Oleh:
Dede Rihana
1110034000111
ABSTRAK
Maraknya praktik pernikahan beda agama di Indonesia dengan berbagai
problemnya, serta kondisi masyarakat Indonesia yang semakin global. Penelitian ini
bertujuan untuk menggali lebih dalam lagi terkait kandungan ayat pernikahan beda
agama yang terdapat dalam QS. Al-Mumtahanah ayat 10. Sebab, ayat ini merupakan
ayat yang melarang adanya pernikahan beda agama yang sebelumnya sempat terjadi
di kalangan sahabat Nabi SAW., yang kemudian memunculkan perdebatan hingga
saat ini. Sehingga, dengan mengkaji ayat ini lebih mendalam, diharapkan akan ada
titik temu perihal pernikahan beda agama ini.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat kepustakaan
(library research).Sumber data yang digunakan adalah sumber primer dan sekunder.
Sumber primer berasal dari al-Qura’an dan sumber sekunder berasal dari kitab-kitab
tafsir, di antaranya Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr karya Ibn ‘Âsyûr, Al-Jami’ li
Ahkâm al-Quran karya Imam al-Qurṯubi, Tafsir al-Azhar karya Hamka dan buku-
buku yang berkaitan dengan pembahasan yang diteliti.
Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa pada dasarnya terjadinya
pernikahan beda agama yang dilakukan pada masa Nabi SAW., memiliki orientasi
sebagai jalan dakwah Islam serta mengandung aspek sosial, dimana sebab pernikahan
beda agama merupakan salah satu bentuk dalam melindungi kaum lemah, yaitu para
wanita yang tertindas.
iii
iv
2012/2013.
iv
v
غ Gh ge dan ha
ف F Ef
ق Q Ki
ك K Ka
ل L El
م M Em
ن N En
و W We
ه H Ha
ء ’ Apostrof
ي Y Ye
B. Vocal
Vocal dalam bahasa Arab, seperti vocal bahasa Indonesia, terdiri dari
Vocal tunggal
Vocal rangkap
v
vi
Ketentuan alih aksara vocal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
D. Kata sandang
huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /1/, baik diikuti oleh
E. Syaddah (Tasydid)
dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal
ini tidak berlaku jika huruf yang diberi tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secara lisan
demikian seterusnya.
F. Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat kata
yang berdirisendiri, maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf /h/
vi
vii
(lihat contoh 1 di bawah ini). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah
tersebut diikuti oleh kata sifat (na’at) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta
marbûtah tersebut diikuti kata benda (isim), maka huruf tersebut dialih
vii
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, tiada kata yang pantas terungkap pada awal pengantar ini,
selain ungkapan rasa syukur sedalam-dalamnya kehadirat Allah, Tuhan yang telah
memberikan rahmat dan karunia kepada penulis, yang telah memberikan kasih sayang
berupa nikmat sehat, sehingga dengan izin dan kuasa-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang sangat sederhana ini. Merupakan suatu anugerah
terindah, rasa lega dan bahagia yang dirasakan penulis saat ini, karena luasnya kasih
sayang-Nya. Semoga apa yang telah penulis kerjakan ini, bermanfaat khususnya bagi
penulis dan bagi semua pembacanya.
Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada seorang tauladan yang
berjuang membawa umatnya dari kegelapan menuju terang, yakni Nabi Muhammad
SAW. yang telah memberikan tuntunan petunjuk jalan yang suci yang akan
menghantarkan kebahagiaan umatnya di dunia maupun di akhirat. Aamiin
Menyadari bahwa tulisan ini tidak hadir begitu saja namun telah banyak yang
ikut berkontribusi dalam penulisan ini, maka perlu kiranya penulis menyampaikan
rasa terima kasih secara khusus. Semoga segala kebaikan yang telah diberikan
menjadi amal tersendiri untuk mengumpulkan kita bersama seluruh umat Muhammad
di sisi Allah kalak di surga-Nya, Aamiin. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin,
beserta seluruh staf dekanat.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Quran dan
Tafsir Fakultas Ushuluddin, yang telah memberikan banyak masukan dalam
proses pembuatan proposal. Ibu Banun Binaningrum, M.Pd. selaku Sekretaris
Jurusan Ilmu al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin.
viii
ix
ix
x
DAFTAR ISI
JUDUL ..........................................................................................................................i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN …………………………………... iii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................iv
ABSTRAK ..................................................................................................................v
PEDOMAN TRANSLITERASI ...............................................................................vi
KATA PENGANTAR ..............................................................................................vii
DAFTAR ISI ............................................................................................................viii
BAB PENDAHULUAN
x
xi
A. Kesimpulan.............................................................................................70
B. Saran-saran........………………….............………………………........70
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................72
xi
DAFTAR ISI
JUDUL ..........................................................................................................................i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................................ii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................iii
ABSTRAK ..................................................................................................................iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................................v
KATA PENGANTAR ...............................................................................................vi
DAFTAR ISI .............................................................................................................vii
BAB PENDAHULUAN
i
B. Pengaruh Pernikahan Lintas Agama Terhadap Kehidupan Rumah
Tangga ...................................................................................................55
C. Relevansi Ayat dengan Realitas Status Sosial Masyarakat
Sekarang.…………………………….................………………...........61
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................................70
B. Saran-saran........………………….............………………………........70
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................72
ii
BAB I
PENDAHULUAN
saw. sebagai pedoman hidup bagi manusia dalam menata kehidupannya, agar
mereka memperoleh kebahagiaan lahir dan batin di dunia dan akhirat kelak.
problema yang dihadapi manusia, karena al-Quran turun untuk berdialog dengan
masalah sangat unik, tidak tersusun secara sistematis seperti halnya buku-buku
ilmu pengetahuan yang ditulis manusia. Bahkan dapat dikatakan bahwa al-Quran
itu adalah sebuah kitab yang tidak sistematis bila dilihat dari segi metodologi
ilmiah. Di samping itu, al-Quran juga sangat jarang menyajikan suatu masalah
secara rinci dan detail. Pembicaraan al-Quran terhadap suatu masalah pada
nilai al-Quran. Sebaliknya, justru di sanalah terletak keunikan al-Quran yang tidak
dimiliki kitab-kitab lainnya, bahkan al-Quran menjadi objek kajian yang tidak
1
Muhammad Ghalib, Ahl al-Kitâb Makna dan Cakupannya, (Jakarta: Paramadina, 1998),
Cet. 1, h. 1
2
Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam al-Quran, Suatu Kajian Teologi dalam
Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 5.
1
2
pernah kering oleh para cendikiawan baik muslim maupun non muslim, sehingga
umumnya menafsirkan ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam mushaf.
seluruh atau sebagian ayat dari beberapa surah yang berbicara tentang topik yang
sama untuk kemudian dikaitkan satu ayat dengan ayat lainnya. Sehingga pada
hubungan suami istri, juga memiliki tujuan melestarikan keturunan. Selain itu,
dibutuhkan.
Salah satu tujuan adanya pasangan tersebut adalah untuk melestarikan keturunan.
3
Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam al-Quran, Suatu Kajian Teologi dalam
Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 156.
4
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), h. 114.
3
Islam, selain menjadi fitrah kemanusiaan juga menjadi agama yang sangat
Islam itu sendiri. Bahkan aktifitas tersebut seringkali dimasukkan dan diatur
dan mempunyai tujuan yang sakral pula, dan tidak terlepas dari ketentuan-
meraih ketenangan, ketentraman dan sikap saling mengayomi diantara suami istri
Sebagai makhluk bermasyarakat, manusia tidak akan bisa hidup tanpa ada
hukum apa pun nama atau sebutannya yang mengatur pergaulan hidup mereka. 5
banyak pasangan suami istri berbeda agama, dan mereka tampak hidup rukun.
Dari sini ada semacam anggapan dan usulan, dari sementara pihak, bahwa
5
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2004), Cet. I, h. 1
6
Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama, dan
Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 64
4
adalah mencarikan jalan terbaik yang sesuai dengan tuntunan Islam. Yang perlu
syari’at. 8
1974, bahwa: “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” 9 Di samping itu,
pernikahan bukan hanya hubungan antara dua orang laki-laki dan perempuan yang
saling mencintai, namun terdapat esensi serta aturan yang harus dijalani setiap
individu baik terkait hukum, sosial, maupun agama. Sehingga dengan berbagai
7
Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama, dan
Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 65
َاد ﱠﻻ ﯾَ ۡﻌﺼُﻮنَ ﱠٞ ظ ِﺷﺪٞ ﻮا ﻗُ ٓﻮ ْا أَﻧﻔُ َﺴ ُﻜﻢۡ َوأَ ۡھﻠِﯿ ُﻜﻢۡ ﻧ َٗﺎرا َوﻗُﻮ ُدھَﺎ ٱﻟﻨﱠﺎسُ َو ۡٱﻟ ِﺤ َﺠﺎ َرة ُ َﻋﻠَ ۡﯿﮭَﺎ َﻣ ٰﻠَٓﺌِ َﻜﺔٌ ِﻏ َﻼ
ٓٱہﻠﻟَ َﻣﺎ ْ ُٰﯾَٓﺄَﯾﱡﮭَﺎٱﻟﱠ ِﺬﯾﻦَ َءا َﻣﻨ
٦ َأَ َﻣ َﺮھُﻢۡ َوﯾَ ۡﻔ َﻌﻠُﻮنَ َﻣﺎ ﯾ ُۡﺆ َﻣﺮُون
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan”. (QS. al-Baqarah/2: 221)
8
Hamim Thohari, Smart Solving; Menjawab 101 Masalah Keluarga, (tt: Pustaka Inti dan
Arga Publishing, 2007), Cet. 1, h. 22
9
Muchlis M. Hanafi (ed), Tanggung Jawab Al-Quran, (Jakarta: Lajanah Pentashihan
Mushaf al-Quran, 2011 ), Cet. 1, Jilid. 2, h. 67
5
pertimbangan para ulama dan ahli hukum di Indonesia, pernikahan beda agama
adalah dilarang.
tengan masyarakat sampai saat ini. Maka, tidak bisa dipungkiri dalam hal tersebut
kebijakan dan negara. Dengan demikian, antara fenomena, realitas dan teori
perbedaan penafsiran dan kebijakan baik secara tertulis di dalam al-Quran atau
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi perihal
masalah pernikahan beda agama. Bukan pada masalah kriteria kafir (QS. al-
Dari ketiga ayat tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi
perihal pernikahan beda agama yang terdapat dalam QS. Al-Mumtahanah/60: 10.
