Anda di halaman 1dari 20

I.

KONSEP DASAR
A. Anatomi dan Fisiologi

Gambar I.1 Source : Sistem saraf pusat dan tepi (Muttaqin, Arif. 2011)

Gambar I. 2 Stuktur Neuron (Ariani, Tutu April. 2012)


Skema I. 1 Susunan Sistem Saraf (Muttaqin, Arif. 2011)

Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan bersambungan serta
terdiri terutama dari jaringan saraf. Sistem saraf mengkoordinasi, menafsirkan dan
mengontrol interaksi antara individu dengan lingkungan lainnya. Sebagai alat
pengatur dan pengendali alat-alat tubuh, maka sistem saraf mempunyai 3 fungsi
utama yaitu :
1. Sebagai Alat Komunikasi
Sebagai alat komunikasi antara tubuh dengan dunia luar, hal ini dilakukan oleh
alat indera, yang meliputi : mata, hidung, telinga, kulit dan lidah. Dengan adanya
alat-alat ini, maka kita akan dengan mudah mengetahui adanya perubahan yang
terjadi disekitar tubuh kita.
2. Sebagai Alat Pengendali
Sebagai pengendali atau pengatur kerja alat-alat tubuh, sehingga dapat bekerja
serasi sesuai dengan fungsinya. Dengan pengaturan oleh saraf, semua organ tubuh
akan bekerja dengan kecepatan dan ritme kerja yang akurat.
3. Sebagai Pusat Pengendali Tanggapan
Saraf merupakan pusat pengendali atau reaksi tubuh terhadap perubahan atau
reaksi tubuh terhadap perubahan keadaan sekitar. Karena saraf sebagai pengendali
atau pengatur kerja seluruh alat tubuh, maka jaringan saraf terdapat pada seluruh
pada seluruh alat-alat tubuh kita.
Otak merupakan suatu alat tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat
computer dari semua alat tubuh, bagian dari saraf sentral yang terletak di dalam
rongga tenggkorak ( kranium ) yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat.
Selaput otak ( meningen ) selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang
belakang, melindungi struktur saraf halus yang membawa pembuluh darah dan
cairan sekresi ( cairan serebro spinalis ), memperkecil benturan atau getaran yang
terdiri dari 3 lapis :
1. Duramater ( Lapisan sebelah luar )
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal
dan kuat, dibagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan
durameter propia dibagian dalam.
2. Arakhnoid ( Lapisan tengah )
Selaput halus yang memisahkandurameter dengan piameter
membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi
seluruh susunansaraf sentral.
3. Piameter ( Lapisan sebelah dalam )
Selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piameter
berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-struktur jaringan ikatyang
disebut trebekel.
Bagian-bagian otak :
1. Serebulum; merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari otak, berbentuk
telur, mengisi penuh bagian depan atas rongga tenggkorak. Fungsi : mengingat
pengalaman-pengalaman yang lalu
a. Pusat persyarafan yang menangani; Aktifasi mental, Akal, Intelegensi,
Keingian dan memori.
b. Pusat menagis, buang air besar dan buang air kecil
2. Batang Otak berhubungan dengan serebrum dan medulla oblongata kebawah
dengan medulla spinalis.
a. Diensepalon, bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebelum
dengan mensensepalon. Fungsinya ; Vaso kontruktor mengecilkan
pembuluh darah, membantu proses pernafasan, mengontrol kegiatan
reflek, membantu pekerjaan jantung.
b. Mesensepalon, atap dari mesesenpalon terdiri dari 4 bagian yang menonjol
keatas, 2 disebelah atas disebut korpus kuadrigeminus superior dan 2
sebelah bawah disebut korpus kuadrigeminus inferior.
Fungsi ; membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata,
memutar mata dan pusat pergerakan mata.
c. Pons Varoli ; yang menghubungkan mesensepalon dengan pons varoli
dengan serebelum. Fungsi ; pusat saraf nervus trigeminus.
d. Medula oblongata ; bagian dari batang otak yang paling bawah yang
menghubungkan pons varoli dengan medulla spinalis. Fungsi :
menghantarkan impuls dari medulla spinalis dan otak
3. Serebelum : terletak pada bagian bawah dan belakang tengkorak dipisahkan
dengan serebrum oleh fisura transversalis dibelakangi oleh pons varoli dan
diatas medulla oblongata.

