Anda di halaman 1dari 14

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Para ahli arkeologi berpendapat bahwa tujuan kajian arkeologi adalah


mempelajari dan membina ulang sejarah kebudayaan umat manusia, atau mempelajari
dan membina ulang perilaku dan cara hidup manusia pada masa lampau, atau
menggambarkan proses perubahan budaya, perkembangan, arah, serta kecepatan
perkembangan perubahan budaya tersebut melalui peninggalan dari apa yang
dihasilkan oleh kegiatan manusia (Binford 1972; Deetz 1967; Mundarjito 1983;
dalam Budi Utomo:16-17). Melalui kutipan tersebut kita dapat menarik kesimpulan
mengenai seberapa pentingnya kajian arkeologi di zaman modern ini. Mengingat
banyak masyarakat tidak terkecuali pemerintah yang hanya menganggap kajian
arkeologi sebatas dengan tinggalan masa lampau yang tidak memiliki arti khusus.
Sehingga tidak jarang dibeberapa tempat di Indonesia benda purbakala atau tinggalan
arkeologi yang memiliki nilai sejarah tinggi diabaikan begitu saja, seolah dibiarkan
untuk rusak dengan cepat. Maka dari itu, kajian arkeologi tidak sebatas hanya
mempelajari dan meneliti benda purbakala saja. Agar benda purbakala yang menjadi
bahan kajian arkeologi tetap terjaga eksistensinya dan tujuan dari ilmu arkeologi
dapat tercapai dengan baik, maka harus dilakukan tahapan selanjutnya, yakni
pengelolaan sumber daya arkeologi tersebut. Pengelolaan sumber daya arkeologi atau
biasa disebut dengan benda cagar budaya sangat penting untuk dilakukan karena
merupakan tahapan terakhir untuk menjaga sebuah research yang sudah dilakukan
sebelumnya.
Pengelolaan benda cagar budaya atau yang biasa dikenal sebagai manajemen
sumber daya Arkeologi, merupakan penerapan sistem manajemen yang secara
idealism meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengawasan dan
pengevaluasian. Semua ini terbungkus dalam format politik, dimana proses
pengambilan keputusan berada dalam keseimbangan antara pelestarian di satu pihak
dan pencapaian sasaran kesejahteraan masyarakat di pihak lainnya (Fowler, 1982,
Plog , 1978, dalam Kusumohartono, 1992: 67). Pengelolaan benda cagar budaya yang
dilaksanakan di Indonesia selama ini baru bersifat penyelamatan (emergency /salvage
/rescue), hal di negara Amerika sudah lama ditinggalkan sejak tahun 1940-an.
Sebagaimana yang ditekankan oleh Mundardjito (1995:13), tindakan perlindungan
benda cagar budaya di negara kita lebih cenderung dilaksanakan setelah tinggalan
atau situsnya terancam bahaya, akibatnya tindakan penyelamatan itu tidak memberi
peluang besar untuk kegiatan pelestarian dan penelitian. Padahal di era modern –
global vilage ini sudah banyak negara mulai memikirkan dan melakukan aktivitas
pelestarian sebelum tinggalan atau situs cagar budaya tersebut terancam kerusakan
serta mengkaitkannya dengan kerangka penelitian arkeologi sebagaimana
dipraktekkan dalam kegiatan Cultur Resources Managemen (CRM).
Pengelolaan sumber daya Arkeologi atau benda cagar budaya di Indonesia
sendiri sudah dilindungi oleh hukum yang dilandasi oleh UU No.11 Tahun 2010
Tentang Cagar Budaya. Segala bentuk peraturan, tata kelola, peran serta dan tanggung
jawab pengelolaan sumber daya Arkeologi pun sudah diatur dalam undang-undang
tersebut. Namun patut disayangkan bahwa peraturan atau undang-undang yang
memiliki nada bunyi sangat indah mengenai alunan cita-cita bangsa terhadap sisa –
material kebudayaan – peradaban bangsa, tidak sejalan dengan praktek lapangan yang
terjadi. Dalam pembukaan undang-undang huruf a tersebut dikatakan bahwa :
“a). Bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud
pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi
pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu
dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya perlindungan,
pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan
nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;”

