Anda di halaman 1dari 18

49

3. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian


Secara administratif, lokasi penelitian termasuk ke dalam kawasan Kota
Makassar, Propinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini telah dilaksanakan dari
bulan Mei 2007 dan November 2010 dengan mengambil lokasi penelitian di
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Kota Makassar. Kawasan pulau-pulau
kecil terdiri dari 11 buah pulau-pulau kecil dan kawasan pesisir terdiri dari 5
kawasan pantai yang merupakan kawasan wisata di kawasan pesisir. Kawasan
wisata di wilayah pesisir meliputi: Pantai Losari, Pantai Tanjung Bunga, Pantai
Barombong, Pantai Paotereq, dan Pantai Untia (Gambar 6). Kawasan wisata
pulau-pulau kecil meliputi: Pulau Kayangan, Pulau Samalona, Pulau Lae-Lae,
Pulau Kodinggareng Lompo, Pulau Kodinggareng Keke, Pulau Barrang Lompo,
Pulau Barrang Caddi, Pulau Bonetambung, Pulau Lumu-lumu, Pulau Langkai,
dan Pulau Lancukang (Gambar 7).

3.2. Jenis Data dan Informasi


Jenis data dan informasi yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan
data sekunder yang meliputi data biogeofisik, data sosial, data ekonomi, data
budaya, dan data kelembagaan. Jenis data dan informasi disajikan pada
Lampiran 1.

3.3 Metode Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan melalui pengumpulan data primer dan data
sekunder. Data yang digunakan bersumber dari responden dan stakeholder
dalam bidang wisata bahari. Data primer diperoleh melalui pengamatan
langsung di lapangan terhadap kegiatan wisata bahari yang berlangsung, kondisi
sumberdaya, dan posisi sumberdaya.
Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi yang terkait sektor wisata
bahari, baik ditingkat nasional/pusat maupun propinsi, kabupaten/kota,
kecamatan, kelurahan/desa, yang dilakukan dengan cara wawancara mendalam
(depth interview) dan wawancara berstruktur (struktured interview), diskusi,
50

pengisian kuesioner, pengamatan berstruktur (structured observation),


pengamatan terlibat (participant observation). Data sekunder meliputi data
statistik, hasil penelitian terdahulu, hasil studi pustaka, laporan dan publikasi
lainnya.

3.3.1 Tutupan Karang


Pengumpulan data tutupan karang dilakukan dengan menggunakan
metode Line Intercept Trancec (LIT) mengikuti (English et al, 1997 in Yusuf,
2007) dengan beberapa modifikasi. Panjang garis transek adalah 50 m yang
diukur pada kedalaman 3 m dan 10 m. Teknis pelaksanaannya di lapangan yaitu
seorang penyelam meletakkan meteran sepanjang 50 m sejajar garis pantai
dimana posisi pantai terletak di sebelah kiri penyelam. Pencatatan tutupan
karang dilakukan tepat di garis meteran dengan ketelitian centimeter.
Pengamatan biota pengisi dasar didasarkan pada bentuk pertumbuhan (life form)
dengan kode-kode tertentu (English et al, 1994 in Yusuf, 2007). Pengukuran
data tutupan karang dilakukan diseluruh lokasi penelitian.

3.3.2 Ikan Karang


Pengambilan data ikan karang menggunakan metode underwater visual
census (UVC) pada transek terumbu karang yang sama. Pencatatan ikan karang
dilakukan dengan mencacat seluruh species dan jumlah ikan karang yang
dijumpai pada jarak 2,5 m di sebelah kiri dan sebelah kanan garis transek yang
digunakan pada pengamatan karang sepanjang 50 m, sehingga luas keseluruhan
bidang pengamatan per transek adalah (5 x 50) = 250 m.

