Pengelolaan Situs Batujaya Karawang
Pengelolaan Situs Batujaya Karawang
Pendahuluan
Dari latar belakang yang telah saya simpulkan diatas terdapat beberapa masalah
yang terdapat pada komplek situs percandian Batu Jaya tersebut. Masalah tersebut
mengenai tidak dilaksanakannya UU No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya oleh
pemerintah daerah Kab. Karawang, Jawa Barat. Adapun permasalah tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Pemerintah daerah Kab. Karawang telah melanggar atau mengabaikan UU
No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya yang tercantum pada BAB VII
mengenai Pelestarian.
2. Tidak adanya solusi sampai saat ini mengenai pelestarian dan pengelolaan
komplek Cagar Budaya Percandian Batu Jaya.
1.3 Tujuan
Tujuan dari pengambilan studi kasus di situs Percandian Batu Jaya ini adalah
untuk menyadarkan pemerintah daerah Kab. Karawang yang telah mengabaikan
sebuah aset warisan budaya Nusantara yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang
tinggi dalam penguatan identitas bangsa dan negara. Selain itu studi kasus ini
dimaksudkan untuk mengingatkan kepada masyarakat atau civil society akan
kesadaran terhadap pelestarian cagar budaya. Dalam permasalahan ini pun saya
menekankan agar pemerintah tidak lupa akan apa yang telah dirumuskan untuk
diterapkan kemudian dalam prakteknya, sehingga terjadi konvegensi yang baik dalam
penerapannya. UU No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya adalah sebuah sumber
hukum yang jelas dan merupakan patokan dasar dalam pengelolaan sumber daya
Arkeologi. Sehingga tidak sepatutnya ada pihak tertentu yang mengabaikan hal
tersebut untuk kepentingan pribadinya sendiri.
Tulisan ini pun memberikan gambaran pengelolaan sumber daya Arkeologi
yang tidak terkonvegensi dengan baik antar steakholder yang ada. Tanggung jawab
atas pengelolaan sumber daya Arkeologi yang masih minim dan pembiaran terhadap
situs yang terancam mengalami kerusakan. Gambaran yang diberikan tidak hanya
mengenai tidak dilaksanakannya amanat undang-undang dengan baik, tetapi dalam
tulisan ini pun memberikan gambaran lain mengenai penyelesaian atau sebuah solusi
dari permasalahan yang terjadi tersebut. Solusi tersebut berisikan mengenai sebuah
sistem pengelolaan sumber daya Arkeologi berdasarkan pariwisata budaya yang
ramah lingkungan dan memiliki wawasan yang berbudaya. Selain itu, solusi tersebut
pun tidak lepas dari batasan imparsialitas yang akan menjalin konvegensi yang baik
kepada semua pihak, baik masyarakat – civil society – ataupun kepada pemerintah.
BAB II
PEMBAHASAN
Pemerintah
Daerah Sumber Daya Masyarakat
Arkeologi
(Cagar Budaya)
Dalam studi kasus yang telah sampaikan di awal tadi, saya menyampaikan bahwa
studi kasus saya ini adalah komplek situs percandian Batu Jaya di Kab. Karawang,
Jawa Barat. Komplek percandian terbesar di Jawa Barat ini tidak mendapat perhatian
yang khusus walaupun dari berbagai sumber dan penelitian ahli arkeologi menyatakan
bahwa situs ini merupakan salah satu situs tertua di Nusantara dan merupakan salah
satu pengungkapan peradaban yang dapat menggeser sejarah yang sedang
berkembang saat ini. Sampai saat ini hasil penelitian yang dilakukan di kawasan
percandian Batu Jaya ini belumlah selesai dan menemukan jawaban yang tepat.
Publikasi yang seharusnya bisa dijadikan sebuah propaganda kepada masyarakat akan
pentingnya sumber daya Arkeologi akan segala lini kehidupan tidak sama sekali
dilakukan oleh pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab.
Gambaran total mengenai komplek percandian Batu Jaya ini adalah dimana
situs ini terdiri dari 24 runtuhan bangunan, dimana dari 24 runtuhan bangunan
tersebut 3 diantaranya sudah direkontruksi yakni ; candi Damar, candi Jiwa dan candi
Blandongan. Dari 3 candi yang sudah direkonstruksi, ada 1 bangunan candi yang
paling besar dan memiliki banyak temuan arkeologi didalamnya yakni candi
Blandongan. Pada candi Blandongan ini memiliki bentuk segi 4 dengan beberapa
ornamen kuno dan memiliki 4 buah anak tangga. Pada bangunan candi ini
ditemukannya kerangka manusia, gerabah, manik-manik (kaca dan emas), kerang
(Gastropoda & Pelecypoda), perunggu (berbentuk senjata), lempengan emas dengan
ukiran pallawa, votive Buddha dll. Dari beberapa temuan tersebut diyakinilah bahwa
candi Blandongan ini dahulunya merupakan salah satu tempat atau bangunan penting
diantara bangunan lainnya. Sedangkan 2 candi lainnya, yakni candi Damar dan Jiwa
memiliki perbedaan. Candi Jiwa direkonstruksi secara utuh, mulai dari badan candi
hingga kepala. Candi Jiwa ini memiliki bentuk seperti bunga teratai yang sedang
mekara apabila di potret atau dilihat dari atas. Sedangkan candi Damar hanya berupa
pondasi bangunan saja.