Kalimat tersebut membuktikan bahwa undang-undang tersebut menginginkan


sebuah kontrol pengelolaan sumber daya Arkeologi secara terpadu dan harus
dipastikan memberikan manfaat kepada masyarakat – civil society – agar dapat
memberikan pemahaman dan pengembangan terhadap pengetahuan masyarakat akan
kebesaran peradaban bangsanya melalui material cagar budaya tersebut. Selain itu
upaya pelestarian melalui pengelolaan warisan budaya sebenarnya merupakan salah
satu wujud kita untuk merepresentasikan karya leluhur masa lampau agar masyarakat
sekarang dapat memanfaatkan material tersebut sesuai dengan “keinginannya”. Paling
tidak ada empat aspek utama suatu warisan budaya dapat diapresiasikan kepada
masyarakat luas, yakni sebagai benda seni, sebagai sumber ekonomi (untuk
kepariwisataan misalnya), sebagai sumber informasi pengetahuan, dan sebagai
pemenuhan sosial (Price, 1990). Hal tersebut telah sesuai dengan apa yang diatur
dalam UU No.11 Tahun 2010. Salah satu contohnya adalah mengenai pengelolaan
situs percandian Batu Jaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat yang merupakan
sebuah tinggalan arkeologi. Kompleks situs ini terletak di Desa Segaran, Batujaya,
Karawang, Jawa Barat. Terletak pada kordinat 107009’14” BT dan 06003’21” LS
(Hasan Djafar 2010:49). Jarak komplek percandian ini dari pantai utara Jawa Barat
sekitar kurang lebih 6 km dan jarak dari sungai Citarum kurang lebih sekitar 500 m.
Situs ini berada di tengah pematang sawah yang masih digunakan sampai saat ini, jadi
apabila akan menuju situs ini kita harus berjalan kaki melawati jalan setapak yang
lebarnya hanya sekitar 60cm. Ditempat ini telah diteliti oleh beberapa ahli arkeologi
terkemuka di Indonesia (Bambang Budi Utomo, Hasan Djafar) dan Francis (Peneliti
EFEO). Kompleks Percandian Batu Jaya ini menyimpan banyak sekali kunci dan
jawaban dari peradaban di tanah Jawa dan Indonesia, yang dimana salah satunya
adalah kebudayaan Buni, kebudayaan yang dikenal sebagai nenek moyangnya
kebudayaan di pulau Jawa. Pada kompleks Percandian Batu Jaya ini ditemukannya
beberapa hasil dari kebudayaan Buni tersebut, seperti gerabah (teknik, pola, dan
ornamennya yang khas) (Lihat pada Gambar 1.2, 1.3, dan 1.4-Terlampir). Selain itu
terdapat beberapa penemuan penting seperti bangunan suci keagamaan, beberapa
arca, ornamen, votive, manik-manik, lempengan emas, kerangka manusia dll. Temuan
tersebut mengindikasikan bahwa tempat tersebut dahulunya adalah sebuah kompleks
pemerintahan yang sudah maju dan terstruktur pada zamannya.