3.3.3 Parameter Kualitas Perairan


Pengambilan data parameter kualitas perairan dilakukan secara langsung
di lokasi penelitian. Data parameter kualitas perairan yang diukur adalah suhu
dengan menggunakan thermometer, salinitas menggunakan refraktometer,
kecepatan arus menggunakan floating droadge, serta kecerahan perairan diukur
dengan menggunakan secchi disk.
51

3.3.4 Data Sosial, Ekonomi, Budaya dan Kelembagaan


Pengambilan data sosial, ekonomi, budaya, dan kelembagaan diperoleh
dengan melakukan pengamatan langsung dilapangan dan wawancara langsung
dengan stakeholder dengan menggunakan metode PCRA (partisipatory coastal
rural apraisal). Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang
telah dipersiapkan.
a) Wawancara (interview). Wawancara ini dilakukan untuk memperoleh
informasi lebih lanjut dari masyarakat sekitar dan lembaga-lembaga
yang terkait dengan pengembangan dan pengambilan kebijakan serta
dengan wisatawan domestik maupun mancanegara di kawasan
penelitian dengan menggunakan alat bantu daftar pertanyaan
(kuisioner).
b) Pengamatan (observation). Kegiatan ini meliputi pengumpulan data
primer dengan cara mengamati aktivitas masyarakat setempat dan
wisatawan yang berkaitan dengan kegiatan wisata bahari untuk
mengetahui tingkat kepedulian dan kelestarian sumberdaya dalam
melakukan aktivitas wisata bahari di kawasan penelitian.

3.3.5 Tehnik Penentuan Responden


Tehnik penentuan responden dalam rangka menggali data yang
dibutuhkan ditentukan dengan tehnik memilih secara sengaja (purposive
sampling). Purposive sampling artinya responden yang dipilih sesuai dengan
kebutuhan data penelitian yang memiliki keahlian khusus (pakar) dan
responden yang merupakan tokoh kunci (key person) yang dianggap
mempunyai kemampuan dan mengerti permasalahan yang terkait dengan
pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota
Makassar. Adapun responden yang sengaja dipilih dalam penelitian ini adalah :
1. Sekretaris Badan Riset Kelautan dan Perikanan RI.
2. Sekretaris Daerah Kota Makassar.
3. Ketua Bappeda Kota Makassar.
4. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Makassar.
5. Kepala Dinas Pariwisata Kota Makassar.
52

6. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Makassar.


7. Kepala Dinas Bapedalda Kota Makassar.
8. Ketua Majelis Ulama Indonesia Kota Makassar.
9. WALHI Kota Makassar.
10. LSM terkait Kota Makassar.
11. Wisatawan lokal dan wisatawan mancanegara.
12. Kepala kecamatan di kawasan pulau-pulau kecil Kota Makassar.
13. Penduduk pulau-pulau kecil Kota Makassar.
14. Pimpinan tour & travel di Kota Makassar.
15. Pimpinan hotel dan penginapan di Kota Makassar.
16. Pengembang kawasan wisata di pulau-pulau kecil Kota Makassar
Penentuan jumlah responden didasarkan pada keterwakilan instansi,
stakeholder dan lokasi. Total responden yang terpilih merupakan representasi
dari stakeholder pariwisata untuk pengembangan wisata bahari di kawasan
pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar, sehingga responden yang terpilih
sudah merepresentasikan dari masing-masing stakeholder.

3.4 Analisis Data


Analisis data potensi wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau
kecil Kota Makassar dilakukan melalui penerapan kriteria kelayakan bagi
peruntukan wisata bahari untuk membantu mengidentifikasi dan memilih
potensi wisata bahari secara obyektif yang didasarkan pada aspek ekologi,
sosial-budaya, dan ekonomi. Kriteria kelayakan tersebut merupakan faktor
pembatas yang diukur untuk menentukan kelas kesesuaian wisata bahari.
Analisis data meliputi: (1) analisis potensi sumberdaya alam yang terdiri
dari persentase tutupan karang hidup, kelimpahan ikan karang, dan parameter
kualitas perairan, (2) analisis kesesuaian dan daya dukung wisata bahari, (3)
analisis keberlanjutan pengembangan wisata bahari, dan (3) analisis kebijakan
pengembangan wisata bahari.
53

11 9 °2 2 '3 0 " 11 9 °2 5 '0 0 " 11 9 °2 7 '3 0 "

# K e c.
Y
B ir in g ka n a ya
6 . P a n t a i U n t ia

5°5'00"
5°5'00"

#
Y
K e c.
T a m a la n r e a

Î
o

all
# K e c. U ju n g t a n a h

.T
Y
S
#
Y K e c. T a llo

5°7'30"
5°7'30"

