Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH TENTANG ATRESIA ANI

Disusun Oleh :

1. Byelli Asysyam Maharhani (J210170002)


2. Oy Andarista (J210170015)
3. Muhammad Agus Nugroho (J210170019)
4. Ariwati Anggita Putri (J210170022)
5. Choiru Alfis Hidayatullahsaputra (J210170028)
6. Firda Isma Dewi (J210170047)
7. Sabrina Septin Wulandari (J201170063)
8. Vina Fitriana (J210170073)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Definisi
Menurut Nurhayati (2009), istilah atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu
‘a’ yang berarti “tidak ada” dan trepsis yang berarti “makanan atau nutrisi”.
Dalam istilah kedokteran, “atresia” berarti suatu keadaan tidak adanya atau
tertutupnya lubang badan abnormal. Atresia ani memiliki nama lain yaitu “anus
imperforata”.
Atresia ani atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran
yang memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus
yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang
berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum. (Purwanto,
2001)
Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal
anus atau tertutupnya anus secara abnormal. (Suriadi, 2001)
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforate meliputi anus, rektum, atau keduanya. (Betz, 2002)
Atresia ani merupakan kelainan bawaan (konginetal), tidak adanya lubang
atau saluran anus. (Donna L. Wong, 2003)
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak
sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia rektum.
Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma VACTRERL
(Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla, 2009).
Jadi, atresia ani atau anus imperforate merupakan kelainan bawaan
(kongenital) dimana terjadi pembentukan lubang anus yang tidak sempurna
(abnormal) atau anus tampak rata maupun sedikit cekung ke dalam atau kadang
berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum yang terjadi
pada masa kehamilan.
B. Anatomi Fisiologi

Rektum adalah bagian ujung dari sistem pencernaan di mana kotoran


menumpuk tepat sebelum dibuang. Rektum menyambung dengan kolon sigmoid
dan memanjang 13 sampai 15 cm (5 sampai 6 inci) ke anus. Selembar otot yang
disebut diafragma panggul berjalan tegak lurus ke persimpangan rektum dan anus
dan mempertahankan penyempitan antara dua segmen dari usus besar.
Rongga internal rektum dibagi menjadi tiga atau empat kamar; setiap
ruang sebagian tersegmentasi dari lainnya dengan lipatan melintang permanen
(katup dari Houston) yang membantu untuk mendukung isi rektum. Sebuah
selubung otot memanjang mengelilingi dinding luar rektum, sehingga
memungkinkan bagi rektum untuk memperpendek dan memanjang.
Sampah makanan tetap dalam kolon sigmoid sampai mereka siap untuk
dikeluarkan dari tubuh. Saat feces memasuki rektum, dinding menggembung
untuk mengakomodasi materi. Ketika tekanan yang cukup menumpuk dalam
rongga dubur membesar, dorongan untuk menghilangkan limbah terjadi.
Ketika reseptor sistem saraf dalam dinding rektum dirangsang oleh
peregangan yang, mereka mengirimkan impuls ke lubang anus, dada dan otot
perut-dinding, dan medulla oblongata otak, yang membuat orang tersebut sadar
akan kebutuhan untuk buang air besar.
Banyak orang yang malu untuk berbicara tentang masalah dubur. Tapi
menemui dokter Anda tentang masalah di daerah ini penting. Hal ini terutama
berlaku jika Anda memiliki rasa sakit atau perdarahan. Pengobatan bervariasi
tergantung pada masalah tertentu.
Fungsi utama rektum adalah penyimpanan sementara tinja/limbah
pencernaan. Sehingga kita mungkin memiliki beberapa waktu untuk mencapai
tempat di mana kita bisa buang air besar. Ketika limbah dan bahan makanan yang
dicerna masuk ke dalamnya, kanal menjadi melebar, sehingga otot-otot yang
melapisi daerah dubur meregang/melebar.
Reseptor peregangan yang terletak di dinding rektum yang merasakan
pelebaran usus dan mengirim sinyal ke sistem saraf (otak) di mana ini diproses
dan respon yang dihasilkan menginduksi kebutuhan untuk membuang limbah
melewati lubang anus dan keluar melalui ambang anal.
Namun, jika kita tidak pergi untuk buang air besar untuk durasi yang lama,
tinja akan kembali ke dalam usus untuk penyerapan lebih lanjut dari cairan yang
juga dapat mengakibatkan pengerasan tinja dan sembelit.
Berdasarkan struktur dan fungsi ujung distal dari usus besar, kita bisa
membagi bagian rektum ke berikut komponen yang dapat dibedakan menjadi:
a. Rektosigmoid Junction.
Menandai pembagian antara kolon sigmoid dan kanal dubur yang hampir
sejajar dengan ascending dan descending kolon.
b. Ampula Dubur.
c. Pada titik dimulainya, perkiraan diameter dari rektum adalah
hampir sama dengan yang dari kolon sigmoid, tapi semakin jauh,
diameternya melebarkan. Titik di mana kanal dubur mencapai dilatasi
maksimum menandai awal dari struktur khusus ini yang berfungsi sebagai
reservoir jangka pendek untuk kotoran sebelum buang air besar.
d. Cincin Anorektal.
Pada titik terminasi dari rektum intestinum, ada struktur berbentuk cincin
seperti otot yang kuat yang memisahkannya dari lubang anus. Seiring
dengan otot puborectalis, bagian atas sfingter eksternal dan internal juga
berkontribusi terhadap fungsi struktur, pencegahan yaitu dan pengendalian
tinja sampai sengaja dihapus.

Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan


limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit)
dan sebagian lannya dari usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot
sphincter. feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar -
BAB), yang merupakan fungsi utama anus.
Anus atau dubur adalah penghubung antara rektum dengan lingkungan
luar tubuh. Di anus terdapat otot sphinkter yang berfungsi untuk membuka dan
menutup anus. Fungsi utama anus adalah sebagai alat pembuangan feses melalui
proses defekasi (buang air besar). Struktur Anus :
a. Kanalis anal.
Adalah saluran dengan panjang sekitar 4 cm yang dikelilingi oleh sfingter
anus. Bagian atasnya dilapisi oleh mukosa glandular rektal. Fungsi kanalis
anal adalah sebagai penghubung antara rektum dan bagian luar tubuh
sehingga feses bisa dikeluarkan.
b. Rektum.
Adalah sebuah ruangan dengan panjang sekitar 12 sampai 15 cm yang
berada di antara ujung usus besar (setelah kolon sigmoid/turun) dan
berakhir di anus. Fungsi rektum adalah menyimpan feses untuk sementara
waktu, memberitahu otak untuk segera buang air besar, dan membantu
mendorong feses sewaktu buang air besar. Ketika rektum penuh dengan
feses, maka rektum akan mengembang dan system saraf akan mengirim
impuls (rangsangan) otak sehingga timbul keinginan untuk buang air
besar.
c. Sfingter anal internal.
Adalah sebuah cincin otot lurik yang mengelilingi kanalis anal dengan
keliling 2,5 sampai 4 cm. Sfingter anal internal ini berkaitan dengan
sfingter anal eksternal meskipun letaknya cukup terpisah. Tebalnya sekitar
5 mm. Fungsi sfingter anal internal adalah untuk mengatur pengeluaran
feses saat buang air besar.

d. Sfingter anal ekternal.


Adalah serat otot lurik berbentuk elips dan melekat pada bagian dinding
anus. Panjangnya sekitar 8 sampai 10 cm. Fungsi sfingter anal eksternal
adalah untuk membuka dan menutup kanalis anal.
e. Pectinate line.
Adalah garis yang membagi antara bagian dua pertiga (atas) dan bagian
sepertiga (bawah) anus. Fungsi garis ini sangatlah penting karena bagian
atas dan bawah pectinate line memiliki banyak perbedaan. Misalnya, jika
wasir terjadi di atas garis pectinate, maka jenis wasir tersebut disebut wasir
internal yang tidak menyakitkan. Sedangkan jika di bawah, disebut wasir
eksternal dan menyakitkan. Asal embriologinya juga berbeda, bagian atas
dari endoderm, sedangkan bagian bawah dari ektoderm.
f. Kolom anal.

