Anda di halaman 1dari 28

KONSEP PENATALAKSANAAN TERAPI MODALITAS

A. PENGERTIAN
Terapi modalitas adalah terapi yang utama dalam keperawatan jiwa. Terapi
ini diberikan dalam upaya mengubah perilaku pasien dan perilaku yang maladaptive
menjadi perilaku adaptif ( Kusumawati dan Hartono, 2010).
Terapi modalitas keperawatan jiwa dilakukan untuk memperbaiki dan
mempertahankan sikap klien agar mampu bertahan dan bersosialisasi dengan
lingkungan masyarakat sekitar dengan harapan klien dapat terus bekerja dan tetap
berhubungan dengan keluarga, teman, dan system pendukung yang ada ketika
menjalani terapi. (Nasir dan Muhits, 2011).
Terapi modalitas bertujuan agar pola perilaku dan kepribadian seperti
ketrampilan coping gaya komunikasi dan tingkat harga diri secara bertahap dan
berkembang. Mengingat bahwa klien dengan gangguan jiwa membutuhkan
pengawasan yang ketat dan lingkungan suffortif yang aman. Beberapa terapi
keperawatan didasarkan ilmu dan seni keperawatan jiwa.
Terapi keperawatan jiwa adalah berbagai alternative terapi yang dapat
diberikan pada klien dengan gangguan jiwa.

B. PERAN PERAWAT ( DALAM TERAPI MODALITAS)


Secara umum peran perawat jiwa dalam melaksanakan terapi modalitas
bertindak sebagai leader, fasilitator, evaluator, dan motivator. ( Nasir dan Muhits,
2011). Tindakan tersebut meliputi :
1. Mendidik dan mengorientasi kembali seluruh anggota keluarga misalnya
perawat menjelaskan mengapa komunikasi itu penting, apa visi seluruh keluaga,
kesamaan harapan apa yang dimiliki semua anggota keluarga.
2. Memberikan dukungan kepada klien serta system yang mendukung klien untuk
mencapai tujuan dan usaha untuk berubah. Perawat meyakinkan bahwa
keluarga klien mampu memecahkan masalah yang dighadapi anggota
keluarganya.
3. Mengkoordinasi dan mengintegrasi sumber pelayanan kesehatan. Perawat
menunjukkan institusi kesehatan mana yang harus bekerjasama dengan
keluarga dan siapa yang bisa diajak konsultasi.
4. Member pelayanan prevensi primer, sekunder, dan tersier melalui penyuluhan,
perawatan dirumah, pendidikan dan sebagainya. Bila ada anggota keluarga
yang kurang memahami perilaku sehat di diskusikan atau bila ada keluarga
yang membutuhkan perawatan

C. JENIS-JENIS TERAPI MODALITAS


1. Psikoterapi
Psikoterapi adalah suatu cara pengobatan terhadap masalah emosional
seorang pasien yang dilakukan oleh seorang yang terlatih dalam hubungan
professional secara sukarela. Psikoterapi dilaksankan agar klien memahami
tingkah lakunya dan menganti tingkah laku yang lebih konstruktif melalui
pemahaman-pemahaman yang selama ini kurang baik dan cendrung merugikan
baik diri sendiri, orang lain maupun lingkungan sekitar.
2. Psikoanalisis Psikoterapi
Terapi ini dikembangkan oleh Sigmud Freud, seorang dokter yang
mengembangkan “talking care” . Tetapi ini didasarkan pada keyakinan bahwa
seseorang terapis dapat menceritakan tentang masalah pribadinya. Perubahan
perilaku dapat terjadi jika klien menemukan kejadian-kejadian yang disimpan
dalam bawah sadarnya.
a. Tujuan terapi psikoanalisis adalah sebagai berikut :
 Menurunkan rasa takut klien
 Mengembalikkan proses pikir yang luhur
 Membantu klien menghadapi realitas
 Menurunkan kecemasan
 Memperbaiki komunikasi interpersonal

b. Implementasi psikoanalisis adalah sebagai berikut:


 Melibatkan dua orang, interaksi yang terbentuk bersifat rahasia dan
klien mendiskusikan aspek kehidupannya yang paling pribadi bukan
mendiskusikan hubungan nya dengan orang lain
 Klien menceritakan pikiran, perasaan, pengalaman, dan persepinya.
Terapis mendengar, mendorong, dan mengklarifikasi
 Interaksi berlangsung lama , klien menemukan hal baru tentang diri
dan melakukan pendekatan pada dunia, berusaha untuk memadukan
dengan pemahamn baru
 Hubungan antara terapis dan klien adalah hubungan berseri yang
terencana untuk mengubah perilaku klien.
3. Psikoterapi Individu
Psikoterapi individu merupakan bentuk terapi yang menekankan pada
perubahan individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara berfikir, dan
perilakunya. Hal ini bertujuan agar klien mampu memahamidiri dan perilaku
dirinya sendiri, membuat perubahan personal atau berusaha lepas dari rasa
sakit hati dan ketidakbahagiaan. (Videbeck Sheila L, 2008 dalam Nasir dan
Muhits, 2011). Kunci dari terapi individu adalah bagaimana klien dapat
mengungkapkan perasaannya, dapat mengungkapkan perilaku yang
diperankannyadan menilainya sesuai dengan kondisi realitas. Esensi dari
psikoterapi individu mencakup seluruh aspek kehidupan yang menjadi beban
psikisnya. Hal ini memungkinkan dalam proses psikoterapi individu maslah yang
terjadi pada klien akan dieksploitasioleh terapis sampai pada titik permasalahan
yang krusial dan didiskusikan sesuai dengan situasi , kondisi, serta kekuatan
yang dimiliki klien.
Hubungan antara klien dan terapis yang harmonis merupakan kunci
keberhasilan dalam psikoterapi individu sehingga membutuhkan ketrampilan
terapis yang handal dan memuasakn klien.