Di mana, dalam ayat tersebut pernikahan telah terjalin namun karena terjadinya
Berdasarkan uraian di atas, penulis berusaha mengkaji lebih dalam ayat al-
Quran yang berbicara perihal pernikahan beda agama ini dengan judul
1. Identifikasi Masalah
berikut:
keagamaan di dalamnya?
dan akhirnya terputus serta adakah korelasi antara ketiga ayat tersebut
agama?
akibat tertentu. Apa saja akibat yang akan muncul dari perkawinan
2. Pembatasan Masalah
terarah, maka penulis membatasi penelitian ini pada kajian QS. Al-
3. Perumusan Masalah
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah dalam rangka memenuhi salah satu
syarat dan tugas akhir untuk mendapatkan gelar sarjana strata (S1). Adapun yang
menjadi tujuan umum penelitian ini diharapkan bagi umat Islam, hendaknya dapat
C. Kajian Pustaka
sedikit banyak telah membahas materi yang akan diteliti, penulis menemukan
8
1. Konsep Nikah Lintas Agama dalam al-Quran, Dede Setiawan, Jakarta, 2005.
Skripsi ini lebih menitik beratkan pada isi tafsir al-Quran dan argumen ulama
tafsir.
Maraghi atas Qs. Al-Baqarah/2: 221 dan Qs. Al-Mâidah/5: 5, Dedi Irawan,
tentang pernikahan beda agama yang terkandung 2 ayat tersebut (Qs. Al-
terhadap Qs. Al-Baqarah/2: 221 dalam Tafsir Ahkam al-Quran dan al-Jami’
4. Pernikahan Beda Agama Menurut Islam dan Katolik, Abdi Pujiasih, 2008.
Sakripsi ini fokus membahas pernikahan beda agama di lihat dari sisi agama
Ini adalah sebuah artikel yang membahas tentang perkawinan beda agama
perkawinan. Dan sosialisasi nilai dan peranan terhadap anak dari hubungan
Much. Mu’alim, Jakarta, 2008. Karya ini kami temukan masih dalam bentuk
Yang membedakan tulisan-tulisan lain yang telah ada dengan tulisan yang
pembahasan dasar pernikahan beda agama yang terdapat dalam Qs. Al-
D. Metode Penelitian
Untuk mendapatkan hasil yang ilmiah dan akurat tentang penulisan skripsi
ini, maka sangat tergantung pada sejauh mana cara penulis memperoleh
pengumpulan data pada skripsi ini, maka langkah-langkah yang ditempuh oleh
tersebut melalui beberapa buku tafsir baik klasik maupun kontemporer yang
diantaranya tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr karya Muhammad Ibn ‘Asyur, tafsir al-
Jami’ li Ahkam al-Quran karya Imam al-Qurṯubi, tafsir al-Azhar karya Hamka
dan karya-karya lainnya yang berkaitan dengan tema skripsi ini sebagai data
sekunder.
2. Metode Pembahasan
mana, penulis menjelaskan segala hal tentang pernikahan beda agama dengan
menggunakan suatu kajian Qurani dengan pendekatan sosio historis yang terdapat
E. Sistematika Penulisan
membagi skripsi ini menjadi empat bab, dan masing-masing bab terbagi lagi ke
Bab Pertama diawali dengan Pendahuluan, bab ini merupakan acuan bagi
penulis dalam menyusun skripsi ini dan menjadi landasan dalam pembahasan bab-
signifikansinya, hal ini akan menjadi penjelas mengapa penulis mengangkat judul
ini, dilanjutkan dengan pokok permasalahan, tujuan penelitian, hal ini berguna
untuk menjelaskan pokok kajian yang akan penulis bahas, kemudian tinjauan
Islam, serta pernikahan beda agama yang terjadi pada masa Rasulullah SAW. dan
saat ini. Dalam hal ini agar dapat ditemukan pemahaman yang utuh menyangkut
pernikahan secara umum yang terjadi pada masa lalu. Kemudian dilanjutkan
dengan pembahasan tentang kasus pernikahan beda agama yang terjadi selama ini.
merupakan usaha mengkaji ayat dengan pola analisis komprehensif yang dimulai
Bab keempat adalah penutup, pada bab ini penulis menarik jawaban yang
sebelumnya dan juga penulis membuat saran-saran serta pada akhir tulisan penulis
BAB II
yang meliputi pengertian dan ketentuan pokok dalam pernikahan, pernikahan pra
Islam yang terjadi di Jazirah Arab, dimana Arab merupakan tempat di mana Islam
lahir. Hal ini ditandai dengan banyaknya ayat yang membicarakan Jazirah Arab.
Bahkan sejarah Islam, biasanya dimulai dengan sebuah survei terhadap kondisi
yang kompleks, seperti halnya pernikahan beda agama yang merupakan isu klasik
yang sampai saat ini masih menarik untuk dibahas. Misalnya di Indonesia, dimana
tidak sedikit kasus pernikahan beda agama dengan berbagai problemnya terjadi.
dan ketentuan dalam pernikahan, pernikahan pra Islam, pernikahan dalam Islam,
serta pernikahan beda agama, akan menarik warna dan respon al-Quran itu
1. Pengertian Pernikahan
Pernikahan adalah sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua pada semua
makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuhan. Ia adalah salah satu
1
Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarah Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. I, h. 23
14
cara yang dipilih oleh Allah SWT., sebagai jalan bagi makhluknya untuk
Secara bahasa pernikahan berasal dari kata serapan bahasa Arab yang
Dalam bahasa Arab, kata zauj (pasangan) berarti suami dan juga istri,
yang merupakan kebalikan dari kata fard (seorang diri tanpa yang lain). 4
suatu akad dengan menggunakan lafal nikah atau dengan zawaj yang dengannya
menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita. Sedangkan ulama
2
M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h. 29
3
M. Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, (Tangerang: Lentera Hati, 2015),
Cet. I, h. 18
4
M. Nabil Kazhim, Buku Pintar Nikah: Strategi Jitu Menuju Pernikahan Sukses, Terj.
Ibnu Abdil Jamil, (Solo: Samudra, 2007), Cet. I, h. 20
15
sini adalah dengan akad tersebut maka terhindarlah seseorang dari bahaya fitnah
perbuatan haram. 5
Menurut Fikih, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling
utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan
hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga
perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lainnya. Pernikahan adalah
ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dalam suatu rumah tangga berdasarkan
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedang Kompilasi
Hukum Islam pasa 2 perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad
yang sangat baik untuk mentaati perintah Allah dan pelaksanaannya adalah
5
M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h. 31-32
6
M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h. 31
7
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h. 8
16
antara suami istri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan
yang aman dan tentram (Sakinah), pergaulan yang saling mencintai (Mawaddah)
keluarga yang saleh dengan syarat dan ketentuan yang telah ditentukan menurut
syariat agama. 9
agar kedudukan manusia terjada. Oleh karena itu, Islam mengharuskan dua pihak
syarat sahnya akad, sesuai dengan hukum-hukum syariat. Aturan syari’at tentang
rumah tangga ini sudah pasti dan sempurna, yang harus dilaksanakan dan
dipenuhi serta harus menjadi rujukan saat terjadi perbedaan pendapat. Masing-
masing pihak juga harus tunduk kepada aturan itu. Maka ada baiknya jika kamu
a. Perwalian
b. Kesaksian
8
M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h. 31-32
9
M. Dahlan R, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h. 32
10
Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 62
17
muslim
disyaratkan yang beragma Islam. Jika tidak, maka akad nikah batal. 11
d. Mahar
e. Shighah
pembebasan manusia di dunia ini dan akhirat nanti, secara teoritis mengatur
tindak tanduk pribadi maupun perilaku publik. Cakupannya yang begitu luas
historis maupun eklektis. 12 Sikap dan perilaku manusia diatur dan dibagi menjadi
dua klasifikasi besar yang dipercayai tidak bisa dipisahkan dan saling
hubungan ini, praktik keagamaan (ibadah) dijelaskan kepada semua umat muslim
utama pada saat itu, karena perhatian utama Nabi saw. dicurahkan untuk
11
Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 64
12
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 62
13
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 62-63
18
Yang Maha Esa. Di lain pihak, pluralisme hukum sudah menjadi kenyataan hidup
umat yang hidup pada masa Nabi. Ketika ia mengawali misinya, pada saat itu
sudah banyak orang Yahudi dan Kristen yang hidup dengan hukum mereka
Arab yang masih memiliki banyak pengikut. Akibatnya, aspek substantif dari
hukum yang dibawa oleh Nabi Muhammad bisa dikatakan merupakan campuran
antara konsep hukum sakral yang berasal dari wahyu dan entitas hukum lainnya
(terutama hukum chthonic masyarakat Arab) yang hidup pada saat itu. 14
dan kepriba`diannya yang unggul, tumbuh dan memiliki bentuk yang khas di
buruk. Kaum wanita telah menjadi korban kebodohan. Tidak lebih, mereka
malu. 16
14
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 64
15
Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarah Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. I, h. 13
16
Syekhul Islam Muhammad bin Umar An-Nawawi, Kunci Kebahagiaan Suami Istri
dalam Islam, Terj. Muhammad Qodirun Nur, (Solo: Ramadhhani, 1994), Cet. 5, h. 7-8
19
pernikahan. Sebagian besar dari model pernikahan itu kemudian dilarang oleh
lelaki. Kaum wanita tidak memiliki status apa pun kecuali sebagai objek seks
belaka. Jumlah wanita yang dapat dinikahi seorang lelaki tidak terbatas. Bila
seorang lelaki meninggal dunia, maka putranya mewarisi seluruh istri yang
Semenanjung Arabia sebelum kelahiran Islam adalah kehidupan yang kosong dari
kesantunan sosial atau kearifan historis. Dengan kata lain, masyarakat Arab pada
masa itu dalam kebangkrutan moral dan kehampaan spiritual. Kehidupan mereka
sungguh nihil dari makna, arah, dan tujuan. Saat itu, jiwa manusia yang telah
akan mempengaruhi jiwa seseorang tersebut, baik dalam hal bertindak maupun
17
Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 29
18
Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 34
20
disadari ataupun tidak. Namun hal ini tidak berlaku atas diri Nabi Muhammad
saw. walaupun nabi hidup dalam kehidupan yang sangat keras, akan tetapi ia tetap
menjadi pribadi yang santun dan selalu bersifat pemaaf. Bahkan meskipun Nabi
sering mendapatkan ejekan, penganiayaan dan penghinaan atas dirinya, namun hal
itu tidak menggoyahkan semangatnya untuk tetap menjunjung tinggi agama Ilahi.