C. Etiologi
Atresia ani dapat disebabkan karena:
1. Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi
lahir tanpa lubang dubur.
2. Gangguan organogenesis dalam kandungan. Karena ada kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
3. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan
otot dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal
mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang
terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani.
Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin
yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan
mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyai sindrom
genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko
untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2001).
4. Berkaitan dengan sindrom down.

Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah


komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi
meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1
dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000
kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani
dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut
menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat
menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat
multigenik (Levitt M, 2007).
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan
malformasi anorektal adalah
1) Kelainan kardiovaskuler.
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan
yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus
arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.
2) Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%),
obstruksi duodenum (1%-2%).
3) Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan
lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan
hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah
myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal.
4) Kelainan traktus genitourinarius.
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan
pada atresia ani. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan
urogeital dengan atresia ani letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan
atresia ani letak rendah 15% sampai 20%. Kelainan tersebut dapat berdiri
sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai VATER (Vertebrae, Anorectal,
Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL (Vertebrae,
Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb
abnormality) ( Oldham K, 2005).

D. Klasifikasi
Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan, terdapat tiga letak:
1. Tinggi (supralevator) : rektum
berakhir di atas M. levator ani (M. puborektalis)
dengan jarak antara ujung buntu rektum dengan kulit
perineum lebih dari 1 cm. Letak upralevator
biasanya disertai dengan fistel ke saluran kencing
atau saluran genital.
2. Intermediate : rektum terletak pada
M. levator ani tetapi tidak menembusnya.
3. Rendah : rektum berakhir di
bawah M. levator ani sehingga jarak antara kulit dan
ujung rektum paling jauh 1 cm.
Klasifikasi Atresia
1. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus
sehingga feses tidak dapat keluar.

2. Inperforata membran adalah terdapat membran pada anus.

3. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum
dengan anus.

4. Rectal atresia adalah tidak memiliki rectum


E. Manifestasi Klinis
Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat defekasi
mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi.
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering
ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar feses
keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius. Sedang
pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir di kandung
kemih atau uretra dan jarang rektoperineal.
Gejala yang akan timbul:
1. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
2. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
3. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya
salah.
4. Perut kembung. (Ngastiyah, 2005)
F. Komplikasi
Menurut Betz dan Sowden (2009), komplikasi pada atresia ani antara lain:
1) Asidosis hiperkloremik
2) Infeksi saluran kemih yang terus-menerus
3) Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah)
4) Komplikasi jangka panjang
a) Eversi mukosa anus
b) Stenosis (akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis)
c) Impaksi dan konstipasi (akibat dilatasi sigmoid)
d) Masalah atau keterlambatan yang berhubungan dengan toilet
training
e) Inkontinensia (akibat stinosis anal atau inpaksi)
f) Prolaps mukosa anorektal (penyebab inkontinensia)
g) Fistula kambuhan

G. Patofisiologi
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara
komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan
embrionik, sehingga anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian
belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang
merupakan bakal genitourinari dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena
adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena tidak ada
kelengkapan dan perkembangan struktur kolon antara 7-10 minggu dalam
perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam
agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan
usus besar yang keluar melalui anus sehingga menyebabkan fekal tidak dapat
dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi. Putusnya saluran
pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi baru lahir tanpa lubang
anus.
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada
kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya
fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah
dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum,
maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya
feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada
keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ
sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau
perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya fistula menuju ke vesika
urinaria atau ke prostat (rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada
letak rendah fistula menuju ke uretra (rektouretralis) (Faradilla, 2009).
H. Pathways

Kelainan kogenital

 Gangguan
Pertumbuhan
 Fusi
 Pembentukan anus

ATRESIA ANI

Feses Tidak Keluar Vistel Rektovaginal

Feses Menumpuk Feses Masuk Ke Uretra

Mikroorganisme masuk
Reabsorbsi sisa Peningkatan Tekanan ke saluran kemih
metabolisme Intraabdominal