4. Terapi Modifikasi Prilaku


Terapi prilaku didasarkan pada keyakinan bahwa prilaku dipelajari,dengan
demikian perilaku yang tidak diinginkan atau maladaptive dapat diubah menjadi
perilaku yang diinginkan atau adaptif.
Proses mengubah perilaku terapi ini adalah dengan menggunakan teknik
yang disebut conditioning yaitu suatu proses dimana klien belajar mengubah
perilaku.Cara melakukan conditioning adalah sebagai berikut :
a. Reciprocal inhibition
Cara mengurangi ansietas yang dirasakan dengan mengendalikan situasi
yang dapat meredakan ansietas yang dirasakan.
b. Positive conditioning
Dengan memberikan hadiah(reward) pada setiap prilaku yang diinginkan
dan tidak memberikan reward atau menghukum pada perilaku yang tidak
diinginkan.
c. Eksperimental extinction
Yaitu upaya menurunkan suatu perilaku dengan cara tidak memberikan
reward berulang-ulang.

 Penerapan teori perilaku ini adalah sebagai berikut :


a. Pendekatan terapis kepada klien bersifat objektif,tidak menghakimi.
b. Klien diyakinkan bahwa reaksi meyakinkan akan pulih.
c. Informasi yang tidak akurat dikoreksi segera.
d. Klien dikuatkan untuk dapat mengendalikan perilakunya.
 Kriteria evaluasi :
a. Menurunnya perilaku maladaptif.
b. Meningkatnya produktifitas kerja
c. Membaiknya hubungan interpersonal
d. Meningkatnya kemampuan penyelesaian masalah yang disebabkan oleh
stressor lingkungan dan situasi.

5. Terapi Okupasi
5.1. Pengertian
Terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi seseorang
untuk melaksanakan tugas tertentu yang telah ditetapkan.Terapi ini berfokus
pada pengenalan kemampuan yang masih ada pada seseorang,pemeliharaan
dan peningkatan bertujuan untuk membentuk seseorang agar mandiri,tidak
tergantung pada pertolongan orang lain.
5.2. Tujuan terapi okupasi
a. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi mental
 Menciptakan kondisi tertentu sehingga klien dapat
mengembangkan kemampuannya untuk dapat berhubungan
dengan orang lain dan masyarakat sekitarnya.
 Membantu melepaskan dorongan emosi secara wajar.
 Membantu menemukan kegiatan sesuai bakat dan kondisinya.
 Membantu dalam pengumpulan data untuk menegakkan diagnose
dan terapi.
b. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fisik,meningkatkan
gerak,sendi,otot,dan koordinasi gerakan.
c. Mengajarkan ADL seperti makan,berpakaian,BAB,BAK,dan lain
sebagainya.
d. Membantu klien menyesuaikan diri dengan tugas rutin di rumah
e. Meningkatkan toleransi kerja,memelihara dan meningkatkan kemampuan
yang dimiliki.
f. Menyediakan berbagai macam kegiatan agar dicoba klien untuk
mengetahui kemampuan bersosialisasi,bakat,minat dan potensinya.
g. Mengarahkan minat da hobi untuk dapat digunakan setelah klien kembali
di lingkungan masyarakat.

5.3. Peranan Aktivitas dalam terapi


Aktivitas dalam okupasi terapi hanya media,tidak untuk menyembuhkan.Peranan
terapi tersebut sebagai penghubung antara batin klien dengan dunia
luar,berhubungan dengan tujuan pekerjaan dan dapat meningkatkan
kemampuan klien bersosialisasi dalam kelompok terapi.

5.4. Indikasi terapi Okupasi


 Klien dengan kelainan tingkah laku disertai dengan kesulitan
berkomunikasi
 Ketidakmampuan menginterrpretasikan rangsangan sehingga reaksi
terhadap rangsangan tidak wajar

 Klien yang mengalami kemunduran

 Klien dengan cacat tubuh disertai dengan gangguan kepribadian

 Orang yang mudah mengekspresikan perasaan melalui aktifitas

 Orang yang mudah belajar sesuatu dengan praktik langsung daripada


membayangkan

5.5. Karakteristik Terapi Okupasi

 Mempunyai tujuan yang jelas

 Mempunyai arti tertentu bagi klien

 Harus mampu melibatkan klien walau minimal


 Dapat mencegah bertambah buruknya kondisi

 Dapat memberi dorongan hidup

 Dapat dimodifikasi

 Disesuaikan dengan minat

5.6. Jenis Kegiatan

Jenis kegiatan dalam terapi okupasi antara lain olahraga, permainan,


kerajinan tangan, seni, rekreasi, diskusi dan perawatan kebersihan diri

5.7. Proses terapi okupasi


 Pengumpulan data,
meliputi data tentang identitas klien, gejala, diagnosis, perilaku dan
kepribadian klien. Misalnya klien mudah sedih, putus asa, marah.
 Analisa data dan identifikasi masalah
Dari data yang telah dikaji ditegakkan diagnosa sementara tentang
masalah klien maupun keluarga.
 Penentuan tujuan dan sasaran
Dari diagnosa yang ditegakkan dapat dibuat sasaran dan tujuan yang
ingin dicapai.
 Penentuan aktivitas
Jenis kegiatan yang ditentukan harus disesuaikan dengan tujuan terapi.
 Evaluasi
Evaluasi kemampuan klien, inisiatif, tanggungjawab, kerjasama, emosi
dan tingkah laku selama aktivitas berlangsung. Dari hasil evaluasi
rencanakan kembali kegiatan yang sesuai dan akan dilakukan. Evaluasi
dilakukan secara periodik, misalnya 1 minggu sekali dan setiap selesai
melaksanakan kegiatan.

