Disusun Oleh :
2017
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Setiap anak memiliki anugerah tersendiri yang diberikan dari Tuhan melalui
berbagai cara salah satunya adalah seperti anak yang berbakat. Anugerah yang diberikan
bukan hanya saja berupa kelebihan namun terkadang berupa kekurangan. Setiap kelebihan
dan kekurangan pada manusia pada dasarnya harus di syukuri dan cara yang mensyukuri
yang paling baik adalah dengan mengembangkan kekurangan menjadi suatu kelebihan dan
menjadikan kelebihan sebagai sebagai perantara untuk membantu orang lain dalam hal
kebaikan.
Dalam makalah ini akan dibahasa bagaimana cara menangani anak yang berbakat,
oleh karena itu mengapa anak berbakat masuk kedalam kategori anak berkebutuhan khusus
karena pada dasarnya anak berbakat itu anak yang memiliki perbedaan dengan anak yang
lainnya sehingga perlu mendapatkan penanganan atau wadah untuk menampung anak
berbakat tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian anak berbakat?
2. Bagaimana klasifikasi anak berbakat?
3. Bagaimana karakteristik anak berbakat?
4. Apa faktor yang memengaruhi anak berbakat?
5. Bagaimanakah perkembangan anak berbakat?
6. Masalah dan dampak apa saja yang timbul dari keberbakatan?
7. Kebutuhan pendidikan apa yang dibutuhkan anak-anak berbakat?
8. Bagaimana bentuk layanan pendidikan bagi anak berbakat?
9. Berapakah persentase anak berbakat istimewa di Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk memahami pengertian anak berbakat
2. Untuk memahami klasifikasi anak berbakat
3. Untuk memahami karakteristik anak berbakat
4. Untuk memahami faktor yang memengaruhi anak berbakat
5. Untuk memahami perkembangan anak berbakat
6. Untuk memahami masalah dan dampak yang timbul dari keberbakatan
7. Untuk memahami kebutuhan pendidikan anak berbakat
8. Untuk memahami bentuk layanan pendidikan bagi anak berbakat
9. Untuk mengetahui persentase anak berbakat istimewa di Indonesia
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Anak Berbakat
Anak yang memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa (gifted) adalah anak
yang secara significant memiliki mempunyai IQ 140 atau lebih, potensi diatas rata-rata
dalam bidang kemampuan umum, akademik khusus, kreativitas, kepemimpinan, seni
dan/atau olahraga. Anak berkebutuhan khusus gifted (Heward) adalah anak dengan
karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan
pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik.
Banyak istilah yang dapat dipakai untuk menyebut anak berbakat, diantaranya:
anak unggul, anak berkemampuan istimewa, anak superior, anak genius, dan masih banyak
lagi sebutan lainnya.
Sedangkan Kitano dan Kirby (1986) yang dikutip oleh Mulyono Abdurrahman
(1994) mengemukakan karakteristik keberbakatan bidang akademik adalah:
Salah satu contoh yang digambarkan oleh Kirk (1986) bahwa seorang anak
berbakat berusia 10 tahun, ia memiliki kemampuan akademik dalam hal membaca sama
dengan anak normal usia 14 tahun, dan berhitung sama dengan usia 11 tahun, anak ini
memiliki keberbakatan dalam membaca.
2. Karakteristik Sosial/Emosi
Dicontohkan pula oleh Kirk bahwa anak yang berbakat dalam hal social dan
emosi, bahwa seorang anak berusia 10 tahun memperlihatkan kemampuan penyesuaian
sosial dan emosi (sikap periang, bersemangat, kooperatif, bertanggung jawab,
mengerjakan tugasnya dengan baik, membantu temannya yang kurang mampu dan
akrab dalam bermain). Sikap-sikap yang diperlihatkannya itu sama dengan sikap anak
normal usia 16 tahun.
3. Karakteristik Fisik/Kesehatan
Dicontohkan pula oleh Kirk bahwa seorang anak berbakat usia 10 tahun memiliki
tinggi dan berat badan sama dengan usianya. Yang menunjukkan perbedaan adalah
koordinasi geraknya sama dengan anak normal usia 12 tahun. Mereka juga
memperlihatkan sifat rapi.
4. Karakteristik Intelektual-Kognitif
a. Menunjukkan atau memiliki ide-ide yang orisinal, gagasan-gagasan yang tidak lazim,
pikiran-pikiran kreatif
b. Mampu menghubungkan ide-ide yang nampak tidak berkaitan menjadi suatu konsep
yang utuh.
c. Menunjukkan kemampuan bernalar yang sangat tinggi.
d. Mampu menggeneralisir suatu masalah yang rumit menjadi suatu hal yang sederhana
dan mudah dipahami.
e. Memiliki kecepatan yang sangat tinggi dalam memecahkan masalah.
f. Menunjukkan daya imajinasi yang luar biasa.
g. Memiliki perbendaharaan kosakata yang sangat kaya dan mampu
mengartikulasikannya dengan baik.
h. Biasanya fasih dalam berkomunikasi lisan, senang bermain atau merangkai kata-kata.
i. Sangat cepat dalam memahami pembicaraan atau pelajaran yang diberikan.
j. Memiliki daya ingat jangka panjang (long term memory) yang kuat.
k. Mampu menangkap ide-ide abstrak dalam konsep matematika dan/atau sains.
l. Memiliki kemampuan membaca yang sangat cepat.
m. Banyak gagasan dan mampu menginspirasi orang lain.
n. Memikirkan sesuatu secara kompleks, abstrak, dan dalam.
o. Mampu memikirkan tentang beragam gagasan atau persoalan dalam waktu yang
bersamaan dan cepat mengaitkan satu dengan yang lainnya.
5. Karakteristik Persepsi/Emosi
a. Sangat peka perasaannya.
b. Menunjukkan gaya bercanda atau humor yang tidak lazim (sinis, tepat sasaran dalam
menertawakan sesuatu hal tapi tanpa terasa dapat menyakiti perasaan orang lain)
c. Sangat perseptif dengan beragam bentuk emosi orang lain (peka dengan sesuatu yang
tidak dirasakan oleh orang-orang lain).
d. Memiliki perasaan yang dalam atas sesuatu
e. Peka dengan adanya perubahan kecil dalam lingkungan sekitar (suara, aroma,
cahaya)
f. Pada umumnya introvert
g. Memandang suatu persoalan dari berbagai macam sudut pandang
h. Sangat terbuka dengan pengalaman atau hal-hal baru
i. Alaminya memiliki ketulusan hati yang lebih dalam dibanding anak lain.
7. Karakteristik Aktifitas
a. Punya energi yang seolah tak pernah habis, selalu aktif beraktifitas dari satu hal ke
hal lain tanpa terlihat lelah.
b. Sulit memulai tidur tapi cepat terbangun, waktu tidur yang lebih sedikit dibanding
anak normal.
c. Sangat waspada.
d. Rentang perhatian yang panjang, mampu berkonsentrasi pada satu persoalan dalam
waktu yang sangat lama
e. Tekun, gigih, pantang menyerah
f. Cepat bosan dengan situasi rutin, pikiran yang tidak pernah diam, selalu
memunculkan hal-hal baru untuk dilakukan.
g. Spontanitas yang tinggi.
D. Faktor yang Mempengaruhi Anak Berbakat
1. Hereditas
Hereditas adalah faktor yang diwariskan dari orang tua, meliputi kecerdasan, kreatif
produktif, kemampuan memimpin, kemampuan seni dan psikomotor. Dalam diri seseorang
telah ditentukan adanya faktor bawaan yang ada setiap orang, dan bakat bawaan tersebut
juga berbeda setiap orangnya. Namun U. Branfenbrenner dan Scarr Salaptek menyatakan
secara tegas bahwa sekarang tidak ada kesangsian mengenai faktor genetika mempunyai
andil yang besar terhadap kemampuan mental seseorang.
2. Lingkungan
Lingkungan, hal-hal yang mempengaruhi perkembangan anak berbakat ditinjau
dari segi lingkungannya (keluarga, sekolah dan masyarakat). Lingkungan mempunyai
peran yang sangat besar dalam mempengaruhi keberbakatan seorang anak. Walaupun
seorang anak mempunyai bakat yang tinggi terhadap suatu bidang, tanpa adanya dukungan
dan perhatian dari lingkungannya seperti, masyarakat tempat dia bersosialisasi, keluarga
tempat ia menjalani kehidupan berkeluarga, tempat dia menjalani kehidupan dan
mengembangkan keberbakatan itu dapat membantunya dalam mencapai ataupun
memaksimalkan bakatnya tersebut.
a) Kecepatan perkembangan kognitif yang tidak sesuai dengan kekuatan fisik, sehingga
terjadi kesenjangan diantara keduanya dan dapat menimbulkan Perasaan yang dapat
mendorong anak tidak peduli terhadap kegiatan fisik kelompok, sehingga dapat
menimbulkan frustasi, kecewa dan tidak puas terhadap kehidupan kelompok sebaya.
b) Perkembangan kognitif anak berbakat lebih cepat dari teman sebaya akan
menimbulkan kebosanan terhadap pengajaran reguler, kesulitan hubungan sosial dalam
kelompok seusia, sulit berkonfirmasi dalam kelompok, frustasi karena harus
“menunggu” kelompok.
c) Kemampuan anak berbakat untuk menyerap dan menghimpun informasi yang tidak
diimbangi dengan perkembangan emosi dan kesadaran dapat menimbulkan
ketidakstabilan perkembangan emosi.
d) Kematangan sosial dan kecakapan kepemimpinan yang tumbuh lebih awal pada anak
berbakat dapat menimbulkan masalah penyesuaian diri.
2. Masalah dan dampak bagi keluarga
Keberbakatan akan membawa dampak iklim dan perlakuan keluarga. Orang tua
yang tidak memahami dan menyadari akan potensi yang dimiliki anaknya bisa jadi tidak
peduli dan merespon perilaku anak tadi. Kecenderungan orang tua untuk menghardik
anaknya kalau anak itu melibatkan diri dalam urusan orang tuanya, memaksakannya untuk
bermain dengan teman seusianya.
Sikap orang tua tersebut akan menimbulkan letak beruntung dalam keberbakatan
(disadvantages child). Dalam menghadapai anak berbakat orang tua harus menunjukkan
sikap memahami, peduli terhadap pikiran dan perasaan anak, bersikap terbuka dan
memberi peluang kepada anak untuk mengekspresikan dirinya.
