Disusun oleh
Pembimbing
dr. Zulfikar Naftali, Sp.THT-KL(K) MSi Med
dr. Dwi Marliyawati, Sp.THT-KL MSi Med
Maisam Abbas Onali1, Syeda Beenish Bareeqa2, Sadaf Zia3, Syed Ijlal Ahmed4,
Asneha Owais2 and Ahmad Nawaz Ahmad5
Abstract
Latar Belakang
Otitis media tipe tubotimpani adalah salah satu infeksi otology dengan
insidensi yang tinggi. Biasanya antibiotik oral dan topikal (umunya quinolone)
diberikan secara tunggal maupun kombinasi. Namun, belum ada konsensus yang
membahas mengenai keefektifan pengobatan dengan antibiotik topikal versus
kombinasi topikal dan oral. Penelitian ini membahas mengenai perbandingan
efikasi terapi empiris ciprofloxacin kombinasi dengan ciprofloxacin topikal pada
pasien dengan OMSK tubotimpani.
Metodologi
Sampel adalah 100 pasien poli THT yang terdiagnosa OMSK tubotimpani.
Studi ini telah disetujui secara etika penelitiannya. Seluruh pasien dibagi secara
acak kedalam 2 kelompok dengan metode pengobatan yang berbeda: kelompok
dengan obat topikal dan kelompok dengan obat kombinasi. Pasien diamati setelah
satu minggu pengobatan.
Hasil
Kata Kunci: Otitis media supuratif kronis (OMSK), antibiotik empiris, otorea,
Pseudomonas aeruginosa.
Pendahuluan
Kriteria Eksklusi
a. Pasien yang telah menerima pengobatan selama 2 minggu atau yang telah
menggunakan obat antibiotik lain untuk keluhan selain OMSK
b. Pasien dengan perforasi atik, kolesteatoma, dan granulasi.
c. Pasien dengan keluhan patologis telinga selain OMSK.
d. Pasien dengan abnormalitas anatomi telinga luar dan telinga tengah.
e. Pasien dengan alergi terhadap obat yang digunakan pada penelitian.
f. Pasien hamil.
g. Pasien dengan komorbid diabetes dan supresi imun lainnya.
Etika Penelitian
Hasil
Dari total 100 pasien, 67 pasien adalah laki-laki dengan rerata usia 34,12
tahun dan 33 pasien adalah wanita dengan rerata usia 31,68 tahun sehingga ratio
laki-laki dan wanita adalah 1:0,49. Usia pasien berentang dari 18 – 50 tahun, dengan
rerasa usia 33,2±8,7 tahun. Rerata durasi pengeluaran discaj adalah 55,2 hari (SD
+33,3) dengan minimum 14 hari dan maksimum 140 hari. Keluhan pada telinga kiri
pada 55 pasien, 45 pasien memiliki keluhan pada telinga kanan, dan tidak ada
pasien dengan keluhan telinga bilateral.
Pembahasan
Pada tahun 2000, Acuin dkk dari Filipina merilis kajian di Cochrane
Database mengenai efek pengobatan-pengobatan pada kasus OMSK. Mereka
mengkaji 24 studi acak yang mencakup 1660 sampel. Quinolone topikal lebih
efektif dibandingkan nonquinolone pada 5 studi namun pengkombinasian topikal
dan sistemik tidak lebih efektif dibandingkan tetes topikal saja. Artikel lain oleh
Acuin mengenai pencegahan kebutaan dan ketulian untuk WHO (2004)
menyatakan bahwa tetes topikal lebih efektif untuk otitis media kronik tanpa
komplikasi.
Di tahun 2004, Acuin dkk melakukan kajian lain mengenai dampak dan
pilihan terapi untuk OMSK. Pada kajian ini, ditunjukkan bahwa ciprofloxacin
topikal lebih efektif (86%) dibandingkan ciprofloxacin oral (60%) dalam segi
pengobatan bakteriologis dan efikasi klinis. Efikasi quinolone topikal tercatat lebih
baik dibandingkan topikal nonquinolone. Acuin dkk merilis kajian baru di tahun
2007 yang membahas 48 studi yang berbeda mengenai rencana penatalaksanaan
pasien OMSK dengan quinolone topikal.
Di tahun 2006, Carolyn dkk mengkaji 9 studi acak yang mencakup 833
pasien dalam sebuah artikel yang dirilis di Cochrane Database. Peneliti
menngdeduksi bahwa pemberian quinolone topikal dapat mengurangi keluhan
discaj telinga lebih baik dibandingkan antibiotik sistemik dan lebih efektif
dibandingkan antibiotik topikal nonquinolone atau antiseptic, walaupun artikel ini
tidak membahas mengenai efek samping dari tiap pengobatan. Tidak ada
keuntungan yang tercatat dari penambahan antibiotik sistemik dengan quinolone
topikal.
Terapi definitive OMSK tubotimpani adalah operasi timpanoplasti segera
setelah telinga bersih dari discaj. Menurut peneliti, dalam pengobatan OMSK
tubotimpani tidak diperlukan pemberian antibiotik jangka panjang. Tujuan utama
pengobatan tersebut adalah untuk mempersiapkan pasien untuk terapi operasi dan
sebagai penghilang infeksi. Apabila tidak dilakukan operasi timpanoplasti, maka
barrier fisiologis antara telinga luar dan telinga tengah akan hilang sehingga akan
sulit dalam menilai apakah ada infeksi persisten ataupun rekuren pada cavitas
telinga tengah. Demikian pula dalam menentukan efek samping kurang dengar.
Penelitian ini tidak membahas dan mengamati perbaikan keluhan kurang dengar
pasca pengobatan, dan hanya meneliti aspek perbaikan keluhan discaj telinga saja.
Perbaikan kurang dengar tergantung pada tatalaksana operasi dibandingkan
tatalaksana farmakologis, sehingga diluar jangkauan penelitian ini.
Kesimpulan