“Mukhlisin”
A. Pengertian Semantik
Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris: semantiks) semula berasal dari bahasa
Yunani, sema (kata benda yang berarti “tanda”) atau “lambang". Kata kerjanya
adalah semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud dengan
tanda atau lambang di sini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistik, seperti
yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure yaitu yang terdiri dari
a. Komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa, dan
b. Komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu.
Secara umum semantik merupakan studi tentang makna-makna kata atau telaah makna.
Relevan dengan pernyataan Fatimah Djajasudarma bahwa semantik adalah ilmu yang
menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan
makna yang satu dengan yang lain. Jadi semantik mencakup makna kata, perkembangan,
dan perubahannya.
1. Fase Pertama
Aristosteles, sebagai pemikir Yunani yang hidup pada masa 384-322 SM, adalah
pemikir pertama yang menggunakan istilah “makna” lewat batasan pengertian kata
yang menurut Aristosteles adalah “satuan terkecil yang mengandung makna”. Dalam
hal ini, Aristosteles juga telah mengungkapkan bahwa makna kata itu dapat dibedakan
antara makna yang hadir dari kata itu sendiri secara otonom, serta makna kata yang
hadir akibat terjadinya hubungan gramatikal, bahkan plato (429-347 SM)
mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung makna-
makna tertentu. Hanya saja memang, pada masa itu batas antara etimologi, studi
makna, maupun studi makna kata, belum jelas.
2. Fase Kedua
Pertumbuhan semantik pada tahap ketiga telah ditandai dengan kehadiran karya
Michel Breal (1883), seorang kebangsaan Prancis, lewat artikelnya berjudul “Les Lois
Inteilectuelles du Langage”. Pada masa itu,meskipun dengan jelas Breal telah
menyebutkan semantik sebagai bidang baru dalam keilmuan, dia seperti halnya
Reisig, mesih menyebut semantik sebagai ilmu yang murni-historis. Dengan kata lain,
studi semantik pada masa itu lebih banyak berkaitan dengan unsur-unsur diluar
bahasa itu sendiri, misalnya bentuk perubahan makna, latar belakang perubahan
makna, hubungan perubahan makna dengan logika, psikologi maupun dengan kriteria
lainnya. Karya klasik Breal dalam bidang semantik pada akhir abad ke-19 itu
adalah Essai de Semantique.
3. Fase Ketiga
Pertumbuhan studi tentang makna pada fase ketiga ditandai dengan munculnya karya
filolog Swedia, yakni Gustaf Stern, berjudul Meaning and Change of Meaning, with
Special Referance to the Engllish Language(1931). Stern dalam kajian itu, sudah
melakukan studi makna secara empiris dengan bertolak dari satu bahasa, yakni
bahasa Inggris. Beberapa puluh tahun sebelum kehadiran karya Stern itu, di Jenawa
telah diterbitkan kumpulan bahan kuliah seorang pengajar bahasa yang sangat
menentukan arah perkembangan linguistik berikutnya, yakni buku Cours de
Linguistique Generale (1916), karya Ferdinand de Sausure.
Beberapa hal yang harus dicermati dalam studi teks dengan pendekatan semantik adalah
sebagai berikut :
1) Pendekatan semantik berkaitan langsung dengan pencarian makna teks-teks
bahasa
2) Dalam sebuah teks bahasa memuat unsur-unsur atau satuan-satuan, yakni : kata,
frase, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana. Inilah yang menjadi sasaran pencarian
makna dalam semantik.
3) Macam-macam makna, diantaranya :
a. Makna leksikal dan Gramatikal
Makna Leksikal adalah makna yang dimiliki, seperti ibu adalah orang yang
melahirkan kita. Makna gramatikal adalah makna yang baru ada setelah terjadi
proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi, atau kalimatisasi.
b. Makna kontekstual, adalah makna sebuah kata yang ada dalam sebuah konteks.
c. Makna referensial dan non-referensial; Makna referensial adalah makna yang
mengacu pada sesuatu.
d. Makna denotatif dan konotatif; Makna denotasi adalah makna dasar.
e. Makna konseptual dan asosiatif; Makna konseptual adalah makna yang dimiliki
oleh leksem atau kata terlepas dari konteks asosiasi apapun, sedangkan makna
asosiatif adalah makna yang dimiliki seubah leksem berkenaan dengan adanya
hubungan atas sesuatu yang berada di luar bahasa.
f. Makna deskriptif, makna yang dimiliki oleh suatu kata yang bersifat
menggambarkan sesuatu
g. Makna klasifikatoris, makna yang dimiliki oleh suatu kata yang bermaksud untuk
mengklasifikasikan atau menggabungkan sesuatu dengan seuatu lainnya.
4) Perkembangan makna
Dalam perkembangan makna mengalami perluasan makna, penyempitan makna, atau
pemindahan makna.
