Anda di halaman 1dari 2

English school

Dalam studi hubungan internasional selalu terdapat perspektif – perspektif yang baru, yang
diantaranya adalah perspektif tradisional yang telah mendominasi dunia hubungan internasional
dengan dua pandangan yaitu realisme dan liberalisme. Pandangan realisme merupakan suatu
pandangan yang melihat kalau hubungan internasional itu adalah hubungan yang konfliktual dalam
situasi yang anarki, sedangkan pandangan liberalisme memandang bahwa lepas dari situasi yang
anarki, hubungan internasional adalah hubungan dengan sifat kerja sama karena liberalisme
berfikir bahwa pada dasarnya manusia dapat bekerja sama. Dengan perbedaan antara liberlis dan
realis telah muncul perspektif rasionalisme yang menjadi jembatan antara kedua perspektif
tersebut. English school atau pendekatan masyarakat negara bagian, adalah metode tiga kali lipat
untuk memahami bagaimana dunia beroperasi. Dalam artikulasi aslinya, Sekolah Bahasa Inggris
dirancang untuk menggabungkan dua teori utama yang mencoba menjelaskan hasil internasional
- yaitu, realisme dan liberalisme.. English school telah dianggap sebagai pihak yang menjembatani
perspektif liberlisme dan perspektif realisme.
Dalam pandangan Andrew Linklater, meskipun teori ini berbicara tentang masyarakat
internasional hanya sebagai satu elemen dalam pola interaksi internasional yang kompleks, namun
demikian "tujuan utamanya" (Linklater dan Suganami 2006, 119). Menurut kaum liberalis dan
rasionalis jika ada konflik pasti juga ada kerjasama lalu ada Negara pasti juga ada individu, ada
kekuatan selalu ada hukum dan unsur-unsur ini tidak bisa dipisahkan dan disederhanakan. Teori
ini mengakui kalau adanya anarkhi dalam hubungan internasional dan bahwa setiap negara harus
mencari caranya sendiri - sendiri dalam bidang keamanan dan kelangsungan hidupnya dan juga
harus mengakui bahwa gagasan moralitas universal terus memeriksa egoisme kedaulatan negara.
Oleh karenanya konflik atau kompetision seringkali terjadi di antara negara-negara yang sama-
sama mengejar kepentingan mereka.
Rasionalisme menganggap bahwa terdapat fakta menarik dalam hubungan internasional,
yang sistem anarki masih mampu menciptakan situasi yang kondusif dan teratur, sehingga
menciptakan keharmonisan dalam anarki. pemikiran yang selanjutnya adalah kekerasan antar
negara dalam hubungan internasional masih terjadi, akan tetapi bisa dikendalikan dengan adanya
hukum internasional. Kaum rasionalis percaya bahwa aktor yang berperan dalam international
society adalah negara. Kaum ini sebenarnya memandang bahwa peran dari organisasi non-
pemerintah dan organisasi antar pemerintah juga terdiri dari masyarakat dari negara-negara dunia.
Dengan harapan terbentuknya global identity yang bertujuan untuk menghapuskan segala
perbedaan yang ada dalam dunia internasional (Wight, 1997).
Pada akhirnya English school hanya memusatkan kepada rasionalis yang mempertahankan
realis dan revolusionis dengan fokus dalam norma yang kemudian akan menjadi asas untuk
meregulasi hubungan internasional. Dapat disimpulkan bahwa English school adalah sebuah
perspektif sintesis bagi dua perspektif tradisional dalam hubungan internasional yang didukung
oleh tiga pilar yaitu, rasionalis, realis, dan revolusionis. Kunci dari pemikiran English school
adalah pembentukan international society yang merupakan kumpulan negara-negara yang
menyadari bahwa ada nilai-nilai umum dan kepentingan bersama.
Referensi :
Buzan, Barry & Ole Weaver. 2003. “Security Complexes: a theory of regional security”, dalam
Regions and Powers: The Structure of International Security. New York: Cambridge
University Press.
Little, Richard. “Neorealism and the English School: A Methodological, Ontological and
Theoretical Reassesment”, dalam European Journal of Internasional Relations, Vol 1(1).
Little, Richard. 2000. “The English’s School Contribution to the Study of International Relations”,
dalam European Journal of International Relations, Vol. 6(3), 395-422.
Buzan, Barry & Richard Little. 1994. “The Idea of International System: Theory Meets History”,
dalam International Political Science Review, Vol. 15, No. 3, July.

Anda mungkin juga menyukai