5.8. Pelaksanaan Terapi Okupasi


Terapi okupasi dapat dilakukan secara individu maupun kelompok tergantung
dari kondisi klien dan tujuan terapi.
a. Metode
 Individual: dilakukan untuk klien baru masuk, klien yang belum
mampu berinteraksi dengan kelompok dan klien lain yang sedang
menjalani persiapan aktivitas.
 Kelompok: klien dengan masalah sama, klien yang lama dan yang
memiliki tujuan kegiatan yang sama.
b. Waktu
Terapi dilakukan 1-2 jam setiap sesi baik metode individual maupun
kelompok dengan frekuensi kegiatan per sesi 2-3 kali dalam seminggu.
Setiap kegiatan dibagi menjadi 2 bagian (pertama: ½-1 jam, kedua: 1-2
jam)

6. Terapi Lingkungan
6.1. Pendahuluan
Terapi lingkungan “Milieu terapi” adalah suatu manipulasi ilmiah pada
lingkungan yang bertujuan untuk menghasilkan perubahan pada perilaku pasien
dan untuk mengembangkan ketrampilan emosional dan sosial (Stuart-
sundeen,1991) sedangkan Sedangkan menurut Suliswati (2005) dalam Direja
2011, terapi lingkungan merupakan keadaan lingkungan yang ditata untuk
menunjang proses terapi, baik fisik, mental maupun sosial agar dapat
membantu penyembuhan dan pemulihan klien.
6.2. Tujuan Terapi Lingkungan
Terapi lingkungan merupakan salah satu bentuk terapi klien
gangguan jiwa yang dapat membantu efektifitas pemberian asuhan keperawatan
jiwa. Schultz & Videbeck (1998) menyebutkan bahwa pemindahan klien dan
lingkungan yang terapeutik akan memberikan kesempatan untuk istirahat
memulihkan diri, sewaktu untuk berfokus pada perkembangan dalam hal
kekuatan dan kesepakatan belajar, agar klien mampu mengidentifikasi alternative
dan solusi masalah. Menurut Sabroms cit & Sudeen (1995) menyebutkan 2
tujuan yaitu:
1) Mengatur batasi gangguan perilaku dan perilaku maladaptif.
2) Mengajarkan kememampuan psikososial.
Untuk melakukan pembatasan terhadap perilaku yang maladaptif, perlu
ditekanan penggunaan terapi lingkungan dengan mengembangkan empat
keterampilan psikososial. (Abroms, 1995). Empat keterampilan tersebut
yaitu:
a. Orientation
Pencapaian orientasi dan kesadaran terhadap realita yg baik. Orientasi
tersebut berhubungan dengan pemahaman klien terhadap
orang, waktu,tempat dan situasi. Sedangkan terhadap realita dapat
dikuatkan melalui interaksi dan hubungan dengan orang lain.

b. Assetation

Kemampuan mengepresikan perasaan dengan tepat. Klien perlu


dianjurkan mengepresikan diri secara efektif dengan tingkah laku yang
dapat diterima masyarakat.

c. Accupation

Kemampuan klien untuk dapat memupuk percaya diri dan berprestasi


melalui ketrampilan. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan
aktifitas dalam bentuk yg positif dan disukai klien, misalnya
melukis,main musik, merangkai bunga dan lain sebagainya.

d. Recreation

Kemampuan menggunakan dan membuat aktifitas


menyenangkan,contoh menebak kata, senam dan jalan-jalan.

6.3 . Karakteristik Terapi Lingkungan


Jack Cit. Barry (1998) menyebutkan beberapa karakteristik dari terapi
lingkungan sebagai berikut :
1) Setiap interaksi merupakan suatu kesempatan untuk interfensi terapeutik.
2) Klien memikul tanggung jawab terhadap tingkah laku mereka sendiri.
3) Pemecahan masalah dicapai dengan diskus, neoisiasi dan consessus
dari pada hanya menggunakan beberapa gambaran dari para ahli.
4) Komunikasi terbuka dan langsung antar staf dan klien.
5) Klien didukung untuk berpartisifasi aktif dalam penanganan mereka sendiri
dan dalam membuat keputusan di unit tempat mereka dirawat.
6) Unit tetap sering melakukan komunikasi dan kontak dengan komunitas
keluarga serta jaringan sosial.
Dalam upaya menciptakan lingkungan yg terapeutik ada lima aspek yg
perlu di perhatikan yaitu :
1) Aspek Fisik

Menciptakan lingkungan fisik yg aman dan nyaman. Gedung


permanen, mudah di jangkau, lengakap dengan kamar tidur, ruang
tamu, ruang makan, kamar mandi dan wc. Struktur dan tatanan dalam
gedung di rancang sesuai dengan kondisi dan jenis penyakit serta
tingkat perkembangan klien. Misalnya: Ruang perawatan anak
didesain dengan gambar-gambar kartun atau idola anak-anak yg
berbeda dengan ruang dewasa.

2) Aspek Intelektual Klien

Tingkat intelektual klien dapat ditentukan melalui kejelasan


stimulasi dari lingkungan dan sikap perawat. Misalkan lingkungan
dengan warna biru dan hijau memberikan stimulasi ketenangan dan
keteduhan. Perawat harus memberikan stimulasi eksternal yang
positif sehingga kesadaran diri klien menjadi luas dan klien dapat
menerima kondisinya.

3) Aspek Sosial

Dalam aspek ini perawat mengembangkan pola interaksi yang


positif, hubungan psikososial yang menyenangkan dan menguatkan
ego klien. Oleh karena itu perawat perlu penggunaan teknik
komunikasi yang tepat sehingga perawat dapat menciptakan aspek
ini.

4) Aspek Emosional

Perawat harus menciptakan iklim emosional yang positif dengan


menunjukkan sikap yang tulus, jujur atau dapat dipercaya, bersikap
spontan dalam memenuhi kebutuhan klien, empati, peka terhadap
perasaan dan kebutuhan klien. Misal : saya tenang disini
5) Aspek Spiritual

Aspek ini ditunjukan untuk memaksimalkan manfaat dari


penggalaman, pengobatan dan perasaan damai bagi klien. Sehingga
perlu disedikan sarana ibadah seperti kitab suci dan ahli agama.

