Anda di halaman 1dari 85

PERNIKAHAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF AL-QURAN

(Kajian Sosio-Historis terhadap QS. al-Mumtahanah/60: 10)


Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Oleh:

Dede Rihana
1110034000111

JURUSAN ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 M/2017 H
iii

ABSTRAK
Maraknya praktik pernikahan beda agama di Indonesia dengan berbagai
problemnya, serta kondisi masyarakat Indonesia yang semakin global. Penelitian ini
bertujuan untuk menggali lebih dalam lagi terkait kandungan ayat pernikahan beda
agama yang terdapat dalam QS. Al-Mumtahanah ayat 10. Sebab, ayat ini merupakan
ayat yang melarang adanya pernikahan beda agama yang sebelumnya sempat terjadi
di kalangan sahabat Nabi SAW., yang kemudian memunculkan perdebatan hingga
saat ini. Sehingga, dengan mengkaji ayat ini lebih mendalam, diharapkan akan ada
titik temu perihal pernikahan beda agama ini.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat kepustakaan
(library research).Sumber data yang digunakan adalah sumber primer dan sekunder.
Sumber primer berasal dari al-Qura’an dan sumber sekunder berasal dari kitab-kitab
tafsir, di antaranya Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr karya Ibn ‘Âsyûr, Al-Jami’ li
Ahkâm al-Quran karya Imam al-Qurṯubi, Tafsir al-Azhar karya Hamka dan buku-
buku yang berkaitan dengan pembahasan yang diteliti.
Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa pada dasarnya terjadinya
pernikahan beda agama yang dilakukan pada masa Nabi SAW., memiliki orientasi
sebagai jalan dakwah Islam serta mengandung aspek sosial, dimana sebab pernikahan
beda agama merupakan salah satu bentuk dalam melindungi kaum lemah, yaitu para
wanita yang tertindas.

iii
iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Penulisan transliterasi huruf Arab-Latin dalam skripsi ini berpedoman pada

buku Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri Hidayatullah Jakarta tahun

2012/2013.

A. Aksara Arab dan Padanannya dalam Aksara Latin

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan


‫ا‬ tidak di lambangkan
‫ب‬ B Be
‫ت‬ T Te
‫ث‬ Ts te dan es
‫ج‬ J Je
‫ح‬ H h dengan garis di bawahi
‫خ‬ Kh ka dan ha
‫د‬ D De
‫ذ‬ Dz de dan zet
‫ر‬ R Er
‫ز‬ Z Zet
‫س‬ S Es
‫ش‬ Sy es dan ye
‫ص‬ S es dengan garis di bawahi
‫ض‬ D de dengan garis di bawahi
‫ط‬ T te dengan garis di bawahi
‫ظ‬ Z zet dengan garis di bawahi
koma terbalik ke atas mengahadap ke
‫ع‬ ‘
kanan

iv
v

‫غ‬ Gh ge dan ha
‫ف‬ F Ef
‫ق‬ Q Ki
‫ك‬ K Ka
‫ل‬ L El
‫م‬ M Em
‫ن‬ N En
‫و‬ W We
‫ه‬ H Ha
‫ء‬ ’ Apostrof
‫ي‬ Y Ye

B. Vocal

Vocal dalam bahasa Arab, seperti vocal bahasa Indonesia, terdiri dari

vocal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong.

Vocal tunggal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


‫ﹷ‬ A Fathah
‫ﹻ‬ I Kasrah
‫ﹹ‬ U Dammah

Vocal rangkap

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


‫ﹷي‬ Ai a dan i
‫ﹷو‬ Au a dan u

v
vi

C. Vocal Panjang (Madd)

Ketentuan alih aksara vocal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


‫ﺎ‬ Â a dengan topi di atas
‫ٮﻲ‬ Î i dengan topi di atas
‫ٮﻮ‬ Û u dengan topi di atas

D. Kata sandang

Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan

huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /1/, baik diikuti oleh

huruf syamsiyyah mauupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-

dîwân bukan ad-dîwân.

E. Syaddah (Tasydid)

Syaddah atau tasydid yang dalam system tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal

ini tidak berlaku jika huruf yang diberi tanda syaddah itu terletak setelah kata

sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secara lisan

berbunyi ad-darûrah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”,

demikian seterusnya.

F. Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat kata

yang berdirisendiri, maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf /h/

vi
vii

(lihat contoh 1 di bawah ini). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah

tersebut diikuti oleh kata sifat (na’at) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta

marbûtah tersebut diikuti kata benda (isim), maka huruf tersebut dialih

aksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Bahasa


1 ‫طﺮﯾﻘﺔ‬ Tarîqah
2 ‫اﻟﺠﺎﻣﻌﺔ اﻹﺳﻼﻣﯿﺔ‬ al-jâmi'ah al-islamiyyah
3 ‫وﺣﺪة اﻟﻮﺟﻮد‬ wahdat al-wujûd

vii
viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, tiada kata yang pantas terungkap pada awal pengantar ini,
selain ungkapan rasa syukur sedalam-dalamnya kehadirat Allah, Tuhan yang telah
memberikan rahmat dan karunia kepada penulis, yang telah memberikan kasih sayang
berupa nikmat sehat, sehingga dengan izin dan kuasa-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang sangat sederhana ini. Merupakan suatu anugerah
terindah, rasa lega dan bahagia yang dirasakan penulis saat ini, karena luasnya kasih
sayang-Nya. Semoga apa yang telah penulis kerjakan ini, bermanfaat khususnya bagi
penulis dan bagi semua pembacanya.
Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada seorang tauladan yang
berjuang membawa umatnya dari kegelapan menuju terang, yakni Nabi Muhammad
SAW. yang telah memberikan tuntunan petunjuk jalan yang suci yang akan
menghantarkan kebahagiaan umatnya di dunia maupun di akhirat. Aamiin
Menyadari bahwa tulisan ini tidak hadir begitu saja namun telah banyak yang
ikut berkontribusi dalam penulisan ini, maka perlu kiranya penulis menyampaikan
rasa terima kasih secara khusus. Semoga segala kebaikan yang telah diberikan
menjadi amal tersendiri untuk mengumpulkan kita bersama seluruh umat Muhammad
di sisi Allah kalak di surga-Nya, Aamiin. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin,
beserta seluruh staf dekanat.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Quran dan
Tafsir Fakultas Ushuluddin, yang telah memberikan banyak masukan dalam
proses pembuatan proposal. Ibu Banun Binaningrum, M.Pd. selaku Sekretaris
Jurusan Ilmu al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin.

viii
ix

4. Bapak Muslih, M.Ag. selaku dosen pembimbing penulis yang sudah


meluangkan waktu untuk membantu dan memberikan masukan sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, khususnya Jurusan Ilmu al-Quran dan Tafsir yang telah
mentransfer ilmu pengetahuan serta pengalaman berharganya kepada penulis.
Semoga amal kebaikan Bapak dan Ibu Dosen dibalas dengan pahala yang
tidak terhingga. Aamiin
6. Pimpinan dan seluruh staf perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, perpustakaan Fakultas Ushuluddin, dan juga perpustakaan Iman
Jama’, sehingga membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada keluarga yang senantiasa mendukung secara moral maupun materil.
Terutama kepada kedua orang tua penulis yang tidak henti-hentinya
memberikan do’a, kasih sayang, semangat dan nasihat-nasihat kepada penulis
agar menjadi orang yang bertaqwa dihadapan Allah SWT. Tak lupa juga
penulis ucapkan terima kasih kepada adik dan kakak penulis yang bersedia
mendengar cerita dan keluh-kesah penulis.
8. Seluruh teman-teman seperjuangan yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu. Khususnya kepada Hani, Sa’adah, lelly, Ai, Syari, Fatwa, dan Danisi
yang selalu ada untuk penulis. Tak lupa juga penulis ucapkan terimakasih
kepada ka Nurul dan Hanif yang telah menyumbangkan ilmunya kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.
9. Kepada semua pihak, penyusun hanya dapat mendo’akan semoga segala
kebaikan semua diterima dan dibalas oleh Allah SWT. Aamiin.

ix
x

DAFTAR ISI

JUDUL ..........................................................................................................................i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN …………………………………... iii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................iv
ABSTRAK ..................................................................................................................v
PEDOMAN TRANSLITERASI ...............................................................................vi
KATA PENGANTAR ..............................................................................................vii
DAFTAR ISI ............................................................................................................viii
BAB PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ..........................................................................1


B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................7
D. Kajian Pustaka ........................................................................................7
E. Metode Penelitian ..................................................................................10
F. Sistematika Penulisan ............................................................................11
BAB II TINJAUAN UMUM SEPUTAR PERNIKAHAN

A. Pengertian dan Ketentuan Pokoknya......................................................13


B. Pernikahan Pra Islam..............................................................................18
C. Pernikahan dalam Islam.........................................................................24
D. Pernikahan Beda Agama........................................................................35
1. Pada Masa Rasulullah SAW................................................................37
2. Pernikahan di Indonesia ......................................................................37
BAB III PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM QS. AL-
MUMTAHANAH/60:10
A. Penafsiran Para Mufassir terhadap QS. Al-Mumtaahanah/60:
10............................................................................................................40

x
xi

B. Keterkaitan Ayat-ayat Pernikahan Beda Agama


..............………………........................................................................51
C. Pengaruh Pernikahan Beda Agama Terhadap Kehidupan Keluarga
……………………………………….................………………...........56
D. Relevansi Ayat Pernikahan Bede Agama dengan Realitas Status Sosial
Masyarakat Sekarang ………………………………………………… 60
BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan.............................................................................................70
B. Saran-saran........………………….............………………………........70
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................72

xi
DAFTAR ISI

JUDUL ..........................................................................................................................i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................................ii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................iii
ABSTRAK ..................................................................................................................iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................................v
KATA PENGANTAR ...............................................................................................vi
DAFTAR ISI .............................................................................................................vii
BAB PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ..........................................................................1


B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..............................................................10
D. Kajian Pustaka .......................................................................................10
E. Metode Penelitian ..................................................................................12
F. Sistematika Penulisan ............................................................................13
BAB II TINJAUAN UMUM SEPUTAR PERNIKAHAN

A. Pengertian dan Ketentuan Pokoknya......................................................15


B. Pernikahan Pra Islam..............................................................................20
C. Pernikahan dalam Islam.........................................................................26
D. Pernikahan Beda Agama........................................................................38
1. Pada Masa Rasulullah SAW................................................................41
2. Pernikahan di Indonesia ......................................................................41
BAB III PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM QS. AL-
MUMTAHANAH/60:10
A. Penafsiran Para Mufassir terhadap QS. Al-Mumtaahanah/60:
10............................................................................................................44

i
B. Pengaruh Pernikahan Lintas Agama Terhadap Kehidupan Rumah
Tangga ...................................................................................................55
C. Relevansi Ayat dengan Realitas Status Sosial Masyarakat
Sekarang.…………………………….................………………...........61
BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan.............................................................................................70
B. Saran-saran........………………….............………………………........70
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................72

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Quran adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad

saw. sebagai pedoman hidup bagi manusia dalam menata kehidupannya, agar

mereka memperoleh kebahagiaan lahir dan batin di dunia dan akhirat kelak.

Konsep-konsep yang ditawarkan al-Quran diyakini selalu relevan dengan

problema yang dihadapi manusia, karena al-Quran turun untuk berdialog dengan

setiap umat yang ditemuinya, sekaligus menawarkan pemecahan masalah terhadap

problema tersebut kapan dan dimanapun mereka berada. 1

Sebagai pedoman hidup manusia, pembicaraan al-Quran terhadap suatu

masalah sangat unik, tidak tersusun secara sistematis seperti halnya buku-buku

ilmu pengetahuan yang ditulis manusia. Bahkan dapat dikatakan bahwa al-Quran

itu adalah sebuah kitab yang tidak sistematis bila dilihat dari segi metodologi

ilmiah. Di samping itu, al-Quran juga sangat jarang menyajikan suatu masalah

secara rinci dan detail. Pembicaraan al-Quran terhadap suatu masalah pada

umumnya bersifat global, parsial dan seringkali menampilkan masalah dalam

prinsip pokok-pokoknya saja. 2 Keadaan demikian, sama sekali tidak mengurangi

nilai al-Quran. Sebaliknya, justru di sanalah terletak keunikan al-Quran yang tidak

dimiliki kitab-kitab lainnya, bahkan al-Quran menjadi objek kajian yang tidak

1
Muhammad Ghalib, Ahl al-Kitâb Makna dan Cakupannya, (Jakarta: Paramadina, 1998),
Cet. 1, h. 1
2
Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam al-Quran, Suatu Kajian Teologi dalam
Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 5.

1
2

pernah kering oleh para cendikiawan baik muslim maupun non muslim, sehingga

ia tetap akurat sejak diturunkannya empat belas abad yang lalu. 3

Dalam upaya memahami kandungan al-Quran, para ulama tafsir pada

umumnya menafsirkan ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam mushaf.

Namun dalam perkembangkan selanjutnya, muncul gagasan untuk mengungkap

petunjuk al-Quran terhadap suatu masalah tertentu dengan jalan menghimpun

seluruh atau sebagian ayat dari beberapa surah yang berbicara tentang topik yang

sama untuk kemudian dikaitkan satu ayat dengan ayat lainnya. Sehingga pada

akhirnya dapat diambil kesimpulan secara menyeluruh tentang masalah tersebut

menurut petunjuk al-Quran. 4

Allah SWT. menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan

yang saling membutuhkan pasangan. Kebutuhan akan pasangan tersebut dalam

Islam diatur melalui akad pernikahan. Pernikahan selain dapat mengatur

hubungan suami istri, juga memiliki tujuan melestarikan keturunan. Selain itu,

pernikahan mengakibatkan terjadinya hubungan saling mewarisi. Dengan

demikian, adanya ketentuan hukum atau perundang-undangan pernikahan sangat

dibutuhkan.

Allah SWT. menciptakan makhluk hidup secara berpasang-pasangan.

Salah satu tujuan adanya pasangan tersebut adalah untuk melestarikan keturunan.

Pelestarian keturunan terjadi jika adanya reproduksi yang akan terjadi di

3
Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam al-Quran, Suatu Kajian Teologi dalam
Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 156.
4
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), h. 114.
3

antaranya melalui proses pernikahan. Oleh karena itu, pernikahan mempunyai

peran yang sangat penting dalam pelestarian keturunan.

Islam, selain menjadi fitrah kemanusiaan juga menjadi agama yang sangat

menghargai segala aktifitas manusia, selama tidak bertentangan dengan ajaran

Islam itu sendiri. Bahkan aktifitas tersebut seringkali dimasukkan dan diatur

sedemikian rupa di dalam ajarannya, salah satunya adalah masalah pernikahan.

Pernikahan bagi umat manusia merupakan sesuatu yang dianggap sakral

dan mempunyai tujuan yang sakral pula, dan tidak terlepas dari ketentuan-

ketentuan yang ditetapkan syariat agama. Orang yang melangsungkan pernikahan

bukan semata-mata untuk memuaskan nafsu jasmaniah saja, melainkan untuk

meraih ketenangan, ketentraman dan sikap saling mengayomi diantara suami istri

dengan dilandasi cinta dan kasih sayang.

Sebagai makhluk bermasyarakat, manusia tidak akan bisa hidup tanpa ada

hukum apa pun nama atau sebutannya yang mengatur pergaulan hidup mereka. 5

Membahas tentang masalah praktik pernikahan beda agama merupakan

sebuah realitas dan sudah dianggap lazim di mana-mana. Di Indonesia pun,

banyak pasangan suami istri berbeda agama, dan mereka tampak hidup rukun.

Dari sini ada semacam anggapan dan usulan, dari sementara pihak, bahwa

perbedaan agama bukan penghalang bagi seseorang untuk menikah. Alasannya,

perkawinan adalah hak asasi. 6

5
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2004), Cet. I, h. 1
6
Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama, dan
Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 64
4

Dalam hal ini, pernikahan bukan hanya masalah sosial kemanusiaan

belaka, tatpi pernikahan jiga merupakan ibadah, di mana konsekuensinya juga

panjang sampai ke akhirat. Dalam Islam, seorang pemimpin keluarga (suami/istri)

bertanggung jawab terhadap diri, pasangan dan juga keturunannya. 7

Di samping itu, terlepas dari persoalan pengawasan orang tua, pasangan

berbeda agama ini bertekad melanjutkan rencananya untuk menikah. Masalahnya

adalah mencarikan jalan terbaik yang sesuai dengan tuntunan Islam. Yang perlu

ditekankan di sini bahwa pernikahan itu merupakan syari’at, bukan semata-mata

urusan keduniaan. Karenanya, semua masalah harus diselesaikan dalam koridor

syari’at. 8

Di Indonesia, masalah pernikahan telah diatur dalam UU Pasal 1 Tahun

1974, bahwa: “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” 9 Di samping itu,

pernikahan bukan hanya hubungan antara dua orang laki-laki dan perempuan yang

saling mencintai, namun terdapat esensi serta aturan yang harus dijalani setiap

individu baik terkait hukum, sosial, maupun agama. Sehingga dengan berbagai

7
Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama, dan
Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 65
‫َاد ﱠﻻ ﯾَ ۡﻌﺼُﻮنَ ﱠ‬ٞ ‫ظ ِﺷﺪ‬ٞ ‫ﻮا ﻗُ ٓﻮ ْا أَﻧﻔُ َﺴ ُﻜﻢۡ َوأَ ۡھﻠِﯿ ُﻜﻢۡ ﻧ َٗﺎرا َوﻗُﻮ ُدھَﺎ ٱﻟﻨﱠﺎسُ َو ۡٱﻟ ِﺤ َﺠﺎ َرة ُ َﻋﻠَ ۡﯿﮭَﺎ َﻣ ٰﻠَٓﺌِ َﻜﺔٌ ِﻏ َﻼ‬
ٓ‫ٱہﻠﻟَ َﻣﺎ‬ ْ ُ‫ٰﯾَٓﺄَﯾﱡﮭَﺎٱﻟﱠ ِﺬﯾﻦَ َءا َﻣﻨ‬
٦ َ‫أَ َﻣ َﺮھُﻢۡ َوﯾَ ۡﻔ َﻌﻠُﻮنَ َﻣﺎ ﯾ ُۡﺆ َﻣﺮُون‬
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan”. (QS. al-Baqarah/2: 221)
8
Hamim Thohari, Smart Solving; Menjawab 101 Masalah Keluarga, (tt: Pustaka Inti dan
Arga Publishing, 2007), Cet. 1, h. 22
9
Muchlis M. Hanafi (ed), Tanggung Jawab Al-Quran, (Jakarta: Lajanah Pentashihan
Mushaf al-Quran, 2011 ), Cet. 1, Jilid. 2, h. 67
5

pertimbangan para ulama dan ahli hukum di Indonesia, pernikahan beda agama

adalah dilarang.