Maka setelah pengikut Nabi mulai banyak, maka segala masalah yang dihadapi
pernikahan yang terjadi pada pra Islam, penulis akan menguraikan hal-hal yang
hal yang dapat menggambarkan keadaan masyarakat Arab saat itu, meliputi
a. Kondisi Agama
waktu itu.
19
Muhammad Fathurrohman, History of Islamic Civilization: Peristiwa-peristiwa
Sejarah Peradaban Islam Sejak Zaman Nabi Sampai Abbasiyah, (Yogyakarta: Penerbit
Garudhawaca, 2017), h. 2-3
21
Pada masa itu, orang-orang arab terdiri dari berbagai agama yang
penyembah berhala.
2. Kaum Ateis 21
4. Kaum Sabin (kaum yang terdapat dalam sejarah kuno Italia), mereka adalah
5. Kaum Yahudi
6. Kaum Nasrani
b. Kondisi Politik
kedatangan Islam adalah tidak adanya organisasi politik dalam bentuk apa pun.
20
Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 31
21
Ateis adalah kelompok yang terdiri dari kalangan materialis yang percaya bahwa
kehidupan ini bersifat abadi. Lihat: Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW:
Sejarah Lengkap Kehidupan dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat,
Terj. Dede Azwar Nurmansyah, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 31
22
Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 32
22
Orang-orang Arab tak mengenal otoritas siapa pun kecuali otoritas kepala
sukunya masing-masing. 23
c. Kondisi Sosial
Bangsa Arab pada masa pra Islam terdiri dari berbagai kelas. Kelas
bangsawan lebih diunggulkan daripada kelas yang lainnya. Kelas budak paling
dinistakan diantara kelas yang lainnya. Budak ibarat permainan kaum bangsawan.
Jika seseorang ingin dipuji dan menjadi terpandang di mata bangsa Arab karena
Seorang laki-laki dianggap pemimpin dalam keluarga dan tidak boleh dibantah
sendiri. 24 Kaum wanita tidak memiliki status apa pun kecuali sebagai objek seks
hak, Nabi saw mengubah situasi tersebut dengan mereformasi institusi pernikahan
dari domain yang betul-betul dikuasai oleh laki-laki menuju hubungan gender
praktik adat dan kebudayaan Arab pra Islam tentu saja sangat dominan sehingga
tidak mudah bagi Nabi untuk menghilangkan nilai-nilai lama tanpa membiarkan
23
Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 23
24
Muhammad Fathurrohman, History of Islamic Civilization: Peristiwa-peristiwa Sejarah
Peradaban Islam Sejak Zaman Nabi Sampai Abbasiyah, (Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca,
2017), h. 4
25
Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 29
23
masyarakat. Oleh sebab itu jalan tengah tampaknya merupakan alternatif terbaik
di mana nilai-nilai Islam yang baru dicangkokkan ke dalam sistem lama yang
sudah ada di dalam masyarakat. Jadi, Nabi tidak hanya sekedar mengganti
adat kebiasaan sebelumnya yang tidak berlawanan dengan nilai-nilai Islam yang
perempuan. Maka hal ini berimbas pada pernikahan-pernikahan yang terjadi pada
saat itu.Berikut lembaga pernikahan yang terjadi di zaman jahiliah (pra Islam)
1. Pernikahan sebagaimana yang terjadi pada saat ini, di mana seorang lelaki
2. Pernikahan istibda’ 27
26
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 66-67
27
Istibda’ ialah suami menyuruh istrinya berkumpul dengan orang lain, karena
menginginkan keturunan yang pintar. Lihat: Muhammad Fathurrohman, History of Islamic
Civilization: Peristiwa-peristiwa Sejarah Peradaban Islam Sejak Zaman Nabi Sampai Abbasiyah,
(Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca, 2017), h. 4-5.
28
Muhammad Fathurrohman, History of Islamic Civilization: Peristiwa-peristiwa Sejarah
Peradaban Islam Sejak Zaman Nabi Sampai Abbasiyah, (Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca,
2017), h. 4-5
24
wanita, sementara ia (wanita tersebut) tidak menutup dirinya dari siapa pun
kepada seorang lelaki yang dianggap sebagai ayahnya. Anak tersebut hidup
kebersihan masyarakat. 30
Islam, rumah tangga merupakan dasar bagi kehidupan manusia dan merupakan
faktor utama dalam membina masyarakat. Dari sebuah rumah tangga, segala
29
Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 30
30
Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 15
25
persoalan kehidupan manusia timbul. Hal ini merupakan kehendak Tuhan untuk
diciptakannya aturan dan syariat yang luwes, adil dan bijaksana. Andaikata aturan
ini dijalankan dengan jujur dan setia, maka tidak akan ditemukan adanya
sentosa. Kedamaian ini tidak saja dapat dirasakan oleh keluarga yang
untuk membangun keluarga islami yang mulia, serta cara untuk memakmurkan
kehidupan di bumi ini. 33 Maka dari itu, dengan adanya pernikahan diharapkan
demi menjaga diri darinya dari hal-hal yang diharamkan, bukan sekedar dorongan
kebinatangan yang menjadi tujuan mendasar dari pernikahan. 34 Oleh sebab itu,
31
Abduuttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW: Poligami dalam Islam Vs
Monogami Barat, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), Cet. I, h. 6
32
Abduuttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW: Poligami dalam Islam Vs
Monogami Barat, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), Cet. I, h. 7
33
Muhammad Ali Ash-Shobni, Pernikahan Islami, Terj. Ahmad Nurrohim, (Solo:
Mumtaza, 2008), Cet. I, h. 18
34
Muhammad Ali Ash-Shobni, Pernikahan Islami, Terj. Ahmad Nurrohim, (Solo:
Mumtaza, 2008), Cet. I, h. 20
26
pada dasarnya semua yang dilakukan manusia di muka bumi ini haruslah karena
terpendam di dalamnya. Di samping itu, pernikahan ini selaras dengan tabiat yang
sudah tersusun pada diri manusia, berupa naluri seksual yang cenderung kepada
jenis, yang menghasilkan kedamaian jiwa, ketenangan fisik dan hati, ketentraman
hidup dan penghidupan, keceriaan ruh dan rasa, kedamaian laki-laki dan wanita,
masalah dorongan fitrah pasangan lawan jenis, namun juga harus adanya
mendasar dan mulia, tidak boleh ada gangguan yang mengusiknya dan tidak boleh
ada campur tangan untuk merusaknya, walaupun hanya perselisihan sekecil apa
pun. 37
35
Abduuttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW: Poligami dalam Islam Vs
Monogami Barat, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), Cet. I, h. 7
36
Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 19
37
Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 19-20
27
kuat dan paling langgeng antara manusia setelah jalinan akidah. Karena dengan
pernikahan itu tercipta kebersamaan antara laki-laki dan perempuan dalam segala
aspek kehidupan dan tuntutan-tuntutannya. 38 Oleh karena itu, tidak heran bila
pernikahan berkaitan erat dengan suatu agama maupun keyakinan setiap individu.
Dengan demikian, apabila akidah sudah tertanam di dalam hati suami istri,
maka tujuan yang hendak digapai suami istri juga bisa dipersatukan, sehingga
pernikahan bisa memberikan faidah yang optimal dan sempurna, tanpa ada yang
dan paling langgeng, mempertemukan antara dua orang dari jenis manusia,
mencakup pemenuhan yang amat luas, yang bisa dirasakan oleh masing-masing
pihak. Oleh karena itu mereka harus saling menyatu, dalam ikatan yang juga
menyatu dan arah yang satu pula. Akidah Agama merupakan sesuatu yang paling
kehidupan yang hendak ditempuh. 40 Dengan demikian, bila hal tersebut telah
akan tercapai.