Peran orang tua adalah guru bagi anak berbakat dalam lingkungan. Beberapa
hal yang perlu dilakukan orang tua di dalam membantu dan membimbing anak berbakat
ialah :
a) Ciptakan komunikasi terbuka antara orang tua-anak dan antar anak dengan disertai
kasih sayang
b) Berikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak untuk menghadapi dan memecahkan
masalah
c) Sertakan anak dalam kegiatan orang tua sehingga anak memperoleh wawasan yang
lebih luas dan mendalam
d) Perhatikan kebutuhan utama anak dan upayakan untuk memenuhinya secara wajar
e) Berikan anak kepercayaan untuk melakukan sesuatu yang dipikirkan dan disenangi
f) Hargai upaya dan hasil kerja anak dan ikuti perkembangannya
g) Bantulah anak untuk mengembangkan, memahami dan menyesuaikan kebutuhan-
kebutuhannya
h) Bantulah anak menyusun skala prioritas kegiatan
i) Sediakan fasilitas dan sumber informasi yang dapat dimanfaatkan oleh anak untuk
memenuhi hasrat keinginan tahunya
j) Berilah anak untuk memahami perbedaan individu melalui pembentukan pengertian
k) Perhatikan kebutuhan gizi dan kesehatan anak
l) Tanyakan rasa bahagia dalam hidup bersama dia
3. Masalah dan dampak bagi masyarakat
Masalah dan dampak keberbakatan bagi kehidupan masyarakat terlebih pada isu
sosial maupun politis bagaimana perlakuan terhadap anak berbakat diberikan terutama
layanan pendidikan yang mungkin diperolehnya. Contohnya seperti pendidikan khusus
yang diperoleh anak berbakat mungkin akan menimbulkan sikap elitisme dan ekslusif atau
dintegrasikan ke dalam sistem persekolahan biasa yang mungkin akan menimbulkan
masalah-masalah bagi anak itu sendiri. Masalah keberbakatan membawa dampak terhadap
pengambilan kebijakan pendidikan.
Perbedaan program pendidikan bagi anak berbakat bukan sekedar berbeda, tetapi
secara kualitatif memang menghendaki perbedaan walaupun tidak berarti harus terpisah
dari anak-anak biasa. Perbedaan kualitatif perlu karena anak berbakat memiliki
karakteristik dan kebutuhan suatu permasalahan yang berbeda dari anak-anak pada
umumnya.
Oleh karena potensi yang dimiliki anak berbakat sedemikian hebatnya jika
dibandingkan dengan anak biasa maka untuk mengembangkan potensinya mereka
membutuhkan hal-hal berikut ini :
a. untuk memberi kesempatan anak berbakat dalam berinteraksi dengan teman yang
seusia
b. untuk memudahkan guru dalam mengajar karena berkurangnya keanekaragaman
siswa
c. untuk menempatkan siswa berbakat dengan pengajar yang yang mempunyai
keahlian khusus dalam menangani anak berbakat.
Kelas pengayaan, guru kelas melaksanakan suatu program tanpa bantuan petugas
dari luar.
Guru konsultan, pelaksanaan program pengajaran dalam kelas biasa dengan
bantuan konsultan khusus yang terlatih.
Ruangan sumber belajar, siswa berbakat meninggalkan ruang kelas biasa ke
ruangan sumber belajar untuk menerima pengajaran dari guru yang terlatih.
Studi mandiri, siswa memilih proyek-proyek dan mengerjakannya di bawah
pengawasan seorang guru yang berwewenang.
Kelas khusus, siswa berbakat dikelompokkan bersama-sama disekolah dan diajar
oleh guru yang dilatih khusus.
Sekolah khusus, siswa berbakat menerima pengajaran disekolah khusus dengan
staf guru yang dilatih secara khusus.
2. Adaptasi Program
1. Pemasukan ke sekolah pada usia dini, anak yang memperlihatkan kematangan sosial dan
intelektual diperbolehkan memasuki Taman Kanak-kanak pada usia lebih muda dari anak
pada umumnya.
2. Pelompatan tingkat/kelas, anak dengan cepat naik kelas pada kelas/tingkat berikutnya
walaupun belum saatnya kenaikan kelas.
3. Percepatan materi, anak mengikuti materi standar dengan waktu yang lebih
singkat, misalnya belajar di Sekolah Menengah Pertama hanya dua tahun.
4. Penempatan yang maju, siswa mengambil pelajaran di Perguruan Tinggi sementara ia
masih di Sekolah Menengah Atas
5. Pemasukan ke Perguruan Tinggi yang lebih awal, seorang siswa yang sangat maju bisa
masuk Perguruan Tinggi dalam usia 13, 14 atau 15 tahun.
b. Melalui pengayaan
d. Pembaruan
Pembaruan isi pelajaran adalah pengenalan materi yang biasanya tak akan
muncul dalam kurikulum umum karena keterbatasan waktu atau abstraknya sifat isi
pelajaran. Tujuan pembaruan ini ialah untuk membantu anak-anak berbakat menguasai
ide-ide yang penting. Jenis pembaruan materi pelajaran, misalnya guru mengajak
siswa untuk memikirkan konsekuensi kemajuan teknologi (AC, komputer, TV, dan
lain-lain).
2. Kurikulum berdiferensiasi
1. Strategi pembelajaran
Strategi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak berbakat sangat
mendorong anak tersebut untuk berprestasi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam menentukan strategi pembelajaran adalah sebagai berikut :
2. Model-model layanan
Sasaran akhir dari model ini adalah pengembangan bakat. Oleh karena itu,
dalam proses pembelajaran sangat memperhitungkan kreativitas dan sisi kognitif
afektif yang merupakan dinamika dari proses perkembangan bakat tersebut. Cara
melaksanakan model tersebut, yaitu dengan cara pemberian stimulus langsung pada
belahan otak kanan, dan metode tak langsung dengan menghayati pengalaman
belajar atau percakapan tertentu secara mendalam.
3. Desain pembelajaran
(1) mengemas materi bidang studi tertentu agar sesuai dengan kebutuhan belajar anak
berbakat, kemudian berangsur-angsur ke bidang studi lain
(2) melatih teknik mengajar tertentu kepada guru bidang studi seperti teknik pembelajaran
pengembangan kreativitas
(3) mencobakan beberapa model pembelajaran di sekolah atau daerah tertentu dan jika
diperoleh hasil yang baik, kemudian menyebarluaskannya ke sekolah lain.
4. Evaluasi
Proses evaluasi pada anak berbakat tidak berbeda dengan anak pada umumnya,
namun karena kurikulum atau program pelajaran anak berbakat dalam cakupan dan
tujuannya maka dibutuhkan penerapan evaluasi yang sesuai dengan keadaan tersebut.
Tujuan evaluasi adalah untuk mengetahui ketuntasan belajar anak berbakat.
Sehubungan dengan hal itu Conny Semiawan (1987, 1992) mengemukakan bahwa instrumen
dan prosedur yang digunakan mengacu pada ketuntasan belajar adalah pengejawantahan dari
kekhususan layanan pendidikan anak berbakat, hasil umpan balik untuk keperluan tertentu,
pemantulan tingkat kemantapan penguasaan suatu materi sesuai dengan sifat, keterampilan,
dan kemampuan maupun kecepatan belajar seseorang.
Model pengukuran seperti tersebut di atas adalah pengukuran acuan kriteria (criterion-
reference). Sebaliknya ada pengukuran acuan norma yang membandingkan keberbakatan
seseorang dengan temannya. Kedua cara tersebut tidak selalu menunjuk hasil akhir yang
diinginkan, melainkan merupakan petunjuk bidang mana yang sudah dikuasai individu
sehingga memberikan keterangan mengenai taraf kemampuan yang dicapai tanpa tergantung
pada kinerja temannya. Penting untuk diperhatikan bahwa sebaiknya disertai dengan saran
mengenai model evaluasi yang perlu diterapkan, apakah tes atau nontes.
Kesimpulan
Anak berbakat adalah anak yang diidentifikasi oleh orang-orang yang berkualifikasi
profesional sebagai anak yang memiliki kemampuan luar biasa. Mereka menghendaki program
pendidikan yang sesuai atau layanan melebihi sebagaimana diberikan secara normal oleh program
sekolah regular, sehingga dapat merealisasikan kontribusi secara bermakna bagi diri dan
masyarakatnya. Karakteristik anak berbakat, diantaranya menunjukkan kemampuan di atas rata-
rata, terutama di bidang kemampuan umum, kemampuan khusus, dan menunjukkan komitmen
yang terhadap tugas, serta menunjukkan kreativitas yang tinggi.
Anak yang mempunyai kecerdasan di atas rata-rata dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok, seperti dikemukakan oleh Sutratinah Tirtonegoro (1984; 29) yaitu; Superior, Gifted dan
Genius. Faktor yang mempengaruhi anak berbakat meliputi hereditas, yaitu faktor yang
diwariskan dari orang tua dan lingkunganyang ditinjau dari segi keluarga, sekolah dan
masyarakat. Perkembangan anak berbakat meliputi perkembangan fisik, perkembangan kognitif,
perkembangan emosi, dan perkembangan social.
DAFTAR PUSTAKA
Saputra, Eko. 2013. The World Of Psychology : Definisi Anak Berbakat. Diakses melalui
http://the-secret-of-psychology-world.blogspot.co.id/2013/03/definisi-anak-
berbakat-gifted-child.html. Pada tanggal 7 Desember 2017
Disusun oleh :
2017
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali macam tingkah laku, karakteristik dan
bentuk fisik manusia yang kita temui. Baik itu orang normal maupun tidak normal. Di
dalam pendidikan juga ada anak normal dan anak yang membutuhkan layanan khusus atau
bahkan sekolah luar biasa. Anak luar biasa adalah anak yang mengalami gangguan atau
hambatan perkembangan baik fisik maupun mentalnya sehingga mereka membutuhkan
perhatian dan layanan khusus, hal ini dengan tujuan agar mereka mampu menjalani
kehidupan sehari-hari tanpa membutuhkan orang lain. Salah satu anak yang mengalami
hambatan atau gangguan yaitu anak tunalaras. Anak tunalaras adalah anak yang mangalami
gangguan emosi dan mentalnya dimana anak ini berbuat sesuatu yang tidak biasa dilakukan
oleh anak seusianya. Contoh perilaku yang dilakukan adalah, membuat ribut atau cemas,
menyakiti orang lain dan sebagainya yang tidak biasa dilakukan oleh anak seusianya.