6.4 . Peran perawat dalam terapi


Perawat dalam memenuhi kebutuhan klien berdasarkan pada identitas
masalah baik kebutuhan fisik dan emosional. Perawat yang berperan sebagai
mothering care tidak hanya memenuhi kebutuhan klien tetapi juga memfasilitasi
klien agar mengembangkan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Dengan demikian klien dapat memahami dan menerima situasi
yang sedang dialaminya dan termotivasi untuk mengubah perilaku destruktif
menjadi konstruktif. Perawat juga membantu klien mengenal batasan dan
menerima risiko akibat perilakunya.Sebagai perencana perawat sebelumya
memberikan asuhan keperawatan terlebih dahulu harus melakukan pengkajian
untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang kondisi klien dan situasi yang
dibutuhkan. Sebagai coordinator perawat harus dapat menganut dan
mengorganisasi semua kegiatan supaya rencana yang ditetapkan dapat
dilaksanakan dengan baik. Perawat harus memberikan penjelasn kepada klien
dan keluarga agar mereka dapat berperan aktif dalam pelaksanaan asuhan
keperawatan.

7. Terapi Somatik
Terapi somatik adalah terapi yg diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa
dengan tujuan mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku adaptif dengan
melakukan tindakan dalam bentuk perlakuan fisik. Terapi somatik telah banyak
dilakukan pada klien dengan gangguan jiwa.
7.1. Restrain
Restrain adalah terapi dengan menggunakan alat-alat mekanik atau
manual untuk membatasi mobilitas fisik klien. Alat tersebut meliputi
penggunaan manset untuk pergelangan tangan atau kaki dan kain pengikat.
Restrain harus dilakukan pada kondisi khusus, hal ini merupakan intervensi
yang terakhir jika perilaku klien sudah tidak dapat diatasi atau dikontrol
dengan strategi perilaku maupun modifikasi lingkungan. Indikasi restrain
yaitu
1. Perilaku kekerasan yang membahayakan diri sendiri dan lingkungannya.
2. Perilaku agitasi yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan.

3. Klien yang mengalami gangguan kesadaran.

4. Klien yang membutuhkan bantuan untuk mendapatkan rasa aman dan


pengendalian diri.

5. Ancaman terhadap integritas tubuh berhubungan dengan penolakan


klien untuk istirahat, makan dan minum.

Prinsip intervensi restrain ini melindungi klien dari cedera fisik dan
memberikan lingkungan yang nyaman. Restrain dapat menyebabkan klien
merasa tidak dihargai hak asasinya sebagai manusia, untuk mencegah
perasaan tersebut perawat harus mengidentifikasi faktor pencetus pakah
sesuai dengan indikasi terapi, dan terapi ini hanya untuk intervensi yang
paling akhir apabila intervensi yang lain gagal mengatasi perilaku agitasi
klien.

7.2. Seklusi
Seklusi adalah bentuk terapi dengan mengurung klien dalam ruangan
khusus. Klien tidak dapat meninggalkan ruangan tersebut secara bebas.
Bentuk seklusi berupa pengurungan diruangan tidak terkunci sampai
pengurungan dalam ruangan terkunci dengan kasur tanpa seprei, tergnatung
dari tingkat kegawatan klien.
Indikasi seklusi yaitu klien dengan perilaku kekerasan yang
mebahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Kontraindikasi dari terapi
ini antara lain:
a. Risiko tinggi bunuh diri
b. Klien dengan gangguan sosial

c. Kebutuhan untuk observasi masalah medis.

d. Hukuman

7.3. Fototerapi
Fototerapi atau sinar adalah terapi somatic pilihan. Terapi ini diberikan
dengan memaparkan klien pada sinar terang (520 kali lebih terang dari sinar
ruangan). Klien disuruh duduk dengan mata terbuka 1,5 meter, di depan klien
diletakkan lampu flouresen spectrum luas setinggi mata. Waktu dan dosis ini
bervariasi pada tiap individu. Beberapa klien berespons jika terapi diberikan
pagi hari, sementara klien lain lebih bereaksi kalau dilakukan terapi pada
waktu sore hari. Semakin sinar terang, semakin efektif terapi per unit waktu.
Fototerapi berlangsung dalam waktu yang tidak lama namun cepat
menimbulkan efek terapi. Kebanyakan klien merasa sembuh setelah 3-5 hari
tetapi klien dapat kembali kambuh jika terapi dihentikan. Terapi ini
menurunkan 75% gejala depresi yang dialami klien depresi musim dingin atau
gangguan afektif musiman.Efek samping yang terjadi setelah dilakukan terapi
dapat berupa nyeri kepala, insomnia, kelelahan, mual, mata kering, keluar
sekresi dari hidung atau sinus dan rasa lelah pada mata.

7.4. Ect (Electro Convulsif Therapi)


a. Pengertian
ECT (Electro Convulsif Therapi) adalah suatu tindakan terapi dengan
menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik
maupun klonik.
Indikasi terapi kejang listrik adalah klien depresi pada psikosa manic
depresi, klien schizophrenia stupor kakatonik. ECT lebih efektif dari
antidepresan untuk klien depresi dengan gejala psikotik (waham,
paranoid).berikan antidepresan saja (imipramin 200-300 mg/hari selama 4
minggu) namun jika tidak ada perbaikan perlu dipertimbangkan tindakan ECT.
Mania (gangguan bipolar manic) juga dapat dilakukan ECT, terutama jika litium
karbonat tidak berhasil. Pada klien depresi memerlukan waktu 6-12x terapi
untuk mencapai perbaikan, sedangkan pada mania dan kakatonik
membutuhkan waktu lebih lama yaitu antara 10-20x terapi secara rutin. Terapi
ini dilakukan dengan frekuensi 2-3 hari sekali. Jika efektif, perubahan perilaku
mulai kelihatan setelah 2-6 terapi. Terapi ECT merupakan prosedur yang
hanya digunakan pada keadaan yang direkomendasikan.
b. Peran Perawat

Perawat sebelum melakukan terap ECT, harus mempersiapkan alat dan


mengantisipasi kecemasan klien dengan menjelaskan tindakan yang akan
dilakukan.

c. Persiapan Alat

 Konvulsator set (diatur intensitas dan timer)

 Tounge spatel/karet mentah dibungkus kain

 Kain kasa

 Cairan NACL secukupnya

 Spuit disposibel

 Obat SA injeksi 1 ampul

 Tensimeter

 Stetoskop

 Slim suiger

 Test konvulsator

d. Persiapan klien
 Anjurkan pasien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur
tindakan yang akan dilakukan.

 Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi


adanya kelainan yang merupakan kontraindikasi ECT

 Siapkan surat persetujuan tindakan

 Klien dipuasa 4-6 jam sebelum ECT

 Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau penjepit rambut yang
dipakai oleh klien

 Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi

 Jika ada tanda ansietas pada klien, berikan 5 mg diazepam IM 1-2 jam
sebelum ECT

 Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedative-


hiptonik, dan antikonvulsan harus dihentikan sehari sebelumnya. Litium
biasanya dihentikan beberapa hari sebelumnya karena beresiko organik.

 Premedikasi dengan injeksi SA (Sulfat Atropine) 0,6-1,2 mg setengah jam


sebelum ECT. Pemberian antikolinergik ini mengendalikan aritmia vagal
dan menurunkan sekresi gastrointestinal.

e. Pelaksanaan

a) Setelah alat sudah disiapkan, pindahkan klien ke tempat dengan permukaan


rata dan cukup keras. Posisikan hiper ekstensi punggung tanpa bantal,
pakaian dikendorkan, seluruh badan ditutup dengan selimut, kecuali bagian
kepala.

b) Berikan Natrium metoheksital (40-400 mg IV). Anestetik barbiturate ini


dipakai untuk menghasilkan koma ringan.
c) Berikan pelemas otot suksinilkolin atau Anectine (30-80 mg IV) untuk
menghindari kemungkinan kejang umum.

d) Kepala bagian temporal (pelipis) dibersihkan dengan alkohol untuk tempat


elektroda menempel.

e) Kedua pelipis tempat elektroda menempel dilapisi dengan kasa yang


dibasahi cairan NACL.

f) Penderita diminta untuk membuka mulut dan pasang spatel/karet yang


dibungkus kain dimasukkan dan penderita diminta untuk menggigit.

g) Rahang bawah (dagu) ditahan supaya tidak membuka lebar saat kejang
dengan dilapisi kain.

h) Persendian (bahu, siku, pinggang, lutut) ditahan selama kejang dengan


mengikuti gerakan kejang.

i) Pasang kedua elektroda di pelipis yang sudah dilapisi kain kasa basah
kemudian tekan tombol sampai timer berhenti dan dilepas

j) Menahan gerakan kejang sampai selesai kejang dengan mengikuti gerakan


kejang (menahan tidak boleh dengan kuat)

k) Bila berhenti nafas berikan bantuan nafas dengan rangsangan menekan


diafragma.

l) Bila banyak lender, dibersihkan dengan slim suiger.

m) Kepala dimiringkan.

n) Observasi sampai penderita sadar.

o) Dokumentasi kan hasilnya di kartu ECT dan catatan keperawatan.

f. setelah ETC
 Observasi dan awasi tanda vital sampai kondisi klien stabil.
 Jaga keamanan
 Bila klien sudah sadar bantu mengembalikan orientasi klien sesuai kebutuhan.
Biasanya timbul kebingungan pasca kejang 15-30 menit.

8. Terapi Aktivitas Kelompok


8.1. Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk sosial yang hidup berkelompok di mana satu
dengan yang lainnya saling berhubungan untuk memenuhi kebutuhan sosial.
Kebutuhan sosial yang dimaksud antara lain: rasa menjadi milik orang lain atau
keluarga, kebutuhan pengakuan orang lain, dan kebutuhan pernyataan diri.
Secara alamiah individu selalu berada dalam kelompok sebagi contoh
individu berada dalam satu keluarga. Dengan demikian pada dasarnya individu
memerlukan hubungan timbale balik, hal ini bisa mlalui kelompok.
Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh individu atau klien melalui
terapi aktifitas kelompok meliputi dukungan (support), pendidikan meningkatkan
pemecahan masalah, meningkatkan ubungan interpersonal dan juga
meningkatkan uji realitas (reality testing) pada klien dengan gangguan orientasi
realitas (Birckhead, 1989).Terapi aktifitas kelompok sering digunakan dalam
praktik kesehatan jiwa, bahkan merupakan hal yang penting dari ketrampilan
terapeutik dalam ilmu keperawatan. Terapi kelompok telah diterima profesi
kesehatan.
8.2. Pengertian Kelompok
Kelompok adalah kumpulan individu yang mempunyai hubungan antara
satu dengan yang lainnya, saling ketergantungan serta mempunyai norma yang
sama (Stuart & Sundeen, 1991:10).
Sedangkan kelompok terapeutik memberi kesempatan untuk saling
bertukar (sharing) tujuan, umpamanya membantu individu berperilaku destruktif
dalam hubungan dengan orang lain, mengidentifikasi dan memberikan
alternative untuk membantu mengubah perilaku destruktif menadi konstruktif.

Secara umum tuuan kelompok adalah sebagai berikut :


a. Setiap anggota kelompok dapat bertukar pengalaman
b. Berupaya memberikan pengalaman dan penelasan pada orang lain
c. Merupakan proses menerima umpan balik

8.3. Manfaat Terapi Aktivitas Kelompok


Terapi aktivitas kelompok mempunyai manfaat :
1) Terapeutik
a. Umum
 Meningkatkan kemampuan uji realitas (reality testing) melalui
komukasi dan umpan balik dengan atau dari orang lain
 Melakukan sosialisasi
 Membangkitkan motivasi untuk kemajuan fungsi kognitif dan afektif
b. Khusus
 Meningkatkan identitas diri
 Menyalurkan emosi secara konstruktif
 Meningkatkan keterampilan hubungan interpersonal atau sosial
c. Rehabilitasi
 Meningkatkan keterampilan ekspresi diri
 Meningkatkan keterampilan sosial
 Meningkatkan keterampilan empati
 Meningkatkan kemampuan/pengetahuan pemecahan masalah
d. Tujuan Terapi Aktifitas Kelompok
 Mengembangkan stimulasi kognitif
Tipe: Biblioterapy
Aktifitas: menggunakan artikel, sajak puisi, buku, surat kabar untuk
merangsang dan mengembangkan hubungan dengan orang lain.
 Mengembangkan stimulasi sensoris
Tipe: Musik, seni, menari
Aktifitas: menyediakan kegiatan, mengekspresikan perasaan.
Tipe: Relaksasi
Aktivitas: Belajar teknik relaksasi dengan cara nafas dalam.
 Mengembangkan orientasi realitas

Tipe: Kelompok orientasi realitas, kelompok validasi.

