Anda di halaman 1dari 21

KAJIAN FILSAFAT HUKUM TERHADAP

HUKUMAN MATI DALAM SISTEM


HUKUM INDONESIA DAN AJARAN
AGAMA

Di susun oleh :

JEGESSON PARNINGOTAN SITUMORANG, S.H

197005140

PARALEL (C)

1
BAB .I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penegakan hukum adalah proses yang dilakkan sebagai upaya untuk
mencapai tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai
pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subyeknya, penegakan hukum
itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya
penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan
hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang
berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti
sempit, dari segi subyeknya itu, oenegakan hukum itu hanya diartikan sebagai
upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan
tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.

Berbicara mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kehidupan


demokrasi kita terasa makin mencuat, meski pemahaman terhadapnya belum
memuaskan karena banyak konsepsi yang dikembangkan masih dipahami secara
beragam mulai dari orang/masyarakat awam hingga kalangan yang ‘melek’ HAM.
HAM yang bersifat kodrati dan berlaku universal itu pada hakikatnya berisi pesan
moral yang menghendaki setiap orang baik secara individu maupun kelompok
bahkan penguasa/pemerintah (negara) harus menghormati dan melindunginya.
Pesan moral yang ada, memang belum mengikat atau belum mempunyai daya ikat
secara hukum untuk dipaksakan pada setiap orang. Ketika ia dimat (dicantumkan
dan ditegaskan) melalui berbagai piagam dan konvensi internasional, maka semua
orang harus menghormatinya. Paling tidak negara (sebagai yang
bertanggungjawab dalam rangka penghormatan dan pelaksanaan HAM) yang ikut
terlibat dalam atau sebagai peserta konvensi dan terlibat dalam
panandatanganannya, juga terhadap piagam yang telah disetujui bersama itu, akan
terikat dan berkewajiban untuk meratifikasinya ke dalam peraturan perundang-
undangan amsing-masing negara bersangkutan.

2
Mengingat semakin merajalelanya tindakan kriminal, dari skala kecil
sampai skala besar, seakan-akan warga negara Indonesia ini begitu tidak gentar
menghadapi hukum. Pejabat kebal hukum, rakyat bebal hukum. Ya, tampaknya
seperti itulah karakteristik orang Indonesia.

Hukum menjadi semacam alat untuk bermain bagi pihak-pihak tertentu.


Terang saja, tindakan kriminal skala kecil dibesar-besarkan sedangkan tindakan
kriminal skala besar dikecil-kecilkan.

Untuk tindakan kriminal skala besar, banyak pihak yang ingin agar
pelakunya diganjar hukuman mati agar menciptakan efek takut bagi orang lain –
dalam hal ini berarti bernilai preventif. Namun, ada pihak-pihak tertentu yang tidak
menyetujuinya bersamaan dengan adanya HAM. Ada yang mengatakan hukuman
mati bukan cara irasional, tidak manusiawi, tidak bijaksana, hanya merupakan hak
Tuhan. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa tindakan ini tegas dan bisa
menjaga wibawa negara.

Dalam kesempatan ini, saya akan mencoba mengulas bagaimanakah


sebaiknya tentang hukuman mati dikaji dengan dengan filsafat hukum dan sistem
hukum.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah sebaiknya penerapan hukuman mati dalam sistem hukum di
Indonesia dan bagaimana pula pandangan ajaran agama terhadap hukuman mati
dikaji melalui filsafat hukum ?

3
BAB .2. PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat Hukum


Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran

manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. [1] Berkaitan dengan
hukum, beberapa ahli mendefinisikan filsafat hukum sebagai berikut:

Menurut Soetikno:
Filsafat hukum adalah mencari hakekat dari hukum, dia ingin mengetahui apa
yang ada di belakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum, dia
menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai, dia memberi
penjelasan mengenai nilai, postulat (dasar -dasar) sampai pada dasar-dasarnya, ia
berusaha untuk mencapai akar-akar dari hukum.

Menurut Satjipto Raharjo:


Filsafat hukum mempelajari pertanyaan-pertanyaan dasar dari hukum. Pertanyaan
tentang hakekat hukum, tentang dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum,
merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang
demikian itu, filsafat hukum bisa menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing
mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum positif
hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan
konsistensi logis asa, peraturan, bidang serta sistem hukumnya sendiri.

Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto:


Filsafat hukum adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai, kecuali itu filsafat
hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya penyelesaian antara
ketertiban dengan ketenteraman, antara kebendaan dan keakhlakan, dan antara
kelanggengan atau konservatisme dengan pembaruan.