Orang tua atau guru harus bisa mendeteksi dini kalau anaknya mengalami hambatan, hal
ini bertujuan agar kelainan yang dialami anak tidak bertambah parah. Misalnya kalau anak
mengalami ketunalarasan maka pihak yang bersangkutan harus cepat mencegahnya, agar
kelainannya tidak bertambah parah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan tunalaras?
2. Apa faktor penyebab tunalaras?
3. Apa ciri-ciri tunalaras?
4. Apa klasifikasi tunalaras?
5. Bagaimana pendidikan tunalaras saat ini?
6. Bagaimana peran Teknologi Pendidikan dalam Pendidikan Anak Tunalaras?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian tunalaras
2. Mmengetahui penyebab tunalaras
3. Mengetahui ciri-ciri tunalaras
4. Mengetahui klasifikasi tunalaras
5. Mengetahui pendidikan tunalaras
6. Mengetahui peran Teknologi Pendidikan dalam Pendidikan Anak Tunalaras
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tunalaras
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi
dan kontrol sosial. Menurut Undang-Undang pokok pendidikan Nomor 12 Tahun 1952
anak tunalaras adalah individu yang mempunyai tingkah laku menyimpang atau
berkelainan, tidak memiliki sikap, melakukan pelanggaran terhadap peraturan dan norma-
norma sosial dengan frekuensi yang cukup besar, tidak atau kurang mempunyai toleransi
terhadap kelompok dan orang lain, serta mudah terpengaruh oleh suasana, sehingga
membuat kesulitan bagi diri sendiri maupun orang lain.
Menurut T.Sutjihati Somantri, anak tunalaras sering juga disebut anak tunasosial
karena tingkah laku anak ini menunjukkan penentangan terhadap norma-norma sosial
masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu, dan menyakiti orang lain. Jadi
yang dimaksud anak tunalaras adalah anak yang tidak dapat mengontrol emosinya dengan
baik sehingga melanggar norma-norma yang ada dalam masyarakat.
b. Masalah Perkembangan
Erikson menjelaskan bahwa setiap memasuki fase perkembangan baru, individu
dihadapkan pada berbagai tantangan atau krisis emosi. Anak biasanya dapat mengatasi
krisis emosi ini jika pada dirinya tumbuh kemampuan baru yang berasal dari adanya proses
kematangan yang menyertai perkembangan. Apabila ego dapat mengatasi krisis ini, maka
perkembangan ego yang matang akan terjadi sehingga individu dapat mnyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Sebaliknya apabila individu tidak berhasil menyelesaikan masalah
tersebut maka akan menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku. Konflik emosi ini
kerap terjadi pada masa kanak-kanak dan pubertas.
Adapun ciri yang menonjol pada masa kritis ini adalah sikap menentang dan keras
kepala. Anak jadi marasa tidak puas dengan otoritas lingkungan sehingga timbul gejolak
emosi yang meledak-ledak, misalnya: marah, menentang, memberontak, dan keras kepala.
c. Lingkungan Keluarga
Keluarga adalah peletak dasar perasaan aman (emitional security) pada anak, dalam
keluarga pula anak memperoleh pengalaman pertama mengenai perasaan dan sikap sosial.
Lingkungan keluarga yang tidak mampu memberikan dasar perasaan aman dan dasar untuk
perkembangan sosial dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku pada anak.
Faktor yang terdapat dalam keluarga yang berkaitan dengan gangguan emosi dan tingkah
laku, diantaranya yaitu kurangnya kasih sayang dan perhatian orang tua, kurangnya
keharmonisan dalam keluarga, dan ekonomi yang tidak baik.
d. Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan tempat pendidikan yang kedua bagi anak setelah keluarga.
Tanggung jawab sekolah tidak hanya sekedar membekali anak didik dengan sejumlah ilmu
pengetahuan, tetapi sekolah juga bertanggung jawab membina kepribadian anak didik
sehingga menjadi individu dewasa yang bertanggung jawab baik terhadap dirinya sendiri
maupun terhadap masyarakat yang lebih luas. Akan tetapi sekolah tidak jarang menjadi
penyebab timbulnya gangguan tingkah laku pada anak akibat hubungan sosial guru dan
murid yang kurang harmonis, tuntutan kurikulum yang tidak sesuai dengan tingkat
perkembangan anak, hubungan antarteman sebaya yang kurang baik.
e. Lingkungan Masyarakat
Menurut Bandura, salah satu hal yang nampak mempengaruhi pola perilaku anak dalam
lingkungan sosial adalah keteladanan, yaitu menirukan perilaku orang lain. Disamping
pengaruh-pengaruh yang bersifat positif, di dalam lingkungan masyarakat juga terdapat
banyak sumber yang merupakan pengaruh negatif ditambah hiburan yang tidak sesuai
dengan perkembangan jiwa anak merupakan sumber terjadinya kelainan tingkah laku. Hal
ini terutama terjadi di kota-kota besar dimana berbagai fasilitas, tontonan dan hiburan tidak
tersaring oleh budaya lokal.Faktor-faktor penyebab tunalaras dapat dikategorikan menjadi
dua bagian, yaitu faktor internal dan eksternal.
C. Karakteristik Tunalaras
Moh. Amin (1991) menyebutkan beberapa karakteristik pada anak tunalaras sebagai
berikut:
1) Karakteristik Akademik
d) Sering membolos.
b) Karakteristik Emosional
(1) Hal-hal yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya, misalnya tekanan
batin dan rasa cemas.
(2) Ditandai dengan rasa gelisah, rasa malu, rendah diri, ketakutan dan sifat
perasa/sensitif.
3) Karakteristik Fisik/Kesehatan
Pada anak tuna laras umumnya masalah fisik/ kesehatan yang dialami berupa
gangguan makan, gangguan tidur atau gangguan gerakan. Umumnya mereka merasa ada
yang tidak beres dengan jasmaninya, ia mudah mengalami kecelakaan, merasa cemas
pada kesehatannya, seolah-olah merasa sakit, dll. Kelainan lain yang berupa fisik yaitu
gagap, buang air tidak terkontrol, sering mengompol, dan lain-lain
D. Klasifikasi Tunalaras
Samuel A. Kirk dan James J. Gallagher (Moh. Amin, 1991) mengemukakan
klasifikasi kelainan perilaku yang dikemukakan oleh sebagai berikut:
a. Anak yang mengalami gangguan perilaku yang kacau (conduct disorder) mengacu
pada tipe anak yang melawan kekuasaan/ aturan, seperti bermusuhan dengan polisi
dan guru, kejam, jahat, suka menyerang, dan hiperaktif.
b. Anak yang cemas menarik diri (anxious-withdraw) adalah anak yang pemalu, takut-
takut, suka menyendiri, peka dan penurut serta tertekan batinnya.
c. Dimensi ketidakmatangan (immaturity) mengacu pada anak yang kurang atau tidak
ada perhatian, lambat, tidak berminat sekolah, pemalas, suka melamun dan
pendiam.
d. Anak agresi sosialisasi (socializ aggressive) mempunyai ciri atau masalah perilaku
yang sama dengan gangguan perilaku dalam bersosialisasi dengan “geng” tertentu.
Anak tipe ini termasuk dalam perilaku pencurian dan pembolosan serta merupakan
suatu bahaya bagi masyarakat umum.
b. Menyediakan kelas khusus bagi anak berkebutuhan khusus tunalaras jika mereka perlu
belajar terpisah dari teman-temannya satu kelas. Kemudian, pembimbing dapat
mempelajari gejala-gejala gangguan emosi maupun gangguan perilaku yang dialami
anak. Kelas khusus tersebut ada pada setiap sekolah dan juga masih merupakan bagian
dari sekolah tersebut. Kelas khusus bagi anak tunalaras tersebut dipegang oleh seorang
pendidik dengan latar belakang PLB atau pembimbing maupun penyuluh yaitu seorang
guru yang cakap dan mampu mendidik anak berkebutuhan khusus tunalaras.
c. Sekolah Luar Biasa (SLB) bagian tunalaras tanpa asrama yang ditujukan untuk anak
berkebutuhan khusus tunalaras yang proses belajarnya perlu dipisahkan dengan teman
yang lainnya karena gangguan emosi dan gangguan perilaku yang dialaminya sudah
cukup berat atau bahkan merugikan teman seusianya.
d. Sekolah dengan asrama. Sekolah ini ditujukan bagi anak berkebutuhan khusus yang
kenakalannya sudah terlampau berat, sehingga mereka harus dipisahkan dengan teman
maupun orangtua mereka. Oleh sebab itulah mereka harus dikirim ke asrama untuk
mendapatkan pendidikan. Hal ini juga bermaksud agar anak secara kontinyu bisa terus
mendapatkan pendidikan dan bimbingan. Adanya asrama untuk anak berkebutuhan
khusus tunalaras adalah sebagai keperluan penyuluhan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara definitif anak dengan gangguan emosi dan perilaku adalah anak yang mengalami
kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang
berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya, sehingga
merugikan dirinya maupun orang lain, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus
demi kesejahteraan dirinya maupun lingkungannya.
Program layanan pendidikan untuk anak dengan gangguan emosi dan perilaku di sekolah
dasar hendaknya mulai dirintis untuk menjawab kemungkinan keberadaan mereka di sana.
Peningkatan kemampuan identifikasi guru terhadap keberadaan anak-anak ini menjadi prasyarat
mutlak yang diperlukan dalam pengelolaan gangguan emosi dan perilaku sekaligus untuk
merancang program pendidikan dan pembelajaran yang sesuai untuk mereka di lingkungan
sekolah dasar. Beberapa fase dari proses identifikasi akan melibatkan praktisi atau profesional lain
yang berkaitan dengan anak mengalami gangguan emosi dan perilaku.