Gambar 1.1 : Peta Kabupaten Karawang,


Letak Kecamatan Batujaya (sumber:
http://google.com/peta-karawang
Pengelolaan dari situs Percandian Batu Jaya ternyata tidak sehebat sejarah dari
peradabannya. Kompleks Percandian Batu Jaya ini tidak mendapatkan perhatian yang
serius dari pemerintah daerah Kabupaten Karawang. Kabupaten Karawang sendiri
terkenal dengan kota Padi dan kini lebih dikenal dengan kota Industrinya. Penataan
yang ada tidak berjalan dengan baik, tatanan kompleks ini pun seakan hanya dibentuk
dengan asal-asalan saja. Mulai dari pengaturan trek bagi pengunjung yang tidak
tertata dengan rapih, perawatan candi yang tidak teratur dan terjaga, sehingga ketika
hujan atau air irigasi sedang mangairi persawahan 2 candi (Candi Jiwa dan Candi
Blandongan) di komplek percandian ini akan terendam air (Lihat Pada Gambar 1.5-
Terlampir). Genangan air yang membanjiri bangunan tersebut bisa mencapai 40-
50cm. Pada saat genangan tersebut membanjiri bangunan candi tidak jarang ada anak-
anak dari perkampungan sekitar candi datang untuk bermain dan berenang disana.
Genangan air tersebut disebabkan oleh tidak berfungsinya drainase atau saluran buang
air. Mengingat candi tersebut berdiri di bawah permukaan sawah dan jalan. Sehingga
ketika irigasi dibuka untuk mengairi sawah secara tidak langsung candi Jiwa dan
Blandongan pun tergenang oleh air. Setelah air menggenangi situs tersebut bukan
hanya anak-anak saja yang biasa berenang disana, melainkan sering masuknya hewan
ternak seperti bebek yang berenang disana.
Air merupakan salah satu penyebab terkikisnya dinding-dinding candi yang
terbuat dari bahan baku batu bata / bata merah yang nantinya menyebabkan terjadinya
pengkroposan dan akhirnya bisa meruntuhkan bangunan tersebut. Selain dari air,
anak-anak yang berenang dikawasan tersebut juga bisa berdampak akan lepasnya
komponen dari bata bata yang tersusun tersebut. Hewan ternak yang berada disana
pun bisa mempercepat pelapukan, karena pengaruh dari kotoran hewan tersebut yang
memiliki kadar zat asam yang tinggi. Permasalahan yang ada bukan hanya dari air
yang menggenangi daerah kawasan candi (zona inti, penyangga, pengembang,
penunjang) tersebut. Permasalahan juga ada pada tidak diterapkannya zona Cagar
Budaya , dimana dalam kawasan situs Cagar Budaya hal ini lumrah untuk diterapkan
untuk menjaga kelestarian dan eksistensi kawasan tersebut. Pada kompleks
percandian Batu Jaya ini para pengunjung bebas untuk masuk dan keluar tanpa
adanya pengamanan dari pihak pengelola. Tidak jarang juga tempat kawasan
percandian ini dijadikan sebagai tempat untuk bolosnya para pelajar.
Kompleks percandian Batu Jaya ini sebenarnya sudah layak untuk dikelola
secara baik dan berstandar Nasional mengingat kompleks Percandian Batu Jaya ini
merupakan sebuah komplek percandian terbesar di pulau Jawa bagian Barat. Standar
dari penelitian arkeologi di kompleks Percandian Batu Jaya ini pun sudah bertaraf
Internasional. Dengan pernah ditelitinya kompleks percandian ini oleh EFEO (Ecole
Francaise d’Extreme-Orient) yang bekerjasama dengan ahli arkeologi dari UI
(Universitas Indonesia). Pengelolaan sumber daya arkeologi yang ada di kabupaten
Karawang ini pun bukan hanya untuk sebuah eksistensi budaya yang harus terus
dijunjung oleh masyarakat Indonesia agar tidak kehilangan identitas. Tetapi juga
untuk menegakan sebuah Undang-undang yang dibuat oleh pemerintah yang
tujuannya juga untuk kepentingan masyarakat Indonesia. Situs Cagar Budaya secara
umum telah diatur dalam UU No.11 tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Dalam
undang-undang tersebut mengatur mengenai tanggung jawab pemerintah dan
masyarakat dalam mengelola, melindungi, melestarikan dan menjaga Cagar Budaya.
Selain itu juga dalam UU No.11 tahun 2010 mengatur mengenai sanksi dan denda
yang harus diterima oleh para pelanggar dari pasal-pasal yang telah ditetapkan
tersebut.
Eksistensi dan lestarinya sebuah cagar budaya kini tergantung kepada, apakah
sudah diterapkannya UU No.10 Tahun 2010 tersebut. Sebuah cagar budaya bisa
dikembangkan sehingga dapat menunjang perekonomian masyarakat setempat,
pendidikan sejarah dan pendidikan berbudaya dapat berjalan secara konvegensi
apabila undang-undang mengenai hal ini dapat diterapkan secara maksimal dan
berkualitas. Apabila sebuah situs cagar budaya dikelola dengan baik maka tujuan
kesejahteraan masyarakat setempat dan lestarinya sebuah ikon kebudayaan setempat
dapat terwujud secara nyata.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah saya simpulkan diatas terdapat beberapa masalah
yang terdapat pada komplek situs percandian Batu Jaya tersebut. Masalah tersebut
mengenai tidak dilaksanakannya UU No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya oleh
pemerintah daerah Kab. Karawang, Jawa Barat. Adapun permasalah tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Pemerintah daerah Kab. Karawang telah melanggar atau mengabaikan UU
No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya yang tercantum pada BAB VII
mengenai Pelestarian.
2. Tidak adanya solusi sampai saat ini mengenai pelestarian dan pengelolaan
komplek Cagar Budaya Percandian Batu Jaya.

