Anda di halaman 1dari 15

PANDUAN

UPAYA PENINGKATAN MUTU PELAYANAN


PUSKESMAS JONGAYA
BAB I

PENDAHULUAN

Tujuan Pembangunan Kesehatan adalah tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi
setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal, sebagai
salah satu unsur kesejahteraan umum dari Tujuan Nasional. Untuk itu perlu ditingkatkan upaya
guna memperluas dan mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan mutu yang
baik dan biaya yang terjangkau. Selain itu dengan semakin meningkatnya pendidikan dan
keadaan sosial ekonomi masyarakat, maka sistem nilai dan orientasi dalam masyarakatpun mulai
berubah. Masyarakat mulai cenderung menuntut pelayanan umum yang lebih baik, lebih ramah
dan lebih bermutu termasuk pelayanan kesehatan. Dengan semakin meningkatnya tuntutan
masyarakat akan mutu pelayanan maka fungsi pelayanan Puskesmas Jongaya secara bertahap
perlu terus ditingkatkan agar menjadi lebih efektif dan efisien serta memberi kepuasan kepada
pasien, keluarga maupun masyarakat.

Agar upaya peningkatan mutu pelayanan Puskesmas Jongaya dapat seperti yang
diharapkan maka perlu disusun Pedoman Upaya Peningkatan Mutu Pelayanan Puskesmas
Jongaya. Buku panduan tersebut merupakan konsep dan program peningkatan mutu pelayanan
Puskesmas Jongaya, yang disusun sebagai acuan bagi pengelola Puskesmas Jongaya dalam
melaksanakan upaya peningkatan mutu pelayanan Puskesmas. Dalam buku panduan ini
diuraikan tentang prinsip upaya peningkatan mutu, langkah-langkah pelaksanaannya dan
dilengkapi dengan indikator mutu.

2
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN UPAYA PENINGKATAN
MUTU PELAYANAN RUMAH SAKIT

Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan sebenarnya bukanlah hal yang baru. Pada
tahun (1820 –1910) Florence Nightingale seorang perawat dari Inggris menekankan pada aspek-
aspek keperawatan pada peningkatan mutu pelayanan. Salah satu ajarannya yang terkenal
sampai sekarang adalah “ hospital should do the patient no harm”, Rumah Sakit jangan sampai
merugikan atau mencelakakan pasien.
Di Amerika Serikat, upaya peningkatan mutu pelayanan medik dimulai oleh ahli bedah Dr.
E.A.Codman dari Boston dalam tahun 1917. Dr.E.A Codman dan beberapa ahli bedah lain
kecewa dengan hasil operasi yang seringkali buruk, karena seringnya terjadi penyulit. Mereka
berkesimpulan bahwa penyulit itu terjadi karena kondisi yang tidak memenuhi syarat di Rumah
Sakit. Untuk itu perlu ada penilaian dan penyempurnaan tentang segala sesuatu yang terkait
dengan pembedahan. Ini adalah upaya pertama yang berusaha mengidentifikasikan masalah
klinis, dan kemudian mencari jalan keluarnya.
Kelanjutan dari upaya ini pada tahun 1918 The American College of Surgeons (ACS)
menyusun suatu Hospital Standardization Programme. Program standarisasi adalah upaya
pertama yang terorganisasi dengan tujuan meningkatkan mutu pelayanan. Program ini ternyata
sangat berhasil meningkatkan mutu pelayanan sehingga banyak Rumah Sakit tertarik untuk ikut
serta. Dengan berkembangnya ilmu dan teknologi maka spesialisasi ilmu kedokteran diluar bedah
cepat berkembang. Oleh karena itu program standarisasi perlu diperluas agar dapat mencakup
disiplin lain secara umum.
Pada tahun 1951 American College of Surgeon, American College of Physicians,
American Hospital Association bekerjasama membentuk suatu Joint Commision on Accreditation
of Hospital (JCAH) suatu badan gabungan untuk menilai dan mengakreditasi Rumah Sakit .
Pada akhir tahun 1960 JCAH tidak lagi hanya menentukan syarat minimal dan essensial
untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada di Rumah Sakit, namun telah memacu Rumah
Sakit agar memberikan mutu pelayanan yang setinggi-tingginya sesuai dengan sumber daya yang
ada. Untuk memenuhi tuntutan yang baru ini antara tahun 1953-1965 standar akreditasi direvisi
enam kali, selanjutnya beberapa tahun sekali diadakan revisi.
Atas keberhasilan JCAH dalam meningkatkan mutu pelayanan, Pemerintah Federal
memberi pengakuan tertinggi dalam mengundangkan “Medicare Act”. Undang-undang ini
mengabsahkan akreditasi Rumah Sakit menurut standar yang ditentukan oleh JCAH. Sejak saat
itu Rumah Sakit yang tidak diakreditasi oleh JCAH tidak dapat ikut program asuransi kesehatan
pemerintah federal (medicare), padahal asuransi di Amerika sangat menentukan utilisasi Rumah
Sakit karena hanya 9,3% biaya Rumah Sakit berasal dari pembayaran langsung oleh pasien.