DAFTAR PUSTAKA
A. K. Wardani, dkk. 2011. Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Universitas Terbuka.
https://bisamandiri.com/blog/2014/11/pendidikan-khusus-untuk-anak-tunalaras
https://eprints.uny.ac.id/9896/2/BAB%202%20-%200810324907.pdf
Siti Chalidah. 2005. Terapi Permainan Bagi Anak Yang Memerlukan Layanan Pendidikan
Khusus. Jakarta: Depdikbud
https://sintadewi250892.wordpress.com/2014/11/28/tunalaras/
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132318126/pengabdian/ppm-presentasi-pra-yuwana-
2010.pdf
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Aini%20Mahabbati,%20S.Pd.,%20M.A./
4.siap%20print%20materi%20patl.pdf
Dosen Pengampu :
Dr. Hermanto S.Pd., M.Pd
Disusun Oleh:
Luh Putu Kintania M. S. D. 16105241017
Rofi Istifaroh 16105241018
Muhammad Ihsanuddin 16105241025
I Gusti Agung Made R. N. 16105241042
Teknologi Pendidikan B
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Autisme
World Health Organization’s International Classification of Diseases (ICD-10)
mendefinisikan autisme khususnya childhood autism sebagai adanya keabnormalan dan
atau gangguan perkembangan yang muncul sebelum usia tiga tahun dengan tipe
karakteristik tidak normalnya tiga bidang yaitu interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku
yang diulang-ulang (World Health Organozation, h. 253, 1992).
Penyandang autisme tidak dapat berhubungan dengan orang lain secara berarti,
serta kemampuannya untuk membangun hubungan dengan orang lain terganggu karena
ketidak mampuannya untuk berkomunikasi dan mengerti perasaan orang lain penyandang
autis memiliki gangguan pada interaksi sosial, komunikasi (baik verbal maupun non-
verbal), imajinasi, pola perilaku repetitive dan resistensi terhadap perubahan pada rutinitas.
B. Anak Autis
Anak autis termasuk salah satu jenis Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang
mengalami gangguan neurobiologis dengan adanya hambatan fungsi syaraf otak yang
berhubungan dengan fungsi komunikasi, motorik sosial dan perhatian. Hambatan yang
dialami anak autis merupakan kombinasi dari beberapa gangguan perkembangan syaraf
otak dan perilaku siswa yang muncul pada tiga tahun pertama usia anak.
Disusun Oleh :
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mata adalah salah satu organ tubuh terpenting dalam kehidupan. Karena dalam
beraktivitas manusia pada umumnya selalu menggunakan nata untuk melihat, dengan mata
kita dapat menlihat dan mengetahui segala sesuatu dengan lebih baik. Tetapi manusia
diciptakan berbeda beda, ada anak dengan mata normal dan tidak normal.
Anak dengan gangguan penglihatan atau biasa disebut anak tunanetra adalah anak
yang indera penglihatannya tidak bergfungsi sebagaimana mestinya. Dalam melaksanakan
pembelajaran, pengetahuan tentang teori dan prinsip-prinsip belajar dapat membantu guru
dalam memilih tindakan yang tepat untuk anak yang berkebutuhan khusus. Guru dapat
memilih tindakan yang tepat dalam pembelajaran agar anak dengan kebutuhan khusus
dapat terproses dengan baik sebagaimana mestinya.
Akan tetapi masih banyak Anak Tunanetra yang tidak mendapat pelayanan
pendidikan yang layak dan tepat, bahkan mereka tidak diterima di sekolah - sekolah umum
dengan alasan tidak bisa memberikan layanan pendidikan dan fasilitas yang memadai
untuk anak tunanetra. Anak tunanetra seharusnya mendapat media dan metode
pembelajaran yang tepat sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak agar anak tetapi
bisa berkembang dalam bidang keilmuan.
Oleh karena itu, para calon pendidik perlu mengetahui tentang hal-hal yang
berkaitan dengan anak berkebutuhan khusus.Agar mampu menyalurkan pendidikan dan
menerapkan strategi pembelajaran yang sesuai kepada anak berkebutuhan
khusus/tunanetra
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tunanetra?
2. Bagaimana klasifikasi tunanetra?
3. Bagaimana penyelengaraan pendidikan bagi anak tunanetra saat ini?
4. Bagaimana kebutuhan anak tunanetra di masa mendatang?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi Tunanetra.
2. Untuk mengetahui klasifikasi Tunanetra.
3. Untuk mengetahui bagaimana penyelenggaraan pendidikan bagi anak tunanetra
saat ini?
4. Untuk mengetahui kebutuhan anak tunanetra di masa mendatang
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Anak Tunanetra
Anak tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya (keduanya) tidak berfungsi
sebagai saluran informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas (Soemantri).
Tunanetra adalah mereka yang mengalami gangguan hambatan penglihatan secara signifikan
(Humairo, 2013)
Dalam hal ini, tunanetra tidak hanya diartikan mereka yang sepenuhnya tidak bisa melihat
atau buta, tetapi juga mencakup mereka yang melihat, namun sangat terbatas dan kurang dapat
diandalkan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga yang disebut sebagai anak tunanetra
tersebut mencakup semua yang “setengah melihat”, “low vision”, ataupun rabun.
Ada beberapa kondisi anak-anak dengan gangguan penglihatan, diantaranya:
1. Ketajaman penglihatan yang kurang dari ketajaman orang awas
2. Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu
3. Posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak
4. Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan
Berdasarkan acuan tersebut, maka anak tunanetra dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok besar yaitu:
1. Buta
Anak dikatakan buta apabila sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar
(visus=0)
2. Low vision
Anak dikatakan low vision bila masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi
yang ketajamannya lebih dari 6/21, atau anak hanya mampu membaca headline surat kabar.
B. Klasifikasi Tunanetra
Pengelompokkan jenis tunanetra ada beberapa macam, dilihat dari aspek-aspek tertentu.
Beberapa dari klasifikasinya adalah, antara lain:
1. Berdasarkan tingkat ketajaman
a. Kurang lihat (6⁄20 m - 6⁄60 m atau 20⁄70 feet - 20⁄200 feet)
b. Buta (6⁄60 m atau 20⁄200 feet/kurang)
c. Buta total (visus 0)
2. Berdasarkan saat terjadinya
a. Sebelum dan sejak lahir
b. Batita
c. Balita
d. Pada usia sekolah
e. Remaja
f. Dewasa
3. Berdasarkan adaptasi pendidikan
a. Ketidakmampuan melihat taraf sedang (moderate visual disability)
b. Ketidakmampuan melihat taraf berat
c. Ketidakmampuan melihat taraf sangat berat
C. Pendidikan Anak Tunanetra
Kajian ilmu tentang pembelajaran anak tunanetra saat ini sudah cukup luas. Berkaitan
dengan hal itu, berikut ini adalah beberapa kebutuhan dan layanan pendidikan bagi
tunanetra.
1. Anak tunanetra membutuhkan layanan khusus meliputi: latihan membaca dan menulis
huruf braile, penggunaan tongkat, orientasi dan mobilitas, serta latihan visual atau
fungsional penglihatan.
Hal ini dikarenakan anak tunanetra perlu memaksimalkan indera-indera yang masih
berfungsi (selain indera penglihatan) untuk modal mereka belajar. Ketika anak
tunanetra tidak bisa membaca dan menulis huruf braile, maka mereka dikatakan buta
huruf. Dan juga akses mobilitas mereka yang tidak bisa seleluasa anak biasa, maka
mereka perlu diberi pembelajaran mengenai penggunaan tongkat, orientasi dan
mobilitas.
2. Layanan pendidikan bagi anak tunanetra dapat dilaksanakan melalui sistem segregasi,
yaitu secara terpisah dari anak awas dan integrasi atau terpadu dengan anak awas di
sekolah biasa. Tempat segregasi meliputi: sekolah khusus (SLB A), SDLB, dan kelas
jauh.
Pembelajaran yang saat ini berlangsung ada dua layanan yaitu terpisah dan terpadu.
Khususnya pembelajaran terpadu, disini anak tunanetra akan berbaur dengan anak
awas. Lingkungan pembelajaran terpadu, termasuk guru, teman sebaya, sarana
prasarana dan metode belajar yang digunakan mempunyai andil besar dalam
keberhasilan belajar anak tunanetra.
3. Strategi pembelajaran bagi anak tunanetra sama dengan anak awas, hanya dalam
pelaksanaannya memerlukan modifikasi sehingga materi pelajaran dapat diterima oleh
anak tunanetra melalui indera-indera yang masih berfungsi.
Apabila dalam kelas reguler biasa menggunakan papan tulis, hal itu tidak akan
membantu siswa tunanetra dalam belajar. Maka, di kelas tunanetra, guru akan banyak
menggunakan ceramah. Ceramah dapat diikuti tunanetra karena dalam pelaksanaannya
guru menyampaikan materi pelajaran dengan penjelasan lisan dan siswa mendengar
penyampaian materi dari guru
.Beberapa metode lain yang dapat digunakan antara lain:
a. Tanya jawab, merupakan tambahan dari metode ceramah yang menggunakan
indera pendengaran.
b. Diskusi, metode ini bias diikuti tanpa menggunakan indera pengelihatan.
c. Sorogan, adanya bimbingan langsung dari guru pada anak didik dan seorang
guru dapat mengetahui langsung sejauh mana anak didiknya dalam memahami
suatu materi pelajaran.
d. Bandongan, dalam pengajaran kitab atau Al-Qur’an. Intinya guru memberikan
materi penjelasan kepada anak didik tidak secara perorangan.
e. Drill, latihan atau praktek secara langsung, menggunakan media yang
mendukung.
4. Pembelajaran anak tunanetra terdapat prinsip-prinsip: individual, pengalaman
penginderaan, totalitas, dan aktivitas mandiri.
5. Menurut fungsinya, media pembelajaran dibedakan menjadi 2:
a. Media untuk menjelaskan konsep atau alat peraga yang meliputi objek, atau situasi
sebenarnya, benda asli yang diawetkan, tiruan (2D/3D)
b. Alat bantu pembelajaran meliputi alat bantu menulis huruf braile (reglet pen, dan
mesin ketik), alat bantu membaca (papan huruf dan optacon), alat bantu berhitung
(sempoa, speech calculator) serta alat bantu audio (tape recorder)
Ada pula kurikulum pembelajaran yang dibuat untuk anak tunanetra, seperti:
1. Kurikulum yang diperuntukkan bagi siswa pada umumnya seperti bahasa, seni,
matematika, dan IPS.