1.3 Tujuan

Tujuan dari pengambilan studi kasus di situs Percandian Batu Jaya ini adalah
untuk menyadarkan pemerintah daerah Kab. Karawang yang telah mengabaikan
sebuah aset warisan budaya Nusantara yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang
tinggi dalam penguatan identitas bangsa dan negara. Selain itu studi kasus ini
dimaksudkan untuk mengingatkan kepada masyarakat atau civil society akan
kesadaran terhadap pelestarian cagar budaya. Dalam permasalahan ini pun saya
menekankan agar pemerintah tidak lupa akan apa yang telah dirumuskan untuk
diterapkan kemudian dalam prakteknya, sehingga terjadi konvegensi yang baik dalam
penerapannya. UU No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya adalah sebuah sumber
hukum yang jelas dan merupakan patokan dasar dalam pengelolaan sumber daya
Arkeologi. Sehingga tidak sepatutnya ada pihak tertentu yang mengabaikan hal
tersebut untuk kepentingan pribadinya sendiri.
Tulisan ini pun memberikan gambaran pengelolaan sumber daya Arkeologi
yang tidak terkonvegensi dengan baik antar steakholder yang ada. Tanggung jawab
atas pengelolaan sumber daya Arkeologi yang masih minim dan pembiaran terhadap
situs yang terancam mengalami kerusakan. Gambaran yang diberikan tidak hanya
mengenai tidak dilaksanakannya amanat undang-undang dengan baik, tetapi dalam
tulisan ini pun memberikan gambaran lain mengenai penyelesaian atau sebuah solusi
dari permasalahan yang terjadi tersebut. Solusi tersebut berisikan mengenai sebuah
sistem pengelolaan sumber daya Arkeologi berdasarkan pariwisata budaya yang
ramah lingkungan dan memiliki wawasan yang berbudaya. Selain itu, solusi tersebut
pun tidak lepas dari batasan imparsialitas yang akan menjalin konvegensi yang baik
kepada semua pihak, baik masyarakat – civil society – ataupun kepada pemerintah.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengelolaan Kompleks Batujaya