Aktivitas: Fokus pada orientasi waktu, tempat dan orang, benar,


salah.

 Mengembangkan sosialisai
Tipe: Kelompok remotivasi
Aktivitas: Mengorientasikan klien yang menarik diri, regresi.
Tipe: Kelompok mengingatkan
Aktivitas: Fokus pada mengingatkan untuk menetapkan arti positif

e. Kerangka Teoritis Terapi Aktivitas Kelompok


 Model fokal konflik
Menurut Whiteaker dan Liebermen’s terapi kelompok berfokus
pada kelompok daripada individu.

Prinsipnya:

Terapi kelompok dikembangkan berdasarkan konflik yang


tidak disadari, tugas terapis membantu anggota kelompok
memahami konflik dan mencapai penyelesaian konflik. Menurut
model ini pimpinan kelompok (Leader) harus memfasilitasi dan
memberikan kesempatan kepada anggota untuk mengekpresikan
perasaan dan mendiskusikan perasaan untuk penyelesaian masalah.

 Model komunikasi
Model komunikasi menggunkan prinsip-prinsip teori komunikasi
dan komunikasi terapeutik. Diasumsikan bahwa disfungsi atau
komunikasi tak efektif dalam kelompok akan menyebabkan
ketidakpuasan anggota kelompok, umpan balik tidak sekuat dari
kohesi atau keterpaduan kelompok menurun.
Leader mengajarkan kepada kelompok bahwa :

- Perlu berkomunikasi
- Anggota harus bertanggung jawab pada semua level, misalnya
komunikasi verbal, nonverbal, terbuka dan tertutup.
- Pesan yang disampaikan dapat dipahami orang lain
- Anggota dapat menggunakan teori komunikasi dalam
membantu satu dan yang lain untuk melakukan komunikasi
efektif.
Model ini bertujuan membantu meningkatkan keterampilan
interpersonal dan sosial anggota kelompok. Selain itu teori
komunikasi membantu anggota merealisasikan bagaimana mereka
berkomunikasi lebih efektif. Model interpersonal
Sullivan mengemukakan bahwa tingkah laku (pikiran,
perasaan, tindakan) digambarkan melalui hubungan interpersonal.
Contoh: Interaksi dalam kelompok dipandang sebagai proses sebab
akibat dari tingkah laku anggota lain.
Pada teori ini terapis bekerja dengan individu dan kelompok.
Anggota kelompok ini belajar dari interaksi antar anggota dan
terapis. Melalui ini kesalahan persepsi dapat dikoreksi dan perilaku
social yang efektif dipelajari.
Perasaan cemas dan kesepian merupakan sasaran untuk
mengidentifikasi dan merubah tingkah laku/perilaku.
Contoh: tujuan salah satu aktifitas kelompok untuk meningkatkan
hubungan interpersonal. Pada saat konflik interpersonal muncul,
leader menggunakan situasi tersebut untuk mendorong anggota
mendiskusikan perasaan mereka dan mempelajari konflik apa yang
membuat anggota merasa cemas dan menentukan perilaku apa
yang digunakan untuk menghindari atau menurunkan cemas pada
saat terjadi konflik
 Model psikodrama
Dengan model ini memotivasi anggota kelompok untuk
berakting sesuai dengan peristiwa yang baru terjadi atau peristiwa
yang pernah lalu. Anggota memainkan peran sesuai dengan yang
pernah dialami.
Contoh: Klien memerankan ayahnya yang dominan atau keras.
f. Jenis Terapi Aktivitas Kelompok
 Terapi Aktivitas kelompok Stimulasi Kognitif/Persepsi
Klien dilatih mempersepsikan stimulus yang disediakan atau
stimulus yang pernah dialami. Terapi aktivitas kelompok stimulus
kognitif/persepsi adalah terapi yang bertujuan untuk membantu klien
yang mengalami kemunduran orientasi, menstimuli persepsi dalam
upaya memotivasi proses berfikir dan afektif serta mengurangi perilaku
maladaftif.

Tujuan:

- Meningkatkan kemampuan orientasi-orientasi realita


- Meningkatkan kemampuan memusatkan perhatian
- Meningkatkan kemampuan intelektual
- Mengemukakan pendapat dan menerima pendapat orang lain
- Mengemukakan perasaannya

Karakteristik:

- Penderita dengan gangguan persepsi yang berhubungan dengan


nilai-nilai
- Menarik diri dari realitas
- Inisiasi atau ide-ide negative
- Kondisi fisik sehat,dapat berkomunikasi verbal, kooperatif dan
mau mengikuti kegiatan.

 Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Sensori


Aktivitas digunakan untuk memberikan stimulasi pada sensasi
klien, kemudian diobservasi reaksi sensori klien berupa ekspresi emosi
atau perasaan melalui gerakan tubuh, ekspresi muka, ucapan. Terapi
aktivitas kelompok untuk menstimulasi sensori pada penderita yang
mengalami kemunduran fungsi sensoris. Teknik yang digunakan
meliputi fasilitas penggunaan panca indera dan kemampuan
mengekspresikan stimulus baik dari internal maupun eksternal.

