Anda di halaman 1dari 50

PENANGGULANGAN CHIKUNGUNYA

No. Kode :

KERANGKA Terbitan :
ACUAN BLUD PUSKESMAS
No. Revisi : UKUI
Disahkan oleh :
PEMERINTAH Tgl.Mulai Berlaku : Kepala BLUD
KABUPATEN Puskesmas Ukui
PELALAWAN Halaman :

dr. Hj.LeilaHandayani
NIP. 19800715 200701 2 003

1. Latar Belakang Di negara berkembang seperti Indonesia, angka kematian


penyakit menular cukup tinggi dan prevalensinya meningkat
karena banyak dipengaruhi faktor lingkungan dan perilaku hidup
masyarakat. Terlebih lagi dalam kondisi sosial ekonomi yang
memburuk, tentunya kejadian kasus penyakit menular memerlukan
penanganan yang lebih serius, profesional, dan bermutu.
Indonesia juga menghadapi beban ganda dalam pembangunan
kesehatan atau yang dikenal dengan double burden. Dewasa ini
masih dihadapkan dengan meningkatnya beberapa penyakit
menular (re-emerging diseases), sementara penyakit tidak menular
atau degeneratif mulai meningkat. Di samping itu telah timbul pula
berbagai penyakit baru (new-emerging diseases). Salah satu
masalah yang menjadi perhatian dan tercantum dalam PERPRES
No. 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2010 - 2014 adalah pengendalian
penyakit menular serta penyakit tidak menular, diikuti upaya
penyehatan lingkungan. Salah satu penyakit menular yang masih
menjadi perhatian dan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia
dewasa ini yaitu Demam Chikungunya yang penyebarannya
semakin luas.
Di Indonesia, infeksi virus Chikungunya telah ada sejak abad
ke-18 seperti yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter
berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus ini menimbulkan
penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam 5 hari (vijfdaagse
koorts) yang kadangkala disebut juga sebagai demam sendi
(knokkel koorts). Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit
Chikungunya pertama kali dilaporkan pada tahun 1973 di
Samarinda Provinsi Kalimantan Timur dan di Jakarta. Tahun 1982
di Kuala Tungkal Provinsi Jambi dan tahun 1983 di Yogyakarta.
Sejak tahun 1985 seluruh provinsi di Indonesia pernah melaporkan
adanya KLB Chikungunya. KLB Chikungunya mulai banyak
dilaporkan sejak tahun 1999 yaitu di Muara Enim, tahun 2000 di
Aceh, tahun 2001 di Jawa Barat ( Bogor, Bekasi, Depok ), tahun
2002 di Palembang, Semarang, Indramayu, Manado, DKI, Banten,
tahun 2003 terjadi di beberapa wilayah pulau Jawa, NTB,
Kalimantan Tengah. 2 - Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen
PP dan PL; Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya,
Edisi 2
Secara epidemiologis, saat ini hampir seluruh wilayah di
Indonesia berpotensial untuk timbulnya KLB Chikungunya.
Penyakit Chikungunya ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti dan
Aedes albopictus seperti halnya penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) yang cara penanggulangannya telah dikenal oleh
masyarakat secara luas. Penanggulangan secara lintas program dan
lintas sektor telah dilaksanakan secara rutin dan
berkesinambungan, sehingga cara penanggulangan penyakit
Chikungunya bukan merupakan sesuatu hal yang sangat khusus,
namun dapat dilakukan secara bersamaan dengan upaya
pengendalian penyakit DBD. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah
dalam hal ini Kementerian Kesehatan menyusun suatu kebijakan
yaitu Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya sebagai
landasan dan acuan bagi seluruh masyarakat dan SDM Kesehatan
pada khususnya.
2. Tujuan Kegiatan Sebagai acuan bagi seluruh masyarakat dan SDM Kesehatan dalam
melaksanakan kegiatan pengendalian Demam Chikungunya sesuai
dengan standar atau prosedur yang telah ditetapkan
Sasaran 1. Masyarakat
2. Rumah
3. Tidak ditemukan penderita baru Chikungunya atau suspek
Chikungunya
Metode 1. Ceramah dan Diskusi
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pembagian Brosur dan Leaflet
4. Pemasangan Banner ditempat-tempat strategis
5. Monitoring dan Evaluasi
Kegiatan -
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di negara berkembang seperti Indonesia, angka kematian penyakit menular cukup tinggi dan
prevalensinya meningkat karena banyak dipengaruhi faktor lingkungan dan perilaku hidup
masyarakat. Terlebih lagi dalam kondisi sosial ekonomi yang memburuk, tentunya kejadian
kasus penyakit menular memerlukan penanganan yang lebih serius, profesional, dan bermutu.
Indonesia juga menghadapi beban ganda dalam pembangunan kesehatan atau yang dikenal
dengan double burden. Dewasa ini masih dihadapkan dengan meningkatnya beberapa penyakit
menular (re-emerging diseases), sementara penyakit tidak menular atau degeneratif mulai
meningkat. Di samping itu telah timbul pula berbagai penyakit baru (new-emerging diseases).
Salah satu masalah yang menjadi perhatian dan tercantum dalam PERPRES No. 5 tahun 2010
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 - 2014 adalah
pengendalian penyakit menular serta penyakit tidak menular, diikuti upaya penyehatan
lingkungan. Salah satu penyakit menular yang masih menjadi perhatian dan masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia dewasa ini yaitu Demam Chikungunya yang penyebarannya semakin
luas.
Di Indonesia, infeksi virus Chikungunya telah ada sejak abad ke-18 seperti yang dilaporkan
oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus ini menimbulkan
penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam 5 hari (vijfdaagse koorts) yang kadangkala
disebut juga sebagai demam sendi (knokkel koorts). Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit
Chikungunya pertama kali dilaporkan pada tahun 1973 di Samarinda Provinsi Kalimantan Timur
dan di Jakarta. Tahun 1982 di Kuala Tungkal Provinsi Jambi dan tahun 1983 di Yogyakarta.
Sejak tahun 1985 seluruh provinsi di Indonesia pernah melaporkan adanya KLB Chikungunya.
KLB Chikungunya mulai banyak dilaporkan sejak tahun 1999 yaitu di Muara Enim, tahun 2000
di Aceh, tahun 2001 di Jawa Barat ( Bogor, Bekasi, Depok ), tahun 2002 di Palembang,
Semarang, Indramayu, Manado, DKI, Banten, tahun 2003 terjadi di beberapa wilayah pulau
Jawa, NTB, Kalimantan Tengah. 2 - Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL;
Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2
Secara epidemiologis, saat ini hampir seluruh wilayah di Indonesia berpotensial untuk
timbulnya KLB Chikungunya.
Penyakit Chikungunya ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes albopictus seperti
halnya penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yang cara penanggulangannya telah dikenal
oleh masyarakat secara luas. Penanggulangan secara lintas program dan lintas sektor telah
dilaksanakan secara rutin dan berkesinambungan, sehingga cara penanggulangan penyakit
Chikungunya bukan merupakan sesuatu hal yang sangat khusus, namun dapat dilakukan secara
bersamaan dengan upaya pengendalian penyakit DBD. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah
dalam hal ini Kementerian Kesehatan menyusun suatu kebijakan yaitu Pedoman Pengendalian
Demam Chikungunya sebagai landasan dan acuan bagi seluruh masyarakat dan SDM Kesehatan
pada khususnya.

B. Tujuan
Tujuan dari Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya ini adalah sebagai landasan dan
acuan bagi seluruh masyarakat dan SDM Kesehatan dalam melaksanakan kegiatan pengendalian
Demam Chikungunya sesuai dengan standar atau prosedur yang telah ditetapkan.

C. Strategi
Strategi utama pengendalian Demam Chikungunya adalah:
1. Menggerakan dan memberdayakan masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan
Demam Chikungunya
2. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan yang berkualitas
3. Meningkatkan sistem surveilans epidemiologi Demam Chikungunya
4. Meningkatkan sumber daya dalam upaya pengendalian Demam
ChikungunyaKementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman
Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2 - 3
D. Sasaran
• Seluruh lapisan masyarakat
• SDM Kesehatan
• Stakeholders/ pemangku kepentingan terkait

E. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pedoman ini meliputi :
• Epidemiologi Demam Chikungunya
• Promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat
• Tatalaksana penderita
• Surveilans dan penanggulangan kasus4 - Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP
dan PL; Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2
BAB II
EPIDEMIOLOGI

A. Besaran Masalah
1. Sejarah dan Penyebaran Penyakit
Dari sejarah diduga KLB Chikungunya pernah terjadi pada tahun 1779 di Batavia dan Kairo;
1823 di Zanzibar; 1824 di India; 1870 di Zanzibar; 1871 di India; 1901 di Hongkong, Burma,
dan Madras; 1923 di Calcuta.
Pada tahun 1928 di Cuba pertama kali digunakan istilah “dengue”, ini dapat diartikan bahwa
infeksi Chikungunya sangat mirip dengan Dengue. Istilah “Chikungunya” berasal dari bahasa
suku Swahili yang berarti “Orang yang jalannya membungkuk dan menekuk lututnya”, suku ini
bermukim di dataran tinggi Makonde Provinsi Newala, Tanzania (yang sebelumnya bernama
Tanganyika). Istilah Chikungunya juga digunakan untuk menamai virus yang pertama kali
diisolasi dari serum darah penderita penyakit tersebut pada tahun 1953 saat terjadi KLB di
negara tersebut. Pada demam Chikungunya adanya gejala khas dan dominan yaitu nyeri sendi.
Dari tahun 1952 sampai kini virus telah tersebar luas di daerah Afrika dan menyebar ke
Amerika dan Asia. Virus Chikungunya menjadi endemis di wilayah Asia Tenggara sejak tahun
1954. Pada akhir tahun 1950 dan 1960 virus berkembang di Thailand, Kamboja, Vietnam,
Manila dan Burma. Tahun 1965 terjadi KLB di Srilanka.