3
Sejak tahun 1979 JCAH membuat standar tambahan, yaitu agar dapat lulus akreditasi
suatu Rumah Sakit harus juga mempunyai program pengendalian mutu yang dilaksanakan
dengan baik.
Di Indonesia langkah awal yang sangat mendasar dan terarah yang telah dilakukan
Departemen Kesehatan dalam rangka upaya peningkatan mutu yaitu penetapan kelas Rumah
Sakit pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.033/Birhup/1972. Secara umum
telah ditetapkan beberapa kriteria untuk tiap kelas Rumah Sakit A,B,C,D. Kriteria ini kemudian
berkembang menjadi standar-standar. Kemudian dari tahun ke tahun disusun berbagai standar
baik menyangkut pelayanan, ketenagaan, sarana dan prasarana untuk masing-masing kelas
Rumah Sakit. Disamping standar, Departemen Kesehatan juga mengeluarkan berbagai panduan
dalam rangka meningkatkan penampilan pelayanan Rumah Sakit.
Kemudian pemerintah melalui Depkes tahun 2014 mulai terbentuk upaya peningkatan
mutu Puskesmas. Ini dilakukan untuk memacu puskesmas agar memberikan mutu pelayanan
yang setinggi-tingginya sesuai dengan sumber daya yang ada. Dan ini akan dinilai oleh suatu
badan akreditasi yang ada di Indonesia. Oleh karena itu dibentuklah UU tentang akreditasi, yang
mengalami beberapa kali revisi, termasuk yang sekarang dipergunakan yaitu Permenkes no 46
tahun 2015 tentang akreditasi puskesmas, klinik pertama, tempat praktek mandiri pertama dokter,
tempat mandiri pertama dokter gigi. Sedangkan untuk lulus akreditasi suatu puskesmas harus
memiliki program pengendalian mutu yang dilaksanakan dengan baik.
Sedangkan evaluasi penampilan tahun telah dilengkapi pula dengan instrumen mengukur
kemampuan pelayanan puskesmas. Evaluasi penampilan ini merupakan langkah awal dari
Konsep Continuous Quality Improvement (CQI). Berbeda dengan konsep QA tradisional dimana
dalam monitor dan evaluasi dititik beratkan kepada pencapaian standar, maka pada CQI fokus
lebih diarahkan kepada penampilan organisasi melalui penilaian pemilik, manajemen, klinik dan
pelayanan penunjang. Perbedaan yang sangat mendasar yaitu keterlibatan seluruh karyawan.
Selain itu secara sendiri-sendiri beberapa puskesmas telah mengadakan monitoring dan
evaluasi mutu pelayanan Puskesmasnya, salah satu kriterianya dengan melakukan kegiatan
penilaian mutu puskesmas berdasarkan atas derajat kepuasan pasien.
Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa kesadaran untuk meningkatkan mutu
sudah cukup meluas walaupun dalam penerapannya sering ada perbedaan.

4
BAB III
KONSEP DASAR UPAYA PENINGKATAN MUTU
PELAYANAN PUSKESMAS JONGAYA

Agar upaya peningkatan mutu di Puskesmas Jongaya dapat dilaksanakan secara efektif
dan efisien maka diperlukan adanya kesatuan bahasa tentang konsep dasar upaya penigkatan
mutu pelayanan.

A. MUTU PELAYANAN
1. Pengertian mutu
Pengertian mutu beraneka ragam dan di bawah ini ada beberapa pengertian yang secara
sederhana melukiskan apa hakekat mutu.
a. Mutu adalah tingkat kesempurnaan suatu produk atau jasa.
b. Mutu adalah expertise, atau keahlian dan keterikatan (commitment) yang selalu
dicurahkan pada pekerjaan
c. Mutu adalah kegiatan tanpa salah dalam melakukan pekerjaan.

2. Definisi Mutu Pelayanan


Adalah derajat kesempurnaan pelayanan Jongaya untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat konsumen akan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar profesi
dan standar pelayanan dengan menggunakan potensi sumber daya yang tersedia di
Puskesmas Jongaya secara wajar, efisien dan efektif serta diberikan secara aman dan
memuaskan sesuai dengan norma, etika, hukum dan sosio budaya dengan
memperhatikan keterbatasan dan kemampuan Puskesmas Jongaya dan masyarakat
konsumen.

3. Pihak yang Berkepentingan dengan Mutu


Banyak pihak yang berkepentingan dengan mutu, yaitu :
a. Konsumen
b. Pembayar/perusahaan/asuransi
c. Manajemen Puskesmas Jongaya
d. Karyawan Puskesmas Jongaya
e. Masyarakat
f. Pemerintah
g. Ikatan profesi
Setiap kepentingan yang disebut di atas berbeda sudut pandang dan kepentingannya
terhadap mutu. Karena itu mutu adalah multi dimensional.

4. Dimensi Mutu
Dimensi atau aspeknya adalah :

5
a. Keprofesian
b. Efisiensi
c. Keamanan Pasien
d. Kepuasan Pasien
e. Aspek Sosial Budaya

5. Mutu Terkait dengan Input, Proses, Output dan Outcome


Pengukuran mutu pelayanan kesehatan dapat diukur dengan menggunakan 3 variabel,
yaitu :
1). Input, ialah segala sumber daya yang diperlukan untuk melakukan pelayanan
kesehatan, seperti tenaga, dana, obat, fasilitas, peralatan, bahan, teknologi,
organisasi, informasi, dan lain-lain. Pelayanan kesehatan yang bermutu memerlukan
dukungan input yang bermutu pula. Hubungan struktur dengan mutu pelayanan
kesehatan adalah dalam perencanaan dan penggerakan pelaksanaan pelayanan
kesehatan.
2). Proses, merupakan aktivitas dalam bekerja, adalah merupakan interaksi profesional
antara pemberi pelayanan dengan konsumen (pasien/masyarakat). Proses ini
merupakan variabel penilaian mutu yang penting.
3). Output, ialah jumlah pelayanan yang dilakukan oleh unit kerja/rumah sakit.
4). Outcome, ialah hasil pelayanan kesehatan, merupakan perubahan yang terjadi pada
konsumen (pasien/masyarakat), termasuk kepuasan dari konsumen tersebut.
Puskesmas Jongaya adalah suatu institusi pelayanan kesehatan yang kompleks,
padat pakar dan padat modal. Kompleksitas ini muncul karena pelayanan di Puskesmas
Jongaya menyangkut berbagai fungsi pelayanan, serta mencakup berbagai tingkatan maupun
jenis disiplin. Agar Puskesmas Jongaya mampu melaksanakan fungsi yang demikian
kompleks, harus memiliki sumber daya manusia yang profesional baik di bidang teknis medis
maupun administrasi kesehatan. Untuk menjaga dan meningkatkan mutu, Puskesmas
Jongaya harus mempunyai suatu ukuran yang menjamin peningkatan mutu di semua
tingkatan.
Pengukuran mutu pelayanan kesehatan Puskesmas Jongaya diawali dengan
penilaian akreditasi Puskesmas Jongaya yang mengukur dan memecahkan masalah pada
tingkat input dan proses. Pada kegiatan ini Puskesmas Jongaya harus menetapkan standar
input, proses, output, dan outcome, serta membakukan seluruh standar prosedur yang telah
ditetapkan. Puskesmas Jongaya dipacu untuk dapat menilai diri (self assesment) dan
memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Sebagai kelanjutan
untuk mengukur hasil kerjanya perlu ada latar ukur yang lain, yaitu instrumen mutu pelayanan
Puskesmas Jongaya yang menilai dan memecahkan masalah pada hasil (output dan
outcome). Tanpa mengukur hasil kinerja Puskesmas Jongaya tidak dapat diketahui apakah

6
input dan proses yang baik telah menghasilkan output yang baik pula. Indikator Puskesmas
Jongaya yang disusun dengan tujuan untuk dapat mengukur kinerja mutu Puskesmas
Jongaya secara nyata.

B. UPAYA PENINGKATAN MUTU PELAYANAN PUSKESMAS JONGAYA


Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan dapat diartikan keseluruhan upaya dan
kegiatan secara komprehensif dan integratif memantau dan menilai mutu pelayanan
Puskesmas Jongaya, memecahkan masalah-masalah yang ada dan mencari jalan keluarnya,
sehingga mutu pelayanan Puskesmas Jongaya akan menjadi lebih baik.
Di Puskesmas Jongaya upaya peningkatan mutu pelayanan adalah kegiatan yang
bertujuan memberikan asuhan atau pelayanan sebaik-baiknya kepada pasien. Upaya
peningkatan mutu pelayanan Puskesmas Jongaya akan sangat berarti dan efektif bilamana
upaya peningkatan mutu menjadi tujuan sehari-hari dari setiap unsur di Puskesmas Jongaya
termasuk pimpinan, pelaksana pelayanan langsung dan staf penunjang.
Upaya peningkatan mutu termasuk kegiatan yang melibatkan mutu asuhan atau
pelayanan dengan penggunaan sumber daya secara tepat dan efisien. Walaupun disadari
bahwa mutu memerlukan biaya, tetapi tidak berarti mutu yang lebih baik selalu memerlukan
biaya lebih banyak atau mutu rendah biayanya lebih sedikit.
Berdasarkan hal di atas maka disusunlah definisi dan tujuan dari upaya peningkatan
mutu pelayanan Puskesmas Jongaya
1. Definisi Upaya Peningkatan Mutu Pelayanan Puskesmas Jongaya
Adalah keseluruhan upaya dan kegiatan yang komprehensif dan integratif yang menyangkut
input, proses dan output secara objektif, sistematik dan berlanjut memantau dan menilai mutu
dan kewajaran pelayanan terhadap pasien, dan memecahkan masalah-masalah yang
terungkapkan sehingga pelayanan yang diberikan di Puskesmas Jongaya berdaya guna dan
berhasil guna.
2. Tujuan Upaya Peningkatan Mutu Pelayanan Puskesmas Jongaya
Umum : Meningkatkan pelayanan kesehatan melalui upaya peningkatan mutu pelayanan
Puskesmas Jongaya secara efektif dan efisien agar tercapai derajat kesehatan
yang optimal.
Khusus: Tercapainya peningkatan mutu pelayanan Puskesmas Jongaya melalui :
a. Optimasi tenaga, sarana, dan prasarana.
b. Pemberian pelayanan sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan
yang dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu sesuai dengan kebutuhan
pasien.
c. Pemanfaatan teknologi tepat guna, hasil penelitian dan pengembangan
pelayanan kesehatan.

7
3. Indikator mutu
Indikator mutu Puskesmas Jongaya meliputi indikator klinik, indikator yang berorientasi pada
waktu dan indikator ratio yang berdasarkan pada efektifitas (effectivenes), efisiensi
(efficiency), keselamatan (safety) dan kelayakan (appropriateness).
4. Strategi
Untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan Puskesmas Jongaya maka disusunlah
strategi sebagai berikut :
1) Setiap petugas harus memahami dan menghayati konsep dasar dan prinsip mutu
pelayanan Puskesmas Jongaya sehingga dapat menerapkan langkah-langkah upaya
peningkatan mutu di masing-masing unit kerjanya.
2) Memberi prioritas kepada peningkatan kompetensi sumber daya manusia di
Puskesmas Jongaya , serta upaya meningkatkan kesejahteraan karyawan.
3) Menciptakan budaya mutu di. Puskesmas Jongaya, termasuk di dalamnya menyusun
program mutu Puskesmas Jongaya dengan pendekatan PDCA cycle.

