam tulisan ini;
Pertama, Myanmar pada dasarnya adalah negeri dengan sejuta kepelikan persoalan yang bisa
dibilang sangat kompleks. Sejak dahulu Myanmar dikuasai junta militer. Meski belakangan
muncul tokoh demokrasi Aug San Suu Kyi yang kita kenal juga sebagai tokoh peraih nobel
perdamaian, atmosfir dan cengkraman militerisme di negeri ini telah bercokol sedemikian
rupa.
Sebagaimana militerisme yang menginginkan stabilitas dan keajegan, maka munculnya riak-
riak merupakan sebuah anomali, karenanya sangatlah penting untuk segera mentertibkannya,
tertutama pada konflik yang terjadi di Rakhine State belakangan ini. Hal ini penting untuk
diketahui agar kita memahami bagaimana negera ini dioperasikan.
Di tengah kekuatan junta militer dalam mengontrol dan mengoperasikan negara, Suu Kyi
hadir dengan harapan baru. Namun jalan Suu Kyi tidaklah mudah. Hari ini ia menghadapi
kritik luar biasa di tengah keganasan junta militer pada Rohingya karena ia memilih “diam”.
Menurut beberapa pakar, diamnya Suu Kyi adalah bagian dari strategi untuk menjinakkan
militer. Sebab satu-satunya kesempatan Suu Kyi bisa menegakkan keadilan di negerinya
adalah dengan “menjinakkan” militer terlebih dahulu. Salah satu langkah awalnya adalah
menjalin kepercayaan dengan mereka. Suu Kyi akan kehilangan semua yang telah dicapai
bilamana berbicara khusus soal Rohingya, sebab tidak ada jaminan negara itu akan lebih
baik. Bila ia mengundurkan diri, dan atau bicara lantang soal Rohingya, ia akan lantas
didepak oleh junta militer (via Endah Raharjo).
Kedua, bila kita baca dari sudut pandang negara, maka di dalam Myanmar akan ditemukan
kekuatan-kekuatan pemberontakan dari masyarakatnya. Pak Ito Sumardi, Duta Besar RI
untuk Myanmar memberikan penjelasan sebagaiman beredar di sosial media bahwa di Shan
State, Myanmar menghadapi kekuatan Shan Independent Army yang di dukung China. Di
Provinsi Kachin yang sumber daya alamnya luar biasa berupa sumber mineral dan batu
mulia, mereka juga harus menghadapi Kachin Independent Army. Sementara di Irawady,
mereka menghadapi Wa Ethnic Army yang lebih dahsyat karena memiliki kemampuan
membuat persenjaatan sendiri. Adapun di wilayah Kokan, Myanmar menghadapi pasukan
Khunsa yang menguasai segitiga emas dengan persenjataan modern dari Thailand.
Sementara itu di Rakhine State, Myanmar menghadap dua pemberontakan besar bersenjata,
yaitu kekuatan ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army) yang Islam dan Arakan
Independen Army yang Budha. Karenanya ketika beberapa waktu yang lalu sahabat saya
Wening Fikriati dari ISAIs (Institute of Southeast Asian Islam) ke Kong Jour Refugee Camp,
salah satu camp pengungsi Myanmar di perbatasan utara Thailand, ia tidak hanya mendapati
pengungsi Muslim, tapi juga pengungsi Budha dari Shan State yang merupakan salah satu
basis pemberontakan.
Hal ini berarti bahwa kompleksitas konflik yang sadang berlangsung di sana tidak semata-
mata Islam dan Rohingya, namun lebih karena negara ini dengan pemerintahan junta
militernya sedang bermasalah. Konflik di Rakhine State yang melibatkan Etnis Rohingya