[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat

4
Menurut Lili Rasjidi:
Filsafat hukum berusaha membuat “dunia etis yang menjadi latar belakang yang
tidak dapat diraba oleh panca indera” sehingga filsafat hukum menjadi ilmu
normatif, seperti halnya dengan ilmu politik hukum. Filsafat hukum berusaha
mencari suatu cita hukum yang dapat menjadi “dasar hukum” dan “etis” bagi
berlakunya sistem hukum positif suatu masyarakat (seperti grundnorm yang telah
digambarkan oleh sarjana hukum bangsa Jerman yang menganut aliran-aliran

seperti Neo Kantianisme). [2]

Menurut Darji Darmodiharjo dan Shidarta:


Ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, jadi objek filsafat hukum adalah
hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya,

yang disebut dengan hakekat. [3]

Secara garis besar filsafat hukum berupa suatu ilmu yang mengkaji hukum
secara mendalam, penuh kebijaksanaan, berjangka panjang dan fleksibel sehingga
hukum itu sendiri menjadi selaras (keserasian nilai-nilai) dengan karakteristik
masyarakat. Kajian filsafat hukum sendiri tentu membutuhkan cabang-cabang ilmu
lain yang berkaitan dengan hukum, seperti: antropologi hukum, sosiologi hukum,
psikologi hukum dan sebagainya. Dengan demikian kajian filsafat hukum akan
mampu mencakup semua aspek dalam masyarakat.

B. Hukuman Mati dalam Sistem Hukum Indonesia


Hukuman mati atau Death Penalty adalah suatu hukuman atau vonis yang
dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat
yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.

[2] http://kuliahade.wordpress.com/2009/11/22/pengertian -filsafat-hukum-


menurut-para-ahli/
[3] http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/Filsafat%20Huku m%
20dan%20Perannya%20dala m% 2 0Pembentukan%20Hukum% 20d
5
i%20Indonesia

6
Pidana mati merupakan bagian dari jenis-jenis pidana yang berlaku
berdasarkan hukum pidana positif Indonesia. Bentuk pidana ini merupakan
hukuman yang dilaksanakan dengan merampas jiwa seseorang yang melanggar
ketentuan undang-undang. Pidana ini juga merupakan hukuman tertua dan paling
kontroversial dari berbagai bentuk pidana lainnya. Tujuan diadakan dan
dilaksakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa
pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketentraman yang
sangat ditakuti oleh umum.

Saat ini terdapat 68 negara yang masih menerapkan praktik hukuman mati,
termasuk Indonesia. Sedangkan negara yang menghapus pidana mati untuk
seluruh jenis kejahatan adalah sebanyak 75 negara. Selain itu, terdapat 14 negara
yang menghapus pidana mati untuk kategori kejahatan de facto tidak menerapkan
pidana mati untuk kategori kejahatan de facto tidak menerapkan pidana mati
walaupun terdapat ketentuan mati.

Menurut keputusan MK No. 2-3/PUU-V/2007 menyatakan di masa yang


akan datang perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati hendaklah
memperhatikan empat hal penting. Pertama, pidana mati bukan lagi merupakan
pidana pokok, melainkan sebagai pidana bersifat khusus dan alternatif. Kedua,
pidana mati dapat dijatuhikan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun
apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur
hidup atau selama 20 tahun. Ketiga, pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap
anak-anak yang belum dewasa. Keempat, eksekusi pidana mati terhadap
perempuan hamil dan seseorang yang sakit jika ditangguhkan sampai perempuan
hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa sembuh.

Pada dasarnya sistem hukum di Indonesia terdiri dari tiga jenis sistem
hukum. Yaitu hukum Eropa, hukum agama dan hukum adat. Dari ketiganya, baik
pidana maupun perdata sebagian besar hukum di Indonesia bersistem hukum
Eropa. Sedangkan sistem hukum agama dan adat biasanya berlaku pada urusan
perkawinan, kewarisan dan kekerabatan.
7
Namun kembali pada salah satu asas berlakunya undang-undang yaitu:
Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai derajat
yang lebih tinggi, sehingga apabila ada dua macam undang-undang yang tidak
sederajat mengatur objek yang sama dan saling bertentangan, maka hakim harus
menerapkan undang-undang yang lebih tinggi dan menyatakan bahwa undang-
undang yang lebih rendah tidak mengikat (lex superior derogat legi inferiori). Ini
berarti apabila hukuman mati diberlakukan oleh negara, maka hukum adat atau
peraturan daerah tidak berhak menentang. Sebaliknya, jika hukum adat atau
peraturan daerah memberlakukan hukuman mati tetapi negara tidak, maka tidak
boleh ada hukuman mati.