Potret muram dari sumberdaya arkeologi di Indonesia adalah dimana sebuah
situs yang kaya akan banyak sekali temuan dan material bukti besarnya peradaban
bangsa tidak mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah baik di daerah maupun di
pusat. Lembaga yang seharusnya mengurusi permasalahan ini pun seakan tidak bisa
berbuat apa-apa, mereka hanya seperti legislator yang bertugas untuk mengawasi situs
atau tempat tersebut, tanpa sebuah aksi untuk menunjang eksistensi situs cagar
budaya. Selayaknya situs komplek Percandian Batu Jaya ini yang harus mendapatkan
perhatian lebih dan support dana dari pemerintah sehingga penelitian – kajian sumber
daya Arkeologi – dapat berjalan lancar. Kurangnya perhatian dari pemerintah dalam
menyikapi hal tersebut membuat situs ini terbengkalai dan hanya sebatas bangunan
tidak rupa. Bukti dari tidak adanya perhatian dari pemerintah adalah dari
ditemukannya situs ini pada tahun 1984/1985 (Budi Utomo:35) sampai saat ini 2015
dari 24 unur (gundukan berisi runtuhan bangunan) hanya 3 bangunan saja yang baru
direkonstruksi dan sisanya masih terbengkalai. Bangunan cagar budaya di komplek
percandian Batu Jaya yang sudah berhasil di rekonstruksi seharusnya dapat di
maksimalkan pengelolaannya. 3 bangunan candi ini memiliki alur yang berdekatan
antara satu dengan yang lain dan memiliki jarak yang kurang lebih sama antara satu
candi dengan candi yang lain. Sehingga pengelolaan dari situs tersebut bisa dilakukan
secara maksimal dan terarah. Mulai dari pembangunan jalur trek pejalan kaki yang
terstruktur dengan baik mengingat letak geografi candi tersebut berada di tengah
persawahan dan permukiman penduduk. Letak trek pejalan kaki yang diarahkan satu
jalur akan membuat pengunjung tidak kebingungan untuk menuju candi berikutnya
dan tidak takut terjatuh ke areal persawahan. Pada komplek percandian ini pun
terdapat satu buah museum yang berisikan benda-benda hasil ekskavasi dan beberapa
fragmen candi (Lihat Gambar 1.6 dan 1.7-Terlampir). Museum ini pun tidak
terstruktur dengan baik mulai dari story line dan penataan ruang yang kurang
menarik. Museum ini memiliki bangun ruang 3x4 meter persegi. Tidak terurusnya
atau terkelolanya 3 bangunan candi yang sudah direkonstruksi.
Dalam hal ini pemerintah seharusnya bertanggung jawab dalam mengelola
bangunan tersebut sehingga dapat bermanfaat untuk setiap komponen masyarakat.
Menurut UU No.11 tahun 2010 Tentang Cagar Budaya yang dijelaskan pada Bab VII
pasal 53 dan 54. Pemerintah seharusnya menyediakan dan bertanggung jawab dalam
pengelolaan cagar budaya yang ada untuk kepentingan masyarakat sebagaimana
terkutip dalam pasal 1 didalam UU yang sama. Pengelolaan tersebut dimaksudkan
agar penelitian dan rekonstruksi yang telah diselesaikan oleh para ahli / arkeolog
dapat dilanjutkan dengan pengelolaan terstruktur yang akan memberikan
kebermanfaatan kepada masyarakat, seperti yang tertuang dalam pembukaan undang-
undang cagar budaya. Masyarakat akan mendapatkan banyak keuntungan melalui
pengelolaan yang terstruktur, terorganisasi baik, dan memiliki sistem yang sesuai
dengan imparsialitas yang ada.
Sistem utama dari pengelolaan tersebut yang tidak dilakukan oleh pemerintah
atau pihak yang berwenang di kabupaten Karawang adalah memberikan zonasi atau
pengaturan fungsi ruang yang baik dan benar sesuai dengan UU No.11 tahun 2010
pada pasal 73. Zonasi dimaksudkan untuk mengatur tata ruang situs cagar budaya
sehingga situs tersebut dapat terfilterasi dari berbagai ancaman yang bersifat artivical.
Pengelolaan yang tidak dilakukan oleh pemerintah selanjutnya adalah dengan tidak
diberikannya alat pemompa air di 2 bagian candi yang sering terendam oleh air, baik
air hujan atau air persawahan akibat dari dibukanya saluran irigasi. 2 candi tersebut
adalah candi Blandongan dan candi Jiwa. 2 candi ini memang berada dibawah
permukaan tanah dan sawah. Sehingga sangat mudah untuk tergenang. Dari hal
tersebut dengan jelas pemerintah sudah kembali melanggar UU No.11 tahun 2010
pada Bab VII pasal 76 mengenai pemeliharaan dan Bab VIII pasal 95 mengenai tugas
dan wewenang. Secara tidak langsung pemerintah lupa akan tugas dan wewenangnya
dalam mengelola situs cagar budaya agar tetap terjaga dan lestari keberadaanya
sehingga penggunaannya dapat dilakukan secara maksimal. Seperti yang
dikemukakan oleh Dwikardana, kebudayaan adalah social capital dimana produknya
atau materialnya pun seharusnya dikelola dengan baik untuk kepentingan – keinginan
civil society – secara ekonomis, ideologis dan sosial culture.
2.2 Solusi Permasalahan