hanya salah satu konflik yang sedang terjadi di Myanmar di samping konflik-konflik lainnya.
Konflik ini sangat menyita perhatian setidaknya disebabkan oleh beberapa hal; a) adanya
sentimen sejarah yang telah berlangsung lama. b) melibatkan etnis minoritas
muslim. c) eskalasi konfliknya yang sering terjadi dan terus membesar. d) konflik Rohingya
semakin menyita perhatian karena umat Islam di kawasan ASEAN bereaksi membawa
solidaritas keagamaan dengan melihat konflik ini sebagai konflik agama—tentu tidak hanya
Islam namun kelompok dalam agama lain termasuk Budha sendiri juga
mengutuknya. e) situasi kawasan yang sedikit banyak kurang begitu peduli terhadap
pengungsi Rohingya yang menyebabkan mereka terlunta-lunta tidak punya negara (stateless)
sehingga mereka mengalami kekerasan dan tidak memiliki akses pada hak dasarnya sebagai
manusia.
Ketiga, mengenai Rohingya di Myanmar, memang ada persoalan sejarah yang belum selesai
kaitannya dengan negara. Sejarah mengenai mereka masih terus diperdebatkan oleh para ahli
sejarah hingga kini, terutama oleh pemerintah Myanmar. Adapun sikap resmi negara terhadap
Etnis Rohingya tampak belum sepenuhnya mengakui bahwa mereka adalah bagian dari
Myanmar.
Sering kali pemerintah juga tidak mau menggunakan istilah Rohingya, akan tetapi lebih
sering menggunakan istilah “imigran ilegal”. Istilah ini juga muncul di masyarakat. Kalau
kita mengikuti perhelatan Sea Games yang berlangsung beberapa waktu yang lalu di
Malaysia, terjadi perlakukan yang kurang baik terhadap atlet Myanmar, maka seketika media
sosial riuh. Netizen Myanmar menyerang Malaysia atas ketidakbecusannya dalam
penyelenggaraan event olah raga ASEAN itu. Netizen Malaysia tak mau kalah dengan
mengungkit perlakuan Myanmar pada Rohingya yang dianggap bagian ilegal di
negaranya. Netizen Myanmar kemudian berkomentar dengan redaksi semacam ini, “kalau
Kalian mau, bawalah ke Malaysia.”
Karena konflik yang sangat kompleks dan tidak bisa dengan mudah disederhanakan dalam
soal agama semata atau sejarah yang belum selesai ini, akhirnya Rohingya terhadang juga
dengan berbagai kebijakan negara, terutama soal status kependudukan. Junta Militer
Myanmar menerapkan sistem kependudukan yang sangat ketat. Undang-Undang
Kependudukan tahun 1982 mendefinisikan bahwa penduduk Myanmar adalah etnis yang
tinggal secara permanen sejak 1185, sedangkan Rohingya dianggap datang belakangan.
Undang-undang ini juga menentukan bahwa untuk menjadi warga negara, seseorang harus
bisa membuktikan generasi N 3 yaitu kakek buyut yang merupakan keturunan suku asli
Myanmar (Arief; Rohingya Siapa Mereka?).
Rohingya semakin tersudut dan sangat sulit membuktikan identitas mereka. Selain karena
etnisnya tidak diakui, ini juga berkait erat dengan hancurnya—lebih tepatnya dihancurkan–
bukti arkeologis yang menunjukkan bahwa mereka telah eksis sejak abad ke-7. Ini yang
barangkali bisa disebut “peminggiran” yang sistematik.
Sementara itu, Abuy Tahay (orang asli dan aktivis Rohingya) ketika berbicara di konferensi
yang kami selenggarakan dengan teman-teman ISAIs (Institute of Southeast Asian Islam),
