Secara bahasa, amanah berasal dari kata bahasa Arab : أ َ ِمنَ يَأ ْ َمنُ أ َ ْمناyang berarti aman/tidak
takut.[1] Dengan kata lain, aman adalah lawan dari kata takut. Dari sinilah diambil kata amanah
yang merupakan lawan dari kata khianat. Dinamakan aman karena orang akan merasa aman
menitipkan sesuatu kepada orang yang amanah.
Secara istilah, ada sebagian orang yang mengartikan kata amanah secara sempit yaitu menjaga
barang titipan dan mengembalikannya dalam bentuk semula. Padahal sebenarnya hakikat
amanah itu jauh lebih luas. Amanah menurut terminologi Islam adalah setiap yang dibebankan
kepada manusia dari Allah Ta’ala seperti kewajiban-kewajiban agama, atau dari manusia seperti
titipan harta.[2]
Pengertian ‘amanat’ pada QS. An-Nisa ayat 58 ini, ialah sesuatu yang dipercayakan kepada
seseorang untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
“Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-
gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir
akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya
manusia itu amat zalim dan amat bodoh,” (QS. Al-Ahzab: 72).
Syaikh Muhammad asy-Syinqithi rahimahullah memaknai ‘amanah’ dalam ayat di atas yaitu
beban-beban agama yang diiringi dengan pahala dan hukuman. Hal itu ditawarkan kepada langit,
bumi, dan gunung, tetapi semuanya enggan memikulnya, sedangkan manusia menyatakan siap
menerimanya. Maka manusia mana saja yang tidak menjaga amanah, dia amat zalim dan amat
bodoh, yaitu banyak kezhaliman dan kebodohan.
Keutamaan Amanah
“Menunaikan amanah wajib pada semua hal, pada wudhu’, mandi, sholat, zakat, dan semua jenis
ibadah”.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110)
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,
“Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka
rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut
adalah selemah-lemahnya iman. “ (HR. Muslim)
Di antara bentuk amanah dalam harta yang harus ditunaikan seseorang adalah memberikan
nafkah terhadap orang yang menjadi tanggungannya seperti isteri, anak, orang tua, dan
pembantu, baik dalam bentuk makanan, pakaian, biaya pendidikan dan lain sebagainya.
Memberikan nafkah kepada keluarga merupakan jenis nafkah yang paling utama, karena
memberikan nafkah kepada keluarga termasuk wajib, sedangkan yang lainnya termasuk sunnah.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Satu dinar yang engkau belanjakan di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, satu dinar yang
engkau keluarkan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada
seorang miskin dan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu, maka yang paling
besar pahalanya dari semua nafkah tersebut adalah satu dinar yang engkau nafkahkan untuk
keluargamu.” (HR. Muslim)
Begitu juga harta yang ada di dalam kendali seseorang dalam sebuah yayasan, organisasi atau
negara yang bukan milik pribadinya, melainkan milik yayasan, organisasi atau negara tersebut,
maka harus memeliharanya atau memberikannya kepada yang berhak. Berkaitan dengan ini Ibnu
Taimiyah berkata di dalam bukunya As-Siyasah Asy-Syar`iyyah: “…Bagi setiap penguasa dan
wakilnya dalam pemberian hendaknya memberikan setiap hak kepada pemiliknya, dan para
pengurus harta itu tidak boleh membagikannya menurut keinginannya sendiri seperti pemilik
harta membagikan hartanya, karena mereka adalah orang-orang yang diberikan amanah dan
para wakil bukan pemilik.”[7]
Sebagai amanah, maka orang yang menerima harta orang lain akan berurusan dengan Allah
sebelum ia berurusan dengan orang yang memberikan amanah kepadanya. Jika dalam menerima
amanah tersebut ia mempunyai niat untuk mengembalikannya, maka Allah pun akan
membantunya untuk dapat mengembalikannya. Tapi jika ia mempunyai niat untuk tidak
mengembalikannya, maka Allah pun akan membinasakannya.
Di antara bentuk amanah dalam kekuasaan adalah memberikan suatu tugas atau jabatan kepada
orang yang paling memiliki kapabilitas dalam tugas dan jabatan tersebut. Memberikan tugas atau
jabatan kepada orang yang tidak kapabel atau kepada seseorang yang dianggap kapabel padahal
ada orang yang lebih kapabel lagi, disebabkan karena ada hubungan kerabat atau persahabatan,
satu daerah, suku, golongan, partai, atau karena suap dan semacamnya, berarti ia telah berbuat
khianat dan akan menyebabkan kehancuran. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
“ وBarangsiapa mengangkat pemimpin karena fanatisme golongan, padahal disana
ada orang yang lebih diridloi oleh Allah, maka dia telah berhianat kepada Allah,
Rasulnya dan orang-orang mu’min.” (HR. Hakim)
Berkenaan dengan amanah kepemimpinan ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ أ َ ال َ َو ال َ غ َ ا د ِ َر أ َ ع ْ ظ َ م ُ ِم ْن أ َ ِم ي ْ ٍر ع َ ا مَ ه، ِ ي َ ْر ف َ ع ُ ل َ ه ُ ب ِ ق َ د ْ ِر غ ُ د ْ َر ت ِ ه، ِ ل ِ ك ُ ل ِ غ َ ا د ِ ٍر ل ِ َو ا ء ٌ عِ ن ْ د َ إ ِ س ْ ت ِ ه
“Setiap pengkhianat akan mendapatkan bendera di belakang (bokong). Panjang dan pendek
bendera tersebut sesuai dengan kadar penghianatannya. Ketahuilah bahwa penghiyanatan yang
paling besar adalah penghianatan seorang pemimpin terhadap rakyatnya.” (HR. Bukhari)