1 . P a n t a i L o s a ri # K e c. W a jo
Y
Î
# K e c. B o n to a l a
Y

4 #
K e c. P a n a kk u ka n g
Y
K e c. U ju n g p a n d a n g
P a n t a i d i K a w a s a n T a n ju n g B u n g a : 1 #
Y
2 . A k a re n a Y#
K e c. M a k a ss a r
3 . Ta n jun g B un ga
4 . Ta n jun g B a y a m #
Y
K e c.
M a n g g a la
2 # K e c. M a r is o
Y

5°10'00"
5°10'00"

#
Y
K e c. R a p p o c in i

# K e c. M a m a ja n g
Y
3

#
Y K e c. T a m a la t e
5 . P a n ta i B a r om b o ng
4
S. Jen ebera ng

5
Kab. G ow a
5°12'30"
5°12'30"

5 . P a n ta i B a r om b o ng

11 9 °2 2 '3 0 " 11 9 °2 5 '0 0 " 11 9 °2 7 '3 0 "

Peta Lok asi P enel iti an Keterangan : R osm awati Anw ar


Wil ayah P esi sir Kota Mak assa r Î Pelabuhan Peta Ind eks : N R P. C261040091
Batas Kabupaten Soppeng

Batas Kec amatan


N Bar ru

Sungai Bone
W E
Perairan D angk al
Pangk ajene
Program Studi SPL
S Kaw asan Pelabuhan Maros
Sekolah Pascasarjana
Maka ssa r Ins titut Pertanian Bogor
Sinjai
Gowa Su m be r Pe ta :
Ta kalar Bulukumba 1. Pe ta R BI B akosu rtan al
Bantae ng Skal a 1:5 0.00 0
1 0 1
Km
Jeneponto 2. C itra L an dsat 20 05
3. Su rvei L ap an gan

Gambar 6. Peta lokasi penelitian di wilayah pesisir Kota Makassar


54

Gambar 7. Peta lokasi penelitian di pulau-pulau Kecil Kota Makassar


54
55

3.4.1 Analisis Potensi Sumberdaya Alam


1). Persentase Tutupan Karang
Persentase tutupan karang adalah persentase tutupan jenis karang
hidup pada suatu area tertentu. Semakin tinggi persentase tutupan
karang hidup, maka kondisi terumbu karang semakin baik. Persentase
tutupan karang dihitung berdasarkan persamaan (Yulianda, 2007):
Ii
N = x 100 %
L
Keterangan: N = Persentase tutupan karang
Ii = Panjang transek yang melalui life form ke-i
L = Panjang transek garis

Data kondisi tutupan karang hidup yang dipeoleh dari persamaan diatas
kemudiakan dikategorikan berdasarkan Kriteria Baku Kerusakan Terumbu
Karang menurut Kepmen LH No.04 Tahun 2004, yaitu :
0 – 24,9% = Rusak
25 – 49,9% = Sedang
50 – 74,9% = Baik
75 – 100% = Sangat Baik

2). Kerapatan Vegetasi Mangrove


Kerapatan vegetasi mangrove dihitung dengan rumus Bengen (2002):
Di = ni / A
Keterangan:
- Di = Kerapatan species (individu/m2)
- ni = Jumlah total individu dari species i (individu)
- A = Luas areal total pengambilan contoh (m2)

3.4.2. Analisis Kesesuaian Wisata Bahari


Kegiatan wisata bahari yang akan dikembangkan hendaknya disesuaikan
dengan potensi sumberdaya dan peruntukannya, oleh karena setiap kegiatan
wisata bahari mempunyai persyaratan sumberdaya dan lingkungan yang sesuai
atau yang cocok dengan obyek wisata bahari yang akan dikembangkan.
56

Analisis kesesuaian wisata bahari dikawasan pesisir dan pulau-pulau kecil


adalah analisis yang menggambarkan tingkat kecocokan dan kemampuan kawasan
pesisir dan pulau-pulau kecil untuk mendukung pemanfaatan wisata bahari.
Tingkat kesesuaian wisata bahari dinyatakan dalam indeks kesesuaian wisata.
Indeks kesesuaian wisata bahari diformulasikan (Yulianda, 2007) sebagai berikut:
Ni
IKW = [ ∑ ] x 100 %
N m aks