mengatakan bahwa pada sensus tahun 1872 oleh British Burma, sensus India pada tahun 1911
dan laporan Imigrasi India tahun 1942, Rohingya masih dinyatakan dan ditulis sebagai salah
satu etnis asli Burma (Myanamar) dengan nama Ras Arakan Muslim, namun belakangan
didegradasi sebagai ilegal.
Keempat, sejarah yang belum selesai ini kemudian diperparah dengan perebutan sumber daya
alam di sana yang melibatkan negara-negara besar. Di daerah Rakhine State yang merupakan
tempat tinggal etnis Rohingya ditemukan gas yang menurut perkiraan mencapai 5,6 triliun
kubik dan diperkirakan tidak habis dieksploitasi hingga 30 tahun ke depan (lihat tulisan
Erizely Jely Bintaro berjudul “Rohingya”). Perebutan sumber daya ini melibatkan negara-
negara besar seperti China, Rusia, Korsel hingga Amerika yang datang belakangan.
Diantara sekian negara itu, China dan Rusia terbilang yang sangat agresif. Mereka diketahui
memberikan bantuan peralatan militer ke junta militer Myanmar. China misalnya, diketahui
memberikan dana untuk bantuan infrastruktur ekonomi. Ia bahkan begitu berambisi
menyelesaikan pembangunan pipa minyak sepanjang 2.300 km dari pelabuhan Sittwe, teluk
Bengal hingga Kunming, China Selatan. Artinya, cengkraman China dalam arti state atau
sebagai negara sangat kuat di Myanmar. Tentu ini bukan hanya persoalan semata sumber
daya, sebab ketika sumber daya ini dikuasai, konstalasi dan geopolitik kawasan akan dengan
sendirinya berubah.
Kelima, dari sisi sosial kemasyarakatan, sangat sulit menyelesaikan masalah Rohingya ini
karena tiga hal. Pertama adalah citra etnis. Orang Myanmar sering mengatakan bahwa
Rohingya tidak dikenal dalam sejarah Myanmar. Mereka sering disebut dengan orang
Bengali, sedangkan orang-orang Rohingya tersinggung disebut Bengali. Di sisi lain, orang
Myanmar memiliki phobia dengan istilah Rohingya karena konotasi mereka sebagai separatis
pemberontak yang sudah menelan nyawa banyak warga (Arief). Kedua adalah relasi agama.
Di Myanmar terdapat Kaum Budhist pengikut Bikkhu Assin Wirathu yang memiliki sekitar
2000-an pengikut dan begitu vokal menolak eksistensi Muslim di Myanmar. Kelompok ini
juga sulit berdamai dengan kelompok Muslim. Ketiga adalah kemiskinan dan rendahnya
pelayanan sosial yang berlangsung lama. Salah satu akibatnya adalah meningkatnya
penyelundupan narkoba yang dilakukan oleh kelompok pemberontak dan atau oleh
masyarakat di Rakhien (lihat laporan Kofi Annan).
Di atas barangkali catatan sederhana saya untuk sedikit lebih memahami peliknya konflik
Rohingya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana konflik ini diredam dan
diselesaikan? Saya tak ingin berspekulasi, mari kita lihat perkembangan mutakhir, terutama
keterlibatan Indonesia dalam proses menyelesaikan problem di Rakhine State—di mana
hingga kini Myanmar hanya terbuka kepada Indonesia untuk membicarakan persoalan yang
sedang berlangsung di Rakhine.[
*Peniliti di ISAIs (Institute of Southeast Asian Islam)
**Tulisan ini telah diterbitkan di paddhangbulan.org
Sumber : http://isais.or.id/id/memahami-kondisi-myanmar-dan-konflik-rohingya/