Baik orang yang mati dengan sengaja/tidak sengaja yang jelas kita bisa
menetukan pilihan hidup/mati ditangan orang lain atau diri kita. Syaratnya
pemerintah dalam menegakkan hukuman mati bukan karena motif pembalasan,
akan tetapi untuk menegakkan keadilan (filsafat hukum) untuk masa depan.

Hukum tidak hanya berbicara sesuatu yang terjadi, tetapi memprediksi


gelaja, meminimalisir dampak buruk dan hukum harus memberi kemaslahatan
sebanyak mungkin. Dalam praktek hukum, ada yang dirugikan, tetapi sebisa
mungkin kerugian diupayakan lebih sedikit daripada kemaslahatan. Sudah
menjadi kodrat Tuhan ketika menciptakan alam ini dengan hukum-hukum amteri,
maka akan ada keterbatasan, ada efek samping.

Kita analogi dilema “hukuman mati” seperti penjatuhan kartu merah dalam
sepak bola, sanksi yang diberikan pada pemain yang melanggar dengan
pelanggaran keras, maka harus keluar dari lapangan dan “kehidupan” sepakbola
yang sedang berjalan. Sanksi tidak semata jatuh pada pelanggar, tetapi juga
ditanggung oleh seluruh elemen timnya. Dalam konteks hukaman mati, paling
maksimal akan memberi efek “tingkat keterancaman yang paling tinggi”. Dalam
filsafat etika ada “keterancaman”. Hukaman mati itu bentuk potensi yang bisa
aktual apabila memenuhi syarat-syarat. Mencabut nyawa dalah hak Tuhan ayng
didelegasikan kepada orang lain. Tuhan mendelegasikan hak-Nya atau
menghukum dengan tangan manusia, sebagaimana Tuhan yang berwenang
mencabut dan menunda nyawa, begitu juga manusia memperoleh pendelegasian
8
dari Tuhan untuk malakukannya. Dalam praktek pengadilan, hakim boleh
memutuskan hukuman mati karena mendapatkan pendelegasian Tuhan
sebagaimana Tuhan mendelegasikan malaikat mengambil nyawa seseorang,
namun perlu syarat-syarat ketat dalam menjatuhkan hukuman mati, kemudian
pembenahan sistem peradilan sehingga menghasilkan produk hukum yang adil.

Jika ditinjau dari segi hukum agama, faktanya terdapat beberapa agama
yang mengindikasikan adanya hukuman mati termasuk bagian yang tidak
mendukungnya. Berikut saya sampaikan indikasi pro dan kontra hukuman mati
dari berbagai agama:

1. Agama Hindu
Di dalam kitab hukum Hindu salah satunya Manawa Dharmaśāstra
memuat tentang tindakan yang dilarang beserta sanksinya. Beberapa ayat
memuat hukuman mati untuk bentuk kejahatan tertentu.

Namun dalam Śānti Parva (Mahābharāta) ada sebuah percakapan


antara pangeran Satyavan dengan raja Dyumatsena sebagai berikut:

Pangeran Satyavan: Terkadang kebajikan membuat kita mengetahui dosa


dan dosa membuat kita mengetahui bentuk kebajikan. Dan tidak akan pernah
mungkin membinasakan manusia dapat dianggap suatu perbuatan yang
bijak.

Raja Dyumatsena: Apabila mengecualikan mereka yang harus dibunuh


adalah bijak, apabila perampok dikecualikan, Satyavan, maka perbedaan
antara kebajikan dan perbuatan dosa akan samar.

9
Pangeran Satyavan: Tidak dengan membinasakan seorang pelaku
kejahatan, seorang Raja hendaknya menghukum dia sebagai seseorang
yang ditakdirkan berdasarkan Kitab. Seorang Raja hendaknya tidak berbuat
sebaliknya, mengabaikan moral untuk merendahkan martabat pelaku
kejahatan. Dengan membunuh seorang pelanggar, Raja membunuh banyak
orang tidak berdosa. Dengan membunuh seorang perampok tunggal, istri,
ibu, bapa dan anak yang bersangkutan semuanya ikut terbunuh. Ketika
dirugikan oleh seorang pelaku kejahatan, Raja oleh karenanya harus
merenungkan persoalan penghukuman. Terkadang orang jahat terlihat
meniru kebaikan dari orang baik. Hal tersebut mencerminkan anak yang
baik berasal dari keturunan orang jahat. Maka dari itu sebaiknya orang
jahat tidak dimusnahkan. Pemusnahan seorang jahat tidak sesuai dengan
hukum keabadian dalam agama Hindu.
Percakapan ini menjadi landasan bahwa hukuman mati tidak diperlukan

dalam agama Hindu. [4]


