Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Selama beberapa abad tuberkulosis merupakan salah satu penyakit terparah pada
manusia. Dari semua penyakit infeksi, tuberkulosis masih merupakan penyebab kematian
tersering. WHO memprediksikan insidensi penyakit tuberkulosis ini akan terus meningkat,
dimana akan terdapat 12 juta kasus baru dan 3 juta kematian akibat penyakit tuberkulosis
setiap tahun. Sepertiga dari peningkatan jumlah kasus baru disebabkan oleh epidemi HIV,
dimana tuberkulosis menyebabkan kematian pada satu orang dari tujuh orang yang
menderita AIDS (Ioachim, 2009). Indonesia pada tahun 2009 menempati peringkat kelima
negara dengan insidensi TB tertinggi di dunia sebanyak 0,35-0,52 juta setelah India (1,6-2,4
juta), Cina (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan (0,40-0,59 juta), dan Nigeria (0,37-0,55 juta)
(WHO, 2010). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menempatkan TB
sebagai penyebab kematian terbesar ketiga setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit
saluran pernapasan, dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi
(Depkes, 2007). Tuberkulosis dapat melibatkan berbagai sistem organ di tubuh. Meskipun
TB pulmoner adalah yang paling banyak, TB ekstrapulmoner juga merupakan salah satu
masalah klinis yang penting. Istilah TB ekstrapulmoner digunakan pada tuberkulosis yang
terjadi selain pada paru-paru. Berdasarkan epidemiologi TB ekstrapulmoner merupakan 15-
20% dari semua kasus TB pada pasien HIV-negatif, dimana limfadenitis TB merupakan
bentuk terbanyak (35% dari semua TB ekstrapulmoner). Sedangkan pada pasien dengan
HIV-positif TB ekstrapulmoner adalah lebih dari 50% kasus TB, dimana limfadenitis tetap
yang terbanyak yaitu 35% dari TB ekstrapulmoner (Sharma, 2004). Limfadenitis TB lebih
sering terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 1,2:1 (Dandapat, 1990).
Berdasarkan penelitian terhadap data demografik 60 pasien limfadenitis TB didapat 41
orang wanita dan 19 orang pria dengan rentang umur 40,9 ± 16,9 (13 – 88) (Geldmacher,
2002).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Pengertian dari Limpadenitis TB ?
2. Apa saja Penyebab dari Limpadenitis TB ?
3. Apa saja Tanda dan Gejala dari Limpadenitis TB ?
4. Bagaimana cara Penularan limpadenitis TB ?
5. Bagaimana cara Pengobatan Limpadenitis TB ?
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui Pengertian dari Limpadenitis TB ?
2. Untuk mengetahui apa saja penyebab dari Limpadenitis TB ?
3. Untuk mengetahui dari Tanda dan Gejala dari Limpadenitis TB ?
4. Untuk mengetahui cara Penularan Limpadenitis TB ?
5. Untuk mengetahui Cara Pengobatan Limpadenitis TB ?
2.1. Definisi

Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening. Jadi,
limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening
yang disebabkan oleh basil tuberkulosis (Ioachim, 2009). Apabila peradangan terjadi pada
kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula (Dorland, 1998). Limfadenitis pada kelenjar
limfe di leher inilah yang biasanya paling sering terjadi (Kumar, 2004). Istilah scrofula
diambil dari bahasa latin yang berarti pembengkakan kelenjar. Hippocrates (460-377 S.M.)
menyebutkan istilah tumor skrofula pada sebuah tulisannya (Mohaputra, 2009). Penyakit ini
juga sudah dikenal sejak zaman raja-raja Eropa pada zaman pertengahan dengan nama
“King’s evil”, dimana dipercaya bahwa sentuhan tangan raja dapat menyembuhkannya
(McClay, 2008). Infeksi M.tuberculosis pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung
tuberkulosis ke kulit dari struktur dasar atau terpajan melalui kontak dengan tuberkulosis
disebut dengan scrofuloderma (Dorland, 1998).

2.2. Etiologi

Limfadenitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis.