keajegan : adalah kondisi keteratutan yang tetap dan tidak berubah


sebagai hasil dari hubungan antara tindakan, nilai ,dan norma sosial
yang berlangsung secara terus-menerus.
http://pkn-ips.blogspot.co.id/2016/04/lembaga-pemegang-kekuasaan-negara.html
Berikut ini copas dari 2 status facebook saya, mengenai Rohingya.
Bagian 1
Sejumlah orang menanyakan pendapat saya mengenai kasus Rohingya. Berikut ini beberapa
poin pemikiran saya, sebagian pernah saya tulis di paper saya yang diikutsertakan dalam
konferensi internasional, “Debating ‘National Interest’ Vis A Vis Refugees: Indonesia’s
Rohingya Case”, sebagian pernah saya tulis di blog.
Sejak awal deklarasi kemerdekaan Myanmar tahun 1948 (semula dijajah oleh Inggris), negeri
tersebut sudah memiliki konflik antaretnis, karena etnis Burma yang merupakan 2/3 dari
populasi mendominasi 100-an etnis lainnya, seperti etnis Shan, Karen, Rakhine, Rohingya,
Kachine, dan Mon.
Menurut keterangan narasumber penelitian saya saat menulis paper tentang Rohingya, secara
umum, umat Islam baik-baik saja di Myanmar, ada masjid-masjid yang berdiri di sana, dan
umat Muslim bisa beribadah dengan aman. Yang jadi masalah adalah: etnis Rohingya yang
‘kebetulan’ Muslim adalah etnis minoritas yang tidak diakui sebagai warga negara Myanmar.
Akibat status ‘stateless’ ini, mereka mengalami diskriminasi dan penindasan. Suku Kachin
dan Karen juga mengalami penindasan dari rezim Myanmar, agama mereka umumnya
Kristiani.
Bahwa kemudian ada kelompok ekstrimis Budha menggunakan isu agama untuk
mengeskalasi konflik, meningkatkan kebencian populasi mayoritas terhadap populasi
minoritas, menurut saya, tak jauh berbeda kasusnya dengan konflik di berbagai negara lain,
antara lain Suriah (dan juga Indonesia). Isu agama memang sangat mudah dimanfaatkan
untuk membangkitkan kemarahan publik.
KAPAL YANG DITUMPANGI ETNIS ROHINGYA (DAN ORANG-ORANG
BANGLADESH) SAAT TERDAMPAR DI ACEH, MEI 2015
Karena itu narasi “umat Islam dibantai oleh kaum Budha di Myanmar” adalah narasi yang
salah kaprah, penuh generalisasi, dan berbahaya ketika disampaikan dengan sangat masif di
Indonesia (berpotensi menyebabkan perpecahan bangsa). Sebaiknya, gunakan diksi yang
tepat, misalnya “Etnis Rohingya mengalami penindasan yang dilakukan oleh rezim militer
Myanmar”.
Bahwa umat Muslim Indonesia prihatin dan marah karena saudara sesama Muslim-nya
ditindas di Myanmar, atau di Palestina, adalah hal yang wajar. Solidaritas sesama Muslim
memang salah satu ajaran Islam. Namun yang salah adalah ketika upaya membangkitkan
solidaritas itu dilakukan dengan cara: menyebarkan foto palsu sekaligus merendahkan dan
menghina pemerintah negara sendiri.
Tahun 2015, saya pernah mengklarifikasi foto yang amat viral (hanya dalam 7 jam sudah
1300-an share). Di foto itu terlihat istri Presiden Turki menangis memeluk seorang pengungsi
Rohingya. Caption foto (ditulis oleh seorang ustadz), “istri Presiden Turki dah sampai Aceh
menemui para pengungsi, mana ibu negara kita?” Saya sampaikan bahwa kejadian di foto itu
bukan di Aceh, tapi di Myanmar.
Bila yang tertipu orang awam, mungkin bisa dimaafkan. Tetapi salah satu yang marah kepada
saya karena mengklarifikasi foto itu justru ukhti yang bertitel sarjana HI. Ia seharusnya
paham bahwa secara diplomatik sungguh aneh bila ada ibu negara asing ujug-ujug langsung
datang ke Aceh, tanpa disambut dulu secara resmi di Jakarta. Si ukhti sarjana HI kurang-lebih
komen begini, “Kamu Syiah! Makanya kamu tidak peduli pada kaum Muslim Rohingya!” Ya
Tuhan.
Perhatikan komen-komen di screen-shot berikut ini, plus komen setelah diberi tahu bahwa ini
berita hoax.

Sejak lama, saya sudah mendeteksi bahwa penggunaan sentimen keagamaan untuk isu
Rohingya (termasuk penyebarluasan foto-foto palsu) umumnya dilakukan oleh kelompok
yang sama, yang selama ini juga aktif mengusung isu “Sunni dibantai Syiah di Suriah”
(dimana mereka juga menyebarkan foto-foto palsu). Mereka juga amat berkaitan dengan
lembaga-lembaga donasi yang lincah sekali menggunakan isu konflik di luar negeri untuk
menggalang dana. Dan, sebagian dari mereka ini juga berada di cluster yang sama dengan
para penyerang Jokowi (ingat, ‘menyerang’ tidak sama dengan ‘mengkritik’; saya sendiri
beberapa kali pernah menulis mengkritisi beberapa kebijakan Pak Jokowi, dan beberapa kali
pula memuji kebijakan beliau, dengan argumen yang sesuai dengan keilmuan saya).
Dan baru-baru ini, pak Ismail Fahmi (pakar IT) merilis hasil penelitiannya terhadap
percakapan Twitter di Indonesia dengan fitur Opinion Analysis, dimana opini akan
dikelompokkan berdasarkan kategori tertentu. Berikut ini saya copas sebagian hasilnya:

Sebanyak 33% status publik mengaitkan isu Rohingya ini dengan Pemerintah, 25%
dengan Jokowi, 19% dengan Umat Budha, 18% dengan Aung San Suu Kyi, dan 6%
dengan Jenderal Min Aung Hlaing.
Ternyata, publik melihat isu ini lebih banyak berkaitan dengan pemerintah dan Jokowi,
dibandingkan dengan Aung San dan Jenderal Min. Tekanan ke dalam negeri lebih besar
dibanding tekanan kepada pemerintah Myanmar.
Yang mengkhawatirkan adalah, kaitan isu ini dengat Umat Budha di Indonesia ternyata
cukup tinggi. Lebih tinggi dibandingkan dengan Aung San. Artinya, potensi disintegrasi
bangsa bisa muncul di Indonesia gara-gara isu Rohingya.
Artinya, hasil penelitian ini menguatkan apa yang sudah saya tulis sebelumnya.