2. Kurikulum yang dapat memenuhi kebutuhan khususnya seperti keterampilan
kompensatoris, keterampilan interaksi sosial, dan keterampilan pendidikan karir.
Model pendidikan anak tunanetra yang digunakan saat ini antara lain pendidikan khusus
(SLB), pendidikan terpadu,guru kunjung, dan pendidikan inklusi. Selain itu, anak tunanetra
juga membutuhkan strategi khusus dalam pembelajaran, seperti:
1. Membutuhkan pengalaman nyata
Siswa dapat mengenali obyek melalui benda yang dapat disentuh sehingga dapat
mengetahui kualitas bentuk, ukuran, dan orientasi yang tidak dapat dipahami.
2. Membutuhkan kesamaan pengalaman
Agar mendapatkan pandangan yang menyeluruh siswa berkelainan penglihatan perlu
diberi pengalaman yang sistematis melalui indra orang lain.
3. Membutuhkan belajar sambil bekerja
Siswa harus dijalin supaya aktif terlibat dalam proses pembelajaran.
A. Kesimpulan
Tunanetra adalah mereka yang memiliki keterbatasan dalam memfungsikan indera
penglihatannya. Baik mereka yang sepenuhnya buta ataupun low vision dapat masuk dalam
kelompok tunanetra. Dalam hal pendidikan, mereka mempunyai kesempatan yang sama
dengan anak-anak yang normal. Mereka adalah anak yang mempunyai potensi seperti
kebanyakan anak lainnya. Yang membedakan mereka dari anak lain adalah, keunikan
mereka dalam mengoptimalkan indera-indera lain selain indera penglihatan, untuk
mendapatkan pengalaman belajar.
Akses pendidikan bagi tunanetra saat ini juga tak terbatas hanya pada sekolah khusus
seperti SLB, namun juga telah terselenggara sekolah inklusi yang memungkinkan
terjadinya interaksi antara anak tunanetra dengan anak lainnya.
Meskipun begitu, pemerataan pendidikan bagi mereka yang berkebutuhan khusus,
terutama penyandang tunanetra masih tetap diperbaiki. Sehingga, hak belajar bagi mereka
penyandang disabilitas tetap terpenuhi.
B. Saran
Mengedukasi masyarakat untuk turut membantu anak tunanetra perlu dilakukan. Hal ini
dikarenakan dukungan moril dan motivasi dari lingkungan dapat lebih memaksimalkan
potensi yang ada pada anak tunanetra. Selain itu, di tingkat sekolah, anak juga perlu
diberi wawasan terhadap keunikan penyandang tunanetra ini dan bagaimana membantu
penyandang tunanetra berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini dilakukan supaya
fenomena bullying tidak terjadi karena kesenjangan kemampuan anak normal dan anak
tunanetra.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Nandiyah. 2012. “Bagaimana Mengajar Anak Tunanetra (Di Sekolah Inklusi)”.
Unwidha
Permendiknas RI no. 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi
Makalah
Pendidikan Inklusi Anak Tunarungu
Tugas mata kuliah Pendidikan Inklusi
Dosen : Dr. Hermanto, M.Pd.
Disusun :
Melisa Mawar Wati 16105241022
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak tunarungu mengalami gangguan pendengaran sehingga memiliki hambatan
dalam perkembangan bahasa dan komunikasi. Sebagai akibatnya, mereka mengalami
kesulitan untuk menguasai bahasa, miskin kosakata, sulit mengartikan kata-kata abstrak.
Pada umumnya intelegensi anak tunarungu secara potensial sama dengan anak pada
umumnya, tetapi secara fungsional perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat
kemampuan bahasanya, keterbatasan informasi, dan kurangnya abstraksi anak.
Sesuai dengan karakteristiknya, anak tunarungu mengalihkan fungsi indra
pendengarannya pada indra penglihatan, sehingga informasi, pengetahuan dan
pengalamannya lebih banyak diperoleh melalui dari indra penglihatan. Dilihat dari kondisi
anak tunarungu diatas, anak tunarungu bisa dikatakan sebagai insan visual, maka lebih baik
apabila dalam proses pembelajaran di sekolah guru memberikan pengalaman langsung
melalui media pembelajran, misalnya dengan benda asli, tiruan, maupun gambar.
B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan tunarungu?
b. Apa saja penyebab anak tunarungu?
c. Apa saja klasifikasi tunarungu?
d. Bagaimana kondisi pendidikan anak tunarungu di Indonesia?
e. Bagaimana cara komunikasi anak tunarungu?
f. Bagaimana kurikulum, strategi dan media anak tunarungu?
C. Tujuan
a. Mengetahui engertian anak tunarungu
b. Mengetahui penyebab tunarungu
c. Mengetahui klasifikasi tunarungu
d. Mengetahui kondisi pendidikan anak tunarungu di Indonesia
e. Mengetahui Cara komunikasi anak tunarungu
f. Mengetahui kurikulum, strategi dan media anak tunarungu
BAB II
PEMBAHASAN
B. Penyebab tunarungu
Menurut Somad dan Hernawati (1995, hlm.32) secara umum penyebab
ketunarunguan dapat terjadi sebelum lahir (prental), ketika lahir (natal) dan sesudah lahir
(post natal). Banyak para ahli yang mengungkap tentang penyebab ketulian dan
ketunarunguan, tentu saja dengan sudut pandang yang berbeda dalam penjabarannya.
Trybus dalam Somad dan Hernawati (1995) mengungkapkan enam penyebab
ketunarunguan pada anak-anak di Amerika Serikat yaitu :
a) Faktor dalam Diri Anak
1) Keturunan dari salah satu kedua orangtuanya yang mengalami ketunarunguan.
Banyak kondisi genetik yang berbeda sehingga dapat menyebabkan
ketunarunguan. Transmisi yang disebabkan oleh gen yang dominan represif dan
berhubungan dengan jenis kelamin. Meskipun sudah menjadi pendapat umum
bahwa keturunan merupakan penyebab dari ketunarunguan, namun belum ada
kepastian berapa persen ketunarunguan yang disebabkan oleh faktor keturunan,
hanya perkiraan Moores dalam Somad dan Hernawati (1995) adalah 30 sampai 60
persen.
2) Ibu yang sedang mengandung menderita penyakit Campak Jerman (Rubella).
Penyakit Rubella pada masa kandungan tiga bulan pertama akan berpengaruh
buruk pada janin. Hardy Somad dan Hernawati (1995), melaporkan 199 anak-anak
yang ibunya terkena Virus Rubella selagi mengandung selama masa tahun 1964
sampai 1965, 50% dari anak-anak tersebut mengalami kelainan pendengaran.
Rubella dari pihak ibu merupakan penyebab yang paling umum yang dikenal
sebagai penyebab ketunarunguan dalam (Somad dan Hernawati 1995).
3) Ibu yang sedang mengandung menderita keracunan darah Toxaminia, hal ini bisa
menyebabkan kerusakan pada plasenta yang mempengaruhi terhadap
pertumbuhan janin. Jika hal tersebut menyerang syaraf atau alat-alat pendengaran
maka anak tersebut akan terlahir dalam keadaan tunarungu dalam (Somad dan
Hernawati 1995).
b) Faktor Luar dari anak
Menurut Somad dan Hernawati (1995, hlm.34) :
1) Anak mengalami infeksi pada saat dilahirkan atau kelahiran. Misal, anak terserang
Harpes Imlex, jika infeksi ini menyerang alat kelamin ibu dapat menular pada saat
anak dilahirkan. Demikian pula pada penyakit kelamin yang lain, dapat ditularkan
melalui terusan jika virusnya masih dalam keadaan aktif. Penyakit-penyakit yang
ditularkan kepada anak yang dilahirkannya dapat menimbulkan infeksi yang dapat
menyebabkan kerusakan pada alat-alat atau syaraf pendengaran.
2) Meningitis atau radang selaput otak, dari hasil penelitian para ahli ketunarunguan
yang disebabkan karena meningitis antara lain penelitian yang dilakukkan oleh
Vermon (1968), sebanyak 8,1%, Ries (1973), melaporkan 4,9%, sedangkan
Trybus (1985), memberikan keterangan sebanyak 7,33%.
3) Otitis media (radang pada bagian telinga tengah) adalah radang pada bagian
telinga tengah, sehingga menimbulkan nanah, dan nanah tersebut mengumpil dan
mengganggu hantaran bunyi. Jika kondisi ini kronis tidak segera diobati, penyakit
ini bisa menimbulkan kehilangan pendengaran yang tergolong ringan sampai
sedang. Otitis media adalah salah satu penyakit yang sering terjadi pada kanak-
kanak sebelum mencapai usia enam tahun. Anak-anak secara berkala harus
mendapat pemeriksaan dan pengobatan yang teliti sebelum memasuki sekolah
karena kemungkinan menderita otitis media yang menyebabkan ketunarunguan.
Ketunarunguan yang disebabkan oleh otitis media adalah tunarungu tipe
konduktif. Otitis media biasanya terjadi karena penyakit pernafasan yang berat
sehingga menyebabkan hilangnya pendengaran. Davis dan Flower dalam Somad
dan Hernawati (1995) mengatakan bahwa nanah yang ada di telinga bagian tengah
lebih sering yang menjadi penyebab hilangnya pendengaran dari pada yang
diturunkan oleh orangtua. Otitis media juga dapat ditimbulkan karena infeksi
pernafasan atau pilek dan penyakit anak-anak seperti campak.
4) Penyakit lain atau kecelakaan yang dapat mengakibatkan kerusakan alat-alat
pendengaran bagian tengah dan dalam.