B. Pengertian Cidera Kepala Berat (CKB)


Cedera Kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau
pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial (Ramdhani, 2018).
Cedera Kepala berat adalah suatu trauma yang menyebabkan
kehilangan Hilang kesadaran dan/ amnesia lebih 24 jam. Meliputi kontosio
cerebral, laserasi atau hematoma intrakranial dan mengalami fraktur tengkorak
dengan GCS 3-8. (Ariani, 2012).
Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2011).

C. Klasifikasi CKB
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala
yang muncul setelah cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang dipakai
dalam menentukan derajat cedera kepaka. Cedera kepala diklasifikasikan
dalam berbagi aspek ,secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu
berdasarkan :
1. Mekanisme Cedera kepala
Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi atas cedera kepala
tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan
dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera
kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi
selaput durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera
tembus atau cedera tumpul.
2. Beratnya Cedera
Glascow coma scale ( GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif
kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera kepala
a. Cedera Kepala Ringan (CKR).
GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan )
kurang dari 30 menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada
fraktur tengkorak, tidak ada kontusio cerebral maupun hematoma
b. Cedera Kepala Sedang ( CKS)
GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih
dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur
tengkorak.
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan
atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio
cerebral, laserasi atau hematoma intracranial.
3. Morfologi Cedera
Secara Morfologi cedera kepala dibagi atas :
a. Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak,
dan dapat terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau
tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya merupakan pemeriksaan CT
Scan untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis
fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain :
 Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)
 Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign )
 Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea) dan
 Parese nervus facialis ( N VII )
Sebagai patokan umum bila terdapat fraktur tulang yang
menekan ke dalam, lebih tebal dari tulang kalvaria, biasanya
memeerlukan tindakan pembedahan.
b. Lesi Intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus,
walaupun kedua jenis lesi sering terjadi bersamaan. Termasuk lesi lesi
local ;
 Perdarahan Epidural
 Perdarahan Subdural
 Kontusio (perdarahan intra cerebral)
Cedera otak difus umumnya menunjukkan gambaran CT Scan
yang normal, namun keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk
bahkan dapat dalam keadaan koma. Berdasarkan pada dalamnya koma
dan lamanya koma, maka cedera otak difus dikelompokkan menurut
kontusio ringan, kontusio klasik, dan Cedera Aksona Difus ( CAD).
c. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria.
Umumnya terjadi pada regon temporal atau temporopariental akibat
pecahnya arteri meningea media ( Sudiharto 1998). Manifestasi klinik
berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala (interval
lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran
progresif disertai kelainan neurologist unilateral. Kemudian gejala
neurology timbul secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese,
papil edema dan gejala herniasi transcentorial.
Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan
berasal dari sinus lateral, jika terjadi dioksiput akan menimbulkan
gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah ataksia serebral dan paresis
nervi kranialis. Cirri perdarahan epidural berbentuk bikonveks atau
menyerupai lensa cembung.
d. Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan
epidural( kira-kira 30 % dari cedera kepala berat). Perdarahan ini
sering terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara
kortek cerebri dan sinus venous tempat vena tadi bermuara, namun
dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer
otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh
lebih buruk daripada perdarahan epidural.
e. Kontusio dan perdarahan intracerebral
Kontusio cerebral sangat sering terjadi di frontal dan lobus
temporal, walau terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang
otak dan cerebellum. Kontusio cerebri dapat saja terjadi dalam waktu
beberapa hari atau jam mengalami evolusi membentuk perdarahan
intracerebral. Apabila lesi meluas dan terjadi penyimpangan
neurologist lebih lanjut
f. Cedera Difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang lebih sering
terjadi pada cedera kepala.
Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan
lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya
kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya dan
reversible. Dalam definisi klasik penderita ini akan sadar kembali
dalam waktu kurang dari 6 jam. Banyak penderita dengan komosio
cerebri klasik pulih kembali tanpa cacat neurologist, namun pada
beberapa penderita dapat timbul deficit neurogis untuk beberapa
waktu. Defisit neurologist itu misalnya : kesulitan mengingat, pusing
,mual, amnesia dan depresi serta gejala lainnya. Gejala-gejala ini
dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera Aksonal difus ( Diffuse Axonal Injuri,DAI) adalah dimana
penderita mengalami coma pasca cedera yang berlangsung lama dan
tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemi. Biasanya
penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama
beberapa waktu, penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau
deserebasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat,
itupun bila bertahan hidup. Penderita sering menunjukkan gejala
disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan
dulu diduga akibat cedera batang otak primer.
D. Etiologi
Cidera kepala dapat disebabkan karena beberapa hal diantaranya (Cholik
Harun dkk, 2007):
1. oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak missal :
kecelakaan, dipukul, terjatuh dan luka tembak.
2. Trauma saat lahir missal : sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau
vacum.

E. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala (Cholik Harun dkk, 2007)
1.Sakit kepala, mual, muntah
2.Mengalami lupa ingatan ( amnesia retrograde atau antegrad)
3.Lemah ingatan, cepat lelah, amat sensitive
4.Pupil anisokor/ Respon pupil lenyap.
5.TD turun
6.Suhu tubuh yang sulit dikendalikan
7.Nyeri kepala menetap, biasanya menunjukan fraktur.
8.Pola pernapasan abnormal.
9.Perubahan perilaku dan perubahan fisik pada bicara dan gerakan motorik dapat
timbul segera atau secara lambat.
10. Fraktur pada basal tulang tengkorak dan dapat menyebabkan hemoragik
(perdarahan) dari hidung, faring dan telinga.

F. Komplikasi :
3.Perdarahan intra cranial : Epidural, Subdural, Sub arachnoid,
Intraventrikuler.
4. Malformasi faskuler : Fstula karotiko-kavernosa, Fistula cairan
cerebrospinal, Epilepsi, Parese saraf cranial, Meningitis atau abses otak,
Sinrom pasca trauma.
5. Tindakan : infeksi, Perdarahan ulang, Edema cerebri dan Pembengkakan
otak.
G. Patofisiologi
1.Narasi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir
seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan
oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen
sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %,
karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari
seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi
kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme
anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan
normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr.
jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas
atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan
otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan
disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia. Akibat adanya
perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan
tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi .
Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri
dan arteriol otak tidak begitu besar.
Cedera kepala menurut patofisiologi dibagi menjadi dua :
a. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-decelerasi rotasi)
yang menyebabkan gangguan pada jaringan. pada cedera primer dapat
terjadi : gegar kepala ringan, memar otak, laserasi.
b. cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti : hipotensi
sistemik, hipoksia, hiperkapnea, udema otak, komplikasi pernapasan, infeksi
/ komplikasi pada organ tubuh yang lain.

2.Skema

Cidera kepala TIK - oedem

- hematom

Respon biologi Hypoxemia

Kelainan metabolisme

Cidera otak primer Cidera otak sekunder

Kontusio

Laserasi Kerusakan Sel otak 

Gangguan autoregulasi  rangsangan simpatis Stress

Aliran darah keotak   tahanan vaskuler  katekolamin

Sistemik & TD   sekresi asam lambung

O2   ggan metabolisme  tek. Pemb.darah Mual, muntah

Pulmonal

Asam laktat   tek. Hidrostatik Asupan nutrisi kurang

Oedem otak kebocoran cairan kapiler

Ggan perfusi jaringan oedema paru  cardiac out put 

Cerebral Difusi O2 terhambat Ggan perfusi jaringan

Gangguan pola napas  hipoksemia, hiperkapnea


H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal penderita cedera kepala pada dasarnya memiliki
tujuan untuk sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta
memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit (Fauzi,2002). Untuk penatalaksanaan
cedera kepala menurut (IKABI, 2004) telah menempatkan standar yang
disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu cedera kepala
ringan,cedera kepala sedang dan cedera kepala berat. Penatalaksanaan
penderita cedera kepala sedang dengan GCS 9-13 meliputi:
1. Anamnesa penderita yang. terdiri dari; nama,umur,jenis kelamin, ras,
pekerjaan.
2. Mekanisme cedera kepala.
3. Waktu terjadinya cedera.
4. Adanya gangguan tingkat kesadaran setelah cedera.
5. Amnesia : retrogade, antegrade.
6. Sakit kepala : ringan, sedang, berat
7. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
8. Pemeriksaan neurulogis secara periodik.
9. Pemeriksaan CT scan kepala.
10. Penderita dilakukan rawat inap untuk observasi.
11. Bila kondisi penderita membaik (90%). penderita dapat dipulangkan dan
kontrol di poliklinik.
12. Bila kondisi penderita memburuk (10%) segera lakukan pemeriksaan

CT scan ulang dan penatalaksanaan sesuai dengan protokol cedera kepala


berat. Cedera kepala sedang walaupun masih bisa menuruti perintah sederhana
masih ada kemungkinan untuk jatuh ke kondisi cedera kepala berat. Maka
harus diperhatikan dan ditangani secara serius. Penatalaksanaan cedera kepala
sedang adalah untuk mencegah terjadinya cedera kepala sekunder oleh karena
adanya massa intrakranial atau infeksi intrakranial. Penderita yang setelah
lewat 24 jam terjadinya trauma kepala, meskipun keadaan stabil harus
dilakukan perawatan untuk keperluan obserfasi.(Markam S, Atmadja,
Budijanto A, 1999).
Observasi bertujuan untuk menemukan sedini mungkin penyulit asau kelainan
lain yang tidak segera memberi tanda atau gejala. (Hidajat, 2004). Untuk
melakukan observasi pada panderita cedera kepala digunakan metode glasgow
coma scale (GCS).

Penatalaksanaan menurut (Cholik Harun dkk, 2007) :


1. Tindakan terhadap peningkatan TIK : Pemantauan TIK dengan ketat,
Oksigenasi adekuat, Pemberian manitol, Penggunaan steroid, Peninggatan
tempat tidur pada bagian kepala dan Bedah neuro.
2. Tindakan pendukung lain : Dukung ventilasi, Pencegahan kejang,
Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi, Terapi
antikonvulsan, CPZ untuk menenangkan pasien, NGT.
3. Dekompresasi dengan pembedahan : lesi massa intra cranial harus segera
dikeluarkan, biasnya dengan pembedahan flap tulang
4. Ventilasi : oksigenasi dan hipokapnea. Kerusakan dan kematian neuron
dapat terjadi dalam waktu 5 menit awitan hipoksemia.
5. Posisi tubuh sejajar atau ditinggikan 15- 30º kecuali ada kontra indikasi,
posisi deserebrasi dan dekortikasi meningkatkan TIK
6. Hipotermia dapat menurunkan laju metabolisme
7. Pengontrolan tekanan darah
8. Drainase CSS
9. Osmoterapi, agen-agen osmotic seperti; manitol, urea, gliserol, dan
isosorbid dapat digunakan untuk menurunkan TIK

II. KONSEP KEPERAWATAN


A. Pengkajian

1. Identitas Pasien dan Penanggung Jawab


Nama, Jenis kelamin, Usia, Status, Agama, Alamat, Pekerjaan,
Pendidikan, Suku bangsa, Dx Medis, No. RM, Tanggal masuk RS
2. Primary survey
Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa
responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan
ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat
berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011).
Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan
ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi
endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada.
Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada
kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara
lain :
a. Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau
bernafas dengan bebas?
b. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
1) Adanya snoring atau gurgling
2) Stridor atau suara napas tidak normal
3) Agitasi (hipoksia)
4) Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
5) Sianosis
c. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas
dan potensial penyebab obstruksi :
1) Muntahan
2) Perdarahan
3) Gigi lepas atau hilang
4) Gigi palsu
5) Trauma wajah
d. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien
terbuka.
e. Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien
yang berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
f. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien
sesuai indikasi :
1) Chin lift/jaw thrust
2) Lakukan suction (jika tersedia)
3) Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal
Mask Airway
4) Lakukan intubasi
Breathing
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan
jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan
pada pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus
dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension
pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi
buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien
antara lain :
a. Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan
oksigenasi pasien.
1) Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada
tanda-tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail
chest, sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu
pernafasan.
2) Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks.
3) Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
b. Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien
jika perlu.
c. Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut
mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
d. Penilaian kembali status mental pasien.
e. Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
f. Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau
oksigenasi:
1) Pemberian terapi oksigen
2) Bag-Valve Masker
3) Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi
penempatan yang benar), jika diindikasikan
4) Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced
airway procedure
Circulation
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi
pasien, antara lain (Wilkinson & Skinner, 2000 ) :
a. Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
b. CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk
digunakan.
c. Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan
pemberian penekanan secara langsung.
d. Palpasi nadi radial jika diperlukan:
1) Menentukan ada atau tidaknya
2) Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
3) Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
4) Regularity
e. Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau
hipoksia (capillary refill).
f. Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
Disability
Tingkat kesadaran GCS, AVPU( Alern, verbal / vocalises,
respinds to pain only, unresponsive to pain )
A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi
perintah yang diberikan
V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang
tidak bisa dimengerti
P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk
merespon)
U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus
nyeri maupun stimulus verbal.
a. Ukuran pupil, respon terhadap cahaya
b. Gangguan sensorik motorik
3. Secondary survey
Meliputi riwayat SAMPLE yang bisa didapat dari pasien dan keluarga
(Emergency Nursing Association, 2007):
a. Sign and symptom : Tanda dan gejala yang ada pada pasien tersebut
b. Allergies : Adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,
makanan.
c. Medication : Obat - obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat.
d. Past illness / Pertinent medical history
Riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah diderita, obatnya
apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal.
e. Last meal
Obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk
dalam komponen ini.
f. Even / Environment
Hal - hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)

B. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral
dan peningkatan tekanan intrakranial.
2. Nyeri akut b/d kerusakan jaringan otak dan peningkatan tekanan
intracranial
3. Resiko terjadinya peningkatan intra cranial b/d adanya proses desak ruang
akibat penumpukan cairan / darah dalam otak
4. Kurang mandiri dalam merawat diri b/d kelemahan fisik
5. Resiko Infeksi b/d tindakan invasif

C. Nursing Care Plan


No Diagnosa Tujuan dan criteria
Tindakan Raional
Keperawatan hasil

1. Perubahan Setelah dilakukan 1. Pantau status 1. Mengkaji adanya


perfusi tindakan keperawatan neurologis secara kecenderungan pada tingkat
jaringan selama…., diharapkan teratur kesadaran dan potensial
serebral b/d perubahan perfusi peningkatan TIK
edema jaringan hilang dengan 2. Mempertahakan aliran darah
2. Pantau tanda-tanda
serebral dan criteria : keotak yang konsisten
vital
peningkatan 3. Untuk menetukan apakah
-Tak ada peningkatan
tekanan batang otak masih baik
TIK
intrakranial. 3. Evaluasi keadaan 4. Meningkatkan aliran balik
-Tanda vital normal pupil vena dari kepala, sehingga
4. Anjurkan klien untuk akan mengurangi kongesti
TD :110 /70 -120 /80
meninggikan kepala dan edema
mmHg
15-30º atau kepala 5. Diuretik dapat digunakan
N : 60-90 */mnt disejajarkan pada fase akut untuk
5. Kolaborasi dengan tim menurunkan air dari sel otak
R : 18-24 */mnt
medis untuk
S :36-37 ºC pemberian diuretik

2. Nyeri akut b/d Setelah dilakukan 1. Observasi keadaan 1. Untuk mengetahui kondisi
kerusakan tindakan keperawatan umum klien klien
jaringan otak selama…., diharapkan 2. Ajarkan latihan teknik
2. Membantu mengurangi
dan nyeri akut berkurang relaksasi
peningkatan dengan criteria : 3. Buat posisi kepala nyeri
tekanan sejajar dengan kaki
-Klien tenang, 3. Mengurangi nyeri dan rasa
intracranial 4. Kurangi stimulus /
mual dan muntah
-Nyeri kepala dan batasi pengunjung
pusing hilang 5. Kolaborasi dengan tim 4. Agar klien dapat beristirahat
medis dalam
-Skala nyeri 1-2 5. mengurangi rasa nyeri dan
pemberian obat
sakit kepala
-Tanda vital normal :

TD :110 / 70-120 / 80
mmHg

N :60-90 * / menit

R :18-24 * / menit

S :36-37 ºC

3 Resiko Setelah dilakukan 1. Kaji tingkat 1. Untuk mengetahui kondisi


terjadinya tindakkan keperawatan kesadaran klien
peningkatan selama….., diharapkan 2. dapat membantu mengetahui
2. Monitor tanda-tanda
intra cranial peningkatan TIK tidak keadaan klien
vital
b/d adanya terjadi dengan criteria : 3. Mengetahui kemajuan klien
3. Kaji kemampuan
proses desak
-Kesadaran stabil sensorik dan motorik (
ruang akibat
ROM, kekuatan otot)
penumpukan -Pupil isokor
4. Bantu klien untuk
cairan / darah 4. Agar TIK tidak meningkat
-Reflek baik menghindari batuk,
dalam otak
muntah atau mengejan
-Tidak mual dan
saat BAB
muntah

Setelah dilakukan 1. Kaji tingkat


4 Kurang 1. Untuk mengetahui tingkat
tindakan keperawatan kemandirian klien
mandiri dalam kemampuan klien dalam
selama…., diharapkan dalam merawat diri
merawat diri merawat diri
klien mampu: 2. Bantu klien dalam
b/d kelemahan 2. Mengurangi rasa leleh klien
melakukan aktivitas
fisik - Merawat diri
sehari-hari
sendiri secara
3. Libatkan klien dalam 3. Membantu klien dalam
bertahap
beraktivitas merawat diri secara
memenuhi bertahap
kebutuhannya
4. Kolaborasi dengan
4. membantu keefektifan
tim medis
asuhan keperawatan yang
diberikan
5 Resiko infeksi Setelah dilakukan 1. Pantau tanda-tanda 1. Mengetahui infeksi sedini
b/d tindakan tindakan keperawatan infeksi pada luka mungkin sehingga dapat
invasif selama 4 x 24 jam, (Rubor, dolor, kalor, dilakukan intervensi yang
diharapkan resiko tumor, fungtiolessa) tepat
infeksi tidak terjadi 2. Rawat luka dengan 2. Meminimalkan kontaminasi
dengan criteria : teknik steril silang dengan perawat
3. Anjurkan klien untuk kepada klien
-Tidak ditemukan
memaksimalkan gizi 3. Protein sangat berguna
tanda-tanda infeksi terutama protein dalam proses pertumbuhan
seperti robor, dolor, 4. Berikan antibiotic: sel
kalor, tumor, Ceftriaxon 2x 1 gr 4. Mencegah adanya infeksi
fungtiolessa

-Tidak ada pus/ anah

-Tanda vital normal:

S :36-37 ºC
DAFTAR PUSTAKA

Ariani, Tutu April. 2012. Sistem Neurobehavior. Jakarta : Salemba Medika


Herdman, T. Heather. 2018. NANDA-I Diagnosis Keperawatan: Definisi dan
Klasifikasi 2018-2020. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sitem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika
Taylor, Cynthia M. 2010. Diagnosis Keperawatan dengan Rencana Asuhan. Jakarta :
EGC
Ramdhani, Aris N, dkk. 2018. Buku Saku Praktek Klinik Keperawatan Edisi 2.
Jakarta: Salemba Medika
Nurarif, H.N & Kusuma, H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Mediaction Publishing :
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai