Joko Daryanto
Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
UNS Surakarta
Abstrak
Penyebaran Islam di Jawa menggunakan berbagai cara ataupun metode dakwah penyebaran Islam.
Salah satu sarana pendukung penyebaran Islam di Pulau Jawa adalah gamelan Sekaten. Perangkat
gamelan ini merupakan perangkat gamelan yang dibunyikan untuk memperingati kelahiran Nabi
Muhammad SAW, dibunyikan selama satu minggu di Bangsal Pagongan depan Masjid Agung
Surakarta. Sebelum orang Jawa mengenal dan memeluk agama Islam, masyarakat Jawa telah memeluk
agama Hindu dan Budha. Kondisi sosial psikologis masyarakat Jawa semacam itu rupanya menjadi
hambatan para wali untuk menyebarkan agama Islam. Pada akhirnya Sunan Kalijaga mengusulkan
agar menggunakan gamelan sebagai daya tarik awal bagi penyebaran agama Islam. Gamelan Sekaten
yang digunakan sebagai sarana penyebaran agama Islam di Jawa diduga kuat memiliki nilai-nilai
atau unsur-unsur Islam dalam perangkat tersebut. Setting masyarakat Jawa pada saat itu masih
memiliki keyakinan yang sangat kuat terhadap agama Hindu dan Budha sehingga diperlukan alat
bantu dalam hal ini gamelan Sekaten untuk memudahkan para wali menyebarkan agama Islam.
Strategi dakwah dengan menggunakan gamelan Sekaten ternyata sangat menarik dan efektif untuk
mengumpulkan orang. Diawali dengan ketertarikan terhadap bunyi gamelan Sekaten akhirnya
masyarakat Jawa mengenal dan akhirnya memeluk Islam sebagai keyakinan. Proses Islamisasi seperti
itu selanjutnya disebut sebagai dakwah dengan menggunakan pendekatan kultural
Abstract
The spreading of Islamic faith in Java uses many ways or methods to propagate Islamic faith. One of the
medium which is support the spreading of Islam in Java is ‘Gamelan Sekaten’. It is kind of an ensemble which
is played on the occasion of Muhammad’s birthday and played as long as 1 week in ‘Bangsal Pagongan’ in front
of the Great Mosque Surakarta. Before Javanese people knowing and converting into Islamic faith, Javanese
people have been converted into Hindu & Buddhist faith. This psychological social condition of Javanese people
becomes the obstacle for the nine muslim saints, Wali Sanga, to spread Islamic faith. Sunan Kalijaga suggested
using ‘gamelan’ as the attractiveness of spreading Islam. The ‘Gamelan Sekaten’ which is used as a medium of
spreading Islam in Java strongly assumed that this medium has value or element of Islam. The setting of
Javanese people in that time still had a strong faith toward Hindu & Buddhist faith, so it required a tool, in this
case is a ‘gamelan sekaten’, to facilitate the nine muslim saints in spreading Islamic Faith. This religious
proselytizing strategy which is use ‘gamelan sekaten’ as a medium appears to be very interesting & effective to
gather people. Begins with feel interest to ‘gameln sekaten’, finally, Javanese people know and convert into
Islam as their faith. This Islamization process, called as religious proselytizing using cultural approach.
digambarkan sebagai wenang misesa ing sanagari, Moertono melihat pemakaian gelar itu
artinya memegang kekuasaan tertinggi di dimaksudkan untuk mendapatkan pengakuan
seluruh negeri. Raja tidak hanya berkuasa atas dan dukungan kalangan orang-orang Islam. 5
negara dan harta benda, tetapi juga terhadap Secara politik dukungan dari orang-orang Islam
segenap kawula dengan kehidupan pribadinya.1 sangat dibutuhkan berkaitan dengan penegakan
Pada masa Hindu raja adalah penguasa yang kekuasaan raja. Dengan menganut Islam secara
disejajarkan dengan dewa atau lebih dikenal simbolik seorang raja berarti mengisyaratkan
dengan konsep dewaraja, namun pada masa perlawanan terhadap pemerintah kolonial
kerajaan Islam konsep ini tidak berlaku lagi. Belanda, upaya ini diharapkan mendapat
Teologi Islam menempatkan raja sebagai dukungan dari orang-orang Islam yang sangat
khalifatullah atau wali Tuhan di dunia. Namun membenci Belanda hingga orang-orang itu
demikian penempatan ini tidak mengubah memberikan dukungannya kepada raja sebagai
kekuasaan raja terhadap rakyatnya.2 penguasa. Pemerintah Belanda berusaha keras
Kerajaan Mataram (Islam) sampai dengan supaya para bangsawan tidak memeluk Islam
Karaton Surakarta menerapkan penempatan karena ketika bangsawan bahkan seorang raja
kedudukan raja sebagai khalifatullah sampai memeluk Islam, besar kemungkinan terjadi
pada gelar kebesarannya. Raja yang menempati perlawanan terhadap kehadiran orang Eropa di
status sosial tertinggi di karaton tercermin pada Jawa.6
nama, gelar, atau sebutan yang disandangnya. Paku Buwana IV merupakan salah satu
Peletak dasar wangsa Mataram, yaitu Senapati raja Karaton Surakarta yang menunjukkan sikap
menggunakan sebutan panembahan, permusuhan kepada Belanda melalui
penggantinya, Anyakrawati, semula memakai ketaatannya menjalankan ajaran Islam,
panembahan. Penguasa ketiga Anyakrakusuma sebenarnya permusuhan dengan Belanda sudah
sesudah memiliki wilayah yang luas memakai dinyatakan sejak menduduki jabatan sebagai
gelar susuhunan yang menunjukkan kedudukan putra mahkota. Ketaatan Paku Buwana IV dalam
yang sangat tinggi, perkembangan selanjutnya menjalankan ajaran Islam terlihat ketika Sunan
gelar susuhunan diganti menjadi sultan, namun diminta menari tayub yang disertai dengan
susuhunan dipakai lagi oleh penggantinya yaitu minum-minuman keras. Hal ini oleh Belanda
Amangkurat I. Akhirnya ketika Mataram pecah dipandang sebagai sikap perlawanan hingga
menjadi dua (1755) gelar susuhunan dipakai oleh pemerintah Belanda memandang pentingnya
raja-raja Surakarta dan Sultan dipakai oleh raja- pencegahan penyebaran agama Islam terutama
raja Yogyakarta.3 dikalangan bangsawan.7
Pemakaian gelar khalifatullah di Karaton Kisah di atas menunjukkan bahwa proses
Surakarta masih dipakai sampai pemerintahan penyebaran agama Islam telah menyentuh
Paku Buwana XIII sekarang. Secara lengkap kalangan bangsawan, bahkan seorang raja
penyebutan raja untuk Karaton Surakarta adalah memeluk Islam dan menjalankan ajarannya
Senapati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin dengan taat. Jika raja telah memeluk agama
Panatagama Khalifatullah. Dari gelar tersebut Islam dapat diperkirakan sebagian besar
tampak jelas bahwa raja selain berkedudukan rakyatnya juga mengikuti jejak rajanya yang
sebagai kepala pemerintahan, panglima tinggi memeluk agama Islam. Hal ini diduga
angkatan perang (Senapati Ing Ngalaga), juga disebabkan karena hubungan yang sangat dekat
kepala bidang keagamaan (Abdurrahman Sayidin antara raja dengan rakyatnya. Dalam tradisi
Panatagama) serta wali Tuhan di dunia dikenal konsep negara agung di mana kerajaan
(Khalifatullah). Pemakaian gelar Sayidin merupakan pusat kosmologis pemerintahan,
panatagama khalifatullah berkaitan dengan proses sementara hubungan raja dan rakyat dalam
Islamisasi di Jawa. Dengan gelar tersebut berarti bahasa politik kerajaan dinamakan manunggaling
raja sudah memeluk agama Islam, lebih dari itu kawula gusti.8
Sunan 4 secara eksplisit menyatakan sebagai Penyebaran agama Islam di Jawa tidak
penegak ajaran agama Islam. berjalan dalam waktu yang singkat, melainkan
melalui perjalanan panjang hingga Islam dapat pemimpin Islam penasehat Sultan Demak I
tersebar dan menempati urutan tertinggi jika (Raden Patah) pada abad ke -16.9
dihitung jumlah pemeluknya. Penyebaran agama Penggunaan gamelan Sekaten sebagai
Islam di Jawa tentu melalui perantara serta sarana penyebaran agama Islam yang dimulai
berbagai sarana yang digunakan sebagai alat sejak zaman Demak mengalami pasang surut,
pendukung dakwah penyebaran Islam. Salah artinya pada periode tertentu gamelan Sekaten
satu sarana pendukung penyebaran Islam di tidak menampakkan eksistensinya. Setelah
Pulau Jawa adalah gamelan Sekaten. Perangkat runtuhnya Demak, tidak ditemukan informasi
gamelan ini merupakan perangkat gamelan yang yang jelas tentang keberadaan gamelan Sekaten.
dibunyikan untuk memperingati kelahiran Nabi Sampai pada masa kerajaan Pajang dan Mataram
Muhammad SAW, dibunyikan selama satu awal di bawah pemerintahan Panembahan
minggu di Bangsal Pagongan depan Masjid Senapati dan Panembahan Seda Krapyak
Agung Surakarta. keberadaan gamelan Sekaten tidak
diinformasikan keberadaannya. Hal ini dapat
Perjalanan Gamelan Sekaten dimaklumi karena proses peralihan kekuasaan
dari Demak ke Pajang terjadi konflik internal atau
Berdasarkan cerita gotek (sejarah oral) intrik politik internal kerajaan yang tidak
gamelan Sekaten tidak terlepas dari peranan kunjung selesai.
kerajaan-kerajaan Islam pada saat para wali di Pada masa Mataram awal di bawah
Jawa menyebarkan ajaran agama Islam. pemerintahan Panembahan Senapati dan
Sebagaimana diketahui, sebelum masuknya Panembahan Seda Krapyak gamelan Sekaten juga
Islam, masyarakat Jawa telah memeluk agama belum terlihat eksistensinya. Hal ini berkaitan
Hindu dan Budha yang menyertakan gamelan dengan status Panembahan Senapati dan
atau kesenian sebagai salah satu kegiatan dari Panembahan Seda Krapyak yang menggunakan
upacara ritualnya. Kondisi sosial psikologis gelar panembahan. Gelar panembahan bukanlah
masyarakat Jawa semacam itu rupanya menjadi gelar yang seharusnya bagi raja, gelar
hambatan para wali untuk menyebarkan agama panembahan lebih memiliki nuansa dan muatan
Islam. Maka dalam suatu musyawarah para wali, asketik yaitu menyimbolkan seseorang yang
Sunan Kalijaga mengusulkan agar menggunakan memiliki keutamaan dalam kehidupan
gamelan sebagai daya tarik awal bagi transendental.10
penyebaran agama Islam. Gamelan Sekaten yang Penyebutan raja dengan Panembahan juga
digunakan sebagai sarana penyebaran agama ditemukan di Babad Tanah Djawi yang
Islam di Jawa diduga kuat memiliki nilai-nilai menyebutkan bahwa Panembahan Senapati
atau unsur-unsur Islam dalam perangkat “lajeng jumeneng Sultan wonten ing Matawis.
tersebut. Nanging mboten karan: tetiyang kathah sami mastani
Paku Buwana IV raja Surakarta yang taat Panembahan Senapati kemawon”11. Pemberitaan ini
menjalankan ajaran Islam menyadari betul memberi kesan seakan-akan gelar itu kurang
kedudukannya sebagai wali Tuhan hingga ia tinggi tingkatnya atau tingkat kehormatannya
merasa bertanggung jawab terhadap proses kurang. Kata kemawon yang berarti hanya
dakwah Islam di wilayah hukumnya. Seperti menunjukkan bahwa gelar panembahan bukanlah
yang telah dilakukan oleh pendahulunya, Paku gelar bagi seorang raja, tetapi dipakai oleh orang
Buwana IV tetap menggunakan gamelan Sekaten yang derajatnya di bawah raja, gelar
sebagai sarana penyiaran agama Islam. panembahan kedudukannya berada di bawah
Sebagaimana diketahui bahwa sebenarnya Sultan atau Susuhunan. 12 Sedangkan gamelan
dakwah dengan menggunakan gamelan Sekaten Sekaten merupakan pusaka kepraboning nata atau
telah dilakukan oleh wali sanga sejak Kasultanan simbol keagungan seorang raja. Menyadari hal
Demak, hingga dapat dikatakan gamelan Sekaten tersebut kedua panembahan itu tidak berani
telah ada sejak zaman Demak. Sumber- sumber menggunakan gamelan Sekaten sebagai simbol
(literature) Jawa mengatribusikan asal-usul keagungan.
gamelan Sekaten kepada wali sanga, sembilan
komposisi musikal yang merupakan pengenalan tahap itu menurut Supadjar ada pada gamelan
dari setiap gendhing sekaten, yang diekspresikan Sekaten.
oleh pengrawit (musisi) melalui instrumen bonang Strategi dakwah atau penyiaran Islam di
dengan menyajikan serangkaian melodi, selalu Jawa yang menggunakan pendekatan
disertai dengan bunyi serempak instrumen- kompromis yaitu dengan menggunakan gamelan
instrumen lain dengan nada yang sama. Umpak Sekaten sebagai daya tarik awal pada akhimya
merupakan potongan melodi yang digunakan membuahkan hasil. Sunan Kalijaga berhasil
sebagai jembatan dari racikan menuju lagu pokok, memanfaatkan potensi budaya lokal untuk
sedangkan suwukan adalah melodi pendek yang keperluan syiar agama Islam. Pradjapangrawit
khusus dibunyikan jika gendhing akan berhenti. melukiskan keberhasilan penyiaran Islam hampir
Racikan dimaknai sebagai simbolisasi merata di Pulau Jawa.30 Ada dua pendekatan atau
ajaran atas doa yang dibacakan oleh seorang strategi yang mejadikan penyebaran Islam di
imam. Sedangkan bunyi serempak dari Jawa berhasil yaitu Islamisasi kultur Jawa dan
instrumen lain di setiap akhir melodi dipahami Jawanisasi Islam. Islamisasi kultur Jawa yakni
sebagai seruan amin dari makmum yang mengupayakan agar budaya Jawa tampak
mengikutinya. Hal ini merupakan interjeksi bercorak Islam, baik secara formal maupun
musikal yang berpengharapan agar hubungan substansial. Upaya ini dilakukan lewat
imam dan makmum merupakan perpaduan serasi penggunaan istilah-istilah Islam, penonjolan
sebagaimana halnya melodi bonang dan suara peran tokoh Islam dalam berbagai cerita dan
serempak instrumen lainnya.26 karya-karya sastra lama, sampai pada penerapan
Perayaan Sekaten selama tujuh hari di norma-norma Islam dalam aspek kehidupan.
Bangsal Pradangga Masjid Agung Surakarta Pendekatan kedua disebut Jawanisasi Islam
selalu membunyikan dua gendhing wajib pada yakni upaya intemalisasi nilai-nilai Islam ke
awal penyajian, dua gendhing itu adalah dalam budaya Jawa. Cara pertama diawali
Ladrang Rambu dan Ladrang Rangkung. Rambu dengan menyentuh aspek-aspek formal sehingga
ditafsirkan berasal dari kata Arab Robbunu yang simbol-simbol Islam nampak secara nyata dalam
berarti Allah Tuhanku dan Rangkung ditafsirkan budaya Jawa. Pada pendekatan kedua, nama-
juga berasal dari kata Arab Rokhun yang berarti nama Jawa tetap dipakai akan tetapi memuat
jiwa besar atau jiwa yang agung.27 Dua gendhing kandungan nilai-nilai Islam, sehingga Islam
itu harus selalu dibunyikan baik oleh gamelan menjadi men Jawa.31
Kanjeng Kyai Guntur Madu di bangsal selatan Gamelan Sekaten yang muncul karena ide
maupun Kanjeng Kyai Guntur Sari di bangsal penyebaran agama Islam dan dituangkan
utara. Penempatan dan gendhing yang pelaksanaannya melalui aktivitas perayaan
berpasangan dalam penyajiannya merupakan Sekaten dalam rangka memperingati hari
aplikasi konsep budaya Jawa yaitu keseimbangan kelahiran Nabi Muhammad SAW,
hidup. Keseimbangan bagi orang Jawa diklasifikasikan ke dalam kelompok gamelan
dipandang merupakan hal yang sangat penting pakurmatan yaitu gamelan yang digunakan
karena berkaitan erat dengan citra nilai-nilai untuk menghormat sesuatu, suatu peristiwa atau
etika dan estetika budaya.28 seseorang, lembaga dan sebagainya yang dulu
Supadjar melihat Sekaten memiliki tiga tentunya ada hubungannya dengan keluarga atau
tahapan yang bemafaskan Islam yaitu tafakur, sebagai atribut upacara untuk menjaga kebesaran
tadzabur, dan tadabbur. 29 Tahap tafakur raja/kerajaan dan atau yang terkait dengan
memandang seni masih terbatas pada sifat-sifat kepercayaan; Islam, kejawen, dewa raja, kawula
yang auditif, visual maupun motorik. Pada tahap gusti dan sebagainya. 32 Sebenarnya perangkat
tadzabur seni diliputi oleh suasana keindahan yang gamelan pakurmatan tidak hanya gamelan
penuh kasih sayang tanpa penonjolan subyek Sekaten, masih ada gamelan carabalen, gamelan
atau pengorbanan obyek, semuanya Baling monggang, dan gamelan kodhok ngorek.
memaafkan dan mengoreksi. Sedangkan seni Dua perangkat gamelan Sekaten di
pada tahap tadzabbur merupakan tahapan olah Karaton Surakarta masing-masing memiliki
rasa, olah karsa, lahir dan batin bekerja. Tiga jumlah dan jenis yang sama. Berikut ini
komposisi ricikan yang digunakan pada dua menyebabkan karaton menjadi pusat
perangkat gamelan Sekaten Karaton Surakarta, pemerintahan dan aktivitas keagamaan serta
masingmasing adalah: pusat pengembangan budaya. Fananie
a. Satu rancak bonang yang terdiri dari ricikan menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan di Jawa
bonang dan panembung, ditabuh oleh dua mengembangkan Islam sebagai agama resmi
atau tiga orang pengrawit (musisi). melalui media (seni) budayanya sehingga seni
b. Dua rancak demung, setiap demung ditabuh yang dominan dalam proses keagamaan Hindu
oleh seorang pengrawit. akhimya mendominasi pula proses ritualisme
c. Empat rancak saron barung, setiap rancak Islam dan membentuk budaya baru yang disebut
ditabuh seorang pengrawit. kejawen.34 Sofyan juga menyatakan hal yang sama
d. Dua rancak saron penerus, ditabuh masing- bahwa produkproduk budaya orang Jawa yang
masing oleh seorang pengrawit. beragama Islam lebih cenderung mengarah pada
e. Satu rancak kempyang, ditabuh oleh seorang polarisasi Islam kejawaan atau Jawa keislaman
pengrawit. yang selanjutnya dipahami sebagai Islam kejawen.
35
f. Sepasang atau dua buah gong besar, ditabuh
oleh seorang pengrawit. Ide penyebaran agama Islam dengan
g. Sebuah bedhug yang digantung pada satu artefak gamelan Sekaten yang dituangkan dalam
gayor33, ditabuh oleh seorang pengrawit. aktivitas perayaan Sekaten selama satu minggu
bertepatan dengan hari kelahiran Nabi
Fungsi sebagai sarana penyiaran agama Muhammad SAW semakin menunjukkan bahwa
Islam menyebabkan gamelan Sekaten memiliki aktivitas seni dan prosesi keagamaan merupakan
bentuk dan ukuran yang lebih besar dari dua hal yang tidak terpisahkan. Peringatan hari-
gamelan pada umumnya. Gamelan ini memiliki hari besar Islam semacam ini telah mewarnai
ukuran dan volume yang lebih besar dari kehidupan masyarakat Jawa, dalam upacara-
gamelan pada umumnya, dengan instrumentasi upacara, itu termasuk hari kelahiran Nabi
perkusi sebagai medium utama, ditambah Muhammad SAW percampuran antara Hindu
dengan instrumen bedug. Penambahan dan Islam sangat jelas terlihat proses ritual yang
instrumen bedug merupakan satu bentuk bercorak Islam namun masih menggunakan pola
kompromi karena dalam tradisi karawitan Jawa budaya Hindu. Jalaludin Rukmi menyatakan jika
instrumen bedug tidak memberikan kontribusi suatu makna kerohanian dicetakkan secara
yang berarti atau bahkan tidak berperan dalam intensif ke dalam sebuah bentuk ekspresi
sajian karawitan, kompromi yang dimaksud budaya, walaupun bentuk ekspresi budaya itu
adalah penyatuan dua instrumen yang berbeda sebenarnya telah berkembang lama, dengan
asal-usul maupun fungsinya. Gamelan yang sendirinya bentuk ekspresi itu akan mengalami
merupakan produk kebudayaan Jawa dipadu perubahan dan hadir seakan-akan sebagai
dengan instrumen bedug yang merupakan alat sesuatu yang baru.36 Dari pernyataan itu semakin
komunikasi peribadatan di masjid. Dengan jelas bahwa budaya baru hasil percampuran
demikian unsur Islam juga terlihat dari wujud antara kebudayaan Hindu-Jawa dan Islam
fisik yaitu adanya instrumen bedug. menghasilkan ekspresi budaya baru yang lain
Proses pengislaman dengan model dengan kebudayaan sebelumnya, akan tetapi
asimilasi budaya yaitu percampuran dua budaya kebudayaan yang lama tidak hilang begitu saja.
inilah yang akhirnya menyebabkan munculnya
sinkretisme. Secara umum pengertian Kesimpulan
sinkretisme adalah percampuran antara tradisi
Hindu dengan tradisi Islam tanpa melihat Gamelan Sekaten sebagai benda
apakah percampuran tersebut benar atau salah, peninggalan sejarah setidaknya telah
murni atau tidaknya suatu agama. Pola seperti menunjukkan bahwa agama dan kebudayaan
ini pula yang melestarikan seni budaya sebagai dapat bersinergi hingga proses pengislaman
medium dari ajaran Islam, khususnya yang Jawa tidak mengalami kesulitan. Kesanggupan
dilakukan oleh kerajaan. Hal inilah yang menafsirkan secara kreatif para penyiar agama
Islam di Jawa dalam hal ini para wali telah Mutohaharun Jinan (ed), Agama dan
menghasilkan perubahan dan transformasi Pluralitas Budaya Lokal. Surakarta:
kebudayaan sesuai dengan aspirasi budaya Jawa Muhammadiyah University Press, 2003.
tetapi mengakar pada sumber otentik ajaran Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai
Islam. Pustaka, 1984.
Kuatnya tradisi Hindu menyebabkan para Moedjanto, G., Konsep Kekuasaan Jawa.
wali mengalami hambatan dalam penyebaran Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Islam di Jawa. Agama Hindu yang telah Moertono, S., Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa
berkembang berabad-abad di Jawa sebelum Masa Lampau: Studi Tentang Masa
Islam masuk telah meletakkan pondasi bahwa Mataram H, Abad XVI Sampai XIX
seni merupakan bagian dari ritual, dengan kata Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985.
lain permasalahan seni dan agama dalam agama Prajapangrawit, Serat Sujarah Utawi Riwayating
Hindu telah berakar kuat karena agama Hindu Gamelan: Wedhapradangga (Serat Saking
memasukkan seni dalam persoalan kepercayaan. Gotek). Surakarta: STSI Press, 1990.
Runtuhnya kerajaan Majapahit yang merupakan Soeratman, D., Kehidupan Dunia Kraton Surakarta.
dinasti terakhir kerajan Hindu Jawa masih 1890-1939. Yogyakarta: Taman Siswa,
menyisakan tradisi Hinduisme yang 1985.
menyebabkan proses penyebaran Islam di Jawa Sofyan, R., “Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalain
mengalami hambatan. Hal ini dikarenakan Aspek Kepercayaan dan Ritual”, dalam
runtuhnya Majapahit hanya pada tataran formal Darori amin (ed). Islam & Kebudayaan
administratif bukan dalam pengertian tradisi Jawa. Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Hinduisme. Kenyataan di lapangan menunjukkan Sumarsam, Hayatan Gamelan: Kedalaman Lagu,
setelah Majapahit runtuh dan kerajaan Islam Teori dan Perspektif. Surakarta: STSI
berdiri di tanah Jawa, tradisi Hindu masih Press, 2002.
sangat jelas hingga proses pengislaman tanah Sunarto, B., “Budaya Musik Karaton Surakarta”,
Jawa harus dilakukan melalui tradisi masyarakat dalam Panggung. Jurnal Seni STSI
Jawa sendiri. Bandung. No. XXXVI. 2005. Hal. 9-28.
Kemunculan perangkat gamelan Bandung: STSI Press, 2005.
pakurmatan Sekaten sebagai sarana penyebaran Supadjar, D., Nawang Sari. Yogyakart: Fajar
agama Islam dapat dimaknai sebagai bentuk Pustaka Baru, 2001.
pemahaman baru terhadap konsep keagamaan Supanggah, R., Bothekan Karawitan I. Jakarta:
yang berkaitan dengan budaya. Meskipun Masyarakat Seni Pertunjukan
ditransformasikan dengan bentuk-bentuk Indonesia, 2002.
ekspresi budaya lama yang lebih mapan dan _________, Gamelan.- Interaksi dan Perkembangan
berakar kuat, akan tetapi hasilnya merupakan Musikal di Jawa. Yogyakarta: Pustaka
ekspresi budaya baru yaitu bernafaskan Islam Pelajar, 2003.
sekaligus bercorak Jawa. Waridi, Karawitan Jawa Masa Pemerintahan PB X:
Perspektif Historic dan Teoritis. Surakarta:
Kepustakaan ISI Press, 2006.
6 19
Sumarsam, gamelan Interaksi Budaya dan Ali, F., 1986: 28.
20
Perkembangan Musikal di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pradjapangrawit, 1990: 89.
21
Pelajar, 2003: 45. Pradjapangrawit, 1990: 25-26.
7 22
Riklefs, dalam Sumarsam, 2003: 45. Waridi, 2006: 150.
8 23
Riklefs, 1974: Hadi, W.M.A., “Islam dan Dialog Kebudayaan:
9
Sumarsam, Hayatan gamelan: Kedalaman Lagu, Teori Perspektif hermeneutic. Dalam Zakiyuddin Baidhawy
dan Perspektif. Surakarta: STSI Press, 2002: 136. dan Matohaharun Jinan (ed), Agama dan Pluralitas Budaya
10
Sunarto, B., “Budaya Musik Karaton Surakarta”, Lokal. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003:
dalam panggung: Jurnal Seni STSI Bandung. XXXVI. 120.
24
Bandung: STSI Press, 2005: 13. Supadjar, D., Nawang Sari. Yogyakarta: Fajar
11
Panembahan Senapati kemudian menjadi Sultan Pustaka Baru, 2001: 83.
25
di Mataram. Tetapi tidak disebut dengan Sultan, karena Hadi, W.M.A., 2003: 122.
26
masyarakat pada umumnya menyebut dengan Sunarto, B., 2005: 19-20.
27
Panembahan Senapati. Supanggah, R., Bothekan Karawitan. Jakarta:
12
Moedjanto, G., 2002: 17-18. Masyarakat Seni pertunjukan Indonesia, 2000: 52-53.
13 28
Kalimat yang memiliki makna angka pada setiap Sunarto, B., 2005: 19.
29
kata, digunakan untuk menunjukkan tahun terjadinya Supardjar, D., 2001: 336.
30
peristiwa atau pembuatan suatu benda yang dianggap Pradjapangrawit, 1990: 29.
31
pentingj Waridi, 2006: 151.
14 32
Resonator yang terbuat dari kayu. Supanggah, R., 2000: 56-57.
15 33
Salah satu instrument gamelan yang berbentuk Tiang penyangga instrumen gamelan
34
bilah-bilah. Fananie, Z., 1990: 131.
16 35
Salah satu instrument gamelan berbentuk bilah- Sofyan, R., “Interelasi NIlai Jawa dan Islam dalam
bilah dan berukuran lebih besar dari saron. Aspek Kepercayaan dan ritual”, dalam Darori Amin (ed).
17
Bermacam buah-buahan yang ditata pada sebuah Islam & Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media, 2002:
tempat. 119-120.
18 36
Pradjapangrawit, Serat Sujarah Utawi Riwayating Jalaludin Rukmi dalam Abdul Hadi WM, 2003: 124.
gamelan: Serat Saking Gotek. Surakarta: STSI Press, 1990: 47.