Namun, realita masalah pernikahan beda agama masih terjadi di tengah-

tengan masyarakat sampai saat ini. Maka, tidak bisa dipungkiri dalam hal tersebut

selalu memunculkan banyak perspektif, baik dari para mufassir, pembuat

kebijakan dan negara. Dengan demikian, antara fenomena, realitas dan teori

belum meminimalisir sebuah kenyataan pernikahan beda agama oleh karena

perbedaan penafsiran dan kebijakan baik secara tertulis di dalam al-Quran atau

hukum undang-undang itu sendiri.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi perihal

masalah pernikahan beda agama. Bukan pada masalah kriteria kafir (QS. al-

Mumtahanah/60: 10), musyrik (al-Baqarah/2: 221) ataupun ahlu kitab (al-

Mâidah/5: 5), yang selama ini selalu dijadikan perdebatan.

Dari ketiga ayat tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi

perihal pernikahan beda agama yang terdapat dalam QS. Al-Mumtahanah/60: 10.

Di mana, dalam ayat tersebut pernikahan telah terjalin namun karena terjadinya

perbedaan agama, maka pernikahannya harus terputus.

Berdasarkan uraian di atas, penulis berusaha mengkaji lebih dalam ayat al-

Quran yang berbicara perihal pernikahan beda agama ini dengan judul

“PERNIKAHAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF AL-QURAN: KAJIAN

SOSIO HISTORIS TERHADAP QS. AL-MUMTAHANAH/60: 10”


6

B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai

berikut:

a. Bagaimana Islam memandang “perkawinan”, apakah ia merupakan

bagian dari perbuatan sosial belaka, ataukah ada unsur-unsur

keagamaan di dalamnya?

b. Bagaimana orientasi pernikahan beda agama dalam Qs. Al-

Mumtahanah/60: 10? Mengapa sebelumnya pernikahan itu terjalin,

dan akhirnya terputus serta adakah korelasi antara ketiga ayat tersebut

satu sama lainnya?

c. Sebagai salah satu bentuk perbuatan yang berkelanjutan, bagaimana

akibatnya jika perkawinan lintas agama, dinyatakan tidak sah atau

batal? Dan bagaimana sebenarnya status perkawinan lintas agama

bagi umat Islam, seperti yang ditentukan dalam al-Quran?

d. Apakah makna kafir, musyrik, dan ahl al-Kitâb?

e. Adakah pengaruh situasi sosial terhadap ketentuan hasil penafsiran al-

Quran? Dan apakah perubahan situasi sosial tersebut juga dapat

merubah ketentuan-ketentuan (hukum) dalam perkawinan lintas

agama?

f. Setiap perbuatan manusia pasti menimbulkan konsekuensi dan akibat-

akibat tertentu. Apa saja akibat yang akan muncul dari perkawinan

lintas agama, baik akibat secara individu maupun sosial?


7

2. Pembatasan Masalah

Agar permasalahan ini dapat dibahas secara komprehensip dan lebih

terarah, maka penulis membatasi penelitian ini pada kajian QS. Al-

Mumtahanah/60: 10, serta mengkorelasikannya dengan QS. Al-Baqarah/2: 221

dan Al-Maidâh/5: 5, sebagai pendukung.

3. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini,

berikut penulis paparkan dengan pertanyaan: Bagaimana orientasi pernikahan

beda agama dalam Qs. Al-Mumtahanah/60: 10?

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah dalam rangka memenuhi salah satu

syarat dan tugas akhir untuk mendapatkan gelar sarjana strata (S1). Adapun yang

menjadi tujuan umum penelitian ini diharapkan bagi umat Islam, hendaknya dapat

benar-benar mempertimbangkan dalam memilih pasangan, terutama yang

beragama non muslim. mempertimemberikan pemahaman kepada umat Islam

tentang hal-hal yang perlu diketahuinya sebelum memutuskan untuk menjalin

hubungan pernikahan dengan non muslim. Adapun manfaat penelitian ini

diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam

bidang tafsir, dan hukum Islam yang bersumber dari al-Quran.

C. Kajian Pustaka

Setelah penulis melakukan tinjauan serta kajian data kepustakaan yang

sedikit banyak telah membahas materi yang akan diteliti, penulis menemukan
8

bahwa, terdapat beberapa penelitian telah melakukan pembahasan dan kajian

tentang perkawinan lintas agama. Diantaranya yaitu:

1. Konsep Nikah Lintas Agama dalam al-Quran, Dede Setiawan, Jakarta, 2005.

Skripsi ini lebih menitik beratkan pada isi tafsir al-Quran dan argumen ulama

tafsir.

2. Pernikahan Beda Keyakinan dalam al-Quran : Analisis Penafsiran al-

Maraghi atas Qs. Al-Baqarah/2: 221 dan Qs. Al-Mâidah/5: 5, Dedi Irawan,

Jakarta, 2011. Skripsi ini lebih fokus membahas pemahaman al-Maraghi

tentang pernikahan beda agama yang terkandung 2 ayat tersebut (Qs. Al-

Baqarah/2: 221 dan al-Mâidah/5: 5).

3. Menikahi Orang Musyrik Perspektif al-Jasas dan al-Qurṯubi: Analisa

terhadap Qs. Al-Baqarah/2: 221 dalam Tafsir Ahkam al-Quran dan al-Jami’

Li Ahkam al-Quran, Budy Prestiawan, Jakarta, 2014. Skripsi ini merupakan

kajian perbandingan antara pemikiran al-Jashash dan al-Qurtubi tentang

pernikahan beda agama yang terkandung dalam Qs. Al-Baqarah/2: 221.

4. Pernikahan Beda Agama Menurut Islam dan Katolik, Abdi Pujiasih, 2008.

Sakripsi ini fokus membahas pernikahan beda agama di lihat dari sisi agama

Islam dan Agama Katolik.

5. Perkawinan Dalam Pandangan Agama Islam dan Buddha: Sebuah Studi

Perbandingan, Iman Firmansyah, 2010. Skripsi lebih fokus pada

perbandingan pandangan agama Islam dengan agama Buddha tentang

pernikahan beda agama.


9

6. Islamic fundamental responses on inter faith marriage, karya Yowan Tamu.

Ini adalah sebuah artikel yang membahas tentang perkawinan beda agama

sebelum dan sesudah perkawinan dan menggambarkan fungsi dari integrasi

sosial antara pasangan yang berbeda agama, sebelum dan sesudah

perkawinan. Dan sosialisasi nilai dan peranan terhadap anak dari hubungan

pasangan yang berbeda agama.

7. Perkawinan Lintas Agama dalam Kajian Tafsir Tematik Sosio-Historis karya

Much. Mu’alim, Jakarta, 2008. Karya ini kami temukan masih dalam bentuk

“Tesis“ yang diajukan untuk memperoleh gelar Magister di Pascasarjana UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam karya ini, penulisnya banyak fokus

mengkaji ulang pendapat dan teori-teori penafsiran ayat-ayat al-Quran seputar

perkawinan lintas agama yang selama ini masih menjadi perdebatan.

Kemudian melakukan kajian ulang terhadap permasalahan tersebut dengan

menggunakan metode tematik/maudhui serta pendekatan sosio-historis.

Dalam kajian tesis ini, penulisnya menyimpulkan bahwa perihal perkawinan

lintas agama disebabkan oleh adanya perbedaan di dalam menetapkan kriteria

tentang musyrik dan Ahl al-Kitâb.

Yang membedakan tulisan-tulisan lain yang telah ada dengan tulisan yang

penulis bahas dalam penelitian ini, penulis lebih menitikberatkan pada

pembahasan dasar pernikahan beda agama yang terdapat dalam Qs. Al-

Mumtahanah/60: 10 berdasarkan historis sebelum dan setelah ayat ini turun.

Dengan demikian, diharapkan dengan adanya penelitian ini akan ditemukan

pemahaman perihal pernikahan beda agama.


10

D. Metode Penelitian

Untuk mendapatkan hasil yang ilmiah dan akurat tentang penulisan skripsi

ini, maka sangat tergantung pada sejauh mana cara penulis memperoleh

pengumpulan data pada skripsi ini, maka langkah-langkah yang ditempuh oleh

penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Metode pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data melalui penelusuran

kepustakaan, baik dengan cara membaca, memahami, dan menganalisa buku-buku

serta literatur yang berkaitan dengan pembahasan yang penulis buat.

Karena studi ini menyangkut tentang al-Quran, maka sumber utamanya

adalah al-Quran dan terjemahannya. Kemudian penulis menganalisa ayat-ayat

tersebut melalui beberapa buku tafsir baik klasik maupun kontemporer yang

diantaranya tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr karya Muhammad Ibn ‘Asyur, tafsir al-

Jami’ li Ahkam al-Quran karya Imam al-Qurṯubi, tafsir al-Azhar karya Hamka

dan karya-karya lainnya yang berkaitan dengan tema skripsi ini sebagai data

sekunder.

2. Metode Pembahasan

Dalam pembahasan ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis. Di

mana, penulis menjelaskan segala hal tentang pernikahan beda agama dengan

menggunakan suatu kajian Qurani dengan pendekatan sosio historis yang terdapat

dalam kandungan ayat tersebut.


11

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dalam memahami skripsi ini, maka penulis

membagi skripsi ini menjadi empat bab, dan masing-masing bab terbagi lagi ke

dalam sub bab, adapun sistematika pembahasan tersebut yaitu:

Bab Pertama diawali dengan Pendahuluan, bab ini merupakan acuan bagi

penulis dalam menyusun skripsi ini dan menjadi landasan dalam pembahasan bab-

bab selanjutnya. Bab ini mengemukakan latar belakang masalah dan

signifikansinya, hal ini akan menjadi penjelas mengapa penulis mengangkat judul

ini, dilanjutkan dengan pokok permasalahan, tujuan penelitian, hal ini berguna

untuk menjelaskan pokok kajian yang akan penulis bahas, kemudian tinjauan

pustaka, metode penulisan serta sistematika penulisan penelitian ini.

Bab kedua, memuat tentang penelusuran serta pemetaan perihal pengertian

pernikahan dan ketentuan pokoknya, pernikahan pra Islam, pernikahan dalam

Islam, serta pernikahan beda agama yang terjadi pada masa Rasulullah SAW. dan

saat ini. Dalam hal ini agar dapat ditemukan pemahaman yang utuh menyangkut

pernikahan secara umum yang terjadi pada masa lalu. Kemudian dilanjutkan

dengan pembahasan tentang kasus pernikahan beda agama yang terjadi selama ini.

Bab ketiga, membahas pernikahan dalam QS. al-Mumtahanah/60: 10,

merupakan usaha mengkaji ayat dengan pola analisis komprehensif yang dimulai

dengan pembahasan tentang penafsiran ayat tentang pernikahan beda agama

dalam QS. al-Mumtahanah/60: 10, dan berlanjut pada pembahasan pengaruh

pernikahan beda Agama terhadap kehidupan rumah tangga, kemudian

memaparkan relevansi ayat dengan realitas status sosial mayarakat sekarang.


12

Bab keempat adalah penutup, pada bab ini penulis menarik jawaban yang

diambil berdasarkan perumusan masalah dan pembahasan pada bab-bab

sebelumnya dan juga penulis membuat saran-saran serta pada akhir tulisan penulis

menjabarkan referensi-referensi yang dapat dijadikan rujukan penulis dalam

penulisan penelitian ini.


13

BAB II

TINJAUAN UMUM SEPUTAR PERNIKAHAN

Dalam bab ini, penulis bermaksud melakukan kajian seputar pernikahan

yang meliputi pengertian dan ketentuan pokok dalam pernikahan, pernikahan pra

Islam yang terjadi di Jazirah Arab, dimana Arab merupakan tempat di mana Islam

lahir. Hal ini ditandai dengan banyaknya ayat yang membicarakan Jazirah Arab.

Bahkan sejarah Islam, biasanya dimulai dengan sebuah survei terhadap kondisi

politik, ekonomi, sosial, dan keagamaan di Semenanjung Arabia. 1 Begitupun

masalah pernikahan. Dimana masalah pernikahan merupakan salah satu masalah

yang kompleks, seperti halnya pernikahan beda agama yang merupakan isu klasik

yang sampai saat ini masih menarik untuk dibahas. Misalnya di Indonesia, dimana

tidak sedikit kasus pernikahan beda agama dengan berbagai problemnya terjadi.

Maka dengan memaparkan tinjauan umum pernikahan yang meliputi pengertian

dan ketentuan dalam pernikahan, pernikahan pra Islam, pernikahan dalam Islam,

serta pernikahan beda agama, akan menarik warna dan respon al-Quran itu

sendiri, dan dapat diketahui dasar terjadinya pernikahan beda agama.

A. Pengertian dan Ketentuan Pokok Pernikahan

1. Pengertian Pernikahan

Pernikahan merupakan istilah yang lazim terdengar oleh masyarakat.

Pernikahan adalah sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua pada semua

makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuhan. Ia adalah salah satu

1
Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarah Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. I, h. 23
14

cara yang dipilih oleh Allah SWT., sebagai jalan bagi makhluknya untuk

berkembang biak dan melestarikan hidupnya.

Menurut bahasa Indonesia nikah berarti ikatan (akad) atau kawin

(membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau

persetubuhan). Secara umum masyarakat memaknai nikah sebagai akad

(perjanjian), sedangkan kawin dipahami dengan hubungan seksual, sehingga

kedua kalimat ini selalu disandingkan dalam pengucapannya untuk

menyempurnakan makna keduanya. Nikah berarti akad yang membolehkan

berhubungan seksual dengan lafaz nikah atau semisalnya. 2

Secara bahasa pernikahan berasal dari kata serapan bahasa Arab yang

mempunyai makna menghimpun atau mengumpulkan. Dalam literatur fiqih Islam,

pernikahan lazim diistilahkan dengan sebutan an-nikâh atau at-tazwîj. 3

Dalam bahasa Arab, kata zauj (pasangan) berarti suami dan juga istri,

yang merupakan kebalikan dari kata fard (seorang diri tanpa yang lain). 4

Adapun mengenai makna pernikahan secara istilah, masing-masing ulama

fikih mendefinisikan pernikahan berbeda-beda, sekalipun demikian makna dan

tujuannya adalah sama. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa pernikahan adalah

suatu akad dengan menggunakan lafal nikah atau dengan zawaj yang dengannya

menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita. Sedangkan ulama

Hanafiyah memandang pernikahan sebagai suatu akad yang berguna untuk

memiliki mut’ah dengan sengaja. Artinya seorang laki-laki dapat menguasai

2
M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h. 29
3
M. Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, (Tangerang: Lentera Hati, 2015),
Cet. I, h. 18
4
M. Nabil Kazhim, Buku Pintar Nikah: Strategi Jitu Menuju Pernikahan Sukses, Terj.
Ibnu Abdil Jamil, (Solo: Samudra, 2007), Cet. I, h. 20
15

perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk mendapatkan kesenangan dan

kepuasan. Adapun ulama Malikiyah mendefinisikan pernikahan sebagai akad

yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan dari wanita, arti esensialnya di

sini adalah dengan akad tersebut maka terhindarlah seseorang dari bahaya fitnah

perbuatan haram. 5

Menurut Fikih, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling

utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan

hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga

perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lainnya. Pernikahan adalah

ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dalam suatu rumah tangga berdasarkan

kepada tuntunan agama. 6

Pernikahan adalah perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dengan

seorang perempuan untuk melaksanakan kehidupan suami istri, hidup berumah

tangga dan melanjutkan keturunan sesuai dengan ketentuan agama. 7

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan atau

perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedang Kompilasi

Hukum Islam pasa 2 perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad

yang sangat baik untuk mentaati perintah Allah dan pelaksanaannya adalah

merupakan ibadah. Sehingga perkawinan adalah menciptakan kehidupan keluarga

5
M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h. 31-32
6
M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h. 31
7
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h. 8
16

antara suami istri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan

yang aman dan tentram (Sakinah), pergaulan yang saling mencintai (Mawaddah)

dan saling menyantuni (Rohmah). 8

Dengan demikian pernikahan dapatlah dipahami sebagai akad perjanjian

antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan maksud saling

memberi dan mengambil manfaat dari keduanya untuk membentuk sebuah

keluarga yang saleh dengan syarat dan ketentuan yang telah ditentukan menurut

syariat agama. 9

2. Ketentuan Pokok Pernikahan

Dalam Islam, pernikahan tidak serta merta dapat dilakukan sesuai

kehendak, namun Islam telah mengaturnya dengan berbagai syarat-syarat tertentu

agar kedudukan manusia terjada. Oleh karena itu, Islam mengharuskan dua pihak

yang menjalani pernikahan untuk melaksanakan akad, dengan memenuhi syarat-

syarat sahnya akad, sesuai dengan hukum-hukum syariat. Aturan syari’at tentang

rumah tangga ini sudah pasti dan sempurna, yang harus dilaksanakan dan

dipenuhi serta harus menjadi rujukan saat terjadi perbedaan pendapat. Masing-

masing pihak juga harus tunduk kepada aturan itu. Maka ada baiknya jika kamu

sebutkan beberapa sisi dalam masalah akad nikah ini, yaitu: 10

a. Perwalian

b. Kesaksian

8
M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h. 31-32
9
M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h. 32
10
Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 62
17

c. Penyelenggara akad nikah dalam pernikahan orang muslim harus orang

muslim

Hakim atau pejabat yang bertugas melangsungkan akad nikah,

disyaratkan yang beragma Islam. Jika tidak, maka akad nikah batal. 11

d. Mahar

e. Shighah

Hukum Islam yang digambarkan sebagai jalan Tuhan untuk menuju

pembebasan manusia di dunia ini dan akhirat nanti, secara teoritis mengatur

segala aspek kehidupan manusia. Ia mengontrol, mengatur, dan menata seluruh

tindak tanduk pribadi maupun perilaku publik. Cakupannya yang begitu luas

membuat ia harus mendekati persoalan perilaku sehari-hari individu baik secara

historis maupun eklektis. 12 Sikap dan perilaku manusia diatur dan dibagi menjadi

dua klasifikasi besar yang dipercayai tidak bisa dipisahkan dan saling

mempengaruhi. Yang pertama, hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam

hubungan ini, praktik keagamaan (ibadah) dijelaskan kepada semua umat muslim

untuk kehidupan sehari-hari mereka sebagai cerminan penyerahan diri kepada

Tuhan. Kedua, hubungan sesama manusia (muamalah). Dalam hubungan ini

ditetapkan berbagai hukum untuk mengatur berbagai aktivitas sehari-hari manusia

dalam perjumpaan mereka dengan yang lain. 13

Membangun sebuah sistem hukum yang siap pakai bukanlah kepentingan

utama pada saat itu, karena perhatian utama Nabi saw. dicurahkan untuk

11
Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 64
12
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 62
13
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 62-63
18

membangun umat mukmin dimana manusia menyerahkan dirinya kepada Tuhan

Yang Maha Esa. Di lain pihak, pluralisme hukum sudah menjadi kenyataan hidup

umat yang hidup pada masa Nabi. Ketika ia mengawali misinya, pada saat itu

sudah banyak orang Yahudi dan Kristen yang hidup dengan hukum mereka

sendiri, termasuk hukum Romawi di samping banyak lagi hukum-hukum chthonic

Arab yang masih memiliki banyak pengikut. Akibatnya, aspek substantif dari

hukum yang dibawa oleh Nabi Muhammad bisa dikatakan merupakan campuran

antara konsep hukum sakral yang berasal dari wahyu dan entitas hukum lainnya

(terutama hukum chthonic masyarakat Arab) yang hidup pada saat itu. 14

B. Pernikahan Pra Islam

Semenanjung Arabia merupakan tempat lahirnya Islam. Di situ Islam

lahir, tumbuh, hingga kemudian menyempurna semenjak kemunculannya, Islam

dan kepriba`diannya yang unggul, tumbuh dan memiliki bentuk yang khas di

kota-kota Arabia, yakni Makkah dan Madinah. 15

Dalam sejarahnya, kaum wanita pernah mengalami nasib yang paling

buruk. Kaum wanita telah menjadi korban kebodohan. Tidak lebih, mereka

dianggap sebagai sampah masyarakat atau keluarga yang merepotkan, tidak

mampu mengangkat nama keluarga, tidak patut dibanggakan, bahkan bikin

malu. 16

14
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 64
15
Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarah Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. I, h. 13
16
Syekhul Islam Muhammad bin Umar An-Nawawi, Kunci Kebahagiaan Suami Istri
dalam Islam, Terj. Muhammad Qodirun Nur, (Solo: Ramadhhani, 1994), Cet. 5, h. 7-8
19

Di semenanjung Jazirah Arab, sebelum Isla, terdapat berbagai model

pernikahan. Sebagian besar dari model pernikahan itu kemudian dilarang oleh

ajaran Islam karena sangat merendahkan derajat perempuan. Di antara model-

model pernikahan yang lazim terjadi di kalangan mereka adalah:

Dahulu masyarakat Arab merupakan masyarakat yang didominasi kaum

lelaki. Kaum wanita tidak memiliki status apa pun kecuali sebagai objek seks

belaka. Jumlah wanita yang dapat dinikahi seorang lelaki tidak terbatas. Bila

seorang lelaki meninggal dunia, maka putranya mewarisi seluruh istri yang

ditinggalkannya, kecuali ibu kandung anak tersebut. 17

Kondisi yang tersaji dalam potret ini menunjukkan bahwa kehidupan di

Semenanjung Arabia sebelum kelahiran Islam adalah kehidupan yang kosong dari

kesantunan sosial atau kearifan historis. Dengan kata lain, masyarakat Arab pada

masa itu dalam kebangkrutan moral dan kehampaan spiritual. Kehidupan mereka

sungguh nihil dari makna, arah, dan tujuan. Saat itu, jiwa manusia yang telah

terbelenggu sedang menanti isyarat untuk melancarkan perjuangan besar-besaran

demi menghirup kebebasan. 18

Pada dasarnya, kondisi sosial dan interaksi seseorang dengan masyarakat

akan mempengaruhi jiwa seseorang tersebut, baik dalam hal bertindak maupun

pemikirannya. Pola-pola kehidupan yang ia terima setiap hari akan tetap

membekas dalam pikirannya dan selalu mempengaruhi pendapatnya, baik itu

17
Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 29
18
Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 34
20

disadari ataupun tidak. Namun hal ini tidak berlaku atas diri Nabi Muhammad

saw. walaupun nabi hidup dalam kehidupan yang sangat keras, akan tetapi ia tetap

menjadi pribadi yang santun dan selalu bersifat pemaaf. Bahkan meskipun Nabi

sering mendapatkan ejekan, penganiayaan dan penghinaan atas dirinya, namun hal

itu tidak menggoyahkan semangatnya untuk tetap menjunjung tinggi agama Ilahi.

Maka setelah pengikut Nabi mulai banyak, maka segala masalah yang dihadapi

oleh orang dikembalikan kepada Nabi. 19

Agar dapat dipahami lebih jelas, maka sebelum membahas tentang

pernikahan yang terjadi pada pra Islam, penulis akan menguraikan hal-hal yang

berkaitan dengan keadaan mayarakatnya terlebih dahulu. Disamping itu, beberapa

hal yang dapat menggambarkan keadaan masyarakat Arab saat itu, meliputi

berbagai bidang, baik sosial, politik, dan agama.

a. Kondisi Agama

Dalam sejarah orang-orang Arab sebelum datangnya Islam dikenal

sebagai masa jahiliah. Dengan memperhatikan keyakinan-keyakinan dan dan

praktik-praktik pagan (pemuja berhala) yang dilakukan orang-orang Arab

waktu itu.

19
Muhammad Fathurrohman, History of Islamic Civilization: Peristiwa-peristiwa
Sejarah Peradaban Islam Sejak Zaman Nabi Sampai Abbasiyah, (Yogyakarta: Penerbit
Garudhawaca, 2017), h. 2-3
21

Pada masa itu, orang-orang arab terdiri dari berbagai agama yang

diklasifikasikan ke dalam kategori-kategori berikut ini: 20

1. Kaum penyembah berhala. Sebagian besar masyarakat Arab adalah

penyembah berhala.

2. Kaum Ateis 21

3. Kaum Zindiq. Mereka dipengaruhi doktrin yang dianut orang-orang Persia

mengenai adanya dualisme (keberadaan Tuhan) dalam masing-masing

mewakili kekuatan baik dan buruk atau cahaya dan kegelapan.

4. Kaum Sabin (kaum yang terdapat dalam sejarah kuno Italia), mereka adalah

para penyembah bintang-bintang

5. Kaum Yahudi

6. Kaum Nasrani

7. Kaum Monoteis. Sebelum kelahiran dan kebangkitan Islam, kaum

monoteis merupakan kelompok paling kecil sejazirah Arab. 22

b. Kondisi Politik

Ciri paling menonjol dari kehidupan politik di Jazirah Arab sebelum

kedatangan Islam adalah tidak adanya organisasi politik dalam bentuk apa pun.

20
Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 31
21
Ateis adalah kelompok yang terdiri dari kalangan materialis yang percaya bahwa
kehidupan ini bersifat abadi. Lihat: Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW:
Sejarah Lengkap Kehidupan dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat,
Terj. Dede Azwar Nurmansyah, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 31
22
Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 32
22

Orang-orang Arab tak mengenal otoritas siapa pun kecuali otoritas kepala

sukunya masing-masing. 23

c. Kondisi Sosial

Bangsa Arab pada masa pra Islam terdiri dari berbagai kelas. Kelas

bangsawan lebih diunggulkan daripada kelas yang lainnya. Kelas budak paling

dinistakan diantara kelas yang lainnya. Budak ibarat permainan kaum bangsawan.

Jika seseorang ingin dipuji dan menjadi terpandang di mata bangsa Arab karena

kemuliaan dan keberaniannya, ia harus banyak dibicarakan oleh kaum wanita.

Seorang laki-laki dianggap pemimpin dalam keluarga dan tidak boleh dibantah

perkataannya. Hubungan laki-laki dan wanita tidak bisa menentukan pilihannya

sendiri. 24 Kaum wanita tidak memiliki status apa pun kecuali sebagai objek seks

belaka. Bahkan bila seorang laki-laki peninggal dunia, maka putra-putranya

mewarisi seluruh istriyang ditinggalkannya, kecuali ibu kandungnya. 25

Pada masa pra Islam, betul-betul menganggap perempuan tidak memiliki

hak, Nabi saw mengubah situasi tersebut dengan mereformasi institusi pernikahan

dari domain yang betul-betul dikuasai oleh laki-laki menuju hubungan gender

yang setara di mana persetujuan perempuan adalah faktor penting. Pengaruh

praktik adat dan kebudayaan Arab pra Islam tentu saja sangat dominan sehingga

tidak mudah bagi Nabi untuk menghilangkan nilai-nilai lama tanpa membiarkan

23
Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 23
24
Muhammad Fathurrohman, History of Islamic Civilization: Peristiwa-peristiwa Sejarah
Peradaban Islam Sejak Zaman Nabi Sampai Abbasiyah, (Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca,
2017), h. 4
25
Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 29
23

beberapa elemen hukum terdahulu tetap dipertahankan dalam kehidupan

masyarakat. Oleh sebab itu jalan tengah tampaknya merupakan alternatif terbaik

di mana nilai-nilai Islam yang baru dicangkokkan ke dalam sistem lama yang

sudah ada di dalam masyarakat. Jadi, Nabi tidak hanya sekedar mengganti

praktik-praktik lama dengan praktik-praktik yang baru tapi juga mempertahankan

adat kebiasaan sebelumnya yang tidak berlawanan dengan nilai-nilai Islam yang

dibawa oleh al-Quran. 26

Dilihat dari kondisi sosial masyarakat Arab yang mendeskreditkan

perempuan. Maka hal ini berimbas pada pernikahan-pernikahan yang terjadi pada

saat itu.Berikut lembaga pernikahan yang terjadi di zaman jahiliah (pra Islam)

terdiri dari empat tipe, yaitu:

1. Pernikahan sebagaimana yang terjadi pada saat ini, di mana seorang lelaki

mempertunangkan seorang wanita yang berada di bawah perwaliannya atau

saudara perempuannya kepada lelaki lain, yang kemudian menyerahkan

mahar (maskawin) kepadanya dan menikahinya.

2. Pernikahan istibda’ 27

3. Poliandri (wanita dikumpuli banyak laki-laki dan setelah melahirkan anak,

wanita tersebut memanggil dan menunjuk salah satu laki-laki yang

mengumpulinya untuk menjadi ayah), pelacuran. 28

26
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 66-67
27
Istibda’ ialah suami menyuruh istrinya berkumpul dengan orang lain, karena
menginginkan keturunan yang pintar. Lihat: Muhammad Fathurrohman, History of Islamic
Civilization: Peristiwa-peristiwa Sejarah Peradaban Islam Sejak Zaman Nabi Sampai Abbasiyah,
(Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca, 2017), h. 4-5.
28
Muhammad Fathurrohman, History of Islamic Civilization: Peristiwa-peristiwa Sejarah
Peradaban Islam Sejak Zaman Nabi Sampai Abbasiyah, (Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca,
2017), h. 4-5
24

4. Pernikahan yang dimana sejumlah lelaki senantiasa mengunjungi seorang

wanita, sementara ia (wanita tersebut) tidak menutup dirinya dari siapa pun

yang datang kepadanya. Wanita-wanita seperti ini adalah para pelacur.

Mereka biasanya menghias pintu rumahnya dengan bendera sebagai tanda,

dan lelaki manapun dapat mendatanginya. Bila ia mengandung dan

melahirkan anak, para lelaki tersebut akan mendatanginya dan memanggil

seorang ahli mengenai keturunan. Lalu mereka menyerahkan anaknya itu

kepada seorang lelaki yang dianggap sebagai ayahnya. Anak tersebut hidup

bersama lelaki yang telah dipilih itu sebagai anaknya.

Namun, setelah Islam datang dibawa Rasulullah saw, seluruh tipe

pernikahan yang terjadi pada zaman jahiliah tersebut dihancurkan. Kecuali

pernikahan tipe pertama yang sekarang ini dipraktikkan. 29

C. Pernikahan dalam Islam

Islam merupakan tatanan yang selaras dengan fitrah manusia dan

pembentukannya, seiring dengan kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Islam juga

sangat memperhatiakan penataan eksistensi manusia dan berkepentingan menjaga

kebersihan masyarakat. 30

Islam adalah agama yang mengatur kehidupan rumah tangga. Dalam

Islam, rumah tangga merupakan dasar bagi kehidupan manusia dan merupakan

faktor utama dalam membina masyarakat. Dari sebuah rumah tangga, segala

29
Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 30
30
Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 15
25

persoalan kehidupan manusia timbul. Hal ini merupakan kehendak Tuhan untuk

memulai adanya kehidupan manusia di atas bumi melalui satu keluarga. 31

Salah satu perhatian Islam terhadap kehidupan keluarga adalah

diciptakannya aturan dan syariat yang luwes, adil dan bijaksana. Andaikata aturan

ini dijalankan dengan jujur dan setia, maka tidak akan ditemukan adanya

pertentangan dan pertikaian. Kehidupan keluarga akan berjalan damai dan

sentosa. Kedamaian ini tidak saja dapat dirasakan oleh keluarga yang

bersangkutan, tetapi juga dapat dinikmati oleh anggota masyarakat sekitarnya. 32

Adapun muslim sejati memiliki pandangan bahwa pernikahan sebagai cara

untuk membangun keluarga islami yang mulia, serta cara untuk memakmurkan

dunia dengan keturunan dan anak sholeh yang menjamin keberlangsungannya

kehidupan di bumi ini. 33 Maka dari itu, dengan adanya pernikahan diharapkan

sebuah keluarga mendapatkan keturunan yang akan menggantikan orang tuanya

melanjutkan kehidupan di dunia ini.

Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ibadah dan ketaatan.

Dengannya seorang mukmin meraih pahala dan balasan, tentu bila ia

mengikhlaskan niat, menuluskan kehendak, serta memaksudkan pernikahnnya

demi menjaga diri darinya dari hal-hal yang diharamkan, bukan sekedar dorongan

kebinatangan yang menjadi tujuan mendasar dari pernikahan. 34 Oleh sebab itu,

31
Abduuttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW: Poligami dalam Islam Vs
Monogami Barat, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), Cet. I, h. 6
32
Abduuttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW: Poligami dalam Islam Vs
Monogami Barat, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), Cet. I, h. 7
33
Muhammad Ali Ash-Shobni, Pernikahan Islami, Terj. Ahmad Nurrohim, (Solo:
Mumtaza, 2008), Cet. I, h. 18
34
Muhammad Ali Ash-Shobni, Pernikahan Islami, Terj. Ahmad Nurrohim, (Solo:
Mumtaza, 2008), Cet. I, h. 20
26

pada dasarnya semua yang dilakukan manusia di muka bumi ini haruslah karena

Allah SWT, begitupun dalam pernikahan.

Pernikahan menurut pandangan Islam, dilaksanakan sebagai pemenuhan

terhadap Allah pada penciptaan manusia, dengan statusnya sebagai khalifah di

muka bumi, untuk memakmurkan alam dan menyibak kebaikan-kebaikan yang

terpendam di dalamnya. Di samping itu, pernikahan ini selaras dengan tabiat yang

sudah tersusun pada diri manusia, berupa naluri seksual yang cenderung kepada

terjalinnya hubungan ini, menggerakkan rasa dan mendorong kepada jalinan

dengan lawan jenis. 35

Selain itu, pernikahan merupakan hubungan manusia yang berlawanan

jenis, yang menghasilkan kedamaian jiwa, ketenangan fisik dan hati, ketentraman

hidup dan penghidupan, keceriaan ruh dan rasa, kedamaian laki-laki dan wanita,

kebersamaan di antara keduannya untuk meretas kehidupan baru dan

membuahkan generasi baru pula. 36 Dengan demikian, pernikahan bukan hanya

masalah dorongan fitrah pasangan lawan jenis, namun juga harus adanya

ketentraman dan damaian lahir dan batin diantara keduanya.