Tujuan :

- Meningkatkan kemampuan sensori


- Meningkatkan upaya memusatkan perhatian
- Meningkatkan kesegaran jasmani
- Mengekspresikan perasaan

 Terapi Aktivitas Kelompok Orientasi Realitas


Klien diorientasikan pada kenyataan yang ada disekitar klien yaitu
diri sendiri, orang lain yang ada disekeliling klien atau orang yang
dekat dengan klien, lingkungan yang pernah mempunyai hubungan
dengan klien dan waktu saat ini dan yang lalu.
Terapi aktivitas kelompok orientasi realitas adalah pendekatan
untuk mengorientasikan klien terhadap situasi nyata (realitas).
Umumnya dilaksanakan pada kelompok yang mengalami gangguan
orientasi terhadap orang, waktu dan tempat, Teknik yang digunakan
meliputi inspirasi represif, interaksi bebas maupun secara didaktik.

Tujuan:

- Penderita mampu mengidentifikasi stimulus internal (pikiran,


perasaan, sensasi somatic) dan stimulus eksternal (iklim, bunyi,
situasi alam sekitar).
- Penderita dapat membedakan antara lamunan dan kenyataan
- Pembicaraan penderita sesuai realitas
- Penderita mampu mengenal diri sendiri
- Penderita mampu mengenal orang lain, waktu dan tempat.

Karakteristik:

- Penderita dengan gangguan orientasi realita (GOR); seperti


halusinasi, ilusi, waham, dan depresionalisasi) yang sudah dapat
berinteraksi dengan orang lain.
- Penderita dengan GOR terhadap orang lain, waktu dan tempat
yang sudah dapat berinteraksi dengan orang lain

 Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi


Klien dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang ada
disekitar klien. Kegiatan sosialisasi adalah terapi untuk meningkatkan
kemampuan klien dalam melakukan interaksi social maupun berperan
dalam lingkungan social. Sosialisasi dimaksudkan memfasilitasi
psikoterapis

Untuk :

- Memantau dan meningkatkan hubungan interpersonal


- Memberi tanggapan terhadap orang lain.
- Mengekspresikan ide dan tukar persepsi.
- Menerima stimulus eksternal yang berasal dari lingkungan.

Tujuan umum:
Mampu meningkatkan hubungan interpersonal antar anggota
kelompok, berkomukasi saling memperhatikan, member tanggapan
terhadap orang lain, mengekspresikan ide serta menerima stimulus
eksternal.

Tujuan khusus:

- Penderita mampu menyebutkan identitasnya


- Menyebutkan identitas penderita lain
- Berespon terhadap penderita lain
- Mengikuti aturan main
- Mengemukakan pendapat dan perasannya

Karakteristik:

- Penderita kurang berminat atau tidak ada inisiatif untuk mengikuti


kegiatan ruangan
- Penderita sering berada ditempat tidur
- Penderita menarik diri, kontak social kurang
- Penderita dengan harga diri rendah
- Penderita gelisah, curiga, takut, dan cemas.
- Tidak ada inisiatif memulai pembicaraan, menjawab seperlunya,
jawaban sesuai pertanyaan
- Sudah dapat menerima trust, mau berinteraksi, sehat fisik.

 Penyaluran Energi
Penyaluran energy merupakan teknik untuk menyalurkan energy
secara konstruktif dimana memungkinkan pengembangan pola-pola
penyaluran energy seperti katarsis, peluapan marah dan rasa batin secara
konstruktif dengan tanpa menimbulkan kerugian pada diri sendiri maupun
lingkungan.

Tujuan:

- Menyalurkan energy, destruktif ke konstruktif.


- Mengekpresikan perasaan
- Meningkatkan hubungan interpersonal

g. Tahapan-tahapan dalam Terapi Aktifitas Kelompok


Menurut Yalom, yang dikutip Stuart & Sundeen, 1995. Menggambarkan
fase-fase dalam terapi aktivitas kelompok adalah sebagai berikut:

a) Pre kelompok
Dimulai dengan membuat tujuan, merencanakan siapa yang menjadi
leader, anggota tempat dan waktu kegiatan kelompok akan dilaksanakan
serta membuat proposal lengkap dengan media yang akan digunakan
beserta dana yang dibutuhkan.

b) Fase Awal
Pada fase ini terdapat 3 tahapan yang terjadi,yaitu orientasi,konflik atau
kebersamaan
Orientasi :
Anggota mulai mencoba mengembangkan system social masing-
masing,lender mulai menunjukan rencana terapi dan mengambil kontrak dan
anggota.
Konflik :
Merupakan masa sulit dalam proses kelompok,anggota mulai
memikirkan siapa yang berkuasa dalam kelompok,bagaimana peran
anggota,tugasnya dan saling ketergantungan yang akan terjadi.
Kebersamaan :
Anggota mulai bekerjasama untuk mengatasi masalah,anggota mulai
menemukan siapa dirinya.
c) Fase Kerja
Pada tahap ini kelompok sudah menjadi tim :

 Merupakan fase yang menyenangkan bagi pemimpin dan anggotanya


 Perasaa positif dan negative dapat di koreksi dengan hubungan saling
percaya yang telah terbina
 Semua anggota bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah di
sepakati.
 Tanggung jawab merata,kecemasan menurun,kelompok lebih stabil dan
realistis
 Kelompok mulai mengksporasi lebih jauh sesuai dengan tujuan dan
tugas kelompok dalam menyelesaikan tugasnya
 Fase ini di tandai dengan penyelesaian masalah yang kreatif

Petunjuk untuk leader pada fase ini :


 Intervensi leader di dasari pada keragka kerja teoritis, pengalaman,
personaliy dan kebutuhan kelompok serta anggotanya
 Membantu perkembangan keutuhan kelompok dan mempertahankan
batasanya, mendorong kelompok bekerja pada tugasnya.
 Intervensi langsung dittunjukan untuk menolong kelompok mengatasi
masalah khusus

d) Fase Terminasi
Ada 2 jenis terminasi akhir dan terminasi sementara.Anggota kelompok
mungkin mengalami terminasi premature,tidak sukses atau sukses.Terminasi
dapat menyebabkan kecemasan,regresi, dan kecewa.Untuk menghindari hal
ini terapis perlu mengevaluasi kegiatan dan menunjukan sikap betapa
bermaknanya kegiatan tersebut,mengajurkan anggota untuk member umpan
balik pada tiap anggota.Terminasi tidak boleh disangkai,tetapi harus tuntas
didiskusikan.Akhir terapi aktivitas kelompok harus di evaluasi,bias melalui pre
dan post test
h. Terapis
Terapis adalah orang yang dipercaya untuk memberikan terapi kepada klien
yang mengalami ganguan jiwa. Adapun terapis antara lain :