38
Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 21
39
Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 21
40
Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 22
28
pendidikan generasi dalam masalah agama dan menjaga mereka agar tidak
Adanya aturan dan syari’at Allah yang lurus dan bijaksana itu jelas
dan perempuan, seperti halnya hewan dan binatang dan orang yang biasa
tangga yang penuh rasa kasih sayang, tenggang rasa, toleransi, solidaritas dan
yang sangat urgen dalam mendidik anak-anak dan menyiapkan mereka untuk
41
Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 17
42
Abduuttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW: Poligami dalam Islam Vs
Monogami Barat, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), Cet. I, h. 12
43
Abduuttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW: Poligami dalam Islam Vs
Monogami Barat, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), Cet. I, h. 10
29
ketuhanannya sampai pada masa belakangan ini, yaitu sebuah situasi baru di mana
Dalam arena hukum keluarga ini, Nabi tidak berpretensi menghilangkan segala
praktik hukum yang sudah mapan dalam kehidupan masyarakat. Apa yang
dengan prinsip-prinsip akal sehat dan kesadaran. Maka berdasarkan alasan ini
ulang dan lain-lain. Dengan demikian, tujuan utama pernikahan di dalam Islam
manusia. Hal itu bisa dilakukan pertama-tama melalui upacara keagamaan yang
kedua pasangan pengantin. tapi tidak berarti pernikahan menurut Islam tidak bisa
dilangsungkan tanpa ada upacara. Hukum Islam tidak menetapkan ritual khusus
terdiri dari tiga aspek, yaitu aspek hukum, aspek sosial dan aspek keagamaan.
Dari sudut pandang hukum, pernikahan memang sebuah kontrak, oleh karenanya
ia tidak bisa dilangsungkan tanpa ada persetujuan dari kedua belah pihak atau
44
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 64
30
penghormatan bagi perempuan memberinya status sosial lebih tinggi dari yang
dimilikinya ketika belum menikah. Lebih dari itu, pernikahan juga memiliki aspek
Islam. Pernikahan bukan hanya perihal kontrak hukum, secara umum pernikahan
merupakan langkah awal dalam membangun keluarga dan keluarga itu sendiri
Apapun keragaman yang dimunculkan oleh nilai adat dan budaya itu, para
ahli hukum sepakat bahwa ada tiga syarat yang paling penting, yaitu (1)
atau walinya, dan (3) melaksanakan penawaran dan penerimaan pada pertemuan
yang sama di hadapan kehadiran saksi yang memadai (biasanya dua orang). 46
45
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 65
46
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 66
31
dari luar yang dianggap masih berada di dalam batasan keyakinan Islam. Di lain
pihak, pluralisme hukum sudah menjadi kenyataan hidup umat yang hidup pada
manusia. Ia membebaskan kaum lelaki dan wanita dari segala bentuk perbudakan
merupakan tokoh pembebas umat manusia yang paling agung. Beliau selalu
Agama Islam diturunkan oleh Allah SAW melalui Nabi Muhammad saw
Mekkah menuai tantangan dan gangguan yang sangat berat. Ia dianggap sebagai
hal baru yang dapat merusak kelestarian ajaran warisan nenek moyang mereka.
Dan karena preseden buruk tersebut, Islam menjadi agama yang sulit berkembang
pada sepuluh tahun pertama sejak kelahirannya. Sehingga, daftar para pengikut
47
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 63
48
Sayed Ali Asgher Razwy, Muhammad Rasulullah SAW: Sejarah Lengkap Kehidupan
dan Perjuangan Nabi Islam Menurut Sejarawan Timur dan Barat, Terj. Dede Azwar Nurmansyah,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), Cet. 1, h. 34
49
Ahmad Rofiq, Fikih Kontekstual: dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), Cet. I, h. 111
ﺼ ٍﺔ ﻏ َۡﯿ َﺮ ۡ ٱﻹ ۡﺳ ٰﻠَ َﻢ ِد ٗﯾﻨ ۚﺎ ﻓَ َﻤ ِﻦ
َ ٱﺿﻄُ ﱠﺮ ﻓِﻲ َﻣ ۡﺨ َﻤ ِ ۡ ﯿﺖ ﻟَ ُﻜ ُﻢ
ُ ﺿ ُ … ۡٱﻟﯿَ ۡﻮ َم أَ ۡﻛ َﻤ ۡﻠ
ُ ۡﺖ ﻟَ ُﻜﻢۡ ِدﯾﻨَ ُﻜﻢۡ َوأَ ۡﺗ َﻤﻤ
ِ ﺖ َﻋﻠَ ۡﯿ ُﻜﻢۡ ﻧِ ۡﻌ َﻤﺘِﻲ َو َر
ﯿﻢٞ ﻮر ﱠر ِﺣ ٞ ُٱہﻠﻟَ َﻏﻔﻒ ﱢ ِﻹ ۡﺛ ٖﻢ ﻓَﺈِ ﱠن ﱠ ٖ ُِﻣﺘَ َﺠﺎﻧ
“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. al-Mâidah/5: 3)
32
Islam pada saat itu hanya dipenuhi oleh keluarga, karib-kerabat, dan orang-orang
Kendati demikian, Islam menjadi mudah untuk diterima oleh kaum lemah,
terutama pada budak dan orang-orang tertindas, karena mereka berharap, Islam
akan mampu mengakhiri penindasan dan penderitaan yang mereka alami. Tercatat
beberapa orang budak yang telah masuk Islam sejak periode Mekah, seperti Zaid
ibn Harits, Bilal ibn Rabah, Yasir, dan anaknya; Amar ibn Yasir. Mereka
pun tidak dapat dihindarkan lagi. Bahkan tak sedikit dari mereka yang harus
lagi diukur dengan status sosial maupun kekayaan, melainkan ketaqwaan kepada
Allah SWT. oleh karenanya, Rasulullah saw memperlakukan budak dan orang-
kehidupan sosial ideal dalam Islam, sehingga ia menjadi rujukan bagi umat Islam
(teladan) dalam hal ini, tak lain adalah nilai-nilai kehidupan tersebut, bukan
50
Ibn Katsir,al-Bidâyah wa al-Nihayah, Juz. VI, 56
33
pembahasan ini, hal penting yang harus diketahui adalah perihal status umat Islam
dalam pergaulan sosial pada masa turunnya wahyu; ayat-ayat al-Quran. Hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui tentang status perkawinan lintas agama pada saat
Dari kenyataan diatas, dapat dilihat bahwa para pengikut Islam pada saat
itu merupakan kelompok kecil yang tersisihkan dari pergaulan masyarakat secara
luas. Bahkan seringkali menerima perlakuan tidak adil dari para penguasa dan
tradisi leluhur dengan sangat kuat. Sehingga aktifitas keagamaan mereka, tidak
lebih hanya sekedar pelestarian budaya yang mereka wrisi secara turun temurun.
Dan siapapun dari kalangan mereka yang tidak menjalankan ajaran tersebut, atau
dan tidak menghargai para leluhur. Mereka tidak meyakini kehidupan akhirat,
mereka hanya didasarkan pada norma-norma yang berkembang pada saat itu,
sehingga tidak ada aturan baku yang menjadi pedoman dalam menjalankan
yang saling menindas dan merampas hak-hak orang lain, demi mendapatkan
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, tidak ada cara lain kecuali berusaha
dan orang-orang lemah sama sekali tidak mendapatkan tempat, bahkan menjadi
tersebut. sehingga, posisi wanita pada saat itu tak lebih hanya sebagai pemuas
hawa nafsu semata. Sedangkan anak-anak perempuan yang dirasa tidak membawa
yang terdiri dari tiga aspek, yaitu aspek hukum, aspek sosial dan aspek
keagamaan. 53
mendapat perhatian khusus, dikalangan mereka. Apalagi tidak ada aturan tentang
52
Muhammad Fathurrohman, History of Islamic Civilization: Peristiwa-peristiwa Sejarah
Peradaban Islam Sejak Zaman Nabi Sampai Abbasiyah, (Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca,
2017), h. 3
53
Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, (Cianjur: IMR Press, 2012), h. 65
35
saw. membutuhkan waktu dua puluh tiga tahun untuk meletakkan dasar-dasar
secara umum diartikan bahwa suatu perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita yang tunduk pada hukum yang berbeda. Perbedaan hukum ini
mungkin antara lain disebabkan perbedaan agama yang dianut oleh mereka. 55
pemisahan perasaan keyakinan (akidah) yang telah ada di dalam jiwa kaum
jalannya, dan turunlah ayat QS. Al-Baqarah ayat 221. Ayat ini turun
muslimin dan kaum musyrikin. Adapun perkawinan yang memang telah ada
54
Butsainah As-Sayyid al-Iraqy, Rahasia Pernikahan yang Bahagia, Terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), Cet. I, h. 32
55
Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di
Indonesia, (Serang: Saudara: 1995), h. 33.
36
antara kaum muslimin dan kaum musyrikin (sebelum turunnya ayat ini) terus
berlangsung sampai tahun keenam Hijriah, yaitu ketika turunnya ayat kesepuluh
Hubungan pernikahan antara dua hati yang tidak mungkin dapat disatukan
adalah ikatan yang palsu dan rapuh. Keduanya tidak bertemu pada Allah SWT.
sangat mungkin terjadi perubahan aturan demi aturan karena adanya proses.
masyarakat Arab, khususnya. Di samping itu, obyek dakwah beliau pertama kali
adalah keluarga, kerabat dekat, teman karib, serta orang-orang yang mempunyai
sehingga ayat-ayat yang tergolong Makiyah tidak banyak berbicara tentang aturan
56
Abdul Muta’al al-Jabri, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim?
Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur Abdul Razak, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2003), Cet. I, h. 32
57
Abdul Muta’al al-Jabri, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim?
Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur Abdul Razak, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2003), Cet. I, h. 33
58
Abdul Muta’al al-Jabri, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim?
Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur Abdul Razak, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2003), Cet. I, h. 33-34
59
Lihat: Qs. Tâhâ/20: 132
37
beliau sama sekali belum tertuju pada pengambilan sikap atas kasus-kasus
pernikahan beda agama yang terjadi pada saat itu. Bahkan, ketika di Mekah beliau
menikahkan putri beliau “Zainab” dengan seorang musyrik, Abû al-‘Ass ibn al-
Rabî’. 60 Dengan demikian, dapat dilihat bahwa pada masa awal datangnya Islam
pernikahan beda agama terjadi. Sebab, penyebaran Islam belum begitu luas.
1. Masa Rasulullah
muslim dengan perempuan non muslimah telah dilakukan oleh beberapa orang
menikahi wanita Yahudiah dari suku al-Madâ’in, ‘Utsman bin ‘Affân yang
masuk Islam. 61
2. Pernikahan di Indonesia
harus dimulai dari keluarga, karena keluarga adalah tempat pembentukan peran,
Oleh karena itu, haruslah ada persatuan hati, bertemunya hati-hati itu dalam satu
60
Imam al-Qurtubi, (Kairo, Dâr al-Syu’ab, 1372), Jld. 18, Cet. 2, h. 55
61
Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, (Tangerang: Lentera Hati,
2015), Cet. I, h. 99
62
Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama,
dan Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 6
38
ikatan yang tidak mungkin dapat dilepaskan. Agar hati-hati itu bersatu dan
agama adalah ikatan yang paling dalam, paling komprehensif, yang dapat
mengarungi kehidupan. 63
oleh setiap pribadi manusia dan merupakan hal yang fitrah bagi setiap makhluk
Tuhan. Dengan perkawinan akan tercipta suatu masyarakat kecil dalam bentuk
keluarga dan dari sana pula akan lahir beberapa suku dan bangsa. 64
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 disebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian dalam pasal kedua disebutkan bahwa
63
Abdul Muta’al al-Jabri, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim?
Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur Abdul Razak, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2003), Cet. I, h. 31
64
Musifin As’ad dan Salim Basyarahil, Perkawinan dan Masalahnya, (Terj), Ibnu Ahmad
Dahri (Ed), (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar,1993), Cet. 2, h. 14
65
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan Peraturan
Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h.
329
39
telah diatur dalam Islam. Dalam agama Islam, pernikahan telah diatur dengan
baik, yaitu dengan adanya syarat-syarat dan rukun-rukun dalam pernikahan, salah
satu syarat dalam pernikahan yaitu calon pasangan suami istri harus sama-sama
beragama Islam. 66 Oleh sebab itu, penduduk Indonesia tidak diberikan izin untuk
melakukan pernikahan beda agama, walaupun aturan tersebut tidak tegas. Hal ini
pernikahan beda agama. Diantaranya, ada yang melakukan konversi agama, ada
juga yang menikah luar negeri agar pernikahannya dapat tercatat serta diakui oleh
negara.
66
Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Departemen Agama, 1993), h. 850
40
BAB III
persoalan baru akibat persentuhan peradaban dengan wilayah non Islam yang
telah ditaklukkan oleh para pasukan umat Islam. Beberapa ulama mulai dari klasik
yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran. Adapun ayat yang melatar belakangi
Menurut Ibn ‘Asyûr, turunnya ayat ini dilatarbelakangi oleh dampak dari
perjanjian yang terjadi antara Nabi Saw. dengan kaum musyrik di daerah
Hudaibiyah. Salah satu isi perjanjian tersebut adalah “pihak Quraisy yang
keluarganya, dan kaum Muhammad yang mendatangi kaum Quraisy maka tidak
Madinah. Saat itu, Ummu Kultsûm binti ‘Uqbah melarikan diri dari suaminya
dalam rangka berhijrah. Begitu pula Subai’ah al-Aslamiyah dan Umaimah binti
Bisyr. Kemudian, para suami meminta istri mereka kembali, sebagian dari mereka
perjanjian yang belum lama dibuat, yakni harus mengembalikan orang Quraisy
yang lari dari keluarganya tanpa izin. Lalu, turunlah ayat ini yang menahan
mereka untuk tetap berada di Madinah. Tidak ada satu pun dari perempuan-
Ayat ini masih berkaitan dengan ayat sebelumnya, yakni ayat tentang
kepada hubungan pernikahan dan perbesanan yang terjadi antara orang muslim
1
Muhammad al-Ṯahir ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, (Tunisia: al-Dâr al-
Nasyr wa al-Tauzî’ wa al-‘Ilân, t.th), Juz. 28 , h. 154-155. Ulama berbeda pendapat mengenai
pembatalan perjanjian Hudaibiyah yang terlihat sepihak. Apakah larangan pengembalian
perempuan kepada keluarganya telah mengabrogasi syarat perjanjian Hudaibiyah, atau isi
perjanjian masih ambigu karena memakai redaksi global yakni jama’ mudzakkar. Turunnya ayat
berfungsi sebagai pemerinci ambiguitas tersebut. Lihat: Ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr,
h. 155
42
dengan orang musyrik. Sebab pada saat Islam datang, sebagian kaum Arab saat itu
masuk Islam, dan sebagian lagi tetap masih terikat hubungan tersebut. 2
Imam al-Qurṯubi penggalan ayat ُ َٰﯾَٓﺄَﯾﱡﮭَﺎ ٱﻟﱠ ِﺬﯾﻦَ َءا َﻣﻨُ ٓﻮ ْا إِ َذا َﺟﺎٓ َء ُﻛ ُﻢ ۡٱﻟ ُﻤ ۡﺆ ِﻣ ٰﻨ
ﺖ
menjadikan sebagai teman setia atau penolong, maka hal ini menghendaki
hijrahnya kaum muslimin dari negeri kemusyrikan ke negeri Islam. Sementara itu,
pernikahan merupakan salah satu faktor yang paling kuat adanya pengangkatan
seseorang sebagai teman setia atau penolong. Oleh karena itu, Allah menerangkan
Nabi SAW. diperintah oleh Allah SWT. untuk menguji para perempuan
tersebut, agar bersumpah bahwa mereka hijrah karena Allah SWT., bukan karena
keduniaan marah kepada suami, ingin pindah ke daerah lain, atau karena ada
orang mukmin yang disukai, tapi harus murni kecintaannya kepada Allah SWT.
Pada penggalan ayat merupakan penegasan dari ayat bahwasanya wajib berpisah
nota gencatan senjata, kemudian Allah menghapus hal itu dari nota tersebut dan
2
Muhammad al-Ṯahir ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, (Tunisia: al-Dâr al-
Nasyr wa al-Tauzî’ wa al-‘Ilân, t.th), Juz. 28 , h. 154
3
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 366
4
Muhammad al-Ṯahir ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, (Tunisia: al-Dâr al-
Nasyr wa al-Tauzî’ wa al-‘Ilân, t.th), Juz. 28 , h. 156
43
melarang hal itu. Akan tetapi Allah menetapkan hal itu pada kaum laki-laki
sebagaimana adanya. 5
bersaksi bahwa tiada Tuhan yang hak kecuali Allah dan bahwa Muhammad
adalah utusan Allah. 7Disamping harus bersumpah dengan nama Allah, bahwa dia
suaminya, tidak pula karena benci terhadap suatu daerah kemudian pindah ke
daerah lain, tidak karena mencari dunia, tidak karena cinta terhadap seseorang dari
kami (kaum muslim), akan tetapi karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Apabila telah bersumpah, maka Nabi saw akan memberikan maharnya kepada
suaminya dan apa yang telah dinafkahkan kepadanya, namun beliau tidak akan
◌ۖ “ﻟَﮭ ﱠُﻦMaka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman
5
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 368
6
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 369
7
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, jilid. 18, h. 370
44
orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir
Dalam hal ini, Aisyah berkata: “Rasulullah tidak pernah menguji kecuali
dengan ayat dimana Allah berfirman, ” ُ َ ٰﯾَٓﺄَﯾﱡﮭَﺎ ٱﻟﻨﱠﺒِ ﱡﻲ إِ َذا َﺟﺎٓ َءكَ ۡٱﻟ ُﻤ ۡﺆ ِﻣ ٰﻨ,
َﺖ ﯾُﺒَﺎﯾِ ۡﻌﻨَﻚ
yang telah Rasul syaratkan terhadap orang-orang Quraisy, dimana beliau akan
keadaan muslim, dimana kaum wanita telah dinasakh dari sarat tersebut. 10
karena Tuhan mengetahui segala hal meski yang tersembunyi”. ﻓﺈن ﻋﻠﻤﺘﻤﻮ ھﻦ
8
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 370
9
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h.371
HR. At-Tirmidzi pada pembahasan tafsir (5/411). Hadis ini dikeluarkan oleh At-Tirmidzi,
dan ia berkata bahwa hadis ini termasuk hadis hasan sahih. Lihat: Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li
Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h.373
10
Pendapat ini merupakan pendapat ynag mebolehkan sunnah menghapus al-Quran.
Menurut mereka pendapat yang sahih adalah pendapat yang menyatakan bahwa dalam ayat ini
tidak ada nassakh. Sebab, ayat tersebut hanya mengkhususi atau membatasi keumumman Sunnah.