Pernikahan dalam pandangan Islam merupakan hubungan yang suci,

mendasar dan mulia, tidak boleh ada gangguan yang mengusiknya dan tidak boleh

ada campur tangan untuk merusaknya, walaupun hanya perselisihan sekecil apa

pun. 37

35
Abduuttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW: Poligami dalam Islam Vs
Monogami Barat, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), Cet. I, h. 7
36
Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 19
37
Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 19-20
27

Di samping itu, pernikahan merupakan suatu bentuk jalinan yang paling

kuat dan paling langgeng antara manusia setelah jalinan akidah. Karena dengan

pernikahan itu tercipta kebersamaan antara laki-laki dan perempuan dalam segala

aspek kehidupan dan tuntutan-tuntutannya. 38 Oleh karena itu, tidak heran bila

pernikahan berkaitan erat dengan suatu agama maupun keyakinan setiap individu.

Dengan demikian, apabila akidah sudah tertanam di dalam hati suami istri,

maka tujuan yang hendak digapai suami istri juga bisa dipersatukan, sehingga

pernikahan bisa memberikan faidah yang optimal dan sempurna, tanpa ada yang

kurang dan saling berbenturan. 39

Menurut Sayyid Quṯub, pernikahan merupakan hubungan yang paling kuat

dan paling langgeng, mempertemukan antara dua orang dari jenis manusia,

mencakup pemenuhan yang amat luas, yang bisa dirasakan oleh masing-masing

pihak. Oleh karena itu mereka harus saling menyatu, dalam ikatan yang juga

menyatu dan arah yang satu pula. Akidah Agama merupakan sesuatu yang paling

mendalam dan paling luas untuk mengisi jiwa, mempengaruhinya, membentuk

perasaannya, membatasi pengaruh-pengaruhnya dan membantu setiap jalan

kehidupan yang hendak ditempuh. 40 Dengan demikian, bila hal tersebut telah

tertanam dalam masing-masing pasangan, maka tujuan dari pernikahan tersebut

akan tercapai.

38
Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 21
39
Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 21
40
Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 22
28

Di antara faidah pernikahan dan tujuannya ialah perhatian terhadap

pendidikan generasi dalam masalah agama dan menjaga mereka agar tidak

terlantar. Adapun di antara hikmah pernikahan ialah menumbuhkan hubungan

kekeluargaan dan memperluas jaringannya. 41

Adanya aturan dan syari’at Allah yang lurus dan bijaksana itu jelas

menunjukkan semangat Islam untuk menjaga kelangsungan kehidupan rumah

tangga yang bahagia dan sejahtera. 42

Dengan demikian, tujuan utama pernikahan dalam Islam bukanlah

tercapainya hubungan biologis dan kepuasan seksual semata-mata antara lelaki

dan perempuan, seperti halnya hewan dan binatang dan orang yang biasa

melakukan perzinahan, melainkan untuk membangun suatu kehidupan rumah

tangga yang penuh rasa kasih sayang, tenggang rasa, toleransi, solidaritas dan

kesempurnaan akhlak yang semuanya akan membawa seseorang pada keimanan

dan ketakwaan yang sempurna.dengan demikian, keluarga merupakan tempat

yang sangat urgen dalam mendidik anak-anak dan menyiapkan mereka untuk

menjadi pemimpin-pemimpin yang bertanggung jawab dan bijaksana yang akan

mengantarkan umat manusia pada kebaikan dunia dan akhirat. 43

Di dalam Islam, berbagai persoalan manusia dipenuhi oleh ketentuan-

ketentuan. Salah satunya dalam hal pernikahan. Aturan mengenai persoalan

pernikahan tampaknya merupakan hukum yang sangat disakralkan.

41
Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 17
42
Abduuttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW: Poligami dalam Islam Vs
Monogami Barat, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), Cet. I, h. 12
43
Abduuttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW: Poligami dalam Islam Vs
Monogami Barat, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), Cet. I, h. 10
29

Bahkan, tampaknya pemahaman tersebut tetap mempertahankan identitas

ketuhanannya sampai pada masa belakangan ini, yaitu sebuah situasi baru di mana

ketentuan substantif Islam termarginalkan oleh ekspansi proses modernisasi.

Dalam arena hukum keluarga ini, Nabi tidak berpretensi menghilangkan segala

praktik hukum yang sudah mapan dalam kehidupan masyarakat. Apa yang

dilakukannya hanyalah membatalkan praktik-praktik hukum yang berlawanan

dengan prinsip-prinsip akal sehat dan kesadaran. Maka berdasarkan alasan ini

Nabi menghapuskan sejumlah praktik adat masyarakat Arab sebelumnya seperti

poliandri, perzinahan, pembunuhan bayi perempuan, adopsi, perceraian berulang-

ulang dan lain-lain. Dengan demikian, tujuan utama pernikahan di dalam Islam

adalah mempertahankan kemurnian dan “kebersihan” hubungan geneologis

manusia. Hal itu bisa dilakukan pertama-tama melalui upacara keagamaan yang

diadakan untuk mengungkapkan keinginan dan persetujuan timbal balik dari

kedua pasangan pengantin. tapi tidak berarti pernikahan menurut Islam tidak bisa

dilangsungkan tanpa ada upacara. Hukum Islam tidak menetapkan ritual khusus

atau formalitas-formalitas yang rumit dalam soal pernikahan ini. 44

Menurut Islam, pernikahan bukan hanya sekedar urusan hubungan kontrak

antara kedua pengantin. Islam memandang pernikahan sebagai institusi yang

terdiri dari tiga aspek, yaitu aspek hukum, aspek sosial dan aspek keagamaan.

Dari sudut pandang hukum, pernikahan memang sebuah kontrak, oleh karenanya

ia tidak bisa dilangsungkan tanpa ada persetujuan dari kedua belah pihak atau

tanpa membuat ketentuan tentang pemutusan hubungan kontrak. Pernikahan

44
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 64
30

dalam hukum Islam juga memiliki aspek sosial. Pernikahan memberikan

penghormatan bagi perempuan memberinya status sosial lebih tinggi dari yang

dimilikinya ketika belum menikah. Lebih dari itu, pernikahan juga memiliki aspek

keagamaan. Ia adalah kesepakatan sakral dan tidak bisa dilakukan tanpa

keterlibatan petugas keagamaan. Lebih jauh lagi pernikahan dianggap sebagai

basis masyarakat, karena dalam pernikahan seseorang punya sarana yang

terhormat untuk melanjutkan kelangsungan ras manusia. Karenanya Islam pada

dasarnya melihat pernikahan sebagai institusi yang harus dipertahankan

selamanya. 45 Dengan demikian, karakter sakral pernikahan dalam Islam adalah

sebagai kesatuan antara ibadah dan muamalah.

Oleh sebab itu pernikahan memiliki signifikansi khusus dalam hukum

Islam. Pernikahan bukan hanya perihal kontrak hukum, secara umum pernikahan

merupakan langkah awal dalam membangun keluarga dan keluarga itu sendiri

merupakan elemen paling mendasar dari bangunan masyarakat.

Apapun keragaman yang dimunculkan oleh nilai adat dan budaya itu, para

ahli hukum sepakat bahwa ada tiga syarat yang paling penting, yaitu (1)

pernyataan penawaran (ijab) dari pengantin laki-laki, atau seseorang atas

namanya, (2) pernyataan penerimaan (qabul) dari pihak mempelai perempuan

atau walinya, dan (3) melaksanakan penawaran dan penerimaan pada pertemuan

yang sama di hadapan kehadiran saksi yang memadai (biasanya dua orang). 46

Sejarah hukum Islam memperlihatkan bahwa perkembangan aspek

substantif hukum semenjak awalnya tidak menentang adanya pengaruh asing.

45
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 65
46
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 66
31

Semenjak perkembangan tahap awalnya hukum selalu bisa menerima nilai-nilai

dari luar yang dianggap masih berada di dalam batasan keyakinan Islam. Di lain

pihak, pluralisme hukum sudah menjadi kenyataan hidup umat yang hidup pada

masa Nabi saw. 47

Islam adalah anugerah terbesar yang pernah diberikan kepada umat

manusia. Ia membebaskan kaum lelaki dan wanita dari segala bentuk perbudakan

dengan menyerukan kepatuhan kepada Sang Maha Pencipta. Rasulullah saw.,

merupakan tokoh pembebas umat manusia yang paling agung. Beliau selalu

bertujuan untuk memerdekakan manusia dari belenggu kehidupan. 48

Agama Islam diturunkan oleh Allah SAW melalui Nabi Muhammad saw

dengan maksud untuk menyempurnakan agama (yang diturunkan sebelumnya),

sebagai penyempurnaan nikmat Allah, dan menjadi agama yang diridhai-Nya.

Sebagaiman QS. Al-Mâidah/5: 3 49

Kehadiran Islam untuk pertama kalinya, dikalangan masyarakat Quraisy

Mekkah menuai tantangan dan gangguan yang sangat berat. Ia dianggap sebagai

hal baru yang dapat merusak kelestarian ajaran warisan nenek moyang mereka.

Dan karena preseden buruk tersebut, Islam menjadi agama yang sulit berkembang

pada sepuluh tahun pertama sejak kelahirannya. Sehingga, daftar para pengikut

47
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 63
48
Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 34
49
Ahmad Rofiq, Fikih Kontekstual: dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), Cet. I, h. 111
‫ﺼ ٍﺔ ﻏ َۡﯿ َﺮ‬ ۡ ‫ٱﻹ ۡﺳ ٰﻠَ َﻢ ِد ٗﯾﻨ ۚﺎ ﻓَ َﻤ ِﻦ‬
َ ‫ٱﺿﻄُ ﱠﺮ ﻓِﻲ َﻣ ۡﺨ َﻤ‬ ِ ۡ ‫ﯿﺖ ﻟَ ُﻜ ُﻢ‬
ُ ‫ﺿ‬ ُ ‫… ۡٱﻟﯿَ ۡﻮ َم أَ ۡﻛ َﻤ ۡﻠ‬
ُ ۡ‫ﺖ ﻟَ ُﻜﻢۡ ِدﯾﻨَ ُﻜﻢۡ َوأَ ۡﺗ َﻤﻤ‬
ِ ‫ﺖ َﻋﻠَ ۡﯿ ُﻜﻢۡ ﻧِ ۡﻌ َﻤﺘِﻲ َو َر‬
‫ﯿﻢ‬ٞ ‫ﻮر ﱠر ِﺣ‬ ٞ ُ‫ٱہﻠﻟَ َﻏﻔ‬‫ﻒ ﱢ ِﻹ ۡﺛ ٖﻢ ﻓَﺈِ ﱠن ﱠ‬ ٖ ِ‫ُﻣﺘَ َﺠﺎﻧ‬
“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. al-Mâidah/5: 3)
32

Islam pada saat itu hanya dipenuhi oleh keluarga, karib-kerabat, dan orang-orang

dekat yang mempunyai kekaguman terhadap pribadi nabi Muhammad saw.

Kendati demikian, Islam menjadi mudah untuk diterima oleh kaum lemah,

terutama pada budak dan orang-orang tertindas, karena mereka berharap, Islam

akan mampu mengakhiri penindasan dan penderitaan yang mereka alami. Tercatat

beberapa orang budak yang telah masuk Islam sejak periode Mekah, seperti Zaid

ibn Harits, Bilal ibn Rabah, Yasir, dan anaknya; Amar ibn Yasir. Mereka

menyembunyikan keimanan demi menyelamatkan nyawa dari kekejaman para

majikan. Namun ketika rahasia mereka terbongkar, penyiksaan demi penyiksaan

pun tidak dapat dihindarkan lagi. Bahkan tak sedikit dari mereka yang harus

kehilangan nyawa demi mempertahankan akidah, walaupun beberapa di antaranya

berhasil diselamatkan dan dimerdekakan oleh sahabat-sahabat lain. Berbeda

dengan kebiasaan orang-orang kafir, di dalam Islam, kemuliaan seseorang tidak

lagi diukur dengan status sosial maupun kekayaan, melainkan ketaqwaan kepada

Allah SWT. oleh karenanya, Rasulullah saw memperlakukan budak dan orang-

orang lemah sebagaimana perlakuan beliau terhadap sahabat lainnya. Bahkan

beliau sering berbincang-bincang dan duduk bersama dengan mereka. 50

Kehidupan Rasulullah saw dan para sahabat, dipandang sebagai tata

kehidupan sosial ideal dalam Islam, sehingga ia menjadi rujukan bagi umat Islam

di dalam menjalani kehidupan mereka. Namun yang perlu dijadikan acuan

(teladan) dalam hal ini, tak lain adalah nilai-nilai kehidupan tersebut, bukan

kenyataan kehidupan yang ada pada mereka, karena bagaimanapun permasalahan

50
Ibn Katsir,al-Bidâyah wa al-Nihayah, Juz. VI, 56
33

manusia selalu berkembang seiring dengan perkembagan zaman. Dalam

pembahasan ini, hal penting yang harus diketahui adalah perihal status umat Islam

dalam pergaulan sosial pada masa turunnya wahyu; ayat-ayat al-Quran. Hal ini

dimaksudkan untuk mengetahui tentang status perkawinan lintas agama pada saat

itu, dan beberapa hal lain yang barkaitan dengannya. 51

Dari kenyataan diatas, dapat dilihat bahwa para pengikut Islam pada saat

itu merupakan kelompok kecil yang tersisihkan dari pergaulan masyarakat secara

luas. Bahkan seringkali menerima perlakuan tidak adil dari para penguasa dan

orang-orang kaya, termasuk boikot perekonomian. Namun berbagai penderitaan

yang mereka rasakan, justru semakin mempertebal keimanan serta mempererat

persaudaraan di antara mereka. Dan dengan prinsip al-ukhuwwah, mereka berbagi

kesenangan dan kesedihan satu sama lain.

Masyarakat Arab terkenal sebagai masyarakat yang dapat memegang

tradisi leluhur dengan sangat kuat. Sehingga aktifitas keagamaan mereka, tidak

lebih hanya sekedar pelestarian budaya yang mereka wrisi secara turun temurun.

Dan siapapun dari kalangan mereka yang tidak menjalankan ajaran tersebut, atau

mengajarkann sesuatu yang berbeda dengannya, dianggap sebagai penyeleweng

dan tidak menghargai para leluhur. Mereka tidak meyakini kehidupan akhirat,

dengan segala kenikmatan maupun siksaan yang ada di dalamnya. Kehidupan

mereka hanya didasarkan pada norma-norma yang berkembang pada saat itu,

sehingga tidak ada aturan baku yang menjadi pedoman dalam menjalankan

aktifitas mereka sehari-hari. Kenyataan ini diperparah oleh kebiasaan mereka


51
Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 29
34

yang saling menindas dan merampas hak-hak orang lain, demi mendapatkan

superioritas di antara suku-suku yang ada. 52

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, tidak ada cara lain kecuali berusaha

memperkuat kelompok masing-masing dengan mempersiapkan pasukan perang

berikut segala perlengkapannya. Dalam keadaan demikian, para wanita, anak-anak

dan orang-orang lemah sama sekali tidak mendapatkan tempat, bahkan menjadi

kelompok yang termarginalkan, karena tidak dapat diandalkan dalam peperangan

tersebut. sehingga, posisi wanita pada saat itu tak lebih hanya sebagai pemuas

hawa nafsu semata. Sedangkan anak-anak perempuan yang dirasa tidak membawa

keuntungan, mereka rampas hak hidupnya. Dan walaupun dibiarkan hidup,

keberadaan mereka sama sekali tidak diperhitungkan.

Pernikahan menurut Islam bukan hanya sekedar urusan hubungan kontrak

antara kedua pengantin. Hukum Islam memandang pernikahan sebagai institusi

yang terdiri dari tiga aspek, yaitu aspek hukum, aspek sosial dan aspek

keagamaan. 53

Dalam keadaan demikian, status perkawinan bukanlah sesuatu yang

mendapat perhatian khusus, dikalangan mereka. Apalagi tidak ada aturan tentang

perkawinan dan perceraian, sehingga memungkinkan seseorang untuk mengawini

wanita berapapun ia mau dan mampu.

52
Muhammad Fathurrohman, History of Islamic Civilization: Peristiwa-peristiwa Sejarah
Peradaban Islam Sejak Zaman Nabi Sampai Abbasiyah, (Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca,
2017), h. 3
53
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 65
35

D. Pernikahan Beda Agama

Sejarah mencatat bahwa, lahirnya Islam di Jazirah Arabia melalui

perjuangan panjang dan proses yang berkesinambungan. Setidaknya, Rasulullah

saw. membutuhkan waktu dua puluh tiga tahun untuk meletakkan dasar-dasar

agama Islam sampai pada masa kesempurnaannya. Pada kondisi-kondisi tertentu,

adakalanya agama antara suami istri berbeda. 54

Pernikahan beda agama merupakan suatu perkawinan campuran yang

secara umum diartikan bahwa suatu perkawinan antara seorang pria dengan

seorang wanita yang tunduk pada hukum yang berbeda. Perbedaan hukum ini

mungkin antara lain disebabkan perbedaan agama yang dianut oleh mereka. 55

Masyarakat Islam yang muncul pertama kalinya di kota Makkah tidak

mengizinkan pada awal mulanya perpisahan masyarakat secara total, seperti

pemisahan perasaan keyakinan (akidah) yang telah ada di dalam jiwa kaum

muslimin. Karena, penataan masyarakat membutuhkan waktu dan pengaturan

secara perlahan-lahan. Maka, ketika Allah berkehendak agar kaum muslimin

mempunyai tempat yang independen di kota Madinah, dan kepribadian

masyarakatnya berbeda dan istimewa dengan yang lainnya, sebagaimana

keistimewaan kepribadian keyakinannya, mulailah tatanan baru melangkahi

jalannya, dan turunlah ayat QS. Al-Baqarah ayat 221. Ayat ini turun

mengharamkan jalinan pernikahan dalam bentuk baru, yaitu antara kaum

muslimin dan kaum musyrikin. Adapun perkawinan yang memang telah ada

54
Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 32
55
Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di
Indonesia, (Serang: Saudara: 1995), h. 33.
36

antara kaum muslimin dan kaum musyrikin (sebelum turunnya ayat ini) terus

berlangsung sampai tahun keenam Hijriah, yaitu ketika turunnya ayat kesepuluh

dari surat al-Mumtahanah. 56 Dengan turunnya ayat ini, berakhirlah segala

hubungan pernikahan antara umat Islam dan kaum musyrikin. 57

Hubungan pernikahan antara dua hati yang tidak mungkin dapat disatukan

dalam satu akidah (muslim-musyrik). Pernikahan dengan berlainan akidah itu

adalah ikatan yang palsu dan rapuh. Keduanya tidak bertemu pada Allah SWT.