Mycobacteria tergolong dalam famili Mycobactericeae dan ordo Actinomyceales. Spesies
patogen yang termasuk dalam Mycobacterium kompleks, yang merupakan agen penyebab
penyakit yang tersering dan terpenting adalah Mycobacterium tuberculosis. Yang tergolong
dalam Mycobacterium tuberculosae complex adalah : 1. M. tuberculosae, 2. M. bovis, 3. M.
caprae, 4. M. africanum, 5. M. Microti, 6. M. Pinnipedii, 7. M.canettii Pembagian tersebut
berdasarkan perbedaan epidemiologi (Raviglione, 2010).
Basil TB adalah bakteri aerobik obligat berbentuk batang tipis lurus berukuran
sekitar 0,4 x 3 μm dan tidak berspora. Pada media buatan berbentuk kokoid dan filamentous
tampak bervariasi dari satu spesies ke spesies lain. Mycobacteria termasuk M.tuberculosis
tidak dapat diwarnai dengan pewarnaan Gram dan hanya dapat diwarnai dengan pewarnaan
khusus serta sangat kuat mengikat zat warna tersebut sehingga tidak dapat dilunturkan
walaupun menggunakan asam alkohol, sehingga dijuluki bakteri tahan asam (Raviglione,
2010; Jawetz, 2004). M.tuberculosis mudah mengikat pewarna Ziehl-Neelsen atau karbol
fuksin (Kumar, 2004).
Dinding bakteri Mikobakterium kaya akan lipid yang terdiri dari asam mikolat, lilin,
dan fosfat. Muramil dipeptida yang membuat kompleks dengan asam mikolat dapat
menyebabkan pembentukan granuloma. Lipid inilah yang bertanggung jawab pada sifat
tahan asam bakteri Mikobakterium. Penghilangan lipid dengan menggunakan asam yang
panas menghancurkan sifat tahan asam bakteri ini (Brooks, 2004).
Bakteri ini mendapatkan energi dari oksidasi banyak komponen karbon sederhana.
Penambahan CO2 meningkatkan pertumbuhan. Aktivitas biokimia tidak khas dan laju
pertumbuhannya lebih lambat daripada kebanyakan bakteri. Waktu replikasi basil
tuberkulosis sekitar 18 jam. Bentuk saprofit cenderung tumbuh lebih cepat, berproliferasi
dengan baik pada temperatur 22-23°C, dan tidak terlalu bersifat tahan asam bila
dibandingkan dengan bentuk patogennya (Brooks, 2004).

2.7 Manifestasi Klinis

Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB ekstrapulmoner.


Limfadenitis TB juga dapat merupakan manifestasi lokal dari penyakit sistemik. Pasien
biasanya datang dengan keluhan pembesaran kelenjar getah bening yang lambat. Pada
pasien limfadenitis TB dengan HIV-negatif, limfadenopati leher terisolasi adalah
manifestasi yang paling sering dijumpai yaitu sekitar 2/3 pasien. Oleh karena itu, infeksi
mikobakterium harus menjadi salah satu diagnosis banding dari pembengkakan kelenjar
getah bening, terutama pada daerah yang endemis. Durasi gejala sebelum diagnosis berkisar
dari beberapa minggu sampai beberapa bulan.
Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis, kemudian
diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris, mesenterikus, portal
hepatikus, perihepatik dan kelenjar inguinalis.
Lokasi limfadenitis meliputi:
1) Limfadenitis daerah kepala dan leher

Kelenjar getah bening servikal teraba pada sebagian besar anak, tetapi ditemukan juga pada
56% orang dewasa. Penyebab utama limfadenopati servikal adalah infeksi; pada anak,
umumnya berupa infeksi virus akut yang swasirna.
Pada infeksi mikobakterium atipikal, cat-scratch disease, toksoplasmosis, limfadenitis
Kikuchi, sarkoidosis, dan penyakit Kawasaki, limfadenitis dapat berlangsung selama
beberapa bulan. Limfadenitis supraklavikula kemungkinan besar (54%-85%) disebabkan
oleh keganasan.3 Kelenjar getah bening servikal yang mengalami inflamasi dalam beberapa
hari, kemudian berfluktuasi (terutama pada anak-anak) khas untuk limfadenitis akibat
infeksi stafilokokus dan streptokokus.1 Kelenjar getah bening servikal yang berfluktuasi
dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan tanpa tanda-tanda inflamasi atau nyeri yang
signifikan merupakan petunjuk infeksi mikobakterium, mikobakterium atipikal atau
Bartonella henselae (penyebab cat scratch disease).1 Kelenjar getah bening servikal yang
keras, terutama pada orang usia lanjut dan perokok menunjukkan metastasis keganasan
kepala dan leher (orofaring, nasofaring, laring, tiroid, dan esofagus).1 Limfadenitis servikal
merupakan manifestasi limfadenitis tuberkulosa yang paling sering (63-77% kasus), disebut
skrofula. Kelainan ini dapat juga disebabkan oleh mikobakterium nontuberkulosa.
2) Limfadenitis epitroklear