Bagian 2: Kebijakan Luar Negeri Indonesia Terhadap Myanmar


Tak banyak yang tahu, junta militer Myanmar yang tadinya mengisolasi diri dari dunia
internasional, akhirnya mau melakukan proses-proses demokratisasi adalah berkat KITA,
pemerintah Indonesia. Masa 10 tahun SBY, Kementerian Luar Negeri kita sangat aktif
mendorong Myanmar untuk lebih terbuka, dan berhasil. Pemerintah Indonesia banyak dipuji
atas prestasinya ini. Sayangnya, setelah Myanmar menjadi terbuka dan investasi asing terus
meningkat, Indonesia justru hampir tidak kebagian apa-apa. Menurut Myanmar Investment
Commission, Indonesia ada di ranking 21 dari 30 negara yang berinvestasi di Myanmar.
Dalam paper saya berbahasa Inggris (2015), saya tulis, -terjemahannya,
“Kelihatannya, politik luar negeri yang aktif terhadap Myanmar yang dilakukan SBY
tidak diikuti oleh presiden Indonesia yang baru, Joko “Jokowi” Widodo. …Faktanya,
Jokowi telah mendelegasikan tugas diplomasi kepada Menlu-nya. Segera setelah
pengungsi masuk ke perairan Aceh, Menlu Marsudi menemui sejawatnya dari Malaysia
dan Thailand di Putrajaya, Malaysia. Pada 20 Mei 2015, Indonesia dan Malaysia
menyediakan diri untuk menampung para manusia perahu dari Myanmar dan
Bangladesh, sementara Thailand menolak menolong. Marsudi juga berhasil
mendapatkan janji bantuan dari negara Timur Tengah, termasuk Qatar, yang
menjanjikan 50 juta USD [untuk mengurusi para pengungsi ini].”
Beberapa waktu yang lalu, Menlu Retno mengundang wakil dari beberapa ormas, jurnalis,
dan akademisi untuk acara makan pagi bersama. Saya juga hadir. Saat itu beliau menjelaskan
berbagai kebijakan luar negeri Indonesia. Antara lain yang penting saya sampaikan di sini:
pemerintah Indonesia dalam dealing dengan Myanmar memang sangat
menghindari megaphone diplomacy (diplomasi yang ‘berisik’).
Jadi, upaya-upaya yang dilakukan Indonesia lebih banyak ‘diam-diam’ dengan tujuan agar
pemerintah Myanmar tetap mau membuka komunikasi dengan kita. Di antara tujuan
diplomasi yang ingin dicapai Indonesia adalah melunakkan hati para elit Myanmar agar
mau memberikan jaminan HAM bagi semua masyarakat di Rakhine State, termasuk
minoritas Muslim (Rohingya) serta memperluas akses bagi masuknya bantuan
kemanusiaan.
Sungguh ironis, ketika warga di Indonesia banyak yang marah-marah pada pemerintahnya
sendiri dalam kasus manusia perahu Rohingya tahun 2015, pemerintah Myanmar malah cuci
tangan dan mengatakan, “Sudah sangat jelas bahwa Myanmar bukan sumber dari problem
terkait manusia perahu di Laut Andaman.” (kata Zaw Htay, jubir President Thein Sein).
Myanmar awalnya menolak hadir dalam pertemuan dengan Indonesia, Malaysia, Thailand.
Tapi akhirnya mau, asal negara-negara lain menggunakan istilah “illegal migrant”, bukan
“Rohingya.” Bayangkan betapa songongnya mereka.
Sikap songong juga ditunjukkan pemerintah Australia. Saat ditanya wartawan tentang nasib
pengungsi Rohingya tahun 2015, PM Australia, Tony Abbot menjawab enteng, “Nope, nope,
nope.” (tidak, tidak, tidak). Artinya, dia tidak peduli dengan para pengungsi ini.
Abbot memang ahli dalam urusan melempar tanggung jawab soal pengungsi kepada
Indonesia. Beberapa waktu lalu, dia membeli lifeboat berwarna oranye dari Singapura. Lalu,
ketika ada kapal berisi pencari suaka yang masuk ke perairan Australia, aparat menangkap
penumpangnya, lalu memaksa mereka masuk ke lifeboat itu dan digiring masuk ke perairan
Indonesia. Setelah terdampar di Indonesia, otomatis tanggung jawabnya jatuh ke tangan
Indonesia.
Foto kiri: lifeboat oranye milik Australia, foto kanan: hoax dari kelompok tertentu untuk
merendahkan pemerintah; menyebut bahwa kapal perang Turki siap ke Aceh; padahal itu
kapal perang Indonesia
Padahal Indonesia tidak menandatangani Konvensi PBB tentang pengungsi; Australia
menandatanganinya. Tapi Indonesia sudah menjalankan kewajiban kemanusiaannya dengan
menampung lebih dari 11 ribu pengungsi dari 41 negara; termasuk yang ‘dibuang’ oleh
Australia. Padahal Indonesia bukan tujuan para pengungsi. Orang Rohingya pun saat
diwawancarai juga pinginnya mengungsi ke negeri makmur, bukan ke Indonesia.
(baca: Banyak yang Kabur, Pengungsi Rohingya di Aceh Timur Tinggal 99 Orang)
Tahun 2012, JK datang langsung ke Myanmar membawa bantuan; Menlu Marty juga ke
Myanmar tahun 2014 menyampaikan komitmen bantuan 1 Juta Dollar dan bertemu langsung
dengan warga etnis Rohingya. Pada Desember 2014, Wamenlu AM Fachir meresmikan 4
sekolah bantuan Indonesia di 3 desa di Rakhine (daerah konflik) dengan menggunakan dana
1 juta dollar itu. Civil society pun tak kalah sigap, misalnya MER-C yang sudah dua kali
mengirim misi bantuan medis ke Rakhine dan saat ini sedang membuat rumah sakit di sana.
Menlu Retno bahkan sudah blusukan ke berbagai kamp pengungsi Rohingya, termasuk yang
di Bangladesh. Pada 29 Desember 2016, Indonesia mengirim 10 kontainer bantuan untuk
Rohingya. Bantuan itu dilepas langsung oleh Presiden Jokowi di pelabuhan Tanjung Priok,
tentu gak pake nangis-nangisan kayak istri Erdogan. #eh
WAMENLU AM FACHIR DI SEKOLAH INDONESIA DI RAKHINE STATE

