Anda di halaman 1dari 76

MAKALAH

ANAK BERBAKAT (GIFTED CHILD)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Inklusi Pendidikan

Disusun Oleh :

Ibrahim Noor M (16105241015)


Ahmad Shodiq (16105241024)
Sri Maya Yanuar (16105244012)
Dewi Retno Sari (16105244015)
Resma Trianto (16105244011)

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN

JURUSAN KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2017
BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang
Setiap anak memiliki anugerah tersendiri yang diberikan dari Tuhan melalui
berbagai cara salah satunya adalah seperti anak yang berbakat. Anugerah yang diberikan
bukan hanya saja berupa kelebihan namun terkadang berupa kekurangan. Setiap kelebihan
dan kekurangan pada manusia pada dasarnya harus di syukuri dan cara yang mensyukuri
yang paling baik adalah dengan mengembangkan kekurangan menjadi suatu kelebihan dan
menjadikan kelebihan sebagai sebagai perantara untuk membantu orang lain dalam hal
kebaikan.
Dalam makalah ini akan dibahasa bagaimana cara menangani anak yang berbakat,
oleh karena itu mengapa anak berbakat masuk kedalam kategori anak berkebutuhan khusus
karena pada dasarnya anak berbakat itu anak yang memiliki perbedaan dengan anak yang
lainnya sehingga perlu mendapatkan penanganan atau wadah untuk menampung anak
berbakat tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian anak berbakat?
2. Bagaimana klasifikasi anak berbakat?
3. Bagaimana karakteristik anak berbakat?
4. Apa faktor yang memengaruhi anak berbakat?
5. Bagaimanakah perkembangan anak berbakat?
6. Masalah dan dampak apa saja yang timbul dari keberbakatan?
7. Kebutuhan pendidikan apa yang dibutuhkan anak-anak berbakat?
8. Bagaimana bentuk layanan pendidikan bagi anak berbakat?
9. Berapakah persentase anak berbakat istimewa di Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk memahami pengertian anak berbakat
2. Untuk memahami klasifikasi anak berbakat
3. Untuk memahami karakteristik anak berbakat
4. Untuk memahami faktor yang memengaruhi anak berbakat
5. Untuk memahami perkembangan anak berbakat
6. Untuk memahami masalah dan dampak yang timbul dari keberbakatan
7. Untuk memahami kebutuhan pendidikan anak berbakat
8. Untuk memahami bentuk layanan pendidikan bagi anak berbakat
9. Untuk mengetahui persentase anak berbakat istimewa di Indonesia
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Anak Berbakat
Anak yang memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa (gifted) adalah anak
yang secara significant memiliki mempunyai IQ 140 atau lebih, potensi diatas rata-rata
dalam bidang kemampuan umum, akademik khusus, kreativitas, kepemimpinan, seni
dan/atau olahraga. Anak berkebutuhan khusus gifted (Heward) adalah anak dengan
karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan
pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik.

Banyak istilah yang dapat dipakai untuk menyebut anak berbakat, diantaranya:
anak unggul, anak berkemampuan istimewa, anak superior, anak genius, dan masih banyak
lagi sebutan lainnya.

B. Klasifikasi Anak Berbakat


Anak yang mempunyai kecerdasan di atas rata-rata dapat diklasifikasikan menjadi
tiga kelompok, seperti dikemukakan oleh Sutratinah Tirtonegoro (1984; 29) yaitu :
1. Genius
Genius ialah anak yang memiliki kecerdasan luar biasa, sehingga dapat
menciptakan sesuatu yang sangat tinggi nilainya. Intelligence Quotien-nya (IQ) berkisar
antara 140 sampai 200. Anak genius memiliki sifat-sifat positif sebagai berikut; daya
abstraksinya baik sekali, mempunyai banyak ide, sangat kritis, sangat kreatif, suka
menganalisis, dan sebagainya. Di samping memiliki sifat-sifat positif juga memiliki sifat
negatif, diantaranya; cenderung hanya mementingkan dirinya sendiri (egois),
temperamennya tinggi sehingga cepat bereaksi (emosional), tidak mudah bergaul, senang
menyendiri karena sibuk melakukan penelitian, dan tidak mudah menerima pendapat
orang lain.
2. Gifted
Anak ini disebut juga gifted and talented adalah anak yang tingkat kecerdasannya
(IQ) antara 125 sampai dengan 140. Di samping memiliki IQ tinggi, juga bakatnya yang
sangat menonjol, seperti ; bakat seni musik, drama, dan ahli dalam memimpin
masyarakat. Anak gifted diantaranya memiliki karakteristik; mempunyai perhatian
terhadap sains, serba ingin tahu, imajinasinya kuat, senang membaca, dan senang akan
koleksi.
3. Superior
Anak superior tingkat kecerdasan IQnya berkisar antara 110 sampai dengan 125
sehingga prestasi belajarnya cukup tinggi. Anak superior memiliki karakteristik sebagai
berikut; dapat berbicara lebih dini, dapat membaca lebih awal, dapat mengerjakan
pekerjaan sekolah dengan mudah dan dapat perhatian dari teman-temannya.
C. Karakteristik Anak Berbakat
Karakteristik anak berbakat ditinjau dari segi akademik, sosial/emosi,
fisik/kesehatan, intelektual, persepsi, motivasi, dan aktivitas.
1. Karakteristik Akademik
Roe, seperti dikutip oleh Zaenal Alimin (1996) mengidentifikasikan karakteristik
keberbakatan akademik adalah:
a. Memiliki ketekunan dan rasa ingin tahu yang benar
b. Keranjinan membaca
c. Menikmati sekolah dan belajar

Sedangkan Kitano dan Kirby (1986) yang dikutip oleh Mulyono Abdurrahman
(1994) mengemukakan karakteristik keberbakatan bidang akademik adalah:

a. Memiliki perhatian yang lama terhadap suatu bidang akademik khusus


b. Memiliki pemahaman yang sangat maju tentang konsep, metode, dan terminologi dari
bidang akademik khusus
c. Mampu mengaplikasikan berbagai konsep dari bidang akademik khusus yang dipelajari
pada aktivitas-aktivitas bidang lain
d. Kesediaan mencurahkan sejumlah besar perhatian dan usaha untuk mencapai standar
yang lebih tinggi dalam suatu bidang akademik
e. Memiliki sifat kompetitif yang tinggi dalam suatu bidang akademik dan motivasi yang
tinggi untuk berbuat yang terbaik
f. Belajar dengan cepat dalam suatu bidang akademik khusus

Salah satu contoh yang digambarkan oleh Kirk (1986) bahwa seorang anak
berbakat berusia 10 tahun, ia memiliki kemampuan akademik dalam hal membaca sama
dengan anak normal usia 14 tahun, dan berhitung sama dengan usia 11 tahun, anak ini
memiliki keberbakatan dalam membaca.

2. Karakteristik Sosial/Emosi

Ada beberapa ciri individu yang memiliki keberbakatan sosial, yaitu:

a. Diterima oleh mayoritas dari teman-teman sebaya dan orang dewasa


b. Keterlibatan mereka dalam berbagai kegiatan sosial, mereka memberikan sumbangan
positif dan konstruktif
c. Kecenderungan dipandang sebagai juru pemisah dalam pertengkaran dan pengambil
kebijakan oleh teman sebayanya
d. Memiliki kepercayaan tentang kesamaan derajat semua orang dan jujur
e. Perilakunya tidak defensif dan memiliki tenggang rasa
f. Bebas dari tekanan emosi dan mampu mengontrol ekspresi emosional sehingga relevan
dengan situasi
g. Mampu mempertahankan hubungan abadi dengan teman sebaya dan orang dewasa
h. Mampu merangsang perilaku produktif bagi orang lain
i. Memiliki kapasitas yang luar biasa untuk menanggulangi situasi sosial dengan cerdas,
dan humor.

Dicontohkan pula oleh Kirk bahwa anak yang berbakat dalam hal social dan
emosi, bahwa seorang anak berusia 10 tahun memperlihatkan kemampuan penyesuaian
sosial dan emosi (sikap periang, bersemangat, kooperatif, bertanggung jawab,
mengerjakan tugasnya dengan baik, membantu temannya yang kurang mampu dan
akrab dalam bermain). Sikap-sikap yang diperlihatkannya itu sama dengan sikap anak
normal usia 16 tahun.

3. Karakteristik Fisik/Kesehatan

Dalam segi fisik, anak berbakat memperlihatkan

a. Memiliki penampilan yang menarik dan rapi,


b. Kesehatannya berada lebih baik atau di atas rata-rata, (studi longitudinal Terman
dalam Samuel A. Kirk, 1986).

Dicontohkan pula oleh Kirk bahwa seorang anak berbakat usia 10 tahun memiliki
tinggi dan berat badan sama dengan usianya. Yang menunjukkan perbedaan adalah
koordinasi geraknya sama dengan anak normal usia 12 tahun. Mereka juga
memperlihatkan sifat rapi.

4. Karakteristik Intelektual-Kognitif
a. Menunjukkan atau memiliki ide-ide yang orisinal, gagasan-gagasan yang tidak lazim,
pikiran-pikiran kreatif
b. Mampu menghubungkan ide-ide yang nampak tidak berkaitan menjadi suatu konsep
yang utuh.
c. Menunjukkan kemampuan bernalar yang sangat tinggi.
d. Mampu menggeneralisir suatu masalah yang rumit menjadi suatu hal yang sederhana
dan mudah dipahami.
e. Memiliki kecepatan yang sangat tinggi dalam memecahkan masalah.
f. Menunjukkan daya imajinasi yang luar biasa.
g. Memiliki perbendaharaan kosakata yang sangat kaya dan mampu
mengartikulasikannya dengan baik.
h. Biasanya fasih dalam berkomunikasi lisan, senang bermain atau merangkai kata-kata.
i. Sangat cepat dalam memahami pembicaraan atau pelajaran yang diberikan.
j. Memiliki daya ingat jangka panjang (long term memory) yang kuat.
k. Mampu menangkap ide-ide abstrak dalam konsep matematika dan/atau sains.
l. Memiliki kemampuan membaca yang sangat cepat.
m. Banyak gagasan dan mampu menginspirasi orang lain.
n. Memikirkan sesuatu secara kompleks, abstrak, dan dalam.
o. Mampu memikirkan tentang beragam gagasan atau persoalan dalam waktu yang
bersamaan dan cepat mengaitkan satu dengan yang lainnya.

5. Karakteristik Persepsi/Emosi
a. Sangat peka perasaannya.
b. Menunjukkan gaya bercanda atau humor yang tidak lazim (sinis, tepat sasaran dalam
menertawakan sesuatu hal tapi tanpa terasa dapat menyakiti perasaan orang lain)
c. Sangat perseptif dengan beragam bentuk emosi orang lain (peka dengan sesuatu yang
tidak dirasakan oleh orang-orang lain).
d. Memiliki perasaan yang dalam atas sesuatu
e. Peka dengan adanya perubahan kecil dalam lingkungan sekitar (suara, aroma,
cahaya)
f. Pada umumnya introvert
g. Memandang suatu persoalan dari berbagai macam sudut pandang
h. Sangat terbuka dengan pengalaman atau hal-hal baru
i. Alaminya memiliki ketulusan hati yang lebih dalam dibanding anak lain.

6. Karakteristik Motivasi dan Nilai-Nilai Hidup


a. Menuntut kesempurnaan dalam melakukan sesuatu (perfectionistic).
b. Memiliki dan menetapkan standar yang sangat tinggi bagi diri sendiri dan orang lain.
c. Memiliki rasa ingin tahu dan kepenasaran yang sangat tinggi.
d. Sangat mandiri, sering merasa tidak perlu bantuan orang lain, tidak terpengaruh oleh
hadiah atau pujian dari luar untuk melakukan sesuatu (self driven).
e. Selalu berusaha mencari kebenaran, mempertanyakan dogma, mencari makna hidup.
f. Melakukan sesuatu atas dasar nilai-nilai filsafat yang seringkali sulit dipahami orang
lain.
g. Senang menghadapi tantangan, pengambil risiko, menunjukkan perilaku yang
dianggap “nyerempet-nyerempet bahaya” .
h. Sangat peduli dengan moralitas dan nilai-nilai keadilan, kejujuran, integritas.
i. Memiliki minat yang beragam dan terentang luas.

7. Karakteristik Aktifitas
a. Punya energi yang seolah tak pernah habis, selalu aktif beraktifitas dari satu hal ke
hal lain tanpa terlihat lelah.
b. Sulit memulai tidur tapi cepat terbangun, waktu tidur yang lebih sedikit dibanding
anak normal.
c. Sangat waspada.
d. Rentang perhatian yang panjang, mampu berkonsentrasi pada satu persoalan dalam
waktu yang sangat lama
e. Tekun, gigih, pantang menyerah
f. Cepat bosan dengan situasi rutin, pikiran yang tidak pernah diam, selalu
memunculkan hal-hal baru untuk dilakukan.
g. Spontanitas yang tinggi.
D. Faktor yang Mempengaruhi Anak Berbakat
1. Hereditas
Hereditas adalah faktor yang diwariskan dari orang tua, meliputi kecerdasan, kreatif
produktif, kemampuan memimpin, kemampuan seni dan psikomotor. Dalam diri seseorang
telah ditentukan adanya faktor bawaan yang ada setiap orang, dan bakat bawaan tersebut
juga berbeda setiap orangnya. Namun U. Branfenbrenner dan Scarr Salaptek menyatakan
secara tegas bahwa sekarang tidak ada kesangsian mengenai faktor genetika mempunyai
andil yang besar terhadap kemampuan mental seseorang.

2. Lingkungan
Lingkungan, hal-hal yang mempengaruhi perkembangan anak berbakat ditinjau
dari segi lingkungannya (keluarga, sekolah dan masyarakat). Lingkungan mempunyai
peran yang sangat besar dalam mempengaruhi keberbakatan seorang anak. Walaupun
seorang anak mempunyai bakat yang tinggi terhadap suatu bidang, tanpa adanya dukungan
dan perhatian dari lingkungannya seperti, masyarakat tempat dia bersosialisasi, keluarga
tempat ia menjalani kehidupan berkeluarga, tempat dia menjalani kehidupan dan
mengembangkan keberbakatan itu dapat membantunya dalam mencapai ataupun
memaksimalkan bakatnya tersebut.

E. Perkembangan Anak Berbakat


1. Perkembangan Fisik Anak Berbakat
a. Pola perkembangan fisik anak pada umumnya terjadi pula pada anak berbakat
b. Reaksi-reaksi fisik terjadi lebih cepat dan lebih awal dari anak-anak biasa karena secara
intelektual dia lebih mampu menyerap informasi dan stimulus dari luar.
c. Perkembangan psikomotorik dan kemampuan koordinasi anak berbakat cenderung
baik cepat dari rata-rata
d. Karena sensitifitas intelektual yang cukup tinggi, anak berbakat cenderung menunjukan
karakteristik (sensasi) fisik seperti; menerima masukan (stimulus) yang luar biasa dari
lingkungan melalui kesadaran sensoris yang amat tinggi, kesenjangan antara
perkembangan fisik dan intelektual, kurang toleran terhadap kesenjangan antara
standar dan keterampilan fisik.
e. Pendidikan bagi mereka sepatutnya mempertimbangkan kebutuhan untuk :
o Melakukan aktifitas yang memungkinkan terjadinya integrasi dan asimiliasi data
sensoris
o Apresiasi kapasitas fisik
o Menjelajahi aktifitas fisik yang menimbulkan kesenangan dan kepuasan
o Menjelajahi aktifitas yang mengarah kepada keterpaduan antara pikiran dan badan
2. Perkembangan Kognitif Anak Berbakat
Menurut beberapa ahli, ciri/karakteristik perkembangan kognitif anak berbakat, adalah
sebagai berikut :
a. Ada perbedaan struktur otak sehingga mampu menfungsikan kedua belahan otak
secara terintegrasi sehingga mewujudkan perilaku kreatif.
b. Memiliki kemampuan berpikir analitis, integratif, dan evaluatif.
c. Memiliki Curiosity (rasa ingin tahu), imagination, persistence, commitment to solving
problems, dan concern with the future.
d. Memiliki kemampuan berpikir superior, berpikir abstrak, menggeneralisasi fakta,
memahami makna, dan memahami hubungan
e. Memiliki kesiapan belajar lebih awal.
f. Memiliki minat luas terhadap masalah manusia dan dunia.
g. Memiliki minat baca dalam berbagai bidang pengetahuan.
h. Menunjukkan kemampuan tinggi dalam matematika, terutama dalam memecahkan
masalah.

Semua ciri perkembangan kognitif anak berbakat menunjukkan kemudahan yang


dimilikinya dalam belajar. Apabila karakteristik tersebut tidak tersalurkan sebagaimana
mestinya tak mustahil muncul masalah :

a. Kebosanan terhadap pengajaran reguler


b.Kesulitan hubungan sosial dalam kelompok seusia
c. Dipandang sombong oleh kawan sebayanya
d.Sulit berkonformitas pada kelompok

Kebutuhan program pendidikan bagi anak berbakat dalam mengembangkan aspek


kognitif yaitu :
a. Pengkajian informasi baru dan menantang
b. Akses terhadap kurikulum dan kehidupan intelektual yang menantang
c. Pengkajian berbagai mata ajaran dan kepedulian
d. Pemecahan masalah dalam berbagai cara
e. Penyediaan pengalaman dan dukungan bagi proses percepatan pencapaian tingkat
perkembangan kognitif yang lebih tinggi
f. Kesempatan melakukan dialog bermakna tentang fenomena, memahami energi dan
kecakupan intuitif, pengembangan kegiatan kreatif secara berkelanjutan.

2. Perkembangan Emosi Anak Berbakat


Perkembangan emosi anak berbakat cenderung menunjukkan kekukuhan dalam
pendirian sebagai manifesasi adanya kepercayaan diri yang kuat dalam upaya mencapai
hasil, peka terhadap keadaan sekitar, dan senang terhadap hal-hal baru. Kecenderungan
negatif emosi anak berbakat adalah sebagai berikut :
a. Mudah tersinggung
b. Sikap egois
c. Kesulitan dalam penyesuaian diri
3. Perkembangan Sosial Anak Berbakat
Menurut Clark (1988), perkembangan sosial dan emosional anak berbakat adalah sebagai
berikut :
a. Anak berbakat, jika dibandingkan dengan teman sebayanya, merasa lebih senang dan
puas dengan keadaan dirinya sendiri dan hubungan antar pribadinya
b. Anak berbakat cenderung menunjukkan penyesuaian emosional yang lebih baik
daripada anak rata-rata walaupun kecenderungan ini lebih erat kaitannya dengan latar
belakang sosial ekonomi daripada dengan kecerdasan
c. Anak berbakat cenderung lebih mandiri dan kurang berkonformitas terhadap
pendapat sebaya, lebih dominan, lebih mampu mengendalikan lingkungan, dan lebih
kompetitif
d. Anak berbakat menunjukkan kecakapan kepemimpinan dan menjadi terlibat dalam
kegiatan dan kepedulian sosial
e. Anak berbakat lebih cenderung memilih kawan yang memiliki kesebayaan usia
intelektual daripada memilih kawan yang secara kronologis berada pada usia yang
sama.
F. Masalah dan Dampak yang Timbul dari Keterbakatan

Anak keberbakatan dapat memunculkan berbagai masalah diantaranya :

1. Masalah dan dampak bagi individu

Anak berbakat memiliki kemungkinan masalah-masalah individu yang dirumuskan dalam


kecenderungan-kecenderungan.

a) Kecepatan perkembangan kognitif yang tidak sesuai dengan kekuatan fisik, sehingga
terjadi kesenjangan diantara keduanya dan dapat menimbulkan Perasaan yang dapat
mendorong anak tidak peduli terhadap kegiatan fisik kelompok, sehingga dapat
menimbulkan frustasi, kecewa dan tidak puas terhadap kehidupan kelompok sebaya.
b) Perkembangan kognitif anak berbakat lebih cepat dari teman sebaya akan
menimbulkan kebosanan terhadap pengajaran reguler, kesulitan hubungan sosial dalam
kelompok seusia, sulit berkonfirmasi dalam kelompok, frustasi karena harus
“menunggu” kelompok.
c) Kemampuan anak berbakat untuk menyerap dan menghimpun informasi yang tidak
diimbangi dengan perkembangan emosi dan kesadaran dapat menimbulkan
ketidakstabilan perkembangan emosi.
d) Kematangan sosial dan kecakapan kepemimpinan yang tumbuh lebih awal pada anak
berbakat dapat menimbulkan masalah penyesuaian diri.
2. Masalah dan dampak bagi keluarga

Keberbakatan akan membawa dampak iklim dan perlakuan keluarga. Orang tua
yang tidak memahami dan menyadari akan potensi yang dimiliki anaknya bisa jadi tidak
peduli dan merespon perilaku anak tadi. Kecenderungan orang tua untuk menghardik
anaknya kalau anak itu melibatkan diri dalam urusan orang tuanya, memaksakannya untuk
bermain dengan teman seusianya.