2. Agama Kristen
Kalangan Kristen dari umat biasa sampai pendeta baik dari Kristen Katolik
maupun Kristen Protestan memiliki pandangan yang berbeda mengenai
hukuman mati. “Surat Paulus kepada Jemaat di Roma” bab 13 ayat 1-4
tentang keharus-patuhan rakyat terhadap pemerintah menjadi landasan
berlakunya hukuman mati.

Namun bagi kalangan Kristen yang menentang, mereka berlandaskan


Exodus bab 20 ayat 13, yang menuliskan: “Kamu tidak boleh melakukan
pembunuhan.”. Kemudian dalam Surat Yesaya ayat 5 dijelaskan:
“Beginilah firman Allah, Tuhan yang menciptakan langit dan
membentangkannya, yang menghamparkan bumi dengan segala yang
tumbuh di atasnya, yang memberi nafas kepada umat manusia yang
mendudukinya dan nyawa kepada mereka yang hidup di atasnya.”

Kesimpulannya dalam Kristen ada ayat (dalam surat Exodus) yang

menyatakan dengan tegas bahwa tidak boleh membunuh. [5]

10
3. Agama Islam
Bentuk peraturan dalam ajaran Islam terdiri dari hudud (suatu bentuk
peraturan yang bentuk pelanggaran dan sanksinya sudah di atur secara pasti
dan ta’zir (suatu bentuk peraturan yang bentuk pelanggarannya sudah di
atur tetapi bentuk sanksinya di serahkan kepada negara).
Dalam agama Islam dikenal apa yang dinamakan kisas (memberikan
perlakuan yang sama kepada pelaku pidana sebagaimana ia melakukannya
terhadap korbanDasar berlakunya kisas ini adalah berdasarkan firman
Allah SWT dalam surat Al-Baqarah, yakni surat kedua dari Al-Quran, ayat
178 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
qishaash berkenaan dengan orang- orang yang dibunuh; orang merdeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita.
Maka barangsiapa yang mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah
yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang
diberi maaf membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang
baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan
suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
baginya siksa yang sangat pedih.”. Dalam penjelasannya diterangkan
bahwa diat adalah suatu ganti rugi yang dibayarkan kepada ahli waris
korban. Dalam hukum Islam hukuman mati dapat diganti dengan
pembayaran ganti rugi kepada ahli waris korban apabila sebelumnya ahli
waris korban telah memaafkan pelaku kejahatan pembunuhan atas apa
yang dilakukannya. Selanjutnya dalam ayat 179 Allah SWT berfirman:
“Dan dalam kisas itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu, hai orang-
orang yang berakal, supaya kamu ber-taqwa”.
Dalam Kitab Suci umat Islam ini terdapat surat yang isinya sangat jelas
menunjukan bahwa Islam sejalan dengan teori absolut, yakni

[4] http://www.jambilawclub.com/2011/03/tinjauan -agama-hindu-

atas-hukum an- mati.html


[5] http://www.jambilawclub.com/2011/03/tinjauan-agama-kristen-atas-
hukum an.html

11
surat Al-Maaidah ayat 45 yang artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap
mereka di dalamnya bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan
mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan
luka-luka pun ada qishaashnya.

Barangsiapa yang melepaskan hak qishaashnya, maka melepaskan


hak itu menjadi penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-
orang yang zalim.”. Surat ini dan surat-surat sebelumnya menunjukan bahwa
Allah SWT menetapkan bahwa hukuman mati merupakan hukuman yang
setimpal bagi tindak pidana pembunuhan karena begitu beratnya akibat dari
pembunuhan tersebut.
Adapun untuk diberlakukannya kisas terdapat beberapa syarat, yaitu:
a. Pelaku seorang mukalaf, yaitu sudah cukup umur dan berakal.
b. Pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja.
c. Unsur kesengajaan dalam pembunuhan itu tidak diragukan lagi.
d. Pelaku pembunuhan tersebut melakukannya atas kesadaran
sendiri, tanpa paksaan dari orang lain.