Dalam bidang kebudayaan dikenal istilah Cultural Resource Management yang


artinya manajemen sumberdaya budaya. Salah satu dari sumber daya budaya adalah
sumber daya arkeologi. Pengelolaan sumber daya arkeologi adalah suatu sistem
pengelolaan untuk mencapai tujuan tertentu yang menyangkut perlindungan,
pelestarian dan pemanfaatan. Pengelolaan suatu sumber daya arkeologi harus
memiliki strategi dan didukung oleh unsur-unsur pengelolaan. Unsur-unsur itu ialah
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengontrolan. Melihat bahwa
sumberdaya arkeologi sebagai kekayaan bangsa memiliki sifat terbatas, rapuh, unik
dan tidak dapat diperbaharui maka dari itulah pengelolaan sumberdaya arkeologi
harus arif dan bijaksana agar berguna bagi banyak pihak (Sumijati:2004).
Melalui pernyataan itu kita dapat menyimpulkan bahwa dalam mengelola
sebuah situs cagar budaya tidaklah mudah dan membutuhkan sebuah kerjasama serta
strategi khusus. Strategi dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi atau mengelola
sebuah cagar budaya membutuhkan kerjasama antar steakholder. Sehingga akan
membentuk sebuah konvegensi yang akan memberikan apresiasi yang baik kepada
semua. Melalui sebuah pengelolaan yang baik sebuah sumberdaya arkeologi atau
cagar budaya akan dapat mencapai cita-citanya dengan baik dan tidak akan menjadi
sebuah benda atau tempat yang hanya dipakai oleh segelintir orang saja melainkan
bisa dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Kepentingan bersama disini adalah
dengan lestarinya cagar budaya maka disana juga beriringan dengan masyarakat
setempat yang merasakan dari lestarinya sebuah cagar budaya, yakni ekonominya
yang ikut tertunjang karena cagar budaya tersebut berkembang menjadi sebuah obyek
wisata budaya (cultural tourism).
Selain dari ekonomi masyarakat yang tertunjang, disana juga lahir sebuah
pembelajaran atau pendidikan secara real / nyata mengenai hasil dari perdaban
bangsa. Sehingga memupuk rasa kebangsaan / Nasionalisme tinggi kepada pelajar /
masyarakat yang datang. Secara tidak langsung 3 aspek telah diselesaikan dengan
berjalan baiknya sebuah pengelolaan sumberdaya arkeologi atau cagar budaya, yakni ;
ekonomi, pendidikan, dan pelestarian cagar budaya.
Pemerintah Dinas
Pusat Terkait

Pemerintah
Daerah Sumber Daya Masyarakat
Arkeologi
(Cagar Budaya)