Sikap orang tua tersebut akan menimbulkan letak beruntung dalam keberbakatan
(disadvantages child). Dalam menghadapai anak berbakat orang tua harus menunjukkan
sikap memahami, peduli terhadap pikiran dan perasaan anak, bersikap terbuka dan
memberi peluang kepada anak untuk mengekspresikan dirinya.

Peran orang tua adalah guru bagi anak berbakat dalam lingkungan. Beberapa
hal yang perlu dilakukan orang tua di dalam membantu dan membimbing anak berbakat
ialah :

a) Ciptakan komunikasi terbuka antara orang tua-anak dan antar anak dengan disertai
kasih sayang
b) Berikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak untuk menghadapi dan memecahkan
masalah
c) Sertakan anak dalam kegiatan orang tua sehingga anak memperoleh wawasan yang
lebih luas dan mendalam
d) Perhatikan kebutuhan utama anak dan upayakan untuk memenuhinya secara wajar
e) Berikan anak kepercayaan untuk melakukan sesuatu yang dipikirkan dan disenangi
f) Hargai upaya dan hasil kerja anak dan ikuti perkembangannya
g) Bantulah anak untuk mengembangkan, memahami dan menyesuaikan kebutuhan-
kebutuhannya
h) Bantulah anak menyusun skala prioritas kegiatan
i) Sediakan fasilitas dan sumber informasi yang dapat dimanfaatkan oleh anak untuk
memenuhi hasrat keinginan tahunya
j) Berilah anak untuk memahami perbedaan individu melalui pembentukan pengertian
k) Perhatikan kebutuhan gizi dan kesehatan anak
l) Tanyakan rasa bahagia dalam hidup bersama dia
3. Masalah dan dampak bagi masyarakat

Masalah dan dampak keberbakatan bagi kehidupan masyarakat terlebih pada isu
sosial maupun politis bagaimana perlakuan terhadap anak berbakat diberikan terutama
layanan pendidikan yang mungkin diperolehnya. Contohnya seperti pendidikan khusus
yang diperoleh anak berbakat mungkin akan menimbulkan sikap elitisme dan ekslusif atau
dintegrasikan ke dalam sistem persekolahan biasa yang mungkin akan menimbulkan
masalah-masalah bagi anak itu sendiri. Masalah keberbakatan membawa dampak terhadap
pengambilan kebijakan pendidikan.

4. Masalah dan dampak bagi penyelenggara pendidikan

Perbedaan program pendidikan bagi anak berbakat bukan sekedar berbeda, tetapi
secara kualitatif memang menghendaki perbedaan walaupun tidak berarti harus terpisah
dari anak-anak biasa. Perbedaan kualitatif perlu karena anak berbakat memiliki
karakteristik dan kebutuhan suatu permasalahan yang berbeda dari anak-anak pada
umumnya.

G. Kebutuhan Pendidikan yang Dibutuhkan Anak Berkebutuhan Khusus

Keanekaragaman yang ditemui diantara anak-anak termasuk anak berbakat


mencerminkan jenis dan jumlah adaptasi yang perlu diadakan sekolah untuk memenuhi
kebutuhan khusus mereka. Kebutuhan pendidikan anak berbakat dapat ditinjau dari 2
kepentingan berikut.

1. Kebutuhan Pendidikan dari Segi Anak Berbakat itu Sendiri

Oleh karena potensi yang dimiliki anak berbakat sedemikian hebatnya jika
dibandingkan dengan anak biasa maka untuk mengembangkan potensinya mereka
membutuhkan hal-hal berikut ini :

a) Anak berbakat membutuhkan peluang untuk mencapai aktualisasi potensinya melalui


penggunaan fungsi otak yang efektif dan efisien. Mereka tetap membutuhkan
pengembangan fungsi otaknya walaupun telah memiliki otak yang hebat. Apalagi
penggunaan kapasitas otak itu hanya 5% dari fungsi keseluruhannya (Conny
Semiawan, 1995). Melalui pendidikan terjadi interaksi antara potensi bawaan individu
dengan lingkungannya.
b) Membutuhkan peluang untuk dapat berinteraksi dengan anak-anak lainnya sehingga
mereka tidak menjadi manusia yang memiliki superioritas intelektual saja tetapi
merupakan manusia yang mempunyai tingkat penyesuaian yang tinggi pula.
c) Membutuhkan peluang untuk mengembangkan kreativitas dan motivasi internal untuk
belajar berprestasi karena usaha pengembangan anak berbakat tidak semata-mata
hanya pada aspek kecerdasan saja.

Dengan memenuhi kebutuhan tersebut diharapkan anak berbakat tidak hanya


menjadi insan yang superior karena gagasan dan pemikirannya yang cemerlang, tetapi
ia juga dapat menjadi manusia harmonis dalam bergaul.

2. Kebutuhan Pendidikan yang Berkaitan dengan Kepentingan Masyarakat


Kehadiran anak berbakat dengan potensinya yang bermakna sangatlah
merugikan jika potensi yang dimiliki anak tersebut tidak diakomodasi dan didorong
untuk berkembang sehingga dapat berguna dalam pengembangan bangsa dan
negara. Oleh karena itu, pendidikan anak berbakat membutuhkan dukungan dari
masyarakat, antara lain sebagai berikut.

a) Membutuhkan kepedulian dari masyarakat terhadap pengembangan potensi anak


berbakat. Apabila kepedulian ini kurang atau tidak ada maka potensi anak tersebut
akan berada di bawah potensi kemampuannya. Kepedulian ini digambarkan oleh
Moh. Amin (1996) dengan mengatakan bahwa sejak dahulu Plato telah menyerukan
agar anak-anak berbakat dididik secara khusus karena mereka ini diharapkan akan
menjadi pemimpin dalam segala bidang.
b) Membutuhkan pengembangan sumber daya manusia berbakat. Usaha
pengembangan sumber daya manusia berbakat merupakan pengakomodasian serta
pengembangan aset bangsa karena anak berbakat ini dapat menjadi penopang dan
pendorong kemajuan bangsa karena potensi yang dimilikinya berkembang secara
optimal.
c) Anak berbakat membutuhkan keserasian antara kemampuannya dengan pengalaman
belajar. Oleh karena itu, pendidikan perlu mewujudkan lingkungan yang kaya
pengalaman sehingga dapat memenuhi perkembangan anak berbakat. Anak-anak
berbakat memiliki perspektif masa depan yang jauh berbeda dengan orang lain.
d) Membutuhkan usaha untuk mewujudkan kemampuan anak berbakat secara nyata
(rill) melalui latihan yang sesuai dengan segi keberbakatan anak berbakat itu sendiri.
H. Bentuk Layanan Pendidikan Bagi Anak Berbakat

Ciri Khas Layanan yang sesuai dengan Kebutuhan Anak Berbakat

1. Adaptasi lingkungan belajar

Ada beberapa alasan dalam mengadaptasi lingkungan belajar, antara lain :

a. untuk memberi kesempatan anak berbakat dalam berinteraksi dengan teman yang
seusia
b. untuk memudahkan guru dalam mengajar karena berkurangnya keanekaragaman
siswa
c. untuk menempatkan siswa berbakat dengan pengajar yang yang mempunyai
keahlian khusus dalam menangani anak berbakat.

Sehubungan dengan adaptasi lingkungan belajar ini Gallagher, dkk. (1983)


mengemukakan ada beberapa cara sebagai berikut :

 Kelas pengayaan, guru kelas melaksanakan suatu program tanpa bantuan petugas
dari luar.
 Guru konsultan, pelaksanaan program pengajaran dalam kelas biasa dengan
bantuan konsultan khusus yang terlatih.
 Ruangan sumber belajar, siswa berbakat meninggalkan ruang kelas biasa ke
ruangan sumber belajar untuk menerima pengajaran dari guru yang terlatih.
 Studi mandiri, siswa memilih proyek-proyek dan mengerjakannya di bawah
pengawasan seorang guru yang berwewenang.
 Kelas khusus, siswa berbakat dikelompokkan bersama-sama disekolah dan diajar
oleh guru yang dilatih khusus.
 Sekolah khusus, siswa berbakat menerima pengajaran disekolah khusus dengan
staf guru yang dilatih secara khusus.

Utami Munandar (1996) mengemukakan bahwa alternative lingkungan belajar/tempat


belajar anak berbakat dapat berupa sekolah unggulan yang dapat menampung anak-anak
berprestasi tinggi dari daerah sekitarnya. Disekolah unggulan itu mereka dihadapkan dengan
program yang memungkinkan akselerasi dan pengayaaan.

2. Adaptasi Program

Adaptasi program dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :

a. Melalui percepatan/akselerasi siswa

Stanley (1979) mengemukakan beberapa cara percepatan, antara lain :

1. Pemasukan ke sekolah pada usia dini, anak yang memperlihatkan kematangan sosial dan
intelektual diperbolehkan memasuki Taman Kanak-kanak pada usia lebih muda dari anak
pada umumnya.
2. Pelompatan tingkat/kelas, anak dengan cepat naik kelas pada kelas/tingkat berikutnya
walaupun belum saatnya kenaikan kelas.
3. Percepatan materi, anak mengikuti materi standar dengan waktu yang lebih
singkat, misalnya belajar di Sekolah Menengah Pertama hanya dua tahun.
4. Penempatan yang maju, siswa mengambil pelajaran di Perguruan Tinggi sementara ia
masih di Sekolah Menengah Atas
5. Pemasukan ke Perguruan Tinggi yang lebih awal, seorang siswa yang sangat maju bisa
masuk Perguruan Tinggi dalam usia 13, 14 atau 15 tahun.

b. Melalui pengayaan

Pengayaan isi (mata pelajaran) memberi kesempatan pada siswa untuk


mempelajari materi secara luas, seperti menggunakan ilustrasi khusus, membuat
contoh-contoh, memperkaya pandangan, dan menemukan sesuatu.

c. Pencanggihan materi pelajaran


Materi pelajaran harus menantang anak berbakat untuk menggunakan
pemikiran yang tinggi agar mengerti ide, dan memiliki abstraksi yang tinggi. Materi
pencanggihan ini tidak terdapat dalam kurikulum/program pendidikan biasa.

d. Pembaruan

Pembaruan isi pelajaran adalah pengenalan materi yang biasanya tak akan
muncul dalam kurikulum umum karena keterbatasan waktu atau abstraknya sifat isi
pelajaran. Tujuan pembaruan ini ialah untuk membantu anak-anak berbakat menguasai
ide-ide yang penting. Jenis pembaruan materi pelajaran, misalnya guru mengajak
siswa untuk memikirkan konsekuensi kemajuan teknologi (AC, komputer, TV, dan
lain-lain).

e. Modifikasi kurikulum sebagai alternatif


1. Kurikulum plus

Herry Widyastono (1996) mengemukakan bahwa kurikulum plus


dikembangkan dari kurikulum umum (nasional) yang diperluas dan agar
siswa mampu memanifestasikan (mewujudkan) potensi proses berpikir
tingkat tinggi (analisis, sintesis, evaluasi, dan pemecahan masalah) yang
dimiliki, tidak sekadar proses berpikir tingkat rendah (ingatan/pengetahuan,
pemahaman, dan penerapan), seperti anak pada umumnya yang sebaya
dengannya.

2. Kurikulum berdiferensiasi

Conny Semiawan (1995) mengemukakan bahwa kurikulum


berdiferensiasi dirancang dengan mengacu pada penanjakan kehidupan
mental melalui berbagai program yang akan menumbuhkan kreativitas serta
mencakup berbagai pengalaman belajar intelektual tingkat tinggi.
Kurikulum ini tidak memerlukan sekolah khusus anak berbakat.
Dalam model ini, anak berbakat yang menonjol dalam bidang tertentu bisa
memperoleh materi yang lebih banyak sehingga bakatnya menonjol. Dalam
pengayaan, bukan materi dan jam pelajarannya yang ditambah secara
kuantitatif tetapi yang paling penting adalah suatu desain yang secara
kualitatif berbeda dengan anak normal. Kurikulum ini memungkinkan guru
untuk mendiferensiasi kurikulum tanpa mengganggu kelancaran
pembelajaran di dalam kelas.

Strategi Pembelajaran dan Model Layanan

1. Strategi pembelajaran
Strategi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak berbakat sangat
mendorong anak tersebut untuk berprestasi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam menentukan strategi pembelajaran adalah sebagai berikut :

a. Pembelajaran anak berbakat harus diwarnai dengan kecepatan dan tingkat


kompleksitas yang lebih sesuai dengan kemampuannya yang lebih tinggi dari anak
normal.

b. Pembelajaran pada anak berbakat tidak saja mengembangkan kecerdasan intelektual


semata, tetapi pengembangan kecerdasan emosional juga patut mendapat perhatian.

c. Pembelajaran anak berbakat berorientasi pada modifikasi proses,


isi/content, dan produk.

2. Model-model layanan

Model-model layanan yang dimaksud adalah model yang mengarah pada


perkembangan anak berbakat diantaranya layanan perkembangan kognitif, nilai,
moral, kreativitas dan bidang khusus. Berikut ini akan dikemukakan apa dan
bagaimana implementasi dari model-model tersebut (adaptasi dari Conny
Semiawan, 1995) :

a. Model layanan kognitif-afektif

Sasaran akhir dari model ini adalah pengembangan bakat. Oleh karena itu,
dalam proses pembelajaran sangat memperhitungkan kreativitas dan sisi kognitif
afektif yang merupakan dinamika dari proses perkembangan bakat tersebut. Cara
melaksanakan model tersebut, yaitu dengan cara pemberian stimulus langsung pada
belahan otak kanan, dan metode tak langsung dengan menghayati pengalaman
belajar atau percakapan tertentu secara mendalam.

b. Model layanan perkembangan moral

Sasaran model ini adalah tercapainya kemandirian moral atau tanggung


jawab moral yang diperoleh melalui sosialisasi dan individualisasi dalam kaitan
manusia sebagai makhluk individu dan makluk sosial. Pendidikan moral anak
berbakat seyogyanya harus jauh lebih luas dari yang diperoleh dikelas. Usaha
mengimplementasikan model ini adalah sekolah harus menciptakan suasana
dengan mengacu pada kemampuan berpikir, yang dilakukan sesuai dengan prinsip-
prinsip dan kepedulian terhadap yang lain.

c. Model perkembangan nilai

Model ini memerhatikan peranan kehidupan afektif (emosional) sehari-hari,


seperti rasa senang, sedih, takut, bangga, malu, rasa bersalah, dan bosan. Perasaan-
perasaan ini membentuk sikap seseorang dan sebaliknya perkembangan nilai erat
hubungannya dengan perkembangan sikap dan merupakan kerangka pembentukan
moral seseorang. Oleh karena itu, strategi pengembangan nilai erat kaitannya
dengan strategi perkembangan moral.

d. Layanan berbagai bidang khusus

Bidang-bidang khusus ini adalah kepemimpinan, seni rupa dan seni


pertunjukan.

3. Desain pembelajaran

Sebagaimana kita ketahui bahwa anak berbakat terus-menerus


memerlukan stimulus untuk mencapai perkembangan yang optimal. Oleh karena itu, kita
perlu merencanakan desain pembelajaran yang khusus. Renzulli mengemukakan bahwa
langkah-langkah penting untuk diperhatikan dalam mendesain pembelajaran adalah sebagai
berikut :

a. Seleksi dan latihan guru


b. Pengembangan kurikulum untuk memenuhi kebutuhan belajar dalam segi akademik
maupun seni
c. Prosedur identifikasi jamak
d. Pematokan sasaran program
e. Orientasi kerja sama antar personel
f. Rencana evaluasi
g. Peningkatan administratif.

Selanjutnya dalam menentukan alternatif pembelajaran M. Soleh (1996)


mengemukakan bahwa ada pilihan khusus, seperti :

(1) mengemas materi bidang studi tertentu agar sesuai dengan kebutuhan belajar anak
berbakat, kemudian berangsur-angsur ke bidang studi lain

(2) melatih teknik mengajar tertentu kepada guru bidang studi seperti teknik pembelajaran
pengembangan kreativitas

(3) mencobakan beberapa model pembelajaran di sekolah atau daerah tertentu dan jika
diperoleh hasil yang baik, kemudian menyebarluaskannya ke sekolah lain.

4. Evaluasi

Proses evaluasi pada anak berbakat tidak berbeda dengan anak pada umumnya,
namun karena kurikulum atau program pelajaran anak berbakat dalam cakupan dan
tujuannya maka dibutuhkan penerapan evaluasi yang sesuai dengan keadaan tersebut.
Tujuan evaluasi adalah untuk mengetahui ketuntasan belajar anak berbakat.
Sehubungan dengan hal itu Conny Semiawan (1987, 1992) mengemukakan bahwa instrumen
dan prosedur yang digunakan mengacu pada ketuntasan belajar adalah pengejawantahan dari
kekhususan layanan pendidikan anak berbakat, hasil umpan balik untuk keperluan tertentu,
pemantulan tingkat kemantapan penguasaan suatu materi sesuai dengan sifat, keterampilan,
dan kemampuan maupun kecepatan belajar seseorang.

Model pengukuran seperti tersebut di atas adalah pengukuran acuan kriteria (criterion-
reference). Sebaliknya ada pengukuran acuan norma yang membandingkan keberbakatan
seseorang dengan temannya. Kedua cara tersebut tidak selalu menunjuk hasil akhir yang
diinginkan, melainkan merupakan petunjuk bidang mana yang sudah dikuasai individu
sehingga memberikan keterangan mengenai taraf kemampuan yang dicapai tanpa tergantung
pada kinerja temannya. Penting untuk diperhatikan bahwa sebaiknya disertai dengan saran
mengenai model evaluasi yang perlu diterapkan, apakah tes atau nontes.

I. Persentase Jumlah Anak Berbakat di Indonesia


Diperkirakan terdapat sekitar 2,2% anak usia sekolah memiliki kualifikasi Cerdas
Istimewa/Berbakat Istimewa, artinya terdapat sekitar 1.059.796 anak Cerdas
Istimewa/Berbakat Istimewa di Indonesia. Berdasarkan data Asossiasi Cerdas
Istimewa/Berbakat Istimewa tahun 2008/9, jumlah siswa Cerdas Istimewa/Berbakat
Istimewa yang sudah terlayani di sekolah akselerasi masih sangat kecil, yaitu 9551 orang
yang berarti baru 0,9% siswa Cerdas Istimewa/Berbakat Istimewa yang terlayani. Ditinjau
dari segi kelembagaan, dari 260.471 sekolah, baru 311 sekolah yang memiliki program
layanan bagi anak Cerdas Istimewa/Berbakat Istimewa, itupun baru terbatas program yang
berbentuk akselerasi. Sedangkan di madrasah, dari 42.756 madrasah, baru ada 7 madrasah
yang menyelenggarakan program aksel. Ini berarti masih sangat rendah sekali jumlah
sekolah/madrasah yang memberikan layanan pendidikan kepada siswa Cerdas
Istimewa/Berbakat Istimewa, serta keterbatasan dari ragam pelayanan.
BAB III
Penutup

Kesimpulan

Anak berbakat adalah anak yang diidentifikasi oleh orang-orang yang berkualifikasi
profesional sebagai anak yang memiliki kemampuan luar biasa. Mereka menghendaki program
pendidikan yang sesuai atau layanan melebihi sebagaimana diberikan secara normal oleh program
sekolah regular, sehingga dapat merealisasikan kontribusi secara bermakna bagi diri dan
masyarakatnya. Karakteristik anak berbakat, diantaranya menunjukkan kemampuan di atas rata-
rata, terutama di bidang kemampuan umum, kemampuan khusus, dan menunjukkan komitmen
yang terhadap tugas, serta menunjukkan kreativitas yang tinggi.