Menurut Izutsu bahwa memaknai kosa kata Alquran dengan pendekatan semantik
amatlah penting untuk mengetahui bagaimana Alquran memaknai Alquran itu sendiri.
Secara umum ada 7 kasus di mana setiap ayat secara jelas mengandung kepentingan
strategi bagi metode analisis semantik, diantaranya :
1) Definisi kontekstual; Sebuah ayat yang merupakan kejadian secara semantik
relevan, makna kata yang tepat dijelaskan secara konkret dalam konteksnya
dengan cara deskriptif verbal. Contohnya : kata al-birr pada QS. al-Baqarah: 177.
2) Sinonim substitutif; Apabila kata x diganti dengan kata y dalam ayat yang sama atau
dalam bentuk konteks verbal yang sama, entah itu tingkat aplikasinya yang lebih
luas atau lebih sempit dari y, maka penggantian itu perlu diteliti juga. Contoh: kata
ba’sa’ dan dharra’ dalam QS. al-A’raf: 94-95 yang posisinya diganti dengan kata
sayyi’ah.
3) Struktur semantik, istilah tertentu yang dijelaskan dengan lawan kata. Contoh: kasus
perbedaan kata antara khair dan hasanah dapat dipahami dengan melawankannya
terhadap syarr dan sayyi’ah.
4) Prinsip non-x, struktur semantik kata x yang masih samar diperjelas dengan
memandang bentuk negatif, bukan. Secara logika, bukan x berarti yang berada di
luar x. Contoh: kata istakbara dalam QS. al-Sajdah: 15 sebagai salah satu istilah
yang paling penting bagi evaluasi negatif dalam Al Qur’an.
5) Bidang semantik; Sebagai seperangkat hubungan semantik antara kata tertentu
dengan suatu bahasa.
6) Ungkapan paralelisme retorik juga memberikan gambaran adanya relasi
sinonimitas. Contoh: kata kafir, dzalim, fasiq dalam QS. al-Maidah: 44, 45, 47.
Ketiga kata tersebut ditempatkan secara semantik di mana satu sama lain berada
dalam tingkatan yang sama berdasarkan pengingkarannya terhadap apa yang telah
diwahyukan Tuhan.
7) Membedakan antara kata yang berkonteks religius dengan yang berkonteks non-
religius, ditandakan dengan sebuah kata. Contoh: kata kafir yang konotasinya bukan
dalam konteks religius, yakni dalam QS. al-Syu’ara: 18-19.
Nisaa dalam pengertian sebagai perempuan yang memiliki potensi untuk taqwa.
Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain jika kamu bertaqwa
(QS. Al Ahzab: 32).
Dilihat dari komponennya, nisaa berarti perempuan secara umum, tak peduli dia kaya atau
miskin, cantik atau tidak, baik bariman maupun kafir. Nisaa yang memiliki makna dasar
perempuan secara umum tersebut jika diterapkan pada sebuah ayat akan menampakkan
beberapa fungsi darinya, sebagai makna relasional. Seperti jika dilihat kombinasi pada ayat-
ayat di atas, akan menunjukkan adakalanya nisaa menunjukkan pada sosok mahkluk yang
memiliki potensi nafsu. Atau adakalanya dia adalah makluk sebagai oposisi biner dari kaum
laki-laki yang memiliki fungsi yang sama penting dalam proses regenerasi.
Maka, jika ditelaah secara komprehensif, akan diperoleh welthancauung Al-Quran tentang
kata nisaa dari segi semantis, yaitu kata yang digunakan dalam konteks sebagai oposisi
biner kaum laki-laki yang memiliki hak-hak dan kewajiban yang setara meski tak sama.
Begitupun dia, perempuan, memiliki signifikansinya sendiri dalam laju kehidupan dan memiliki
beberapa potensi-potensi, dan lain sebagainya.
Dari analisa semantik pada ayat-ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan kata
nisaa menunjukkan objek perempuan secara umum, dengan segala peran dan
kedudukannya. Antara lain:
Dalam ranah sosial. Yaitu perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk berkarir dan
mendapatkan reward atas apa yang telah dikerjakan, dan juga hak untuk mendapatkan harta
pusaka.
Dalam aspek alamiah. Yaitu sebagai penyempurna laki-laki dalam melaksanakan peran
reproduksi dan regenerasi yang “operasionalnya” dibatasi dengan siklus haidl. Disamping
perempuan sebagai objek yang memiliki potensi seks dan sesuatu yang indah yang
berpotensi untuk sangat disayangi dan dibanggakan.
Dalam ranah sepiritual. Yaitu, perempuan miliki potensi untuk menjadi hamba yang unggul
dengan sebuah ketakwaan.
Rujukan :
Aminuddin. 2001. Semantik (Pengantar Studi tentang Makna). Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
Tarigan, Henry Guntur. 1993. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.