Bagan : terkonvegensinya steakholder satu dengan yang lain

Dalam studi kasus yang telah sampaikan di awal tadi, saya menyampaikan bahwa
studi kasus saya ini adalah komplek situs percandian Batu Jaya di Kab. Karawang,
Jawa Barat. Komplek percandian terbesar di Jawa Barat ini tidak mendapat perhatian
yang khusus walaupun dari berbagai sumber dan penelitian ahli arkeologi menyatakan
bahwa situs ini merupakan salah satu situs tertua di Nusantara dan merupakan salah
satu pengungkapan peradaban yang dapat menggeser sejarah yang sedang
berkembang saat ini. Sampai saat ini hasil penelitian yang dilakukan di kawasan
percandian Batu Jaya ini belumlah selesai dan menemukan jawaban yang tepat.
Publikasi yang seharusnya bisa dijadikan sebuah propaganda kepada masyarakat akan
pentingnya sumber daya Arkeologi akan segala lini kehidupan tidak sama sekali
dilakukan oleh pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab.
Gambaran total mengenai komplek percandian Batu Jaya ini adalah dimana
situs ini terdiri dari 24 runtuhan bangunan, dimana dari 24 runtuhan bangunan
tersebut 3 diantaranya sudah direkontruksi yakni ; candi Damar, candi Jiwa dan candi
Blandongan. Dari 3 candi yang sudah direkonstruksi, ada 1 bangunan candi yang
paling besar dan memiliki banyak temuan arkeologi didalamnya yakni candi
Blandongan. Pada candi Blandongan ini memiliki bentuk segi 4 dengan beberapa
ornamen kuno dan memiliki 4 buah anak tangga. Pada bangunan candi ini
ditemukannya kerangka manusia, gerabah, manik-manik (kaca dan emas), kerang
(Gastropoda & Pelecypoda), perunggu (berbentuk senjata), lempengan emas dengan
ukiran pallawa, votive Buddha dll. Dari beberapa temuan tersebut diyakinilah bahwa
candi Blandongan ini dahulunya merupakan salah satu tempat atau bangunan penting
diantara bangunan lainnya. Sedangkan 2 candi lainnya, yakni candi Damar dan Jiwa
memiliki perbedaan. Candi Jiwa direkonstruksi secara utuh, mulai dari badan candi
hingga kepala. Candi Jiwa ini memiliki bentuk seperti bunga teratai yang sedang
mekara apabila di potret atau dilihat dari atas. Sedangkan candi Damar hanya berupa
pondasi bangunan saja.
Potret muram dari sumberdaya arkeologi di Indonesia adalah dimana sebuah
situs yang kaya akan banyak sekali temuan dan material bukti besarnya peradaban
bangsa tidak mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah baik di daerah maupun di
pusat. Lembaga yang seharusnya mengurusi permasalahan ini pun seakan tidak bisa
berbuat apa-apa, mereka hanya seperti legislator yang bertugas untuk mengawasi situs
atau tempat tersebut, tanpa sebuah aksi untuk menunjang eksistensi situs cagar
budaya. Selayaknya situs komplek Percandian Batu Jaya ini yang harus mendapatkan
perhatian lebih dan support dana dari pemerintah sehingga penelitian – kajian sumber
daya Arkeologi – dapat berjalan lancar. Kurangnya perhatian dari pemerintah dalam
menyikapi hal tersebut membuat situs ini terbengkalai dan hanya sebatas bangunan
tidak rupa. Bukti dari tidak adanya perhatian dari pemerintah adalah dari
ditemukannya situs ini pada tahun 1984/1985 (Budi Utomo:35) sampai saat ini 2015
dari 24 unur (gundukan berisi runtuhan bangunan) hanya 3 bangunan saja yang baru
direkonstruksi dan sisanya masih terbengkalai. Bangunan cagar budaya di komplek
percandian Batu Jaya yang sudah berhasil di rekonstruksi seharusnya dapat di