Dalam hal ini perlu diketahui bahwa mayoritas ushuliyyin membolehkan menghususkan sunnah
dengan al-Qur’an. Lihat: Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 373. lihat juga Ithaf al-Anam bi Takhsis al-
Am,tth
45
beriman sebelum di uji, “maka janganlah kamu kembalikan mere kepada mereka
suami-suami mereka yang kafir. Mereka tiada halal pula bagi orang kafir itu dan
orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Maksudnya adalah Allah tidak
menghalalkan wanita yang beriman bagi laki-laki yang kakfir, dan tidak pula
muslimah dari suaminya yang kafir adalah keislamannya dan bukan hijrahnya. 11
manusia hanyalah dapat melihat kesungguhan manusia dari lahir saja. Karena
suami-suami mereka mahar yang telah mereka bayar”. Apabila wanita muslimah
itu tidak dikembalikan kepada suaminya yang kafir, maka Allah memerintahkan
agar apa yang sudah inafkahkan untuk dirinya dikembalikan lagi keada suaminya.
Hal tersebut termasuk pemenuhan janji. Bagi Qurthubi, hal ini dilakukan agar
seorang suami tidak merasa kehilangan semuanya baik istrinya dan hartanya. 12
Adapun apabila dia datang dan meminta agar istrinya dikembalikan, maka
kita harus melarang untuk mengembalikan istrinya namun kita wajib membayar
11
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 373
12
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 374
46
denda. Jika istrinya sudah meninggal ketika suami belum datang, maka tidak
wajib menanggung kewajiban mahar, sebab larangan kembali itu belum nyata.
para suami, seperti yang telah mereka berikan. Orang yang diperintahkan untuk
melaksanakan perintah ini adalah imam atau pemerintah. Dia harus melaksanakan
perintah tersebut dengan mengambil harta yang ada di baitul mal, yang belum
mahar itu khusus untuk wanita dari kalangan yang menandatangani perjanjian.
Adapun orang yang tidak mengikat pperjanjian dengan kaum muslimin, mahar
“ وﻻ ﺟﻨﺎح ﻋﻠﯿﻜﻢ أن ﺗﻨﻜﺤﻮ ھﻦDan tiada dosa atasmu mengawini mereka”. Jika
mereka telah masuk Islam dan telah menyelesaikan masa iddahnya. Sebab
ditetapkan bahwa menikahi wanita yang musyrik dan wanita yangs edang
menjalani masa iddah adalah suatu hal yang diharamkan. Jika wanita tersebut
telah masuk Islam sebelum melakukan hubungan badan, maka pernikahan dapat
langsung menikah dengan orang muslim lainnya dengan syarat harus membayar
terlebih dahuklu mahar yang diberikan suaminya dahulu yang bukan muslim.
perbedaan makna pernikahan dan tali. Maksud ayat tersebut adalah bahwa wanita
muslimah yang bergabung ke wilayah perang kemudian dia menjadi kafir. Pada
saat itu, orang kafir menikahi wanita muslimah, dan laki-laki muslim pun
menikahi wanita yang musyrik. Pada saat itu juga turun perintah larangan dari
Islam, sehingga Umar bin al-Khattab menceraikan kedua istrinya yang musyrik. 13
yang dilakukan antara seorang muslim dan non muslim adalah dilarang. Baik
dengan perempuan kafir”. Yang dimaksud dengan kafir disini adalah orang
terlarang untuk dinikahi oleh seorang muslim dengan demikian, lafadz kafir disini
13
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 380
14
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h.380
48
Imam Malik berpendapat bahwa jika seorang istri belu digauli tidak perlu
menunggu masa iddah untuk melanjutkan pernikahan kembali dengan pria lain.
Sebaliknya, imam Syafi’I tetap memberikan aturan kepada laki-laki agar tetap
menunggu masa iddah perempuan itu selesai meski perempuan tersebut belum
digauli. Sedangkan, jika suami istri adalah nasrani dan satu ketika istri masuk
Islam, maka dalam hal ini pun terjadi perbedaan pendapat. Madzhab imam Malik,
Ahmad, dan Syafi’i mewajibkan sang istri untuk sampai menunggu masa
Maka ayat ini diakhiri dengan penggalan ayat “ ذﻟﻜﻢ ﺣﻜﻢ ﷲDemikian
perempuan tidak disebutkan secara tertulis. Maka ketika Nabi saw. didatangi
lemah. 17
15
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h.381
16
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 18, h. 385
17
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), Cet. I, Juz. 28, h. 108
49
Dari ayat ini Rasulullah saw dan orang-orang yang beriman telah
mendapat keputusan yang tegas dari Allah SWT. Yaitu bahwa perempuan-
perempuan itu pertama sekali adalah orang-orang yang beriman, kedua, Nabi
dilakukan karena agama, karena iman, karena keyakinan. Bukan hanya karena
sendiri, bukan karena ada orang yang dicintai di Madinah, lalu hijrah dan agama
dijadikan topeng. 18
Bila perempuan itu telah bersumpah bahwa dia benar-benar hijrah bukan
karena mengharap dunia, namun semata-mata karena cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya. Selain itu, Ibn Abbas juga menerangkan bahwa di samping bersumpah
“Billah” (Demi Allah), mereka juga disuruh mengucapkan dua kalimat syahadat. 19
Berkenaan dengan pernikahan beda agama, dalam penggalan ayat َو َﻻ
perempuan-perempuan kafir.” Dari kalimat ‘Isham kita ambil arti tali-tali. Yaitu
tali-tali yang masih menghubungkan cinta kasih di antara suami yang telah Islam
dengan istrinya yang masih kafir. Bahwa ayat ini mengandung penjelasan bahwa
18
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), Cet. I, Juz. 28, h. 109
19
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), Cet. I, Juz. 28, h. 109
50
mulai saat diturunkannya ayat ini, tali (hubungan) suami istri antara laki-laki
yang Islam dan telah hijrah, dengan sendirinya diputuskan dengan istri-istrinya
Maka dari keterangan ayat ini, hamka menerangkan bahwa seorang laki-
laki kafir yang telah Islam tidak dibolehkan nikah dengan perempuan yang masih
kafir, baik apa saja agama yang mereka anut, kecuali dalam surat Al-Maidah ayat
5. Namun dalam hal ini perempuan ahlul kitab ini diberi penjelasan lagi,
hendaklah laki-laki Islam itu yang kuat imannya dan dapat membimbing istrinya
dengan perlahan-lahan ke dalam akidah Islam. Kalau tidak kuat iman laki-laki,
namun juga terkait ikatan pernikahan orang Islam dengan yang masih kafir
terputus.
seorang laki-laki kafir yang telah Islam tidak dibolehkan kawin dengan
perempuan yang masih kafir, baik apa saja agama yang mereka anut, dikecualikan
perempuan Ahl al-Kitâb (Yahudi dan Nasrani) yang diberi pengecualian dalam
Qs. al-Maidah: 5. Namun tentang perempuan Ahl al-Kitâb ini diberi penjelasan
lagi, hendaklah laki-laki Islam itu yang kuat imannya dan dapat membimbing
20
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000), Cet. II, Juz. 28, h. 111
21
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000), Cet. II, Juz. 28, h. 111-112
22
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000), Cet. II, Juz. 28, h. 111
51
Muslim. Non muslim yang disebutkan dalam ayat ini adalah kata musyrik
tidah roboh hanya dengan sedikit goncangan, apalagi jika beban yang
merurutnya, pondasi yang kokoh adalah yang bersandar pada iman kepada
kepada orang-orang musyrik itu tidak sah meskipun pada awalnya Allah
musyrik dalam surah al-Baqarah, namun sebagian laragan yang tertuju pada
wanita ahlul kitab telah dinasakh. Artinya Allah telah menhalalkan mereka
Disisi lainnya, jika ada seorang wanita muslimah menikahi laki-laki ahlul
maka hal tersebut tidak dihalalkan. Ibn Abbas pernah ditanya tentang hal
kepada Allah dan tidak pula pada hari kemudian dan mereka tidak
mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan tidak
beragama dengan agama yang benar, yaitu orang-orang yang diberikan al-