Terabanya kelenjar getah bening epitroklear selalu patologis. Penyebabnya meliputi infeksi
di lengan bawah atau tangan, limfoma, sarkoidosis, tularemia, dan sifilis sekunder.
3) Limfadenitis aksila
Sebagian besar limfadenitis aksila disebabkan oleh infeksi atau jejas pada ekstremitas atas.
Adenokarsinoma payudara sering bermetastasis ke kelenjar getah bening aksila anterior dan
sentral yang dapat teraba sebelum ditemukannya tumor primer. Limfoma jarang
bermanifestasi sejak awal atau, kalaupun bermanifestasi, hanya di kelenjar getah bening
aksila. Limfadenitis antekubital atau epitroklear dapat disebabkan oleh limfoma atau
melanoma di ekstremitas, yang bermetastasis ke kelenjar getah bening ipsilateral.
4) Limfadenitis supraklavikula
Limfadenitis supraklavikula mempunyai keterkaitan erat dengan keganasan. Pada penelitian,
keganasan ditemukan pada 34% dan 50% penderita. Risiko paling tinggi ditemukan pada
penderita di atas usia 40 tahun.1 Limfadenitis supraklavikula kanan berhubungan dengan
keganasan di mediastinum, paru, atau esofagus. Limfadenitis supraklavikula kiri (nodus
Virchow) berhubungan dengan keganasan abdominal (lambung, kandung empedu, pankreas,
testis, ovarium, prostat).
5) Limfadenitis inguinal
Limfadenitis inguinal sering ditemukan dengan ukuran 1-2 cm pada orang normal, terutama
yang bekerja tanpa alas kaki. Limfadenitis reaktif yang jinak dan infeksi merupakan
penyebab tersering limfadenitis inguinal. Limfadenitis inguinal jarang disebabkan oleh
keganasan. Karsinoma sel skuamosa pada penis dan vulva, limfoma, serta melanoma dapat
disertai limfadenitis inguinal. Limfadenitis inguinal ditemukan pada 58% penderita
karsinoma penis atau uretra.5
6) Limfadenitis generalisata

Limfadenitis generalisata lebih sering disebabkan oleh infeksi serius, penyakit autoimun,
dan keganasan, dibandingkan dengan limfadenitis lokalisata. Penyebab jinak pada anak
adalah infeksi adenovirus. Limfadenitis generalisata dapat disebabkan oleh leukemia,
limfoma, atau penyebaran kanker padat stadium lanjut. Limfadenitis generalisata pada
penderita AIDS dapat terjadi karena tahap awal infeksi HIV, tuberkulosis, kriptokokosis,
sitomegalovirus, toksoplasmosis, dan sarkoma Kaposi.3 Lokasi kelenjar getah bening daerah
leher dapat dibagi menjadi 6 level. Pembagian ini berguna untuk memperkirakan sumber
keganasan primer yang mungkin bermetastasis ke kelenjar getah bening tersebut dan
tindakan diseksi leher.6
Menurut Sharma (2009), pada pasien dengan HIV-negatif maupun HIV-positif,
kelenjar limfe servikalis adalah yang paling sering terkena, diikuti oleh kelenjar limfe
aksilaris dan inguinalis.
Pembekakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau bilateral, tunggal
maupun multiple, di mana benjolan ini biasanya tidak nyeri dan berkembang secara lambat
dalam hitungan minggu sampai bulan, dan paling sering berlokasi di region servikalis
posterior dan yang lebih jarang di region supraklavikular.

Gambar 2.11 Level kelenjar getah bening leher

Tabel 2.1 Kelompok kelenjar getah bening daerah leher berdasarkan level
Keterlibatan multifokal ditemukan pada 39% pasien HIV-negatif dan pada 90% HIV-
positif. Pada pasien HIV-positif, keterlibatan multifokal, limfadenopati intratorakalis dan
intraabdominal serta TB paru adalah sering ditemukan.
Beberapa pasien dengan limfadenitis TB dapat menunjukkan gejala sistemik yaitu
seperti demam, penurunan berat badan, fatigue dan keringat malam. Lebih dari 57% pasien
tidak menunjukkan gejala sistemik.
Menurut Jones dan Campbell dalam Mohapatra (2009) limfadenopati tuberkulosis perifer
dapat diklasifikasikan ke dalam lima stadium yaitu:
1. Stadium 1, pembesaran kelenjar berbatas tegas, mobile dan diskret
2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksir ke jaringan sekitar oleh
karena adanya periadenitis
3. Stdium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat pembentukan
abses
4. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess
5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus

Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit. Kelenjar limfe


yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali, terjadi infeksi sekunder bakteri, pembesaran
kelenjar yang cepat atau koinsidensi dengan infeksi HIV. Abses kelenjar limfe dapat pecah,
dan kemudian kadang-kadang dapat terjadi sinus yang tidak menyembuh secara kronis dan
pembentukan ulkus. Pembentukan fistula terjadi pada 10% dari limfadentis TB servikalis.
Skrofuloderma adalah infeksi mikobakterial pada kulit yang disebabkan oleh perluasan
langsung infeksi TB ke kulit dari struktur dibawahnya atau oleh paparan langsung terhadap
basil TB.
Limfadenitis mediastinal lebih sering terjadi pada anak-anak. Pada dewasa
limfadenitis mediastinal jarang menunjukkan gejala. Manifestasi yang jarang terjadi pada
pasien dengan keterlibatan kelenjar limfe mediastinal termasuk disfagia, fistula
oesophagomediastinal, dan fistula tracheooesophageal. Pembengkakan kelenjar limfe
mediastinal dan abdomen atas juga dapat menyebabkan obstruksi duktus torasikus dan
chylothorax, chylous ascites ataupun chyluria. Pada keadaan tertentu, obstruksi biliaris
akibat pembesaran kelenjar limfe dapat menyebabkan obstructive jaundice. Tamponade
jantung juga pernah dilaporkan terjadi akibat limfadenitis mediastinal. 5
Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran > 2 cm biasanya disebabkan
oleh M. tuberculosis. Pembengkakan yang berukuran < 2 cm biasanya disebabkan oleh
mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup kemungkinan pembengkakan tersebut
disebabkan oleh M. tuberculosis.

2.5 Penularan Tuberkulosis

Penularan tuberkulosis melalui berbagai cara, yaitu lewat udara/ droplet nuclei
dengan diameter 3-5 μm (>90%) dengan jarak 1-5 meter, dapat juga (jarang) melalui kontak
langsung kulit/ luka/ lecet, dan kongenital, minum susu terkontaminasi basil (M. bovis).
Basil tetap hidup dan virulen dalam keadaan kering beberapa minggu, mati dalam cairan
dengan suhu 60oC selama 15-20 menit. Basil tidak membentuk toksin. Penularan pada
umumnya berasal dari TB dewasa dengan BTA (+).34
Faktor yang berpengaruh dalam penularan TB menurut Beyers et al (2004) adalah:
 Dosis/ jumlah paparan

 Konsentrasi kuman di udara

 Virulensi kuman

 Durasi/ lama pajanan

 Keadaan imunitas host


2.9.2 Terapi Farmakologis
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2011) mengklasifikasikan limfadenitis
TB ke dalam TB ekstra paru dan mendapat terapi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Kategori I.
Regimen obat yang digunakan adalah 2HRZE/4H3R3. Obat yang digunakan adalah
Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, dan Etambutol.

Tabel 2.4 Golongan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Golongan dan Jenis Obat


Golongan- 1 Obat lini Pertama - Isoniazid Pirazinamid
- Etambutol - Rifampicin
- Streptomycin
Golongan-2/Obat suntik/ - Ofloxacin - Amikacin
suntikan lini kedua - Levofloxacin - Capreomycin
Golongan-3/Golongan - Ethionamide Moxifloxacin
Floroquinolone - Prothionamide
- Cycloserine
Golongan-4/Obat bakteriostatik - Para amino salisilat
lini kedua - Terizidone
Golongan-5/Obat yang belum - Clofazimine - Thioacetazone
terbukti efikasinya dan tidak - Linezolid - Clarithromycin
direkomendasikan oleh WHO - Amoxilin-Clavulanate - Imipenem

Prinsip-prinsip yang digunakan dalam rangka memperoleh efektifitas pengobatan TB adalah:


1. Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan dalam
bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dengan jumlah dan dosis yang tepat sesuai
dengankategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.

2. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).

3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

a. Tahap Intensif

1. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perludiawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.

2. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

3. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan

b. Tahap Lanjutan

1. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama

2. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga


mencegah terjadinya kekambuhan

Regimen pengobatan yang digunakan adalah:


1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, dancEtambutol diberikan
setiap hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari
Rifampisin dan Isoniazid diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan.
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
 Pasien baru TB paru BTA positif
 Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
 Pasein Tb ekstra paru
Tabel 2.5 Dosis Panduan OAT KDT untuk Kategori
Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16
RHZE (150/75/400/275) minggu RH (150/150)
30 – 37 Kg 2 Tablet 4KDT 2 Tablet 4KDT
38 – 54 Kg 3 Tablet 4KDT 3 Tablet 4KDT
55 – 70 Kg 4 Tablet 4KDT 4 Tablet 4KDT
71 Kg 5 Tablet 4KDT 5 Tablet 4KDT

Tabel 2.6 Dosis obat OAT kombipak untuk kategori I

Tahap Lama Dosis per hari / kali Jumlah


Pengobatan Pengobatan hari/kali
menelan
obat
Tablet Kaplet Tablet Tablet
Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol@
@ 300 @ 450 mg @ 500 mg 250 mg
mg
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

2. kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

Tahap intensif terdiri dari Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Etambutol, dan Streptomisin.
Obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan dengan diikuti pengobatan dengan regimen yang
sama, tanpa disertai steptomisin selama 1 bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri
dari Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, dan Etambutol selama 5 bulan diberikan 3x seminggu.
Obat ini diberikan kepada:
 Pasien kambuh
 Pasien gagal
 Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Tabel 2.7 Dosis untuk Panduan OAT KDT Kategori 2

Berat Badam Tahap Intensif Tahap Lanjutan


Tiap hari 3 kali seminggu selama
RHZE (150/75/400/275) 16 minggu
+S RH (150/150) + E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30 – 37 kg 2 tab 4KDT + 500 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT + 2
mg Streptomisin tab Etambutol
inj.
38 – 54 kg 3 tab 4KDT + 750 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT + 3
mg Streptomisin tab Etambutol
inj.
55 – 70 kg 4 tab 4KDT + 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT + 4
1000 mg tab Etambutol
Streptomisin inj.
71 kg 5 tab 4KDT + 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT + 5
1000 mg tab
Streptomisin inj.

Tabel 2.8 Dosis panduan OAT kombipak untuk kategori 2


 Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk Streptomisin
adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan
 Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus
 Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7 ml sehingga menjadi 4 ml (1 ml = 250 mg)
3. Kategori Anak (2HRZ / 4HR)
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4
jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

Penatalaksanaan TB Anak
Pengobatan TB anak dalam waktu 6 bulan. Setelah pengobatan selama 6 bulan,
dilakukan evaluasi secara klinis maupun penunjang. Evaluasi klinis merupakan parameter
terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Apabila gambaran klinis menunjukkan
perbaikan yang nyata, tetapi gambaran radiologi tidak menunjukkan perubahan yang
berarti, OAT tetap dihentikan. Prinsip pengobatan TB pada anak adalah dengan
memberikan minimal tiga macam obat pada dua bulan pertama, yang terdiri dari
Rifampisin, Isoniazid dan Pirazinamid. Tahap berikutnya diberikan dua macam obat
dalam jangka waktu empat bulan, yang terdiri dari Rifampisin, Isoniazid. OAT tersebut
diberikan pada anak setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan. Dosis
obat sendiri harus disesuaikan dengan berat badan anak.

Tabel 2.9 Dosis OAT Kombipak pada Anak

Gambar 2.10 Dosis OAT KDT pada Anak


Selain informasi dari tabel di atas terdapat keterangan-keterangan yang menjelaskan
kondisi di luar tabel tersebut, yakni:
 Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
 Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet
 Anak dengan BB > 33 kg , dirujuk ke rumah sakit
 Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
 OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus sesaat
sebelum diminum

Anda mungkin juga menyukai