Anak yang mempunyai kecerdasan di atas rata-rata dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok, seperti dikemukakan oleh Sutratinah Tirtonegoro (1984; 29) yaitu; Superior, Gifted dan
Genius. Faktor yang mempengaruhi anak berbakat meliputi hereditas, yaitu faktor yang
diwariskan dari orang tua dan lingkunganyang ditinjau dari segi keluarga, sekolah dan
masyarakat. Perkembangan anak berbakat meliputi perkembangan fisik, perkembangan kognitif,
perkembangan emosi, dan perkembangan social.

DAFTAR PUSTAKA

Flamersherotic. 2008. Karakteristik Anak Berbakat Istimewa (Gifted Child). Diakses


melalui https://giftedindonesia.wordpress.com/2008/04/23/karakteristik-anak-
berbakat-istimewa-gifted-child/ . Pada tanggal 7 Desember 2017

Saputra, Eko. 2013. The World Of Psychology : Definisi Anak Berbakat. Diakses melalui
http://the-secret-of-psychology-world.blogspot.co.id/2013/03/definisi-anak-
berbakat-gifted-child.html. Pada tanggal 7 Desember 2017

Ruang BK. 2012. Anak Berbakat (Gifted Child). Diakses melalui


http://ruangbacabk2010.blogspot.co.id/2012/04/normal-0-false-false-false-in-x-
none-x.html. Pada tanggal 7 Desember 2017

IDAI. 2015. Gifted Child. Diakses melalui http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-


anak/gifted-children-bagian-1-2. Pada tanggal 7 Desember 2017

R. Nugraha. 2017. Anak Berbakat (Gifted Children). Diakses melalui


http://www.academia.edu/34806773/ANAK_BERBAKAT_GIFTED_CHILDRE
N_. Pada tanggal 7 Desember 2017
MAKALAH PENDIDIKAN INKLUSI

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS TUNA LARAS

Disusun Untuk Memenuhi Nilai

Mata Kuliah Pendidikan Inklusi

Disusun oleh :

Cahyo Wicaksono ( 16105241026 )

Aji Tofa Nashruddin ( 16105241049 )

Putri Isnaeningsih ( 16105241023 )

Syahrul Komaruddin ( 16105241050 )

Rudy Hermawan ( 16105244022 )

JURUSAN KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2017
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali macam tingkah laku, karakteristik dan
bentuk fisik manusia yang kita temui. Baik itu orang normal maupun tidak normal. Di
dalam pendidikan juga ada anak normal dan anak yang membutuhkan layanan khusus atau
bahkan sekolah luar biasa. Anak luar biasa adalah anak yang mengalami gangguan atau
hambatan perkembangan baik fisik maupun mentalnya sehingga mereka membutuhkan
perhatian dan layanan khusus, hal ini dengan tujuan agar mereka mampu menjalani
kehidupan sehari-hari tanpa membutuhkan orang lain. Salah satu anak yang mengalami
hambatan atau gangguan yaitu anak tunalaras. Anak tunalaras adalah anak yang mangalami
gangguan emosi dan mentalnya dimana anak ini berbuat sesuatu yang tidak biasa dilakukan
oleh anak seusianya. Contoh perilaku yang dilakukan adalah, membuat ribut atau cemas,
menyakiti orang lain dan sebagainya yang tidak biasa dilakukan oleh anak seusianya.
Orang tua atau guru harus bisa mendeteksi dini kalau anaknya mengalami hambatan, hal
ini bertujuan agar kelainan yang dialami anak tidak bertambah parah. Misalnya kalau anak
mengalami ketunalarasan maka pihak yang bersangkutan harus cepat mencegahnya, agar
kelainannya tidak bertambah parah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan tunalaras?
2. Apa faktor penyebab tunalaras?
3. Apa ciri-ciri tunalaras?
4. Apa klasifikasi tunalaras?
5. Bagaimana pendidikan tunalaras saat ini?
6. Bagaimana peran Teknologi Pendidikan dalam Pendidikan Anak Tunalaras?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian tunalaras
2. Mmengetahui penyebab tunalaras
3. Mengetahui ciri-ciri tunalaras
4. Mengetahui klasifikasi tunalaras
5. Mengetahui pendidikan tunalaras
6. Mengetahui peran Teknologi Pendidikan dalam Pendidikan Anak Tunalaras
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tunalaras
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi
dan kontrol sosial. Menurut Undang-Undang pokok pendidikan Nomor 12 Tahun 1952
anak tunalaras adalah individu yang mempunyai tingkah laku menyimpang atau
berkelainan, tidak memiliki sikap, melakukan pelanggaran terhadap peraturan dan norma-
norma sosial dengan frekuensi yang cukup besar, tidak atau kurang mempunyai toleransi
terhadap kelompok dan orang lain, serta mudah terpengaruh oleh suasana, sehingga
membuat kesulitan bagi diri sendiri maupun orang lain.
Menurut T.Sutjihati Somantri, anak tunalaras sering juga disebut anak tunasosial
karena tingkah laku anak ini menunjukkan penentangan terhadap norma-norma sosial
masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu, dan menyakiti orang lain. Jadi
yang dimaksud anak tunalaras adalah anak yang tidak dapat mengontrol emosinya dengan
baik sehingga melanggar norma-norma yang ada dalam masyarakat.

B. Faktor Penyebab Tunalaras


Penyebab kentunalarasan menurut Sutjihati Somantri (2007), meliputi:
a. Kondisi atau Keadaan Fisik
Gunzburg menyimpulkan bahwa disfungsi kelenjar endokrin merupakan salah satu
penyebab timbulnya kejahatan. Kelenjar endokrin ini mengeluarkan hormon yang
mempengaruhi tenaga seseorang. Bila terus-menerus fungsinya mengalami gangguan,
maka dapat berakibat terganggunya perkembangan fisik dan mental seseorang sehingga
akan berpengaruh terhadap perkembangan wataknya.
Kondisi fisik ini dapat berupa kelainan atau kecacatan baik tubuh maupun sensoris
yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Kecacatan yang dialami seseorang
mengakibatkan timbulnya keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan baik berupa
kebutuhan fisik-biologis maupun kebutuhan psikisnya.

b. Masalah Perkembangan
Erikson menjelaskan bahwa setiap memasuki fase perkembangan baru, individu
dihadapkan pada berbagai tantangan atau krisis emosi. Anak biasanya dapat mengatasi
krisis emosi ini jika pada dirinya tumbuh kemampuan baru yang berasal dari adanya proses
kematangan yang menyertai perkembangan. Apabila ego dapat mengatasi krisis ini, maka
perkembangan ego yang matang akan terjadi sehingga individu dapat mnyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Sebaliknya apabila individu tidak berhasil menyelesaikan masalah
tersebut maka akan menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku. Konflik emosi ini
kerap terjadi pada masa kanak-kanak dan pubertas.
Adapun ciri yang menonjol pada masa kritis ini adalah sikap menentang dan keras
kepala. Anak jadi marasa tidak puas dengan otoritas lingkungan sehingga timbul gejolak
emosi yang meledak-ledak, misalnya: marah, menentang, memberontak, dan keras kepala.

c. Lingkungan Keluarga
Keluarga adalah peletak dasar perasaan aman (emitional security) pada anak, dalam
keluarga pula anak memperoleh pengalaman pertama mengenai perasaan dan sikap sosial.
Lingkungan keluarga yang tidak mampu memberikan dasar perasaan aman dan dasar untuk
perkembangan sosial dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku pada anak.
Faktor yang terdapat dalam keluarga yang berkaitan dengan gangguan emosi dan tingkah
laku, diantaranya yaitu kurangnya kasih sayang dan perhatian orang tua, kurangnya
keharmonisan dalam keluarga, dan ekonomi yang tidak baik.

d. Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan tempat pendidikan yang kedua bagi anak setelah keluarga.
Tanggung jawab sekolah tidak hanya sekedar membekali anak didik dengan sejumlah ilmu
pengetahuan, tetapi sekolah juga bertanggung jawab membina kepribadian anak didik
sehingga menjadi individu dewasa yang bertanggung jawab baik terhadap dirinya sendiri
maupun terhadap masyarakat yang lebih luas. Akan tetapi sekolah tidak jarang menjadi
penyebab timbulnya gangguan tingkah laku pada anak akibat hubungan sosial guru dan
murid yang kurang harmonis, tuntutan kurikulum yang tidak sesuai dengan tingkat
perkembangan anak, hubungan antarteman sebaya yang kurang baik.

e. Lingkungan Masyarakat
Menurut Bandura, salah satu hal yang nampak mempengaruhi pola perilaku anak dalam
lingkungan sosial adalah keteladanan, yaitu menirukan perilaku orang lain. Disamping
pengaruh-pengaruh yang bersifat positif, di dalam lingkungan masyarakat juga terdapat
banyak sumber yang merupakan pengaruh negatif ditambah hiburan yang tidak sesuai
dengan perkembangan jiwa anak merupakan sumber terjadinya kelainan tingkah laku. Hal
ini terutama terjadi di kota-kota besar dimana berbagai fasilitas, tontonan dan hiburan tidak
tersaring oleh budaya lokal.Faktor-faktor penyebab tunalaras dapat dikategorikan menjadi
dua bagian, yaitu faktor internal dan eksternal.

C. Karakteristik Tunalaras
Moh. Amin (1991) menyebutkan beberapa karakteristik pada anak tunalaras sebagai
berikut:

1) Karakteristik Akademik

a) Hasil belajar di bawah rata-rata; terutama pada membaca dan berhitung.

b) Sering berurusan dengan guru BK.


c) Tidak naik kelas.

d) Sering membolos.

e) Sering melakukan pelanggaran, baik di sekolah maupun di masyarakat, dan lain-


lain.

2) Karakteristik Sosial dan Emosional


a) Karakteristik Sosial (menimbulkan gangguan bagi orang lain):
(1) Perilaku tidak diterima oleh masyarakat, biasanya melanggar norma
budaya.
(2) Perilaku itu bersifat menggangu, dan dapat dikenai sanksi oleh kelompok
sosial.
(3) Perilaku yang ditandai dengan tindakan agresif, yaitu :
(a) Tidak mengikuti aturan.
(b) Bersifat mengganggu.
(c) Bersifat membangkang dan menentang.
(d) Tidak dapat bekerjasama.
(4) Melakukan tindakan yang melanggar hukum dan kejahatan remaja.

b) Karakteristik Emosional
(1) Hal-hal yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya, misalnya tekanan
batin dan rasa cemas.
(2) Ditandai dengan rasa gelisah, rasa malu, rendah diri, ketakutan dan sifat
perasa/sensitif.

3) Karakteristik Fisik/Kesehatan
Pada anak tuna laras umumnya masalah fisik/ kesehatan yang dialami berupa
gangguan makan, gangguan tidur atau gangguan gerakan. Umumnya mereka merasa ada
yang tidak beres dengan jasmaninya, ia mudah mengalami kecelakaan, merasa cemas
pada kesehatannya, seolah-olah merasa sakit, dll. Kelainan lain yang berupa fisik yaitu
gagap, buang air tidak terkontrol, sering mengompol, dan lain-lain

D. Klasifikasi Tunalaras
Samuel A. Kirk dan James J. Gallagher (Moh. Amin, 1991) mengemukakan
klasifikasi kelainan perilaku yang dikemukakan oleh sebagai berikut:
a. Anak yang mengalami gangguan perilaku yang kacau (conduct disorder) mengacu
pada tipe anak yang melawan kekuasaan/ aturan, seperti bermusuhan dengan polisi
dan guru, kejam, jahat, suka menyerang, dan hiperaktif.
b. Anak yang cemas menarik diri (anxious-withdraw) adalah anak yang pemalu, takut-
takut, suka menyendiri, peka dan penurut serta tertekan batinnya.
c. Dimensi ketidakmatangan (immaturity) mengacu pada anak yang kurang atau tidak
ada perhatian, lambat, tidak berminat sekolah, pemalas, suka melamun dan
pendiam.
d. Anak agresi sosialisasi (socializ aggressive) mempunyai ciri atau masalah perilaku
yang sama dengan gangguan perilaku dalam bersosialisasi dengan “geng” tertentu.
Anak tipe ini termasuk dalam perilaku pencurian dan pembolosan serta merupakan
suatu bahaya bagi masyarakat umum.

E. Pendidikan Anak Tunalaras


Bentuk pendidikan anak berkebutuhan khusus tunalaras dapat diselenggarakan di
SLB khusus untuk anak tunalaras yaitu (SLB-E). Dalam pelaksanaannya, macam-macam
bentuk penyelenggaraan pendidikan anak berkebutuhan tunalaras atau gangguan emosi dan
perilaku adalah sebagai berikut.

a. Penyelenggaraan bimbingan serta penyuluhan di sekolah regular. Misalnya saja di


sekolah regular terdapat murid atau anak yang menunjukan gejala kenakalan ringan atau
gangguan emosi maka para pembimbing harus segera memperbaikinya. Mereka masih
tetap tinggal di sekolah tersebut bersama-sama dengan kawannya di kelas, namun anak
tunalaras tersebut akan diberi perhatian dan juga layanan khusus.

b. Menyediakan kelas khusus bagi anak berkebutuhan khusus tunalaras jika mereka perlu
belajar terpisah dari teman-temannya satu kelas. Kemudian, pembimbing dapat
mempelajari gejala-gejala gangguan emosi maupun gangguan perilaku yang dialami
anak. Kelas khusus tersebut ada pada setiap sekolah dan juga masih merupakan bagian
dari sekolah tersebut. Kelas khusus bagi anak tunalaras tersebut dipegang oleh seorang
pendidik dengan latar belakang PLB atau pembimbing maupun penyuluh yaitu seorang
guru yang cakap dan mampu mendidik anak berkebutuhan khusus tunalaras.

c. Sekolah Luar Biasa (SLB) bagian tunalaras tanpa asrama yang ditujukan untuk anak
berkebutuhan khusus tunalaras yang proses belajarnya perlu dipisahkan dengan teman
yang lainnya karena gangguan emosi dan gangguan perilaku yang dialaminya sudah
cukup berat atau bahkan merugikan teman seusianya.

d. Sekolah dengan asrama. Sekolah ini ditujukan bagi anak berkebutuhan khusus yang
kenakalannya sudah terlampau berat, sehingga mereka harus dipisahkan dengan teman
maupun orangtua mereka. Oleh sebab itulah mereka harus dikirim ke asrama untuk
mendapatkan pendidikan. Hal ini juga bermaksud agar anak secara kontinyu bisa terus
mendapatkan pendidikan dan bimbingan. Adanya asrama untuk anak berkebutuhan
khusus tunalaras adalah sebagai keperluan penyuluhan.

F. Peran Teknologi Pendidikan dalam Pendidikan Anak Tunalaras


a. Media
Kebanyakan anak tunalaras sulit dalam memperhatikan orang lain, sehingga
dibutuhkan sebuah media pembelajaran yang menarik mereka untuk belajar. Media
yang menarik ini juga sebaalangkah baiknya dapat sesuai dengan tingkat
perkembaangan anak, misalnya alat peraga berhitung untuk siswa kelas 2 SD.
Walau begitu, mereka lebih perlu untuk selalu mendapat pendampingan/instruktur
dalam pembelajarannya, tidak terkecuali dalam penerapan media pembelajaran.
b. Metode dan Strategi
1) Metode Pembelajaran.
Anak tunalaras yang pada dasarnya memiliki masalah dalam bersosialisasi
dengan masyarakat pada umumnya tentu membutuhkan metode belajar yang
dapat memfasilitasi mereka dalam belajar bersosialisasi, misalnya metode dan
strategi diskusi, kolaborasi, kerja kelompok, praktik dan permainan.
Pada metode diskusi, memungkinkan peserta didik yang introvert dapat
bertukarpikiran dengan peserta didik lainnya, juga peserta didik yang keras
kepala dapat belajar menghargai pendapat dan bantuan temannya. Sedangkan
metode permainan dan praktisi memungkinkan untuk dapat memberi perhatian
belajar serta menyalurkan emosi dan tenaga peserta didik ke arah yang lebih
positif. Sehingga diharapakan peserta didik dapat belajar dengan lingkungan
sosial sekaligus belajar bagaimana cara bersosialisasi.
2) Usaha rasionalisasi
Usaha rasionalisasi diperuntukkan anak tunalaras yang dikategorikan ringan
dan sedang, dengan harapan anak dapat menyadari perilaku mereka yang
kurang baik. Metode ini dapat dilakukan dalam kelompok (kelas, ESQ) atau
pun dengan privat (face do face, BK) dengan melibatkan berbagai bagian
lingkungan (keluarga, masyarakat, sekolah) untuk membantu pemulihan.
3) Behavioristik
Pendekatan ini digunakan ketika anak sudah dirasa sulit untuk diajak berfikir
secara rasional. Anak tetap diajarkan untuk berperilaku baik walau
menggunakan pendekatan behavioristik, yaitu pemanfaatan teori stimulus dan
respons. Anak diberi tawaran untuk berbuat baik, tapi dengan suatu imbalan
tertentu.
c. Kurikulum
Selain penyesuain metode dan media, untuk menangani peserta didik yang
tunalaras juga dapat dengan cara mengoptimalkan bimbingan, baik oleh guru wali
kelas atau pun tenaga BK.

 Penataan ruang kelas; 3 sampai 12 orang dalam 1 kelas


Idealnya dalam 1 kelas terdpat anak tunalaras ringan, berisi 3 sampai 12
orang. Sistem meja yang biasanya 1 orang 1 bangku, akan lebih baik jika 1
bangku 2 atau 3 orang. Sehingga dapat menfasilitasi siswa dalam
bersosialisasi dengan catatan anak yang tunalaras tidak boleh bergerombol
 jenis Permainan Bagi Anak Tunalaras
Adapun jenis permainan yang akan diberikan kepada anak tunalaras
disesuaikan dengan permasalahan dan minat serta bakat anak. Permainan
bagi anak tunalaras sebaiknya diarahkan kepada sasaran terapi untuk
mereka, antara lain : permainan aktif sacara fisik misalnya dilakukan pada
mata pelajaran olahraga dangan menggunakan alat atau tanpa alat.
Diantaranya sebagai berikut :
1. Permainan yang menggunakan alat, misalnya : sepak bola, lempar
lembing, lempar cakram,badminton, permainan musik, seni lukis,
permainan warna dan lain sebagainya.
2. Permainan tanpa alat, antara lain gulat, boxing, permainan tebak-
tebakan, permainan imajinasi, permainan drama, permainan bahasa,
permainan matematika, dan lain sebagainya.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Secara definitif anak dengan gangguan emosi dan perilaku adalah anak yang mengalami
kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang
berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya, sehingga
merugikan dirinya maupun orang lain, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus
demi kesejahteraan dirinya maupun lingkungannya.

Program layanan pendidikan untuk anak dengan gangguan emosi dan perilaku di sekolah
dasar hendaknya mulai dirintis untuk menjawab kemungkinan keberadaan mereka di sana.
Peningkatan kemampuan identifikasi guru terhadap keberadaan anak-anak ini menjadi prasyarat
mutlak yang diperlukan dalam pengelolaan gangguan emosi dan perilaku sekaligus untuk
merancang program pendidikan dan pembelajaran yang sesuai untuk mereka di lingkungan
sekolah dasar. Beberapa fase dari proses identifikasi akan melibatkan praktisi atau profesional lain
yang berkaitan dengan anak mengalami gangguan emosi dan perilaku.
DAFTAR PUSTAKA

A. K. Wardani, dkk. 2011. Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Universitas Terbuka.
https://bisamandiri.com/blog/2014/11/pendidikan-khusus-untuk-anak-tunalaras

https://eprints.uny.ac.id/9896/2/BAB%202%20-%200810324907.pdf

Mohammad Effendi. 2009. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. PT Bumi Aksara.