Dysuria
Keracunan Operasi Anoplasti

Gang. Rasa nyaman


Mual, muntah
Ansietas Perubahan Defekasi:
Pengeluaran Tak Gang. Eliminasi Urine
Ketidakseimbangan Terkontrol Nyeri
Nutrisi < Kebutuhan Iritasi Mukosa
Tubuh

Resiko kerusakan kulit Abnormalitas spingter Trauma jaringan

Nyeri Inkontinensia Defekasi Perawatan tidak adekuat


Gang. Rasa Nyaman

Resiko Infeksi
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dibagi menjadi dua yaitu :
1. Preventif
Pemeriksaan lubah anus bayi pada saat lahir sangat penting dilakukan
sebagai diagnosis awal adanya atresia ani. Karena jika sampai tiga hari
diketahui bayi menderita atrsia ani jiwa bayi dapat terancam karena feses
tertimbun sehingga mendesak paru-paru dan organ lain.
2. Pasca Bayi Lahir
Kelainan tipe I dengan stenosis yang ringan dan tidak mengalami kesulitan
mengeluarkan tinja tidak membutuhkan penanganan apapun. Sementara
pada stenosis yang berat perlu dilakukan dilatasi setiap hari dengan karakter
uretra, dilatasi Hegar, atau speculum hidung berukuran kecil. Dilatasi
dikerjakan beberapa kali seminggu selama kurang lebih 6 bulan sampai
daerah stenosis melunak dan fungsi defekasi mencapai keadaan normal.
Bentuk operasi yang diperlukan pada tipe II, baik tanpa atau dengan fistula,
adalah anoplasti pcrincum, kemudian dilanjutkan dengan dilatasi pada anus
slama 23 bulan. Pada tipe III, apabila jarak antara ujung rektum uang buntu
ke lekukan anus kurang dari 1,5 cm, pembedahan rekonstruktif dapat
dilakukan melalui anoproktoplasti pada masa neonatus.
Penatalaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu :
1. Pembuatan kolostomi
Kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter ahli bedah
pada dinding abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan lubang
biasanya sementara atau permanen dari usus besar atau colon iliaka. Untuk
anomali tinggi, dilakukan kolostomi beberapa hari setelah lahir.
2. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)
Bedah definitifnya, yaitu anoplasty dan umumnya ditunda 9 sampai 12
bulan. Penundaan ini dimaksudkan untuk memberi waktu pelvis untuk
membesar dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga
memungkinkan bayi untuk menambah berat badannya dan bertambah baik
status nutrisinya.

3. Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari setelah
operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Pertama, BAB akan sering
tetapi seminggu setelah operasi BAB berkurang frekuensinya dan agak
padat.

J. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nurhayati (2009), untuk memperkuat diagnosis dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
1. Pemeriksaan radiologis, yang bertujuan untuk mengetahui ada
tidaknya obstruksi intestinal atau menentukan letak ujung rektum yang
buntu setelah bayi berumur 24 jam. Pada saat pemeriksaan, bayi harus
diletakkan dalam keadaan posisi terbalik selama 3 menit, sendi panggul bayi
dalam keadaan sedikit ekstensi, kemudian dibuat foto pandangan
anteroposterior dan lateral setelah petanda diletakkan pada daerah lekukan
anus.
2. Sinar-X terhadap abdomen yang bertujuan untuk menentukan
kejelasan keseluruhan bowel/usus dan untuk mengetahui jarak pemanjangan
kantung rektum dari sfingternya.
3. Ultrasonografi (USG) abdomen, yang bertujuan untuk melihat
fungsi organ intenal terutama dalam sistem pencernaan dan mencari adanya
faktor reversibel seperti obstruksi massa tumor.
4. CT Scan, yang bertujuan untuk menentukan lesi.
5. Rontgenogram pada abdomen dan pelvis, yang bertujuan untuk
mengonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan saluran urinaria.
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Biodata
a. Identitas Klien
b. Identitas Penanggung Jawab
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Klien lemah
b. Tanda-Tanda Vital
No. Bayi Normal BBLR Pre mature
1. Lahir Cukup bulan Cukup bulan/ Kurang 37
kurang bulan minggu
2. Berat 2500 – 4000 Kurang dari 2500 Kurang dari
Badan gram gram 2500 gram
3. Panjang 48 – 52 cm Kurang dari 45 cm Kurang dari 45
badan cm
4. Lingkar 32 – 37 cm Kurang dari 33 Kurang dari 33
kepala
5. Lingkar 32 – 35 cm Kurang dari 30 Kurang dari 30
dada
6. Kulit Tebal tidak tipis transparan, tipis
transparan, rambut lanugo transparan,
rambut lanugo banyak terutama rambut lanugo
banyak pada dahi, pelipis, banyak
terutama pada telinga, dan terutama pada
dahi, pelipis, lengan.lemak dahi, pelipis,
telinga, dan kurang telinga, dan
lengan.lemak lengan.lemak
banyak kurang
7. Pernapasa 40 – 60 45-50kali/menit 45-
n kali/menit 50kali/menit
8. frekuensi 120-160 100-140/menit. 100-140/menit.
nadi /menit
9. Suhu 36,5 0C– 37 0C 36,5 0C– 37 0C dalam
incubator
(33oC-35oC)
10. Tekanan 60-80/40-50 Sering anemia Sering anemia
Darah mmHg.
11. reflek Kuat , reflek masih lemah, reflek masih lemah,
tonus otot menghisap menghisap dan reflek
dan menelan menelan serta menghisap dan
serta reflek reflek batuk belum menelan serta
batuk sudah sempurna reflek batuk
sempurna belum
sempurna
12. Ekstremita paha abduksi, paha abduksi, sendi paha abduksi,
s sendi lutut/kaki fleksi- sendi
lutut/kaki lurus, tumit lutut/kaki
fleksi-lurus, mengkilap telapak fleksi-lurus
tumit kaki halus
mengkilap
telapak kaki
halus
13. Kepala Mampu tegak Belum mampu Belum mampu
tegak tegak

c. Pemeriksaan Inspeksi, Palpasi, Auskultasi


Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia
ani biasanya anus tampak merah, usus melebar, termometer yang
dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi
terdengar hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam waktu 24 jam
setelah bayi lahir, tinja dalam urine dan vagina.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d.
ketidakmampuan mencerna makanan (mual, muntah)
2. Gangguan eliminasi urin b.d. obstruksi anatomik (atresia ani),
dysuria
3. Ganguan rasa nyaman b.d gejala terkait penyakit, vistel
retrovaginal, dysuria, trauma jaringan post operasi
4. Kerusakan integritas kulit b.d. pemasangan kolostomi
5. Nyeri akut b.d trauma jaringan pasca operasi
6. Inkontinensia defekasi b.d abnormalitas sfingter rektal
7. Resiko infeksi b.d trauma jaringan pasca operasi, perawatan tidak
adekuat