10 KONTAINER BANTUAN UNTUK ROHINGYA, DILEPAS LANGSUNG PRESIDEN


JOKO WIDODO DI PELABUHAN TANJUNG PRIOK, JAKARTA UTARA PADA
KAMIS (29/12/2016) PAGI.

Kesimpulannya, Indonesia sebenarnya sudah berbuat sangat banyak dan melampaui


kewajibannya (istilahnya: sudah ‘extramile’) untuk Rohingya selama ini (mengevaluasinya
tidak bisa sebatas 3 tahun terakhir saja).
Karena itu, berhentilah menyebar foto hoax untuk menghina pemerintah kita sendiri. Seperti
kasus foto kapal perang bertuliskan “Amanat Presiden Turki Erdogan kepada Pemerintah
Indonesia dan Malaysia: Jangan halang armada kapal perang kami memasuki perairan
Indonesia dan Malaysia!” Padahal itu foto kapal milik Indonesia (KRI Sultan Iskandar Muda
367). Memalukan.

Mari bantu orang Rohingya dengan ‘pride’ (kebanggaan) sebagai bangsa. Kita ini
bahkan jauh lebih beradab dari Australia yang makmur itu. Juga ingatlah, masih ada
90.000 pengungsi domestik (mereka yang terusir dari kampung halaman karena berbagai
konflik SARA) yang jauh lebih penting dibantu agar bisa kembali ke kampung halaman.
Jangan selalu sibuk mengurus tetangga sementara saudara sendiri diabaikan.

Sumber : https://dinasulaeman.wordpress.com/2017/09/03/rohingya-dan-kita-1-2/

Anda mungkin juga menyukai