Kisas tidak dapat diberlakukan apabila pembunuhan yang terjadi


melibatkan pelaku dan korban yang memiliki hubungan keturunan.
Mengenai kisas ini banyak terjadi perbedaan pendapat di antara para
pemuka agama Islam itu sendiri, di antaranya mengenai cara pelaksanaan
kisas. Pendapat pertama mengatakan bahwa kisas hanya bisa dilakukan
dengan pedang atau senjata, terlepas dari pembunuhan yang telah dilakukan
menggunakan pedang atau tidak. Pendapat kedua mengatakan bahwa kisas
itu dilakukan sesuai dengan cara dan alat yang digunakan pembunuh pada
saat melakukan pembunuhan. Namun terdapat kesepakatan di antara ahli
agama Islam bahwa apabila ada alat lain yang dapat lebih cepat menghabisi
nyawa terpidana, maka boleh digunakan, sehingga penderitaan dan rasa sakit
yang dirasakan terpidana tidak terlalu lama.

12
Bagi penegak hukum dalam negara Islam terdapat prinsip “Lebih baik salah
memaafkan dari pada salah menghukum”. Prinsip ini menunjukan bahwa
Islam sangat berhati-hati dalam menjatuhkan hukuman, khususnya
hukuman mati. Apabila seseorang mengakui kesalahan yang telah
dilakukannya serta bertaubat dengan sungguh - sungguh, berdasarkan surat
Al-Maidah ayat 34, maka ia akan di ampuni atas perbuatannya oleh Allah.
Penegak hukum Islam juga berpedoman pada ayat tersebut dalam
menegakkan hukum Islam. Maka apabila seorang pelaku kejahatan
menyerahkan diri lalu mengakui perbuatannya dan bertaubat, hendaknya
menjadi suatu pertimbangan bagi para penegak hukum dalam proses

penjatuhan hukuman. [6]


2. Agama Buddha
Dalam agama Budha dikenal apa yang dinamakan dengan Panca-sila.
Panca-sila dalam agama Buddha ini adalah sebagai prinsip dasar bagi umat
Budha dalam pengembangan kepribadian agar dapat berperikelakuan baik.
Aturan pertama dalam Panca-sila adalah larangan terhadap pencabutan
nyawa. Aturan pertama ini yang dijadikan dasar dalam menentang
hukuman mati.
Dalam kitab umat Buddha, Dhammapada, juga terdapat pasal yang
berhubungan dengan hukuman mati yaitu pasal 10 yang menyatakan
“Setiap orang takut akan hukuman, setiap orang takut akan kematian,
sebagaimana kamu juga rasakan. Maka janganlah kalian membunuh atau
menyebabkan terjadinya pembunuhan. Setiap orang takut akan hukuman,
setiap orang mencintai kehidupan, sebagaimana kamu juga rasakan. Maka
janganlah kalian membunuh atau menyebabkan terjadinya pembunuhan.”.
Selanjutnya dalam pasal terakhir dari Dhammapada ini, pasal 26,
menyatakan “Dia Kami sebut brahmin, barangsiapa yang menanggalkan
senjatanya dan menghindari kekerasan terhadap semua umat. Dia tidak
membunuh atau membantu orang lain untuk membunuh.”

[6] http://www.jam bilawclub.com/2011/03/tinjauan-agama-islam-atas -huk uman-m

ati.html

13
Hal ini diinterpretasikan oleh sebagian besar umat Buddha, terutama umat
Buddha di Barat, sebagai suatu dasar dalam menentang hukuman mati.
Namun ada pula interpretasi yang berbeda dengan interpretasi umat
Buddha di Barat tersebut, misalnya Thailand yang kita ketahui bahwa
Buddha sebagai salah satu agama yang resmi diakui negaranya, tetapi
menerapkan hukuman mati. Begitu pula dengan Sri Lanka, Jepang, Taiwan
yang mayoritas warga negaranya menganut agama Budha, tetap
mempertahankan hukuman mati dalam sistem hukumnya. Teori absolut
yang dipandang sebagai alasan pembenar terkuat dalam penerapan
hukuman mati tidak sejalan dengan ajaran agama Buddha sebagaimana
tersirat dalam Panca-sila dan Dhammapada. Maka tidak heran apabila
hampir semua umat Budha menentang hukuman mati sebagai pembalasan,

seperti dala m ajaran absolut. [7]

C. Pelaksanaan Hukaman Mati di Indonesia

Untuk pelaksanaan pidana mati di Indonesia pada mulanya dilaksanakan


menurut ketentuan dalam Pasal 11 KUHP yang menyatakn bahwa “pidana mati
dijalankan oleh algojo atas penggantungan dengan mengikat leher si terhukum
dengan sebuah jerat pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan dari
bawah kakinya”

Karena dirasa kurang sesuai maka kemudian pasal tersebut di atas diubah
dengan ketentuan dalam S. 1945 : 123 dan mulai berlaku sejak tanggal 25
agustus 1945. Pasal 1 aturan itu menyatakan bahwa : “menyimpang dari apa
tentang hal ini yang ditentukan dalam undang-undang lain, hukuman mati
dijatuhkan pada orang-orang sipil (bukan militer), sepanjang tidak ditentukan
lain oleh gubernur jendral dilakukan dengan cara menembak mati”. Untuk
ketentuan pelaksanaanya secara rinci di jelaskan pada undang-undang No. 2
(PNPS) tahun 1964.