C. Intervensi
No. Diagnosa Intervensi
Keperawatan Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang Setelah dilakukan 1. Memonitor mual
dari kebutuhan tubuh b.d. tindakan dan muntah, berat
ketidakmampuan mencerna
makanan (mual, muntah) keperawatan selama badan, nafsu
Batasan karakteristik : 1x24 jam makan
 Berat badan 20% atau lebih di 2. Kaji kemampuan
diharapkan
bawah rentang berat badan klien untuk
kebutuhan nutrisi
ideal. mendapatkan
 Bising usus hiperaktif klien terpenuhi
 Diare nutrisi yang
dengan kriteria
 Ketidakmampuan memakan dibutuhkan
hasil:
makanan 3. Memonitor status
 Kram abdomen 1. Mampu
gizi
 Nyeri abdomen mengidentifikasi Kolaborasi dengan
 Kurang minat pada makanan
 Membran mukosa pucat kan kebutuhan dokter
 Penurunan berat badan nutrisi
dengan asupan makan 2. Adanya
adekuat peningkatan
 Sariawan rongga mulut berat badan
 Tonus otot menurun
 Kelemahan otot pengunyah sesuai dengan
 Kelemahan otot untuk tujuan
menelan 3. Berat badan
 Kurang informasi ideal sesuai
(Nanda 2015/177)
dengan tinggi
badan
4. Mampu
mengidentifikasi
kebutuhan
nutrisi
5. Tidak ada tanda
tanda malnutrisi
6. Tidak terjadi
penurunan berat
badan yang
berarti
2. Gangguan eliminasi urin b.d. Setelah dilakukan 1. Memantau
obstruksi anatomik (atresia ani), asuhan keperawatan tanda-tanda vital
dysuria selama 1x24 jam dan tingkat
Batasan karaktristik : diharapkan distensi kandung
 Anyang-anyangan
 Disuria gangguan elimnasi kemih dengan
 Inkotinensia urine dapat teratasi palpasi dan
 inkontinensia urin
 nokturia kriteria hasil: perkusi
 retensi urin 2. Periksa dan
1. Kandung
 sering berkemih timbang popok
kemih pasien
Faktor yang berhubungan : klien
kosong secara
 Obstruksi anatomic 3. Melakukan
 Penyebab multiple penuh (4)
penilaian pada
 Gangguan sensori motoric 2. Intake cairan
 Infeksi saluran kemih fungsi kognitif
dalam rentang
(NANDA 2015/ 199) normal (4)
3. Bebas dari
ISK (4)
3. Ganguan rasa nyaman b.d gejala Setelah dilakukan 1. Gunakan
terkait penyakit, vistel asuhan keperawatan pendekatan yang
retrovaginal, dysuria, trauma
jaringan post operasi 1x24 jam menenangkan
2. Nyatakan
diharapkan rasa
Merasa kurang senang, lega, dan dengan jelas
sempurna dalam dimensi fisik, cemas orangtua
harapan terhadap
psikospiritual, lingkungan dan dapat hilang atau
sosial pelaku pasien
berkurang.
Batasan karakteristik : 3. Jelaskan
 Ansietas Kriteria Hasil:
semua prosedur
 Menangis 1. Ansietas
 Gangguan pola tidur dan apa yanf
 Takut berkurang
dirasakan selama
 Ketidakmampuan untuk 2. Status
rileks prosedur
 Merintih lingkungan yang 4. Pahami
 Melaporkan merasa dingin nyaman prespektif pasien
dan panas
3. Mengontrol terhadap situasi
 Gelisah dan berkeluh kesah
 Iritabilitas nyeri stres
Faktor yang berhubungan : 5. Dorong
4. Kualitas
 Gejala terkait penyakit keluarga untuk
 Kurang privasi tidur dan
 Kurna gkontrok situasional menemani anak.
istirahat yang
 Stimulasi lingkungan yang 6. Berikan obat
mengganggu adekuat
untuk
 Efek samping terkait terapi 5. Status mengurangi
(mis, medikasi, radiasi) kenyamanan kecemasan
yang meningkat