Keterangan :
IKW = Indeks kesesuaian wisata
Ni = Nilai parameter ke-i (bobot x skor)
Nmaks = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata

Analisis kesesuaian wisata bahari dilakukan dalam tiga tahapan yaitu: 1)


penyusunan matriks kesesuaian, 2) pembobotan setiap faktor pembatas/parameter,
dan 3) pengharkatan (pemberian nilai) parameter/kriteria suatu peruntukan.
Penyusunan matriks kesesuaian wisata bahari meliputi wisata pantai, wisata
mangrove, wisata snorkling, dan wisata diving yang dilakukan berdasarkan
kondisi fisik sumberdaya alam di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota
Makassar. Selanjutnya, dilakukan pembobotan pada setiap parameter berdasarkan
pada dominannya parameter tersebut terhadap peruntukan kegiatan wisata bahari,
kemudian diberikan nilai. Pemberian nilai (pengharkatan) bertujuan untuk menilai
parameter terhadap suatu evaluasi kesesuaian wisata bahari. Hasil perkalian antara
bobot dan nilai/harkat masing-masing parameter merupakan skor dari parameter
tertentu dalam suatu peruntukan kegiatan wisata bahari. Jumlah seluruh skor dari
setiap parameter disebut total skor suatu peruntukan kegiatan wisata bahari.
Total skor tersebut diatas, dipakai untuk menentukan kelas kesesuaian
lahan. Kelas kesesuaian lahan mempunyai interval/rentang kelas yang tergantung
dari jumlah kelas kesesuaian, total skor maksimum, dan total skor minimum untuk
suatu kegiatan wisata bahari. Interval kelas berfungsi untuk menentukan
klasifikasi kelas kesesuaian dari total skor peruntukan wisata bahari. Interval kelas
kesesuaian wisata bahari ditentukan berdasarkan formulasi (Yulianda, 2007)
sebagai berikut:
57

TotalSkorMax TotalSkorMin
RKβ =
JumlahKelas
Keterangan:
RKβ = Rentang/interval kelas dalam kegiatan wisata bahari β
Total skor max β = Total skor tertinggi dalam kegiatan wisata bahari β
Total skor min β = Total skor terendah dalam kegiatan wisata bahari β
Jumlah kelas β = Banyaknya kelas kesesuaian dalam wisata bahari β

Dalam penelitian ini, kelas kesesuaian dibagi ke dalam tiga kelas kesesuaian
yang didefinisikan sebagai berikut:

Kelas S1 = Sangat sesuai (highly suitable). Daerah ini tidak mempunyai pembatas
yang serius untuk menerapkan perlakuan yang diberikan atau hanya
mempunyai pembatas yang tidak berarti atau tidak berpengaruh
secara nyata terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikkan
masukan/tingkatan perlakuan yang diberikan.
Kelas S2 = Sesuai (moderately suitable). Daerah ini mempunyai pembatas yang
agak serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus
diterapkan. Pembatas ini akan meningkatkan tingkatan perlakuan
yang diperlukan.
Kelas N = Tidak Sesuai (not suitable). Daerah ini mempunyai pembatas-
pembatas, sehingga mencegah segala kemungkinan perlakuan pada
daerah tersebut.

1). Wisata Pantai dan Wisata Mangrove


Wisata pantai dibagi dalam dua kategori wisata yaitu kategori rekreasi dan
kategori wisata mangrove dengan mengacu dari Yulianda (2007). Kesesuaian
wisata pantai kategori rekreasi dengan mempertimbangkan 10 parameter dengan
tiga klassifikasi penilaian (Tabel 1). Kesesuaian wisata pantai kategori wisata
mangrove mempertimbangkan lima parameter dengan tiga klasifikasi penilaian
disajikan pada Tabel 2.
58