2. Permasalahan Chick di Indonesia


Di Indonesia, KLB penyakit Chikungunya pertama kali dilaporkan dan tercatat pada tahun
1973 terjadi di Samarinda Provinsi Kalimantan Timur dan di DKI Jakarta, Tahun 1982 di Kuala
Tungkal Provinsi Jambi dan tahun 1983 di Daerah Istimewa Yogyakarta. KLB Chikungunya
mulai banyak dilaporkan sejak tahun 1999 yaitu di Muara Enim (1999), Aceh (2000), Jawa Barat
( Bogor, Bekasi, Depok ) pada tahun 2001, yang menyerang secara bersamaan pada penduduk di
satu kesatuan wilayah (RW/Desa ). Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL;
Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2 - 5
Pada tahun 2002 banyak daerah melaporkan terjadinya KLB Chikungunya seperti
Palembang, Semarang, Indramayu, Manado, DKI Jakarta , Banten, Jawa Timur dan lain-lain.
Pada tahun 2003 KLB Chikungunya terjadi di beberapa wilayah di pulau Jawa, NTB,
Kalimantan Tengah. Tahun 2006 dan 2007 terjadi KLB di Provinsi Jawa Barat dan Sumatera
Selatan. Dari tahun 2007 sampai tahun 2012 di Indonesia terjadi KLB Chikungunya pada
beberapa provinsi dengan 149.526 kasus tanpa kematian.
Penyebaran penyakit Chikungunya biasanya terjadi pada daerah endemis Demam Berdarah
Dengue. Banyaknya tempat perindukan nyamuk sering berhubungan dengan peningkatan
kejadian penyakit Chikungunya. Saat ini hampir seluruh provinsi di Indonesia potensial untuk
terjadinya KLB Chikungunya. KLB sering terjadi pada awal dan akhir musim hujan. Penyakit
Chikungunya sering terjadi di daerah sub urban.

B. Etiologi
Virus Chikungunya adalah Arthopod borne virus yang ditransmisikan oleh beberapa spesies
nyamuk. Hasil uji Hemaglutinasi Inhibisi dan uji Komplemen Fiksasi, virus ini termasuk genus
alphavirus ( “Group A” Arthropod-borne viruses) dan famili Togaviridae. Sedangkan DBD
disebabkan oleh “Group B” arthrophod-borne viruses (flavivirus).

C. Vektor Penular Chikungunya


Vektor utama penyakit ini sama dengan DBD yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus. Nyamuk lain mungkin bisa berperan sebagai vektor namun perlu penelitian lebih
lanjut.
Nyamuk Aedes spp seperti juga jenis nyamuk lainnya mengalami metamorfosis sempurna,
yaitu: telur - jentik (larva) - pupa - nyamuk. Stadium telur, jentik dan pupa hidup di dalam air.
Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik/larva dalam waktu ± 2 hari setelah telur
terendam air. Stadium jentik/larva biasanya berlangsung 6-8 hari, dan stadium kepompong
(Pupa) berlangsung antara 2–4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa selama 9-
10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan.6 - Kementerian Kesehatan RI 2012-
Ditjen PP dan PL; Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2
1. Habitat Perkembangbiakan
Habitat perkembangbiakan Aedes sp. ialah tempat-tempat yang dapat menampung air di
dalam, di luar atau sekitar rumah serta tempat-tempat umum. Habitat perkembangbiakan nyamuk
Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti: drum, tangki
reservoir, tempayan, bak mandi/wc, dan ember.
2) Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti: tempat minum
burung, vas bunga, perangkap semut, bak kontrol pembuangan air, tempat pembuangan
air kulkas/dispenser, barang-barang bekas (contoh : ban, kaleng, botol, plastik, dll).
3) Tempat penampungan air alamiah seperti: lubang pohon, lubang batu, pelepah daun,
tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan bambu dan tempurung coklat/karet, dll.

2. Perilaku Nyamuk Dewasa


Setelah keluar dari pupa, nyamuk istirahat di permukaan air untuk sementara waktu.
Beberapa saat setelah itu, sayap meregang menjadi kaku,
Gambar 2.1. Siklus hidup nyamuk Aedes sppKementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP
dan PL; Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2 - 7
sehingga nyamuk mampu terbang mencari makanan. Nyamuk Aedes sp jantan mengisap
cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya sedangkan yang betina mengisap
darah. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia daripada hewan (bersifat antropofilik).
Darah diperlukan untuk pematangan sel telur, agar dapat menetas. Waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk mengisap darah sampai telur dikeluarkan,
waktunya bervariasi antara 3-4 hari. Jangka waktu tersebut disebut dengan siklus gonotropik.
Aktivitas menggigit nyamuk Aedes sp biasanya mulai pagi dan petang hari, dengan 2 puncak
aktifitas antara pukul 09.00 -10.00 dan 16.00 -17.00. Aedes aegypti mempunyai kebiasaan
mengisap darah berulang kali dalam satu siklus gonotropik, untuk memenuhi lambungnya
dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit.
Setelah mengisap darah, nyamuk akan beristirahat pada tempat yang gelap dan lembab di
dalam atau di luar rumah, berdekatan dengan habitat perkembangbiakannya. Pada tempat
tersebut nyamuk menunggu proses pematangan telurnya.
Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan meletakkan
telurnya di atas permukaan air, kemudian telur menepi dan melekat pada dinding-dinding habitat
perkembangbiakannya. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik/larva dalam waktu ±2
hari. Setiap kali bertelur nyamuk betina dapat menghasilkan telur sebanyak ±100 butir. Telur itu
di tempat yang kering (tanpa air) dapat bertahan ±6 bulan, jika tempat-tempat tersebut kemudian
tergenang air atau kelembabannya tinggi maka telur dapat menetas lebih cepat.
.
Gambar 2. 2. Siklus gono tropik8 - Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL;
Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2
3. Penyebaran
Kemampuan terbang nyamuk Aedes spp betina rata-rata 40 meter, namun secara pasif
misalnya karena angin atau terbawa kendaraan dapat berpindah lebih jauh. Aedes spp tersebar
luas di daerah tropis dan sub-tropis, di Indonesia nyamuk ini tersebar luas baik di rumah maupun
di tempat umum. Nyamuk Aedes spp dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian
daerah ± 1.000 m dpl. Pada ketinggian diatas ± 1.000 m dpl, suhu udara terlalu rendah, sehingga
tidak memungkinkan nyamuk berkembangbiak.

4. Variasi Musiman
Pada musim hujan populasi Aedes sp akan meningkat karena telur-telur yang tadinya belum
sempat menetas akan menetas ketika habitat perkembangbiakannya (TPA bukan keperluan
sehari-hari dan alamiah) mulai terisi air hujan. Kondisi tersebut akan meningkatkan populasi
nyamuk sehingga dapat menyebabkan peningkatan penularan penyakit Demam Chikungunya.