maksimalkan pengelolaannya. 3 bangunan candi ini memiliki alur yang berdekatan
antara satu dengan yang lain dan memiliki jarak yang kurang lebih sama antara satu
candi dengan candi yang lain. Sehingga pengelolaan dari situs tersebut bisa dilakukan
secara maksimal dan terarah. Mulai dari pembangunan jalur trek pejalan kaki yang
terstruktur dengan baik mengingat letak geografi candi tersebut berada di tengah
persawahan dan permukiman penduduk. Letak trek pejalan kaki yang diarahkan satu
jalur akan membuat pengunjung tidak kebingungan untuk menuju candi berikutnya
dan tidak takut terjatuh ke areal persawahan. Pada komplek percandian ini pun
terdapat satu buah museum yang berisikan benda-benda hasil ekskavasi dan beberapa
fragmen candi (Lihat Gambar 1.6 dan 1.7-Terlampir). Museum ini pun tidak
terstruktur dengan baik mulai dari story line dan penataan ruang yang kurang
menarik. Museum ini memiliki bangun ruang 3x4 meter persegi. Tidak terurusnya
atau terkelolanya 3 bangunan candi yang sudah direkonstruksi.
Dalam hal ini pemerintah seharusnya bertanggung jawab dalam mengelola
bangunan tersebut sehingga dapat bermanfaat untuk setiap komponen masyarakat.
Menurut UU No.11 tahun 2010 Tentang Cagar Budaya yang dijelaskan pada Bab VII
pasal 53 dan 54. Pemerintah seharusnya menyediakan dan bertanggung jawab dalam
pengelolaan cagar budaya yang ada untuk kepentingan masyarakat sebagaimana
terkutip dalam pasal 1 didalam UU yang sama. Pengelolaan tersebut dimaksudkan
agar penelitian dan rekonstruksi yang telah diselesaikan oleh para ahli / arkeolog
dapat dilanjutkan dengan pengelolaan terstruktur yang akan memberikan
kebermanfaatan kepada masyarakat, seperti yang tertuang dalam pembukaan undang-
undang cagar budaya. Masyarakat akan mendapatkan banyak keuntungan melalui
pengelolaan yang terstruktur, terorganisasi baik, dan memiliki sistem yang sesuai
dengan imparsialitas yang ada.
Sistem utama dari pengelolaan tersebut yang tidak dilakukan oleh pemerintah
atau pihak yang berwenang di kabupaten Karawang adalah memberikan zonasi atau
pengaturan fungsi ruang yang baik dan benar sesuai dengan UU No.11 tahun 2010
pada pasal 73. Zonasi dimaksudkan untuk mengatur tata ruang situs cagar budaya
sehingga situs tersebut dapat terfilterasi dari berbagai ancaman yang bersifat artivical.
Pengelolaan yang tidak dilakukan oleh pemerintah selanjutnya adalah dengan tidak
diberikannya alat pemompa air di 2 bagian candi yang sering terendam oleh air, baik
air hujan atau air persawahan akibat dari dibukanya saluran irigasi. 2 candi tersebut
adalah candi Blandongan dan candi Jiwa. 2 candi ini memang berada dibawah
permukaan tanah dan sawah. Sehingga sangat mudah untuk tergenang. Dari hal
tersebut dengan jelas pemerintah sudah kembali melanggar UU No.11 tahun 2010
pada Bab VII pasal 76 mengenai pemeliharaan dan Bab VIII pasal 95 mengenai tugas
dan wewenang. Secara tidak langsung pemerintah lupa akan tugas dan wewenangnya
dalam mengelola situs cagar budaya agar tetap terjaga dan lestari keberadaanya
sehingga penggunaannya dapat dilakukan secara maksimal. Seperti yang
dikemukakan oleh Dwikardana, kebudayaan adalah social capital dimana produknya
atau materialnya pun seharusnya dikelola dengan baik untuk kepentingan – keinginan
civil society – secara ekonomis, ideologis dan sosial culture.
2.2 Solusi Permasalahan