Jakarta, h. 143

Siti Chalidah. 2005. Terapi Permainan Bagi Anak Yang Memerlukan Layanan Pendidikan
Khusus. Jakarta: Depdikbud

https://sintadewi250892.wordpress.com/2014/11/28/tunalaras/

http://staffnew.uny.ac.id/upload/132318126/pengabdian/ppm-presentasi-pra-yuwana-
2010.pdf

http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Aini%20Mahabbati,%20S.Pd.,%20M.A./
4.siap%20print%20materi%20patl.pdf

Sunardi,dkk. 2009. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Secara Inklusif. Jakarta:


Universitas Sebelas Maret
MAKALAH
PENDIDIKAN INKLUSI
“ANAK PENYANDANG AUTISME”

Dosen Pengampu :
Dr. Hermanto S.Pd., M.Pd

Disusun Oleh:
Luh Putu Kintania M. S. D. 16105241017
Rofi Istifaroh 16105241018
Muhammad Ihsanuddin 16105241025
I Gusti Agung Made R. N. 16105241042

Teknologi Pendidikan B

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN


JURUSAN KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Autisme
World Health Organization’s International Classification of Diseases (ICD-10)
mendefinisikan autisme khususnya childhood autism sebagai adanya keabnormalan dan
atau gangguan perkembangan yang muncul sebelum usia tiga tahun dengan tipe
karakteristik tidak normalnya tiga bidang yaitu interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku
yang diulang-ulang (World Health Organozation, h. 253, 1992).
Penyandang autisme tidak dapat berhubungan dengan orang lain secara berarti,
serta kemampuannya untuk membangun hubungan dengan orang lain terganggu karena
ketidak mampuannya untuk berkomunikasi dan mengerti perasaan orang lain penyandang
autis memiliki gangguan pada interaksi sosial, komunikasi (baik verbal maupun non-
verbal), imajinasi, pola perilaku repetitive dan resistensi terhadap perubahan pada rutinitas.

B. Anak Autis
Anak autis termasuk salah satu jenis Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang
mengalami gangguan neurobiologis dengan adanya hambatan fungsi syaraf otak yang
berhubungan dengan fungsi komunikasi, motorik sosial dan perhatian. Hambatan yang
dialami anak autis merupakan kombinasi dari beberapa gangguan perkembangan syaraf
otak dan perilaku siswa yang muncul pada tiga tahun pertama usia anak.

C. Karakteristik Anak Autis


karakteristik penderita adalah : Harus ada sedikitnya 6 gejala dari butir (1), (2),
dan(3), dengan minimal 2 gejala dari butir (1) dan masing-masing 1 gejala dari butir (2)
dan (3) dibawah ini.
1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik.Tak mampu
menjalin interaksi sosial yang cukup memadai : kontak mata sangat kurang,
ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik yang kurang tertuju.
a. Tak bisa bermain dengan teman sebaya.
b. Tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain.
c. Kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.
2. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi
a. Bicara terlambat atau bahkan sama sekali takberkembang (dan tidak ada
usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa bicara)
b. Bila bisa bicara, bicara tidak dipakai untuk komunikasi
c. Sering menggunakan bahasa aneh yang diulang-ulang
d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang bisa meniru
3. Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulangdari perilaku, minat, dan
kegiatan.
a. Mempertahankan satu minat atau lebih, dengan cara yang sangat khas dan
berlebih-lebihan.
b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tak ada
gunanya.
c. Ada gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang.
d. Seringkali terpukau pada bagian-bagian benda.
Bila gejala autisme dapat dideteksi sejak dini dan kemudian dilakukan
penanganan yang tepat dan intensif, kita dapat membantu anak autis untuk perkembang
secara optimal.

D. Klasifikasi Anak Autis


Klasifikasi Autisme dapat dibagi berdasarkan berbagai pengelompokan kondisi
1. Klasifikasi berdasarkan saat munculnya kelainan
a. Autisme infantil; istilah ini digunakan untuk menyebut anak autis yang kelainannya
sudah nampak sejak lahir
b. Autisme fiksasi; adalah anak autis yang pada waktu lahir kondisinya normal, tanda-
tanda autisnya muncul kemudian setelah berumur dua atau tiga tahun
2. Klasifikasi berdasarkan intelektual
a. Autis dengan keterbelakangan mental sedang dan berat (IQ dibawah 50). Prevalensi
60% dari anak autistik
b. Autis dengan keterbelakangan mental ringan (IQ 50-70) Prevalensi 20% dari anak
autis
c. Autis yang tidak mengalami keterbelakangan mental (Intelegensi diatas 70)
Prevalensi 20% dari anak autis
3. Klasifikasi berdasarkan interaksi sosial:
a. Kelompok yang menyendiri; banyak terlihat pada anak yang menarik diri, acuh tak
acuh dan kesal bila diadakan pendekatan sosial serta menunjukkan perilaku dan
perhatian yang tidak hangat
b. Kelompok yang pasif, dapat menerima pendekatan sosial dan bermain dengan anak
lain jika pola permainannya disesuaikan dengan dirinya
c. Kelompok yang aktif tapi aneh : secara spontan akan mendekati anak yang lain,
namun interaksinya tidak sesuai dan sering hanya sepihak.
4. Klasifikasi berdasarkan prediksi kemandirian:
a. Prognosis buruk, tidak dapat mandiri (2/3 dari penyandang autis)
b. Prognosis sedang, terdapat kemajuan dibidang sosial dan pendidikan walaupun
problem perilaku tetap ada (1/4 dari penyandang autis)
c. Prognosis baik; mempunyai kehidupan sosial yang normal atau hampir normal dan
berfungsi dengan baik di sekolah ataupun ditempat kerja. (1/10 dari penyandang
autis)
E. Kurikulum bagi Penyandang Autis

Sejalan dengan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum tingkat satuan


pendidikan yang antara lain adalah: berpusat pada potensi anak, perkembangan, kebutuhan,
dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya, maka :
1. Kurikulum dikembangkan secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan setiap individu
anak autis Kurikulum harus disesuaikan dengan kemampuan anak masing-masing.
Kurikulum di individualkan (IEP).
2. Pengembangan kurikulum beragam dan terpadu artinya memperhatikan keragaman
karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta
menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat
istiadat, status sosial, ekonomi dan jender.
3. Pengembangan kurikulum harus relevan dengan kebutuhan kehidupan, artinya
pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berfikir, keterampilan sosial,
keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keharusan untuk
memenuhi kebutuhan kehidupannya.
4. Kurikulum untuk anak autis pada umumnya meliputi 5 bidang, yaitu bidang
akademik, sensori motor, komunikasi, perilaku adaptif dan kurikulum vokasional.
F. Media Visual bagi Penyandang Autis
Media adalah segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan
pesan atau informasi (AECT, 1977 dalam Arsyad, 2010: 3). Mengingat bahwa pada
umumnya anak autis memiliki karakteristik yang spesifik yang berkaitan dengan tingkat
perkembangan fungsional. Tingkat perkembangan tersebut meliputi kemampuan dasar
kognitif, komunikasi/ bahasa, bina diri dan sosialisasi, sehingga sebelum pembelajaran
diberikan pada anak autis, terlebih dahulu seorang guru harus mengetahui karakteristik
anak tersebut dengan melakukan asesmen (Delphie, 2006: 1). Hal ini bertujuan agar
pemilihan media pembelajaran untuk anak autis tepat sesuai dengan kebutuhan anak.
Selain itu, anak autis lebih memahami suatu materi dengan penjelasan yang bersifat
konkret daripada abstrak.
Seperti penelitian yang dilakukan Dale (1969), menyatakan pemerolehan hasil
belajar melalui indera pandang dan indera dengar sangat menonjol perbedaannya. Dale
memperkirakan bahwa pemerolehan hasil belajar melalui indera pandang berkisar 75%,
melalui indera dengar sekitar 13%, dan melalui indera lainnya sekitar 12% (Arsyad, 2010:
10). Penelitian tersebut membuktikan bahwa media pembelajaran memberikan pengaruh
besar terhadap proses belajar anak, teutama pada anak berkebutuhan khusus, seperti anak
autis yang memiliki kemampuan kognitif yang kurang terhadap sesuatu yang ada di
sekitarnya. Banyak jenis media pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses
belajar. Media visual adalah salah satu jenis media pembelajaran yang dapat digunakan
media dalam proses belajar pada anak autis. Media visual ini dapat memperlancar
pemahaman dan memperkuat ingatan. Selain itu media visual dapat pula menumbuhkan
minat anak dan dapat memberikan hubungan antara isi materi pelajaran dengan dunia nyata
(Arsyad, 2010: 91). Media visual tersebut dapat berupa gambar benda yang mirip dengan
benda aslinya. Keefektivan penggunaan media visual dalam pembelajaran tidak terlepas
dari pemahaman guru terhadap keragaman dan karakteristik dari media yang akan
digunakan. Pemilihan dan penggunaan media tersebut hendaknya disesuaikan dengan
tujuan pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai. Sehingga perlu adanya tinjauan
lebih lanjut dalam penggunaan media visual yang dipilih sebagai media pembelajaran pada
anak autis di kelas V untuk menanamkan pemahaman materi yang diajarkan. Terutama
pada materi mata pelajaran tertentu, yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, PKN, IPA dan
IPS yang merupakan mata pelajaran pilihan yang perlu disiapkan sejak awal di kelas V
untuk menghadapi ujian nasional pada kelas selanjutnya.
PENDIDIKAN INKLUSI

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS TUNANETRA


Dosen Pembimbing : Dr. Hermanto S.Pd, M.Pd

Disusun Oleh :

Cerlivia Leona Dewi A (16105241019)

Faizal Febri (16105241041)

Anita Saraswati (16105244019)

Angga Catur Laksana (16105241044)

Hangga Cahyanto (16105241045)

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN

JURUSAN KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mata adalah salah satu organ tubuh terpenting dalam kehidupan. Karena dalam
beraktivitas manusia pada umumnya selalu menggunakan nata untuk melihat, dengan mata
kita dapat menlihat dan mengetahui segala sesuatu dengan lebih baik. Tetapi manusia
diciptakan berbeda beda, ada anak dengan mata normal dan tidak normal.
Anak dengan gangguan penglihatan atau biasa disebut anak tunanetra adalah anak
yang indera penglihatannya tidak bergfungsi sebagaimana mestinya. Dalam melaksanakan
pembelajaran, pengetahuan tentang teori dan prinsip-prinsip belajar dapat membantu guru
dalam memilih tindakan yang tepat untuk anak yang berkebutuhan khusus. Guru dapat
memilih tindakan yang tepat dalam pembelajaran agar anak dengan kebutuhan khusus
dapat terproses dengan baik sebagaimana mestinya.
Akan tetapi masih banyak Anak Tunanetra yang tidak mendapat pelayanan
pendidikan yang layak dan tepat, bahkan mereka tidak diterima di sekolah - sekolah umum
dengan alasan tidak bisa memberikan layanan pendidikan dan fasilitas yang memadai
untuk anak tunanetra. Anak tunanetra seharusnya mendapat media dan metode
pembelajaran yang tepat sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak agar anak tetapi
bisa berkembang dalam bidang keilmuan.
Oleh karena itu, para calon pendidik perlu mengetahui tentang hal-hal yang
berkaitan dengan anak berkebutuhan khusus.Agar mampu menyalurkan pendidikan dan
menerapkan strategi pembelajaran yang sesuai kepada anak berkebutuhan
khusus/tunanetra
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tunanetra?
2. Bagaimana klasifikasi tunanetra?
3. Bagaimana penyelengaraan pendidikan bagi anak tunanetra saat ini?
4. Bagaimana kebutuhan anak tunanetra di masa mendatang?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi Tunanetra.
2. Untuk mengetahui klasifikasi Tunanetra.
3. Untuk mengetahui bagaimana penyelenggaraan pendidikan bagi anak tunanetra
saat ini?
4. Untuk mengetahui kebutuhan anak tunanetra di masa mendatang
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Anak Tunanetra
Anak tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya (keduanya) tidak berfungsi
sebagai saluran informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas (Soemantri).
Tunanetra adalah mereka yang mengalami gangguan hambatan penglihatan secara signifikan
(Humairo, 2013)
Dalam hal ini, tunanetra tidak hanya diartikan mereka yang sepenuhnya tidak bisa melihat
atau buta, tetapi juga mencakup mereka yang melihat, namun sangat terbatas dan kurang dapat
diandalkan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga yang disebut sebagai anak tunanetra
tersebut mencakup semua yang “setengah melihat”, “low vision”, ataupun rabun.
Ada beberapa kondisi anak-anak dengan gangguan penglihatan, diantaranya:
1. Ketajaman penglihatan yang kurang dari ketajaman orang awas
2. Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu
3. Posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak
4. Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan

Berdasarkan acuan tersebut, maka anak tunanetra dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok besar yaitu:
1. Buta
Anak dikatakan buta apabila sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar
(visus=0)
2. Low vision
Anak dikatakan low vision bila masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi
yang ketajamannya lebih dari 6/21, atau anak hanya mampu membaca headline surat kabar.
B. Klasifikasi Tunanetra
Pengelompokkan jenis tunanetra ada beberapa macam, dilihat dari aspek-aspek tertentu.
Beberapa dari klasifikasinya adalah, antara lain:
1. Berdasarkan tingkat ketajaman
a. Kurang lihat (6⁄20 m - 6⁄60 m atau 20⁄70 feet - 20⁄200 feet)
b. Buta (6⁄60 m atau 20⁄200 feet/kurang)
c. Buta total (visus 0)
2. Berdasarkan saat terjadinya
a. Sebelum dan sejak lahir
b. Batita
c. Balita
d. Pada usia sekolah
e. Remaja
f. Dewasa
3. Berdasarkan adaptasi pendidikan
a. Ketidakmampuan melihat taraf sedang (moderate visual disability)
b. Ketidakmampuan melihat taraf berat
c. Ketidakmampuan melihat taraf sangat berat
C. Pendidikan Anak Tunanetra
Kajian ilmu tentang pembelajaran anak tunanetra saat ini sudah cukup luas. Berkaitan
dengan hal itu, berikut ini adalah beberapa kebutuhan dan layanan pendidikan bagi
tunanetra.
1. Anak tunanetra membutuhkan layanan khusus meliputi: latihan membaca dan menulis
huruf braile, penggunaan tongkat, orientasi dan mobilitas, serta latihan visual atau
fungsional penglihatan.
Hal ini dikarenakan anak tunanetra perlu memaksimalkan indera-indera yang masih
berfungsi (selain indera penglihatan) untuk modal mereka belajar. Ketika anak
tunanetra tidak bisa membaca dan menulis huruf braile, maka mereka dikatakan buta
huruf. Dan juga akses mobilitas mereka yang tidak bisa seleluasa anak biasa, maka
mereka perlu diberi pembelajaran mengenai penggunaan tongkat, orientasi dan
mobilitas.
2. Layanan pendidikan bagi anak tunanetra dapat dilaksanakan melalui sistem segregasi,
yaitu secara terpisah dari anak awas dan integrasi atau terpadu dengan anak awas di
sekolah biasa. Tempat segregasi meliputi: sekolah khusus (SLB A), SDLB, dan kelas
jauh.
Pembelajaran yang saat ini berlangsung ada dua layanan yaitu terpisah dan terpadu.
Khususnya pembelajaran terpadu, disini anak tunanetra akan berbaur dengan anak
awas. Lingkungan pembelajaran terpadu, termasuk guru, teman sebaya, sarana
prasarana dan metode belajar yang digunakan mempunyai andil besar dalam
keberhasilan belajar anak tunanetra.
3. Strategi pembelajaran bagi anak tunanetra sama dengan anak awas, hanya dalam
pelaksanaannya memerlukan modifikasi sehingga materi pelajaran dapat diterima oleh
anak tunanetra melalui indera-indera yang masih berfungsi.
Apabila dalam kelas reguler biasa menggunakan papan tulis, hal itu tidak akan
membantu siswa tunanetra dalam belajar. Maka, di kelas tunanetra, guru akan banyak
menggunakan ceramah. Ceramah dapat diikuti tunanetra karena dalam pelaksanaannya
guru menyampaikan materi pelajaran dengan penjelasan lisan dan siswa mendengar
penyampaian materi dari guru
.Beberapa metode lain yang dapat digunakan antara lain:
a. Tanya jawab, merupakan tambahan dari metode ceramah yang menggunakan
indera pendengaran.
b. Diskusi, metode ini bias diikuti tanpa menggunakan indera pengelihatan.
c. Sorogan, adanya bimbingan langsung dari guru pada anak didik dan seorang
guru dapat mengetahui langsung sejauh mana anak didiknya dalam memahami
suatu materi pelajaran.
d. Bandongan, dalam pengajaran kitab atau Al-Qur’an. Intinya guru memberikan
materi penjelasan kepada anak didik tidak secara perorangan.
e. Drill, latihan atau praktek secara langsung, menggunakan media yang
mendukung.
4. Pembelajaran anak tunanetra terdapat prinsip-prinsip: individual, pengalaman
penginderaan, totalitas, dan aktivitas mandiri.
5. Menurut fungsinya, media pembelajaran dibedakan menjadi 2:
a. Media untuk menjelaskan konsep atau alat peraga yang meliputi objek, atau situasi
sebenarnya, benda asli yang diawetkan, tiruan (2D/3D)
b. Alat bantu pembelajaran meliputi alat bantu menulis huruf braile (reglet pen, dan
mesin ketik), alat bantu membaca (papan huruf dan optacon), alat bantu berhitung
(sempoa, speech calculator) serta alat bantu audio (tape recorder)

Ada pula kurikulum pembelajaran yang dibuat untuk anak tunanetra, seperti:
1. Kurikulum yang diperuntukkan bagi siswa pada umumnya seperti bahasa, seni,
matematika, dan IPS.
2. Kurikulum yang dapat memenuhi kebutuhan khususnya seperti keterampilan
kompensatoris, keterampilan interaksi sosial, dan keterampilan pendidikan karir.

Model pendidikan anak tunanetra yang digunakan saat ini antara lain pendidikan khusus
(SLB), pendidikan terpadu,guru kunjung, dan pendidikan inklusi. Selain itu, anak tunanetra
juga membutuhkan strategi khusus dalam pembelajaran, seperti:
1. Membutuhkan pengalaman nyata
Siswa dapat mengenali obyek melalui benda yang dapat disentuh sehingga dapat
mengetahui kualitas bentuk, ukuran, dan orientasi yang tidak dapat dipahami.
2. Membutuhkan kesamaan pengalaman
Agar mendapatkan pandangan yang menyeluruh siswa berkelainan penglihatan perlu
diberi pengalaman yang sistematis melalui indra orang lain.
3. Membutuhkan belajar sambil bekerja
Siswa harus dijalin supaya aktif terlibat dalam proses pembelajaran.