D. Faktor Resiko
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan dalam penularan penyakit Chikungunya, yaitu:
manusia, virus dan vektor perantara.
Beberapa faktor penyebab timbulnya KLB demam Chikungunya adalah:
1. Perpindahan penduduk dari daerah terinfeksi
2. Sanitasi lingkungan yang buruk.
3. Berkembangnya penyebaran dan kepadatan nyamuk (sanitasi lingkungan yang buruk)
Ada gelombang epidemi 20 tahunan mungkin terkait perubahan iklim dan cuaca. Anti bodi
yang timbul dari penyakit ini membuat penderita kebal terhadap serangan virus selanjutnya. Oleh
karena itu perlu waktu panjang bagi penyakit ini untuk merebak kembali.Kementerian
Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi
2-9
E. Mekanisme Penularan
Virus Chikungunya ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes SPP Nyamuk
lain mungkin bisa berperan sebagai vektor namun perlu penelitian lebih lanjut. Nyamuk Aedes
tersebut dapat mengandung virus Chikungunya pada saat menggigit manusia yang sedang
mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum demam sampai 5 hari setelah demam timbul. Kemudian
virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation
period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Di tubuh
manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-7 hari (intrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan penyakit.
Gambar 2. 3. Mekanisme Penularan
Nyamuk yang mengandung virus
Chikungunya menggigit orang lain yang sehat10 - Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP
dan PL; Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2
BAB III
PROMOSI KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Promosi kesehatan diharapkan dapat melaksanakan strategi yang bersifat paripurna
(komprehensif), khususnya dalam menciptakan perilaku baru (perubahan perilaku). Dalam upaya
pengendalian Demam Chikungunya strategi promosi kesehatan yang harus dilakukan adalah (1)
Pemberdayaan masyarakat, (2) Pembinaan suasana lingkungan sosialnya, dan (3) Advokasi
kesehatan kepada pihak-pihak yang dapat mendukung terlaksananya kegiatan pengendalian
Demam Chikungunya. Untuk mendukung dan menanggulangi masalah kesehatan diperlukan
kemitraan dengan melibatkan berbagai sektor yaitu lembaga pemerintah, dunia usaha, media
massa dan organisasi masyarakat lainnya dalam upaya menanggulangi masalah kesehatan.
Kegiatan promosi kesehatan dalam pengendalian Chikungunya yang dapat dilakukan
meliputi:
1. Advokasi Kesehatan
Advokasi kesehatan adalah upaya secara sistimatis untuk mempengaruhi pimpinan,
pembuat/penentu kebijakan, keputusan dan penyandang dana dan pimpinan media massa
agar proaktif dan mendukung berbagai kegiatan promosi kesehatan dan pemberdayaan
masyarakat dalam penanggulangan Chikungunya sesuai dengan bidang tugas dan
keahlian masing-masing. Dengan metode lobby, pendekatan Informal, dan penggunaan
media massa
Adapun hasil yang diharapkan antara lain :
- adanya dukungan politis, kebijakan/keputusan dan sumber daya (SDM, dana dan sumber
daya lainnya) dalam pengendalian Demam Chikungunya
- Terbentuknya forum komunikasi/komite/pokjanal yang ber-anggotakan lembaga
pemerintah lintas program dan lintas sektor terkait, tokoh masyarakat, tokoh agama,
kader, organisasi pemuda, Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL;
Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2 - 11
organisasi profesi organisasi wanita, organisasi agama, LSM, organisasi kemasyarakatan,
pihak swasta dan dunia usaha untuk membahas dan memberi masukan dalam
pengendalian Demam Chikungunya
2. Bina Suasana
Bina Suasana adalah upaya menciptakan opini atau lingkungan sosial yang mendorong
individu anggota masyarakat untuk mau melakukan penanggulangan Chikungunya.
Seseorang akan terdorong untuk mau melakukan sesuatu apabila lingkungan sosial di
mana pun ia berada (keluarga di rumah, orang-orang yang menjadi panutan/ idolanya,
kelompok arisan, majelis agama, dan lain-lain, dan bahkan masyarakat umum) memiliki
opini yang positif terhadap perilaku tersebut. Oleh karena itu, untuk mendukung proses
Pemberdayaan Masyarakat, khususnya dalam upaya mengubah para individu meningkat
dari fase tahu ke fase mau dalam Penanggulangan Chikungunya, perlu dilakukan Bina
Suasana dengan metode meliputi orientasi, pelatihan, kunjungan lapangan, jumpa pers,
dialog terbuka/interaktif di berbagai media, lokakarya/seminar, penulisan artikel di media
massa, khotbah di tempat peribadatan.
Adapun Hasil yang ingin dicapai antara lain :
- Adanya opini positif berkembang di masyarakat tentang pentingnya pengendalian
Chikungunya
- Semua kelompok potensial di masyarakat ikut menyuarakan dan mendukung
pengendalian Chikungunya
- Adanya dukungan sumber daya (SDM, Dana, Sumber daya lain) dari kelompok
potensial yang ada di masyarakat
3. Pemberdayaan Masyarakat
Adalah upaya menumbuhkan kesadaran dan kemampuan individu, keluarga dan masyarakat
dalam rangka meningkatkan kemampuannya sebagai aspek perubahan perilaku untuk
mengenali/mendeteksi dini penyakit Chikungunya dan melakukan upaya pencegahan
melalui 12 - Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman
Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2
Gerakan PSN yang terkoordinir. Dengan metode meliputi : promosi individu, promosi
kelompok, promosi massa
Gerakan pemberdayaan masyarakat juga merupakan cara untuk menumbuhkembangkan
norma yang membuat masyarakat mampu untuk pengendalian Chikungunya secara
mandiri. Strategi ini tepatnya ditujukan pada sasaran primer agar berperan serta secara
aktif dalam pengendalian Chikungunya. Tujuan dari strategi pemberdayaan adalah
meningkatkan peran serta Individu, keluarga dan masyarakat agar tahu, mampu dan mau,
berperan serta dalam pengendalian Demam Chikungunya.
Hasil yang diharapkan dari pemberdayaan masyarakat adalah :
- Tumbuhnya kepedulian masyarakat dalam pengendalian Demam Chikungunya
- Meningkatnya peran aktif masyarakat dalam pengendalian Demam Chikungunya
Mengingat sampai saat ini belum ada obat dan vaksin terhadap penyakit ini, maka upaya
pencegahan dititikberatkan pada pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan membasmi
jentik nyamuk penular di sekitar tempat tinggal melalui gerakan PSN 3M Plus.
4. Kemitraan melalui POKJANAL
Adalah percepatan, efektivitas dan efisiensi berbagai upaya pengendalian Demam
Chikungunya melalui semua pihak, semua komponen masyarakat dan unsur pemerintah,
lembaga perwakilan rakyat, perguruan tinggi, media massa, penyandang dana, dan lain-
lain.
Hasil yang diharapkan antara lain adanya percepatan, efektivitas dan efisiensi berbagai
upaya termasuk kesehatan.
Pelaku Kemitraan meliputi semua pihak, semua komponen masyarakat dan unsur
pemerintah, Lembaga Perwakilan Rakyat, perguruan tinggi, media massa, penyandang
dana, dan lain-lain, khususnya swasta.Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan
PL; Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2 - 13
BAB IV
TATALAKSANA KASUS

A. Definisi Kasus
Demam Chikungunya adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus Chikungunya
(CHIKV) yang ditularkan melalui gigitan nyamuk (Arthropod –borne virus/ mosquito-borne
virus). Virus Chikungunya termasuk genus Alphavirus, famili Togaviridae.
Diagnosis kasus Demam Chikungunya ditegakkan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
(Modifikasi Klasifikasi WHO SEARO,2009)
Kriteria Klinis: Demam mendadak > 38,5ºC dan nyeri persendian hebat (severe athralgia)
dan atau dapat disertai ruam (rash).
Kriteria Epidemiologis: Bertempat tinggal atau pernah berkunjung ke wilayah yang sedang
terjangkit Chikungunya dengan sekurang-kurangnya 1 kasus positif RDT/ pemeriksaan serologi
lainnya, dalam kurun waktu 15 hari sebelum timbulnya gejala (onset of symptoms)
Kriteria Laboratoris: sekurang-kurangnya salah satu diantara pemeriksaan berikut:
• Isolasi virus
• Terdeteksinya RNA virus dengan RT-PCR
• Terdeteksinya antibodi IgM spesifik virus Chik pada sampel serum
• Peningkatan 4 kali lipat (four-fold) titer IgG pada pasangan sampel yang diambil pada fase
akut dan fase konvalesen (interval sekurang-kurangnya 2-3 minggu)
Berdasarkan kriteria di atas, Diagnosis Demam Chikungunya digolongkan dalam 3 kategori
yaitu:
1. KASUS TERSANGKA (Suspected case/ Possible case)
Penderita dengan kriteria klinis. 14 - Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan
PL; Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2
2. KASUS PROBABEL (Probable case)
Penderita dengan kriteria klinis + kriteria epidemiologis
3. KASUS KONFIRM (Confirmed case)
Penderita dengan kriteria laboratoris.

B. Masa Inkubasi
Masa inkubasi terdiri dari masa inkubasi intrinsik dan ekstrinsik. Masa inkubasi intrinsik
adalah periode sejak seseorang terinfeksi virus Chik sampai timbulnya gejala klinis, sedangkan
masa inkubasi ekstrinsik adalah periode sejak nyamuk terinfeksi virus Chik sampai virus tersebut
dapat menginfeksi orang lainnya melalui gigitan nyamuk tersebut.
Masa inkubasi intrinsik Chikungunya rata-rata antara 3-7 hari (range 1-12 hari), sedangkan
masa inkubasi ekstrinsik berkisar 10 hari. (WHO PAHO, 2011).

C. Kepekaan dan Kekebalan


Sekali seseorang terinfeksi virus Chik maka akan diikuti dengan terbentuknya imunitas
jangka panjang (long-lasting imunity) di dalam tubuh penderita (WHO
Gambar 4.1. Masa Inkubasi Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman
Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2 - 15
PAHO, 2011). Sampai saat ini hanya diketahui satu serotipe Chikungunya. Terjadinya
serangan kedua belum diketahui dengan pasti.

D. Gejala Klinis
1. Demam
Pada fase akut selama 2-3 hari selanjutnya dilanjutkan dengan penurunan suhu tubuh selama
1-2 hari kemudian naik lagi membentuk kurva “Sadle back fever” (Bifasik). Bisa disertai
menggigil dan muka kemerahan (flushed face). Pada beberapa penderita mengeluh nyeri
di belakang bola mata dan bisa terlihat mata kemerahan (conjunctival injection).
2. Sakit persendian
Nyeri persendian ini sering merupakan keluhan yang pertama muncul sebelum timbul
demam. Nyeri sendi dapat ringan (arthralgia) sampai berat menyerupai artritis
rheumathoid, terutama di sendi – sendi pergelangan kaki (dapat juga nyeri sendi tangan)
sering dikeluhkan penderita. Nyeri sendi ini merupakan gejala paling dominan, pada
kasus berat terdapat tanda-tanda radang sendi, yaitu kemerahan, kaku, dan bengkak. Sendi
yang sering dikeluhkan adalah pergelangan kaki, pergelangan tangan, siku, jari, lutut, dan
pinggul.
Pada posisi berbaring biasanya penderita miring dengan lutut tertekuk dan berusaha
mengurangi dan membatasi gerakan.
Gambar 4.2. Pembengkakan persendian 16 - Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP
dan PL; Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2
Artritis ini dapat bertahan selama beberapa minggu, bulan bahkan ada yang sampai bertahan
beberapa tahun sehingga dapat menyerupai Rheumatoid Arthritis.
3. Nyeri otot
Nyeri otot (fibromyalgia) bisa pada seluruh otot terutama pada otot penyangga berat badan
seperti pada otot bagian leher, daerah bahu, dan anggota gerak. Kadang - kadang terjadi
pembengkakan pada otot sekitar sendi pergelangan kaki (achilles) atau sekitar mata kaki.
4. Bercak kemerahan (rash) pada kulit
Kemerahan di kulit bisa terjadi pada seluruh tubuh berbentuk makulo-papular (viral rash),
sentrifugal (mengarah ke bagian anggota gerak, telapak tangan dan telapak kaki). Bercak
kemerahan ini terjadi pada hari pertama demam, tetapi lebih sering muncul pada hari ke 4
- 5 demam. Lokasi kemerahan di daerah muka, badan, tangan, dan kaki.
5. Kejang dan penurunan kesadaran
Kejang biasanya pada anak karena demam yang terlalu tinggi, jadi kemungkinan bukan
secara langsung oleh penyakitnya. Kadang-kadang kejang disertai penurunan kesadaran.
Pemeriksaan cairan spinal (cerebro spinal) tidak ditemukan kelainan biokimia atau
jumlah sel.
6. Manifestasi perdarahan
Tidak ditemukan perdarahan pada saat awal perjalanan penyakit walaupun pernah dilaporkan
di India terjadi perdarahan gusi pada 5 anak dari 70 anak yang diobservasi.
Gambar 4. 3. Bercak kemarahan pada kaki dan telapak tangan Kementerian Kesehatan
RI 2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2 - 17
7. Gejala lain
Gejala lain yang kadang-kadang dapat timbul adalah kolaps pembuluh darah kapiler dan
pembesaran kelenjar getah bening.

E. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding penyakit Chikungunya yang paling mendekati adalah Demam Dengue
atau Demam Berdarah Dengue

F. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Untuk memastikan diagnosis perlu pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan dengan
beberapa metode yaitu: Isolasi virus dari inokulasi serum fase akut, pemeriksaan serologis
dengan cara ELISA, pemeriksaan IgG dan IgM dengan metode Immuno Fluorescent Assay
(IFA), pemeriksaan materi genetik dengan Polymerase Chain Reaction (PCR), pemeriksaan
antibodi dengan uji Hemaglutinasi Inhibisi (H.I Test) menggunakan serum diambil pada masa
akut ( hari ke 5 mulai demam ) dan serum konvalesen pada minggu ke 2 sesudah demam serta
sequencing.
Tabel 4. 1. Manifestasi Utama yang membedakan Chikungunya dengan
Dengue (WHO SEARO, 2009)
Karakteristik yang membedakan
Demam Dengue
Demam Chikungunya
Tanda dan Gejala klinis
Gradual
Akut
1. Onset demam
2. Lama demam
1 - 2 hari
5 - 7 hari
Jarang
Sering
3. Ruam makulopapular
4. Timbul syok dan
perdarahan masif
Tidak lazim
Lazim
5. Nyeri sendi
Sering dan bisa lebih dari
1 bulan
Jarang dan berlangsung
singkat
Parameter Laboratorium
Jarang
Sering
1. Leukopenia
Jarang
Sering
2. Trombositopenia 18 - Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman
Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2
1. Isolasi Virus
Isolasi virus chikungunya didasarkan pada inokulasi spesimen biologis dari nyamuk atau
dari manusia (serum) secara invitro dengan menggunakan kultur jaringan sel vero, BHK-
21, HeLa sel dan sel C6/36. Isolasi virus juga dapat dilakukan secara in vivo dengan
menggunakan anak mencit yang masih menyusui (suckling mice).
Jenis untuk isolasi virus chikungunya adalah serum pada masa akut 0-6 hari, tetapi ada
beberapa literatur menyebutkan bisa sampai 8 hari. Spesimen yang berasal dari nyamuk
juga dapat digunakan untuk bahan isolasi virus. Semua spesimen biologis untuk isolasi
virus harus diproses secepatnya, bila memang perlu ditunda maksimal penundaan adalah
48 jam dengan disimpan pada suhu 2-8oC
2. Deteksi Viral RNA
Deteksi viral RNA virus chikungunya dapat dilakukan pada saat akut penderita (<8 hari).
Deteksi viral RNA juga dapat menggunakan spesimen biologis dari nyamuk (vektor).
Deteksi viral RNA didasarkan pada gen NSP1 atau E16 saat ini telah dikembangkan
berbagai macam teknik deteksi viral RNA virus chikungunya yaitu secara RT-PCR
(Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction) dan Real Time PCR.
3. Serologi (Deteksi IgM dan atau IgG)
Infeksi Chikungunya juga dapat dideteksi secara serologi dengan mendeteksi anti-chik
berupa IgM atau IgG. Sampai saat ini telah banyak dikembangkan teknik diagnostik
untuk mendeteksi chikungunya secara serologi diantaranya Haemaglutination,
Complement Fixation Test (CFT), Immuno flourescent assay (IFA), dan Plaque Reduction
Neutralization Testing (PRNT). Antibodi IgM dapat dideteksi dari hari ke-4 infeksi
sampai beberapa minggu waktu lamanya. Antibodi IgG dapat dideteksi hari ke- 15 sampai
beberapa tahun lamanya. Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL;
Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2 - 19
Interpretasi:
1. Bila IgM (-) dan IgG (-) dengan gejala klinis jelas, pemeriksaan diulang 10-14 hari
kemudian.
Bila hasil pemeriksaan ulang IgM (+) IgG(-) berarti infeksi akut primer
2. Bila IgM (-)IgG(+) dilakukan pemeriksaan ulang 10-14 hari kemudian.
Bila hasil pemeriksaan ulang IgG (+) dengan kenaikan titer >4X berarti infeksi sekunder.
3. Bila IgM (+) IgG(+) berarti sedang terjadi infeksi sekunder
Untuk saat ini untuk pemeriksaan konfirmasi diagnosis chikungunya dapat dilakukan di
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (BALIT BANGKES), B/BTKL PP, RSPI
Soelianti Saroso, Labkesda. Metode yang digunakan adalah secara deteksi Antibodi (IgM
dan atau IgG), deteksi molekuler (RT-PCR) dan Isolasi virus jika diperlukan.
Spesimen yang digunakan adalah Serum atau Plasma penderita pada masa akut. Jumlah
spesimen yang dibutuhkan untuk konfirmasi KLB chikungunya adalah 5-10 spesimen dari
setiap satuan KLB (per kecamatan/ per puskesmas). jika jumlah penderita > 10, namun
jika jumlah penderita < 10 maka untuk konfirmasi jumlah spesimen yang diperiksa
jumlah penderita.
Gambar 4. 4. Timeline antibodi20 - Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL;
Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2
Untuk pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan :
1. Hematologi rutin
a. Pemeriksaan Kadar Hemoglobin.
Biasanya dijumpai Hb normal atau anemia bila ada perdarahan .
b. Pemeriksaan Trombosit
Dapat ditemukan Trombositopenia
c. Pemeriksaan Hematokrit
Ht normal atau meningkat bila dengan dehidrasi
d. Pemeriksaan Leukosit
Leukopenia atau juga leukositosis
e. Hitung Jenis Leukosit
Pada hitung jenis bisa dijumpai relatif limfositosis.
f. Pemeriksaan Laju Endap Darah
LED meningkat karena adanya infeksi
2. Kimia Klinik
Fungsi hati : SGOT, SGPT dan bilirubin total/direk yang bisa meningkat bila dijumpai
hepatomegali.
CK (Creatinin Kinase) yang meningkat karena adanya nyeri otot.
3. Serologis Chik: Rapid Diagnostic Test (RDT) terhadap anti-IgM Chikungunya dapat
dilakukan sebagai penapisan (screening) untuk diagnosis chikungunya.
Pemilihan Rapid Diagnostik Test (RDT) juga harus memenuhi persyaratan sensitifitas dan
spesifisitas diatas 85% dengan uji lokal.
4. Serologis Dengue : Anti Dengue IgM-IgG untuk menyingkirkan DBD

G. CARA PENGAMBILAN SPESIMEN


Waktu pengambilan spesimen adalah pada periode :
Akut : 0-8 hari setelah timbul gejala/onset of symptom
Konvalesent : 14 hari setelah gejala/symptomKementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP
dan PL; Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2 - 21
Adapun cara pengambilan adalah sebagai berikut:
1. Lakukan vena punksi untuk mengambil darah vena sebanyak 3–5 ml lalu dimasukkan
dalam tabung kaca yang pakai penutup. Pengambilan darah dilakukan secara aseptik
dapat menggunakan spuit atau venoject.
2. Diamkan pada suhu kamar selama 10 - 15 menit sampai darah membeku.
3. Kemudian lakukan sentrifugasi 1500-2000 rpm selama 10 menit untuk memisahkan
serumnya.
4. Pisahkan serum dengan menggunakan pipet dan masukkan ke dalam tabung sampel
dengan tutup ulir yang sudah diberi identitas pasien. Hindari menggunakan tabung kaca
untuk mengirim spesimen serum.
5. Sebelum dikirim ke laboratorium yang mampu memeriksa misalnya: Litbangkes, B/BTKL
PP, BLK atau LABKESDA, spesimen serum disimpan di lemari pendingin dengan suhu
4-8oC (BUKAN DI DALAM FREEZER).
6. Pengiriman spesimen serum harus sesuai prosedur, didalam cool box dengan dilapisi dry
ice/ cool pack supaya suhu pengiriman tetap antara 4-8oC. JANGAN mengirimkan
spesimen dalam bentuk Whole Blood (darah lengkap), karena dapat menjadi lisis dan
mempengaruhi hasil pemeriksaan lab.
7. Di dalam wadah tempat pengiriman harus disertakan data-data identitas penderita, juga
meliputi tanggal mulai sakit, gejala-gejala yang timbul, tanggal pengambilan sampel.
Gambar 4. 5. Pengambilan darah
a. menggunakan spuit/jarum suntik
b. menggunakan venoject 22 - Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman
Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2
8. Pada bagian luar wadah pengiriman harus dituliskan alamat pengirim dan penerima
dengan jelas.
9. Sebelum mengirim sampel pasien, pengirim sebaiknya memberitahukan kepada penerima
sampel, dalam hal ini Bagian Virologi Litbangkes, BLK, LABKESDA dan BTKL.
10. Jika diperlukan pemeriksaan lebih lanjut (sequensing) maka spesimen dikirim ke
Balitbangkes

H. TERAPI
Chikungunya merupakan self limiting disease, sampai saat ini penyakit ini belum ada obat
ataupun vaksinnya, pengobatan hanya bersifat simtomatis dan suportif.
1. Simtomatis
Antipiretik : Parasetamol atau asetaminofen (untuk meredakan demam)
Analgetik : Ibuprofen, naproxen dan obat Anti-inflamasi Non Steroid (AINS) lainnya (untuk
meredakan nyeri persendian/athralgia/arthritis)
Catatan: Aspirin (Asam Asetil Salisilat) tidak dianjurkan karena adanya resiko perdarahan
pada sejumlah penderita dan resiko timbulnya Reye’s syndrome pada anak-anak dibawah
12 tahun.
2. Suportif
• Tirah baring (bedrest), batasi pergerakkan
• Minum banyak untuk mengganti kehilangan cairan tubuh akibat muntah, keringat dan
lain-lain.
• Fisioterapi
3. Pencegahan penularan
• Penggunaan kelambu selama masa viremia {sejak timbul gejala (onset of illness) sampai
7 hariKementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman Pengendalian
Demam Chikungunya, Edisi 2 - 23
I. PROGNOSIS
Penyakit ini bersifat self limiting disease, tidak pernah dilaporkan adanya kematian. Keluhan
sendi mungkin berlangsung lama. Brighton meneliti pada 107 kasus infeksi Chikungunya, 87,9%
sembuh sempurna, 3,7% mengalami kekakuan sendi atau mild discomfort, 2,8% mempunyai
persistent residual joint stiffness, tapi tidak nyeri, dan 5,6% mempunyai keluhan sendi yang
persistent, kaku dan sering mengalami efusi sendi.