Dan ikatan kehidupannya tidak berdiri di atas manhaj-Nya. 58

Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa selama masa tersebut,

sangat mungkin terjadi perubahan aturan demi aturan karena adanya proses.

Setidaknya atas dasar inilah, di dalam menjalankan misinya, nabi saw

menggunakan berbagai strategi dan pendekatan yang dapat diterima oleh

masyarakat Arab, khususnya. Di samping itu, obyek dakwah beliau pertama kali

adalah keluarga, kerabat dekat, teman karib, serta orang-orang yang mempunyai

kedekatan dengan beliau. 59

Periode Makah adalah masa penanaman dasar-dasar akidah Islam,

sehingga ayat-ayat yang tergolong Makiyah tidak banyak berbicara tentang aturan

hukum ataupun tatanan kehidupan sosial yang dicita-citakan Islam, sebagaimana

tergambar pada ayat-ayat Madaniyah selanjutnya. Dengan demikian, perhatian

56
Abdul Muta’al al-Jabri, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim?
Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur Abdul Razak, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2003), Cet. I, h. 32
57
Abdul Muta’al al-Jabri, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim?
Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur Abdul Razak, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2003), Cet. I, h. 33
58
Abdul Muta’al al-Jabri, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim?
Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur Abdul Razak, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2003), Cet. I, h. 33-34
59
Lihat: Qs. Tâhâ/20: 132
37

beliau sama sekali belum tertuju pada pengambilan sikap atas kasus-kasus

pernikahan beda agama yang terjadi pada saat itu. Bahkan, ketika di Mekah beliau

menikahkan putri beliau “Zainab” dengan seorang musyrik, Abû al-‘Ass ibn al-

Rabî’. 60 Dengan demikian, dapat dilihat bahwa pada masa awal datangnya Islam

pernikahan beda agama terjadi. Sebab, penyebaran Islam belum begitu luas.

1. Masa Rasulullah

Adapun peristiwa terkait dengan pernikahan beda agama antara laki-laki

muslim dengan perempuan non muslimah telah dilakukan oleh beberapa orang

sahabat Nabi Muhammad saw., diantaranya Hudzaifah bin al-Yaman yang

menikahi wanita Yahudiah dari suku al-Madâ’in, ‘Utsman bin ‘Affân yang

menikahi Nashraniyah (Nâ’ilah binti al-Farafishah al-Kalbiyyah) yang kemudian

masuk Islam. 61

2. Pernikahan di Indonesia

Perkawinan sebagai cikal bakal keluarga yang memiliki peran penting

dalam kontribusi pembangunan bangsa. Dalam hal ini, pembangunan bangsa

harus dimulai dari keluarga, karena keluarga adalah tempat pembentukan peran,

nilai, sikap dan perilaku masyarakat. 62

Pernikahan merupakan ikatan yang terdalam, terkuat, dan paling

berkesinambungan, yang menghubungkan antara dua orang manusia, dan juga

mencakup jawaban-jawaban terluas yang saling dilakukan antara dua manusia.

Oleh karena itu, haruslah ada persatuan hati, bertemunya hati-hati itu dalam satu

60
Imam al-Qurtubi, (Kairo, Dâr al-Syu’ab, 1372), Jld. 18, Cet. 2, h. 55
61
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, (Tangerang: Lentera Hati,
2015), Cet. I, h. 99
62
Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama,
dan Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 6
38

ikatan yang tidak mungkin dapat dilepaskan. Agar hati-hati itu bersatu dan

berpadu, wajib adanya persatuan keyakinan, persatuan tujuan. Adapun akidah

agama adalah ikatan yang paling dalam, paling komprehensif, yang dapat

menghidupkan jiwa, mempengaruhi dan mengatur perasaannya, serta membatasi

keterpengaruhannya dan interaksinya, serta membantu perjalanannya di dalam

mengarungi kehidupan. 63

Dengan demikian, pernikahan sangat dibutuhkan dalam kehidupan

bermasyarakat guna melangsungkan kehidupan umat manusia serta untuk

mempertahankan eksistensi kemanuisaan di muka bumi ini. Ia sangat disenangi

oleh setiap pribadi manusia dan merupakan hal yang fitrah bagi setiap makhluk

Tuhan. Dengan perkawinan akan tercipta suatu masyarakat kecil dalam bentuk

keluarga dan dari sana pula akan lahir beberapa suku dan bangsa. 64

Di Indonesia, masalah pernikahan/perkawinan telah di atur dalam UU

Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 disebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan

lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian dalam pasal kedua disebutkan bahwa

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu. 65

63
Abdul Muta’al al-Jabri, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim?
Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur Abdul Razak, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2003), Cet. I, h. 31
64
Musifin As’ad dan Salim Basyarahil, Perkawinan dan Masalahnya, (Terj), Ibnu Ahmad
Dahri (Ed), (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar,1993), Cet. 2, h. 14
65
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan Peraturan
Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h.
329
39

Dengan demikian, bagi umat Islam yang menjadi penganut mayoritas di

Indonesia harus melakukan pernikahannya sesuai dengan hukum pernikahan yang

telah diatur dalam Islam. Dalam agama Islam, pernikahan telah diatur dengan

baik, yaitu dengan adanya syarat-syarat dan rukun-rukun dalam pernikahan, salah

satu syarat dalam pernikahan yaitu calon pasangan suami istri harus sama-sama

beragama Islam. 66 Oleh sebab itu, penduduk Indonesia tidak diberikan izin untuk

melakukan pernikahan beda agama, walaupun aturan tersebut tidak tegas. Hal ini

terbukti dengan tidak sedikitnya masyarakat Indonesia yang melakukan

pernikahan beda agama. Diantaranya, ada yang melakukan konversi agama, ada

juga yang menikah luar negeri agar pernikahannya dapat tercatat serta diakui oleh

negara.

66
Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Departemen Agama, 1993), h. 850
40

BAB III

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM QS. AL-MUMTAHANAH/60: 10

A. Penafsiran Para Mufassir terhadap QS. al-Mumtahanah/60: 10

Seperti halnya para Sahabat Khulafa al-Rasyidin, yang harus mengatasi

persoalan baru akibat persentuhan peradaban dengan wilayah non Islam yang

telah ditaklukkan oleh para pasukan umat Islam. Beberapa ulama mulai dari klasik

hingga modern, merasa perlu melakukan penafsiran ulang terhadap syariat-syariat

yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran. Adapun ayat yang melatar belakangi

syariat tentang pernikahan beda agama yaitu QS. Al-Mumtahanah: 10

‫ت ﻓَﭑﻣۡ ﺘَ ِﺤﻨُﻮھُ ۖ ﱠﻦ‬ ٖ ‫ﺖ ُﻣ ٰﮭَ ِﺠ ٰ َﺮ‬ َ ‫ٰﯾَٓﺄَﯾﱡﮭَﺎ ٱﻟﱠ ِﺬ‬


ُ َ‫ﯾﻦ َءا َﻣﻨُ ٓﻮ ْا إِ َذا َﺟﺎٓ َء ُﻛ ُﻢ ٱ ۡﻟ ُﻤ ۡﺆ ِﻣ ٰﻨ‬
ۖ
‫ﺖ ﻓَ َﻼ ﺗَ ۡﺮ ِﺟﻌُﻮھُ ﱠﻦ إِﻟَﻰ‬ ٖ َ‫ٱ ﱠہﻠﻟُ أَ ۡﻋﻠَ ُﻢ ﺑِﺈِﯾ ٰ َﻤﻨِ ِﮭ ﱠﻦ ﻓَﺈ ِ ۡن َﻋﻠِﻤۡ ﺘُ ُﻤﻮھُ ﱠﻦ ُﻣ ۡﺆ ِﻣ ٰﻨ‬
ْ ۚ ُ‫ﻮن ﻟَﮭ ۖ ﱠُﻦ َو َءاﺗُﻮھُﻢ ﱠﻣﺎٓ أَﻧﻔَﻘ‬
‫ﻮا‬ َ ‫ ّﻞ ﻟﱠﮭُﻢۡ َو َﻻ ھُﻢۡ ﯾَ ِﺤﻠﱡ‬ٞ ‫ﺎر َﻻ ھُ ﱠﻦ ِﺣ‬ ۡ
ِ ۖ ‫ٱﻟ ُﻜﻔﱠ‬
‫ُﻮرھُ ۚ ﱠﻦ َو َﻻ‬ َ ‫ﺎح َﻋﻠَ ۡﯿ ُﻜﻢۡ أَن ﺗَﻨ ِﻜﺤُﻮھُ ﱠﻦ إِ َذ ٓا َءاﺗَ ۡﯿﺘُ ُﻤﻮھُ ﱠﻦ أُﺟ‬ َ َ‫َو َﻻ ُﺟﻨ‬
ْ ۚ ُ‫ﻮا َﻣﺎٓ أَﻧﻔَﻘ‬
ۡ‫ﻮا ٰ َذﻟِ ُﻜﻢ‬ ْ ُ‫ﻮا َﻣﺎٓ أَﻧﻔَ ۡﻘﺘُﻢۡ َو ۡﻟﯿَ ۡﺴٴَﻠ‬ ْ ُ‫ﺼ ِﻢ ٱ ۡﻟ َﻜ َﻮاﻓِ ِﺮ َو ۡﺳٴَﻠ‬ ْ ‫ﺗُﻤۡ ِﺴ ُﻜ‬
َ ‫ﻮا ﺑِ ِﻌ‬
۱۰ ‫ﯿﻢ‬ٞ ‫ﺣ ُۡﻜ ُﻢ ٱ ﱠہﻠﻟِ ﯾَ ۡﺤ ُﻜ ُﻢ ﺑَ ۡﯿﻨَ ُﻜﻢۡۖ َوٱ ﱠہﻠﻟُ َﻋﻠِﯿ ٌﻢ َﺣ ِﻜ‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah
kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah
kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka
kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada
halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami)
mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu
mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya.
Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)
dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta
mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta
mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang
41

ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi


Maha Bijaksana.”(QS. Al-Mumtahanah/60: 10)

Menurut Ibn ‘Asyûr, turunnya ayat ini dilatarbelakangi oleh dampak dari

perjanjian yang terjadi antara Nabi Saw. dengan kaum musyrik di daerah

Hudaibiyah. Salah satu isi perjanjian tersebut adalah “pihak Quraisy yang

mendatangi Muhammad tanpa izin walinya, maka dikembalikan kepada

keluarganya, dan kaum Muhammad yang mendatangi kaum Quraisy maka tidak

dikembalikan.” Setelah perjanjian tersebut, belum juga Nabi Saw. berangkat ke

Madinah. Saat itu, Ummu Kultsûm binti ‘Uqbah melarikan diri dari suaminya

dalam rangka berhijrah. Begitu pula Subai’ah al-Aslamiyah dan Umaimah binti

Bisyr. Kemudian, para suami meminta istri mereka kembali, sebagian dari mereka

menyusulnya ke Madinah. Mereka mengingatkan pihak Muhammad akan

perjanjian yang belum lama dibuat, yakni harus mengembalikan orang Quraisy

yang lari dari keluarganya tanpa izin. Lalu, turunlah ayat ini yang menahan

mereka untuk tetap berada di Madinah. Tidak ada satu pun dari perempuan-

perempuan itu yang dikembalikan kepada keluarganya. 1

Ayat ini masih berkaitan dengan ayat sebelumnya, yakni ayat tentang

larangan menyerahkan urusan kepada orang-orang musyrik. Hal ini berimbas

kepada hubungan pernikahan dan perbesanan yang terjadi antara orang muslim

1
Muhammad al-Ṯahir ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, (Tunisia: al-Dâr al-
Nasyr wa al-Tauzî’ wa al-‘Ilân, t.th), Juz. 28 , h. 154-155. Ulama berbeda pendapat mengenai
pembatalan perjanjian Hudaibiyah yang terlihat sepihak. Apakah larangan pengembalian
perempuan kepada keluarganya telah mengabrogasi syarat perjanjian Hudaibiyah, atau isi
perjanjian masih ambigu karena memakai redaksi global yakni jama’ mudzakkar. Turunnya ayat
berfungsi sebagai pemerinci ambiguitas tersebut. Lihat: Ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr,
h. 155
42

dengan orang musyrik. Sebab pada saat Islam datang, sebagian kaum Arab saat itu

masuk Islam, dan sebagian lagi tetap masih terikat hubungan tersebut. 2

Imam al-Qurṯubi penggalan ayat ُ َ‫ٰﯾَٓﺄَﯾﱡﮭَﺎ ٱﻟﱠ ِﺬﯾﻦَ َءا َﻣﻨُ ٓﻮ ْا إِ َذا َﺟﺎٓ َء ُﻛ ُﻢ ۡٱﻟ ُﻤ ۡﺆ ِﻣ ٰﻨ‬
‫ﺖ‬

‫ت ﻓَﭑﻣۡ ﺘَ ِﺤﻨُﻮھُ ۖ ﱠﻦ‬


ٖ ‫“ ُﻣ ٰ َﮭ ِﺠ ٰ َﺮ‬Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah
kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji

(keimanan) mereka”. Ketika Allah memerintahkan kaum muslimin untuk tidak

menjadikan sebagai teman setia atau penolong, maka hal ini menghendaki

hijrahnya kaum muslimin dari negeri kemusyrikan ke negeri Islam. Sementara itu,

pernikahan merupakan salah satu faktor yang paling kuat adanya pengangkatan

seseorang sebagai teman setia atau penolong. Oleh karena itu, Allah menerangkan

hukum-hukum wanita yang berhijrah. 3 P2F

Nabi SAW. diperintah oleh Allah SWT. untuk menguji para perempuan

tersebut, agar bersumpah bahwa mereka hijrah karena Allah SWT., bukan karena

keduniaan marah kepada suami, ingin pindah ke daerah lain, atau karena ada

orang mukmin yang disukai, tapi harus murni kecintaannya kepada Allah SWT.

Pada penggalan ayat merupakan penegasan dari ayat bahwasanya wajib berpisah

antara perempuan mukmin dengan suaminya yang kafir. 4

Ahli Ilmi bebeda pendapat apakah kaum perempuan termasuk ke dalam

nota gencatan senjata, kemudian Allah menghapus hal itu dari nota tersebut dan

2
Muhammad al-Ṯahir ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, (Tunisia: al-Dâr al-
Nasyr wa al-Tauzî’ wa al-‘Ilân, t.th), Juz. 28 , h. 154
3
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 366
4
Muhammad al-Ṯahir ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, (Tunisia: al-Dâr al-
Nasyr wa al-Tauzî’ wa al-‘Ilân, t.th), Juz. 28 , h. 156
43

melarang hal itu. Akan tetapi Allah menetapkan hal itu pada kaum laki-laki

sebagaimana adanya. 5

Namun sekelompok Ahli Ilmi berkata: “Rasulullah saw. tidak

mensyaratkan pengembalian kaum perempuan pada nota kesepakatan.

Kesepakatan itu hanya mengatakan pengembalian terhadap orang yang masuk

Islam.” 6 Namun, sebelum diizinkannya untuk berhijrah, perempuan-perempuan

tersebut harus diuji terlebih dahulu.