D. Kebutuhan Anak Tunanetra


Walaupun saat ini telah terselenggara pendidikan untuk anak tunanetra, namun hal itu
bukan menjadi jaminan bahwa semua anak tunanetra mendapatkan pendidikan yang ideal.
Data dari Depdiknas tahun 2000 menyebutkan jumlah anak tunanetra yang bersekolah
hanya sebesar 0,87%. Padahal jumlah penyandang tunanetra di Indonesia saat ini mencapai
lebih dari 3,5 juta jiwa. Ini berarti, pendidikan bagi anak tunanetra saat ini belum merata
sepenuhnya.
Ada beberapa hal yang menghambat anak tunanetra memperoleh pendidikan, diantaranya:
1. Sekolah khusus bagi tunanetra yang jaraknya jauh dari tempat tinggal.
Keterbatasan ini juga menjadi kendala, mengingat mobilitas tunanetra yang lebih
terbatas daripada orang pada umumnya.
2. Keluarga tidak mampu untuk menyekolahkan di sekolah khusus karena terkendala
biaya.
Penyelenggaraan pendidikan bagi anak tunanetra saat ini membutuhkan biaya yang
jauh lebih besar. Bagi tunanetra yang lahir di keluarga tidak mampu, hal ini tentu
menjadi penghambat.
3. Kurangnya wawasan masyarakat tentang sekolah inklusi
Walaupun saat ini telah terselenggara pendidikan inklusi, atau satu sekolah untuk
semua, hal ini bukan berarti pemerataan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan
khusus bisa terlaksana. Sosialisasi sekolah inkusi masih sangat terbatas. Terlebih lagi,
sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusi memerlukan penyesuaian
lingkungan dalam pelaksanaannya. Sehingga, tidak semua sekolah dapat
melaksanakannya. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
No. 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi, disebutkan bahwa setidaknya dalam
satu kecamatan ada satu sekolah yang ditunjuk untuk melaksanakan pendidikan inklusi.
Namun, dengan kemudahan ini, faktanya masih banyak penyandang tunanetra yang
berdiam diri dan menutup diri di rumah.
Masih banyak lagi hal-hal yang menghambat pendidikan bagi tunanetra. Bagi kami,
mahasiswa teknologi pendidikan, tentu hal ini menjadi ironi yang nyata terjadi.
Kesenjangan yang ada antara anak tunanetra dan masyarakat luas, seperti jurang besar yang
semakin menciptakan trauma anak tunanetra untuk melangkah maju.
Beberapa gagasan kami yang dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi penyelenggaraan
pendidikan tunanetra antara lain adalah:
1. Kurikulum dibuat untuk menjawab kebutuhan mereka di masa mendatang (Kurikulum
progresif)
Kurikulum pembelajaran dibuat tidak semata-mata hanya untuk penguasaan materi
secara teori saja. Kurikulum yang dibuat diharapkan bisa mengakomodasi potensi yang
ada pada anak tunanetra dan dapat berguna bagi kebutuhan masa mendatang. Dalam
hal ini, anak tunanetra memerlukan pengetahuan dasar seperti bahasa, matematika,
IPA, IPS, seni, maupun olahraga. Di jenjang selanjutnya, mereka bebas menentukan
bidang mana yang mereka sukai, dan materi yang disampaikan bisa menyesuaikan
dengan kebutuhan masa yang akan datang.
2. Media pembelajaran yang digunakan mengakomodasi indera yang masih berfungsi
pada diri anak tunanetra
Karena keterbatasan siswa tunanetra dalam penglihatan, diharapkan media
pembelajaran dapat mengakomodasi indera lain seperti perabaan, pendengaran,
penciuman, dan pengecapan. Media konkret bisa membantu anak dalam
mempersepsikan pengetahuan. Selain media konkret, juga bisa digunakan media tiruan.
Contohnya, adanya relief peta Indonesia yang dapat menjelaskan bagian-bagian
tertentu yang digambarkan di relief hanya dengan menyentuhnya, melalui media audio.
Tak hanya relief, bisa pula mengenal tubuh manusia dengan tiruan dan audio tersebut.
3. Metode yang digunakan interaktif
Tidak hanya melibatkan multiindera, metodenya juga akan lebih interaktif ketika
terjadi komunikasi dua arah dari pengajar dan pebelajar. Dalam hal ini, pengetahuan
akan lebih tahan lama apabila dapat menimbulkan kesan positif bagi anak.
4. Motivasi
Motivasi adalah bagian penting bagi anak tunanetra. Pengajar dan masyarakat harus
dapat meyakinkan anak bahwa ia istimewa. Semua mempunyai kesempatan yang sama.
Sehingga anak dapat menjadi lebih percaya diri dan terdorong untuk belajar lebih giat.
Keadaan diri anak tunanetra yang terhambat penglihatannya, tidak lalu menjadikan anak
menjadi tidak mampu belajar. Anak tunanetra mempunyai potensi kecerdasan yang sama
seperti anak normal lainnya. Bahkan bisa lebih unggul dari anak normal. Yang
membedakan mereka hanyalah pada rangsang yang didapatnya dari indera mata. Meski
anak tunanetra tak dapat menerima rangsang cahaya, mereka bisa jadi lebih peka
lingkungan, dengan memaksimalkan indera lainnya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tunanetra adalah mereka yang memiliki keterbatasan dalam memfungsikan indera
penglihatannya. Baik mereka yang sepenuhnya buta ataupun low vision dapat masuk dalam
kelompok tunanetra. Dalam hal pendidikan, mereka mempunyai kesempatan yang sama
dengan anak-anak yang normal. Mereka adalah anak yang mempunyai potensi seperti
kebanyakan anak lainnya. Yang membedakan mereka dari anak lain adalah, keunikan
mereka dalam mengoptimalkan indera-indera lain selain indera penglihatan, untuk
mendapatkan pengalaman belajar.
Akses pendidikan bagi tunanetra saat ini juga tak terbatas hanya pada sekolah khusus
seperti SLB, namun juga telah terselenggara sekolah inklusi yang memungkinkan
terjadinya interaksi antara anak tunanetra dengan anak lainnya.
Meskipun begitu, pemerataan pendidikan bagi mereka yang berkebutuhan khusus,
terutama penyandang tunanetra masih tetap diperbaiki. Sehingga, hak belajar bagi mereka
penyandang disabilitas tetap terpenuhi.
B. Saran
Mengedukasi masyarakat untuk turut membantu anak tunanetra perlu dilakukan. Hal ini
dikarenakan dukungan moril dan motivasi dari lingkungan dapat lebih memaksimalkan
potensi yang ada pada anak tunanetra. Selain itu, di tingkat sekolah, anak juga perlu
diberi wawasan terhadap keunikan penyandang tunanetra ini dan bagaimana membantu
penyandang tunanetra berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini dilakukan supaya
fenomena bullying tidak terjadi karena kesenjangan kemampuan anak normal dan anak
tunanetra.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Nandiyah. 2012. “Bagaimana Mengajar Anak Tunanetra (Di Sekolah Inklusi)”.
Unwidha
Permendiknas RI no. 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi
Makalah
Pendidikan Inklusi Anak Tunarungu
Tugas mata kuliah Pendidikan Inklusi
Dosen : Dr. Hermanto, M.Pd.

Disusun :
Melisa Mawar Wati 16105241022

Prasetya Ningrum 16105241027

Bayu Samodro 16105241043

Bryanzano Ksawa T. 16105244013

David Rusdiyono 16105244016

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN

JURUSAN KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak tunarungu mengalami gangguan pendengaran sehingga memiliki hambatan
dalam perkembangan bahasa dan komunikasi. Sebagai akibatnya, mereka mengalami
kesulitan untuk menguasai bahasa, miskin kosakata, sulit mengartikan kata-kata abstrak.
Pada umumnya intelegensi anak tunarungu secara potensial sama dengan anak pada
umumnya, tetapi secara fungsional perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat
kemampuan bahasanya, keterbatasan informasi, dan kurangnya abstraksi anak.
Sesuai dengan karakteristiknya, anak tunarungu mengalihkan fungsi indra
pendengarannya pada indra penglihatan, sehingga informasi, pengetahuan dan
pengalamannya lebih banyak diperoleh melalui dari indra penglihatan. Dilihat dari kondisi
anak tunarungu diatas, anak tunarungu bisa dikatakan sebagai insan visual, maka lebih baik
apabila dalam proses pembelajaran di sekolah guru memberikan pengalaman langsung
melalui media pembelajran, misalnya dengan benda asli, tiruan, maupun gambar.

B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan tunarungu?
b. Apa saja penyebab anak tunarungu?
c. Apa saja klasifikasi tunarungu?
d. Bagaimana kondisi pendidikan anak tunarungu di Indonesia?
e. Bagaimana cara komunikasi anak tunarungu?
f. Bagaimana kurikulum, strategi dan media anak tunarungu?

C. Tujuan
a. Mengetahui engertian anak tunarungu
b. Mengetahui penyebab tunarungu
c. Mengetahui klasifikasi tunarungu
d. Mengetahui kondisi pendidikan anak tunarungu di Indonesia
e. Mengetahui Cara komunikasi anak tunarungu
f. Mengetahui kurikulum, strategi dan media anak tunarungu

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian anak tunarungu


Tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan
kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan tidak
berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengarannya , sehingga ia tidak dapat
menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak
terhadap kehidupannya secara kompleks. Secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda
dengan anak dengar pada umumnya, sebab orang akan mengetahui bahwa anak
menyandang ketunarunguan pada saat berbicara, anak tersebut berbicara tanpa suara atau
dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau bahkan tidak berbicara sama
sekali, anak tersebut hanya berisyarat.
Agar dapat diperoleh pengertian yang lebih jelas tentang anak tunarungu, berikut
ini dikemukakan definisi anak tunarungu oleh beberapa ahli. Menurut Dwijosumarto
(dalam Somantri 1990: 1), mengemukakan bahwa seseorang yang tidak atau kurang
mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua
kategori yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (low of hearing). Tuli adalah mereka yang
indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengaran
tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indera pendengarannya
mengalami kerusakan tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun
tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aids).
Selain itu, Salim (dalam Somantri 1984: 8), mengemukakan bahwa anak tunarungu
adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang
disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran
sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya. Ia memerlukan
bimbingan dan pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak.
Menurut Sastrawinata (1977: 10), berpendapat bahwa ada 2 macam definisi
mengenai ketunarunguan: Secara medis ketunarunguan berarti kekurangan atau kehilangan
kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan dan non-fungsi dari sebagian atau
seluruh alat-alat pendengaran. Dan secara pedagogis ketunarunguan ialah kekurangan atau
kehilangan pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembangan sehingga
memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus.

B. Penyebab tunarungu
Menurut Somad dan Hernawati (1995, hlm.32) secara umum penyebab
ketunarunguan dapat terjadi sebelum lahir (prental), ketika lahir (natal) dan sesudah lahir
(post natal). Banyak para ahli yang mengungkap tentang penyebab ketulian dan
ketunarunguan, tentu saja dengan sudut pandang yang berbeda dalam penjabarannya.
Trybus dalam Somad dan Hernawati (1995) mengungkapkan enam penyebab
ketunarunguan pada anak-anak di Amerika Serikat yaitu :
a) Faktor dalam Diri Anak
1) Keturunan dari salah satu kedua orangtuanya yang mengalami ketunarunguan.
Banyak kondisi genetik yang berbeda sehingga dapat menyebabkan
ketunarunguan. Transmisi yang disebabkan oleh gen yang dominan represif dan
berhubungan dengan jenis kelamin. Meskipun sudah menjadi pendapat umum
bahwa keturunan merupakan penyebab dari ketunarunguan, namun belum ada
kepastian berapa persen ketunarunguan yang disebabkan oleh faktor keturunan,
hanya perkiraan Moores dalam Somad dan Hernawati (1995) adalah 30 sampai 60
persen.
2) Ibu yang sedang mengandung menderita penyakit Campak Jerman (Rubella).
Penyakit Rubella pada masa kandungan tiga bulan pertama akan berpengaruh
buruk pada janin. Hardy Somad dan Hernawati (1995), melaporkan 199 anak-anak
yang ibunya terkena Virus Rubella selagi mengandung selama masa tahun 1964
sampai 1965, 50% dari anak-anak tersebut mengalami kelainan pendengaran.
Rubella dari pihak ibu merupakan penyebab yang paling umum yang dikenal
sebagai penyebab ketunarunguan dalam (Somad dan Hernawati 1995).
3) Ibu yang sedang mengandung menderita keracunan darah Toxaminia, hal ini bisa
menyebabkan kerusakan pada plasenta yang mempengaruhi terhadap
pertumbuhan janin. Jika hal tersebut menyerang syaraf atau alat-alat pendengaran
maka anak tersebut akan terlahir dalam keadaan tunarungu dalam (Somad dan
Hernawati 1995).
b) Faktor Luar dari anak
Menurut Somad dan Hernawati (1995, hlm.34) :
1) Anak mengalami infeksi pada saat dilahirkan atau kelahiran. Misal, anak terserang
Harpes Imlex, jika infeksi ini menyerang alat kelamin ibu dapat menular pada saat
anak dilahirkan. Demikian pula pada penyakit kelamin yang lain, dapat ditularkan
melalui terusan jika virusnya masih dalam keadaan aktif. Penyakit-penyakit yang
ditularkan kepada anak yang dilahirkannya dapat menimbulkan infeksi yang dapat
menyebabkan kerusakan pada alat-alat atau syaraf pendengaran.
2) Meningitis atau radang selaput otak, dari hasil penelitian para ahli ketunarunguan
yang disebabkan karena meningitis antara lain penelitian yang dilakukkan oleh
Vermon (1968), sebanyak 8,1%, Ries (1973), melaporkan 4,9%, sedangkan
Trybus (1985), memberikan keterangan sebanyak 7,33%.
3) Otitis media (radang pada bagian telinga tengah) adalah radang pada bagian
telinga tengah, sehingga menimbulkan nanah, dan nanah tersebut mengumpil dan
mengganggu hantaran bunyi. Jika kondisi ini kronis tidak segera diobati, penyakit
ini bisa menimbulkan kehilangan pendengaran yang tergolong ringan sampai
sedang. Otitis media adalah salah satu penyakit yang sering terjadi pada kanak-
kanak sebelum mencapai usia enam tahun. Anak-anak secara berkala harus
mendapat pemeriksaan dan pengobatan yang teliti sebelum memasuki sekolah
karena kemungkinan menderita otitis media yang menyebabkan ketunarunguan.
Ketunarunguan yang disebabkan oleh otitis media adalah tunarungu tipe
konduktif. Otitis media biasanya terjadi karena penyakit pernafasan yang berat
sehingga menyebabkan hilangnya pendengaran. Davis dan Flower dalam Somad
dan Hernawati (1995) mengatakan bahwa nanah yang ada di telinga bagian tengah
lebih sering yang menjadi penyebab hilangnya pendengaran dari pada yang
diturunkan oleh orangtua. Otitis media juga dapat ditimbulkan karena infeksi
pernafasan atau pilek dan penyakit anak-anak seperti campak.
4) Penyakit lain atau kecelakaan yang dapat mengakibatkan kerusakan alat-alat
pendengaran bagian tengah dan dalam.

C. Klasifikasi tunarungu
Menurut Sastrawinata (1977:12-13), klasifikasi anak tunarungu berdasarkan tingkat
gangguan sebagai berikut:
a. Ketunarunguan pada taraf 15-25 dB
Yaitu ketunarunguan taraf ringan. Anak tunarungu pada taraf ini masih dapat belajar
bersama anak-anak pada umumnya dengan pemakaian alat pembantu mendengar,
penempatan yang tepat dan pemberian-pemberian bantuan yang lain.
b. Ketunarunguan pada taraf 26-50 dB.,
Yaitu ketunarunguan taraf sedang. Anak tunarungu pada taraf ini sudah memerlukan
pendidikan khusus dengan latihan bicara, membaca ajaran dan latihan mendengar
dengan memakai alat pembantu mendengar.
c. Ketunarunguan pada taraf 51-75 dB.,
Yaitu ketunarunguan taraf berat. Anak tunarungu pada taraf ini sudah harus mengikuti
program pendidikan di sekolah luar biasa dengan mengutamakan pelajaran bahasa,
tetapi masih dapat dipakai dijalan-jalan raya untuk bunyi
klakson, dan suara-suara bising yang lain.
d. Ketunarunguan pada taraf 75 dB keatas.,
Yaitu ketunarunguan taraf sangat berat. Anak tunarungu pada taraf ini lebih
memerlukan program pendidikan kejuruan, meskipun pelajaran bahasa dan bicara
masih dapat diberikan kepadanya. Penggunaan alat pembantu mendengar biasa tidak
memberikan manfaat baginya.

Ciri-ciri anak tunarungu:


Menurut Sastrawinata (1977: 15-18), beberapa ciri-ciri umum yang
sering ditemukan pada anak tunarungu :

a) Dalam segi fisik: cara berjalannya kaku dan agak membungkuk,


gerakan matanya cepat, agak beringas, gerakan kaki dan tangannya
sangat cepat/lincah, pernafasannya pendek dan agak terganggu.
b) Dalam segi inteligensi: anak-anak tunarungu sukar dapat menangkap
pengertia yang abstrak, sebab untuk dapat menangkap pengertian
abstrak diperlukan pemahaman yang baik akan bahasa lisan maupun
bahasa tulisan.
c) Dalam segi emosi: emosi anak tunarungu selalu bergolak, di satu fihak karena
kemiskinan bahasanya, dan di lain pihak karena pengaruhpemgaruh dari luar yang
diterimanya.
d) Dalam segi social: perasaan rendah diri, perasaan cemburu, dan kurang dapat
bergaul.
e) Dalam segi bahasa: miskin dalam kosa kata, sulit mengartikan
ungkapan-ungkapan bahasa yang mengandung arti kiasan, sulit
mengartikan kata-kata abstrak, kurang menguasai irama dan gaya
bahasa.

D. Kondisi pendidikan anak tunarungu di Indonesia


Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin
keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban
untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa
terkecuali termasuk warga yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti
yang tertuang pada pasal 31 (1). Namun sayangnya, sistem pendidikan di Indonesia belum
mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga
pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan
baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Jelas segmentasi para siswa untuk dapat
belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat.
Kemajuan dalam bidang teknologi komunikasi dan informasi dapat mendoorong
terjadinya persaingan yang semakin tajam. Hal ini mengharuskan setiap penggerak
pendidikan maupun organisasi sosial, utamanya yang berkecimpungan dalam
pendampingan sosial lainnya, hendaknya memiliki keunggulan komparatif dalam praktek
pendampingan terhadap kaum tunarungu. Pola pendampingan dan pendidikan yang tepat
dan bermartabat akan menghantarkan kaum tunarungu ke masa depan yang cerah. Namun,
permasalahannya adalah pelaksanaan pendidikan dan atau rehabilitasi bagi anak tunarungu
dibeberapa lembaga pendidikan dan panti hingga saat ini, nampaknya belum semua dapat
menghantarkan lulusannya sejajar dengan teman-teman sebayanya yang mendengar. Hal
ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain kualitas tenaga kependidikan, kualitas
LPTK penghasil guru SLB, kurikulum dan sistem pembelajarannya, sarana dan prasarana,
pemerintah yang berpihak kepada masyarakat yang cacat, kompetensi, birokrasi yakni
birokrasi yang mengabdi secara profesional dan yang tidak kalah pentingnya adalah dunia
usaha yang humanis serta peduli atau berpihak kepada mereka.
Sebagai individu yang merupakan sesama warga negara anak tunarungu juga
memiliki hak yang sama dalam memperoleh layanan pendidikan yang sesuai dengan yang
mereka butuhkan, karena pendidikan itu merupakan suatu hal yang bersifat kodrati, alami,
dan manusiawi. Oleh sebab itu, tak dapat dipungkiri lagi bahwa pendidikan merupakan
salahsatu hak dasar bagi setiap individu manusia, termasuk didalamnya anak tunarungu.
Namun demikian, upaya untuk menempatkan anak tunarungu sejajar dengan anak yang
mendengar, bukanlah hal yang mudah. Banyak variabel yang sangat berpengaruh dalam
menyiapkan anak tunarungu untuk meraih masa depannya.

E. Cara komunikasi anak tunarungu


Berikut adalah metode-metode yang dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan
anak tuna rungu :

1. Metode auditorial oral


Dalam metode ini lebih menekankan pada proses mendengar dan bertutur kata
dengan menggunakan alat bantu yang lebih baik seperti penggunaan alat bantu dengar
hearing aids. Metode ini tidak menggunakan bahasa isyarat atau gerakan jari yang biasa
dilakukan berkomunikasi orang normal dengan anak tuna rungu. Dalam metode ini lebih
menekankan pada pembacaan gerak bibir (lip reading). Metode ini menggunakan bantuan
bunyi untuk mengembangkan kemampuan mendengar dan bertutur kata yang baik dan
membutuhkan latihan pendengaran yang dapat melatih anak-anak untuk mendengar bunyi
dan mengklasifikasikan bunyi-bunyi yang berbeda.

2. Metode membaca gerak bibir ( membaca ujaran )


Metode membaca gerak bibir ini cocok bagi anak yangmemiliki konsentrasi tinggi
pada bibir penutur bahasa. Dalam metode ini lebih menekankan pada penglihatan yang
baik. Karena etika berkomunikasi kita harus berkonsentrasi pada gerak bibir yang di
ucapkan oleh penutur bahasa kita dengan seksama. Dalam situasi ini penutur bahasa harus
berada ditempat yang terang dan dapat dilihat dengan jelas.