Kitab kepada mereka sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang
23
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), Jilid. I, h. 472-473
53
berkaitan dengan ayat tersebut adalah tentang menikahi budak dan menikahi
permasalahan wali ini ada perbedaan dimana boleh siapa saja yang dianggap
baik oleh keluarga baik keluarga dekat semahram, orang lain atau orang yang
menerima wasiat.. namun pendapat yang lain menyatakan bahwa wali itu
antar keluarga, bukan saja keluarga masing-masing tetapi juga antar keluarga
kedua mempelai. Dari sini, peranan orang tua sangat penting baik dengan
memberi kepada orang tua wewenang besar, maupun sekedar restu tanpa
untuk meminta persetujuan anak gadisnya, namun karena tolak ukur anak
tidak jarang berbeda dengan tolak ukur orang tua maka tolak ukur anak dan
Dalam hal ini Quraish Shihab juga sependapat dengan Qurthubi bahwa
24
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Jilid. 3, h. h.155
25
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), Jilid. I, h. 475
54
sebagai yang haram namun ini tidak tentu bahwa wanita muslimah juga boleh
menikahi laki-laki ahlul kitab. Bagi Quraish, meski ayat tersebut tidak
menyebutkan secara jelas tentang ahlul kitab namun baginya ahlul kitab
adalah termasuk dari kelompok orang orang kafir dan musyrik. Alasan
mendasar dari pelarangan ini bagi Quraish adalah perbedaan iman yag akan
2. QS. Al-Maidah/5: 5
َ َﻮا ٱ ۡﻟ ِﻜ ٰﺘ
ۡ ّﻞ ﻟﱠ ُﻜﻢۡ َوطَ َﻌﺎ ُﻣ ُﻜﻢٞ ﺐ ِﺣ ْ ُﺖ َوطَ َﻌﺎ ُم ٱﻟﱠ ِﺬﯾﻦَ أُوﺗ ُ ۖ َٱ ۡﻟﯿَ ۡﻮ َم أ ُ ِﺣ ﱠﻞ ﻟَ ُﻜ ُﻢ ٱﻟﻄﱠﯿﱢ ٰﺒ
َ َﻮا ٱ ۡﻟ ِﻜ ٰﺘ
ﺐ ْ ُﺖ ِﻣﻦَ ٱﻟﱠ ِﺬﯾﻦَ أُوﺗ ُ َﺼ ٰﻨ ِ َﺖ ِﻣﻦَ ٱ ۡﻟ ُﻤ ۡﺆ ِﻣ ٰﻨ
َ ﺖ َوٱ ۡﻟ ُﻤ ۡﺤ ُ َﺼ ٰﻨ
َ ّﻞ ﻟﱠﮭُﻢۡ ۖ َوٱ ۡﻟ ُﻤ ۡﺤٞ ِﺣ
ﺼ ِﻨﯿﻦَ َﻏ ۡﯿ َﺮ ُﻣ ٰ َﺴ ِﻔ ِﺤﯿﻦَ َو َﻻ ِ ِﻣﻦ ﻗَ ۡﺒﻠِ ُﻜﻢۡ إِ َذآ َءاﺗَ ۡﯿﺘُ ُﻤﻮھُ ﱠﻦ أُ ُﺟﻮ َرھُ ﱠﻦ ُﻣ ۡﺤ
ٓ ۡ َان َو َﻣﻦ ﯾَ ۡﻜﻔُ ۡﺮ ﺑِﭑ ۡ ِﻹﯾ ٰ َﻤ ِﻦ ﻓَﻘَ ۡﺪ َﺣ ِﺒﻂَ َﻋ َﻤﻠُ ۥﮫُ َوھُ َﻮ ﻓِﻲ ٱ
َﻷ ِﺧ َﺮ ِة ِﻣﻦ ٖۗ ي أَ ۡﺧﺪ
ٓ ُﻣﺘﱠ ِﺨ ِﺬ
٥ َٱ ۡﻟ ٰ َﺨ ِﺴ ِﺮﯾﻦ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu,
dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan
mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-
wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila
kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah
beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah
amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”
(QS. Al-Maida/5: 5)
makanan kita halal bagi non muslim, begitupun sebaliknya, yaitu supaya di dalam
55
pergaulan hidup sehari-hari kita berelaku baik kepada mereka. 26 Penggalan ayat
dan perempuan Ahlul Kitab. Artinya dengan tidak usah dia masuk Islam terlebih
dahulu, sebab dalam hal agama tidak ada paksaan, sebagaimana yang telah
ُ َﺼ ٰﻨ
Pada bagian akhir ayat tersebut yakni ﺖ ِ َﺖ ِﻣﻦَ ۡٱﻟ ُﻤ ۡﺆ ِﻣ ٰﻨ
َ ﺖ َو ۡٱﻟ ُﻤ ۡﺤ ُ َﺼ ٰﻨ
َ َو ۡٱﻟ ُﻤ ۡﺤ
yang menjaga kehormatannya dan wanita yang beriman juga wanita yang menjaga
kehormatan diantara orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu. Hal ini juga
dijelaskan dalam surah al-Baqarah dan an-Nisa. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa
kebolehan menikah dengan ahlul kitab ini juga memiliki batas dan syarat yakni
boleh menikahi golongan ahlul kitab yang telah mengikat perjanjian dengan
Muslim dan bukan mereka yang berada di zona perang, sehingga firman Allah ini
layak dinikahi baik dari wanita mukminah ataupun ahlul kitab. Selanjutnya,
bahwa wanita mukmin yang harus didahulukan untuk dinikahi. Karea betapapun
26
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000), Cet. Ke-2, Juz. 6, h. 143
27
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 2000), Cet. Ke-2, Juz. 6, h. 143
28
Imam al-Qurṯubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009), Cet. I,h.193
56
dengan wanita ahlul kitab bagi yang tidak mampu menampakkan ajaran Islam
lebih-lebih yang diduga akan terpengaruh oleh ajaran non-Islam yang dianut oleh
Berbicara tentang pernikahan beda agama yang dalam ayat ini sebagian
ulama perbendapat bahwa pernikahan beda agama tidak dilarang, namun dengan
perempuannya dari kalangan ahl al-kitab. Namun, di akhir penggalan ayat ini, di
Maka, dengan ini diharapkan manusia benar-benar beriman, bukan hanya dalam
Rumah tangga atau keluarga adalah suatu struktur dalam masyarakat yang
Keluarga adalah unit sosial terkecil yang secara literal diartiakan sebagai
orang yang berada dalam satu rumah tangga yang karena suatu ikatan pernikahan,
sebagai gabungan yang khas, dan sama-sama memperteguh gabungan itu untuk
29
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), Jilid. I, h.35
30
Anshari Thayib, Struktur Rumah Tangga Muslim, (Surabaya: Risalah Gusti, 1994), Cet.
3, h. 1
57
keluarga tersebut. 31
tersebut menjadi sebuah amalan yang memiliki orientasi yang jelas, sehingga
amalan manusia yang bersifat duniawi semata. Namun, ia adalah salah satu
dalam dosa. Bahkan kehidupan rumah tangga itu sendiri harus menjadi perisai
anak cucu, karena kedua orang tua amat besar peranannya dalam pendidikan anak,
sehingga tampak secara actual dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, untuk
suksesnya fungsi ini, agama menuntut persamaan keyakinan suami-istri, dan atas
dasar ini pula Nabi SAW mengingatkan agar umatnya memilih pasangan yang
baik agamanya.
31
Abuddin Natta (Ed), Kajian Tematik al-Quran Tentang Kemasyarakatan, (Bandung:
Penerbit Aksara, 2008), h. 171
32
‘Adil Fathi ‘Abdulloh, Pentj. Abu Hudzaifah, Editor. Muhammad Izzuddin, Sudah
Islamkah Keluarga Anda?, () h. 19
33
Muchlis M. Hanafi (ed), Tanggung Jawab Al-Quran, (Jakarta: Lajanah Pentashihan
Mushaf al-Quran, 2011 ), Cet Ke-1, Jilid. 2, h. 74
58
ْ َ ِﻟ َﻤﺎﻟِﮭَﺎ َوﻟِ َﺤ َﺴﺒِﮭَﺎ َوﻟِ َﺠ َﻤﺎﻟِﮭَﺎ َوﻟِ ِﺪ ْﯾ ِﻨﮭَﺎ ﻓ: ﺗُ ْﻨ َﻜ ُﺢ ْاﻟ َﻤﺮْ أَةُ ِﻷَرْ ﺑَ ٍﻊ
ِ ﺎظﻔَﺮْ ﺑِ َﺬا
ت
balik antara suami dengan istri, orang tua dengan anak dan sebaliknya. Banyak
ungkapan tentang keluarga ideal, bahagia, rukun, damai dan seterusnya. Hal ini
Allah SWT telah memberi perhatian yang sangat besar terhadap hak
ﻮا ﺑِ ِﮫۦ َﺷ ٗۡﯿٴ ۖﺎ َوﺑِﭑ ۡﻟ ٰ َﻮﻟِﺪ َۡﯾ ِﻦ إِ ۡﺣ ٰ َﺴ ٗﻨﺎ َوﺑِ ِﺬي ٱ ۡﻟﻘُ ۡﺮﺑَ ٰﻰ
ْ وا ٱ ﱠہﻠﻟَ َو َﻻ ﺗُ ۡﺸ ِﺮ ُﻛ
ْ َوٱ ۡﻋﺒُ ُﺪ
34
Muchlis M. Hanafi (ed), Tanggung Jawab Al-Quran, (Jakarta: Lajanah Pentashihan
Mushaf al-Quran, 2011 ), Cet Ke-1, Jilid. 2, h. 74
35
A. Mudjad Mahali, Hubungan Timbal Balik Orang Tua dan Anak, (Solo: Ramadhani,
1994), Cet. III, h. 7.
36
A. Mudjad Mahali, Hubungan Timbal Balik Orang Tua dan Anak, (Solo: Ramadhani,
1994), Cet. III, h. 17.
59
dimurkai Allah SWT. Perintah yang menyimpang dari tata aturan agama, anjuran
yang bertentangan dengan syariat, sekalipun datang dari orangtua, maka tidak
salah satu kewajiban yang sangat utama dalam mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Disamping itu, Orangtua adalah perantara bagi kehadiran kita di muka
bumi ini, yang pertama kali mengasuh, mengajar dan mendidik kita. 39
sah atau tidaknya perkawinan itu, tetapi masalah tanggung jawab seseorang yang
beragama (baik muslim maupun non muslim) akan diri dan keluarga. 40
37
Birrul Walidain merupakan istilah perilaku anak kepada orangtuanya yang berarti
berbakti dan berbuat baik kepada orangtua, mengasih sayangi, mendoakan, taat dan patuh
kepadanya, menunaikan hak kewajiban terhadapnya, serta melakukan hal-hal yang membuat
kedua orangtua ridha dan meninggalkan sesuatu yang membuatnya murka. Lihat A. Mudjad
Mahali, Hubungan Timbal Balik Orang Tua dan Anak, (Solo: Ramadhani, 1994), Cet. III, h. 17-
18.