Menurut Ibnu ‘Abbas, ujian tersebut adalah perempuan tersebut harus

bersaksi bahwa tiada Tuhan yang hak kecuali Allah dan bahwa Muhammad

adalah utusan Allah. 7Disamping harus bersumpah dengan nama Allah, bahwa dia

juga tidak boleh keluar (meninggalkan suaminya) karena marah terhadap

suaminya, tidak pula karena benci terhadap suatu daerah kemudian pindah ke

daerah lain, tidak karena mencari dunia, tidak karena cinta terhadap seseorang dari

kami (kaum muslim), akan tetapi karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Apabila telah bersumpah, maka Nabi saw akan memberikan maharnya kepada

suaminya dan apa yang telah dinafkahkan kepadanya, namun beliau tidak akan

mengembalikannya. Begitulah maksud penggalan ayat berikut ini. ‫ﻓَﺈِ ۡن‬

َ‫ ّﻞ ﻟﱠﮭُﻢۡ َو َﻻ ھُﻢۡ ﯾَ ِﺤﻠﱡﻮن‬ٞ ‫ﺎر َﻻ ھُ ﱠﻦ ِﺣ‬ ۡ ٖ َ‫َﻋﻠِﻤۡ ﺘُ ُﻤﻮھُ ﱠﻦ ُﻣ ۡﺆ ِﻣ ٰﻨ‬


ِ ۖ ‫ﺖ ﻓَ َﻼ ﺗَ ۡﺮ ِﺟﻌُﻮھُ ﱠﻦ إِﻟَﻰ ٱﻟ ُﻜﻔﱠ‬

◌ۖ ‫“ﻟَﮭ ﱠُﻦ‬Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman

5
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 368
6
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 369
7
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, jilid. 18, h. 370
44

maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-

orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir

itu tiada halal pula bagi mereka.” 8

Dalam hal ini, Aisyah berkata: “Rasulullah tidak pernah menguji kecuali

dengan ayat dimana Allah berfirman, ” ُ َ‫ ٰﯾَٓﺄَﯾﱡﮭَﺎ ٱﻟﻨﱠﺒِ ﱡﻲ إِ َذا َﺟﺎٓ َءكَ ۡٱﻟ ُﻤ ۡﺆ ِﻣ ٰﻨ‬,
َ‫ﺖ ﯾُﺒَﺎﯾِ ۡﻌﻨَﻚ‬

“Apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk

mengadakan janji setia.”(QS. al-Mumtahanah: 12) 9 P8F

Pendapat lain mengatakan bahwa mayoritas ulama telah meghapus apa

yang telah Rasul syaratkan terhadap orang-orang Quraisy, dimana beliau akan

mengembalikan kepada mereka orang-orang yang datang kepada beliau dalam

keadaan muslim, dimana kaum wanita telah dinasakh dari sarat tersebut. 10

Sedangkan ayat tersebut dilanjutkan dengan penjelasan ayat ‫ﷲ أﻋﻠﻢ‬

‫“ ﺑﺈٮﻤﻨﮭﻦ‬Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka”. Penjelasan ayat ini

ingin menunjukkan bawa Tuhan mengetahui garis keimanan setiap manusia,

karena Tuhan mengetahui segala hal meski yang tersembunyi”. ‫ﻓﺈن ﻋﻠﻤﺘﻤﻮ ھﻦ‬

8
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 370
9
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h.371
HR. At-Tirmidzi pada pembahasan tafsir (5/411). Hadis ini dikeluarkan oleh At-Tirmidzi,
dan ia berkata bahwa hadis ini termasuk hadis hasan sahih. Lihat: Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li
Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h.373
10
Pendapat ini merupakan pendapat ynag mebolehkan sunnah menghapus al-Quran.
Menurut mereka pendapat yang sahih adalah pendapat yang menyatakan bahwa dalam ayat ini
tidak ada nassakh. Sebab, ayat tersebut hanya mengkhususi atau membatasi keumumman Sunnah.
Dalam hal ini perlu diketahui bahwa mayoritas ushuliyyin membolehkan menghususkan sunnah
dengan al-Qur’an. Lihat: Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 373. lihat juga Ithaf al-Anam bi Takhsis al-
Am,tth
45

‫ﻣﺆﻣﻨﺖ‬ “Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka benar-benar beriman”.

Menurut satu pendapat, jika kalian mengetahui bahwa mereka benar-benar

beriman sebelum di uji, “maka janganlah kamu kembalikan mere kepada mereka

suami-suami mereka yang kafir. Mereka tiada halal pula bagi orang kafir itu dan

orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Maksudnya adalah Allah tidak

menghalalkan wanita yang beriman bagi laki-laki yang kakfir, dan tidak pula

menghalalkan pernikahan laki-laki yang beriman kepada yang musyrik. Ini

merupakan dalil yang sangat menunjukkan faktor mewajibkan pisahnya seorang

muslimah dari suaminya yang kafir adalah keislamannya dan bukan hijrahnya. 11

Dengan demikian, manusia cukup menguji dengan berbagai pertanyaan sebab

manusia hanyalah dapat melihat kesungguhan manusia dari lahir saja. Karena

Allah SWT yang Maha Mengetahui segalanya.

Selanjutnya dari penggalan ayat ‫“وأﺗﻮھﻢ ﻣﺎ أﻧﻔﻘﻮا‬Dan berikanlah kepada

suami-suami mereka mahar yang telah mereka bayar”. Apabila wanita muslimah

itu tidak dikembalikan kepada suaminya yang kafir, maka Allah memerintahkan

agar apa yang sudah inafkahkan untuk dirinya dikembalikan lagi keada suaminya.

Hal tersebut termasuk pemenuhan janji. Bagi Qurthubi, hal ini dilakukan agar

seorang suami tidak merasa kehilangan semuanya baik istrinya dan hartanya. 12

Adapun apabila dia datang dan meminta agar istrinya dikembalikan, maka

kita harus melarang untuk mengembalikan istrinya namun kita wajib membayar

11
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 373
12
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 374
46

denda. Jika istrinya sudah meninggal ketika suami belum datang, maka tidak

wajib menanggung kewajiban mahar, sebab larangan kembali itu belum nyata.

Selanjutnya, Allah memerintahkan agar mengembalikan nafkah kepada

para suami, seperti yang telah mereka berikan. Orang yang diperintahkan untuk

melaksanakan perintah ini adalah imam atau pemerintah. Dia harus melaksanakan

perintah tersebut dengan mengambil harta yang ada di baitul mal, yang belum

jelas alokasinya. Pendapat lain dari Qatadah bahwa “Hukum mengembalikan

mahar itu khusus untuk wanita dari kalangan yang menandatangani perjanjian.

Adapun orang yang tidak mengikat pperjanjian dengan kaum muslimin, mahar

tidak boleh dikembalikan kepada mereka.

Kemudian, terkait pernikahan mereka dijelaskan dalam penggalan ayat

‫“ وﻻ ﺟﻨﺎح ﻋﻠﯿﻜﻢ أن ﺗﻨﻜﺤﻮ ھﻦ‬Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka”. Jika

mereka telah masuk Islam dan telah menyelesaikan masa iddahnya. Sebab

ditetapkan bahwa menikahi wanita yang musyrik dan wanita yangs edang

menjalani masa iddah adalah suatu hal yang diharamkan. Jika wanita tersebut

telah masuk Islam sebelum melakukan hubungan badan, maka pernikahan dapat

ditetapkan secara langsung, dan wanita itupun berhak untuk menikah.

Orang muslim yang menikah dengan berbeda agama tersebut bisa

langsung menikah dengan orang muslim lainnya dengan syarat harus membayar

terlebih dahuklu mahar yang diberikan suaminya dahulu yang bukan muslim.

Sebagaimana penggalan ayat ‫إذا أﺗﯿﺘﻤﻮ ھﻦ أﺟﻮرھﻦ‬ “Apabila kamu bayar

maharnya kepada mereka”. Allah membolehkan menikah mereka dengan syarat


47

mahar (yang dulu telah diberikan suaminya dikembalikan kepada suaminya).

Sebab Islam telah memisahkan dia dengan suaminya yang kafir.

Sedangkan, larangan terjadinya pernikahan beda agama ini didasarkan

pada penjelasan penggalan ayat ‫“ وﻻ ﺗﻤﺴﻜﻮا ﺑﻌﺼﻢ اﻟﻜﻮاﻓﺮ‬Dan janganlah kamu

tetap berpegang teguh pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan

kafir”. Namun, dalam memahami bacaan kalimat ‫ﺗﻤﺴﻜﻮا‬ memunculkan

perbedaan makna pernikahan dan tali. Maksud ayat tersebut adalah bahwa wanita

muslimah yang bergabung ke wilayah perang kemudian dia menjadi kafir. Pada

saat itu, orang kafir menikahi wanita muslimah, dan laki-laki muslim pun

menikahi wanita yang musyrik. Pada saat itu juga turun perintah larangan dari

Islam, sehingga Umar bin al-Khattab menceraikan kedua istrinya yang musyrik. 13

Dari penggalan ayat tersebut penulis menyimpulkan, bahwa pernikahan

yang dilakukan antara seorang muslim dan non muslim adalah dilarang. Baik

yang belum melakukan pernikahan, maupun telah terjadinya pernikahan.

Selanjutnya, penggalan ayat ‫“ﺑﻌﺼﻢ اﻟﻜﻮاﻓﺮ‬Pada tali (perkawinan)

dengan perempuan kafir”. Yang dimaksud dengan kafir disini adalah orang

penyembah berhala yaitu perempuan-perempuan yang sejak awal memang

terlarang untuk dinikahi oleh seorang muslim dengan demikian, lafadz kafir disini

khusus untuk perempuan kafir yang bukah ahlul kitab. 14

13
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 380
14
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h.380
48

Imam Malik berpendapat bahwa jika seorang istri belu digauli tidak perlu

menunggu masa iddah untuk melanjutkan pernikahan kembali dengan pria lain.

Sebaliknya, imam Syafi’I tetap memberikan aturan kepada laki-laki agar tetap

menunggu masa iddah perempuan itu selesai meski perempuan tersebut belum

digauli. Sedangkan, jika suami istri adalah nasrani dan satu ketika istri masuk

Islam, maka dalam hal ini pun terjadi perbedaan pendapat. Madzhab imam Malik,

Ahmad, dan Syafi’i mewajibkan sang istri untuk sampai menunggu masa

iddahnya sempurna. Pendapat tersebut dikategorikan sebagai pendapat mujahid. 15

Maka ayat ini diakhiri dengan penggalan ayat ‫“ ذﻟﻜﻢ ﺣﻜﻢ ﷲ‬Demikian

hukum Allah”. Beberapa penjelasan ayat di atas merupakan sebuah ketetapan

hukum yang diatur oleh Tuhan untuk umat Islam. 16 P15F P

Pada saat itu kedudukan perempuan sangat berlainan dengan laki-laki.

Bahkan dalam membuat isi perjanjian perdamaian tersebut aturan terhadap

perempuan tidak disebutkan secara tertulis. Maka ketika Nabi saw. didatangi

perempuan-perempuan yang meminta untuk diterima sebagai muhajirâh, maka

Nabi menimbang bahwa kalau perempuan yang hijrah itu dikembalikan ke

Makkah, artinya mengembalikan mereka dalam penindasan dan mereka akan

ditimpa dengan berbagai fitnah. Sebab perempuan-perempuan pada saat itu

lemah. 17

15
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h.381
16
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 385
17
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), Cet. I, Juz. 28, h. 108
49

Dari ayat ini Rasulullah saw dan orang-orang yang beriman telah

mendapat keputusan yang tegas dari Allah SWT. Yaitu bahwa perempuan-

perempuan itu pertama sekali adalah orang-orang yang beriman, kedua, Nabi

menguji perempuan-perempuan tersebut karena agar dapat

dipertanggungjawabkan, baik terhadap masyarakat sesama Islam sendiri, atau

untuk membela mereka di hadapan kaum musyrikin yang hendak mengutik-utik

kepindahan mereka kelak. Dengan demikian, hijrah itu hendaklah benar-benar

dilakukan karena agama, karena iman, karena keyakinan. Bukan hanya karena

semata-mata hendak melepaskan diri dari suami yang memeliharanya dengan

baik, meskipun sama-sama musyrik. Bukan karena mencari keuntungan diri

sendiri, bukan karena ada orang yang dicintai di Madinah, lalu hijrah dan agama

dijadikan topeng. 18

Bila perempuan itu telah bersumpah bahwa dia benar-benar hijrah bukan

karena mengharap dunia, namun semata-mata karena cinta kepada Allah dan

Rasul-Nya. Selain itu, Ibn Abbas juga menerangkan bahwa di samping bersumpah

“Billah” (Demi Allah), mereka juga disuruh mengucapkan dua kalimat syahadat. 19

Berkenaan dengan pernikahan beda agama, dalam penggalan ayat ‫َو َﻻ‬

‫ﺼ ِﻢ ۡٱﻟ َﻜ َﻮاﻓِ ِﺮ‬ ْ ‫ﺗُﻤۡ ِﺴ ُﻜ‬


َ ‫ﻮا ِﺑ ِﻌ‬ “Dan janganlah kamu berpegang dengan tali-tali

perempuan-perempuan kafir.” Dari kalimat ‘Isham kita ambil arti tali-tali. Yaitu

tali-tali yang masih menghubungkan cinta kasih di antara suami yang telah Islam

dengan istrinya yang masih kafir. Bahwa ayat ini mengandung penjelasan bahwa

18
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), Cet. I, Juz. 28, h. 109
19
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), Cet. I, Juz. 28, h. 109
50

mulai saat diturunkannya ayat ini, tali (hubungan) suami istri antara laki-laki

yang Islam dan telah hijrah, dengan sendirinya diputuskan dengan istri-istrinya

yang masih kafir. 20

Maka dari keterangan ayat ini, hamka menerangkan bahwa seorang laki-

laki kafir yang telah Islam tidak dibolehkan nikah dengan perempuan yang masih

kafir, baik apa saja agama yang mereka anut, kecuali dalam surat Al-Maidah ayat

5. Namun dalam hal ini perempuan ahlul kitab ini diberi penjelasan lagi,

hendaklah laki-laki Islam itu yang kuat imannya dan dapat membimbing istrinya

dengan perlahan-lahan ke dalam akidah Islam. Kalau tidak kuat iman laki-laki,

sama saja dengan mempermain-mainkan dan meringan-ringankan agama. 21

Maka penulis menyimpulkan, bahwa dalam ayat ini tidak hanya

menjelaskan masalah perempuan-perempuan Makkah yang berhijrah ke Madinah,

namun juga terkait ikatan pernikahan orang Islam dengan yang masih kafir

terputus.

Dari penjelasan Qs. al-Mumtahanah: 10 tersebut telah dijelaskan bahwa

seorang laki-laki kafir yang telah Islam tidak dibolehkan kawin dengan

perempuan yang masih kafir, baik apa saja agama yang mereka anut, dikecualikan

perempuan Ahl al-Kitâb (Yahudi dan Nasrani) yang diberi pengecualian dalam

Qs. al-Maidah: 5. Namun tentang perempuan Ahl al-Kitâb ini diberi penjelasan

lagi, hendaklah laki-laki Islam itu yang kuat imannya dan dapat membimbing

isterinya dengan perlahan-lahan ke dalam akidah Islam. 22

20
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000), Cet. II, Juz. 28, h. 111
21
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000), Cet. II, Juz. 28, h. 111-112
22
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000), Cet. II, Juz. 28, h. 111
51

B. Keterkaitan Ayat-Ayat Pernikahan Beda Agama

Pelarangan ikatan pernikahan beda agama yang dikandung ayat ....

ditunjukkan kepada orang-orang Arab pada saat turunnya ayat tersebut,

1. QS. Al-Baqarah/2: 221

‫ﺮ ﱢﻣﻦ ﱡﻣ ۡﺸ ِﺮ َﻛ ٖﺔ َوﻟَ ۡﻮ‬ٞ ‫ﺔ ﱡﻣ ۡﺆ ِﻣﻨَﺔٌ َﺧ ۡﯿ‬ٞ ‫ﺖ َﺣﺘﱠ ٰﻰ ﯾ ُۡﺆ ِﻣ ۚ ﱠﻦ َو َﻷَ َﻣ‬


ِ ‫ُﻮا ۡٱﻟ ُﻤ ۡﺸ ِﺮ ٰ َﻛ‬
ْ ‫َو َﻻ ﺗَﻨ ِﻜﺤ‬

ْ ۚ ُ‫ُﻮا ۡٱﻟ ُﻤ ۡﺸ ِﺮ ِﻛﯿﻦَ َﺣﺘﱠ ٰﻰ ﯾ ُۡﺆ ِﻣﻨ‬


‫ﺮ ﱢﻣﻦ‬ٞ ‫ﺪ ﱡﻣ ۡﺆ ِﻣ ٌﻦ َﺧ ۡﯿ‬ٞ ‫ﻮا َوﻟَ َﻌ ۡﺒ‬ ْ ‫أَ ۡﻋ َﺠﺒَ ۡﺘ ُﻜﻢۡۗ َو َﻻ ﺗُﻨ ِﻜﺤ‬
ٓ
‫ٱہﻠﻟُ ﯾَ ۡﺪ ُﻋ ٓﻮ ْا إِﻟَﻰ ۡٱﻟ َﺠﻨﱠ ِﺔ‬
‫ﺎر َو ﱠ‬ َ ‫ﱡﻣ ۡﺸ ِﺮ ٖك َوﻟَ ۡﻮ أَ ۡﻋ َﺠ َﺒ ُﻜﻢۡۗ أُوْ ٰﻟَ ِﺌ‬
ِ ۖ ‫ﻚ ﯾَ ۡﺪ ُﻋﻮنَ إِﻟَﻰ ٱﻟﻨﱠ‬
ۡ ۡ
ِ ‫َوٱﻟ َﻤ ۡﻐﻔِ َﺮ ِة ﺑِﺈِذﻧِ ِۖۦﮫ َوﯾُﺒَﯿﱢ ُﻦ َءا ٰﯾَﺘِِۦﮫ ﻟِﻠﻨﱠ‬
۲۲۱ َ‫ﺎس ﻟَ َﻌﻠﱠﮭُﻢۡ ﯾَﺘَ َﺬ ﱠﻛﺮُون‬

”Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum


mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak
yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke
surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-
ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah/2: 221)

Para ulama sepakat bahwa kandungan dari ayat tersebut mengandung

larangan seorang Muslim maupun Muslimah menikah dengan orang non

Muslim. Non muslim yang disebutkan dalam ayat ini adalah kata musyrik

Sebab menurut Quraish Shihab, pemilihan pasangan adalah batu pertama

pondasi bangunan rumah tangga. Ia harus kukuh, agar bangunan tersebut

tidah roboh hanya dengan sedikit goncangan, apalagi jika beban yang

ditampungnya semakin berat dengan kelahiran anak-anak. Karena


52

merurutnya, pondasi yang kokoh adalah yang bersandar pada iman kepada

Yang Maha Kuasa. 23

Sementara Qurthubi menjelaskan ayat ini secara detail bahwa pernikahan

kepada orang-orang musyrik itu tidak sah meskipun pada awalnya Allah

memerintahkan agar para lelaki menggauli anak yatim dalam pernikahan

namun tetap saja pernikahan dengan orang musyrik tidaklah sah.

Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat tersebut;

sekelompok menyatakan bahwa Allah telah mengharamkan menikahi wanita

musyrik dalam surah al-Baqarah, namun sebagian laragan yang tertuju pada

wanita ahlul kitab telah dinasakh. Artinya Allah telah menhalalkan mereka

dalam surah al-Maidah.