Lembaga-lembaga pemerintah yang menangani masalah arkeologi masing


masing memiliki program dan dana sendiri-sendiri yang satu sama lain tidak
bersinergi dengan baik. Demikian pula program pemerintah provinsi maupun
pemerintah kabupaten yang merasa berhak melakukan pengelolaan situs yang berada
diwilayahnya masing-masing, tidak terintegrasi karena masing-masing memiliki
tujuan yang berbeda antara satu dan lainnya. Hal ini dapat dipahami, pemaknaan
terhadap suatu warisan budaya – sumber daya Arkeologi – tidak semua orang sama,
yang berakibat pada orientasi pemanfaatannya. Tetapi yang harus disadari bahwa
warisan budaya itu pada hakekatnya adalah milik masyarakat, bukan milik sejarawan
ataupun pemerintah secara mutlak, arkeolog yang ahli dalam mentranformasikan
benda menjadi kata (memiliki nilai edukasi). Sebagai pewaris yang sah, masyarakat
sudah pasti berhak untuk menikmatinya dan bahkan segala sesuatu yang terjadi pada
suatu sumber daya budaya / Arkeologi, mestinya harus sepengetahuan (Mc Gimsey
dan Davis 1977, Cleree, 1990). dan seirama dengan keinginan-keinginan masyarakat
yang bersangkutan, dengan mendasarkan pada aturan-aturan tertentu.
Dalam hubungan dengan pemahaman ini, pengelolaan sumberdaya arkeologi
secara ideal adalah pengelolaan yang melibatkan berbagai kepentingan agar situs atau
sumberdaya budaya tersebut dapat dirasakan bersama termasuk oleh masyarakat
pemilik yang sah tersebut. Dalam situasi menghadapi sikap dan perilaku masyarakat
luas, perlu inovasi pengelolaan sehingga apa yang diinginkan masyarakat dapat
terpenuhi. Konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan meliputi terjaminnya
kualitas lingkungan yang lestari, pelibatan masyarakat lokal yang lebih besar,
terjaminnya kelestarian budaya masyarakat, dan secara ekonomis tidak hanya
menguntungkan para pihak yang terlibat tetapi secara nyata dialokasikan dana untuk
memperbaiki dan meningkatkan kualitas lingkungan, kawasan, dan masyarakat
sekitar (Fandeli, 2004).
Untuk mencapai pembangunan pariwisata yang berkelanjutan diperlukan
beberapa langkah yaitu adanya kerjasama dan keterlibatan sektor swasta dan
pemerintah, mendorong keterlibatan masyarakat, mengembangkan kewirausahaan,
menghilangkan dampak negatif dan menghindari resiko bagi tradisi, kebudayaan, dan
lingkungan, serta mempromosikan, meningkatkan, dan menyelamatkan pengusaha
kecil dan menengah (Aryanto, 2003). Sementara itu Gunn (1993) menyatakan bahwa
suatu kawasan wisata akan menjadi baik bila selalu mempertahankan kelestarian
lingkungan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan objek, pengunjung
terpuaskan, serta meningkatkan keterpaduan dan kesatuan pembangunan masyarakat
di sekitar kawasan zona pengembangannya.
Situs arkeologi sebagai objek dengan daya tarik budaya, maka perlu sekali
untuk dikelola dalam konteks wawasan baru dan diharapkan mengarah pada
terwujudnya tahapan pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan (sustainable tourism
management). Untuk itu perlu ketaatan pada prinsip-prinsip sebagai berikut.
1. Prinsip pengelolaan yang berpijak pada dimensi pelestarian dan berorientasi
ke depan (jangka panjang).
2. Penekanan pada nilai manfaat yang besar bagi masyarakat lokal
3. Prinsip pengelolaan aset sumber daya yang tidak merusak
4. Kesesuaian antara kegiatan pengelolaan pariwisata dengan skala, kondisi dan
karakter suatu area yang akan dikembangkan
5. Keselarasan dan sinergi antara kebutuhan wisatawan, lingkungan hidup, dan
masyarakat lokal
6. Antisipasi dan monitoring terhadap proses perubahan yang terjadi akibat
pengelolaan pariwisata
7. Pengelolaan harus didasari perencanaan dan difokuskan untuk memperkuat
potensi lokal.
Pengelolaan pariwisata harus mampu mengembangkan apresiasi yang lebih peka dari
masyarakat terhadap warisan budaya dan lingkungan hidup (Kusworo dan Sasongko,
2005). Sehingga dapat terjalin konvegensi yang baik antar steakholder dan selain itu
dapat memberikan ruang interactive antara material purbakala dengan masyarakat.
Manfaat yang dapat diperoleh dari sebuah kajian Arkeologi pun dapat dirasakan
dengan baik oleh masyarakat dan bangsa, baik secara edukasi, ideology dan ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2012. Undang-undang Republik Indonesia No.11 Tahun 2010, Tentang


Cagar Budaya.
Budi Utomo, Bambang 2004 “Arsitektur Bangunan Suci Masa Hindu Buddha di Jawa
Barat” Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata : Jakarta
Cleere, Henry F. 1990. Introduction : the rationale of archaeological management,
dalam Dalam Henry F. Cleere (ed) Archaeological heritage management in the
modern world. London: Unwin-Hyman.
Djafar, Hasan 2010 “Kompleks Percandian Batujaya” Rekontruksi Sejarah
Kebudayaan Daerah Pantai Utara Jawa Barat. Bandung:Kiblat Buku Utama
Fandeli. 2004. Peran dan Kedudukan Konservasi Hutan dalam
PengembanganEkowisata. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Fowler, D. 1982. Cultural Resource Management, dalam M.B. Schiffer (ed,)
Advances in archaeological method and theory, vol. 2. New York : Academic
Press.
Gunn C. A. 1993. Tourism Planning: Basic, Concepts, Casses. Taylor & Francis
Publisher.
Mc. Gimsey, R. And H.A. Davis (eds) 1977. Management of archaeological
resources: the airlie House report. Special publication of the society for Amiricn
Archaeology.
Pendit, Nyoman S. 1994. Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta:
Pradnya Paramita.
Sedyawati, Edi. 1992/1993. Arkeologi dan Jatidiri Bangsa. Pada Pertemuan Ilmiah
Arkeologi VI, hlm. 23 – 36. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
http://google.com/candi-batujaya
http://disbudparkarawang.org/komplek-percandian-batujaya

Anda mungkin juga menyukai