3. Metode bahasa isyarat ( metode manual )


Bahasa isyarat digunakan secara mudah dengan menggabungkan perkataan dengan
makna dasar. Terkadang setiap wilayah atau Negara menggunakan bahasa isyarat yang
berbeda satu sama lain. Contoh berbagai bahasa isyarat American Sign Language, Pidgin
Sing English (PSE), Seeing Essential English ( SEE ), Signing Exact English (SEE II ),
dan di Malaysia adalah Kod Tangan Bahasa Melayu (KTBM).
4. Metode komunikasi universal ( gerakan jari )
Metode universal adalah metode yang menggabungkan gerakan jari, isyarat,
pembacaan gerak bibir, penuturan dan implikasi audiotoris atau yang bisa dikenal dengan
bahasa isyarat manual-visual. Elemen yang penting ketika menggunakan metode ini adalah
penggunaan isyarat dan penuturan secara bersamaan. Dengan metode ini anak anak tuna
rungu dapat memahami hal yang disampaikan menurut kemampuan masing-masing.

5. Penuturan isyarat
Metode ini dikembangkan dari metode pembacaan bibir. Menggunakan simbol
simbol tangan yang dilambangkan ditentukan dengan bentuk bentuk tangan yang
menentukanmaksud perkataan. Terdapat delapan symbol tangan yang ditentukan menurut
konsonan yang berbeda dan empat symbol tangan untuk menentukan bunyi yang
menyimbolkan huruf vocal.

6. Komunikasi Total
Komunikasi total merupakan keseluruhan spectrum cara Bahasa yang lengkap,
gesti anak, Bahasa isyarat, membaca ujaran, ejaan jari, membaca dan menulis,
pengembangan sisa pendengaran guna memajukan ketrampilan berbicara dan membaca
ujaran. Selain itu, komunikasi total meliputi penggunaan salah satu dan semua odus atau
cara berkomunikasi , yaitu penggunaan system Bahasa isyarat, ejaan jari, bicara, membaca
ujaran , amplikasi (pengawasan), gesti, pantomimic,menggambar, dan menulis. Dalam
mengungkapkandiri dapat digunakan misalnya bicara, salah satu bentuk komunikasi
manual dan amplikasi secara serempak. Untuk kemampuan pesan dapat diterima melalui
hanya salah satu atau dua/lebih serempak. Jadi intinya, metode komunikasi total ini
merupakan gabungan dari banyak metode yang digunakan oleh penyandang tunarungu
dalam berkomunikasi.

F. Kurikulum, strategi dan media anak tunarungu


 Kurikulum
Ketunarunguan yang berdampak kepada kemiskinan bahasa dan hambatan dalam
berkomunikasi, dianggap menyulitkan orang lain termasuk dalam layanan
pendidikannya. Hal ini dapat dibuktikan terutama di Indonesia, hingga kini layanan
pendidikan bagi anak tunarungu sebagian besar bersifat segregatif, yaitu pelayanan
pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus yang terpisah dari satuan
pendidikan pada umumnya. Wujud dari pendidikan segregatif ini adalah yang lazim
dikenal Sekolah Khusus (SKh).
Sistem segregatif ini baik, jika hanya untuk kepentingan pembelajaran, namun jika
sampai kepada layanan pendidikan, segregatif tentu saja akan merugikan anak. Mereka
akan kehilangan haknya untuk belajar, bersosialisasi dan berkomunikasi dengan teman
sebayanya yang mendengar. Sistem pendidikan segregatif (SKh) sangat tidak
membantu perkembangan sosialitas peserta didik. Sehingga tetap sulit bagi anak
khusus, khususnya anak tunarungu yang sudah tamat dari SKh untuk dapat diterima
sebagai anggota masyarakat. Hal ini merupakan akibat dari adanya penyederhanaan
strategi pembelajaran yang tidak memperhitungkan bahwa pergaulan antar peserta
didik dalam komunitasnya merupakan bentuk proses pembelajaran natural yang
seharusnya tidak boleh diabaikan.
Berdasarkan karakteristik anak tunarungu, khususnya miskinnya bahasa yang
disebabkan karena ketunarunguannya yang berakibat ia tidak mengalami masa
pemerolehan bahasa seperti halnya anak dengar lainnya, maka dalam pengembangan
kurikulum untuk anak tunarungu harus dilandasi pada kompetensi berbahasa dan
komunikasi yang selanjutnya dapat diimplementasikan dalam pengajaran bahasa yang
menggunakan pendekatan percakapan. Disinilah nampak metode ini sejalan dengan
konsep Language Across the Curricullum atau kurikulum lintas bahasa, yang memiliki
filosofi bahwa tujuan kurikulum akan dapat dicapai dahulu jika didahului dengan
keterampilan dan penguasaan bahasa yang tinggi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari Language Across the Curricullum
itu adalah sebuah metode pembelajaran yang senantiasa disajikan melalui konteks
kebahasaan melalui percakapan, yang tahapannya dari mulai penguasaan bahasa,
aturan bahasa, hingga ke pengetahuan umum.
Untuk itu perlu dikembangkan satu model kurikulum bagi anak dengan gangguan
pendengaran yang berbasiskan Kompetensi Berbahasa dan Komunikasi untuk menuju
kecakapan hidup.
Kurikulum yang berlaku di pendidikan khusus untuk anak tunarungu masih
menggunakan Kurikulum 1994, sedangkan wacana yang berkembang sekarang ini
kurikulum yang berbasis kompetensi sehingga mengarah pada skill dan keterampilan
masing-masing peserta didik sesuai dengan kekhususannya. Secara proporsional
kurikulum pada SMPKh menitikberatkan pada program keterampilan 42% dan
SMAKh menitikberatkan pada program keterampilan 62%. Pelaksanaannya di
lapangan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan di mana sekolah tersebut berada
dan hal ini pun masih harus disesuaikan dengan keberadaan situasi dan kondisi
lingkungan daerah masing-masing. Sebagai contoh:
1. Sekolah yang berada di lingkungan pantai, maka kurikulum muatan lokalnya
antara lain pengolahan hasil laut, atau keterampilan yang menunjang perangkat
nelayan, misalnya merajut jaring, jala dan sebagainya;
2. Sedangkan untuk sekolah yang berada pada daerah pegunungan atau dataran
rendah dapat menerapkan keterampilan pertanian, perikanan darat, keterampilan
menganyam dan sebagainya.
3. Sekolah yang berada di perkotaan dapat menerapkan keterampilan otomotif,
percetakan, sablon, mengukir atau membatik.
Sarana Pendidikan

 Implementasi model pembelajaran anak tunarungu di sekolah inklusi


Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi tidaklah mudah. Sebelum
menempatkan anak tunarungu di kelas inklusi, sebaiknya persyaratan dibawah ini dapat
dipenuhi, yaitu:
1) Anak tunarungu harus memiliki bahasa yang cukup
2) Sekolah yang di dalamnya menyertakan anak berkebutuhan khusus
3) Guru regular hendaknya memahami karakteristik anak tunarungu
4) Guru regular mampu menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran
5) Sarana dan prasarana yang mendukung bagi anak berkebutuhan khusus
6) Lingkungan di sekolah inklusi harus kondusif

Jika persyaratan diatas telah dipenuhi, maka selanjutnya pembelajaran di kelas


inklusi bagi anak tunarungu dapat dilakukan. Pembelajaran tunarungu yang paling
utama dan terutama adalah pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa ini diperoleh
melalui percakapan. Untuk mencapai kepada pembelajaran yang bermakna bagi
tunarungu dibutuhkan pendekatan khusus yaitu metode maternal reflektif.(MMR).

Melalui metode maternal reflektif ini tunarungu diolah bahasanya. Mulai dari
mengeluarkan suara, mengucapkan kata dengan benar sesuai dengan artikulasinya,
hingga tunarungu mampu berkomunikasi dengan menggunakan beberapa kalimat yang
baik dan benar.Secara garis besar, kegiatan pembelajaran dengan menggunakan
metode ini terdiri atas kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak,
membaca dan menulis yang dikemas secara terpadu dan utuh. Dengan ini anak
memahami dan dapat menemukan sendiri kaidah-kaidah percakapan.

 Strategi pembelajaran
 Strategi individualisasi
Strategi individualisasi merupakan strategi pembelajaran dengan mempergunakan
suatu program yang disesuaikan dengan perbedaan individu baik karakteristik,
kebutuhan maupun kemampuan secara perseorangan.
 Strategi kooperatif
Strategi kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang menekankan unsur
gotong royong atau saling membantu satu sama lain dalam mencapai tujuan
pembelajaran. Menurut Johnson, D.W. & Johnson (1984:10) dalam strategi
pembelajaran kooperatif terdapat empat elemendasar yaitu :
 Saling ketergantungan positif
 Interaksi tatap muka antarsiswa sehingga mereka dapat berdialog dengan
sesama lain.
Akuntabilitas individual.
 Keterampilan menjalin hubungan interpersonal.
 Strategi modifikasi perilaku
Strategi modifikasi perilaku merupakan suatu bentuk strategi pembelajaran yang
bertolak dari pendekatan behavioral (behavioral approach).strategi ini bertujuan
untuk mengubah perilaku siswa ke arah yang lebih positif melalui conditioning
(pengondisian) dan membantunya agar lebih produktif sehingga menjadi individu
yang mandiri.

 Media pembelajaran
Media pembelajaran dikelompokkan kedalam media visual, audio, dan audio-visual.
Media visual yang dapat dipergunakan dalam pembelajaran anak tunarungu antara lain
berupa gambar, grafis ( grafik, bagan, diagram, dan sebagainya); relita atau objek nyata
dari suatu benda ( mata uang, tumbuhan,dsb); model atau tiruan dari objek benda dan
slides.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran dan
percakapan dengan derajat pendengaran yang bervariasi antara 27 dB – 40 dB dikatakan
sangat ringan 41 dB – 55 dB dikatakan Ringan, 56 dB – 70 dB dikatakan Sedang, 71 dB –
90 dB dikatakan Berat, dan 91 ke atas dikatakan Tuli. Pelaksanaan pendidikan dan atau
rehabilitasi bagi anak tunarungu dibeberapa lembaga pendidikan dan panti hingga saat ini,
nampaknya belum semua dapat menghantarkan lulusannya sejajar dengan teman-teman
sebayanya yang mendengar.
Anak tunarungu dapat berkomunikasi dengan metode auditorial oral, Metode
membaca gerak bibir, Metode bahasa isyarat, Metode komunikasi universal ( gerakan jari
), Penuturan isyarat, dan komunikasi total. Berdasarkan karakteristik anak tunarungu,
khususnya miskinnya bahasa yang disebabkan karena ketunarunguannya yang berakibat ia
tidak mengalami masa pemerolehan bahasa seperti halnya anak dengar lainnya, maka
dalam pengembangan kurikulum untuk anak tunarungu harus dilandasi pada kompetensi
berbahasa dan komunikasi yang selanjutnya dapat diimplementasikan dalam pengajaran
bahasa yang menggunakan pendekatan percakapan.
Strategi pembelajaran menggunakan strategi individualisasi, Strategi kooperatif,
dan strategi modifikasi perilaku. Sedangkan media pembelajarannya dengan menggunakan
media visual, realita, ataupun dengan model tiruan.

B. Saran
Alangkah baiknya jika dalam pelaksanaannya dilakukan dalam usaha-usaha seoptimal
mungkin agar prestasi anak dapat digali dan dikembangkan secara maksimal layaknya anak
dengar pada umumnya.
Daftar Pustaka

http://bionet82.blogspot.co.id/2010/10/pendidikan-anak-tuna-rungu.html

https://www.usd.ac.id/pusat/psibk/about/b-tunarungu/metode-pengajaran-bahasa-bagi-anak-
tunarung/
PENDIDIKAN INKLUSI ANAK TUNADAKSA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Inklusi

DOSEN PEMBIMBING
Dr. Hermanto S.Pd., M.Pd.

Penyusun Makalah :
Alif Prayogo (16105241028)
Rika Kumala Sari (16105241021)
Yurdan Febi Endika(16105244017)
Wenry Kristian Mandey (16105241020)
Dwita Apriyanti (1610524 1047)

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
TEKNOLOGI PENDIDIKAN
2017/2018
A. Definisi Tunadaksa
Secara etiologis, gambaran seseorang yang diidentifikasikan mengalami
ketunadaksaan yaitu seseorang yang mengalami kesulitan mengoptimalkan fungsi anggota
tubuh sebagai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk, dan akibatnya
kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu mengalami penurunan.
Secara definitif pengertian tunadaksa adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk
melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk
melaksanakan fungsi secara normal sebagai akibat dari luka, penyakit, atau pertumbuhan
yang tidak sempurna sehingga untuk kepentingan pembelajarannya perlu layanan secara
khusus.
Menurut Somantri Pengertian Tuna daksa adalah suatu keadaan rusak atau
terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi
dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau
dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir. Tuna daksa sering juga diartikan
sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau
gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk
mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri.
Maka disimpulkan bahwa Tuna Daksa adalah suatu keadaan rusak atau terganggu
sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam
fungsinya yang normal. Kondisi ini disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga
disebabkan oleh pembawaan sejak lahir (pertumbuhan yang tidak sempurna). Sehingga
mengakibatkan kecacatan dan membuat anggota tubuh menjadi kehilangan fungsinya.

B. Klasifikasi Tunadaksa
1. Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan keturunan.
Kerusakan tersebut meliputi: Club-foot (kaki seperti tongkat), Club hand (tangan
seperti tongkat), Polydactylism (jari yang lebih dari lima pada masing-masing tangan
atau kaki), Syndactylism (jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan yang
lainnya), Torticollis (gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka), Spina
bifida (sebagian dari sumsum tulang belakang tidak tertutup).
2. Kerusakan pada waktu kelahiran. Kerusakan tersebut meliputi; Erb’s palsy (kerusakan
pada syaraf lengan akibat tertekan atau tertarik waktu kelahiran), dan Fragilitas osium
(tulang yang rapuh dan mudah patah)
3. Infeksi. Kerusakan tersebut meliputi; Tuberculosis tulang (menyerang sendi paha
sehingga menjadi kaku), Osteomyelitis (radang didalam dan di sekeliling sumsum
tulang karena bakteri), Poliomyelitis (infeksi virus yang mungkin menyebabkan
kelumpuhan). Dan adapun kerusakan Pott’s disease (tuberculosis sumsum tulang
belakang), Still’s disease (radang pada tulang yang menyebabkan kerusakan permanen
pada tulang), dan Tuberculosis pada lutut atau pada sendi lain.
4. Kondisi traumatik atau kerusakan traumatik. Kerusakan tersebut meliputi; amputasi
(anggota tubuh dibuang akibat kecelakaan), kecelakaan akibat luka bakar, dan patah
tulang.
5. Tumor. Kerusakan tersebut meliputi; Oxostosis (tumor tulang) dan Osteosis fibrosa
cystica (kista atau kantang yang berisi cairan didalam tulang).
6. Kondisi-kondisi lainnya. Kerusakan tersebut meliputi; Flatfeet (telapak kaki yang rata,
tidak berteluk), Kyphosis (bagian belakang sumsum tulang belakang yang cekung),
Lordosis (bagian muka sumsum tulang yang cekung). Dan kerusakan Perthe’s disease
(sendi paha yang rusak atau mengalami kelainan), Rickets (tulang yang lunak karena
nutrisi, menyebabkan kerusakan tulang dan sendi), Scilosis (tulang belakang yang
berputar, bahu, dan paha yang miring).

C. Penggolongan Tunadaksa
1. Tunadaksa taraf ringan. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah tunadaksa murni dan
tunadaksa kombinasi ringan. Tunadaksa jenis ini pada umunya hanya mengalami
sedikit gangguan mental dan kecerdasannya cenderung normal. Kelompok ini lebih
banyak disebabkan adanya kelainan anggota tubuh saja. Seperti lumpuh, anggota tubuh
berkurang (buntung) dan cacat fisik lainnya.
2. Tunadaksa taraf sedang. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah tunadaksa akibat cacat
bawaan, cerebral palsy ringan dan polio ringan. Kelompok ini banyak dialami dari tuna
akibat cerebral palsy (tunamental) yang disertai dengan menurunnya daya ingat walau
tidak sampai jauh dibawah normal.
3. Tunadaksa taraf berat. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah tuna akibat cerebral palsy
berat dan ketunaan akibat infeksi. Pada umunya, anak yang terkena kecacatan ini
tingkat kecerdasannya tergolong dalam kelas debil, embesil dan idiot.

D. Karakteristik dan Permasalahan yang dihadapi Anak Tuna Daksa


Banyak jenis dan variasi anak tuna daksa, sehingga untuk mengidentifikasi
karakteristiknya diperlukan pembahasan yang sangat luas. Berdasarkan berbagai sumber
ditemukan beberapa karakteristik umum bagi anak tuna daksa, diantara lain sebagai berikut
:
1. Karakteristik Kepribadian
1. Mereka yang cacat sejak lahir tidak pernah memperoleh pengalaman, yang
demikian ini tidak menimbulkan frustasi.
2. Tidak ada hubungan antara pribadi yang tertutup dengan lamanya kelainan fisik
yang diderita.
3. Adanya kelainan fisik tidak memperngaruhi kepribadian atau ketidak mampuan
individu dalam menyesuaikan diri.
4. Anak cerebal-pakcy dan polio cenderung memiliki rasa takut daripada yang
mengalami sakit jantung.
2. Karakteristik Emosi-sosial
1. Kegiatan-kegiatan jasmani yang tidak dapat dijangkau oleh anak tuna daksa
dapat berakibat timbulnya problem emosi, perasaan dan dapat
menimbulkanfrustasi yang berat.
2. Keadaan tersebut dapat berakibat fatal, yaitu mereka menyingkirkan diri dari
keramaian.
3. Anak tuna daksa cenderung acuh bila dikumpulkan bersama anak-anak normal
dalam suatu permainan.
4. Akibat kecacatanya mereka dapat mengalami keterbatasan dalam
berkomunikasi dengan lingkunganya.
3. Karakteristik Intelegensi
1. Tidak ada hubungan antara tingkat kecerdasan dan kecacatan, tapi ada
beberapa kecenderungan adanya penurunan sedemikian rupa kecerdasan
individu bila kecacatanya meningkat.
2. Hasil penelitian ternyata IQ anak tuna daksa rata-rata normal.
4. Karakteristik Fisik
1. Selain memiliki kecacatan tubuh, ada kecenderungan mengalami gangguan-
gangguan lain, misalnya: sakit gigi, berkurangnya daya pendengaran,
penglihatan, gangguan bicara dan sebagainya.
2. Kemampuan motorik terbatas dan ini dapat dikembangkan sampai pada batas-
batas tertentu.

Adanya berbagai karakteristik tersebut bukan berarti bahwa setiap anak tuna daksa
memiliki semua karakteristik yang diungkapkan, namun bisa saja terjadi salah satunya tidak
dimiliki.Dari karakteristik tersebut menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif. Dari
dampak negatif timbul masalah-masalah yang muncul yang berkaitan dengan posisi siswa
disekolah.