Disisi lainnya, jika ada seorang wanita muslimah menikahi laki-laki ahlul

kitab dan mereka termasuk orang-orang yang memerangi kaum Muslim,

maka hal tersebut tidak dihalalkan. Ibn Abbas pernah ditanya tentang hal

tersebut dan ia berkata bahwa: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman

kepada Allah dan tidak pula pada hari kemudian dan mereka tidak

mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan tidak

beragama dengan agama yang benar, yaitu orang-orang yang diberikan al-

Kitab kepada mereka sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang

mereka dalam keadaan tunduk”. (QS. at-Taubah:29). Penjelasan lain yang

23
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), Jilid. I, h. 472-473
53

berkaitan dengan ayat tersebut adalah tentang menikahi budak dan menikahi

wanita majusi dimana keduanya ditetapkan tidak boleh oleh al-Qur’an. 24

Beberapa masalah yang ditekankan dalam penjelasan ayat di atas

diantaranya ialah: tidak dibolehkan untuk menikahkan wanita muslimah

dengan laki-laki musyrik, pernikahan harus ada walinya. Dalam

permasalahan wali ini ada perbedaan dimana boleh siapa saja yang dianggap

baik oleh keluarga baik keluarga dekat semahram, orang lain atau orang yang

menerima wasiat.. namun pendapat yang lain menyatakan bahwa wali itu

harus dari pihak keluarga atau ashabah.

Bagi Quraish Shihab, pernikahan yang dikehendaki Islam adalah

pernikahan yang menjalin hubungan harmonis antar suami istri, sekaligus

antar keluarga, bukan saja keluarga masing-masing tetapi juga antar keluarga

kedua mempelai. Dari sini, peranan orang tua sangat penting baik dengan

memberi kepada orang tua wewenang besar, maupun sekedar restu tanpa

mengurangi hak anak. Karena itu, meski Rasul memerintahkan orangtua

untuk meminta persetujuan anak gadisnya, namun karena tolak ukur anak

tidak jarang berbeda dengan tolak ukur orang tua maka tolak ukur anak dan

orangtua harus menatu dalam mengambil keputusan pernikahan. 25

Dalam hal ini Quraish Shihab juga sependapat dengan Qurthubi bahwa

orang tua dilarang menikahkan anak wanita muslimah dengan laki-laki

musyrik. Meski ada sebahagian kelompok tidak memasukkan ahlul kitab

24
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 3, h. h.155
25
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), Jilid. I, h. 475
54

sebagai yang haram namun ini tidak tentu bahwa wanita muslimah juga boleh

menikahi laki-laki ahlul kitab. Bagi Quraish, meski ayat tersebut tidak

menyebutkan secara jelas tentang ahlul kitab namun baginya ahlul kitab

adalah termasuk dari kelompok orang orang kafir dan musyrik. Alasan

mendasar dari pelarangan ini bagi Quraish adalah perbedaan iman yag akan

membawa dampak besar dalam sebuah kehidupan termasuk keyakinan seoran

anak yang lahir dari kedua orangtua yang berbeda keyakinan.

2. QS. Al-Maidah/5: 5

َ َ‫ﻮا ٱ ۡﻟ ِﻜ ٰﺘ‬
ۡ‫ ّﻞ ﻟﱠ ُﻜﻢۡ َوطَ َﻌﺎ ُﻣ ُﻜﻢ‬ٞ ‫ﺐ ِﺣ‬ ْ ُ‫ﺖ َوطَ َﻌﺎ ُم ٱﻟﱠ ِﺬﯾﻦَ أُوﺗ‬ ُ ۖ َ‫ٱ ۡﻟﯿَ ۡﻮ َم أ ُ ِﺣ ﱠﻞ ﻟَ ُﻜ ُﻢ ٱﻟﻄﱠﯿﱢ ٰﺒ‬
َ َ‫ﻮا ٱ ۡﻟ ِﻜ ٰﺘ‬
‫ﺐ‬ ْ ُ‫ﺖ ِﻣﻦَ ٱﻟﱠ ِﺬﯾﻦَ أُوﺗ‬ ُ َ‫ﺼ ٰﻨ‬ ِ َ‫ﺖ ِﻣﻦَ ٱ ۡﻟ ُﻤ ۡﺆ ِﻣ ٰﻨ‬
َ ‫ﺖ َوٱ ۡﻟ ُﻤ ۡﺤ‬ ُ َ‫ﺼ ٰﻨ‬
َ ‫ ّﻞ ﻟﱠﮭُﻢۡ ۖ َوٱ ۡﻟ ُﻤ ۡﺤ‬ٞ ‫ِﺣ‬
‫ﺼ ِﻨﯿﻦَ َﻏ ۡﯿ َﺮ ُﻣ ٰ َﺴ ِﻔ ِﺤﯿﻦَ َو َﻻ‬ ِ ‫ِﻣﻦ ﻗَ ۡﺒﻠِ ُﻜﻢۡ إِ َذآ َءاﺗَ ۡﯿﺘُ ُﻤﻮھُ ﱠﻦ أُ ُﺟﻮ َرھُ ﱠﻦ ُﻣ ۡﺤ‬
ٓ ۡ ‫َان َو َﻣﻦ ﯾَ ۡﻜﻔُ ۡﺮ ﺑِﭑ ۡ ِﻹﯾ ٰ َﻤ ِﻦ ﻓَﻘَ ۡﺪ َﺣ ِﺒﻂَ َﻋ َﻤﻠُ ۥﮫُ َوھُ َﻮ ﻓِﻲ ٱ‬
َ‫ﻷ ِﺧ َﺮ ِة ِﻣﻦ‬ ٖۗ ‫ي أَ ۡﺧﺪ‬
ٓ ‫ُﻣﺘﱠ ِﺨ ِﺬ‬
٥ َ‫ٱ ۡﻟ ٰ َﺨ ِﺴ ِﺮﯾﻦ‬
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu,
dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan
mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-
wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila
kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah
beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah
amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”
(QS. Al-Maida/5: 5)

Dalam penjelasan tafsir al-Azhar ayat ini menjelaskan perihal bahwa

kehalalan memakan makanan non muslim. Maksud Allah memberitahu bahwa

makanan kita halal bagi non muslim, begitupun sebaliknya, yaitu supaya di dalam
55

pergaulan hidup sehari-hari kita berelaku baik kepada mereka. 26 Penggalan ayat

trakhir surah al-Maidah bukan lagi membahas makanan, melainkan pernikahan.

Di sini diterangkan bahwa laki-laki muslim halal menikahi perempuan muslimah

dan perempuan Ahlul Kitab. Artinya dengan tidak usah dia masuk Islam terlebih

dahulu, sebab dalam hal agama tidak ada paksaan, sebagaimana yang telah

dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 256. 27

ُ َ‫ﺼ ٰﻨ‬
Pada bagian akhir ayat tersebut yakni ‫ﺖ‬ ِ َ‫ﺖ ِﻣﻦَ ۡٱﻟ ُﻤ ۡﺆ ِﻣ ٰﻨ‬
َ ‫ﺖ َو ۡٱﻟ ُﻤ ۡﺤ‬ ُ َ‫ﺼ ٰﻨ‬
َ ‫َو ۡٱﻟ ُﻤ ۡﺤ‬

Qurthubi menjelaskan bahwa ada kejelasan hukum kebolehan menikahi wanita

yang menjaga kehormatannya dan wanita yang beriman juga wanita yang menjaga

kehormatan diantara orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu. Hal ini juga

dijelaskan dalam surah al-Baqarah dan an-Nisa. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa

kebolehan menikah dengan ahlul kitab ini juga memiliki batas dan syarat yakni

boleh menikahi golongan ahlul kitab yang telah mengikat perjanjian dengan

Muslim dan bukan mereka yang berada di zona perang, sehingga firman Allah ini

menjadi khusus. 28 P27F

Sementara Quraish Shihab menjelaskan melalui penjelasan makna kata al-

Quran bahwa ‫ واﻟﻤﺤﺼﻨﺖ‬adalah wanita wanita yang menjaga kehormatannya yang

layak dinikahi baik dari wanita mukminah ataupun ahlul kitab. Selanjutnya,

didahulukan penyebutan wanita mukminah bagi Quraish mempunyai tujuan utama

bahwa wanita mukmin yang harus didahulukan untuk dinikahi. Karea betapapun

persamaan agama dan pandangan hidup sangat membantu melahirkan ketenangan,

26
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000), Cet. Ke-2, Juz. 6, h. 143
27
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000), Cet. Ke-2, Juz. 6, h. 143
28
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I,h.193
56

bahkan sangat menentukan kelanggengan rumah tangga. Pada kesimpulannya

Quraish menyatakan bahwa tidak dibenarkan menjalin hubungan pernikahan

dengan wanita ahlul kitab bagi yang tidak mampu menampakkan ajaran Islam

lebih-lebih yang diduga akan terpengaruh oleh ajaran non-Islam yang dianut oleh

calon istri atau keluarga calon istrinya. 29

Berbicara tentang pernikahan beda agama yang dalam ayat ini sebagian

ulama perbendapat bahwa pernikahan beda agama tidak dilarang, namun dengan

syarat tertentu. Yaitu laki-lakinya dari kalangan muslim, sedangkan

perempuannya dari kalangan ahl al-kitab. Namun, di akhir penggalan ayat ini, di

katakan bahwa َ‫ﻷ ِﺧ َﺮ ِة ِﻣﻦَ ٱ ۡﻟ ٰ َﺨ ِﺴ ِﺮﯾﻦ‬


ٓ ۡ ‫َو َﻣﻦ ﯾَ ۡﻜﻔُ ۡﺮ ﺑِﭑ ۡ ِﻹﯾ ٰ َﻤ ِﻦ ﻓَﻘَ ۡﺪ َﺣﺒِﻂَ َﻋ َﻤﻠُ ۥﮫُ َوھُ َﻮ ﻓِﻲ ٱ‬

“Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam)

maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”

Maka, dengan ini diharapkan manusia benar-benar beriman, bukan hanya dalam

ucapannya saja. Sehingga dalam pernikahannya selalu terjalin keimanan kepada

Allah SWT. (imannya tidak tergoyah).

C. Pengaruh Pernikahan Beda Agama Terhadap Kehidupan Keluarga

Rumah tangga atau keluarga adalah suatu struktur dalam masyarakat yang

bersifat khusus, satu sama lain saling mengikat. 30

Keluarga adalah unit sosial terkecil yang secara literal diartiakan sebagai

orang yang berada dalam satu rumah tangga yang karena suatu ikatan pernikahan,

sebagai gabungan yang khas, dan sama-sama memperteguh gabungan itu untuk

29
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), Jilid. I, h.35
30
Anshari Thayib, Struktur Rumah Tangga Muslim, (Surabaya: Risalah Gusti, 1994), Cet.
3, h. 1
57

kebahagiaan, kesejahteraan, dan ketentraman semua anggota yang ada dalam

keluarga tersebut. 31

Pernikahan termasuk faktor terpenting dan agung dalam kehidupan

manusia. Oleh karenanya, Islam sangat menganjurkan agar kiranya pernikahan

tersebut menjadi sebuah amalan yang memiliki orientasi yang jelas, sehingga

pelakunya akan mendapatkan pahala dan ganjaran. Pernikahan bukan sekedar

amalan manusia yang bersifat duniawi semata. Namun, ia adalah salah satu

langkah menuju perbaikan individu dan masyarakat. 32

Suami-istri harus saling memberikan pesan untuk tidak terjerumus ke

dalam dosa. Bahkan kehidupan rumah tangga itu sendiri harus menjadi perisai

dari aneka kemungkaran. Melalui keluarga, nilai-nilai agama diteruskan kepada

anak cucu, karena kedua orang tua amat besar peranannya dalam pendidikan anak,

sampai Rasulullah SAW menegaskan: “Semua anak terlahir membawa (potensi)

fitrah keberagamaan yang benar. Kedua orang tuannya yang menjadikan ia

menganut agama Yahudi atau Nasrani, atau Majusi.” 33

Kedua orang tuanya pula yang dapat mengukuhkan fitrah tersebut

sehingga tampak secara actual dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, untuk

suksesnya fungsi ini, agama menuntut persamaan keyakinan suami-istri, dan atas

dasar ini pula Nabi SAW mengingatkan agar umatnya memilih pasangan yang

baik agamanya.

31
Abuddin Natta (Ed), Kajian Tematik al-Quran Tentang Kemasyarakatan, (Bandung:
Penerbit Aksara, 2008), h. 171
32
‘Adil Fathi ‘Abdulloh, Pentj. Abu Hudzaifah, Editor. Muhammad Izzuddin, Sudah
Islamkah Keluarga Anda?, () h. 19
33
Muchlis M. Hanafi (ed), Tanggung Jawab Al-Quran, (Jakarta: Lajanah Pentashihan
Mushaf al-Quran, 2011 ), Cet Ke-1, Jilid. 2, h. 74
58

ْ َ‫ ِﻟ َﻤﺎﻟِﮭَﺎ َوﻟِ َﺤ َﺴﺒِﮭَﺎ َوﻟِ َﺠ َﻤﺎﻟِﮭَﺎ َوﻟِ ِﺪ ْﯾ ِﻨﮭَﺎ ﻓ‬: ‫ﺗُ ْﻨ َﻜ ُﺢ ْاﻟ َﻤﺮْ أَةُ ِﻷَرْ ﺑَ ٍﻊ‬
ِ ‫ﺎظﻔَﺮْ ﺑِ َﺬا‬
‫ت‬

(‫ )رواه اﻟﺒﺨﺎري وﻣﺴﻠﻢ ﻋﻦ أﺑﻰ ھﺮﯾﺮة‬.‫ك‬ ْ َ‫اﻟ ﱢﺪ ْﯾ ِﻦ ﺗَ ِﺮﺑ‬


َ ‫ﺖ ﯾَ َﺪا‬

“Wanita dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena


derajatnya, karena kecantikannya dank arena agamanya. Raihlah
yang memiliki agama, (karena kalau tidak) engkau akan sengsara.”
(HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah) 34

Di dalam kehidupan berumah tangga sudah pasti terdapat hubungan timbal

balik antara suami dengan istri, orang tua dengan anak dan sebaliknya. Banyak

ungkapan tentang keluarga ideal, bahagia, rukun, damai dan seterusnya. Hal ini

disebabkan hubungan timbal balik berlangsung secara harmonis. 35

Allah SWT telah memberi perhatian yang sangat besar terhadap hak

orangtua, sehingga perintah untuk untuk memuliakannya disejajarkan dengan

perintah ibadah dan mengesakan kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah SWT

dalam QS. An-Nisa/4: 36 36

‫ﻮا ﺑِ ِﮫۦ َﺷ ٗۡﯿٴ ۖﺎ َوﺑِﭑ ۡﻟ ٰ َﻮﻟِﺪ َۡﯾ ِﻦ إِ ۡﺣ ٰ َﺴ ٗﻨﺎ َوﺑِ ِﺬي ٱ ۡﻟﻘُ ۡﺮﺑَ ٰﻰ‬
ْ ‫وا ٱ ﱠہﻠﻟَ َو َﻻ ﺗُ ۡﺸ ِﺮ ُﻛ‬
ْ ‫َوٱ ۡﻋﺒُ ُﺪ‬

ِ ُ‫ﺎر ٱ ۡﻟ ُﺠﻨ‬ ۡ ۡ ۡ ِ ‫َوٱ ۡﻟﯿَ ٰﺘَ َﻤ ٰﻰ َوٱ ۡﻟ َﻤ ٰ َﺴ ِﻜ‬


‫ﺐ‬
ِ ‫ﺐ َوٱﻟﺼﱠﺎ ِﺣ‬ ِ ‫ﺎر ِذي ٱﻟﻘُ ۡﺮﺑَ ٰﻰ َوٱﻟ َﺠ‬ ِ ‫ﯿﻦ َوٱﻟ َﺠ‬
َ‫ﺐ َوٱ ۡﺑ ِﻦ ٱﻟ ﱠﺴﺒِﯿ ِﻞ َو َﻣﺎ َﻣﻠَ َﻜ ۡﺖ أَ ۡﯾ ٰ َﻤﻨُ ُﻜﻢۡۗ إِ ﱠن ٱ ﱠہﻠﻟَ َﻻ ﯾُ ِﺤﺐﱡ َﻣﻦ َﻛﺎن‬ ِ ‫ﺑِﭑ ۡﻟ َﺠ ۢﻨ‬
۳٦ ‫ُﻣ ۡﺨﺘَ ٗﺎﻻ ﻓَ ُﺨﻮرًا‬
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-
bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat,
ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak

34
Muchlis M. Hanafi (ed), Tanggung Jawab Al-Quran, (Jakarta: Lajanah Pentashihan
Mushaf al-Quran, 2011 ), Cet Ke-1, Jilid. 2, h. 74
35
A. Mudjad Mahali, Hubungan Timbal Balik Orang Tua dan Anak, (Solo: Ramadhani,
1994), Cet. III, h. 7.
36
A. Mudjad Mahali, Hubungan Timbal Balik Orang Tua dan Anak, (Solo: Ramadhani,
1994), Cet. III, h. 17.
59

menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan


diri.”

Demikian Islam memberikan tuntunan yang indah lagi mulia terhadap

orangtua, agar seorang anak selalu memelihara hubungan dengan orangtua,

bahkan meskipun terhadap orangtua yang musyrik. Selaku anak, berkewajiban

menyantuni dan mengurus keperluannya di dunia.