 Perawat
 Psikoater
 Psikolog
 Dokter
 Fisioterapis
 Speech terapis
 Occupationl terapis
 Social worker

Persyaratan dan kualitas terapis :


Menurut Globy, Kenneth Mark seperti yang dikutip Depkes RI menyatakan
bahwa persyaratan dan kualifikasi untuk terapi aktivitas kelompok adalah :
a) Pengetahuan pokok tentang pikiran-pikiran dan tingkah laku normal dan
patologi dalam budaya setempat
b) Memiliki konsep teoritis yang padat dan logis yang cukup sesuai untuk
dipergunakan dalam memahami pikiran-pikiran dan tingkah laku yang
normal maupun patologis
c) Memiliki teknis yang bersifat terapeutik yang menyatu dengan konsep-
konsep yang dimiliki melalui pengalaman klinis dengan pasien.
d) Memiliki kecakapan untuk menggunakan dan mengontrol institusi untuk
membaca yang tersirat dan menggunakannya secara empatis untuk
memahami apa yang dimaksud dan dirasakan pasien dibelakang kata-
katanya.
e) Memiliki kesadaran atas harapan-harapan sendiri, kecemasan dan
mekanisme pertahanan yang dimiliki dan pengaruhnya terhadap teknik
terapeutiknya
f) Harus mampu menerima pasien sebagai manusia utuh dengan segala
kekurangan dan kelebihannya.

i. Peran Perawat Dalam Terapi Aktifitas Kelompok


Peran perawat jiwa profesional dalam pelaksanaan terapi aktivitas
kelompok pada penderita skizofrenia adalah :
a) Mempersiapkan program terapi aktivitas kelompok
Sebelum melaksanakan terapi aktivitas kelompok, perawat harus
terlebih dahulu harus membuat proposal. Proposal tersebut akan dijadikan
panduan dalam pelaksanaan terapi aktivitas kelompok, komponen yang
dapat disusun meliputi : deskripsi, karakteristik klien, masalah keperawatan,
tujuan dan landasan teori, persiapan alat, jumlah perawat, waktu
pelaksanaan, kondisi ruangan serta uraian tugas terapis.
b) Tugas sebagai leader dan coleader
Meliputi tugas menganalisa dan mengobservasi pola-pola komunikasi
yang terjadi dalam kelompok, membantu anggota kelompok untuk
menyadari dinamisnya kelompok, menjadi motivator, membantu kelompok
menetapkan tujuan dan membuat peraturan serta mengarahkan dan
memimpin jalannya terapi aktivitas kelompok
c) Tugas sebagai fasilitator
Sebagai fasilitator, perawat ikut serta dalam kegiatan kelompok
sebagai anggota kelompok dengan tujuan memberi stimulus pada anggota
kelompok lain agar dapat mengikuti jalannya kegiatan.
d) Tugas sebagai observer
Tugas seorang observer meliputi : mencatat serta mengamati respon
penderita, mengamati jalannya proses terapi aktivitas dan menangani
peserta/ anggota kelompok yang drop out.
e) Tugas dalam mengatasi masalah yang timbul saat pelaksanaan terapi
Masalah yang mungkin timbul adalah kemungkinan timbulnya sub
kelompok, kurangnya keterbukaan, resistensi baik individu atau kelompok
dan adanya anggota kelompok yang drop out.
Cara mengatasi masalah tersebut tergantung pada jenis kelompok
terapis, kontrak dan kerangka teori yang mendasari terapi aktivitas tersebut.
f) Program antisipasi masalah
Merupakan intervensi keperawatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi keadaan yang bersifat darurat (emergensi dalam terapi)
yang dapat mempengaruhi proses pelaksanaan terapi aktivitas kelompok.
Dari rangkaian tugas diatas, peranan ahli terapi utamanya adalah
sebagai fasilitator. Idealnya anggota kelompok sendiri adalah sumber primer
penyembuhan dan perubahan.
Menurut Depkes RFI 1998, di dalam suatu kelompok, baik itu
kelompok terapeutik atau non terapeutik tokoh pemimpin merupakan pribadi
yang paling penting dalam kelompok. Pemimpin kelompok lebih
mempengaruhi tingkat kecemasan dan pola tingkah laku anggota kelompok
jika dibandingkan dengan anggota kelompok itu sendiri. Karena peranan
penting terapis ini, maka diperlukan latihan dan keahlian yang betul-betul
professional.
Stuart & Sundeen (1995) mengemukakan bahwa peran perawat
psikiatri dalam terapi aktivits kelompok adalah sebagai leader/co leader,
sebagai observer dan fasilitator serta mengevaluasi hasil yang dicapai
dalam kelompok.Untuk memperoleh kemampuan sebagai leader/co leader,
observer dan fasilitator dalam kegiatan terapi aktivitas kelompok, perawat
juga perlu mendapat latihan dan keahlian yang professional.
DAFTAR PUSTAKA

Ah. Yusuf, Rizky Fitryasari PK, Hanik Endang Nihayati. 2015. Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika
Depkes RI. 2000. Keperawatan Jiwa: teori dan Tindakan Keperawatan Jiwa. Jakarta:
Depkes RI.
Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Kusumawati, Faridan dan Yudi Hartono. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.
Nasir , Abdul dan Abdul Muhith. 2011. Dasar-dasar Keperawatan Jiwa: Pengantar Teori.
Jakarta: Salemba Medika.
Stuart, G.W. dan Sudden, S.J. 1995. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Terjemahan dari
Pocket Guide to Psyciatric Nursing, oleh Achir Yani S. Hamid. 3 rd end. Jakarta:
EGC.
Videbeck, S.L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai