Anda di halaman 1dari 41

Laporan Kasus

GANGREN DIABETIKUM PEDIS DEXTRA + DIABETES


MELITUS TIPE 2 + SINDROMA DISPEPSIA

Disusun Oleh:

Rhamdani 04054821719133
Tri Kurniawan 04054821719134
Dyah Rahayu Utami 04054821719044

Pembimbing :
dr. H. Hadhimuljono, Sp.PD, FINASIM
dr. H. Ahmar Kurniadi, Sp.PD, KKVFINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT DR.SOBIRIN LUBUK LINGGAU
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
yang berjudul“Gangren Diabetikum Pedis Dextra + Diabetes Mellitus Tipe 2 +
Sindroma Dispepsia” sebagai salah satu tugas yang merupakan bagian dari
sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Rumah Sakit Dr. Sobirin
Lubuk Linggau.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. H.
Hadhimuljono, Sp.PD, FINASIM dan dr. H. Ahmar Kurniadi, Sp.PD,
KKVFINASIM selaku pembimbing yang telah membantu dalam penulisan dan
memberi masukan sehingga laporan kasus ini dapat selesai. Penulis menyadari
bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak terdapat kesalahan dan
kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan. Semoga laporan kasus ini bermanfaat dan menambah
wawasan bagi siapa saja yang membacanya.

Palembang, Agustus 2017

Tim Penulis

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Laporan Kasus:

GANGREN DIABETIKUM PEDIS DEXTRA + DIABETES MELLITUS +


SINDROMA DISPEPSIA

Oleh:

Rhamdani 04084821719133
Tri Kurniawan 04054821719134
Dyah Rahayu Utami 04054821719044

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Periode 10 April-6 Juni 2017.

Palembang, Agustus 2017

Pembimbing I Pembimbing II

dr. H. Hadhimuljono, Sp.PD, FINASIM dr. H. Ahmar Kurniadi, Sp.PD, KKVFINASIM

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................ii

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................iii

DAFTAR ISI ..............................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................1

BAB II STATUS PASIEN...........................................................................3

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................20

BAB IV ANALISIS KASUS ....................................................................38

DAFTAR PUSTAKA................................................................................42

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes melitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik,


ditandai oleh adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin,
defek kerja insulin atau keduanya. Penyakit ini banyak diderita dan sudah menjadi
epidemi global. Prevalensi DM terus meningkat seiring dengan peningkatan
kemakmuran dan perubahan pola hidup terutama di kota besar. Indonesia
menempati urutan ketujuh terbanyak di dunia yang penduduknya menderita
diabetes dan diprediksi akan terus meningkat hingga mencapai 12 juta orang pada
tahun 2025. Secara epidemiologik diabetes seringkali tidakterdeteksi dan
dikatakan onset atau mulai terjadinyadiabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis
ditegakkansehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi padakasus yang tidak
terdeteksi ini. Jika tidak ditangani dengan baik tentu saja angka kejadian
komplikasi kronik DM juga akan meningkat, termasuk komplikasi kaki diabetes.1
Pada penyandang DM dapat terjadi komplikasi pada semua tingkat sel dan
semua tingkatan anatomik. Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi pada
tingkat pembuluh darah kecil (mikrovaskular) berupa kelainan pada retina mata,
glomerulus ginjal, syaraf dan pada otot jantung (kardiomiopati). Pada pembuluh
darah besar, manifestasi komplikasi kronik DM dapat terjadi pada pembuluh
darah serebral, jantung (penyakit jantung koroner) dan pembuluh darah perifer
(tungkai bawah). Komplikasi lain DM dapat berupa kerentanan berlebih terhadap
infeksi dengan akibat mudahnya terjadi infeksi saluran kemih, tuberkulosis paru
dan infeksi kaki, yang kemudian dapat berkembang menjadi ulkus/gangren
diabetes.2
Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling
ditakuti. Hasil pengelolaan kaki diabetes sering mengecewakan baik bagi dokter
pengelola maupun penyandang DM dan keluarganya. Sering kaki diabetes
berakhir dengan kecacatan dan kematian. Sampai saat ini, di lndonesia kaki
diabetes masih merupakan masalah yang rumit dan tidak terkelola dengan
maksimal. Di samping itu, ketidak-tahuan masyarakat mengenai kaki diabetes
masih sangat mencolok, lagi pula adanya permasalahan biaya pengelolaan yang

5
besar yang tidak terjangkau oleh masyarakat pada umumnya, semua menambah
peliknya masalah kaki diabetes.Sebagian besar perawatan penyandang DM selalu
menyangkut kaki diabetes. Angka kematian dan angka amputasi masih tinggi,
masing-masing sebesar 16% dan 25% (data RSUPNCM tahun 2003). Nasib para
penyandang DM pasca amputasi pun masih sangat buruk. Sebanyak 14,3% akan
meninggal dalam setahun pasca amputasi,dan sebanyak 37% akan meninggal 3
tahun pasca amputasi.2
Dengan data seperti ini, diabetes melitus dan komplikasinya terutama kaki
diabetes menyebabkan permasalahan yang signifikan bagi masyarakat. Dengan
demikian perlu adanya pencegahan baik primer, sekunder maupun tersier dan
penanganan dari segala aspek baik secara biomedik maupun biopsikososial serta
kerjasama yang baik antara dokter, petugas kesehatan lainnya dan pasien dalam
pengelolaan diabetes. Untuk itu kasus ini penulis angkat sebagai salah satu bentuk
tanggung jawab sebagai praktisi medis agar dapat mengenal penyakit ini lebih
rinci sebelum benar benar mengaplikasikan teori penanganan dan pengobatan
yang rasional.

6
BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTIFIKASI PASIEN
a. Nama : Ny. RK
b. Umur : 62 tahun
c. Tanggal Lahir : 01 Juli 1955
d. Jenis Kelamin : Perempuan
e. Agama : Islam
f. Pekerjaan : IRT
g. Alamat : Dusun IV, Terawas, Lubuk Linggau
h. No. Med Rec/ Reg : 00270963
i. Tanggal masuk RS : 24 Juli 2017

II. ANAMNESIS
(Dilakukan autoanamnesis dengan pasien dan alloanamnesis dengan saudara
pasien pada 25 Juli 2017, pukul 08.00 WIB)

Keluhan Utama
Luka pada kaki kanan yang tidak kunjung sembuh dan meluas sejak + 2
minggu SMRS.

Keluhan Tambahan
Nyeri pada luka

Riwayat Penyakit Sekarang


+ 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh berupa luka
lecet pada ibu jari kaki kanan setelah menggunting kuku. Luka semakin lama
semakin membesar sampai ke telapak kaki. Pada luka terasa nyeri, panas,
keluar cairan seperti nanah, dan bengkak di sekitar luka. Pasien juga
mengeluh demam semenjak timbul luka pada kaki kanan. Demam tidak
terlalu tinggi dan terjadi terus menerus, pasien tidak meminum obat. Pasien

7
belum berobat dan hanya membersihkan luka secara mandiri dirumah.Pasien
mengaku sejak beberapa bulan terakhir sering merasa lapar sehingga lebih
banyak makan, mudah haus, dan sering terbangun malam hari untuk buang
air kecil. Pasien juga mengeluh mengalami penurunan berat badan padahal
nafsu makan tidak menurun. Pasien mengaku penglihatannya sedikit kabur
dan kesemutan atau kebas pada ujung-ujung jari tangan. Pasien sempat
berobat dan dikatakan menderita kencing manis. Pasien diberi obat (pasien
lupa nama obat), namun pasien tidak kontrol lagi setelah obatnya habis.
+ 8 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh nyeri luka yang
semakin memberat dan luka mulai membusuk. Pasien mengeluh sering kram,
gatal, kebas, dan merasa panas pada kedua kaki. Pasien juga mengeluh nyeri
ulu hati, pasien mengalami mual dan namun tidak muntah. BAK tidak ada
keluhan. BAB juga tidak ada keluhan, darah tidak ada dan warna kehitaman
juga tidak ada.Pasien masih belum berobat.
+ 2 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh ibu jari dan
telunjuk kaki kanan menghitam. Pasien mengatakan bahwa bagian kaki yang
menghitam tidak terasa sakit lagi, namun nyeri pada bagian yang terdapat
ulkus. Pasien juga mengatakan nyeri ulu hati semakin hebat, mual ada,
muntah tidak ada. Pasien tidak mengeluh sesak, batuk dan dada berdebar-
debar. Pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari karena nyeri pada
luka kaki kanan dan pasien dibawa ke IGD RS. Dr. Sobirin Lubuk Linggau.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat kencing manis ada namun tidak terkontrol
- Riwayat hipertensi tidak ada
- Riwayat sakit sakit maag ada
- Riwayat sakit jantung disangkal

Riwayat Pengobatan
- Pasien tidak teratur meminum obat kencing manis karena masalah
ekonomi sejak 3 bulan SMRS.

8
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
- Riwayat hipertensi pada keluarga disangkal.
- Riwayat diabetes melitus pada kakak laki-laki.
- Riwayat sakit jantung pada keluarga disangkal

Riwayat Pekerjaan, Kebiasaan, Sosial Ekonomi dan Lingkungan


Pasien tinggal di rumah yang berukuran 4 x 8 mm2, padat penduduk,
lantai semen, ventilasi kurang baik. Pasien tinggal dengan 3 anaknya. Ketiga
anaknya laki-laki, sehingga pasien kurang mendapatkan perhatian. Kebiasaan
pasien tidak memakai alas kaki di rumah yang berlantai semen.
Kesan: ekonomi keluarga pasien menengah ke bawah.

III. PEMERIKSAAN FISIK


(Dilakukan pada tanggal 25 Juli 2017)
a. Keadaan Umum
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Kompos mentis
3. Tekanan darah : 110/80 mmHg
4. Nadi : 80 x/menit, irama reguler, isi cukup, dan tegangan
cukup
5. Pernapasan : 20 x/menit, regular, thoracoabdominal
6. Suhu aksila : 37,3oC
7. VAS Score :6
8. Berat badan : 67 kg
9. Tinggi badan : 156 cm
10. IMT : 27,53 kg/m2
11. Status gizi : Overweight

b. Keadaan Spesifik
1. Kepala
Normocephali, simetris, warna rambut putih, tidak mudah dicabut,
alopesia tidak ada.

9
2. Mata
Edema palpebra tidak ada, konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera
ikterik (-/-), pupil bulat isokor, refleks cahaya (+/+).
3. Hidung
Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), kavum nasi
lapang, sekret (-), epistaksis (-)
4. Mulut
Bibir kering, sianosis (-), sariawan (-), gusi berdarah (-), lidah
berselaput (-), atrofi papil (-), Tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
5. Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-),
nyeri tekan mastoid (-)
6. Leher
JVP (5+0) cmH2O, pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid
(-).
7. Thoraks
Inspeksi : Simetris, retraksi (-), scar (-), spider nevi (-),
venektasi(-)
Paru
 Inspeksi : Statis simetris, dinamis tidak ada dinding dada
yang tertinggal, pelebaran sela iga (-)
 Palpasi : Stem fremitus normal kanan=kiri, nyeri tekan (-)
 Perkusi : Sonor dikedua lapang paru, nyeriketok (-)
Batas paru hepar ICS VI, peranjakan 1 jari
 Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill tidak teraba
 Perkusi : Batas jantung atas ICS II linea para sternalis
sinistra
Batas jantung kanan ICS IVlinea parasternalis
dextra

10
Batas jantung kiri ICS V linea midclavicularis
sinistra
 Auskultasi : HR = 80 x/menit, reguler.bunyi jantung I-II
normal,murmur (-), gallop (-)
8. Abdomen
 Inspeksi : Datar, venektasi (-), caput medusae (-),
striae (), umbilicus tidak menonjol,
 Palpasi : lemas, nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien
tidak teraba,ballotement (-).
 Perkusi : Timpani, nyeri ketok (), shifting dullness (-),
undulasi (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
9. Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
10. Ekstremitas :
a. Superior: akral hangat, CRT <2 detik
b. Inferior: akra dingin, ulkus di regio pedis dextra(+), edema
pretibial (-/-)
11. Status lokalis:
Regio pedis dekstra
Inspeksi: Warna kulit kehitaman pada jari 1 dan II, terdapat ulkus
ukuran 5x7 cm , terdapat pus dan jaringan nekrotik.
Palpasi: Konsitensi lembut, nyeri tekan (+)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium (24 Juli 2017)
Pemeriksaan Hasil Rujukan Interpretasi
HEMATOLOGI
Hemoglobin 7.2 g/dL 12.3-15.3 Menurun
Leukosit 31.6/mm3 4.4-11.3 Meningkat
Eritrosit 2.7/mm3 4-5.5 Menurun

11
Hematokrit 20.9 % 35-47 Menurun
Trombosit 567/mm3 150-450 Meningkat
Neutrofil 91.6 % 40-70 Meningkat
Limfosit 5.0 % 35-45 Menurun
Monosit 3.4 3-10 Normal
MCH 26.8 pg 2634 Normal
MCV 77.7 fL 88100 Menurun
MCHC 34.4 g/L 3236 Normal
KIMIA DARAH
Natrium 119 mmol/L 135-148 Menurun
Kalium 3.1 mmol/L 3.5-5.5 Menurun
Chlorida 90 mmol/L 95-108 Menurun
BSS 739.4 mg/dL 74-139 Meningkat
GINJAL
Ureum 33.29 mg/dL 2143 Normal
Kreatinin 1.44 mg/dL 0,50,9 Meningkat

Laboratorium (26 Juli 2017)


Pemeriksaan Hasil Rujukan Interpretasi
BSN 528 mg/dL 120-126 Meningkat
BSPP 368 mg/dL 140-200 Meningkat

V. Diagnosis
Gangren Diabetikum Pedis Dextra + Diabetes Melitus Tipe 2 + Sindroma
Dispepsia

VI. Diagnosis Banding


Buerger disease + Diabetes Melitus Tipe 2 + Sindroma Dispepsia

12
VII. Anjuran Pemeriksaan
Rontgen thorax dan pedis dextra, kultur resistensi bakteri, EKG, USG,
Echo, Hba1c, faal homeostasis, konsul gizi, konsul saraf, konsul mata,
konsul bedah.
VIII. Tatalaksana
Non Farmakologis
 Istirahat
 Komunikasi, informasi dan Edukasi kepada pasien:
o Menjelaskan tentang penyakitnya dan cara pengobatan serta
pencegahan komplikasi lebih lanjut
o Menjelaskan pentingnya keteraturan dalam pengobatan untuk
regulasi kadar glukosa darah yang optimal
 Diet diabetes melitus
Farmakologis
 IVFD RL gtt xxx x/m
 Injeksi Ceftriaxone 2 x 1 gr (IV)
 Injeksi Omeprazole 1 x 40 mg (IV)
 Injeksi Mecobalamin 2 x 500 mcg (IV)
 Novorapid 3 x 16 iu (SC)
 Levemir 1 x 16 iu (SC)
 Cylostazol 2 x 100 mg (PO)
 PCT tab 3 x 500 mg (PO)
 GV NaCl 0,9% dengan Gentamicin (80 mg) 2 ampul (Pagi, Siang,
Malam)

IX. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

13
X. Follow Up
Tanggal 25 Juli 2017
S Nyeri pada luka kaki kanan, badan terasa lemas dan nyeri
pada ulu hati, mual (+), muntah (-)
O:
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 110/80 mmHg
Nadi 80x/menit, irama reguler, isi cukup, dan tegangan cukup.
Pernapasan 20 x/ menit, reguler, thoracoabdominal
Temperatur 37,3oC
VAS Score 6 (Nyeri yang menganggu)

Keadaan spesifik
Kepala Konjungtiva palpebra pucat (-/-) Sklera ikterik (-/-)
Leher JVP (5+0) cm H2O, Pembesaran KGB (-)
Thorax: Inspeksi: Barrel chest (-), retraksi (-)
Paru
Inspeksi: Statis simetris, dinamis dinding dada tidak ada
yang tertinggal, tidak ada pelebaran sela iga.
Palpasi: Stem fremitus normal kanan = kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi: Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi: Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)

Jantung Inspeksi: Iktus cordis tidak terlihat


Palpasi: Iktus cordis tidak teraba
Perkusi: Batas jantung atas ICS II linea parasternalis
sinistra
Batas jantung kanan ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas jantung kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : HR= 80x/menit, Bunyi jantung I-II reguler,
Abdomen murmur (-), gallop (-)

Inspeksi: datar, venektasi (-), caput medusae (-), striae (-),


umbilicus tidak menonjol

14
Palpasi: lemas, nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien
tidak teraba, ballottement (-)
Perkusi: timpani, nyeri ketok (-), shifting dullness (-),
undulasi (-), nyeri ketok CVA (-/-)
Genitalia Auskultasi: Bising usus (+) normal
Ekstremitas
Tidak dilakukan pemeriksaan
Ulkus diabetikum di pedis dextra, akral hangat(-), palmar
pucat (+), edema pretibial (-)
A Gangren Diabetikum Pedis Dextra + Diabetes Mellitus Tipe
2 + Sindroma Dispepsia
P Non Farmakologis
 Istirahat
 Diet DM 1700 kkal
 Periksa BSN dan BSPP
 Konsul bedah
Farmakologis
 IVFD RL gtt xxx x/m
 Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr (IV)
 Inj. Omeprazole 1 x 40 mg (IV)
 Inj. Mecobalamin 2 x 500 mcg (IV)
 Novorapid 3 x 16 iu (SC)
 Cylostazol 2 x 100 mg (PO)
 PCT tab 3 x 500 mg (PO)
 GV NaCl 0,9% dengan Gentamycin (80 mg) 2
ampul (Pagi, Siang, Malam)

Tanggal 26 Juli 2017


S Nyeri pada luka kaki kanan, badan lemas dan nyeri
pada ulu hati, mual (+), muntah (-)
O:
Keadaan umum Tampak sakit sedang

15
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 110/60 mmHg
Nadi 82x/menit irama reguler, isi cukup, dan tegangan cukup.
Pernapasan 20 x/ menit, reguler, thoracoabdominal
Temperatur 36,5oC
VAS Score 6 (Nyeri yang mengganggu)

Keadaan spesifik
Kepala Konjungtiva palpebra pucat (-/-) Sklera ikterik (-/-)

Leher JVP (5+0) cm H2O


Pembesaran KGB (-)

Thorax: Inspeksi: Barrel chest (-), retraksi (-)


Paru Inspeksi: Statis simetris, dinamis dinding dada tidak ada
yang tertinggal, pelebaran sela iga (-)
Palpasi: Stem fremituskanan = kiri, nyeri tekan(-)
Perkusi: Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi: Vesikuler(+) normal, ronkhi(-), wheezing (-)

Jantung Inspeksi: Iktus cordis tidak terlihat


Palpasi: Iktus cordis tidak teraba
Perkusi: Batas jantung atas ICS II linea parasternalis
sinistra
Batas jantung kanan ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas jantung kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : HR= 82x/menit, Bunyi jantung I-II reguler,
murmur (-), gallop (-)

Abdomen Inspeksi: datar, venektasi (-), caput medusae (-), striae (-


), umbilicus tidak menonjol
Palpasi: lemas, nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan
lien tidak teraba, ballottement (-)
Perkusi: timpani, nyeri ketok (-), shifting dullness (-),
undulasi (-), nyeri ketok CVA (-)

16
Auskultasi: Bising usus (+) normal

Genitalia Tidak dilakukan pemeriksaan


Ekstremitas Ulkus diabetikum di pedis dextra, akral hangat(-),
palmar pucat (-), edema pretibial (-)
A Gangren Diabetikum Pedis Dextra + Diabetes Mellitus
Tipe 2 + Sindroma Dispepsia
P Non Farmakologis
 Istirahat
 Diet DM 1700 kkal
Farmakologis
 IVFD RL gtt xxv x/m
 Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr (IV)
 Inj. Omeprazole 1 x 40 mg (IV)
 Inj. Mecobalamin 2 x 500 mcg (IV)
 Novorapid 3 x 16 iu (SC)
 Levemir 1 x 16 iu (SC)
 Cylostazol 2 x 100 mg (PO)
 GV NaCl 0,9% dengan Gentamycin (80 mg) 2
ampul (Pagi, Siang, Malam)

Tanggal 27 Juli 2017


S Nyeri pada luka kaki kanan, nyeri pada ulu hati, mual
(+), muntah (-)
O:
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 110/70 mmHg
Nadi 80x/menit irama reguler, isi cukup, dan tegangan cukup.
Pernapasan 20 x/ menit, reguler, thoracoabdominal
Temperatur 36,6 oC
VAS Score 6 (Nyeri yang mengganggu)

17
Keadaan spesifik
Kepala Konjungtiva palpebra pucat (-/-), Sklera ikterik (-/-)

Leher JVP (5+0) cm H2O, Pembesaran KGB (-)

Thorax: Inspeksi: Barrel chest (-), retraksi (-)


Paru Inspeksi: Statis simetris, dinamis tidak ada dinding dada
yang tertinggal, pelebaran sela iga (-)
Palpasi: Stem fremitus kanan = kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi: Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi: Vesikuler(+) normal, ronkhi (-), wheezing (-
)
Jantung
Inspeksi: Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi: Iktus cordis tidak teraba
Perkusi: Batas jantung atas ICS II linea parasternalis
sinistra
Batas jantung kanan ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas jantung kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : HR= 87x/menit, bunyi jantung I-II reguler,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen Inspeksi: datar, venektasi (-), caput medusae (-), striae (-
), umbilicus tidak menonjol
Palpasi: lemas, nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan
lien tidak teraba, ballottement (-)
Perkusi: timpani, nyeri ketok (-), shifting dullness (-),
undulasi (-), nyeri ketok CVA (-/-)
Auskultasi: Bising usus (+) normal

Genitalia Tidak dilakukan pemeriksaan


Ekstremitas Ulkus diabetikum di pedis dextra, edema pretibial (-),
akral hangat (+), palmar pucat (-)
A Gangren Diabetikum Pedis Dextra + Diabetes Mellitus +
Sindroma Dispepsia

18
P Non Farmakologis
 Istirahat
 Diet DM 1700 kkal
Farmakologis
 IVFD RL gtt xxv x/m
 Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr (IV)
 Inj. Omeprazole 1 x 40 mg (IV)
 Inj. Mecobalamin 2 x 500 mcg (IV)
 Novorapid 3 x 16 iu (SC)
 Levemir 1 x 16 iu (SC)
 Cylostazol 2 x 100 mg (PO)
 GV NaCl 0,9% dengan Gentamycin (80 mg) 2
ampul (Pagi, Siang, Malam)

19
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Diabetes mellitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik


yang ditandai dengan adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi
insulin, defek kerja insulin, atau keduanya. Pada penyandang DM dapat terjadi
komplikasi pada semua tingkat sel dan semua tingkatan anatomik. Manifestasi
komplikasi kronik dapat terjadi pada tingkat mikrovaskular (retinopati diabetik,
nefropati diabetik, neuropati diabetik, dan kardiomiopati) maupun makrovaskular
(stroke, penyakit jantung koroner, peripheral vascular disease). Komplikasi lain
dari DM dapat berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi akibat mudahnya
terjadi infeksi saluran kemih, tuberkulosis paru, dan infeksi kaki, yang kemudian
dapat berkembang menjadi ulkus/gangren diabetik. 1
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan
darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda
sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler dengan glukometer.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah
ini:
- Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
- Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu
>200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.

20
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan
klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g
glukosa lebih sensitif dan spesiik dibanding dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO
sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang
dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,
bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam
kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu
(GDPT).
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan
glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7,8-11,0
mmol/L).
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma
puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan
TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.
Kriteria diagnosis DM:
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
Atau
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7.0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
Atau
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

21
Tabel 1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM (mg/dL)2
Bukan DM Belum Pasti DM
DM
Kadar glukosa Plasma vena <100 100-199 >200
darah sewaktu Darah kapiler <90 90-199 >200
(mg/dL)
Kadar glukosa Plasma vena <100 100-125 >126
darah puasa Darah kapiler <90 90-99 >100
(mg/dL)

Bagan 1. Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa1

EPIDEMIOLOGI
Kaki diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling
ditakuti. Hasil pengelolaan kaki diabetik sering mengecewakan, baik bagi dokter
pengelola maupun penyandang DM dan keluarganya. Seringkali kaki diabetik
berakhir dengan kecacatan dan kematian. Sampai saat ini, di Indonesia kaki

22
diabetik masih merupakan masalah yang rumit dan tidak terkelola dengan
maksimal, karena selain kurangnya minat untuk mendalami masalah kaki
diabetik, ketidaktahuan masyarakat mengenai kaki diabetik juga masih sangat
menyolok. Sebagai tambahan, masalah biaya pengobatan yang besar yang tidak
terjangkau oleh masyarakat pada umumnya juga menambah peliknya masalah
kaki diabetik. 1
Di RSUPN dr. CiptoMangunkusumo, masalah kaki diabetik masih
merupakan masalah besar. Sebagian besar perawatan penyandang DM selalu
menyangkut kaki diabetik. Angka kematian dan angka amputasi masih sangat
besar, masing-masing 16% dan 25% (data RSUPNCM tahun 2003). Nasib para
penyandang DM pasca amputasi pun masih sangat buruk. Sebanyak 14,3% akan
meninggal dalam setahun pasca amputasi, dan sebanyak 37% akan meninggal 3
tahun pasca amputasi. 1

ETIOLOGI
Ada banyak faktor yang berpengaruh dalam terjadinya kaki diabetik.
Secara umum faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi:2
 Faktor predisposisi
Faktor yang mempengaruhi daya tahan jaringan terhadap trauma seperti
kelainan makrovaskuler dan mikrovaskuler, jenis kelamin, merokok, dan
neuropati otonom.
Faktor yang meningkatkan kemungkinan terkena trauma seperti neuropati
motorik, neuropati sensorik, limited joint mobility, dan komplikasi DM yang
lain (seperti mata kabur).
 Faktor presipitasi
 Perlukaan di kulit (jamur).
 Trauma.
 Tekanan berkepanjangan pada tumit saat berbaring lama.
 Faktor yang memperlambat penyembuhan luka
 Derajat luka.
 Perawatan luka.
 Pengendalian kadar gula darah.

23
PATOFISIOLOGI
Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang
DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah.
Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motorik dan autonomik akan
mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang kemudian
menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan
selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap
infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor
aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan
kaki diabetik. 1
1. Vaskulopati
Pada pembuluh darah, akibat komplikasi DM terjadi ketidakrataan
permukaan lapisan dalam arteri sehingga aliran lamelar berubah menjadi turbulen
yang berakibat pada mudahnya terbentuk trombus. Pada stadium lanjut seluruh
lumen arteri akan tersumbat dan manakala aliran kolateral tidak cukup, akan
terjadi iskemia dan bahkan gangren yang luas. 2
Manifestasi angiopati pada pembuluh darah penderita DM antara lain
berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer yang terutama
sering terjadi pada tungkai bawah. Pada penderita muda, pembuluh darah yang
paling awal mengalami angiopati adalah arteri tibialis. Kelainan arteri akibat
diabetes juga sering mengenai bagian distal dari arteri femoralis profunda, arteri
poplitea, arteri tibialis dan arteri digitalis pedis. Akibatnya perfusi jaringan distal
dari tungkai menjadi kurang baik dan timbul ulkus yang kemudian dapat
berkembang menjadi nekrosis/gangren yang sangat sulit diatasi dan tidak jarang
memerlukan amputasi. 2
Perubahan viskositas darah dan fungsi trombosit, penebalan membrana
basalis serta penurunan produksi prostasiklin (vasodilator dan anti platelet
aggregating agent) akan memacu terbentuknya mikrotrombus dan penyumbatan
mikrovaskuler. Peristiwa ini mengakibatkan timbulnya iskemia organ dan/atau
jaringan yang bersangkutan, termasuk serabut saraf perifernya. 2
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan vaskulopati berupa disfungsi
endotel melalui berbagai mekanisme antara lain: 3

24
 Hiperglikemia kronik menyebabkan glikosilasi non enzimatik dari protein dan
makromolekul seperti DNA, yang akan mengakibatkan perubahan sifat
antigenik dari protein dan DNA. Keadaan ini akan menyebabkan perubahan
tekanan intravaskular akibat gangguan keseimbangan NO dan prostaglandin.
 Hiperglikemia meningkatkan aktivasi PKC intraselular sehingga akan
menyebabkan gangguan NADPH pool yang akan menghambat produksi NO.
 Overekspresi growth factors meningkatkan proliferasi sel endotel dan otot
polos pembuluh darah sehingga akan terjadi neovaskularisasi.
 Hiperglikemia akan meningkatkan sintesis diacylglycerol (DAG) melalui jalur
glikolitik. Peningkatan kadar DAG akan meningkatkan aktivitas PKC. Baik
DAG maupun PKC berperan dalam memodulasi terjadinya vasokonstriksi.
 Sel endotel sangat peka terhadap pengaruh stres oksidatif. Keadaan
hiperglikemia akan meningkatkan tendensi untuk terjadinya stres oksidatif dan
peningkatan oxidized lipoprotein, terutama small dense LDL-cholesterol
(oxidized LDL) yang lebih bersifat aterogenik. Di samping itu peningkatan
kadar asam lemak bebas dan keadaan hiperglikemia dapat meningkatkan
oksidasi fosfolipid dan protein.
 Hiperglikemia akan disertai dengan tendensi protrombotik dan agregasi
platelet. Keadaan ini berhubungan dengan beberapa faktor antara lain
penurunan produksi NO dan penurunan aktivitas fibrinolitik akibat
peningkatan kadar PAI-1. Di samping itu, pada DM tipe 2 terjadi peningkatan
aktivitas koagulasi akibat pengaruh berbagai faktor seperti pembentukan
advanced glycosylation end products (AGEs) dan penurunan sintesis heparin
sulfat.
 Walaupun tidak ada hubungan langsung antara aktivasi koagulasi dengan
disfungsi endotel, namun aktivasi koagulasi yang berulang dapat
menyebabkan stimulasi yang berlebihan dari sel-sel endotel sehingga akan
terjadi disfungsi endotel.
Proses angiopati menyebabkan sumbatan arteri yang berlangsung secara
kronik hingga menimbulkan gejala klinik yang menurut Fontaine dibagi menjadi
stadium sebagai berikut: I. rasa kram/kebal, II. claudicatio intermitten, III. resting
pain, IV. iskemia/infark dan/atau gangren. 2

25
2. Neuropati
Gangguan mikrosirkulasi dan neuropati punya hubungan yang erat dengan
patogenesis kaki diabetik. Neuropati diabetik pada fase awal menyerang saraf
halus terutama di ujung-ujung kaki. Hal ini disebut sebagai fenomena dying back,
di mana ada teori yang menyatakan bahwa semakin panjang saraf maka semakin
rentan untuk diserang. Jadi dibandingkan dengan ekstremitas atas, ternyata
ekstremitas bawah yang lebih dulu terkena. 2
Gangguan mikrosirkulasi selain menurunkan aliran darah dan hantaran
oksigen pada serabut saraf (keadaan ini bersama dengan proses jalur sorbitol dan
mekanisme lain akan mengakibatkan neuropati) juga akan menurunkan aliran
darah ke perifer sehingga aliran tidak cukup dan menyebabkan iskemia dan
bahkan gangren. 2
Neuropati diabetik disebabkan oleh gangguan jalur poliol (glukosa 
sorbitol  fruktosa) akibat kekurangan insulin. Pada jaringan saraf, terjadi
penimbunan sorbitol dan fruktosa serta penurunan kadar mioinositol yang
menimbulkan neuropati. Perubahan biokimia dalam jaringan saraf akan
mengganggu kegiatan metabolik sel-sel Schwann dan menyebabkan hilangnya
akson. Kecepatan konduksi motorik akan berkurang pada tahap dini perjalanan
neuropati. Selanjutnya timbul nyeri, parestesia, berkurangnya sensasi getar dan
proprioseptik, dan gangguan motorik yang disertai hilangnya refleks-refleks
tendon dalam, kelemahan otot, dan atrofi. Neuropati dapat menyerang saraf-saraf
perifer (mononeuropati dan polineuropati), saraf-saraf kranial, atau sistem saraf
otonom. Terserangnya sistem saraf otonom dapat disertai diare nokturnal,
keterlambatan pengosongan lambung dengan gastroparesis, hipotensi postural,
dan impotensi. Pasien dengan neuropati otonom diabetik dapat menderita infark
miokardial akut tanpa nyeri. Pasien ini juga dapat kehilangan respons katekolamin
terhadap hipoglikemia dan tidak menyadari reaksi-reaksi hipoglikemia. 4
a) Neuropati motorik
Kerusakan saraf motorik akan menyebabkan atrofi otot-otot intrinsik yang
menimbulkan kelemahan pada kaki dan keterbatasan gerak sendi akibat
akumulasi kolagen di bawah dermis hingga terjadi kekakuan periartikuler.
Deformitas akibat atrofi otot dan keterbatasan gerak sendi menyebabkan

26
perubahan keseimbangan pada sendi kaki, perubahan cara berjalan, dan
menimbulkan titik tumpu baru pada telapak kaki serta berakibat pada
mudahnya terbentuk kalus yang tebal (claw foot). Seiring dengan berlanjutnya
trauma, di bagian dalam kalus tersebut mudah terjadi infeksi yang kemudian
berubah jadi ulkus dan akhirnya gangren. 2
Charcot foot merupakan deformitas kaki diabetik akibat neuropati yang
klasik dengan 4 tahap perkembangan: 2
(1) Adanya riwayat trauma ringan disertai kaki panas, merah dan bengkak.
(2) Terjadi disolusi, fragmentasi, dan fraktur pada persendian tarsometatarsal.
(3) Terjadi fraktur dan kolaps persendian.
(4) Timbul ulserasi plantaris pedis.
b) Neuropati sensorik
Kehilangan fungsi sensorik menyebabkan penderita kehilangan daya
kewaspadaan proteksi kaki terhadap rangsangan dari luar. Nilai ambang
proteksi dari kaki ditentukan oleh normal tidaknya fungsi saraf sensoris kaki.
Pada keadaan normal sensasi yang diterima menimbulkan refleks untuk
meningkatkan reaksi pertahanan dan menghindarkan diri dari rangsangan yang
menyakitkan dengan cara mengubah posisi kaki untuk mencegah terjadinya
kerusakan yang lebih besar. Sebagian impuls akan diteruskan ke otak dan di
sini sinyal diolah kemudian respon dikirim melalui saraf motorik. 2
Pada penderita DM yang telah mengalami neuropati perifer saraf sensorik
(karena gangguan pengantaran impuls), pasien tidak merasakan dan tidak
menyadari adanya trauma kecil namun sering. Pasien tidak merasakan adanya
tekanan yang besar pada telapak kaki. Semuanya baru diketahui setelah timbul
infeksi, nekrosis, atau ulkus yang sudah tahap lanjut dan dapat membahayakan
keselamatan pasien. 2
Berbagai macam mekanisme terjadinya luka dapat terjadi pada pasien DM,
seperti: 2
(1) Tekanan rendah tetapi terus menerus dan berkelanjutan (luka pada tumit
karena lama berbaring, dekubitus).
(2) Tekanan tinggi dalam waktu pendek (luka, tertusuk jarum/paku).
(3) Tekanan sedang berulang kali (pada tempat deformitas pada kaki).

27
c) Neuropati otonom
Pada kaki diabetik gangguan saraf otonom yang berperan terutama adalah
akibat kerusakan saraf simpatik. Gangguan saraf otonom ini mengakibatkan
perubahan aliran darah, produksi keringat berkurang atau tidak ada, hilangnya
tonus vasomotor, dan lain-lain. 2
Neuropati otonom mengakibatkan produksi keringat berkurang terutama
pada tungkai yang menyebabkan kulit penderita mengalami dehidrasi, kering,
dan pecah-pecah sehingga memudahkan infeksi lalu selanjutnya timbul
selulitis, ulkus, maupun gangren. Selain itu neuropati otonom juga
menyebabkan terjadinya pintas arteriovenosa sehingga terjadi penurunan
nutrisi jaringan yang berakibat pada perubahan komposisi, fungsi, dan sifat
viskoelastisitas sehingga daya tahan jaringan lunak dari kaki akan menurun
dengan akibat mudah terjadi ulkus. 2
3. Fokus infeksi
Infeksi dimulai dari kulit kaki dan dengan cepat menyebar melalui jalur
muskulofasial. Selanjutnya infeksi menyerang kapsul/sarung tendon dan otot, baik
pada kaki maupun pada tungkai hingga terjadi selulitis. Kaki diabetik klasik
biasanya timbul di atas kaput metatarsal pada sisi plantar pedis. Sebelumnya, di
atas lokasi tersebut terdapat kalus yang tebal dan kemudian menyebar lebih dalam
dan dapat mengenai tulang. Akibatnya terjadi osteomielitis sekunder. Sedangkan
kuman penyebab infeksi pada penderita diabetes biasanya multibakterial yaitu
gram negatif, gram positif, dan anaerob yang bekerja secara sinergi. 2
Infeksi sering berlangsung agresif dan cepat meluas serta mudah terbentuk
gangren yang selanjutnya merupakan ancaman hilangnya kaki. Di samping itu,
50% dari kasus ulkus/gangren diabetes akan mengalami infeksi akibat munculnya
lingkungan gula darah yang subur untuk berkembangnya bakteri patogen. 2

28
Bagan 2. Patofisiologi terjadinya ulkus pada kaki diabetik 1

Jika kadar gula darah tidak terkontrol maka infeksi akan jadi lebih serius.
Hal ini disebabkan karena pada infeksi akan disekresi hormon kontra insulin
(seperti katekolamin, kortisol, homon pertumbuhan, dan glukagon) yang
menyebabkan meningkatnya kadar gula darah. Peningkatan kadar gula darah juga
menyebabkan gagalnya fungsi neutrofil dan gangguan sistem imunologi.
Sebagaimana diketahui, dalam melaksanakan fagositosis sel PMN membutuhkan
energi dari glukosa eksogen untuk mempertahankan aktivitasnya. Dengan bantuan
insulin yang melekat erat pada sel PMN, glukosa ekstrasel dapat dipakai sebagai
sumber energi. Sumber energi ini akan berkurang pada pasien diabetes yang
mengalami kekurangan insulin. 2

KLASIFIKASI

A. Klasifikasi Edmonds (King’s College Hospital, London, 2004-2005) 1


Stage 1: Normal Foot

Stage 2: High Risk Foot

Stage 3: Ulcerated Foot

29
Stage 4: Infected Foot

Stage 5: Necrotic Foot

Stage 6: Unsalvable Foot.

B. Klasifikasi Liverpool 1
Klasifikasi primer:
 Vaskular
 Neuropati
 Neuroiskemik
Klasifikasi sekunder:

 Tukak sederhana, tanpa komplikasi


 Tukak dengan komplikasi.
C. Klasifikasi Wagner 1
Wagner 0: Kulit intak/utuh
Wagner 1: Tukak superfisial
Wagner 2: Tukak dalam (sampai tendo, tulang)
Wagner 3: Tukak dalam dengan infeksi
Wagner 4: Tukak dengan gangren terlokalisasi
Wagner 5: Tukak dengan gangren luas seluruh kaki.

D. Klasifikasi PEDIS (International Working Group of Diabetic Foot, 2003) 1


Impaired Perfusion 1 None
2 PAD + but not critical
3 Critical limb ischemia
Size/Extent in mm2
Tissue Loss/Depth 1 Superficial full thickness, not deeper than dermis
2 Deep ulcer, below dermis, involving subcutaneous
structures, fascia, muscle, or tendon
3 All subsequent layers of the foot involved including
bone and or joint
Infection 1 No symptoms or signs of infection
2 Infection of skin and subcutaneous tissue only
3 Erythema > 2 cm or infection involving

30
subcutaneous structure(s).
No systemic sign(s) of inflammatory response
4 Infection with systemic manifestation:
Fever, leucocytosis, shift to the left
Metabolic instability
Hypotension, azotemia
Impaired Sensation 1 Absent
2 Present

DIAGNOSIS
Diagnosis kaki diabetik dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisis, serta pemeriksaan penunjang lainnya. Pada anamnesis, perlu
ditanyakan perjalanan timbulnya luka beserta perkembangannya, serta riwayat
penyakit diabetes mellitus. Selain itu perlu juga ditanyakan komplikasi-
komplikasi DM yang sudah dialami penderita, baik komplikasi mikrovaskular
maupun makrovaskular.5
Gejala klinis akibat neuropati perfier
Gejala-gejala yang diakibatkan oleh adanya neuropati perifer antara lain.5
1. Hypesthesia
2. Hyperesthesia
3. Paraesthesia
4. Dysesthesia
5. Radicular pain
6. Anhydrosis
Gejala akibat insufisiensi arteri perifer
Gejala yang biasa dirasakan oleh pasien antara lain, nyeri iskemik pada
saat istirahat, ulkus yang tidak sembuh. Rasa kram arau kelelahan pada otot-otot
besar pada salah satu atau kedua ekstremitas bawah yang timbul pada saat
berjalan dalam jarak tertentu, yang mengindikasikan adanya klaudikasio
intermitten. Gejala ini bertambah pada saat beraktivitas dan membaik dengan
istirahat selama beberapa menit. Onset dari klaudikasio dapat terjadi lebih dini
apabila pasien sering berjalan cepat atau menaiki tangga. Rasa tidak nyaman,

31
kram atau kelemahan pada betis atau kaki sering terjadi pada penderita kaki
diabetis, karena cenderung terjadi oklusi aterosklerosis tibioperoneal. Atrofi otot-
otot betis mungkin juga terjadi. Gejala-gejala yang timbul pada paha,
mengindikasikan adanya oklusi aorta iliaca.5
Nyeri pada saat beristirahat jarang terjadi pada penderita diabetes. Pada
beberapa kasus, fissure, ulkus atau kulit pecah-pecah merupakan tanda awal telah
terjadinya penurunan perfusi. Ketika penderita diabetes dating dengan gangrene
hal tersebut sering merupakan akibat dari infeksi5
Pada pemeriksaan fisis, dapat dilakukan penilaian klasifikasi kaki diabetik
serta tes sensitivitas kaki. Pemeriksaan pulsasi arteri dorsum pedis, arteri tibialis
posterior, arteri poplitea, dan arteri femoralis dilakukan untuk menentukan
prognosis dan pilihan terapi yang akan diberikan. Pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan antara lain pemeriksaan darah rutin (tanda-tanda infeksi),
pemeriksaan kadar GDP, GD2PP, TTGO, serta HbA1c, kimia darah, urinalisis,
foto thoraks, serta foto pedis. Dengan demikian, dapat diperoleh gambaran
perjalanan penyakit DM yang dialami penderita, yang selanjutnya akan membantu
dalam menentukan penatalaksanaan kaki diabetik.5

PENATALAKSANAAN
A. Pencegahan Primer
Pencegahan primer meliputi pencegahan terjadinya kaki diabetik dan
terjadinya ulkus, bertujuan untuk mencegah timbulnya perlukaan pada kulit.
Pencegahan primer ini juga merupakan suatu upaya edukasi kepada para
penyandang DM baik yang belum terkena kaki diabetik, maupun penderita kaki
diabetik untuk mencegah timbulnya luka lain pada kulit.
Keadaan kaki penyandang DM digolongkan berdasarkna risiko terjadinya
dan risiko besarnya masalah yang mungkin timbul. Penggolongan kaki diabetik
berdasarkan risiko terjadinya masalah (Frykberg) yaitu: 1
1) Sensasi normal tanpa deformitas
2) Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi
3) Insensitivitas tanpa deformitas
4) Iskemia tanpa deformitas

32
5) Kombinasi/complicated
a) Kombinasi insensitivitas, iskemia, dan/atau deformitas
b) Riwayat adanya tukak, deformitas Charcot.
Pengelolaan kaki diabetik terutama ditujukan untuk pencegahan terjadinya
tukak, disesuaikan dengan keadaan risiko kaki. Berbagai usaha pencegahan
dilakukan sesuai dengan tingkat besarnya risiko tersebut. Dengan memberikan
alas kaki yang baik, berbagai hal terkait terjadinya ulkus karena faktor mekanik
akan dapat dicegah. 1
Penyuluhan diperlukan untuk semua kategori risiko tersebut. Untuk kaki
yang insensitif, alas kaki perlu diperhatikan benar, untuk melindungi kaki yang
insensitif tersebut. Jika sudah ada deformitas, perlu perhatian khusus mengenai
alas kaki yang dipakai, untuk meratakan penyebaran tekanan pada kaki. Untuk
kasus dengan permasalahan vaskular, latihan kaki perlu diperhatikan benar untuk
memperbaiki vaskularisasi kaki. Untuk ulkus yang complicated, akan dibahas
lebih lanjut pada upaya pencegahan sekunder. 1
B. Pencegahan Sekunder
Dalam pengelolaan kaki diabetik, kerja sama multi-disipliner sangat
diperlukan. Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik agar diperoleh hasil
pengelolaan yang maksimal dapat digolongkan sebagai berikut, dan semuanya
harus dikelola bersama.
1. Mechanical control (pressure control)
Kaki diabetik terjadi oleh karena adanya perubahan weight-bearing area
pada plantar pedis. Daerah-daerah yang mendapat tekanan lebih besar tersebut
akan rentan terhadap timbulnya luka. Berbagai cara untuk mencapai keadaan
weight-bearing dapat dilakukan antara lain dengan removable cast walker, total
contant casting, temporary shoes, felt padding, crutches, wheelchair, electric
carts, maupun cradled insoles. 1
Berbagai cara surgikal juga dapat dipakai untuk mengurangi tekanan pada
luka, seperti dekompresi ulkus/abses dengan insisi abses dan prosedur koreksi
bedah (misalnya operasi untuk hammer toe, metatarsal head resection, Achilles
tendon lengthening, dan partial calcanectomy). 1
2. Wound control

33
Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang merupakan hal yang
harus dikerjakan dengan baik dan teliti. Evaluasi luka harus dikerjakan secermat
mungkin. Klasifikasi ulkus PEDIS dilakukan setelah debridement yang adekuat.
Debridement yang baik dan adekuat akan sangat membantu mengurangi jaringan
nekrotik yang harus dikeluarkan tubuh, dengan demikian akan sangat mengurangi
produksi cairan/pus dari ulkus/gangren. 1
Berbagai terapi topical dapat dimanfaatkan untuk mengurangi mikroba
pada luka, seperti cairan salin sebagai pembersih luka, atau iodine encer, senyawa
perak sebagai bagian dari dressing, dll. Demikian pula berbagai cara debridement
non surgikal dapat dimanfaatkan untuk mempercepat pembersihan jaringan
nekrotik luka, seperti preparat enzim. 1
Selama proses inflamasi masih ada, proses penyembuhan luka tidak akan
beranjak pada proses selanjutnya, yaitu proses granulasi dan epitelisasi. Untuk
menjaga suasana kondusif bagi kesembuhan luka, dapat pula dipakai kasa yang
dibasahi dengan salin. Cara tersebut saat ini umum dipakai di berbagai tempat
perawatan kaki diabetik. 1
3. Microbiological control (infection control)
Data mengenai pola kuman perlu diperbaiki secara berkala untuk setiap
daerah yang berbeda. Antibiotik yang dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan
hasil biakan kuman dan resistensinya. Sebagai acuan, dari penelitian tahun 2004
di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, umumnya didapatkan pola kuman yang
polimikrobial, campuran Gram positif dan Gram negatif serta kuman anaerob
untuk luka yang dalam dan berbau. Karena itu untuk lini pertama pemberian
antibiotik harus diberikan antibiotik spektrum luas, mencakup kuman Gram
positif dan negatif (misalnya golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan obat
yang bermanfaat terhadap kuman anaerob (misalnya metronidazol). 1
4. Vascular control
Keadaan vaskular yang buruk tentu akan menghambat kesembuhan luka.
Berbagai langkah diagnostik dan terapi dapat dikerjakan sesuai keadaan dan
kondisi pasien. Umumnya kelainan pembuluh darah perifer dapat dikenali melalui
berbagai cara sederhana seperti warna dan suhu kulit, perabaan arteri dorsalis
pedis, arteri tibialis posterior, arteri poplitea, dan arteri femoralis, serta

34
pengukuran tekanan darah. Di samping itu, saat ini juga tersedia berbagai fasilitas
mutakhir untuk mengevaluasi keadaan pembuluh darah dengan cara noninvasif
maupun invasif dan semiinvasif, seperti pemeriksaan ankle brachial index, ankle
pressure, toe pressure, TcPO2, dan pemeriksaan echo Doppler serta arteriografi. 1
Setelah dilakukan diagnosis keadaan vaskularnya, dapat dilakukan
pengelolaan untuk kelainan pembuluh darah perifer dari sudut vaskular, yaitu
berupa:

Modifikasi Faktor Risiko1


 Stop merokok
 Memperbaiki faktor risiko terkait aterosklerosis (hiperglikemia, hipertensi,
dislipidemia)
Terapi Farmakologis
Jika mengacu pada berbagai penelitian yang sudah dikerjakan pada
kelainan akibat aterosklerosis di tempat lain (jantung, otak), mungkin obat seperti
aspirin dan lain sebagainya yang jelas dikatakan bermanfaat, akan bermanfaat
pula untuk pembuluh darah kaki penyandang DM; tetapi sampai saat ini belum
ada bukti yang cukup kuat untuk menganjurkan pemakaian obat secara rutin guna
memperbaiki patensi pada penyakit pembuluh darah kaki penyandang DM. 1
Revaskularisasi
Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau jika ada klaudikasio
intermiten yang hebat, tindakan revaskularisasi dapat dianjurkan. Sebelum
tindakan revaskularisasi, diperlukan pemeriksaan angiografi untuk mendapatkan
gambaran pembuluh darah yang lebih jelas. 1
Untuk oklusi yang panjang dianjurkan operasi bedah pintas terbuka. Untuk
oklusi yang pendek dapat dipikirkan untuk prosedur endovaskular (PTCA). Pada
keadaan sumbatan akut dapat pula dilakukan tromboarterektomi. 1
Dengan berbagai teknik bedah tersebut, vaskularisasi daerah distal dapat
diperbaiki, sehingga hasil pengelolaan ulkus diharapkan lebih baik, sehingga
kesembuhan luka tinggal bergantung pada berbagai faktor lain yang turut
berperan. 1

35
Selain itu, terapi hiperbarik dilaporkan juga bermanfaat untuk
memperbaiki vaskularisasi dan oksigenasi jaringan luka pada kaki diabetik
sebagai terapi adjuvant. Walaupun demikian, masih banyak kendala untuk
menerapkan terapi hiperbarik secara rutin pada pengelolaan umum kaki diabetik. 1
5. Metabolic control
Keadaan umum pasien harus diperhatikan dan diperbaiki. Kadar glukosa
darah diusahakan agar selalu senormal mungkin, untuk memperbaiki berbagai
faktor terkait hiperglikemia yang dapat menghambat penyembuhan luka.
Umumnya diperlukan insulin untuk menormalisasi kadar gula darah. Status nutrisi
harus diperhatikan dan diperbaiki. Nutrisi yang baik akan membantu kesembuhan
luka. Berbagai hal lain juga harus diperhatikan dan diperbaiki, seperti kadar
albumin serum, kadar Hb dan derajat oksigenasi jaringan serta fungsi ginjal. 1
6. Educational control
Edukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan kaki diabetik.
Dengan penyuluhan yang baik, penyandang DM dan ulkus/gangren diabetik
maupun keluarganya diharapkan akan dapat membantu dan mendukung berbagai
tindakan yang diperlukan untuk kesembuhan luka yang optimal. 1

PROGNOSIS
Ada tiga faktor yang berperan pada penyembuhan luka dan infeksi pada
kaki diabetik. Faktor pertama adalah angiopati arteriol yang menyebabkan perfusi
jaringan kaki kurang baik hingga mekanisme radang menjadi tidak efektif.
Faktor kedua adalah lingkungan gula darah yang subur untuk perkembangan
bakteri patogen; dan faktor ketiga ialah karena adanya pintas arteriovenosa di
subkutis yang terbuka hingga aliran nutrien tidak sampai ke tempat infeksi. 2
Selain ketiga faktor di atas, masih banyak faktor lain yang ikut
berpengaruh dalam terbentuknya kaki diabetik. Waspadji menyatakan bahwa
faktor pendidikan, sosioekonomi, dan gizi juga punya andil cukup besar.
Pendidikan dan sosioekonomi yang rendah terkait dengan pengetahuan yang
kurang mengenai diabetes mellitus dan pencegahan komplikasinya serta
kemampuan finansial akan mempengaruhi pengelolaan diabetes mellitus yang

36
dideritanya. Status gizi yang rendah memiliki keterkaitan dengan rendahnya
respon imun sehingga mempermudah terjadinya infeksi. 2
Adapun prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemantauan
penyakit diabetes mellitus secara berkepanjangan antara lain: 6
 Pemantauan kadar glukosa darah secara berfrekuensi (sebaiknya dapat
dilakukan oleh pasien secara mandiri)
 Pemeriksaan kadar HbA1c (2-4 kali/tahun)
 Edukasi pasien mengenai manajemen diabetes mellitus (setiap tahun)
 Edukasi dan terapi gizi medis (setiap tahun)
 Pemeriksaan mata (setiap tahun)
 Pemeriksaan kaki (1-2 kali/tahun di dokter, dan setiap hari oleh pasien sendiri)
 Tes saring untuk nefropati diabetik (urinalisis – setiap tahun)
 Pengukuran tekanan darah (setiap tiga bulan)
 Pemeriksaan profil lipid dan kreatinin serum (setiap tahun)
 Imunisasi influenza/pneumococcus
 Pertimbangkan terapi antiplatelet.

37
BAB IV
ANALISIS KASUS

Seorang perempuan 62 tahun datang ke RSUD Dr. Sobirin dengan keluhan


kisaran 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh berupa luka lecet
pada ibu jari kaki kanan setelah menggunting kuku. Luka semakin lama semakin
membesar sampai ke telapak kaki. Pada luka terasa nyeri, panas, keluar cairan
seperti nanah, dan bengkak di sekitar luka. Pasien juga mengeluh demam
semenjak timbul luka pada kaki kanan. Demam tidak terlalu tinggi dan terjadi
terus menerus, pasien tidak meminum obat. Pasien belum berobat dan hanya
membersihkan luka secara mandiri dirumah. Pasien mengaku sejak beberapa
bulan terakhir sering merasa lapar sehingga lebih banyak makan, mudah haus, dan
sering terbangun malam hari untuk buang air kecil. Pasien juga mengeluh
mengalami penurunan berat badan padahal nafsu makan tidak menurun. Pasien
mengaku penglihatannya sedikit kabur dan kesemutan atau kebas pada ujung-
ujung jari tangan. Pasien sempat berobat dan dikatakan menderita kencing manis.
Pasien diberi obat (pasien lupa nama obat), namun pasien tidak kontrol lagi
setelah obatnya habis.
+ 8 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh nyeri luka yang
semakin memberat dan luka mulai membusuk. Pasien juga mengeluh nyeri ulu
hati, pasien mengalami mual dan namun tidak muntah. BAK tidak ada keluhan.
BAB juga tidak ada keluhan, darah tidak ada dan warna kehitaman juga tidak ada.
Pasien masih belum berobat. + 2 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien
mengeluh ibu jari dan telunjuk kaki kanan menghitam. Pasien mengatakan bahwa
bagian kaki yang menghitam tidak terasa sakit lagi, namun nyeri pada bagian
yang terdapat ulkus. Pasien juga mengatakan nyeri ulu hati semakin hebat, mual
ada, muntah tidak ada. Pasien tidak mengeluh sesak, batuk dan dada berdebar-
debar. Pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari karena nyeri pada luka
kaki kanan.
Dari keluhan utama dan riwayat perjalanan penyakit ini dapat dipikirkan
diagnosis untuk keluhan seperti yang dirasakan oleh pasien ini, yaitu ganggren
diabetik karena luka tersebut tidak sembuh-sembuh dan penderita juga memiliki

38
penyakit diabetes melitus. Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia
pada penyandang DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada
pembuluh darah. Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motorik dan
autonomik akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang
kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki
dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan
terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas.
Peningkatan kadar gula darah juga menyebabkan gagalnya fungsi neutrofil dan
gangguan sistem imunologi sehingga proses penyembuhan luka berjalan lambat.
Diagnosis banding berupa buerger disease, pada penyakit ini bisa terjadi pada
pembuluh darah perifer ekstremitas superior dan inferior, terasa nyeri terutama
saat beristirahat, berhubungan dengan kebiasaan merokok dari usia muda dan
penderita lebih banyak laki-laki dibanding perempuan. Pada penderita ditemukan
gejala diabetes melitus, tidak ada riwayat merokok dan jenis kelamin perempuan
sehingga secara klinis diagnosis buerger disease dapat disingkirkan.
Dari hasil pemeriksaan status generalis TD: 110/80 mmHg, RR: 20 x/menit,
HR: 80 x/menit, Temp: 37,3oC, IMT: 27,53 kg/m2. Dari hasil pemeriksaan fisik
hanya didapatkan nyeri tekan pada epigastrium dan akral inferior dingin. Status
lokalis pedis dekstra terdapat warna kulit menghitam pada jari 1 dan II, terdapat
ulkus ukuran 5x7 cm di 1/3 distal pedis, terdapat pus dan jaringan nekrotik,
palpasi konsitensi lembut, nyeri tekan (+).
Dari hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 25 juli 2016 didapatkan
Hb: 7.2 g/dL , RBC: 27 x106 mm3leukosit: 31.6 x103/mm3 , trombosit: 567 x
103/mm3 , Ht: 20.9 % ,BSS:739 mg/dl, Ureum: 33.29 mg/dL, kreatinin: 1.44
mg/dL, tanggal 26 juli 2017 BSN: 528 mg/dl , BSPP: 368 mg/dl.
Berdasarkan hasil temuan baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik, maupun
hasil pemeriksaan penunjang maka dapat disimpulkan pasien ini mengalami
ganggrene diabetik pedis dextra+ sindroma dispepsia.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah dengan melakukan pencegahan agar
tidak terjadi kecacatan yang lebih parah (pencegahan sekunder dan pengelolaan
ulkus/gangren diabetik yang sudah terjadi). Untuk pengelolaaan ganggren yang
optimal harus melibatkan kerjasama multidisipliner. Pemberian cairan IVFD

39
Ringer Laktat gtt xxx x/m diperlukan dalam rangka rehidrasi pasien. Rehidrasi
pada pasien DM harus dilakukan secepatnya sebelum diberikan terapi insulin.
Pemberian terapi insulin merupakan indikasi pada pasien DM dengan komplikasi
kaki diabetik. Novorapid 3 x 16 IU (SC) dan Levemir 1 x 16 IU (SC) diberikan
dengan mempertimbangkan kadar gula darah puasa dan gula darah post prandial
yang tinggi dan ini merupakan bentuk prinsip kontrol metabolik dalam rangka
regulasi kadar glukosa darah yang adekuat. Dalam prinsip kontrol infeksi
(mikrobiologi) pada pengelolaan kaki diabetik diberikan Injeksi Ceftriaxone 2 x 1
gr (IV) sebagai terapi empiris sebelum didapatkan hasil kultur kuman. Kontrol
luka dilakukan dengan tindakan debridement dan terapi topikal dengan kompres
NaCl 0,9% + Gentamycin untuk menjaga suasana kondusif bagi kesembuhan
luka. Cilostazol 2 x 100 mg (PO) sebagai anti platelet diberikan sebagai
profilaksis terjadinya aterotrombosis karena pada pasien diabetes terjadi
peningkatan resiko aterotrombosis melalui berbagai efek pada dinding vaskular
dan efek terhadap sel-sel darah. Parasetamol 3 x 500 mg diberikan sebagai terapi
simptomatik demam. Injeksi Omeprazol 1 x 40 mg (IV) diberikan sebagai terapi
sindroma dispepsia. Obat ini merupakan golongan penghambat sekresi asam
lambung yang sangat efektif diberikan sebagai terapi dispepsia. Injeksi
Mecobalamin 2 x 500 mcg (IV) diberikan sebagai terapi adjuvan sebagai vitamin
saraf untuk memperbaiki neuropati yang ada pada pasien.
Prognosis pada pasien ini umumnya baik kecuali pada prognosis
kesembuhan karena pada kaki yang telah mengalami nekrosis maka amputasi
merupakan pilihan dan diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang
harus selalu dikontrol sehingga tidak tepat apabila dikatakan pasien dapat sembuh
melainkan penyakitnya terkontrol sehingga komplikasi kronik lainnya dapat
dibatasi.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Suyono S. 2014.Diabetes Melitus di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW,


Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II. Edisi ke-6. Jakarta. Interna Publishing.hal:2315-21
2. Waspadji S. 2014. Kaki Diabetes. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi ke-6.
Jakarta. Interna Publishing.hal:2367-73
3. Shahab A. Komplikasi Kronik DM Penyakit Jantung Koroner. Dalam: Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
Edisi IV. Jakarta: FKUI, 2007: h. 1894-7.
4. Schteingart DE. Pankreas: Metabolisme Glukosa dan Diabetes Mellitus.
Dalam: Price SA & Wilson LM (eds). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC, 2006: h. 1259-74.
5. Rowe, W.L. Diabetic ulcers [online].2011, April 01[citied on 2011, April 24].
Available from : http://emedicine.medscape.com/.
6. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, et al. Harrison’s Manual of Medicine 17th
Edition. New York: McGraw-Hill, 2009: h. 942-7.
7. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Mellitus Tipe 2 di Indonesia. Dalam: IPD’s CIM: Compendium of Indonesian
Medicine, 1st Edition. Jakarta: IDI, 2009: 13-40.

41

Anda mungkin juga menyukai