Permasalahan tersebut dapat digolongkan menjadi beberapa masalah, yaitu:


1. Masalah kesulitan belajar
Terjadinya kelainan pada otak ,sehingga fungsi fikirnya terganggu persepsi.
Apalagi bagi anak tuna daksa yang disertai dengan cacat-cacat lainya dapat
menimbulkan komplikasi yang secara otomatis dapat berpengaruh terhadap
kemampuan menyerap materi yang diberikan.
2. Masalah sosialisasi
Anak tuna daksa mengalami berbagai kesulitan dan hambatan dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hal ini dapat terjadi karena kelainan
jasmani, sehingga mereka tidak diterima oleh teman-temannya, diisilasi, dihina,
dibenci, dan bahkan tidak disukai sama sekali kehadiranya dan sebagainya.
3. Masalah kepribadian
Masalah kepribadian dapat berwujud kurangnya ketahanan diri bahkan tidak
adanya kepercayaan diri, mudah tersinggung dan sebagainya.
4. Masalah ketrampilan dan pekerjaan
Anak tuna daksa memiliki kemampuan fisik yang terbatas, namun di lain pihak
bagi mereka yang memiliki kecerdasan yang normal ataupun yang kurang perlu
adanya pembinaan diri sehingga hidupnya tidak sepenuhnya menggantungkan diri
pada orang lain. Karena itu dengan modal kemampuan yang dimilikinya perlu
diberikan kesempatan yang sebanyak-banyaknya untuk dapat mengembangkan
lewat latihan ketrampilan dan kerja yang sesuai dengan potensinya, sehingga
setelah selesai masa pendidikan mereka dapat menghidupi dirinya, tidak selalu
mengharapkan pertolongan oranglain. Di lain pihak dianggap perlu sekali adanya
kerja sama yang baik dengan perusahaan baik negeri maupun swasta untuk dapat
menampung mereka.
5. Masalah latihan gerak
Kondisi anak tuna daksa yang sebagian besar mengalami gangguan dalam
gerak. Agar kelainanya itu tidak semakin parah dan dengan harapan supaya kondisi
fungsional dapat pulih ke posisi semula, dianggap perlu adanya latihan yang
sistematis dan berlanjut.misalnya terapi-fisik (fisio-therapy), terapi-tari (dance-
therapy), terapi-bermain (play-therapy), dan terapi-okupasional (occupotional-
therapy).

E. Perkembangan Kognitif Anak Tuna Daksa


Proses perkembangan kognitif banyak ditentukan dari pengalaman-pengalaman
individu sebagai hasil belajar. Proses perkembangan kognitif akan berjalan dengan baik
apabila ada dukungan atau dorongan dari lingkungan. Seperti dikatakan Piaget bahwa
setiap individu memiliki struktur kognitif dasar yang disebut schema (misalnya
kemampuan untuk melakukan gerakan refleks, seperti menghisap, merangkak, dan gerakan
refleks lainnya).schema ini akan berkembang melalui belajar. Proses adaptasi yang
didahulukan dengan adanya persepsi.
Anak tuna daksa yang mengalami kerusakan alat tubuh, tidak ada masalah secara
fisiologis dalam struktur kognitifnya. Masalah terjadi ketika anak tuna daksa mengalami
hambatan dan mobilitas. Anak mengalami hambatan dalam melakukan dan
mengembangkan gerakan-gerakan, sehingga sedikit banyak masalah ini mengakibatkan
hambatan dalam perkembangan struktur kognitif anak tuna daksa. Dalam pengukuran
intelegensi pada anak tuna daksa, sering ditemukan angka intelegensi yang cukup tinggi.
Namun potensi kognitif yang cukup tinggi pada anak-anak tuna daksa ini belum dapat
difungsikan secara optimal. Hambatan mobilitas, masalah emosi, kepribadian akan
mempengaruhi anak tuna daksa dalam melakukan eksplorasi keluar.

F. Perkembangan Sosial, Emosi, dan Kepribadian Anak Tuna Daksa


1. Perkembangan Sosial Anak Tuna Daksa
Faktor utama terjadinya hambatan sosial ini bersumber pada sikap keluarga, teman-
teman dan masyarakat. Ahmad Toha Muslim dan Sugiarmin (1996) menjelaskan
bahwa sikap, perhatian keluarga dan lingkungan terhadap anak tuna daksa dapat
mendorong yang bersangkutan untuk meningkatkan kemampuan bersosialisasi.
Sebaiknya sikap-sikap positif yang ditunjukkan orang tua maupun teman-temannya
akan lebih membantu anak dalam penerimaan diri terhadap kenyataan yang dihadapi,
sehingga masalah-masalah perkembangan sosial dapat diatasi.
2. Perkembangan Emosi Anak Tuna Daksa
Ketunaan yang ada pada anak tuna daksa secara khusus tidak akan menghambat
dalam perkembangan emosi pada anak tuna daksa. Hambatan ini dialami setelah anak
mengadakan interaksi dengan lingkungannya. Seringnya ditolak, seringnya mengalami
kegagalan ditambah lingkungan orangtua yang tidak menguntungkan, menyebabkan
anak tuna daksa sering nampak muram, sedih dan jarang menampakkan rasa senang.

3. Perkembangan Kepribadian Anak Tuna Daksa


Perkembangan kepribadian anak banyak ditemukan oleh pengalaman usia dini,
keadaan fisik, kesehatan, pemberian cap dari orang lain, intelegensi, pola asuh orangtua
dan sikap masyarakat. Pada usia dini anak tuna daksa mengalami gangguan dalam
fungsi mobilitas, gangguan pada waktu merangkak, berguling, berdiri dan berjalan.
Kondisi ini apabila didukung dengan sikap yang negative dari keluarga maupun
masyarakat akan menjadikan pengalaman di usia dini yang sangat menyakitkan, dan
dapat menjadikan pengalaman-pengalaman yang traumatis pada anak. Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Tin Suharmini (1988) dengan menggunakan tes grafis,
ternyata ditemukan sebagian sebagian besar anak tuna daksa mempunyai perasaan yang
rendah diri (minder), kurang percaya diri, kemasakan sosialnya kurang, emosional,
menentang lingkungan, tertutup, mengalami kekecewaan hidup, dan kompensensi.

G. Pendidikan
Tujuan pendidikan
1. Rehabilitasi fungsi fungsi organ tubuh
2. Memberikan bekal keterampilan
3. Mendewasan agar mampu berkarya dan hidup mandiri
4. Dapat mengikuti pendidikan umum ( inklusi )

7 Aspek yang harus dikembangkan


1. Pengembangan Intelektualdan Akademik
Pengembangan aspek ini dapat dilaksanakan secara formal di sekolah
melalui kegiatan pembelajaran. Di sekolah khusus anak tunadaksa (SLB-
D) tersedia seperangkat kurikulum dengan semua pedoman
pelaksanaannya, namun hal yang lebih penting adalah pemberian
kesempatan dan perhatian khusus pada anak tunadaksa untuk
mengoptimalkan perkembangan intelektual dan akademiknya.
2. Membantu Perkembangan Fisik
Oleh karena anak tunadaksa mengalami kecacatan fisik maka dalam
proses pendidikan guru harus turut bertanggung jawab terhadap
pengembangan fisiknya dengan cara bekerja sama dengan staf medis.
Hambatan utama dalam belajar adalah adanya gangguan motorik. Oleh
karena itu, guru harus dapat mengatasi gangguan tersebut sehingga anak
memperoleh kemudahan dalam mengikuti pendidikan. Guru harus
membantu memelihara kesehatan fisik anak, mengoreksi gerakan anak
yang salah dan mengembangkan ke arah gerak yang normal.
3. Meningkatkan Perkembangan Emosi dan Penerimaan Diri Anak
Dalam proses pendidikan, para guru bekerja sama dengan psikolog
harus menanamkan konsep diri yang positif terhadap kecacatan agar
dapat menerima dirinya. Hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan
lingkungan sekolah yang kondusif sehingga dapat mendorong terciptanya
interaksi yang harmonis.
4. Mematangkan Aspek Sosial
Aspek sosial yang meliputi kegiatan kelompok dan kebersamaannya
perlu dikembangkan dengan pemberian peran kepada anak tunadaksa
agar turut serta bertanggung jawab atas tugas yang diberikan serta dapat
bekerja sama dengan kelompoknya.
5. Mematangkan Moral dan Spiritual
Dalam proses pendidikan perlu diajarkan kepada anak tentang nilai-
nilai, norma kehidupan, dan keagamaan untuk membantu mematangkan
moral dan spiritualnya.
6. Meningkatkan ekspresi diri
Ekspresi diri anak tunadaksa perlu ditingkatkan melalui kegiatan
kesenian, keterampilan atau kerajinan.
7. Mempersiapkan Masa Depan Anak
Dalam proses pendidikan, guru dan personel lainnya bertugas untuk
menyiapkan masa depan anak. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara
membiasakan anak bekerja sesuai dengan kemampuannya, membekali
mereka dengan latihan keterampilan yang menghasilkan sesuatu yang
dapat dijadikan bekal hidupnya.
Ketujuh sasaran pendidikan tersebut di atas sebenarnya bersifat dual
purpose (ganda), yaitu berkaitan dengan pemulihan fungsi fisik dan
pengembangan dalam pendidikannya. Tujuan utamanya adalah
terbentuknya kemandirian dan keutuhan pribadi anak tunadaksa.

Tempat Pendidikan
Model layanan pendidikan yang sesuai dengan jenis, derajat kelainan dan
jumlah peserta didik diharapkan akan memperlancar proses pendidikan. Anak
tunadaksa dapat mengikuti pendidikan pada tempat-tempat berikut.
1. Sekolah Khusus Berasrama (Full-Time Residential School)
Model ini diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang derajat
kelainannya berat dan sangat berat.
2. Sekolah Khusus tanpa Asrama (Special Day School)
Model ini dimaksudkan bagi anak tunadaksa yang memiliki
kemampuan pulang pergi ke sekolah atau tempat tinggal mereka yang
tidak jauh dari sekolah.
3. Kelas Khusus Penuh (Full-Time Special Class)
Anak tunadaksa yang memiliki tingkat kecacatan ringan dan
kecerdasan homogen dilayani dalam kelas khusus secara penuh.
4. Kelas Reguler dan Khusus (Part-Time Reguler Class and Part-Time
Special Class)
Model ini digunakan apabila menyatukan anak tunadaksa dengan
anak normal, pada mata pelajaran tertentu. Mereka belajar dengan anak
normal dan apabila anak tunadaksa mengalami kesulitan mereka belajar
di kelas khusus.
5. Kelas reguler Dibantu oleh Guru Khusus (Reguler Class with Supportive
Instructional Service)
Anak tunadaksa bersekolah bersama-sama anak normal di sekolah
umum dengan bantuan guru khusus apabila anak mengalami kesulitan.
6. Kelas Biasa dengan Layanan Konsultasi untuk Guru Umum (Reguler
Class Placement with Consulting Service for Reguler Teachers)
Tanggung jawab pembelajaran model ini sepenuhnya dipegang
oleh guru umum. Anak tunadaksa belajar bersama dengan anak normal di
sekolah umum, dan untuk membantu kelancaran pembelajaran ada guru
kunjung yang berfungsi sebagai konsultan guru reguler.
7. Kelas Biasa (Reguler Class)
Model ini diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang memiliki
kecerdasan normal, memiliki potensi dan kemampuan yang dapat belajar
bersama-sama dengan anak normal.
Sistem Pendidikan
Sesuai dengan pengorganisasian tempat pendidikan maka sistem
pendidikan anak tunadaksa dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Pendidikan Integrasi (Terpadu)
Walaupun pendidikan anak tunadaksa di Indonesia banyak
dilakukan melalui jalur sekolah khusus, yaitu anak tunadaksa ditempatkan
secara khusus di SLB-D (Sekolah Luar Biasa bagian D), namun anak
tunadaksa ringan (jenis poliomyelitis) telah ada yang mengikuti
pendidikan di sekolah biasa. Sementara ini anak tunadaksa yang
mengikuti pendidikan di sekolah umum harus mengikuti pendidikan
sepenuhnya tanpa memperoleh program khusus sesuai dengan
kebutuhannya. Akibatnya, mereka memperoleh nilai hanya berdasarkan
hadiah terutama dalam mata pelajaran yang berkaitan dengan kegiatan
fisik (Astati, 2000). Sehubungan dengan itu Kirk (1986) mengemukakan
bahwa adaptasi pendidikan anak tunadaksa apabila ditempatkan di
sekolah umum adalah sebagai berikut.

a. Penempatan di kelas reguler


Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.
1) Menyiapkan lingkungan belajar tambahan sehingga memungkinkan
anak tunadaksa untuk bergerak sesuai dengan kebutuhannya, misalnya
membangun trotoar, pintu agak besar sehingga anak dapat
menggunakan kursi roda;
2) Menyiapkan program khusus untuk mengejar ketinggalan anak
tunadaksa karena anak sering tidak masuk sekolah;
3) Guru harus mengadakan kontak secara intensif dengan siswanya untuk
melihat masalah fisiknya secara langsung;
4) Perlu mengadakan rujukan ke ahli terkait apabila timbul masalah fisik
dan kesehatan yang lebih parah.

b. Penempatan di ruang sumber belajar dan kelas khusus


Murid yang mengalami ketinggalan dari temannya di kelas reguler
karena ia sakit-sakitan diberi layanan tambahan oleh guru di ruang
sumber. Murid yang datang ke ruang sumber tergantung pada materi
pelajaran yang menjadi ketinggalannya, sedangkan siswa yang
mengunjungi kelas khusus biasanya anak yang mengalami kelainan fisik
tingkat sedang dengan inteligensia normal. Misalnya, anak yang tidak
dapat berbicara maka ia perlu masuk kelas khusus sebagai persiapan anak
untuk memasuki kelas reguler karena selama anak di kelas khusus ia
sering bermain, ke kantin, dan upacara bersama dengan anak normal
(siswa kelas reguler).
2. Pendidikan Segregasi (Terpisah)
Penyelenggaraan pendidikan bagi anak tunadaksa yang
ditempatkan di tempat khusus, seperti sekolah khusus adalah
menggunakan kurikulum Pendidikan Luar Biasa Anak Tunadaksa 1994
(SK Mendikbud, 1994). Perangkat Kurikulum Pendidikan Luar Biasa
1994 terdiri atas komponen berikut.
a. Landasan, Program dan Pengembangan Kurikulum, memuat hal-hal,
yaitu landasan yang dijadikan acuan dan pedoman dalam
pengembangan kurikulum, tujuan, jenjang dan satuan pelajaran,
program pengajaran yang mencakup isi program, pengajaran, lama
pendidikan dan susunan program pengajaran, pelaksanaan pengajaran
dan penilaian, serta pengembangan kurikulum sebagai suatu proses
berkelanjutan di tingkat nasional dan daerah.
b. Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) memuat: pengertian
dan fungsi mata pelajaran, tujuan, ruang lingkup bahan pelajaran,
pokok bahasan, tema dan uraian tentang kedalaman dan keluasan,
alokasi waktu, rambu-rambu pelaksanaannya, dan uraian/cara
pembelajaran yang disarankan.
c. Pedoman pelaksanaan kurikulum memuat: pedoman pelaksanaan
kegiatan belajar-mengajar, rehabilitasi, pelaksanaan bimbingan,
administrasi sekolah, dan pedoman penilaian kegiatan dan hasil
belajar.

Lama pendidikan dan penjenjangan serta isi kurikulum tiap jenjang adalah
sebagai berikut.
a. TKLB (Taman Kanak-kanak Luar Biasa) berlangsung satu sampai tiga
tahun dan isi kurikulumnya, meliputi pengembangan Kemampuan
Dasar (Moral Pancasila, Agama, Disiplin, Perasaan, Emosi, dan
Kemampuan Bermasyarakat), Pengembangan Bahasa, Daya Pikir,
Daya Cipta, Keterampilan dan Pendidikan Jasmani. Usia anak yang
diterima sekurang-kurangnya 3 tahun.
b. SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) berlangsung sekurang-kurangnya
enam tahun dan usia anak yang diterima sekurang-kurangnya enam
tahun. Isi kurikulumnya terdiri atas: Program Umum meliputi mata
pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan
Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPS, IPA, Kerajinan Tangan
dan Kesenian, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan; program
khusus (Bina Diri dan Bina Gerak), dan Muatan Lokal (Bahasa
Daerah, Kesenian, dan Bahasa Inggris).
c. SLTPLB (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa) berlangsung
sekurang-kurangnya 3 tahun, dan siswa yang diterima harus tamatan
SDLB. Isi kurikulumnya terdiri atas program umum (Pendidikan
Pancasila, Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia,
Matematika, IPA, IPS, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Bahasa
Inggris), program khusus (Bina Diri dan Bina Gerak), program
muatan lokal (Bahasa Daerah, Kesenian Daerah).
d. SMLB (Sekolah Menengah Luar Biasa) berlangsung sekurang-
kurangnya tiga tahun, dan siswa yang diterima harus tamatan
SLTPLB. Isi kurikulumnya meliputi program umum sama dengan
tingkat SLTPLB, program pilihan terdiri atas paket Keterampilan
Rekayasa, Pertanian, Usaha dan Perkantoran, Kerumahtanggaan, dan
Kesenian. Di jenjang ini, anak tunadaksa diarahkan pada penguasaan
salah satu jenis keterampilan sebagai bekal hidupnya.

Lama belajar dan perimbangan bobot mata pelajaran untuk tiap


jenjang adalah TKLB lama belajar satu jam pelajaran 30 menit, SDLB
lama belajar satu jam pelajaran 30 dan 40 menit. Bobot mata pelajaran di
SDLB yang tergolong akademik lebih banyak dari mata pelajaran yang
lainnya, SLTPLB lama belajar satu jam pelajaran 45 menit dan bobot
mata pelajaran keterampilan dan praktik lebih banyak daripada mata
pelajaran lainnya; dan SMLB lama belajar sama dengan SLTPLB dan
bobot mata pelajaran keterampilan lebih banyak dan mata pelajaran
lainnya lebih diarahkan pada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.

A. PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Dalam pelaksanaan pembelajaran akan dikemukakan ha-hal yang
berkaitan dengan keterlaksanaannya, seperti berikut.
1. Perencanaan Kegiatan Belajar-Mengajar
Sehubungan dengan perencanaan kegiatan pembelajaran bagi anak
tunadaksa, Ronald L. Taylor (1984) mengemukakan, apabila penyandang
cacat menerima pelayanan pendidikan di sekolah formal maka ia harus
memperoleh pelayanan pendidikan yang diindividualisasikan. Dalam rangka
mengembangkan program pendidikan yang diindividualisasikan, banyak
informasi/data yang diperlukan dan salah satunya dihasilkan melalui
assessment. Adapun langkah-langkah utama dalam merancang suatu program
pendidikan individual (PPI) adalah sebagai berikut.
a. Membentuk tim PPI atau Tim Penilai Program Pendidikan yang
diindividualisasikan (TP3I), yang mencakup guru khusus, guru reguler,
diagnostician, kepala sekolah, orang tua, siswa, serta personel lain yang
diperlukan.
b. Menilai kekuatan dan kelemahan serta minat siswa yang dapat dilakukan
dengan assessment.
c. Mengembangkan tujuan-tujuan jangka panjang dan sasaran-sasaran
jangka pendek.
d. Merancang metode dan prosedur pencapaian tujuan
e. Menentukan metode dan evaluasi kemajuan.
2. Prinsip Pembelajaran
Ada beberapa prinsip utama dalam memberikan pendidikan pada anak
tunadaksa, diantaranya sebagai berikut.
a. Prinsip multisensori (banyak indra)
Proses pendidikan anak tunadaksa sedapat mungkin memanfaatkan dan
mengembangkan indra-indra yang ada dalam diri anak karena banyak anak
tunadaksa yang mengalami gangguan indra. Dengan pendekatan
multisensori, kelemahan pada indra lain dapat difungsikan sehingga dapat
membantu proses pemahaman.
b. Prinsip individualisasi
Individualisasi mengandung arti bahwa titik tolak layanan pendidikan
adalah kemampuan anak secara individu. Model layanan pendidikannya
dapat berbentuk klasikal dan individual. Dalam model klasikal, layanan
pendidikan diberikan pada kelompok individu yang cenderung memiliki
kemampuan yang hampir sama, dan bahan pelajaran yang diberikan pada
masing-masing anak sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.

3. Penataan Lingkungan Belajar


Berhubung anak tunadaksa mengalami gangguan motorik maka dalam
mengikuti pendidikan membutuhkan perlengkapan khusus dalam lingkungan
belajarnya. Gedung sekolah sebaiknya dilengkapi ruangan/sarana tertentu
yang memungkinkan dapat mendukung kelancaran kegiatan anak tunadaksa
di sekolah. Bangunan-bangunan gedung sebaiknya dirancang dengan
memprioritaskan 3 kemudahan, yaitu anak mudah ke luar masuk, mudah
bergerak dalam ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian atau segala
sesuatu yang ada di ruangan itu mudah digunakan (Musyafak Assyari, 1995).
Beberapa kondisi khusus mengenai gedung itu adalah sebagai berikut.
a. Macam-macam ruangan khusus, seperti ruang poliklinik/UKS untuk
pemeriksaan dan perawatan kesehatan anak, ruang untuk latihan bina
gerak (physiotherapy), ruang untuk bina bicara (speech therapy), ruang
untuk bina diri, terapi okupasi, dan ruang bermain, serta lapangan.
b. Jalan masuk menuju sekolah sebaiknya dibuat keras dan rata yang
memungkinkan anak tunadaksa yang memakai alat bantu ambulasi,
seperti kursi roda, tripor, brace, kruk, dan lain-lain, dapat bergerak
dengan aman.
c. Tangga sebaiknya disediakan jalur lantai yang dibuat miring dan landai
d. Lantai bangunan baik di dalam dan di luar gedung sebaiknya dibuat dari
bahan yang tidak licin.
e. Pintu-pintu ruangan sebaiknya lebih lebar dari pintu biasa dan daun
pintunya dibuat mengatup ke dalam.
f. Untuk menghubungkan bangunan/kelas yang satu dengan yang lain
sebaiknya disediakan lorong (koridor) yang lebar dan ada pegangan di
tembok agar anak dapat mandiri berambulasi.
g. Pada beberapa dinding lorong dapat dipasang cermin besar untuk
digunakan anak mengoreksi sendiri sikap/posisi jalan yang salah.
h. Kamar mandi/kecil sebaiknya dekat dengan kelas-kelas agar anak mudah
dan segera dapat menjangkaunya.
i. Dipasang WC duduk agar anak tidak perlu berjongkok pada waktu
menggunakannya.
j. Kelas sebaiknya dilengkapi dengan meja dan kursi yang konstruksinya
disesuaikan dengan kondisi kecacatan anak, misalnya tinggi meja kursi
dapat disetel, tanganan, dan sandaran kursi dimodifikasi, dan dipasang
belt (sabuk) agar aman.

B. PERSONEL
Personel yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan anak
tunadaksa adalah berikut ini.
1. Guru yang berlatar belakang pendidikan luar biasa, khususnya pendidikan
anak tunadaksa;
2. Guru yang memiliki keahlian khusus, misalnya keterampilan dan
kesenian;
3. Guru sekolah biasa;
4. Dokter umum;
5. Dokter ahli ortopedi;
6. Neurolog;
7. Ahli terapi lainnya, seperti ahli terapi bicara, physiotherapist dan
bimbingan konseling, serta orthotist prosthetist
C. Pemanfaat Media Bagi Anak Tunadaksa
Anak Tuna Daksa dari segi mental dan otaknya normal hanya saja mereka memiliki
keterbatasan fisik sehingga memerlukan layanan khusus dan alat bantu gerak , agar mereka
bisa melakukan aktifitas sehari-hari tanpa adanya bantuan dari orang lain. Media
pembelajaran yang digunakan untuk anak tuna daksa sama dengan anak-anak normal
lainnya hanya saja disesuaikan dengan materi dan kecacatan bagian yang mana dialami
oleh anak. Agar terciptanya proses belajar mengajar yang kondusif.

ANTI-VIBRATING PEN

Penderita tuna daksa memiliki kekurangan pada bagian-bagian tubuh mereka.


Seperti kekurangan anggota tubuh. Namun secara fisiologis penderita tuna daksa juga
mengalami gangguan pada system geraknya. Salah satunya adalah tremor. Gejala yang
tampak jelas pada tipe tremor adalah gerakan-gerakan kecil dan terus menerus berlangsung
sehingga tampak seperti bentuk getaran-getaran. Gerakan itu dapat terjadi pada kepala,
mata, tungkai, dan bibir. Kelainan ini menyebabkan mereka kesusahan dalam kegiatan
belajar, seperti menulis. Di sini kami memikirkan cara bagaimana supaya getaran yang di
sebabkan oleh kelainan system gerak tersebut dapat teratasi. Sehingga bisa memudahkan
mereka dalam menulis.

Sebetulnya teknologi untuk penderita tremor ini sudah ada. Kita bisa melihatnya
pada produk “Liftware Spoon” dari Google. Google telah mulai mempromosikan sendok
Liftware sebagai sebuah alat yang menggunakan ratusan algoritma untuk merasakan
bagaimana tangan gemetar dan membuat penyesuaian instan untuk tetap seimbang. Produk
ini ditujukan untuk orang-orang dengan tremor esensial dan penyakit Parkinson yang
menurut Google, dapat mengurangi gemetar mangkuk sendok (ketika memegangnya) rata-
rata 76%. Melalui teknologi yang diciptakan google ini, kami berpikir bagaimana kalau
teknologi ini diterapkan dalam bidang pendidikan, khususnya pada alat tulis seperti pulpen
atau pensil. Cara kerja dan komponen alat ini mungkin nantinya akan sama. Hanya saja
bentuk, ukuran dan fungsinya akan berbeda. Didalam pena akan dipasang sensor gerak
tadi, dan gerakan-gerakan tersebut akan diambil oleh computer embedded dan direspon
oleh active cacellation ( semacam teknologi peredam gerak ). Dengan menggunakan active
cancellation untuk menstabilkan gerak skala besar. Jadi, ia seperti akan melawan getaran
dengan bergerak ke arah sebaliknya. Kesemuannya itu akan di kemas dalam perangkat
keras berupa pulpen anti getar (tremor) yang diberi nama “Anti-Tremor Pen”. Dengan
begitu, diharapkan alat ini nantinya akan menjadi terobosan dalam bidang pendidikan yang
mudah-mudahan akan sangat membantu penderita tremor baik pada tunadaksa maupun
penderita Parkinson. Namun, jika melihat produk yang ditawarkan google tadi, alat ini
memiliki kekurang dalam hal harga. Bisa dikatakan alat Liftware Spoon tadi dibandrol
dengan harga yang cukup mahal. Yaitu sekitar US$ 295 atau Rp 3 juta untuk satu unit
sendok. Sementara jika dilihat dari kondisi masyarakat kita, sepertinya akan memiliki
kesulitan sendiri dalam mendifusikan teknologi tersebut. Namun, hal tersebut dapat teratasi
jika ada bantuan dan dukungan yang baik dari pemerintah atau pihak terkait yang bersedia
mebantu.

Daftar pustaka
https://aprileopgsd.wordpress.com/tag/tuna-daksa/
http://seputarpengertian.blogspot.co.id/2017/03/pengertian-tuna-daksa-serta-klasifikasi-dan-
penyebabnya.html
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masih banyak masyarakat umum yang menganggap anak berkebutuhan khusus
(ABK) adalah anak yang kemampuanya dibawah rata-rata atau bahkan tidak memiliki
kemampuan apapun. Salah satu dari mereka adalah anak tunagarahita. Anak tunagrahita
adalah anak yang mengalami hambatan dan keterbelakangan mental, jauh di bawah rata-
rata yang ditandai oleh keterbatasan akademik dan ketidak cakapan dalam interaksi dan
komunikasi sosial.
Namun walaupun begitu, anak tunagrahita juga memiliki hak yang sama dengan
anak normal lainnya. Salah satu hak itu adalah mendapatkan pendidikan. Meskipun
memiliki hambatan intelektual, mereka masih memiliki potensi yang dapat dikembangkan
sesuai dengan kapasitas yang dimiliki oleh mereka dan sesuai dengan kebutuhan mereka.
Hal tersebut diatur dalam UUD’45 pasal 31 ayat 1, yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap
warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”. Hal tersebut lebih diperjelas lagi dalam
UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 5 ayat 2, dan pasal
33 ayat 1, menyatakan bahwa warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional,
mental, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, ini berarti pemenuhan
pendidikan tidak memandang status sosial dan ekonomi seseorang. Setiap orang berhak
mendapat pendidikan yang sejajar, hal ini juga berlaku bagi anak berkebutuhan khusus
(ABK). Akan tetapi, dengan kondisi ABK yang tidak dapat disamakan dengan siswa
normal lain sering membuat ABK tidak mendapatkan pendidikan sebagaimana yang
seharusnya. Beberapa penyebabnya adalah jumlah SLB yang masih sedikit, banyak sekolah
umum yang tidak mau menerima anak ABK, biaya sekolah di SLB yang terlalu tinggi, atau
jarak tempuk dari rumah ke SLB yang terlalu jauh.
Pemerataan pendidikan bagi ABK saat ini telah diupayakan oleh pemerintah, salah
satunya adalah dengan adanya pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi adalah pendidikan
yang menggabungkan antara siswa normal dengan siswa berkebutuhan khusus ke dalam
satu kelas. Pendidikan inklusi merupakan salah satu upaya dalam mengembangkan
keterampilan akademik dan sosial bagi ABK maupun anak normal agar dapat hidup
bersama, saling memahami dan menerima.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu anak Tunagrahita?
2. Bagaimana pendidikan anak Tunagrahita?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu anak Tunagrahita
2. Untuk mengetahui bagaimana pendidikan anak Tunagrahita

BAB 2
PEMBAHASAN
A. Definisi dan Karakteristik Anak Tuna Grahita
a. Definisi Anak Tunagrhita
Tunagrahita adalah anak yang mengalami hambatan dan keterbelakangan mental,
jauh di bawah rata- rata. Gejalanya tak hanya sulit berkomunikasi, tetapi juga sulit
mengerjakan tugas-tugas akademik. Ini karena perkembangan otak dan fungsi sarafnya
tidak sempurna. Anak-anak seperti ini lahir dari ibu kalangan menengah ke bawah. Ketika
dikandung, asupan gizi dan zat antibodi ke ibunya tidak mencukupi.
Definisi lain yang diterima secara luas dan menjadi rujukan utama ialah definisi
yang dirumuskan oleh Grossman yang secara resmi digunakan AAMD (American
Association of Mental Deficiency) yaitu ketunagrahitaan mengacu pada fungsi intelektual
umum yang secara nyata (signifikan) berada di bawah rata-rata (normal) bersamaan dengan
kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian diri dan semua ini berlangsung pada masa
perkembangan.
b. Karakteristik Anak Tunagrahita
 Karakteristik anak tunagrahita menurut Depdiknas (2003):
a. Penampilan fisik tidak seimbang
b. Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai dengan usianya
c. Perkembangan bicara/bahasanya terhambat
d. Kurang perhatian pada lingkungan
e. Koordinasi gerakannya kurang dan sering mengeluarkan ludah tanpa sadar.

c. Faktor Penyebab
Tuna grahita disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
1. Faktor Genetis. Faktor ini meliputi kersusakan/kelainan biokimiawi, abnormalitas
kromosom. Anak tuna grahita yang disebabkan oleh faktor ini pada umumnya
memiliki IQ 20 – 60 dan rata-rata memiliki IQ 30 – 50.
2. Faktor Prenatal, meliputi Infeksi Rubella (cacar) dan Faktor Rhesus.
3. Faktor pada saat kelahiran. Pada saat kelahiran tuna grahita yang disebabkab oleh
kejadian yang terjadi pada saat kelahiran adalah luka-luka pada saat kelahiran,
sesak nafas (asphyxia) dan lahir prematur.
4. Faktor setelah lahir. Penyakit-penyakit akibat infeksi misalnya menengitis
(peradangan pada selaput otak) dan problem nutrisi yaitu kekurangan gizi.
5. Faktor Sosio-kultural
6. Gangguan metabolisme/Nutrisi
d. Klasifikasi Anak Tunagrahita
Ada beberapa klasifikasi anak Tunagrahita yang di ukur melalui IQ:
1. Tunagrahita Ringan (IQ 70-55)
a. Mampu dididik dan dilatih. Misalnya, membaca, menulis, berhitung, menjahit,
memasak, bahkan berjualan.
b. Lebih mudah diajak berkomunikasi.
c. Kondisi fisik mereka tidak begitu mencolok.
d. Mampu berlindung dari bahaya apapun sehingga tidak memerlukan pengawasan
ekstra.
2. Tunagrahita Sedang (IQ 55-40)
a. Mampu diajak berkomunikasi.
b. Tidak begitu mahir dalam menulis, membaca, dan berhitung. Tetapi, ketika ditanya
siapa nama dan alamat rumahnya akan dengan jelas dijawab.
c. Dapat bekerja di lapangan namun dengan sedikit pengawasan.
d. Mampu berlindung diri dari bahaya namu dengan sedikit pengawasan
3. Tunagrahita Berat (IQ 40-25)
Anak tunagrahita berat disebut juga idiot. karena dalam kegiatan sehari-hari mereka
membutuhkan pengawasan, perhatian, bahkan pelayanan yang maksimal. Mereka tidak
dapat mengurus dirinya sendiri apalagi berlindung dari bahaya.

Perbedaan kemampuan belajar dan penyelesaian tugas anak tunagrahita berdasarkan


ekuivalensi usia kalender (CA) dengan Usia Mental (MA) sebagai berikut:

Nama Umur IQ Umur Kemampuan mempelajari dan


(CA) kecerdasan melakukan tugas
(MA)
Si A 10 th 100 10 tahun Ia tidak kesulitan mempelajari
kemampuan tugas-tugas seumurnya
karena CA-nya,
sama dengan MA-nya (normal)

Si B 10 th 70-55 7-5,5 tahun Ia dapat mempelajari materi


pembelajaran/tugas anak usia 5,5 tahun
sampai dengan 7 tahun

Si C 10 th 55-40 5,5-4 tahun Ia dapat mempelajari materi


pembelajaran/tugas anak usia 4 tahun
sampai dengan 5,5 tahun
Si D 10 th 40-25 4 th -2,5 tahun Ia dapat mempelajari materi
pembelajaran/tugas anat usia 4 tahun
sampai 2,5 tahun
Si E 10 th 25 ke 2,5 tahun ke Ia dapat mempelajari materi
bawah pembelajaran/tugas anak usia 2,5 tahun
ke bawah

B. Pendidikan Bagi Anak Tunagrahita


Anak tunagrahita sangat memerlukan pendidikan serta layanan khusus yang berbeda
dengan anak-anak pada umumnya. Ada beberapa pendidikan dan layanan khusus yang
disediakan untuk anak tunagrahita, yaitu:
a. Kelas Transisi
Kelas ini diperuntukkan bagi anak yang memerlukan layanan khusus termasuk anak
tunagrahita. Kelas transisi sedapat mungkin berada disekolah reguler, sehingga pada
saat tertentu anak dapat bersosialisasi dengan anak lain. Kelas transisi merupakan kelas
persiapan dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan modifikasi
sesuai kebutuhan anak.
b. Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa bagian C dan C1/SLB-C,C1)
Layanan pendidikan untuk anak tunagrahita model ini diberikan pada Sekolah Luar
Biasa. Dalam satu kelas maksimal 10 anak dengan pembimbing/pengajar guru khusus
dan teman sekelas yang dianggap sama keampuannya (tunagrahita). Kegiatan belajar
mengajar sepanjang hari penuh di kelas khusus. Untuk anak tunagrahita ringan dapat
bersekolah di SLB-C, sedangkan anak tunagrahita sedang dapat bersekolah di SLB-C1.
c. Pendidikan terpadu
Layanan pendidikan pada model ini diselenggarakan di sekolah reguler. Anak
tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler di kelas yang sama dengan
bimbingan guru reguler. Untuk mata pelajaran tertentu, jika anak mempunyai kesulitan,
anak tunagrahita akan mendapat bimbingan/remedial dari Guru Pembimbing Khusus
(GPK) dari SLB terdekat, pada ruang khusus atau ruang sumber. Biasanya anak yang
belajar di sekolah terpadu adalah anak yang tergolong tunagrahita ringan, yang
termasuk kedalam kategori borderline yang biasanya mempunyai kesulitan-kesulitan
dalam belajar (Learning Difficulties) atau disebut dengan lamban belajar (Slow
Learner).
d. Program sekolah di rumah
Progam ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita yang tidak mampu mengkuti
pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasannya, misalnya: sakit. Proram
dilaksanakan di rumah dengan cara mendatangkan guru PLB (GPK) atau terapis. Hal
ini dilaksanakan atas kerjasama antara orangtua, sekolah, dan masyarakat.
e. Pendidikan inklusif
Model ini menekankan pada keterpaduan penuh, menghilangkan labelisasi anak
dengan prinsip “Education for All”. Layanan pendidikan inklusif diselenggarakan pada
sekolah reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler, pada
kelas dan guru/pembimbing yang sama. Pada kelas inklusi, siswa dibimbing oleh 2
(dua) orang guru, satu guru reguler dan satu guru khusus. Guna guru khusus untuk
memberikan bantuan kepada siswa tunagrahita jika anak tersebut mempunyai kesulitan
di dalam kelas.
f. Panti (Griya) Rehabilitasi
Panti ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita pada tingkat berat, yang mempunyai
kemampuan pada tingkat sangat rendah, dan pada umumnya memiliki kelainan ganda
seperti penglihatan, pendengaran, atau motorik. Program di panti lebih terfokus pada
perawatan. Pengembangan dalam panti ini terbatas dalam hal :
 Pengenalan diri
 Sensorimotor dan persepsi
 Motorik kasar dan ambulasi (pindah dari satu temapt ke tempat lain)
 Kemampuan berbahasa dan dan komunikasi
 Bina diri dan kemampuan sosial

Pendidikan Anak Tunagrahita di Indonesia

Untuk anak tunagrahita, di Indonesia telah ada berbagai layanan pendidikan yang
disediakan agar anak tunagrahita bisa mendapatkan pendidikan seperti halnya anak pada
umumnya. Ada berbagai macam layanan pendidikan bagi anak tunagrahita saat ini, contohnya
SLB C, sekolah inklusif dan masih banyak lagi. Di Indonesia pendidikan yang inklusif atau
menuju inklusif pun terus digencarkan, setidaknya mulai 2001 pendidikan inklusi telah
menjadi program Direktorat Pendidikan Luar Biasa yang bertugas untuk mengatur pelaksanaan
pendidikan luar biasa tidak hanya di SLB namun juga di sekolah-sekolah reguler, termasuk
salah satunya adalah membekali para guru di semua sekolah reguler dengan pengetahuan dan
keterampilan layanan bagi anak berkebutuhan khusus. Beberapa sekolah pun baik itu SD,
SMP, dan SMA reguler telah ditunjuk menjadi sekolah penyelenggara pendidikan inklusif.
Walaupun memang dalam pelaksanaannya masih terdapat hambatan.

C. Kurikulum Anak Tunagrahita


a. Modifikasi Kurikulum
1) Modified Subject Curriculum (beberapa maple diajarkan bersama-sama)
2) Activity Curriculum (project dan experience)
b. Kurikulum Adaptif
Menggunakan kurikulum biasa dan isinya disesuaikan dengan memperhatikan
perbedaan individual dan MA yang sama dengan anak biasa. Pokok bahasan yang
dianggap penting mendapat bobot yang lebih banyak
c. Cognitive-development Kurikulum
Didasarkan pada tugas perkembangan anak normal-Piaget
d. Behavioral Kurikulum
Memperhatikan pentingnya reinforcement-Skinner
e. Gabungan dari hal-hal diatas

Menurut Moh. Amin (1995), isi kurikulum meliputi kelompok bina diri, kelompok
akademis (bahasa, berhitung, IPA dan IPS), kelompok sensorimotor, dan kelompok
ketrampilan.
Tingkatan Pembelajaran anak tunagrahita meliputi :
1. CA di bawah 6 tahun = MA 2,5- 4 tahun
Tujuan pembelajarannya adalah mengembangkan kemampuan komunikasi, bina diri,
motoric kasar, sosialisasi dan perubahan situasi rumah dan sekolah
2. CA 6-9 tahun = MA 3-6/6,5 tahun
Tujuan pembelajarannya adalah latihan persiapan tool subject, latihan koordinasi
motoric halus
3. CA 10-14 tahun = MA 5-10,5 tahun
Tujuan pembelajarannya adalah mengembangkan kemampuan tool subject,
prevokasional, kesehatan, kemandirian, dan konsep-konsep kemandirian.
4. CA 14-21 tahun = 7-12 tahun
Tujuan pembelajarannya adalah mengembangkan aplikasi tool subject, kemampuan
personal, ekonomi, dan praktek vokasional dalam situasi kehidupan, persiapan hidup
mandiri.

D. Media Pembelajaran Tunagrahita

Anda mungkin juga menyukai