Berdasarkan keterangan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa eksekusi


hukuman mati di Indonesia yang berlaku saat ini dilakukan dengan cara
menembak mati bukan dengan cara menggantung si terpidana pada tiang

14
gantungan.

Beberapa ketentuan terpenting dalam pelaksanaan pidana mati adalah


sebagai berikut :

1) Tiga kali 24 jam sebelum pelaksanaan pidana mati, jaksa tinggi


atau jaksa yang bersangkutan memberitahukan kepada terpidana
dan apabila ada kehendak terpidana untuk mengemukakan sesuatu
maka pesan tersebut diterima jaksa ;

2) Apabila terpidana sedang hamil harus ditunda pelaksanaannya


hingga melahirkan ;

3) Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri


Kehakiman di daerah hukum pengadilan tingkat pertama yang
bersangkutan ;

4) Kepala Kepolisian Daerah yang bersangkutan bertanggungjawab


mengenai pelaksanaanya ;

5) Pelaksanaan pidana mati dilaksanakan oleh suatu regu penembak


polisi dibawah pimpinan seorang perwira polisi ;

6) Kepala Polisi Daerah yang bersangkutan harus menghadiri


pelaksanaan tersebut ;

7) Pelaksanaan tidak boleh dimuka umum ;

8) Penguburan jenazah diserahkan pada keluarga ;

9) Setelah selesai pelaksanaan pidana mati tersebut Jaksa yang


bersangkutan harus membuat berita acara pelaksanaan pidana mati
tersebut, yang kemudian salinan surat putusan tersebut harus
dicantumkan ke dalam surat putusan pengadilan.

Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak menjatuhkan pidana


mati. Berdasarkan catatan berbagai Lembaga Hak Asasi Manusi Internasional,
Indonesia termasuk salah satu negara yang masih menerapkan ancaman
hukuman mati pada sistem hukum pidananya (Retentionist Country).
Retentionist maksudnya de jure secara yuridis, de facto menurut fakta mengatur
pidana mati untuk segala kejahatan.

Hasil sejumlah studi tentang kejahatan tidak menunjukkan adanya


korelasi antara hukuman mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan. Beberapa
studi menunjukkan, mereka yang telah dipidana karena pembunuhan (juga yang
berencana) lazimnya tidak melakukan kekerasan di penjara. Begitu pula stelah
15
keluar penjara mereka tidak lagi melakukan kekerasan atau kejahatan yang
sama. Sebaliknya sejumlah ahli mengkritik, suatu presfektif hukum tidak dapat
menjangkau hukum kerumitan kasus-kasus kejahatan dengan kekerasan dimana
korban bekerjasama dengan pelaku kejahatan, dimana individu adalah korban
maupun pelaku kejahatan, dan dimana orang yang kelihatannya adalah korban
dalam kenyataan adalah pelaku kejahatan.

D. Kontroversi Hukuman Mati

Hukuman mati menjadi salah satu ganjaran atau hukuman yang telah
diterapkan di Indonesia. Hak ini menimbulkan perdebatan di masyarakat,
adanya pro untuk tetap menerapkan hukuman mati dan juga kontra terhadap
hukuman mati.

Dalam konteks Indonesia, perdebatan hukuman mati memiliki makna tersendiri


mengingat posisi Indonesia sebagai negara demokrasi muslim terbesar di dunia.
Dalam hal ini, hukum sebagai bentuk norma masyarakat serta hukuman dalam
arti keputusan hukum. Von Savigny mengatakan bahwa hukum adalah bagian
dari budaya masyarakat, tidak lahir dari suatu tindakan bebas (arbitrary act of
legislator), tetapi dibangun dan dapat ditemukan di jiwa masyarakat. Hukum
berasal dari kebiasaan dan selanjutnya dibuat melalui suatu aktivitas hukum
(juristic activity) yang merupakan produk dari kesadaran sejarah masyarakat.