C. Klasifikasi tunarungu
Menurut Sastrawinata (1977:12-13), klasifikasi anak tunarungu berdasarkan tingkat
gangguan sebagai berikut:
a. Ketunarunguan pada taraf 15-25 dB
Yaitu ketunarunguan taraf ringan. Anak tunarungu pada taraf ini masih dapat belajar
bersama anak-anak pada umumnya dengan pemakaian alat pembantu mendengar,
penempatan yang tepat dan pemberian-pemberian bantuan yang lain.
b. Ketunarunguan pada taraf 26-50 dB.,
Yaitu ketunarunguan taraf sedang. Anak tunarungu pada taraf ini sudah memerlukan
pendidikan khusus dengan latihan bicara, membaca ajaran dan latihan mendengar
dengan memakai alat pembantu mendengar.
c. Ketunarunguan pada taraf 51-75 dB.,
Yaitu ketunarunguan taraf berat. Anak tunarungu pada taraf ini sudah harus mengikuti
program pendidikan di sekolah luar biasa dengan mengutamakan pelajaran bahasa,
tetapi masih dapat dipakai dijalan-jalan raya untuk bunyi
klakson, dan suara-suara bising yang lain.
d. Ketunarunguan pada taraf 75 dB keatas.,
Yaitu ketunarunguan taraf sangat berat. Anak tunarungu pada taraf ini lebih
memerlukan program pendidikan kejuruan, meskipun pelajaran bahasa dan bicara
masih dapat diberikan kepadanya. Penggunaan alat pembantu mendengar biasa tidak
memberikan manfaat baginya.
5. Penuturan isyarat
Metode ini dikembangkan dari metode pembacaan bibir. Menggunakan simbol
simbol tangan yang dilambangkan ditentukan dengan bentuk bentuk tangan yang
menentukanmaksud perkataan. Terdapat delapan symbol tangan yang ditentukan menurut
konsonan yang berbeda dan empat symbol tangan untuk menentukan bunyi yang
menyimbolkan huruf vocal.
6. Komunikasi Total
Komunikasi total merupakan keseluruhan spectrum cara Bahasa yang lengkap,
gesti anak, Bahasa isyarat, membaca ujaran, ejaan jari, membaca dan menulis,
pengembangan sisa pendengaran guna memajukan ketrampilan berbicara dan membaca
ujaran. Selain itu, komunikasi total meliputi penggunaan salah satu dan semua odus atau
cara berkomunikasi , yaitu penggunaan system Bahasa isyarat, ejaan jari, bicara, membaca
ujaran , amplikasi (pengawasan), gesti, pantomimic,menggambar, dan menulis. Dalam
mengungkapkandiri dapat digunakan misalnya bicara, salah satu bentuk komunikasi
manual dan amplikasi secara serempak. Untuk kemampuan pesan dapat diterima melalui
hanya salah satu atau dua/lebih serempak. Jadi intinya, metode komunikasi total ini
merupakan gabungan dari banyak metode yang digunakan oleh penyandang tunarungu
dalam berkomunikasi.
Melalui metode maternal reflektif ini tunarungu diolah bahasanya. Mulai dari
mengeluarkan suara, mengucapkan kata dengan benar sesuai dengan artikulasinya,
hingga tunarungu mampu berkomunikasi dengan menggunakan beberapa kalimat yang
baik dan benar.Secara garis besar, kegiatan pembelajaran dengan menggunakan
metode ini terdiri atas kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak,
membaca dan menulis yang dikemas secara terpadu dan utuh. Dengan ini anak
memahami dan dapat menemukan sendiri kaidah-kaidah percakapan.
Strategi pembelajaran
Strategi individualisasi
Strategi individualisasi merupakan strategi pembelajaran dengan mempergunakan
suatu program yang disesuaikan dengan perbedaan individu baik karakteristik,
kebutuhan maupun kemampuan secara perseorangan.
Strategi kooperatif
Strategi kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang menekankan unsur
gotong royong atau saling membantu satu sama lain dalam mencapai tujuan
pembelajaran. Menurut Johnson, D.W. & Johnson (1984:10) dalam strategi
pembelajaran kooperatif terdapat empat elemendasar yaitu :
Saling ketergantungan positif
Interaksi tatap muka antarsiswa sehingga mereka dapat berdialog dengan
sesama lain.
Akuntabilitas individual.
Keterampilan menjalin hubungan interpersonal.
Strategi modifikasi perilaku
Strategi modifikasi perilaku merupakan suatu bentuk strategi pembelajaran yang
bertolak dari pendekatan behavioral (behavioral approach).strategi ini bertujuan
untuk mengubah perilaku siswa ke arah yang lebih positif melalui conditioning
(pengondisian) dan membantunya agar lebih produktif sehingga menjadi individu
yang mandiri.
Media pembelajaran
Media pembelajaran dikelompokkan kedalam media visual, audio, dan audio-visual.
Media visual yang dapat dipergunakan dalam pembelajaran anak tunarungu antara lain
berupa gambar, grafis ( grafik, bagan, diagram, dan sebagainya); relita atau objek nyata
dari suatu benda ( mata uang, tumbuhan,dsb); model atau tiruan dari objek benda dan
slides.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran dan
percakapan dengan derajat pendengaran yang bervariasi antara 27 dB – 40 dB dikatakan
sangat ringan 41 dB – 55 dB dikatakan Ringan, 56 dB – 70 dB dikatakan Sedang, 71 dB –
90 dB dikatakan Berat, dan 91 ke atas dikatakan Tuli. Pelaksanaan pendidikan dan atau
rehabilitasi bagi anak tunarungu dibeberapa lembaga pendidikan dan panti hingga saat ini,
nampaknya belum semua dapat menghantarkan lulusannya sejajar dengan teman-teman
sebayanya yang mendengar.
Anak tunarungu dapat berkomunikasi dengan metode auditorial oral, Metode
membaca gerak bibir, Metode bahasa isyarat, Metode komunikasi universal ( gerakan jari
), Penuturan isyarat, dan komunikasi total. Berdasarkan karakteristik anak tunarungu,
khususnya miskinnya bahasa yang disebabkan karena ketunarunguannya yang berakibat ia
tidak mengalami masa pemerolehan bahasa seperti halnya anak dengar lainnya, maka
dalam pengembangan kurikulum untuk anak tunarungu harus dilandasi pada kompetensi
berbahasa dan komunikasi yang selanjutnya dapat diimplementasikan dalam pengajaran
bahasa yang menggunakan pendekatan percakapan.
Strategi pembelajaran menggunakan strategi individualisasi, Strategi kooperatif,
dan strategi modifikasi perilaku. Sedangkan media pembelajarannya dengan menggunakan
media visual, realita, ataupun dengan model tiruan.
B. Saran
Alangkah baiknya jika dalam pelaksanaannya dilakukan dalam usaha-usaha seoptimal
mungkin agar prestasi anak dapat digali dan dikembangkan secara maksimal layaknya anak
dengar pada umumnya.
Daftar Pustaka
http://bionet82.blogspot.co.id/2010/10/pendidikan-anak-tuna-rungu.html
https://www.usd.ac.id/pusat/psibk/about/b-tunarungu/metode-pengajaran-bahasa-bagi-anak-
tunarung/
PENDIDIKAN INKLUSI ANAK TUNADAKSA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Inklusi
DOSEN PEMBIMBING
Dr. Hermanto S.Pd., M.Pd.
Penyusun Makalah :
Alif Prayogo (16105241028)
Rika Kumala Sari (16105241021)
Yurdan Febi Endika(16105244017)
Wenry Kristian Mandey (16105241020)
Dwita Apriyanti (1610524 1047)
B. Klasifikasi Tunadaksa
1. Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan keturunan.
Kerusakan tersebut meliputi: Club-foot (kaki seperti tongkat), Club hand (tangan
seperti tongkat), Polydactylism (jari yang lebih dari lima pada masing-masing tangan
atau kaki), Syndactylism (jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan yang
lainnya), Torticollis (gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka), Spina
bifida (sebagian dari sumsum tulang belakang tidak tertutup).
2. Kerusakan pada waktu kelahiran. Kerusakan tersebut meliputi; Erb’s palsy (kerusakan
pada syaraf lengan akibat tertekan atau tertarik waktu kelahiran), dan Fragilitas osium
(tulang yang rapuh dan mudah patah)
3. Infeksi. Kerusakan tersebut meliputi; Tuberculosis tulang (menyerang sendi paha
sehingga menjadi kaku), Osteomyelitis (radang didalam dan di sekeliling sumsum
tulang karena bakteri), Poliomyelitis (infeksi virus yang mungkin menyebabkan
kelumpuhan). Dan adapun kerusakan Pott’s disease (tuberculosis sumsum tulang
belakang), Still’s disease (radang pada tulang yang menyebabkan kerusakan permanen
pada tulang), dan Tuberculosis pada lutut atau pada sendi lain.
4. Kondisi traumatik atau kerusakan traumatik. Kerusakan tersebut meliputi; amputasi
(anggota tubuh dibuang akibat kecelakaan), kecelakaan akibat luka bakar, dan patah
tulang.
5. Tumor. Kerusakan tersebut meliputi; Oxostosis (tumor tulang) dan Osteosis fibrosa
cystica (kista atau kantang yang berisi cairan didalam tulang).
6. Kondisi-kondisi lainnya. Kerusakan tersebut meliputi; Flatfeet (telapak kaki yang rata,
tidak berteluk), Kyphosis (bagian belakang sumsum tulang belakang yang cekung),
Lordosis (bagian muka sumsum tulang yang cekung). Dan kerusakan Perthe’s disease
(sendi paha yang rusak atau mengalami kelainan), Rickets (tulang yang lunak karena
nutrisi, menyebabkan kerusakan tulang dan sendi), Scilosis (tulang belakang yang
berputar, bahu, dan paha yang miring).
C. Penggolongan Tunadaksa
1. Tunadaksa taraf ringan. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah tunadaksa murni dan
tunadaksa kombinasi ringan. Tunadaksa jenis ini pada umunya hanya mengalami
sedikit gangguan mental dan kecerdasannya cenderung normal. Kelompok ini lebih
banyak disebabkan adanya kelainan anggota tubuh saja. Seperti lumpuh, anggota tubuh
berkurang (buntung) dan cacat fisik lainnya.
2. Tunadaksa taraf sedang. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah tunadaksa akibat cacat
bawaan, cerebral palsy ringan dan polio ringan. Kelompok ini banyak dialami dari tuna
akibat cerebral palsy (tunamental) yang disertai dengan menurunnya daya ingat walau
tidak sampai jauh dibawah normal.
3. Tunadaksa taraf berat. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah tuna akibat cerebral palsy
berat dan ketunaan akibat infeksi. Pada umunya, anak yang terkena kecacatan ini
tingkat kecerdasannya tergolong dalam kelas debil, embesil dan idiot.