38
A. Mudjad Mahali, Hubungan Timbal Balik Orang Tua dan Anak, (Solo: Ramadhani,
1994), Cet. III, h. 18.
39
A. Mudjad Mahali, Hubungan Timbal Balik Orang Tua dan Anak, (Solo: Ramadhani,
1994), Cet. III, h. 19.
40
Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama, dan
Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 30
60
tanggung jawab sebagai seorang suami atau istri dalam keluarga di hadapan
Tuhannya baik bagi orang Islam maupun non Islam. Sebab, dalam praktiknya,
perbedaan agama ini, kecuali kedua belah pihak berani menghilangkan sekat-sekat
yang plural dan berbaur dengan umat lain. Tetapi, di dalam bertoleransi, seorang
kebenaran Islam tidak aniaya, merusak atau merugikan orang Islam atau di luar
Islam. 42
Masyarakat Sekarang
dibolehkan bagi laki-laki muslim dengan hukum “makruh” di samping ada juga
sebagian ulama yang berpendapat hukumnya haram. Tapi yang pasti ulama
41
Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama,
dan Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 65
42
Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama, dan
Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 65
43
Abdul Muta’al al-Jabri, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim?
Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur Abdul Razak, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2003), Cet. I, h. 27
61
tersebut menjadi sebuah amalan yang memiliki orientasi yang jelas, sehingga
amalan manusia yang bersifat duniawi semata. Namun, ia adalah salah satu
Namun, tidak dapat dipungkiri pernikahan beda agama dari zaman dahulu
hingga saat ini ada saja yang melakukannya. Adapun alasan yang mendukung
1. Ahl al-kitab termasuk orang yang paling dekat pada petunjuk apabila
2. Boleh jadi seorang laki-laki muslim jatuh hati kepada wanita bukan
menetap di suatu daerah yang di situ tak ada seorang pun wanita
44
‘Adil Fathi ‘Abdulloh, Pentj. Abu Hudzaifah, Editor. Muhammad Izzuddin, Sudah
Islamkah Keluarga Anda?, () h. 19
62
dalam dirinya terdapat sifat siap mendengarkan lebih banyak dari sifat
laki-laki. Oleh karena itu, apabila ia menikah dengan seorang laki-laki non
peradabannya bahkan anak yang dilahirkannya menganut agama sang ayah (non
muslim). 46 Karena, tidak dapat dipungkiri setiap penganut agama pasti akan
Oleh sebab itu, meskipun dalam pernikahan beda agama ini berbeda-beda
pendapat, namun dalam akhir penggalan ayat QS. al-Maidâh ayat 5 telah
syariat membolehkan umat Islam menikahi non muslim, hal itu hanya
diperbolehkan pada kondisi yang luar biasa dan karena ada kebutuhan serta
45
Syaikh Humaidhy bin Abdul Aziz bin Muhammad al-Humaidhy, Pentj. Kathur Suhardi,
Ahkamu Nikahil Kuffar Alal Madzahibil Arba’ah/Kawin Campur dalam Syari’at Islam, (Jakarta:
Pustaka alkautsar, 1992), Cet. Ke-1, h. 29-30
46
Abdul Muta’al al-Jabri, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim?
Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur Abdul Razak, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2003), Cet. I, h. 28
63
kemaslahatan yang luar biasa. 47 Umar bin Khaṯṯab telah mengingatkan dari
Menurut Abdul Hamid Hakim, pernikahan beda agama untuk konteks saat
ini tidak bisa dijadikan alasan untuk berdakwah, yaitu agar perempuan ahl al-
kitab yang dinikahi itu masuk Islam dan anak-anak yang dilahirkannya juga
mengikuti agama ayahnya (Islam). Alasan tersebut sulit diwujudkan, karena saat
ini banyak perempuan non muslim yang sudah maju dan mandiri dalam berpikir,
sehingga tidak bisa dipengaruhi oleh laki-laki, apalagi dalam hal keyakinan
beragama. 49
Dengan kata lain, pernikahan tidak lagi efektif untuk media dakwah yaitu
yaitu bahwa perempuan mengikuti agama suaminya karena sudah tidak lagi
dengan non muslim, baik laki-laki muslim dengan perempuan non muslim atau
Tidak hanya Islam yang melarang adanya pernikahan beda agama. Agama
Katholik pada dasarnya juga menganggap tidak sah perkawinan antara orang yang
beragama Katholik dengan orang yang bukan Katholik. Begitu pula dengan
47
Abdul Muta’al al-Jabri, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim?
Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur Abdul Razak, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2003), Cet. I, h. 29
48
Abdul Muta’al al-Jabri, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim?
Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur Abdul Razak, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2003), Cet. I, h. 29
49
Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama,
dan Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 63
50
Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama,
dan Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 63
64
agama Hindu. Sedangkan agama Budha tidak melarang pernikahan beda agama
Di samping itu, sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa melepaskan diri
dari ikatan dan pergaulan sosial. Ikatan sosial pertama yang paling utama adalah
menyesuaikan diri, dimana suami menyesuaikan diri dengan watak dan kondisi
istri, istri menyesuaikan diri dengan watak dan kondisi suami, anak-anak pun tak
terpengaruh oleh orang lain dari pada mempengaruhi orang lain untuk mengikuti
Umumnya, wanita dalam kehidupan berumah tangga selalu menurut apa kata
suami. Jika ia menikah dengan laki-laki non Islam, maka tingkat kekhawatiran
atas dirinya untuk keluar dari agama Islam dan peradabannya cukup tinggi.
51
Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia: Pergulatan antara Negara, Agama, dan
Perempuan, (Yogyakarta: Deepublish, 2016), Ed. I, Cet. I, h. 63
52
Dewan Pimpinan Pusat Majelis Dakwah Islamiah, Sosok Ideal Keluarga Muslim-
Pancasila, (Jakarta: tt, 1994), h. 30
53
Abdul Muta’al M. Al-Jabry, Perkawinan AntarAgama: Suatu Dilema, (Surabaya:
Risalah Gusti, 1992), Cet. I, h. 10
65
dianggap lemah serta selalu tunduk terhadap laki-laki. Sehingga bila laki-laki
muslim menikahi perempuan non muslim (ahlu kitab), hal itu disebabkan dakwah.
lagi dibedakan dengan kaum laki-laki. Disamping itu, perempuan saat ini telah
mandiri, bahkan dan bisa tidak bisa dipengaruhi oleh hal-hal yang telah merka
yakini.
Maka dari itu, menyimpulkan bahwa suatu pernikahan bagi umat Islam
kebahagiaan bukan hanya di dunia namun juga diakhirat kelak. Yaitu dengan
BAB IV
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Setelah mencermati pembahasan ini dari awal penulis sampai pada akhir
pembahasan dari tema ini, penulis menyimpulkan bahwa pernikahan bagi umat
manusia merupakan sesuatu yang dianggap sakral dan mempunyai tujuan yang
sakral pula, dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang ditetapkan syariat
keadaan yang berbeda-beda namun tujuannya sama yaitu agar dapat menjaga
keimanan kepada Allah SWT. agar kelak tidak rugi. Sebagaimana akhir penggalan
surat al-Maidâh ayat 5. Begitupun dalam surat al-Baqarah ayat 221 telah
dari berbagai aspeknya, agar nantinya tidak terjadi problem yang akan
B. Saran-saran
Dari penulisan karya ini, penulis sadar jauhnya dari kesempurnaan serta
terbatasnya waktu dalam penelitian ini. Maka pasti ada hal-hal yang perlu di kaji
lagi.
Maka dalam hal ini, penulis merekomendasikan agar penelitian ini tidak
hanya sampai di sini saja. Maka dari itu, penulis merekomendasikan agar ada
pernikahan beda agama atau kepada pelaku konversi agama. Dengan begitu dapat
dapat diketahui kesesuaiannya dengan pernikahan jaman dahulu pada saat awal
penyebaran Islam.
69
DAFTAR PUSTAKA
As’ad, Musifin dan Basyarahil, Salim Perkawinan dan Masalahnya, (Terj), Ibnu
Ahmad Dahri (Ed), Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar,1993
Cawidu, Harifuddin, Konsep Kufr dalam al-Quran, Suatu Kajian Teologi dalam
Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta: Bulan Bintang, 1991
Dewan Pimpinan Pusat Majelis Dakwah Islamiah, Sosok Ideal Keluarga Muslim-
Pancasila, Jakarta: tt, 1994
Al-Humaidhy, Syaikh Humaidhy bin Abdul Aziz bin Muhammad, Pentj. Kathur
Suhardi, Ahkamu Nikahil Kuffar Alal Madzahibil Arba’ah/Kawin Campur
dalam Syari’at Islam, Jakarta: Pustaka alkautsar, 1992
Al-Jabri, Abdul Muta’al, Apa Bahayanya Menikah dengan Wanita Non Muslim?
Tinjauan Fiqih dan Politik, Terj. Ahmad Rivai Usman dan Abdul Syukur
Abdul Razak, Jakarta: Gema Insani Press, 2003
Mahali, A. Mudjad, Hubungan Timbal Balik Orang Tua dan Anak, Solo:
Ramadhani, 1994.
Mukhtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang,
1974
Mu’alim, Much, Perkawinan Lintas Agama dalam Kajian Tafsir Tematik Sosio-
Historis, Jakarta, Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Al-Qurṯubi, Imam, Al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, Terj. Dudi Rosyadi dkk, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009, Jilid. 3
Thohari, Hamim, Smart Solving; Menjawab 101 Masalah Keluarga, tt: Pustaka
Inti dan Arga Publishing, 2007.