Kesadaran sejarah senantiasa berkembang dengan perubahan sosial dan


munculnya pemikiran-pemikiran baru. Hal itu juga dilakukan dengan perubahan
norma hukum.

Oleh karena itu, kesadaran sejarah masyarakat Indonesia belum menerima


adanya penghapusan pidana mati. Pidana mati masih dipahami sebagai suatu
secara hukum maupun moral. Kalaupun pidana mati melanggar hak hidup,
pelanggaran tersebut dibenarkan sebagai hukuman atau tindak pidana tertentu.

[7] http://www.jambilawclub.com/ 2011/03/tinjauan -aga ma-budha-atas-


hukuman-mati.ht ml

16
Ada sejumlah alasan kontra dalam hukuman mati, yaitu ;

 Adanya ketentuan umum dalam traktat-traktat hak asasi manusia (human


rights treaties) bahwa dalam keadaan darurat negara dapat mengurangi
kewajibannya (untuk memajukan atau melindungi hak asasi) yang diatur
berdasarkan traktat-traktat tersebut. Namun, hal ini tidak dapat
diterapkan pada semua jenis hak asasi. Ada sejumlah hak asasi yang
sangat penting yang tidak diizinkan dilakukan pengurangan kewajiban
dalam keadaan darurat sekalipun. Hak tersebut dikenal dengan istilah
non-derogable rights.

 Hak asasi yang digilongkan sebagai non-derogable rights menurut Pasal


4 ayat (2) ICCPR sangat mirip dengan hak asasi manusia yang diatur
dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 yaitu ; “hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan
hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku”.

 Pemerintah yang walaupun mengetahui tentang kelemahan sistem


hukum pidana dan irreversibilitas dari hukuman mati, namun tidak
mengambil tindakan untuk menghapus hukuman mati (dan misalnya
menggantikannya dengan hukuman seumur hidup) dapat dianggap
melanggar Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 yang mengatakan ;
“perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.

 Menurut Prof. Jeffrey Fagan (Guru besar bidang hukum dan kesehatan
masyarakat di Universitas Columbia, Amerika Serikat) yaitu tingkat
kesalahan dalam hukuman mati sedemikian tingginya - antara 41 %
(persen) hingga 68 % (persen) - hingga tidak dapat diterima dan keadaan
ini meningkatkan resiko eksekusi orang yang bersalah, tidak terdapat
bukti di manapun bahwa hukuman mati itu menjerakan peredaran
nerkoba ataupun kejahatan narkoba lainnya dan beban biaya keuangan
dari hukuman mati sangatlah tinggi.

17
Ada sejumlah alasan pro dalam hukuman mati, yaitu ;

 Narkotika, Korupsi dan Terorisme masuk ke dalam kategori


kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang perlu diambil
langkah hukum ekstra luar biasa. Karena keadaan negara Indonesia
yang menerapkan urgensi penting pada kasus Nrkoba untuk generasi
bangsa.

 Kejahatan narkoba merupakan kejahatan luar biasa yang menistakan


perikemanusiaan. Kejahatan narkoba merupakan kejahatan
kemanusiaan yang merenggut hak hidup tidak hanya satu orang,
melainkan banyak manusia akan menjadi korban.

 Narkoba merupakan bentuk perampasan hak asasi untuk


mendapatkan kehidupan normal. Karena efek dari penggunaan
narkoba akan tetap ada walaupun telah direhabilitasi dan tidak dapat
sembuh 100 % (persen), sehingga berdampak pada kelanjutan hidup
bagi pengguna.

 Korupsi juga merupakan kejahatan luar biasa, meskipun di Indonesia


masih terjadi banyak perdebatan untuk menerpakan hukuman mati,
karena akan berhubungan dengan besar dan nominal terhadap
kerugian negara. Namun korupsi merupakan kejahatan yang
merugikan negara dan juga masyarakat yang mengambil hak orang
lain.

 Dari catatan amnesty internasional dan PBB melakukan survei, efek


jera dari hukuman mati dampaknya lebih buruk daripada hukuman
seumur hidup.

 Pemerintah dan BNN mengemukakan bahwa pidana mati memiliki


daya tangkal terhadap pelaku kejahatan dan sangat dibutuhkan untuk
mencegah semakin merajalelanya kejahatan narkoba, yang jtelah
membawa korban yang besar jumlahnya, serta membahayakan masa
depan bangsa.

18
Bab 3 Penutup

A. Kesimpulan
Sampai saat ini hukuman mati masih berlaku di Indonesia yang salah
satunya sebagaimana termuat di dalam Pasal 36 UU No. 26 Tahun 2000: “Setiap
orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b,
c, d, atau e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10
(sepuluh) tahun.”

Dilihat dari aspek agama, hukuman mati tidak mutlak ditentang. Begitu
juga dalam beberapa hukum adat. Namun demikian, beberapa pihak tertentu ingin
agar hukuman mati berhenti diberlakukan di Indonesia. Setelah memaparkan
beberapa kajian mengenai tentang hukuman mati, dari segi agama sosial dan adat,
maka saya akan mengemukakan beberapa kesimpulan. Apakah hukuman mati
perlu ditidiadakan?

Apabila hukuman mati dihapus dari sistem hukum di Indonesia lalu


digantikan dengan hukuman kurungan penjara dan pemiskinan, jika dikaji secara
filosofis, jika terdakwa yang melakukan kejahatan berskala besar misalnya
terorisme, maka besar kemungkinan ia akan membunuh lebih banyak lagi. Dengan
pertimbangan ini, hukuman mati perlu diberlakukan agar tidak ada korban yang
berjatuhan lagi. Tetapi hukuman mati bisa saja ditiadakan apabila aparat penegak
hukum mampu menjamin untuk memberantas tuntas seluruh jaringan yang terkait
dalam kasus itu.

Kenyataannya, seorang terdakwa bandar narkoba masih bisa melakukan


akses dan menguasai jalur transaksi penjualan narkoba berskala besar di dalam
lapas. Apabila sulit mengawasi oknum lapas yang terlibat, maka hukuman mati
perlu diberlakukan. Hukuman mati bisa ditiadakan

19
apabila terjamin bahwa tardakwa bandar narkoba tidak bisa berkutik sama sekali
di lapas di mana pegawai lapas benar-benar bertanggung jawab.

Alasan HAM dan otoritas Tuhan mengenai hukuman mati, juga tidak
sepenuhnya benar. Jika membunuh terdakwa sebagai hukuman dikatakan
melanggar HAM, lalu mengapa militer membunuh penjajah tidak dikatakan
melanggar HAM? Padahal keduanya sama-sama membunuh.

Hukuman mati dapat ditiadakan dengan digantikan dengan hukuman


kurungan penjara seumur hidup di mana fasilitas setiap narapidana tidak dibeda-
bedakan. Selain itu harus ada jaminan atau kepastian bahwa terdakwa benar-benar
jera dikurung di penjara dan akses narapidana dengan kasus kriminal berskala besar
ke dunia luar benar -benar dijaga ketat, dibatasi dan diawasi. Setiap penjaga lapas
juga harus bertanggung jawab. Bagi kasus korupsi, pemiskinan atas aset-aset hasil
korupsi harus dilakukan oleh negara. Dengan demikian efek jera benar-benar dapat
dirasakan oleh pelaku dan menjadi bentuk preventif terhadap calon pelaku.

B. Saran
Bagaimanapun juga negara belum tentu bisa menjamin bahwa setiap aparat
penegak hukum dapat bertanggung jawab sepenuhnya atas kewajibannya. Bagi
terdakwa kasus luar biasa yang tidak dihukum mati, melainkan dihukum penjara
beberapa tahun atau seumur hidup. Ada yang mengatakan penjara seumur hidup
membuat negera mengeluarkan biaya karena narapidana bisa makan gratis seumur
hidup. Letak permasalahan bukan di situ. Tetapi selalu saja ada oknum aparat
penegak hukum yang mencari kesempatan. Tujuan agar narapidana yang dikurung
penjara agar jera, malah dengan bekerja sama dengan oknum tertentu, narapidana
tersebut masih tetap bisa melakukan kejahatannya di dalam penjara. Saya
menyayangkan hukuman mati dihapuskan.

20
Menurut saya, kita tidak perlu menuntut penghapusan hukuman mati dengan
alasan apapun. Hukuman mati tetap perlu diberlakukan, namun dengan rumusan yang
tepat. Kapan, kepada siapa, karena kasus apa, dengan alasan apa dan sebagainya.
Dengan pertimbangan sosiologi hukum yang matang. Hukuman mati sangat tepat
diberlakukan kepada pelaku kriminal berskala besar dan kepada kepala jaringan
kriminal, yang menyebabkan kerugian materil dan imateril yang berskala besar pula.
Namun demikian, hukum harus tetap menyelidiki dan memberantas setiap orang yang
terlibat di dalamnya. Hukuman mati perlu dihapuskan apabila hukuman mati itu
diberlakukan tanpa alasan yang jelas atau kepada pelaku kriminal berskala kecil.

21

Anda mungkin juga menyukai