Adanya berbagai karakteristik tersebut bukan berarti bahwa setiap anak tuna daksa
memiliki semua karakteristik yang diungkapkan, namun bisa saja terjadi salah satunya tidak
dimiliki.Dari karakteristik tersebut menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif. Dari
dampak negatif timbul masalah-masalah yang muncul yang berkaitan dengan posisi siswa
disekolah.
G. Pendidikan
Tujuan pendidikan
1. Rehabilitasi fungsi fungsi organ tubuh
2. Memberikan bekal keterampilan
3. Mendewasan agar mampu berkarya dan hidup mandiri
4. Dapat mengikuti pendidikan umum ( inklusi )
Tempat Pendidikan
Model layanan pendidikan yang sesuai dengan jenis, derajat kelainan dan
jumlah peserta didik diharapkan akan memperlancar proses pendidikan. Anak
tunadaksa dapat mengikuti pendidikan pada tempat-tempat berikut.
1. Sekolah Khusus Berasrama (Full-Time Residential School)
Model ini diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang derajat
kelainannya berat dan sangat berat.
2. Sekolah Khusus tanpa Asrama (Special Day School)
Model ini dimaksudkan bagi anak tunadaksa yang memiliki
kemampuan pulang pergi ke sekolah atau tempat tinggal mereka yang
tidak jauh dari sekolah.
3. Kelas Khusus Penuh (Full-Time Special Class)
Anak tunadaksa yang memiliki tingkat kecacatan ringan dan
kecerdasan homogen dilayani dalam kelas khusus secara penuh.
4. Kelas Reguler dan Khusus (Part-Time Reguler Class and Part-Time
Special Class)
Model ini digunakan apabila menyatukan anak tunadaksa dengan
anak normal, pada mata pelajaran tertentu. Mereka belajar dengan anak
normal dan apabila anak tunadaksa mengalami kesulitan mereka belajar
di kelas khusus.
5. Kelas reguler Dibantu oleh Guru Khusus (Reguler Class with Supportive
Instructional Service)
Anak tunadaksa bersekolah bersama-sama anak normal di sekolah
umum dengan bantuan guru khusus apabila anak mengalami kesulitan.
6. Kelas Biasa dengan Layanan Konsultasi untuk Guru Umum (Reguler
Class Placement with Consulting Service for Reguler Teachers)
Tanggung jawab pembelajaran model ini sepenuhnya dipegang
oleh guru umum. Anak tunadaksa belajar bersama dengan anak normal di
sekolah umum, dan untuk membantu kelancaran pembelajaran ada guru
kunjung yang berfungsi sebagai konsultan guru reguler.
7. Kelas Biasa (Reguler Class)
Model ini diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang memiliki
kecerdasan normal, memiliki potensi dan kemampuan yang dapat belajar
bersama-sama dengan anak normal.
Sistem Pendidikan
Sesuai dengan pengorganisasian tempat pendidikan maka sistem
pendidikan anak tunadaksa dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Pendidikan Integrasi (Terpadu)
Walaupun pendidikan anak tunadaksa di Indonesia banyak
dilakukan melalui jalur sekolah khusus, yaitu anak tunadaksa ditempatkan
secara khusus di SLB-D (Sekolah Luar Biasa bagian D), namun anak
tunadaksa ringan (jenis poliomyelitis) telah ada yang mengikuti
pendidikan di sekolah biasa. Sementara ini anak tunadaksa yang
mengikuti pendidikan di sekolah umum harus mengikuti pendidikan
sepenuhnya tanpa memperoleh program khusus sesuai dengan
kebutuhannya. Akibatnya, mereka memperoleh nilai hanya berdasarkan
hadiah terutama dalam mata pelajaran yang berkaitan dengan kegiatan
fisik (Astati, 2000). Sehubungan dengan itu Kirk (1986) mengemukakan
bahwa adaptasi pendidikan anak tunadaksa apabila ditempatkan di
sekolah umum adalah sebagai berikut.
Lama pendidikan dan penjenjangan serta isi kurikulum tiap jenjang adalah
sebagai berikut.
a. TKLB (Taman Kanak-kanak Luar Biasa) berlangsung satu sampai tiga
tahun dan isi kurikulumnya, meliputi pengembangan Kemampuan
Dasar (Moral Pancasila, Agama, Disiplin, Perasaan, Emosi, dan
Kemampuan Bermasyarakat), Pengembangan Bahasa, Daya Pikir,
Daya Cipta, Keterampilan dan Pendidikan Jasmani. Usia anak yang
diterima sekurang-kurangnya 3 tahun.
b. SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) berlangsung sekurang-kurangnya
enam tahun dan usia anak yang diterima sekurang-kurangnya enam
tahun. Isi kurikulumnya terdiri atas: Program Umum meliputi mata
pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan
Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPS, IPA, Kerajinan Tangan
dan Kesenian, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan; program
khusus (Bina Diri dan Bina Gerak), dan Muatan Lokal (Bahasa
Daerah, Kesenian, dan Bahasa Inggris).
c. SLTPLB (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa) berlangsung
sekurang-kurangnya 3 tahun, dan siswa yang diterima harus tamatan
SDLB. Isi kurikulumnya terdiri atas program umum (Pendidikan
Pancasila, Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia,
Matematika, IPA, IPS, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Bahasa
Inggris), program khusus (Bina Diri dan Bina Gerak), program
muatan lokal (Bahasa Daerah, Kesenian Daerah).
d. SMLB (Sekolah Menengah Luar Biasa) berlangsung sekurang-
kurangnya tiga tahun, dan siswa yang diterima harus tamatan
SLTPLB. Isi kurikulumnya meliputi program umum sama dengan
tingkat SLTPLB, program pilihan terdiri atas paket Keterampilan
Rekayasa, Pertanian, Usaha dan Perkantoran, Kerumahtanggaan, dan
Kesenian. Di jenjang ini, anak tunadaksa diarahkan pada penguasaan
salah satu jenis keterampilan sebagai bekal hidupnya.
A. PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Dalam pelaksanaan pembelajaran akan dikemukakan ha-hal yang
berkaitan dengan keterlaksanaannya, seperti berikut.
1. Perencanaan Kegiatan Belajar-Mengajar
Sehubungan dengan perencanaan kegiatan pembelajaran bagi anak
tunadaksa, Ronald L. Taylor (1984) mengemukakan, apabila penyandang
cacat menerima pelayanan pendidikan di sekolah formal maka ia harus
memperoleh pelayanan pendidikan yang diindividualisasikan. Dalam rangka
mengembangkan program pendidikan yang diindividualisasikan, banyak
informasi/data yang diperlukan dan salah satunya dihasilkan melalui
assessment. Adapun langkah-langkah utama dalam merancang suatu program
pendidikan individual (PPI) adalah sebagai berikut.
a. Membentuk tim PPI atau Tim Penilai Program Pendidikan yang
diindividualisasikan (TP3I), yang mencakup guru khusus, guru reguler,
diagnostician, kepala sekolah, orang tua, siswa, serta personel lain yang
diperlukan.
b. Menilai kekuatan dan kelemahan serta minat siswa yang dapat dilakukan
dengan assessment.
c. Mengembangkan tujuan-tujuan jangka panjang dan sasaran-sasaran
jangka pendek.
d. Merancang metode dan prosedur pencapaian tujuan
e. Menentukan metode dan evaluasi kemajuan.
2. Prinsip Pembelajaran
Ada beberapa prinsip utama dalam memberikan pendidikan pada anak
tunadaksa, diantaranya sebagai berikut.
a. Prinsip multisensori (banyak indra)
Proses pendidikan anak tunadaksa sedapat mungkin memanfaatkan dan
mengembangkan indra-indra yang ada dalam diri anak karena banyak anak
tunadaksa yang mengalami gangguan indra. Dengan pendekatan
multisensori, kelemahan pada indra lain dapat difungsikan sehingga dapat
membantu proses pemahaman.
b. Prinsip individualisasi
Individualisasi mengandung arti bahwa titik tolak layanan pendidikan
adalah kemampuan anak secara individu. Model layanan pendidikannya
dapat berbentuk klasikal dan individual. Dalam model klasikal, layanan
pendidikan diberikan pada kelompok individu yang cenderung memiliki
kemampuan yang hampir sama, dan bahan pelajaran yang diberikan pada
masing-masing anak sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
B. PERSONEL
Personel yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan anak
tunadaksa adalah berikut ini.
1. Guru yang berlatar belakang pendidikan luar biasa, khususnya pendidikan
anak tunadaksa;
2. Guru yang memiliki keahlian khusus, misalnya keterampilan dan
kesenian;
3. Guru sekolah biasa;
4. Dokter umum;
5. Dokter ahli ortopedi;
6. Neurolog;
7. Ahli terapi lainnya, seperti ahli terapi bicara, physiotherapist dan
bimbingan konseling, serta orthotist prosthetist
C. Pemanfaat Media Bagi Anak Tunadaksa
Anak Tuna Daksa dari segi mental dan otaknya normal hanya saja mereka memiliki
keterbatasan fisik sehingga memerlukan layanan khusus dan alat bantu gerak , agar mereka
bisa melakukan aktifitas sehari-hari tanpa adanya bantuan dari orang lain. Media
pembelajaran yang digunakan untuk anak tuna daksa sama dengan anak-anak normal
lainnya hanya saja disesuaikan dengan materi dan kecacatan bagian yang mana dialami
oleh anak. Agar terciptanya proses belajar mengajar yang kondusif.
ANTI-VIBRATING PEN
Sebetulnya teknologi untuk penderita tremor ini sudah ada. Kita bisa melihatnya
pada produk “Liftware Spoon” dari Google. Google telah mulai mempromosikan sendok
Liftware sebagai sebuah alat yang menggunakan ratusan algoritma untuk merasakan
bagaimana tangan gemetar dan membuat penyesuaian instan untuk tetap seimbang. Produk
ini ditujukan untuk orang-orang dengan tremor esensial dan penyakit Parkinson yang
menurut Google, dapat mengurangi gemetar mangkuk sendok (ketika memegangnya) rata-
rata 76%. Melalui teknologi yang diciptakan google ini, kami berpikir bagaimana kalau
teknologi ini diterapkan dalam bidang pendidikan, khususnya pada alat tulis seperti pulpen
atau pensil. Cara kerja dan komponen alat ini mungkin nantinya akan sama. Hanya saja
bentuk, ukuran dan fungsinya akan berbeda. Didalam pena akan dipasang sensor gerak
tadi, dan gerakan-gerakan tersebut akan diambil oleh computer embedded dan direspon
oleh active cacellation ( semacam teknologi peredam gerak ). Dengan menggunakan active
cancellation untuk menstabilkan gerak skala besar. Jadi, ia seperti akan melawan getaran
dengan bergerak ke arah sebaliknya. Kesemuannya itu akan di kemas dalam perangkat
keras berupa pulpen anti getar (tremor) yang diberi nama “Anti-Tremor Pen”. Dengan
begitu, diharapkan alat ini nantinya akan menjadi terobosan dalam bidang pendidikan yang
mudah-mudahan akan sangat membantu penderita tremor baik pada tunadaksa maupun
penderita Parkinson. Namun, jika melihat produk yang ditawarkan google tadi, alat ini
memiliki kekurang dalam hal harga. Bisa dikatakan alat Liftware Spoon tadi dibandrol
dengan harga yang cukup mahal. Yaitu sekitar US$ 295 atau Rp 3 juta untuk satu unit
sendok. Sementara jika dilihat dari kondisi masyarakat kita, sepertinya akan memiliki
kesulitan sendiri dalam mendifusikan teknologi tersebut. Namun, hal tersebut dapat teratasi
jika ada bantuan dan dukungan yang baik dari pemerintah atau pihak terkait yang bersedia
mebantu.
Daftar pustaka
https://aprileopgsd.wordpress.com/tag/tuna-daksa/
http://seputarpengertian.blogspot.co.id/2017/03/pengertian-tuna-daksa-serta-klasifikasi-dan-
penyebabnya.html
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masih banyak masyarakat umum yang menganggap anak berkebutuhan khusus
(ABK) adalah anak yang kemampuanya dibawah rata-rata atau bahkan tidak memiliki
kemampuan apapun. Salah satu dari mereka adalah anak tunagarahita. Anak tunagrahita
adalah anak yang mengalami hambatan dan keterbelakangan mental, jauh di bawah rata-
rata yang ditandai oleh keterbatasan akademik dan ketidak cakapan dalam interaksi dan
komunikasi sosial.
Namun walaupun begitu, anak tunagrahita juga memiliki hak yang sama dengan
anak normal lainnya. Salah satu hak itu adalah mendapatkan pendidikan. Meskipun
memiliki hambatan intelektual, mereka masih memiliki potensi yang dapat dikembangkan
sesuai dengan kapasitas yang dimiliki oleh mereka dan sesuai dengan kebutuhan mereka.
Hal tersebut diatur dalam UUD’45 pasal 31 ayat 1, yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap
warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”. Hal tersebut lebih diperjelas lagi dalam
UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 5 ayat 2, dan pasal
33 ayat 1, menyatakan bahwa warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional,
mental, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, ini berarti pemenuhan
pendidikan tidak memandang status sosial dan ekonomi seseorang. Setiap orang berhak
mendapat pendidikan yang sejajar, hal ini juga berlaku bagi anak berkebutuhan khusus
(ABK). Akan tetapi, dengan kondisi ABK yang tidak dapat disamakan dengan siswa
normal lain sering membuat ABK tidak mendapatkan pendidikan sebagaimana yang
seharusnya. Beberapa penyebabnya adalah jumlah SLB yang masih sedikit, banyak sekolah
umum yang tidak mau menerima anak ABK, biaya sekolah di SLB yang terlalu tinggi, atau
jarak tempuk dari rumah ke SLB yang terlalu jauh.
Pemerataan pendidikan bagi ABK saat ini telah diupayakan oleh pemerintah, salah
satunya adalah dengan adanya pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi adalah pendidikan
yang menggabungkan antara siswa normal dengan siswa berkebutuhan khusus ke dalam
satu kelas. Pendidikan inklusi merupakan salah satu upaya dalam mengembangkan
keterampilan akademik dan sosial bagi ABK maupun anak normal agar dapat hidup
bersama, saling memahami dan menerima.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu anak Tunagrahita?
2. Bagaimana pendidikan anak Tunagrahita?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu anak Tunagrahita
2. Untuk mengetahui bagaimana pendidikan anak Tunagrahita
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Definisi dan Karakteristik Anak Tuna Grahita
a. Definisi Anak Tunagrhita
Tunagrahita adalah anak yang mengalami hambatan dan keterbelakangan mental,
jauh di bawah rata- rata. Gejalanya tak hanya sulit berkomunikasi, tetapi juga sulit
mengerjakan tugas-tugas akademik. Ini karena perkembangan otak dan fungsi sarafnya
tidak sempurna. Anak-anak seperti ini lahir dari ibu kalangan menengah ke bawah. Ketika
dikandung, asupan gizi dan zat antibodi ke ibunya tidak mencukupi.
Definisi lain yang diterima secara luas dan menjadi rujukan utama ialah definisi
yang dirumuskan oleh Grossman yang secara resmi digunakan AAMD (American
Association of Mental Deficiency) yaitu ketunagrahitaan mengacu pada fungsi intelektual
umum yang secara nyata (signifikan) berada di bawah rata-rata (normal) bersamaan dengan
kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian diri dan semua ini berlangsung pada masa
perkembangan.
b. Karakteristik Anak Tunagrahita
Karakteristik anak tunagrahita menurut Depdiknas (2003):
a. Penampilan fisik tidak seimbang
b. Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai dengan usianya
c. Perkembangan bicara/bahasanya terhambat
d. Kurang perhatian pada lingkungan
e. Koordinasi gerakannya kurang dan sering mengeluarkan ludah tanpa sadar.
c. Faktor Penyebab
Tuna grahita disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
1. Faktor Genetis. Faktor ini meliputi kersusakan/kelainan biokimiawi, abnormalitas
kromosom. Anak tuna grahita yang disebabkan oleh faktor ini pada umumnya
memiliki IQ 20 – 60 dan rata-rata memiliki IQ 30 – 50.
2. Faktor Prenatal, meliputi Infeksi Rubella (cacar) dan Faktor Rhesus.
3. Faktor pada saat kelahiran. Pada saat kelahiran tuna grahita yang disebabkab oleh
kejadian yang terjadi pada saat kelahiran adalah luka-luka pada saat kelahiran,
sesak nafas (asphyxia) dan lahir prematur.
4. Faktor setelah lahir. Penyakit-penyakit akibat infeksi misalnya menengitis
(peradangan pada selaput otak) dan problem nutrisi yaitu kekurangan gizi.
5. Faktor Sosio-kultural
6. Gangguan metabolisme/Nutrisi
d. Klasifikasi Anak Tunagrahita
Ada beberapa klasifikasi anak Tunagrahita yang di ukur melalui IQ:
1. Tunagrahita Ringan (IQ 70-55)
a. Mampu dididik dan dilatih. Misalnya, membaca, menulis, berhitung, menjahit,
memasak, bahkan berjualan.
b. Lebih mudah diajak berkomunikasi.
c. Kondisi fisik mereka tidak begitu mencolok.
d. Mampu berlindung dari bahaya apapun sehingga tidak memerlukan pengawasan
ekstra.
2. Tunagrahita Sedang (IQ 55-40)
a. Mampu diajak berkomunikasi.
b. Tidak begitu mahir dalam menulis, membaca, dan berhitung. Tetapi, ketika ditanya
siapa nama dan alamat rumahnya akan dengan jelas dijawab.
c. Dapat bekerja di lapangan namun dengan sedikit pengawasan.
d. Mampu berlindung diri dari bahaya namu dengan sedikit pengawasan
3. Tunagrahita Berat (IQ 40-25)
Anak tunagrahita berat disebut juga idiot. karena dalam kegiatan sehari-hari mereka
membutuhkan pengawasan, perhatian, bahkan pelayanan yang maksimal. Mereka tidak
dapat mengurus dirinya sendiri apalagi berlindung dari bahaya.
Untuk anak tunagrahita, di Indonesia telah ada berbagai layanan pendidikan yang
disediakan agar anak tunagrahita bisa mendapatkan pendidikan seperti halnya anak pada
umumnya. Ada berbagai macam layanan pendidikan bagi anak tunagrahita saat ini, contohnya
SLB C, sekolah inklusif dan masih banyak lagi. Di Indonesia pendidikan yang inklusif atau
menuju inklusif pun terus digencarkan, setidaknya mulai 2001 pendidikan inklusi telah
menjadi program Direktorat Pendidikan Luar Biasa yang bertugas untuk mengatur pelaksanaan
pendidikan luar biasa tidak hanya di SLB namun juga di sekolah-sekolah reguler, termasuk
salah satunya adalah membekali para guru di semua sekolah reguler dengan pengetahuan dan
keterampilan layanan bagi anak berkebutuhan khusus. Beberapa sekolah pun baik itu SD,
SMP, dan SMA reguler telah ditunjuk menjadi sekolah penyelenggara pendidikan inklusif.
Walaupun memang dalam pelaksanaannya masih terdapat hambatan.
Menurut Moh. Amin (1995), isi kurikulum meliputi kelompok bina diri, kelompok
akademis (bahasa, berhitung, IPA dan IPS), kelompok sensorimotor, dan kelompok
ketrampilan.
Tingkatan Pembelajaran anak tunagrahita meliputi :
1. CA di bawah 6 tahun = MA 2,5- 4 tahun
Tujuan pembelajarannya adalah mengembangkan kemampuan komunikasi, bina diri,
motoric kasar, sosialisasi dan perubahan situasi rumah dan sekolah
2. CA 6-9 tahun = MA 3-6/6,5 tahun
Tujuan pembelajarannya adalah latihan persiapan tool subject, latihan koordinasi
motoric halus
3. CA 10-14 tahun = MA 5-10,5 tahun
Tujuan pembelajarannya adalah mengembangkan kemampuan tool subject,
prevokasional, kesehatan, kemandirian, dan konsep-konsep kemandirian.
4. CA 14-21 tahun = 7-12 tahun
Tujuan pembelajarannya adalah mengembangkan aplikasi tool subject, kemampuan
personal, ekonomi, dan praktek vokasional dalam situasi kehidupan, persiapan hidup
mandiri.