Tabel 1. Matriks kesesuaian wisata pantai kategori rekreasi

No. Parameter Bobot Kategori Skor


0-3 3
Kedalaman Perairan >3-6 2
1. 5
(m) >6 – 10 1
>10 0
>15 3
Lebar Pantai 10-15 2
2. 5
(m) 3-<10 1
<3 0
Pasir Putih 3
Pasir putih sedikit karang 2
3. Tipe Pantai 5 Pasir hitam, berkarang, sedikit 1
terjal
Lumpur, berbatu, terjal 0
Pasir 3
Karang berpasir 2
4. Material dasar perairan 3
Pasir berlumpur 1
Lumpur 0
0-0,17 3
Kecepatan arus 0,17-0,34 2
5. 3
(m/detik) 0,34-0,51 1
>0,51 0
<10 3
Kemiringan pantai 10-25 2
6. 3
(()) >25-45 1
>45 0
>75 3
Kecerahan perairan >50-75 2
7. 1
(%) 20-50 1
<20 0
Kelapa, lahan terbuka 3
Semak belukar, rendah, 2
savanna
8. Penutupan lahan pantai 1
Belukar tinggi 1
Hutan bakau, pemukinan, 0
pelabuhan
Tidak ada 3
Bulu babi 2
9. Biota berbahaya 1
Bulu babi, ikan pari 1
Bulu babi, ikn pari, lepu, hiu 0
<0,5 (km) 3
>0,5-1 (km) 2
10. Ketersediaan air tawar 1
>1-2 1
>2 0
Sumber: Yulianda (2007).

Keterangan:
Nilai maksimum = 84
S1 = Sangat sesuai, dengan IKW 83 – 100 %
S2 = Sesuai, dengan IKW 50 - < 83 %
TS= Tidak sesuai, dengan IKW < 50 %
59

Tabel 2. Matriks kesesuaian wisata pantai kategori wisata mangrove


No. Parameter Bobot Kategori Skor
>500 3
Ketebalan mangrove >200-500 2
1. 5
(m) 50-200 1
<50 0
>15-25 3
Kerapatan mangrove >10-15; >25 2
2. 3
(100m2) 10-15 1
<5 0
>5 3
3-5 2
3. Jenis mangrove 3
2-1 1
0 0
0-1 3
Pasang surut >1-2 2
4. 1
(m) >2-5 1
>5 0
Ikan, udang, 3
kepiting,
moluska,
reptile, burung
Ikan, udang, 2
5. Obyek biota 1
kepiting,
moluska
Ikan, moluska 1
Salah satu 0
biota air
Sumber: Yulianda (2007).

Keterangan:
Nilai maksimum = 39
S1 = Sangat bersyarat, dengan IKW 83 – 100 %
S2 = Sesuai, dengan IKW 50 - < 83 %
TS= Tidak bersyarat , dengan IKW <50%

2). Wisata Bahari

Wisata bahari dalam penelitian ini dikelompokkan ke dalam dua kategori


wisata yaitu: wisata selam, dan wisata snorkling. Kesesuaian wisata bahari
kategori wisata selam mempertimbangkan tujuh parameter dengan tiga klassifikasi
penilaian (Tabel 3). Sedangkan, kesesuaian wisata bahari kategori wisata
snorkling mempertimbangkan enam parameter dengan tiga klasifikasi penilaian
(Tabel 4). Parameter yang digunakan untuk wisata selam yaitu kecerahan perairan,
60

tutupan komunitas karang, jenis ikan karang, kecepatan arus, kedalaman terumbu
karang, dan jenis life form. Adapun parameter yang digunakan untuk
mempertimbangkn kesesuaian wisata snorkling yaitu: kecerahan perairan, tutupan
komunitas karang, jenis ikan karang, kecepatan arus, kedalaman terumbu karang,
dan jenis life form.

Tabel 3. Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam.


No. Parameter Bobot Kategori Skor
>80 3
Kecerahan Perairan 50-80 2
1. 5
(%) 20- <50 1
<20 0
>75 3
Tutupan komunitas karang >50-75 2
2. 5
(%) 25-50 1
<25 0
>12 3
<7-12 2
3. Jenis life form 3
7-4 1
<4 0
>100 3
50-100 2
4. Jenis ikan karang 3
20-<50 1
<20 0
0-15 3
Kecepatan arus >15-30 2
5. 1
(cm/detik) >30-50 1
>50 0
6-15 3
Kedalaman terumbu karang >15-20 2
6. 1
(m) >20-30 1
>30 0
Sumber: Yulianda (2007).
Keterangan :
Nilai maksimum = 54
S1 = Sangat sesuai, dengan IKW 83 – 100 %
S2 = Sesuai, dengan IKW 50 - < 83 %
TS =-Tidak sesuai < 50 %
61

Tabel 4. Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata snorkling

No. Parameter Bobot Kategori Skor


100 3
Kecerahan perairan 80- <100 2
1. 5
(%) 20-<80 1
<20 0
>75 3
Tutupan komunitas karang >50-75 2
2. 5
(%) 25-50 1
<25 0
>12 3
<7-12 2
3. Jenis life form 3
7-4 1
<4 0
>50 3
30-50 2
4. Jenis ikan karang 3
10-<30 1
<10 0
0-15 3
Kecepatan arus >15-30 2
5. 1
(cm/detik) >30-50 1
>50 0
1-3 3
Kedalaman terumbu karang >3-6 2
6. 1
(m) >6-10 1
>10;<1 0
>500 3
Lebar hamparan datar karang >100-500 2
7. 1
(m) 20-100 1
<20 0
Sumber: Yulianda (2007)
Keterangan:
Nilai maksimum = 57
S1 = Sangat sesuai, dengan IKW 83 – 100 %
S2 = Sesuai, dengan IKW 50 - < 83 %
TS = Tidak sesuai, dengan IKW < 50 %

3.4.3. Analisis Daya Dukung Wisata Bahari


Konsep daya dukung wisata bahari mempertimbangkan kemampuan alam
untuk mentolerir gangguan/tekanan dari manusia, dan mempertimbangkan standar
keaslian sumberdaya alam (Yulianda, 2007). Metode yang digunakan untuk
menghitung daya dukung kawasan dalam pengembangan wisata bahari di
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar yaitu menggunakan konsep
daya dukung kawasan (DDK). Daya dukung kawasan adalah jumlah maksimum
pengunjung yang secara fisik dapat ditampung oleh kawasan yang telah
62

disediakan dalam waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan/kerusakan pada


sumberdaya alam dan manusia (Yulianda, 2007). Daya dukung kawasan dihitung
berdasarkan rumus:
Lp Wt
DDK = K x x
Lt Wp
Keterangan :
DDK = Daya dukung kawasan
K = Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area
Lp = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan
Lt = Unit area untuk kategori tertentu
Wt = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata
dalam satu hari
Wp = Waktu yang dihabiskan pengunjung untuk setiap
kegiatan tertentu.
Potensi ekologis pengunjung ditentukan oleh kondisi sumberdaya dan
jenis kegiatan yang akan dikembangkan (Tabel 5). Luas suatu area yang dapat
digunakan oleh pengunjung mempertimbangkan kemampuan alam mentolerir
pengunjung sehingga keaslian alam tetap terjaga.

Tabel 5. Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt).
Jenis K Unit Area Keterangan
Kegiatan (∑ (Lt)
Pengunjung)
Selam 2 2000 m2 Setiap 2 orang, 200 m x 10 m
2
Snorkling 1 500 m Setiap 1 orang 100 m x 5 m
Wisata 1 50 m2 Di hitung panjang track, setiap
Mangrove 1 orang sepanjang 50 m
Rekreasi 1 50 m2 1 orang, 50 m panjang pantai
Pantai
Sumber: Yulianda (2007)

Keterangan:
K = Jumlah pengunjung
Lt = Unit area untuk kategori wisata bahari tertentu

Daya dukung kawasan disesuaikan dengan karakteristik sumberdaya dan


peruntukannya. Setiap pengunjung (wisatawan) memerlukan ruang gerak yang
cukup luas dalam melakukan kegiatan wisata bahari. Kebutuhan manusia akan
ruang diasumsikan dengan keperluan ruang horizontal untuk dapat bergerak bebas
dan tidak merasa terganggu oleh keberadaan pengunjung (wisatawan) lainnya,
63

sehingga memerlukan adanya prediksi waktu yang dibutuhkan untuk melakukan


setiap kegiatan wisata bahari tersebut.
Waktu kegiatan pengunjung (Wp) dihitung berdasarkan lamanya waktu
yang dihabiskan oleh pengunjung untuk melakukan kegiatan wisata bahari.
Kegiatan wisata dirinci lagi berdasarkan kegiatan yang dilakukan. Waktu
pengunjung diperhitungkan dengan waktu yang disediakan untuk kawasan (Wt).
Waktu kawasan adalah lama waktu areal dibuka dalam satu hari, dan rata-rata
waktu kerja sekitar 8 jam (jam 8 – 16). Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk
setiap kegiatan wisata dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata


No. Kegiatan Waktu yang dibutuhkan Wp- Total waktu 1 hari
(jam) Wt-(jam)
1. Selam 2 8
2. Snorkling 3 6
3. Rekreasi pantai 3 6
4. Wisata mangrove 2 8
Sumber: Yulianda (2007)
Keterangan:
Wp = Waktu yang dihabiskan pengunjung untuk setiap
kegiatan tertentu.
Wt = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata
dalam satu hari.

3.4.4 Analisis Penyusunan Rencana Pengembangan Wisata Bahari


Penyusunan rencana pengembangan wisata bahari dilakukan dengan
menggunakan pendekatan sistem informasi geografis (GIS) dengan metode
tumpang susun (overlay). Masing-masing kondisi existing kawasan studi
dioverlay dengan hasil analisis kesesuaian. Dari hasil analisis GIS dengan metode
tumpang susun antara kondisi existing dengan hasil analisis kesesuaian, akan
didapatkan lokasi dan luasan masing-masing kawasan pengembangan.
Selanjutnya dilakukan analisis daya dukung kawasan untuk mengetahui kapasitas
jumlah wisatawan yang dapat ditampung dalam suatu kawasan pengembangan
yang diarahkan, agar memberikan rasa nyaman dan aman selama melakukan
kunjungan serta tingkat degradasi lingkungan dapat dimiimalisir. Akhirnya
tercipta pengembangan wisata bahari yang berkelanjutan.
64

3.4.5 Analisis Keberlanjutan


Analisis keberlanjutan pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir
dan pulau-pulau kecil Kota Makassar dilakukan dengan pendekatan
multidimensional scaling (MDS) yang disebut RAPSAECO. Metode
RAPSAECO merupakan pengembangan dari metode Rapfish yang digunakan
untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap (Pitcher dan Preikshot
2001 in Thamrin 2009). Analisis keberlanjutan ini dinyatakan dalam Indeks
Keberlanjutan Wisata Bahari (IKBW). Analisis keberlanjutan dilakukan melalui
tiga tahapan yaitu:
1). Penentuan atribut. Penentuan atribut pengembangan wisata bahari terdiri
dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, infrastruktur/teknologi
dan dimensi kelembagaan. Setiap atribut yang terpilih mencerminkan
keterwakilan dari dimensi yang bersangkutan. Atribut yang terpilih
digunakan sebagai indikator keberlanjutan dari dimensi tersebut.
2). Pemberian skor pada setiap atribut. Setiap atribut diberikan skor dalam
skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi dan
berdasarkan scientific judgement dari pembuat skor. Rentang skor
berkisar antara 0 - 3 yang diartikan nilai buruk (0) sampai nilai baik (3).
Nilai baik mencerminkan pengembangan wisata bahari dalam kondisi
menguntungkan, sehingga kondisi tersebut harus dipertahankan.
Sebaliknya, nilai buruk mencerminkan kondisi yang tidak
menguntungkan dalam pengembangan wisata bahari, sehingga harus
ditingkatkan.
3). Penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengembangan wisata
bahari. Penyusunan indeks dan status keberlanjutan dilakukan dengan
menganalisis nilai skor dari masing-masing atribut secara multidimensi
untuk menentukan satu atau beberapa titik yang mencerminkan posisi
keberlanjutan. Posisi keberlanjutan pengembangan wisata bahari, dikaji
terhadap dua titik acuan yaitu titik baik (good) dan titik buruk (bad).
Adapun nilai skor yang merupakan nilai indeks keberlanjutan setiap
dimensi disajikan pada Tabel 7.
65

Tabel 7. Nilai indeks keberlanjutan wisata bahari berdasarkan


analisis RAPSAECO
Nilai Indeks Kategori
0 – 24,99 Buruk
25 – 49,99 Kurang
50 – 74,99 Cukup
75 - 100 Baik

Sumber: Thamrin (2008), Susilo (2003).

Melalui metode MDS, posisi titik keberlanjutan divisualisasikan melalui


sumbu horizontal dan vertikal. Adanya proses rotasi mengakibatkan posisi titik
dapat divisualisasikan pada sumbu horizontal dengan nilai indeks keberlanjutan
yang diberi nilai skor 0 % (buruk) dan 100 % (baik). Jika sistem yang dikaji
mempunyai nilai indeks keberlanjutan ≥50 %, maka sistem dikatakan
berkelanjutan dan apabila nilai indeks keberlanjutan mempunyai nilai kurang
dari ≤50 %, maka sistem dikatakan tidak berkelanjutan. Illustrasi penentuan
indeks keberlanjutan wisata bahari disajikan pada Gambar 8.

0% (buruk) 50% 100% (baik)

Gambar 8. Illustrasi penentuan indeks keberlanjutan wisata bahari

Hershman, at al (1999) mengasumsikan bahwa tingkat keberlanjutan


pengelolaan wisata bahari merupakan nilai eksisting dan nilai ideal. Nilai
eksisting digunakan sebagai input analisis dan nilai ideal adalah nilai yang
diharapkan dari pengelolaan kawasan wisata. Nilai eksisting dan nilai ideal pada
setiap atribut diperoleh dari hasil analisis yang bertahap dan sistematik. Hasil
yang diperoleh merupakan besaran tingkat pencapaian saat ini. Atribut-atribut
tersebut selanjutnya dievaluasi kesesuaiannya dengan tujuan awal pengelolaan.
Jika nilai-nilai atribut eksisting cenderung mengarah pada tujuan awal
pengelolaan, maka hasil akhir dari analisis akan mengarah pada keefektifan
pengelolaan wisata bahari. Sebalinya, jika nilai atribut yang dicapai saat ini
menyimpang dari tujuan awal, maka kemungkinan pengelolaan wisata bahari
tidak efektif, sehingga perlu ditinjau kembali seluruh dimensi dan atributnya.
Dimensi yang tidak memperlihatkan ketidakefektifan diketahui melalui indeks
66

keefektifan pengelolaan yang diperoleh. Indeks yang dihasilkan dari hasil


analisis ini dapat diinterpretasikan sebagai tingkat keberlanjutan pengelolaan
wisata bahari yang dicapai sesuai dengan perencanaan dan tujuan awal
pengelolaan serta selalu mengalami pengembangan.

3.4.6 Analisis Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari


Analisis kebijakan pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan
pulau-pulau kecil dilakukan dengan pendekatan AWOT yang merupakan
gabungan dari analisis SWOT dan AHP dengan menggunakan software expert
choice 2000 dan Citerium Decision Making Plus versi 3.0. Analisis SWOT
dimaksudkan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematik untuk
merumuskan strategi kebijakan dengan memaksimalkan kekuatan (strength) dan
peluang (opportunities), namun meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan
ancaman (threats) yang ada atau yang mungkin ada dalam pengembangan wisata
bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar (Rangkuti, 2000).
Penentuan strategi yang terbaik, dilakukan dengan cara pembobotan antara
0 – 1,0 dengan memberikan rating untuk masing-masing unsur SWOT dengan
skala 1 sampai 4. Nilai 0 berarti tidak penting, dan nilai 1,0 berarti sangat penting.
Selanjutnya bobot dan rating dikalikan untuk mendapatkan skor. Selanjutnya
unsur-unsur SWOT dihubungkan keterkaitannya dalam bentuk matriks guna
memperoleh beberapa alternatif strategi kebijakan pengembangan wisata bahari.
Analisis AHP digunakan untuk menentukan prioritas kebijakan
pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota
Makassar yang paling menguntungkan. Tujuan analisis adalah untuk membantu
para pengambil keputusan untuk menentukan kebijakan yang akan diambil dengan
menetapkan prioritas dan membuat keputusan yang terbaik. Penentuan prioritas
kebijakan dilakukan dengan menyusun komponen-komponen masalah ke dalam
sebuah hierarki, lalu diberikan nilai dalam bentuk angka kepada setiap bagian
yang menunjukkan penilaian terhadap pentingnya setiap bagian tersebut. Penilaian
tingkat kepentingan setiap kebijakan disintesiskan melalui penggunaan eigen
vector guna menentukan variabel mana yang mempunyai prioritas tertinggi
(Budiharsono, 2001).

Anda mungkin juga menyukai