Setiap anak berkewajiban melaksanakan birrul walidain 37, sesuai dengan

perintah agama, sepanjang orangtua tidak memerintahkan kepada hal-hal yang

dimurkai Allah SWT. Perintah yang menyimpang dari tata aturan agama, anjuran

yang bertentangan dengan syariat, sekalipun datang dari orangtua, maka tidak

pantas untuk ditaati. 38

Dengan demikian, taat dan patuh terhadap perintah orangtua merupakan

salah satu kewajiban yang sangat utama dalam mendekatkan diri kepada Allah

SWT. Disamping itu, Orangtua adalah perantara bagi kehadiran kita di muka

bumi ini, yang pertama kali mengasuh, mengajar dan mendidik kita. 39

Sebenarnya, problem utama pernikahan beda agama, bukan hanya masalah

sah atau tidaknya perkawinan itu, tetapi masalah tanggung jawab seseorang yang

beragama (baik muslim maupun non muslim) akan diri dan keluarga. 40

37
Birrul Walidain merupakan istilah perilaku anak kepada orangtuanya yang berarti
berbakti dan berbuat baik kepada orangtua, mengasih sayangi, mendoakan, taat dan patuh
kepadanya, menunaikan hak kewajiban terhadapnya, serta melakukan hal-hal yang membuat
kedua orangtua ridha dan meninggalkan sesuatu yang membuatnya murka. Lihat A. Mudjad
Mahali, Hubungan Timbal Balik Orang Tua dan Anak, (Solo: Ramadhani, 1994), Cet. III, h. 17-
18.
38
A. Mudjad Mahali, Hubungan Timbal Balik Orang Tua dan Anak, (Solo: Ramadhani,
1994), Cet. III, h. 18.
39
A. Mudjad Mahali, Hubungan Timbal Balik Orang Tua dan Anak, (Solo: Ramadhani,
1994), Cet. III, h. 19.
40
Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama, dan
Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 30
60

Selain itu, masalah krusial pernikahan beda agama adalah masalah

tanggung jawab sebagai seorang suami atau istri dalam keluarga di hadapan

Tuhannya baik bagi orang Islam maupun non Islam. Sebab, dalam praktiknya,

memang tidak mudah sebuah pernikahan dapat berlangsung nyaman akibat

perbedaan agama ini, kecuali kedua belah pihak berani menghilangkan sekat-sekat

ajaran agama masing-masing. 41

Islam sendiri mengakui adanya toleransi dalam kehidupan masyarakat

yang plural dan berbaur dengan umat lain. Tetapi, di dalam bertoleransi, seorang

muslim tidak harus kehilangan kepribadian dan identitas keislamannya. Karena

kebenaran Islam tidak aniaya, merusak atau merugikan orang Islam atau di luar

Islam. 42

D. Relevansi Ayat Pernikahan Beda Agama dengan Realitas Status Sosial

Masyarakat Sekarang

Berbicara tentang pernikahan beda agama, Imam Abu al-A’la al-Maududi

berpendapat bahwa pernikahan orang muslim dengan non muslim, walaupun

dibolehkan bagi laki-laki muslim dengan hukum “makruh” di samping ada juga

sebagian ulama yang berpendapat hukumnya haram. Tapi yang pasti ulama

sepakat bahwa perkawinan itu diharamkan bagi wanita muslimah selamanya. 43

Pernikahan termasuk faktor terpenting dan agung dalam kehidupan

manusia. Oleh karenanya, Islam sangat menganjurkan agar kiranya pernikahan

41
Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama,
dan Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 65
42
Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama, dan
Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 65
43
Abdul Muta’al al-Jabri, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim?
Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur Abdul Razak, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2003), Cet. I, h. 27
61

tersebut menjadi sebuah amalan yang memiliki orientasi yang jelas, sehingga

pelakunya akan mendapatkan pahala dan ganjaran. Pernikahan bukan sekedar

amalan manusia yang bersifat duniawi semata. Namun, ia adalah salah satu

langkah menuju perbaikan individu dan masyarakat. 44

Namun, tidak dapat dipungkiri pernikahan beda agama dari zaman dahulu

hingga saat ini ada saja yang melakukannya. Adapun alasan yang mendukung

diperbolehkannya laki-laki muslim menikahi wanita ahl al-kitâb, telah

disimpulkan oleh jumhur ulama sebagai berikut:

1. Ahl al-kitab termasuk orang yang paling dekat pada petunjuk apabila

disampaikan bukti penjelasan kepada mereka. Seorang wanita ahl al-

kitab yang bergaul dengan suaminya yang muslim, tentu ia akan

mendapatkan keadilan Islam. Keadilan itu setiap hari semakin jelas di

hadapannya, sehingga besar kemungkinan cahaya Islam akan merasuk

ke dalam sanubarinya, lalu ia memeluk agama yang lurus. Dan inilah

yang dituntut dari perkawinan itu, agar ia mendapat kebahagiaan di

dunia dan di akhirat.

2. Boleh jadi seorang laki-laki muslim jatuh hati kepada wanita bukan

Islam dan sangat mencintainya. Sehingga andaikata terbuka jalan

baginya untuk mendapatkan apa yang diingingkan, ia bisa terjerumus

dalam perbuatan yang diharamkan. Boleh jadi seorang laki-laki muslim

menetap di suatu daerah yang di situ tak ada seorang pun wanita

muslimah. Ia takut akhlaknya lama-kelamaan menjadi rusak bila harus

44
‘Adil Fathi ‘Abdulloh, Pentj. Abu Hudzaifah, Editor. Muhammad Izzuddin, Sudah
Islamkah Keluarga Anda?, () h. 19
62

bidup membujang. Maka dalam keadaan seperti ini harus ada

keringanan dengan suatu batasan tertentu, dengan tetap memperhatikan

segi kemaslahatan dan menekan madharat seminim mungkin. 45

Selain itu, karena seorang perempuan bersifat reaksioner dan juga di

dalam dirinya terdapat sifat siap mendengarkan lebih banyak dari sifat

membentuk. Ia juga sangat cepat menerima pengaruh laki-laki dan pengaruh

lingkungannya. Sebab dalam kehidupan berkeluarga, umumnya tunduk kepada

laki-laki. Oleh karena itu, apabila ia menikah dengan seorang laki-laki non

muslim, dikhawatirkan kemungkinan ia akan terputus dari Islam dan

peradabannya bahkan anak yang dilahirkannya menganut agama sang ayah (non

muslim). 46 Karena, tidak dapat dipungkiri setiap penganut agama pasti akan

menganggap baik terhadap agama yang dianutnya, sehingga saat memberikan

pemahaman keagamaan terhadap anak akan terjadi masalah.

Oleh sebab itu, meskipun dalam pernikahan beda agama ini berbeda-beda

pendapat, namun dalam akhir penggalan ayat QS. al-Maidâh ayat 5 telah

diperingatkan bahwa perkawinan seorang laki-laki muslim dengan seorang wanita

non muslim sangat membahayakan keimanan. Maka, apabila sekilas terlihat

syariat membolehkan umat Islam menikahi non muslim, hal itu hanya

diperbolehkan pada kondisi yang luar biasa dan karena ada kebutuhan serta

45
Syaikh Humaidhy bin Abdul Aziz bin Muhammad al-Humaidhy, Pentj. Kathur Suhardi,
Ahkamu Nikahil Kuffar Alal Madzahibil Arba’ah/Kawin Campur dalam Syari’at Islam, (Jakarta:
Pustaka alkautsar, 1992), Cet. Ke-1, h. 29-30
46
Abdul Muta’al al-Jabri, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim?
Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur Abdul Razak, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2003), Cet. I, h. 28
63

kemaslahatan yang luar biasa. 47 Umar bin Khaṯṯab telah mengingatkan dari

perkawinan tersebut, walaupun Islam saat itu merupakan kekuatan mayoritas. 48

Menurut Abdul Hamid Hakim, pernikahan beda agama untuk konteks saat

ini tidak bisa dijadikan alasan untuk berdakwah, yaitu agar perempuan ahl al-

kitab yang dinikahi itu masuk Islam dan anak-anak yang dilahirkannya juga

mengikuti agama ayahnya (Islam). Alasan tersebut sulit diwujudkan, karena saat

ini banyak perempuan non muslim yang sudah maju dan mandiri dalam berpikir,

sehingga tidak bisa dipengaruhi oleh laki-laki, apalagi dalam hal keyakinan

beragama. 49

Dengan kata lain, pernikahan tidak lagi efektif untuk media dakwah yaitu

yaitu bahwa perempuan mengikuti agama suaminya karena sudah tidak lagi

relevan dengan realitas modern saat ini. 50

Di Indonesia, para ulama Indonesia melarang pernikahan orang muslim

dengan non muslim, baik laki-laki muslim dengan perempuan non muslim atau

perempuan muslimah dengan laki-laki non muslim. Hal ini berdasarkan

pertimbangan kemaslahatan umat Islam di Indonesia.

Tidak hanya Islam yang melarang adanya pernikahan beda agama. Agama

Katholik pada dasarnya juga menganggap tidak sah perkawinan antara orang yang

beragama Katholik dengan orang yang bukan Katholik. Begitu pula dengan

47
Abdul Muta’al al-Jabri, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim?
Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur Abdul Razak, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2003), Cet. I, h. 29
48
Abdul Muta’al al-Jabri, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim?
Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur Abdul Razak, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2003), Cet. I, h. 29
49
Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama,
dan Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 63
50
Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama,
dan Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 63
64

agama Hindu. Sedangkan agama Budha tidak melarang pernikahan beda agama

(orang Budha dengan non Budha) asal pelaksanaannya dilaksanakan berdasarkan

tatacara atau upacara agama Budha. 51

Di samping itu, sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa melepaskan diri

dari ikatan dan pergaulan sosial. Ikatan sosial pertama yang paling utama adalah

keluarga, yang didalamnya terjadi proses sosialisasi paling elementer, sehingga

paling dominan dalam mewarnai kepribadian anggota keluarganya ketika terjun di

tengah-tengah masyarakat. Karena di sinilah masing-masing pihak saling

menyesuaikan diri, dimana suami menyesuaikan diri dengan watak dan kondisi

istri, istri menyesuaikan diri dengan watak dan kondisi suami, anak-anak pun tak

lepas dari pengaruh pergaulan ayah dan ibu mereka. 52

Karena wanita memiliki watak emosional yang tinggi. Ia lebih banyak

terpengaruh oleh orang lain dari pada mempengaruhi orang lain untuk mengikuti

dirinya. Karena itu, ia cepat terpengaruh oleh suami dan lingkungannya.

Umumnya, wanita dalam kehidupan berumah tangga selalu menurut apa kata

suami. Jika ia menikah dengan laki-laki non Islam, maka tingkat kekhawatiran

atas dirinya untuk keluar dari agama Islam dan peradabannya cukup tinggi.

Sehingga kelak anak keturunannya menjadi orang-orang non muslim. 53

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis menyimpulkan bahwasanya

pernikahan beda agama yang dilakukan dahulu, dimana perempuan masih

51
Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama, dan
Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 63
52
Dewan Pimpinan Pusat Majelis Dakwah Islamiah, Sosok Ideal Keluarga Muslim-
Pancasila, (Jakarta: tt, 1994), h. 30
53
Abdul Muta’al M. Al-Jabry, Perkawinan AntarAgama: Suatu Dilema, (Surabaya:
Risalah Gusti, 1992), Cet. I, h. 10
65

dianggap lemah serta selalu tunduk terhadap laki-laki. Sehingga bila laki-laki

muslim menikahi perempuan non muslim (ahlu kitab), hal itu disebabkan dakwah.

Sedangkan, bila dibandingkan dengan saat ini, dimana perempuan tidak

lagi dibedakan dengan kaum laki-laki. Disamping itu, perempuan saat ini telah

mandiri, bahkan dan bisa tidak bisa dipengaruhi oleh hal-hal yang telah merka

yakini.

Maka dari itu, menyimpulkan bahwa suatu pernikahan bagi umat Islam

bukan hanya masalah cinta, namun harus bertujuan untuk membangun

kebahagiaan bukan hanya di dunia namun juga diakhirat kelak. Yaitu dengan

saling mengiangatkan agar selalu dekat dengan Allah SWT.


67

BAB IV

PENUTUPAN

A. Kesimpulan

Setelah mencermati pembahasan ini dari awal penulis sampai pada akhir

pembahasan dari tema ini, penulis menyimpulkan bahwa pernikahan bagi umat

manusia merupakan sesuatu yang dianggap sakral dan mempunyai tujuan yang

sakral pula, dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang ditetapkan syariat

agama. Orang yang melangsungkan pernikahan bukan semata-mata untuk

memuaskan nafsu jasmaniah saja, melainkan untuk meraih ketenangan,

ketentraman dan sikap saling mengayomi diantara suami isti.

Di samping itu, QS. Al-Mumtahanah ayat 10, memiliki keterkaitan dengan

keadaan yang berbeda-beda namun tujuannya sama yaitu agar dapat menjaga

keimanan kepada Allah SWT. agar kelak tidak rugi. Sebagaimana akhir penggalan

surat al-Maidâh ayat 5. Begitupun dalam surat al-Baqarah ayat 221 telah

diperingatkan agar umat muslim tidak terpengaruh agama lain.

Oleh karena itu, terkait pernikahan yang dilangsungkan dengan yang

berbeda agama bagi umat Islam diharapkan benar-benar harus dipertimbangkan

dari berbagai aspeknya, agar nantinya tidak terjadi problem yang akan

mempengaruhi aturan yang disyariat agama.


68

B. Saran-saran

Dari penulisan karya ini, penulis sadar jauhnya dari kesempurnaan serta

terbatasnya waktu dalam penelitian ini. Maka pasti ada hal-hal yang perlu di kaji

lagi.

Maka dalam hal ini, penulis merekomendasikan agar penelitian ini tidak

hanya sampai di sini saja. Maka dari itu, penulis merekomendasikan agar ada

penelitian selanjutnya yang dapat terjun langsung kepada pelaku-pelaku

pernikahan beda agama atau kepada pelaku konversi agama. Dengan begitu dapat

diketahui alasan-alasan pelakunya dalam mengambil keputusan tersebut. Agar

dapat diketahui kesesuaiannya dengan pernikahan jaman dahulu pada saat awal

penyebaran Islam.
69

DAFTAR PUSTAKA

‘Âsyûr, Muhammad al-Ṯahir ibn, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Tunisia: al-Dâr


al-Nasyr wa al-Tauzî’ wa al-‘Ilân, t.th

As’ad, Musifin dan Basyarahil, Salim Perkawinan dan Masalahnya, (Terj), Ibnu
Ahmad Dahri (Ed), Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar,1993

Cawidu, Harifuddin, Konsep Kufr dalam al-Quran, Suatu Kajian Teologi dalam
Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta: Bulan Bintang, 1991

Dewan Pimpinan Pusat Majelis Dakwah Islamiah, Sosok Ideal Keluarga Muslim-
Pancasila, Jakarta: tt, 1994

Ensiklopedi Islam, Jakarta: Departemen Agama, 1993

Fathurrohman, Muhammad, History of Islamic Civilization: Peristiwa-peristiwa


Sejarah Peradaban Islam Sejak Zaman Nabi Sampai Abbasiyah,
Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca, 2017.

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000, Juz. 2

---------------, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000, Juz. 6

---------------, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000, Juz. 28

Hanafi, Muchlis M. (ed), Tanggung Jawab Al-Quran, Jakarta: Lajanah


Pentashihan Mushaf al-Quran, 2011

Al-Humaidhy, Syaikh Humaidhy bin Abdul Aziz bin Muhammad, Pentj. Kathur
Suhardi, Ahkamu Nikahil Kuffar Alal Madzahibil Arba’ah/Kawin Campur
dalam Syari’at Islam, Jakarta: Pustaka alkautsar, 1992

Al-Iraqy, Butsainah As-Sayyid, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur


Suhardi, Jakarta: Pustaka Azzam, 1997

Al-Jabri, Abdul Muta’al, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim?
Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur
Abdul Razak, Jakarta: Gema Insani Press, 2003

Katsir, Ibn, al-Bidâyah wa al-Nihayah, Juz. VI

Lukito, Ratno, Tradisi Hukum Indonesia, Cianjur: IMR Press, 2012


70

Mahali, A. Mudjad, Hubungan Timbal Balik Orang Tua dan Anak, Solo:
Ramadhani, 1994.
Mukhtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang,
1974

Mu’alim, Much, Perkawinan Lintas Agama dalam Kajian Tafsir Tematik Sosio-
Historis, Jakarta, Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

Natta, Abuddin (Ed), Kajian Tematik al-Quran Tentang Kemasyarakatan,


Bandung: Penerbit Aksara, 2008

Al-Qurṯubi, Imam, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009, Jilid. 3

---------------, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, Jakarta:


Pustaka Azzam, 2009, Jilid. 6.

---------------, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, Jakarta:


Pustaka Azzam, 2009, Jilid. 18.

Razwy, Sayed Ali Asgher, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap


Kehidupan dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarah Timur dan Barat,
Terj. Nurmansyah, Dede Azwar, Jakarta: Pustaka Zahra, 2004.

Rofiq, Ahmad, Fikih Kontekstual: dari Normatif ke Pemaknaan Sosial,


(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Shihab, M. Quraish Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,


Jakarta: Lentera Hati, 2002, Jilid. 1.

---------------, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,


Jakarta: Lentera Hati, 2002, Jilid. 3.

---------------, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan


Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992.

Sirin, Khaeron, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara,


Agama, dan Perempuan, Yogyakarta: Deepublish, 2016.

Suma, Muhammad Amin, Kawin Beda Agama di Indonesia, Tangerang: Lentera


Hati, 2015.

---------------, Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan Peraturan


Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004.
71

Thohari, Hamim, Smart Solving; Menjawab 101 Masalah Keluarga, tt: Pustaka
Inti dan Arga Publishing, 2007.

Usman, Suparman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum


Perkawinan di Indonesia, Serang: Saudara: 1995.

Anda mungkin juga menyukai