4. Kerusakan integritas kulit b.d. Setelah dilakukan 1. Hindari


pemasangan kolostomi asuhan keperawatan kerutan pada
Batasan Karakteristik :
 benda asing selama 1x24 jam tempat tidur
2. Jaga
menusuk permukaan kulit diharapkan
 gangguan integritas kerusakan integritas kebersihan kulit
kulit agar tetap bersih
kulit dapat
 kemerahan dan kering
 nyeri akut berkurang kriteria
3. Monitor kulit
 persarahan hasil:
 hematoma akan adanya
 area panas lokal 1. Integritas
kemerahan
kullit yang baik 4. Oleskan
(Nanda 2018) bisa lotion/baby oil
dipertahan-kan pada daerah yang
(4) tertekan
2. Perfusi 5. Monitor status
jaringan baik nutrisi klien
(3)
3. Menunjukan
pemahaman
dalam proses
perbaikan kulit
dan mencegah
terjadinya
cedera berulang
(4)
5. Nyeri akut b.d trauma jaringan Setelah dilakukan 1. Observasi
pasca operasi asuhan keperawatan reaksi nonverbal
Batasan Karakteristik :
 Diaforesis selama 1x24 jam dari
 Ekspresi wajag diharapkan nyeri ketidaknyamanan
nyeri (meringis) akut dapat klien
 Fokus pada diri 2. Bantu klien
berkurang kriteria
sendiri hasil: dan keluarga untuk
 Mengekspresikn
Klien tampak mencari dan
perilaku (mis gelisah,
nyaman dan tenang menemukan
merengek, menagis)
(4) dukungan
 perilaku distraksi
3. Kontrol
 perubahan pd
lingkungan yang
parameter fisiologis (mis
dapat
tekanan darah)
 perubhn posisi memengaruhi
untuk menghibdari nyeri nyeri
 perubahan slera 4. Kolaborasi
makan dengan dokter
 putus asa
terkait pemberian
 sikap melindungi
analgesik
area Sikap melindungi tubuh

6. Inkontinensia defekasi b.d Setelah dilakukan 1. Intruksikan


abnormalitas sfingter rektal asuhan keperawatan keluarga untuk
Batasan karakteristik :
1x24 jam mencatat
 Rembesan konstan feses
diharapkan keluaran feses
lunak 2. Jaga
 Bau fekal pengeluaran
 Warna fekal di tempat tidur kebersihan baju
defekasi terkontrol
dan pakaian dan tempat tidur
dengan kriteria
 Ketidakmampuan untuk 3. Evaluasi
hasil:
menunda defekasi dan status BAB
1. BAB teratur,
mengenali dorongan defekasi secara rutin
 Mengenal fekal penuh mulai dari
tetapi menyatakan tidak setiap hari
mampu mengeluarkan feses sampai 3-5 hari
2. Defekasi
padat
 Kulit perinial kemerahan lunak, feses
 Dorongan terbentuk
Faktor yang berhubungan : 3. Penurunan
 Tekanan abdomen dan
insiden
usus abnormal tinggi
 Diare kronik inkontinensia
 Lesi kolokteral usus
 Kebiasaan diet 4. Perawatan
 Faktor lingkungan (mis,
tidak dapat mengakses kamar toileting,
mandi) ostonomi, dan
 Imobilitas, impaksi
hygien
 Gangguan koknisi
5. Fungsi
 Pengosongan usus tidak
gastrointest
tuntas
 Penyalahgunaan laksatif
 Kerusakan saraf motorik
bawah
 Abnormalitas sfingter
rektal
 Stres, defisit perawatan diri
dalam toileting
 Kerusakan saraf motorik
atas

7. Resiko infeksi b.d trauma jaringan Setelah dilakukan 1.Monitor tanda


pasca operasi, perawatan tidak tindakan dan gejala
adekuat keperawatan selama infeksi sistemik
Batasan Karakteristik : 1x24 jam dan lokal
2.Batasi
 Kurang pengetahuan untuk diharapkan klien
pengunjung
menghindari perjalanan bebas dari tanda-
3.Pertahankan
patogen tanda infeksi dengan
teknik cairan
 Malnutrisi
kriteria hasil:
 Obesitas asepsis pada
 Penyakit kronis (DM) 1. Klien bebas
klien yang
 Gangguan integritas kulit
dari tanda dan
 Prosedur invasif beresiko
 Imunosupresi gejala infeksi (4) 4.Inspeksi
 Leukopenia 2. Jumlah
kondisi
 Penurunan hemoglobin
leukosit dalam
 Supresi respons inflamasi luka/insisi
batas normal (4)
(mis., interleukin 6 [IL-6], C- bedah
5.Ajarkan
rective protein [CRP])
keluarga klien
tentang tanda
dan gejala
infeksi
6.Laporkan
kecurigaan
infeksi

Anda mungkin juga menyukai