J. KOMPLIKASI
Dalam literatur ilmiah belum pernah dilaporkan kematian, kasus neuroinvasif, atau kasus
perdarahan yang berhubungan dengan infeksi virus Chikungunya. Pada kasus anak komplikasi
dapat terjadi dalam bentuk : kolaps pembuluh darah, renjatan, Miokarditis, Ensefalopati dsb, tapi
jarang ditemukan.24 - Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman
Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2
BAB V
SURVEILANS DAN PENANGGULANGAN KASUS

A. SURVEILLANS
Surveilans Chikungunya adalah proses pengumpulan pengolahan analisis dan interpretasi
dan penyebarluasan informasi ke penyelenggara program dan pihak / instansi terkait secara
sistematis dan terus menerus tentang situasi Chikungunya dan kondisi yang mempengaruhi
terjadinya peningkatan dan penularan penyakit tersebut agar dapat dilakukan tindakan
penanggulangan secara efektif dan efisien.
Surveilan Chikungunya meliputi survey kasus dan survey vektor yang dapat dilakukan secara
pasif dan aktif.
Tujuan surveillans Chikungunya, yaitu:
1. Menghasilkan informasi yang cepat dan akurat agar dapat disebarluaskan sebagai dasar
penanggulangan Chikungunya yang cepat dan tepat untuk menyususun perencanaan yang
sesuai dengan permasalahannya.
2. Mendapatkan distribusi penyakit Chikungunya menurut orang, tempat, dan waktu.
3. Mendapatkan trend kasus Chikungunya
4. Melakukan pengamatan kewaspadaan dini SKD KLB dalam rangka mencegah dan
penanggulangan KLB secara dini.
Penetapan Kejadian Luar Biasa ( KLB ) Chikungunya merujuk pada Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1501 Tahun 2010 tentang jenis Penyakit menular tertentu yang dapat
menimbulkan wabah dan upaya penanggulanganya.

1. Surveillans Kasus
Surveillan kasus Chikungunya adalah kegiatan surveillans yang dilakukan untuk menemukan
kasus Chikungunya. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu secara aktif maupun
pasif. Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman Pengendalian Demam
Chikungunya, Edisi 2 - 25
a. Surveilans pasif
Yaitu penemuan kasus berdasarkan informasi dan laporan dari sarana kesehatan (RS,
puskesmas, klinik, laboratorium, KKP) maupun dari masyarakat. Informasi data dapat
diperoleh melalui :
a.1.Laporan mingguan sistem ewars
EWARS (Early Warning Alert and Respon System) melalui tersangka Chikungunya
dengan trias gejala utama yaitu demam, nyeri sendi hebat dan ruam kemerahan di kulit
(rash).
a.2. Laporan bulanan STP Puskesmas / RS
a.3. Laporan bulanan program
a.4. Laporan Masyarakat
b. Surveillans aktif
Yaitu penemuan kasus yg diperoleh melalui kunjungan lapangan untuk melakukan
penegakan diagnosis secara epidemiologis berdasarkan gambaran umum penyakit
menular tertentu yang dapat menimbulkan wabah yang selanjutnya diikuti dengan
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium.
Kegiatan surveilans aktif penyakit Demam Chikungunya dapat dalam bentuk kegiatan
penyelidikan epidemiologi (PE) berdasarkan kasus terlaporkan atau berdasarkan
pertimbangan faktor resiko lainnya.
Kegiatan surveillans aktif dapat dilaksanakan oleh petugas Dinas Kesehatan/ Puskesmas
setempat.
Tersangka Chikungunya hasil temuan surveilans aktif ditindak lanjuti / dilaporkan ke sarana
kesehatan / Puskesmas untuk di lakukan pemeriksaan lanjutan.

2. Surveillans Vektor
Surveillans vektor Chikungunya adalah kegiatan surveillans yang dilakukan untuk
mengetahui ada atau tidaknya penularan kasus setempat dalam kegiatan penyelidikan
epidemiologi (PE) dan untuk mengetahui tingkat kepadatan vektor Chikungunya melalui
kegiatan survey berdasarkan faktor resiko (iklim, tingkat 26 - Kementerian Kesehatan RI
2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2
kepadatan vektor, mobilisasi masyarakat). Selain itu kegiatan ini dapat digunakan sebagai
evaluasi kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yang dilakukan oleh masyarakat melalui
kegiatan Pemantauan Jentik Berkala (PJB).
Tujuan dilaksanakan surveilan vektor Chikungunya adalah:
• Untuk mengetahui tingkat kepadatan vektor Chikungunya
• Untuk mengetahui tempat perindukan potensial vektor Chikungunya
• Untuk mengetahui jenis larva/jentik vektor Chikungunya
• Untuk mengukur indek-indek larva/jentik (ABJ, CI, HI, dan BI)
• Untuk mencari cara pengendalian vektor Chikungunya yang tepat
• Untuk menilai hasil pengendalian vektor
• Untuk mengetahui tingkat kerentanan vektor Chikungunya terhadap insektisida.
Dalam metode Surveilans Vektor Chikungunya yang ingin kita peroleh antara lain adalah
data-data kepadatan vektor. Untuk memperoleh data-data tersebut tentulah diperlukan kegiatan
survei, ada beberapa metode survei yang kita ketahui, meliputi metode survei terhadap nyamuk,
jentik dan survei perangkap telur (ovitrap). Sebelum melakukan survei vektor Chikungunya
diperlukan penentuan lokasi surveilans/ pengamatan, waktu pengamatan, cara pengamatan/
pengukuran vektor Chikungunya, persiapan peralatan dan bahan surveilans vektor Chikungunya,
pengumpulan, pencatatan dan analisa data hasil surveilans/pengamatan.
1. Penentuan Lokasi Pengamatan
Lokasi yang akan diamati/diukur tingkat kepadatan vektor Chikungunya adalah lokasi yang
diduga sebagai tempat perkembangbiakan/istirahat/ mencari makan nyamuk Aedes sp.
yang berdekatan dengan kehidupan/ kegiatan manusia, antara lain :
a. permukiman penduduk,
b. tempat-tempat umum (sekolah, tempat ibadah, perkantoran dsb).
Pengamatan/pengukuran kepadatan populasi vektor Chikungunya dapat dilakukan pada :
a. Wilayah endemis Chikungunya.Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL;
Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2 - 27
b. Wilayah yang pernah terjadi KLB Chikungunya.
c. Wilayah yang menjadi sasaran pengendalian vektor Chikungunya secara kimiawi dan
biologi.
2. Pelaksanaan Pengamatan
Pengamatan kepadatan populasi vektor Chikungunya dilakukan mulai dari tingkat
Puskesmas sampai Pusat, sebagai berikut :
a. Kader / PKK / Jumantik
Melakukan pemeriksaan jentik minimal 1 minggu sekali disetiap rumah pada wilayah
kerja jumantik. Sebaiknya dilakukan bersamaan dengan pelaksaanaan PSN.
b. Petugas puskesmas
1) Monitoring secara berkala minimal 3 bulan sekali pada wilayah kerja Puskesmas
(PJB) dan dilakukan evaluasi pelaksaanaan PSN.
2) Pemeriksaan jentik berkala (PJB) juga dilakukan oleh masing-masing puskesmas
terutama di desa/kelurahan endemis (cross check) pada tempat-tempat perkembang-
biakan nyamuk Aedes aegypti/albopictus dari 100 sampel rumah/bangunan yang
dipilih secara acak serta diulang untuk setiap siklus pemeriksaan.
3) Contoh cara memilih sampel 100 rumah/bangunan sebagai berikut:
a) Dibuat daftar RW dan RT untuk tiap desa/kelurahan
b) Setiap RT diberi nomor urut
c) Dipilih sebanyak 10 RT sampel secara acak (misalnya dengan cara systematic
random sampling) dari seluruh RT yang ada di wilayah desa/kelurahan
d) Dibuat daftar nama kepala keluarga (KK) atau nama TTU dari masing-masing
RT sampel atau yang telah terpilih.
e) Tiap KK/rumah/TTU diberi nomor urut, kemudian dipilih 10 KK/ rumah/TTU
yang ada di tiap RT sampel secara acak (misalnya dengan cara systematic
random sampling).
c. Pengelola Program Arbovirosis di Dinkes Kab/Kota28 - Kementerian Kesehatan RI
2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2
Monitoring dan evaluasi PSN yang telah dilakukan oleh kader jumantik dan Puskesmas
secara berkala minimal 6 bulan sekali
d. Pengelola Program Arbovirosis di Dinkes Propinsi
Monitoring dan evaluasi PSN yang telah dilakukan oleh Dinkes Kab/ Kota secara berkala
minimal 3 bulan sekali, untuk Dinkes Provinsi dan Pusat minimal 6 bulan sekali
Teknis Pengamatan
Beberapa teknis pengamatan terhadap telur, jentik, dan nyamuk melalui beberapa metode
survei sebagai berikut :
a. Survei telur
Survei ini dilakukan dengan cara memasang perangkap telur (ovitrap) yang dinding sebelah
dalamnya dicat hitam, kemudian diberi air secukupnya. Ovitrap berbentuk tabung yang
dapat dibuat dari potongan bambu, kaleng dan gelas platik/kaca. Ovitrap diletakkan di
dalam dan di luar rumah atau tempat yang gelap dan lembab. Cara kerja ovitrap adalah
padel (berupa potongan bilah bambu atau kain yang tenunannya kasar dan berwarna
gelap) yang dimasukkan kedalam tabung tersebut berfungsi sebagai tempat meletakkan
telur nyamuk. Setelah 1 minggu dilakukan pemeriksaan ada atau tidaknya telur nyamuk di
padel, kemudian dihitung ovitrap index.
Perhitungan ovitrap index adalah:
Ovitrap Index:
Jumlah padel dengan telur
x 100%
Jumlah padel diperiksa
Untuk mengetahui gambaran kepadatan populasi nyamuk penular secara lebih tepat, telur-
telur padel tersebut dikumpulkan dan dihitung jumlahnya. Kementerian Kesehatan RI
2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2 - 29
Kepadatan populasi nyamuk :
Jumlah telur
= ……telur per ovitrap
Jumlah ovitrap yang digunakan
b. Survei jentik
Survei jentik dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Memeriksa tempat penampungan air dan kontainer yang dapat menjadi habitat
perkembangbiakan nyamuk Aedes sp. di dalam dan di luar rumah untuk mengetahui
ada tidaknya jentik.
2) Jika pada penglihatan pertama tidak menemukan jentik, tunggu kira-kira ½ -1 menit
untuk memastikan bahwa benar-benar tidak ada jentik.
3) Gunakan senter untuk memeriksa jentik di tempat gelap atau air keruh.
Metode survei jentik:
1) Single larva
Cara ini dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat genangan air yang
ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut.
Gambar 5. 1. Contoh Ovitrap30 - Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL;
Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2
2) Visual
Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya jentik di setiap tempat
genangan air tanpa mengambil jentiknya.
Biasanya dalam program CHIKUNGUNYA mengunakan cara visual.
Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik Aedes sp. :
1) Angka Bebas Jentik (ABJ):
Jumlah rumah/bangunan yang tidak ditemukan jentik
x 100%
Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa
2) House Index (HI) :
Jumlah rumah/bangunan yang ditemukan jentik
x 100%
Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa
3) Container Index (CI ):
Jumlah container dengan jentik
x 100%
Jumlah container yang diperiksa
4) Breteau Index (BI):
Jumlah container dengan jentik dalam 100 rumah/bangunan
c. Survei nyamuk
Survei nyamuk dilakukan dengan cara menangkap nyamuk menggunakan umpan orang di
dalam dan di luar rumah, masing-masing selama 20 menit per rumah serta penangkapan
nyamuk yang hinggap di dinding dalam rumah. Penangkapan nyamuk biasanya dilakukan
dengan menggunakan aspirator.
Gambar 5. 2. Contoh aspiratorKementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL;
Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2 - 31
Indeks-indeks nyamuk yang digunakan:
1) Landing rate :
Jumlah Aedes aegypti betina tertangkap umpan orang
Jumlah penangkapan x jumlah jam penangkapan
2) Resting per rumah:
Jumlah Aedes aegypti betina tertangkap pada penangkapan nyamuk hinggap
Jumlah rumah yang dilakukan penangkapan
Apabila ingin diketahui rata-rata umur nyamuk di suatu wilayah, dilakukan pembedahan
perut nyamuk-nyamuk yang ditangkap untuk memeriksa keadaan ovariumnya di bawah
mikroskop. Jika ujung pipa-pipa udara (tracheolus) pada ovarium masih menggulung,
berarti nyamuk itu belum pernah bertelur (nuliparous). Jika ujung pipa-pipa udara sudah
terurai/terlepas gulungannya, maka nyamuk itu sudah pernah bertelur (parous).
Gambar 5. 3. Aedes sp.32 - Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman
Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2
Untuk mengetahui rata-rata umur nyamuk, apakah merupakan nyamuk-nyamuk baru
(menetas) atau nyamuk-nyamuk yang sudah tua digunakan indek parity rate.
Parity rate :
Jumlah nyamuk Aedes aegypti dengan ovarium parous
x 100%
Jumlah nyamuk yang diperiksa ovariumnya

Bila hasil survei entomologi suatu wilayah, parity rate-nya rendah berarti populasi nyamuk-
nyamuk di wilayah tersebut sebagian besar masih muda. Sedangkan bila parity rate-nya
tinggi menunjukkan bahwa keadaan dari populasi nyamuk di wilayah itu sebagian besar
sudah tua.
Untuk menghitung rata-rata umur suatu populasi nyamuk secara lebih tepat dilakukan
pembedahan ovarium dari nyamuk-nyamuk parous, untuk menghitung jumlah dilatasi
pada saluran telur (pedikulus).
Umur populasi nyamuk = rata-rata jumlah dilatasi x satu siklus gonotropik
Contoh:
Bila jumlah dilatasi nyamuk rata-rata 3 dan siklus gonotropiknya 4 hari, maka umur rata-
rata nyamuk tersebut adalah: 3x4=12 hari. Semakin tua rata-rata umur nyamuk
semakin besar potensi terjadinya penularan di suatu wilayah.
Gambar 5. 3. Dilatasi pada saluran telur (pedikulus) Aedes sp.Kementerian Kesehatan RI
2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2 - 33
3. Alat dan Bahan Survei
Alat dan bahan yang minimal harus tersedia untuk melaksanakan survei kepadatan populasi
vektor Chikungunya adalah :
a. Peralatan
1) Peralatan umum
- Compound microskop, untuk memeriksa jentik dan ovarium
- Senter, untuk menerangi sasaran survei (jentik/nyamuk)
- Petridish, untuk tempat jentik aatau nyamuk yang akaan diperiksa
- Tas, untuk membawa peralatan serta bahan survei
2) Peralatan survei telur
- Perangkap telur (ovitrap)
- Padel untuk tempat peletakan telur
3) Peralatan survei jentik
- Gayung, untuk mengambil jentik
- Pipet, untuk mengambil jentik
- Botol kecil (vial larva), untuk tempat larva
- Susceptibility test kit larva (1 set peralatan uji kerentanan larva), untuk
mengetahui tingkat kerentanan jentik terhadap insektisida
4) Peralatan survei nyamuk
- Stereo mikroskop, untuk identifikasi dan membedah nyamuk
- Loupe/kaca pembesar 10 x atau 20 x, untuk identifikasi nyamuk dan kondisi perut
nyamuk
- Aspirator, untuk menangkap nyamuk
- Kotak nyamuk, untukmembawa nyamuk hidup
- Kurungan nyamuk, untuk memelihara nyamuk
- Pinset ujung runcing, untuk memegang nyamuk
- Jarum seksi untuk membedah nyamuk34 - Kementerian Kesehatan RI 2012-
Ditjen PP dan PL; Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2
- Gunting kecil, untuk memotong kain kasa dan kertas
- Susceptibility test kit untuk mengukur tingkat kerentanan nyamuk terhadap
insektisida
- Bio Assay test kit, untuk mengukur tingkat efikasi insektisida
b. Bahan survei
1) Bahan survei umum
- Objek glass (slide glass), untuk pemeriksaan jentik dan pembedahan ovarium
- Kaca penutup (cover glass), untuk menutup persediaan
- Kertas label, untuk pemberian etiket
- Formulir-formulir entomologi Chikungunya, untuk pencatatan hasil survei
- Alat-alat tulis untuk menulis hasil survei
- Kertas tissu untuk membersihkan kaca benda
2) Bahan survei telur
- Kantong plastik, untuk tempat padel
- Kantong plastik besar, untuk membawa padel
3) Bahan survei nyamuk
- Paper cup, untuk wadah nyamuk
- Kain kasa, untuk menutup paper cup
- Karet gelang, untuk mengikat kain kasa di paper cup
- Kapas untuk menutup lobang di kain kasa dan pemakaian
kloroform
- Kloroform, untuk membius nyamuk
- Jarum serangga no. 3, untuk pinning nyamuk
- Jarum secsi untuk membedah abdomen nyamuk.

4. Laporan hasil survey


Pencatatan hasil pemeriksaan jentik dilakukan oleh petugas kader dan pelaporannya
dilakukan secara berjenjang sebagai berikut :Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen
PP dan PL; Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2 - 35
a. Laporan hasil survei oleh Kader / PKK / Jumantik
• Hasil pemeriksaan jentik dicatat pada kartu jentik rumah / bangunan yang
ditinggalkan di rumah/bangunan.
• FORMULIR JPJ-1 digunakan untuk pelaporan ke Puskesmas dan instansi terkait.
b. Laporan hasil survei oleh Puskesmas
Pemeriksaan jentik yang dilakukan oleh kader/PKK/Jumantik harus dilakukan monitoring
dan evaluasi oleh petugas Puskesmas secara berkala minimal 3 bulan sekali.
Rekapitulasi hasil PJB dilaksanakan oleh Puskesmas setiap 3 bulan dengan melakukan
pencatatan hasil pemeriksaan jentik di pemukiman (rumah) dan tempat-tempat umum
pada FORMULIR PJB-1 dan dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
c. Laporan hasil survei oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Laporan PJB yang dilakukan oleh Puskesmas kemudian dilakukan rekapitulasi oleh
Pengelola Program Chikungunya di Dinkes Kab/ Kota menggunakan FORMULIR
PJB-2 dan dilaporkan kepada Dinkes Provinsi
d. Laporan hasil survei oleh Dinas Kesehatan Provinsi
Hasil pemeriksaan jentik dari Dinkes Kab/Kota dilakukan rekapitulasi oleh Pengelola
Program Chikungunya di Dinkes Provinsi menggunakan FORMULIR PJB-3 dan
dilaporkan ke Pusat (Ditjen PP dan PL, Subdit Pengendalian Arbovirosis)

3. Pencatatan dan Pelaporan


Alur laporan dilakukan secara berjenjang dari puskesmas/rumah sakit ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi, hingga Kemenkes RI (Cq. Subdit Pengendalian
Arbovirosis, Ditjen PP dan PL). Alur pelaporan ini disesuaikan dengan yang tercantum dalam
Permenkes No 1501/2010.
Puskesmas yang menerima/menemukan kasus Chikungunya akan menindaklanjuti dengan
kegiatan PE dan melaporkan kasus menggunakan form-form pelaporan :36 - Kementerian
Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi
2
a. EWARS
b. Laporan hasil PE dapat dilihat pada Lampiran 2)
c. Laporan bulanan (lampiran 3)

B. PENGENDALIAN VEKTOR
1. Metode Pengendalian Vektor
Pengendalian vektor adalah upaya menurunkan faktor risiko penularan oleh vektor dengan
meminimalkan habitat perkembangbiakan vektor, menurunkan kepadatan dan umur vektor,
mengurangi kontak antara vektor dengan manusia serta memutus rantai penularan penyakit
Metode pengendalian vektor Chikungunya bersifat spesifik lokal, dengan
mempertimbangkan faktor–faktor lingkungan fisik (cuaca/iklim, permukiman, habitat
perkembangbiakan); lingkungan sosial-budaya (Pengetahuan Sikap dan Perilaku) dan aspek
vektor.
Pada dasarnya metode pengendalian vektor Chikungunya yang paling efektif adalah dengan
melibatkan peran serta masyarakat (PSM). Sehingga berbagai metode pengendalian vektor cara
lain merupakan upaya pelengkap untuk secara cepat memutus rantai penularan.
Berbagai metode PengendalianVektor (PV) Chikungunya yaitu:
- Kimiawi
- Biologi
- Manajemen lingkungan
- Pemberantasan Sarang Nyamuk/PSN
- Pengendalian Vektor Terpadu (Integrated Vector Management/IVM)
a. Kimiawi
Pengendalian vektor cara kimiawi dengan menggunakan insektisida merupakan salah satu
metode pengendalian yang lebih populer di masyarakat dibanding dengan cara
pengendalian lain. Sasaran insektisida adalah stadium dewasa dan pra-dewasa. Karena
insektisida adalah racun, maka penggunaannya harus mempertimbangkan dampak
Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman Pengendalian Demam
Chikungunya, Edisi 2 - 37
terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran termasuk mamalia. Disamping itu
penentuan jenis insektisida, dosis, dan metode aplikasi merupakan syarat yang penting
untuk dipahami dalam kebijakan pengendalian vektor. Aplikasi insektisida yang berulang
di satuan ekosistem akan menimbulkan terjadinya resistensi serangga sasaran.
Golongan insektisida kimiawi untuk pengendalian vektor adalah :
• Sasaran nyamuk dewasa adalah : Organophospat (Malathion, methyl pirimiphos),
Pyrethroid (Cypermethrine, lamda-cyhalotrine, cyflutrine, Permethrine & S-
Bioalethrine). Yang ditujukan untuk stadium dewasa yang diaplikasikan dengan cara
pengabutan panas/Fogging dan pengabutan dingin/ULV
• Sasaran jentik dengan menggunakan larvasida : golongan Organophospat (Temephos).
b. Biologi
Pengendalian vektor dengan biologi menggunakan agent biologi seperti predator/pemangsa,
parasit, bakteri, sebagai musuh alami stadium pra dewasa vektor Jenis predator yang
digunakan adalah Ikan pemakan jentik (cupang, tampalo, gabus, guppy, dll), sedangkan
larva Capung, Toxorrhyncites, Mesocyclops dapat juga berperan sebagai predator walau
bukan sebagai metode yang lazim untuk pengendalian vektor .
Jenis pengendalian vektor biologi :
• Parasit : Romanomermes iyengeri
• Bakteri : Baccilus thuringiensis israelensis
Golongan insektisida biologi untuk pengendalian vektor (Insect Growth Regulator/IGR dan
Bacillus Thuringiensis Israelensis/BTi), ditujukan untuk stadium pra dewasa yang
diaplikasikan kedalam habitat perkembangbiakan vektor.
Insect Growth Regulators (IGRs) mampu menghalangi pertumbuhan nyamuk di masa pra
dewasa dengan cara merintangi/menghambat proses chitin synthesis selama masa jentik
berganti kulit atau mengacaukan proses perubahan pupae dan nyamuk dewasa. IGRs 38 -
Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman Pengendalian Demam
Chikungunya, Edisi 2
memiliki tingkat racun yang sangat rendah terhadap mamalia (nilai LD50 untuk keracunan
akut pada methoprene adalah 34.600 mg/kg ).
Bacillus thruringiensis (BTi) sebagai pembunuh jentik nyamuk/larvasida yang tidak
menggangu lingkungan. BTi terbukti aman bagi manusia bila digunakan dalam air minum
pada dosis normal. Keunggulan BTi adalah menghancurkan jentik nyamuk tanpa
menyerang predator entomophagus dan spesies lain. Formula BTi cenderung secara cepat
mengendap di dasar wadah, karena itu dianjurkan pemakaian yang berulang kali.
Racunnya tidak tahan sinar dan rusak oleh sinar matahari.
c. Manajemen lingkungan
Lingkungan fisik seperti tipe pemukiman, sarana-prasarana penyediaan air, vegetasi dan
musim sangat berpengaruh terhadap tersedianya habitat perkembangbiakan dan
pertumbuhan vektor. Nyamuk Aedes sp sebagai nyamuk pemukiman mempunyai habitat
utama di kontainer buatan yang berada di daerah pemukiman. Manajemen lingkungan
adalah upaya pengelolaan lingkungan sehingga tidak kondusif sebagai habitat
perkembangbiakan atau dikenal sebagai source reduction seperti 3M plus (menguras,
menutup dan mengubur, dan plus: menyemprot, memelihara ikan predator, menabur
larvasida dll); dan menghambat pertumbuhan vektor (menjaga kebersihan lingkungan
rumah, mengurangi tempat-tempat yang gelap dan lembab di lingkungan rumah dll)
d. Pemberantasan Sarang Nyamuk / PSN
Pengendalian Vektor yang paling efisien dan efektif adalah dengan memutus rantai
penularan melalui pemberantasan jentik. Pelaksanaannya di masyarakat dilakukan melalui
upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue PSN dalam bentuk
kegiatan 3 M plus. Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, kegiatan 3 M Plus ini
harus dilakukan secara serempak dan terus menerus/berkesinambungan. Tingkat
pengetahuan, sikap dan perilaku yang sangat beragam sering menghambat suksesnya
gerakan ini. Untuk itu sosialisasi kepada masyarakat/individu untuk melakukan kegiatan
ini secara rutin serta penguatan peran tokoh masyarakat untuk mau secara terus menerus
Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman Pengendalian Demam
Chikungunya, Edisi 2 - 39
menggerakkan masyarakat harus dilakukan melalui kegiatan promosi kesehatan, penyuluhan
di media masa, serta reward bagi yang berhasil melaksanakannya.
1). Tujuan
Mengendalikan populasi nyamuk Aedes sp, sehingga penularan penyakit Demam
Chikungunya dapat dicegah atau dikurangi.
2). Sasaran
Semua tempat perkembangbiakan nyamuk penular penyakit demam Chikungunya :
• Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari
• Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari (non-TPA)
• Tempat penampungan air alamiah
3). Ukuran keberhasilan
Keberhasilan kegiatan PSN antara lain dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ),
apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan Chikungunya dapat
dicegah.
4). Cara PSN
PSN dilakukan dengan cara ‘3M-Plus’, 3M yang dimaksud yaitu:
• Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak mandi/wc,
drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1).
• Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong air/tempayan, dan
lain-lain (M2).
• Memanfaatkan atau mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat menampung air
hujan (M3).
Selain itu ditambah (plus) dengan cara lainnya, seperti:
• Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat lainnya yang
sejenis seminggu sekali.
• Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak
• Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, dan lain-lain (dengan tanah,
dan lain-lain)40 - Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman
Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2
• Menaburkan bubuk larvasida, misalnya di tempat-tempat yang sulit dikuras atau di
daerah yang sulit air
• Memelihara ikan pemakan jentik di kolam/bak-bak penampungan air
• Memasang kawat kasa
• Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar
• Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai
• Menggunakan kelambu
• Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk
• Cara-cara spesifik lainnya di masing-masing daerah.
Keseluruhan cara tersebut diatas dikenal dengan istilah dengan ’3M-Plus’.
5). Pelaksanaan
a). Di rumah
Dilaksanakan oleh anggota keluarga.
b). Tempat tempat umum
Dilaksanakan oleh petugas yang ditunjuk oleh pimpinan atau pengelola tempat tempat
umum.
e. Pengendalian Vektor Terpadu (Integrated Vektor Management)
IVM merupakan konsep pengendalian vektor yang diusulkan oleh WHO untuk
mengefektifkan berbagai kegiatan pemberantasan vektor oleh berbagai institusi. IVM
dalam pengendalian vektor Chikungunya saat ini lebih difokuskan pada peningkatan
peran serta sektor lain melalui kegiatan Pokjanal, Kegiatan PSN anak sekolah dll.

2. Kegiatan Pengendalian Vektor Chikungunya


a. Kegiatan pengendalian vektor sesuai dengan tingkat administrasi
Kegiatan Pengendalian Vektor memberikan beban yang berbeda disetiap level administratif
yaitu :Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman Pengendalian
Demam Chikungunya, Edisi 2 - 41
1). Pusat
Sesuai dengan Tupoksi Pusat, maka Kegiatan Pengendalian Vektor (PV) lebih
diutamakan pada kegiatan penetapan kebijakan Pengendalian Vektor, Penyusunan
standarisasi, modul juklak juknis, Monitoring dan evaluasi Pengendalian Vektor
Nasional, serta Bimbingan teknis Pengendalian Vektor Nasional.
2). Provinsi
Di Tingkat Propinsi, kegiatan Pengendalian Vektor adalah : pelaksanaan kebijakan
Nasional Pengendalian Vektor, merencanakan kebutuhan alat, bahan dan operasional
PV, Monev PV, Bintek PV ke kabupaten.
3). Kabupaten
Otonomi daerah memberikan peran yang lebih luas kepada Kabupaten untuk secara aktif
dan mandiri melakukan kegiatan PV di wilayahnya sesuai dengan kondisi spesifik
lokal daerah. Untuk itu selain melaksanakan juklak/juknis dan pedoman, merupakan
tugas kabupaten untuk merencanakan dan mengadakan alat, bahan operasional PV,
Monev kegiatan PV , Bintek kegiatan PV di Puskesmas.
4). Puskesmas
Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan bertugas menjaga kesinambungan
kegiatan PV oleh masyarakat di wilayahnya, menggerakkan peran serta masyarakat
melalui kader, tokoh masyarakat, serta melakukan kegiatan PV secara langsung di
masyarakat.
b. Operasional Pengendalian Vektor
1). Pengabutan (fogging/ULV)
Pelaksana : Petugas dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas dan tenaga lain yang
telah dilatih.
Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit
Sasaran : Rumah dan tempat-tempat umum
Insektisida : Sesuai dengan dosis42 - Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan
PL; Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2
Alat : Mesin fog atau ULV
Cara : Pengasapan/ULV dilaksanakan 2 siklus dengan interval satu minggu (petunjuk
fogging terlampir)
2). Pemberantasan sarang nyamuk
Pelaksana : Masyarakat di lingkungan masing-masing
Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit dan wilayah sekitarnya dan merupakan satu
kesatuan epidemiologis
Sasaran : Semua tempat potensial bagi perindukkan nyamuk : tempat penampungan
air,barang bekas ( botol , pecahan gelas,ban bekas, dll) lubang pohon/tiang
pagar/pelepah pisang, tempat minum burung, alas pot, dispenser, tempat
penampungan air di bawah kulkas, dibelakang kulkas dsb, di rumah/bangunan
dan tempat umum.
Cara : Melakukan kegiatan 3 M plus. (disesuaikan dengan lokal spesifik daerah
terjangkit).
Contoh :
- Untuk daerah sulit air PSNnya tidak menguras, tetapi larvasidasi, ikanisasi, dll).
- Untuk daerah tandus tidak mengubur namun diamankan agar tidak menjadi tempat
penampungan air.
- Untuk daerah mudah mendapatkan air menguras dengan sikat dan sabun
- PLUS: membakar obat nyamuk, menggunakan repelen, kelambu, menanam pohon
sereh, zodia, lavender,geranium, pasang, obat nyamuk semprot, pasang kasa dll.
3). Larvasidasi
Pelaksana : Tenaga dari masyarakat dengan bimbingan petugas puskesmas/dinas
kesehatan kabupaten/kota
Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit
Sasaran : Tempat penampungan air (TPA) di rumah dan tempat-tempat
umumKementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman
Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2 - 43
Insektisida : Sesuai dengan dosis. Disesuaikan dengan sirkulasi pemakaian insektisida
instruksi Dirjen PP dan PL
Cara : Larvasidasi dilaksanakan diseluruh wilayah KLB

C. PENANGGULANGAN KASUS
1. Penanggulangan fokus (PF)
a. Pengertian :
adalah kegiatan Pemberantasan nyamuk penular Chikungunya yg dilaksanakan dengan
melakukan pemberantasan sarang nyamuk Chikungunya, larvasidasi, penyuluhan, dan
pengabutan panas (termal fog)/ pengabutan dingin (Ultra Low Volume / ULV)
menggunakan insektisida.
b. Tujuan
Untuk membatasi penularan Demam Chikungunya dan mencegah terjadinya KLB meluas ke
lokasi lainnya. Kegiatan dilakukan di tempat tinggal penderita Demam Chikungunya dan
rumah / bangunan sekitar dan tempat-tempat umum yang berpotensi menjadi tempat
penularan Chikungunya lebih lanjut.
c. Kriteria PF
Bila pada hasil PE ditemukan penderita Chikungunya lainnya disekitar kasus pertama,
dengan melakukan PSN masal dan fogging.
d. Langkah-langkah pelaksanaan kegiatan
1). Petugas Puskesmas setelah menerima laporan adanya kasus segera mencatat di buku
harian dan mempersiapkan peralatan untuk melaksanakan kegiatan penyelidikan
epidemiologi (PE).
2). Petugas segera melapor ke Lurah dan Ketua RT/RW setempat bahwa di wilayahnya
ada penderita/tersangka Chikungunya dan akan dilaksanakan langkah-langkah
penanggulangan KLB.
3). Dalam melaksanakan kegiatan sebaiknya didampingi oleh Ketua RT/ Kader/Bidan
desa atau tokoh masyarakat lainnya.
4). Petugas melakukan wawancara dengan keluarga penderita untuk mengetahui
ada/tidaknya penderita demam disertai nyeri sendi 44 - Kementerian Kesehatan RI
2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2
lainnya saat itu dan dalam kurun waktu 1 minggu sebelumnya. Jika ditemukan penderita
lainnya yang demam disertai nyeri sendi tanpa sebab yang jelas, kemudian dilakukan
pemeriksaan terhadap tanda-tanda dari Chikungunya.
5). Melakukan pemeriksaan jentik pada tempat penampungan air (TPA) serta benda-
benda lainnya yang dapat menampung air baik di dalam maupun di luar rumah.
Hasilnya kemudian dicatat dalam Laporan PE.
6). Hasil PE dilaporkan kepada Kepala Puskesmas dan selanjutnya Kepala Puskesmas
melaporkan hasil dan rencana penanggulangan kepada Lurah dan Camat.
7). Hasil positif : jika ditemukan 1 penderita/tersangka Chikungunya lainnya dan
ditemukan jentik (house index) lebih dari 5%.
8). Hasil negatif : jika tidak ditemukan penderita/tersangka Chikungunya lainnya dan
house index < 5%, atau dapat dikatakan kemungkinan sumber penularan dari tempat
lain.
9). Secara operasional sebaiknya dilakukan pengambilan sampel darah 5-10 orang untuk
memastikan diagnosa.
10).Untuk memutuskan rantai penularan maka dilakukan:
• Penyuluhan intensif
• Penggerakan masyarakat untuk melakukan gerakan PSN 3M Plus
• Larvasidasi massal, yaitu penapuran bubuk larvasida secara serentak di seluruh
wilayah/daerah tertentu disemua tempat penampungan air baik terdapat jentik
maupun tidak ada jentik di seluruh bangunan/rumah, termasuk sekolah, tempat
ibadah dan kantor.
• Fogging fokus 2 siklus dengan interval 1 minggu.
Kegiatan penanggulangan tersebut diatas harus dilakukan segera secara bersamaan, sambil
menunggu hasil pemeriksaan laboratorium serologis untuk memastikan
etiologinya.Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman
Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2 - 45
e. Bagan Penyelidikan Epidemiologi
Bagan Penanggulangan Fokus
(Penanggulangan Penderita Chikungunyadi Lapangan)
Ditemukan 1 atau lebih penderita/tersangka Chikungunya lainnya dan ditemukan jentik (house
index) lebih dari 5%.46 - Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman
Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2
1. Form Penyelidikan Epidemiologis ( PE)
2. Form Pemantauan Jentik Berkala ( PJB )
BAB VI
LAMPIRANKementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman Pengendalian
Demam Chikungunya, Edisi 2 - 47
Form PE FORMULIR PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGIS (PE) Nama penderita :
………………………………………………………………….…........…... Nama KK :
…………………………………………………………………..…..........… Alamat :
…….………………………………………………………….……..........… RT:.………….. RW :
……..……............ TELP:....................................... Kelurahan/Desa :
............................................................................................... Kecamatan :
............................................................................................... Kabupaten/ Kota :
............................................................................................... Tabel Pemantauan Di Sekitar Rumah
Penderita (Radius ± 100 meter) No. Nama KK Pemeriksaan Penderita Demam/ Tersangka
Demam Chikungunya Pemeriksaan Jentik (+/-) Nama Penderita Umur Demam Ruam / bercak
kemerahan di kulit Nyeri sendi Hasil RDT Kesimpulan ( * ) ( *) Kasus Tersangka (suspek)/
Kasus Probabel atau Kasus Konfirm Kesimpulan: - Perlu pengasapan (fogging) Ya ** Tidak **)
Ya : Jika ada penderita Kasus Konfirm Demam Chik lainnya (Min 1 kasus) atau Ada Kasus
Tersangka/Probabel (≥ 3 kasus), dan ada jentik (≥5%) ………., ........................20 .....
Mengetahui Kepala Puskesmas, Petugas pelaksana (.................................)
(..............................................) 48 - Kementerian Kesehatan RI 2012-Ditjen PP dan PL;
Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2
Form PJB FORMULIR PEMANTAUAN JENTIK BERKALA REKAPITULASI HASIL
PEMANTAUAN JENTIK KECAMATAN/WILAYAH KERJA PUSKESMAS :
………………………………… KABUPATEN/KOTA:
.......................................................................................... No. Tanggal pemeriksaan jentik
Desa/Kelurahan yang diperiksa Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa Jumlah
rumah/bangunan yang positif jentik ABJ* desa/ kelura han (%) * ABJ (Angka Bebas Jentik)
= Jumlah rumah/bangunan yang tidak ditemukan (bebas) jentik dibagi jumlah rumah/ bangunan
yang diperiksa, dikalikan 100%. ..................., ........................20... Kepala
Puskesmas........................ (.......................................................)Kementerian Kesehatan RI
2012-Ditjen PP dan PL; Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, Edisi 2 - 49
KEPUSTAKAAN
Depkes RI. 2003. Buku Pencegahan Dan Penanggulangan Demam Dengue dan Demam
Berdarah Dengue (Terjemahan WHO Regional Publication SEARO No.29). Jakarta
Depkes RI. 2005. Buku Pencegahan Dan Pemberantasan CHIKUNGUNYA; Subdit
Arbovirosis, Dit PPBB, Ditjen PP&PL. Jakarta.
Depkes RI. 2004. Buku Modul Entomologi, Subdit. Pengendalian Vektor. Jakarta.
Depkes RI. 2007 a. Buku Pedoman Jumantik, Subdit. Arbovirosis. Jakarta.
Depkes RI. 2007 b. Buku Pedoman Survei Entomologi Demam Berdarah Dengue,Dit PPBB,
Ditjen PP & PL. Jakarta.
Depkes, 2007 c. Pedoman Pengendalian Chikungunya. Ditjen PP dan PL, Depkes.
Direktorat Jenderal PP dan PL. Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. 2011.
Direktorat Jenderal PP dan PL, 2010. Peraturan Menteri kesehatan R.I No.
1501/Menkes/Per/X/2010 Tentang Jenis Penyakit Menular tertentu Yang Dapat
Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. 2011.
Kemenkes. 2010. Permenkes nomor : 374/Menkes/Per/III/2010 tentang Pengendalian
Vektor. Jakarta
PAHO/CDC, 2011. Preparedness and Response for Chikungunya Virus; Introduction in the
Americas. PAHO/CDC
SEARO, 2009. Guidelines for Prevention and Control of Chikungunya Fever. WHO-
SEARO 2009.

ISBN 978-602-235-152-8

Anda mungkin juga menyukai