5. Pendekatan Pemecahan Masalah


Pendekatan pemecahan masalah merupakan suatu proses siklus (daur) yang
berkesinambungan. Langkah pertama dalam proses siklus ini adalah identifikasi masalah.
Identifikasi masalah merupakan bagian sangat penting dari seluruh proses siklus (daur), karena
akan menentukan kegiatan-kegiatan selanjutnya dari pendekatan pemecahan masalah ini.
Masalah akan timbul apabila :
 Hasil yang dicapai dibandingkan dengan standar yang ada terdapat penyimpangan
 Merasa tidak puas akan penyimpangan tersebut.
 Merasa bertanggung jawab atas penyimpangan tersebut.
Dengan telah jelasnya cara memecahkan masalah maka bisa dilakukan tindakan
perbaikan. Namun agar pemecahan masalah bisa tuntas, setelah diadakan tindakan perbaikan
perlu dinilai kembali apakah masih ada yang tertinggal. Dari penilaian kembali maka akan
didapatkan masalah yang telah terpecahkan dan masalah yang masih tetap merupakan
masalah sehingga proses siklus akan berulang mulai tahap pertama.

8
BAB IV
PRINSIP DASAR UPAYA PENINGKATAN
MUTU PELAYANAN

Prinsip dasar upaya peningkatan mutu pelayanan adalah pemilihan aspek yang akan
ditingkatkan dengan menetapkan indikator, kriteria serta standar yang digunakan untuk mengukur
mutu pelayanan Puskesmas Jongaya

Indikator :

Adalah ukuran atau cara mengukur sehingga menunjukkan suatu indikasi. Indikator merupakan
suatu variabel yang digunakan untuk bisa melihat perubahan. Indikator yang baik adalah yang
sensitif tapi juga spesifik.

Kriteria :

Adalah spesifikasi dari indikator.

Standar :

 Tingkat kinerja atau keadaan yang dapat diterima oleh seseorang yang berwenang dalam
situasi tersebut, atau oleh mereka yang bertanggung jawab untuk mempertahankan
tingkat kinerja atau kondisi tersebut.
 Suatu norma atau persetujuan mengenai keadaan atau prestasi yang sangat baik.
 Sesuatu ukuran atau patokan untuk mengukur kuantitas, berat, nilai atau mutu.

Dalam melaksanakan upaya peningkatan mutu pelayanan maka harus memperhatikan prinsip
dasar sebagai berikut:
1. Aspek yang dipilih untuk ditingkatkan
 Keprofesian
 Efisiensi
 Keamanan pasien
 Kepuasan pasien
 Sarana dan lingkungan fisik

2. Indikator yang dipilih


a. Indikator lebih diutamakan untuk menilai output daripada input dan proses
b. Bersifat umum, yaitu lebih baik indikator untuk situasi dan kelompok daripada untuk
perorangan.
c. Dapat digunakan untuk membandingkan dengan Rumah Sakit lain, baik di dalam maupun
luar negeri.

9
d. Dapat mendorong intervensi sejak tahap awal pada aspek yang dipilih untuk dimonitor
e. Didasarkan pada data yang ada.
3. Kriteria yang digunakan
Kriteria yang digunakan harus dapat diukur dan dihitung untuk dapat menilai indikator,
sehingga dapat sebagai batas yang memisahkan antara mutu baik dan mutu tidak baik.
4. Standar yang digunakan
Standar yang digunakan ditetapkan berdasarkan :
a. Acuan dari berbagai sumber
b. Benchmarking dengan Rumah Sakit yang setara
c. Berdasarkan trend yang menuju kebaikan

10
BAB V

PENGENDALIAN KUALITAS PELAYANAN

Pengendalian adalah keseluruhan fungsi atau kegiatan yang harus dilakukan untuk
menjamin tercapainya sasaran perusahaan dalam hal kualitas produk dan jasa pelayanan yang
diproduksi. Pengendalian kualitas pelayanan pada dasarnya adalah pengendalian kualitas kerja
dan proses kegiatan untuk menciptakan kepuasan pelanggan (quality os customer’s satisfaction)
yang dilakukan oleh setiap orang dari setiap bagian di Puskesmas Jongaya.
Pengertian pengendalian kualitas pelayanan di atas mengacu pada siklus pengendalian
(control cycle) dengan memutar siklus “Plan-Do-Check-Action” (P-D-C-A) = Relaksasi
(rencanakan – laksanakan – periksa –aksi). Pola P-D-C-A ini dikenal sebagai “siklus Shewart”,
karena pertama kali dikemukakan oleh Walter Shewhart beberapa puluh tahun yang lalu. Namun
dalam perkembangannya, metodologi analisis P-D-C-A lebih sering disebuit “siklus Deming”. Hal
ini karena Deming adalah orang yang mempopulerkan penggunaannya dan memperluas
penerapannya. Dengan nama apapun itu disebut, P-D-C-A adalah alat yang bermanfaat untuk
melakukan perbaikan secara terus menerus (continous improvement) tanpa berhenti.
Konsep P-D-C-A tersebut merupakan panduan bagi setiap manajer untuk proses
perbaikan kualitas (quality improvement) secara rerus menerus tanpa berhenti tetapi meningkat ke
keadaaan yang lebih baik dan dijalankan di seluruh bagian organisasi, seperti tampak pada
gambar 1.
Dalam gambar 1 tersebut, pengidentifikasian masalah yang akan dipecahkan dan
pencarian sebab-sebabnya serta penetuan tindakan koreksinya, harus selalu didasarkan pada
fakta. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan adanya unsur subyektivitas dan pengambilan
keputusan yang terlalu cepat serta keputusan yang bersifat emosional. Selain itu, untuk
memudahkan identifikasi masalah yang akan dipecahkan dan sebagai patokan perbaikan
selanjutnya perusahaan harus menetapkan standar pelayanan.
Hubungan pengendalian kualitas pelayanan dengan peningkatan perbaikan berdasarkan
siklus P-D-C-A (Relationship between Control and Improvement under P-D-C-A Cycle)
diperlihatkan dalam gambar 2. Pengendalian kualitas berdasarkan siklus P-D-C-A hanya dapat
berfungsi jika sistem informasi berjalan dengan baik dan siklus tersebut dapat dijabarkan dalam
enam langkah seperti diperlihatkan dalam gambar 3.

11
Peningkatan

Pemecahan masalah
dan peningkatan
A P
C D

Standar
A P
Pemecahan masalah
C D dan peningkatan

Standar

Gambar 1. Siklus dan Proses Peningkatan PDCA

Plan D Check
Actio
o
n

Follow-
Corrective up
Action

Improvement

Gambar 2. Relationship Between Control and Improvement Under P-D-C-A Cycle

12
Plan
(1)
(6) Menentukan
Action
Mengambil Tujuan dan sasaran
tindakan
(2)
yang tepat
Menetapkan
Metode untuk
Mencapai tujuan

Menyelenggarakan
(5)
Pendidikan dan
Memeriksa akibat latihan
pelaksanaan
Check
(4) (3)
Melaksanakan
pekerjaan Do

Gambar 3. Siklus PDCA

Keenam langkah P-D-C-A yang terdapat dalam gambar 3 di atas dapat dijelaskan sebagai berikut

a. Langkah 1. Menentukan tujuan dan sasaran → Plan

Tujuan dan sasaran yang akan dicapai didasarkan pada kebijakan yang ditetapkan.
Penetapan sasaran tersebut ditentukan oleh Kepala RS atau Kepala Divisi. Penetapan
sasaran didasarkan pada data pendukung dan analisis informasi.
Sasaran ditetapkan secara konkret dalam bentuk angka, harus pula diungkapkan dengan
maksud tertentu dan disebarkan kepada semua karyawan. Semakin rendah tingkat karyawan
yang hendak dicapai oleh penyebaran kebijakan dan tujuan, semakin rinci informasi.

b. Langkah 2. Menentukan metode untuk mencapai tujuan → Plan

Penetapan tujuan dan sasaran dengan tepat belum tentu akan berhasil dicapai tanpa disertai
metode yang tepat untuk mencapainya. Metode yang ditetapkan harus rasional, berlaku
untuk semua karyawan dan tidak menyulitkan karyawan untuk menggunakannya. Oleh karena
itu dalam menetapkan metode yang akan digunakan perlu pula diikuti dengan penetapan
standar kerja yang dapat diterima dan dimengerti oleh semua karyawan.

c. Langkah 3. Menyelenggarakan pendidikan dan latihan → Do

13
Metode untuk mencapai tujuan yang dibuat dalam bentuk standar kerja. Agar dapat dipahami
oleh petugas terkait, dilakukan program pelatihan para karyawan untuk memahami standar
kerja dan program yang ditetapkan.

d. Langkah 4. Melaksanakan pekerjaan →Do

Dalam pelaksanaan pekerjaan, selalu terkait dengan kondisi yang dihadapi dan standar kerja
mungkin tidak dapat mengikuti kondisi yang selalu dapat berubah. Oleh karena itu,
ketrampilan dan pengalaman para karyawan dapat dijadikan modal dasar untuk mengatasi
masalah yang timbul dalam pelaksanaan pekerjaan karena ketidaksempurnaan standar kerja
yang telah ditetapkan.

e. Langkah 5: Memeriksa akibat pelaksanaan →Check

Manajer atau atasan perlu memeriksa apakah pekerjaan dilaksanakan dengan baik atau tidak.
Jika segala sesuatu telah sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dan mengikuti standar
kerja, tidak berarti pemeriksaan dapat diabaikan. Hal yang harus disampaikan kepada
karyawan adalah atas dasar apa pemeriksaan itu dilakukan. Agar dapat dibedakan manakah
penyimpangan dan manakah yang bukan penyimpangan, maka kebijakan dasar, tujuan,
metode (standar kerja) dan pendidikan harus dipahami dengan jelas baik oleh karyawan
maupun oleh manajer. Untuk mengetahui penyimpangan, dapat dilihat dari akibat yang timbul
dari pelaksanaan pekerjaan dan setelah itu dapat dilihat dari penyebabnya.

f. Langkah 6 : Mengambil tindakan yang tepat →Action

Pemeriksaan melalui akibat yang ditimbulkan bertujuan untuk menemukan penyimpangan.


Jika penyimpangan telah ditemukan, maka penyebab timbulnya penyimpangan harus
ditemukan untuk mengambil tindakan yang tepat agar tidak terulang lagi penyimpangan.
Menyingkirkan faktor-faktor penyebab yang telah mengakibatkan penyimpangan merupakan
konsepsi yang penting dalam pengendalian kualitas pelayanan.

Konsep PDCA dengan keenam langkah tersebut merupakan sistem yang efektif untuk
meningkatkan kualitas pelayanan. Untuk mencapai kualitas pelayanan yang akan dicapai
diperlukan partisipasi semua karyawan, semua bagian dan semua proses. Partisipasi semua
karyawan dalam pengendalian kualitas pelayanan diperlukan kesungguhan (sincerety), yaitu sikap
yang menolak adanya tujuan yang semata-mata hanya berguna bagi diri sendiri atau menolak
cara berfikir dan berbuat yang semata-mata bersifat pragmatis. Dalam sikap kesungguhan
tersebut yang dipentingkan bukan hanya sasaran yang akan dicapai, melainkan juga cara
bertindak seseorang untuk mencapai sasaran tersebut.

Partisipasi semua pihak dalam pengendalian kualitas pelayanan mencakup semua jenis
kelompok karyawan yang secara bersama-sama merasa bertanggung jawab atas kualitas

14
pelayanan dalam kelompoknya. Partisipasi semua proses dalam pengendalian kualitas pelayanan
dimaksudkan adalah pengendalian tidak hanya terhadap output, tetapi terhadap hasil setiap
proses. Proses pelayanan akan menghasilkan suatu pelayanan berkualitas tinggi, hanya mungkin
dapat dicapai jika terdapat pengendalian kualitas dalam setiap tahapan dari proses. Dimana
dalam setiap tahapan proses dapat dijamin adanya keterpaduan, kerjasama yang baik antara
kelompok karyawan dengan manajemen, sebagai tanggung jawab bersama untuk menghasilkan
kualitas hasil kerja dari kelompok, sebagai mata rantai dari suatu proses.

15

Anda mungkin juga menyukai