Anda di halaman 1dari 48

Referat

Pencitraan Radiologi Inflammatory Bowel Disease (IBD)

Oleh:
Gebi Nanda 1510311107
Nugra Daary Razsky G 1840312246
Wulan Dwi Yulistia 1840312710

Preseptor:

dr. Sylvia Rachman, Sp.Rad(K)

BAGIAN RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL
PADANG
2019

1
DAFTAR ISI

COVER ……………………………..………………...……..………………….

DAFTAR ISI……………..…………………………………………………….. 2

BAB I PENDAHULUAN…………………..………………………............ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………...……………..………... 5

2.1. Anatomi dan Fisiologi….…………………....………………... 5

2.2 Radioanatomi………………………………………………….. 11

2.3. Definisi………….....……………………………..…………….. 21

2.4. Epidemiologi…………………………………...………………. 21

2.5. Etiologi.......................…………….....……….…………….….. 22

2.6 Patogenesis…………………………………………………… 23

2.7. Gejala Klinis................................................................................ 25

2.8. Diagnosis..................................………….……………………... 30

2.9. Penatalaksanaan………………..………………….…………… 43

2.10. Prognosis...........................……………………….………....... 44

2.9. Diagnosis Banding....................................................................... 44

BAB III KESIMPULAN.................................................................................. 45

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 46

2
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit inflammatory bowel disease merupakan penyakit yang sering
mengalami keterlambatan dalam proses penegakkan diagnosisnya.1 Inflammatory
bowel disease (IBD) adalah penyakit inflamasi kronik yang melibatkan saluran
cerna, bersifat remisi dan relaps dengan penyebab pastinya saat ini belum diketahui
dengan jelas.2 Faktor genetik dan lingkungan dalam saluran cerna berupa perubahan
bakteri usus, peningkatan permeabilitas epitel saluran cerna diduga berperan dalam
gangguan imunitas saluran cerna yang berujung pada kerusakan saluran cerna.3
Inflammatory bowel disease dapat diterjadi mulai dari usia muda sampai usia tua
dengan usia puncak 25-30 tahun dan tidak dapat perbedaan antara jenis kelamin
laki-laki dan perempuan.1,2 Secara umum penyakit Inflammatory bowel disease
dibagi atas kolitis ulseratif, Crohn.3 Kolitis Ulseratif sebagai proses inflamasi
idiopatik yang bersifat kronis dan hilang timbul serta terbatas pada mukosa kolon
dan rektum. Penyakit Crohn diketahui sebagai suatu proses inflamasi kronis
transmural yang melibatkan traktus gastrointestinal dari mulut sampai rektum.4
Insiden penyakit IBD kerap tinggi pada negara Amerika dan Eropa, pada tahun
2011 tercatat sebanyak 1,6 juta orang di Amerika menderita penyakit IBD dengan
insiden berkisar 8-115 per 100.000 individu untuk penyakit KU dan 5-15 per
100.000 individu untuk penyakit PC. Pada negara Eropa insiden sebanyak 11,8
kasus per 100.000 individu mengalami KU dan 7 kasus per 100.000 individu
mengalami PC. Pada wilayah Asia terdapat insidensi penyakit KU 1,9 per 100.000
penduduk sedangkan untuk PC 0,5 per 100.0000 penduduk.3,5 Pada negara
Indonesia penelitian yang dilakukan oleh Simadibrata tahun 2002 diagnosis
penyakit IBD terjadi sebanyak 5,2% pada rumah sakit RS Cipto Mangunkusumo.
Secara keseluruhan penyakit IBD jenis Kolitis Ulseratif lebih banyak dari pada
Penyakit Chorn.3

3
Gejala klinik dari KU dan PC seringkali tidak dapat dibedakan dan bervariasi.
Penyakit biasanya muncul dengan serangan intermiten, diare, demam, nyeri perut,
dan penurunan berat badan, sehingga dapat menyulitkan diagnosis. Meskipun
begitu keduanya mempunyai gambaran radiologi yang berbeda sehingga
pemeriksaan radiologi usus berperan penting dalam menegakkan diagnosis
penyakit ini. Keterlambatan dalam penentuan diagnosis berakibat terhadap
kemunculan komplikasi terhadap penyakit IBD.5 Oleh karena itu pentingnya untuk
mengetahui bagaimana gambaran pencitraan untuk penyakit Inflammatory bowel
disease pada tipe penyakit Kolitis Ulseratif dan juga penyakit Chorn untuk
memudahkan dalam penegakkan diagnosis.3
1.2 Batasan Masalah
Refrat ini membahas tentang klasifikasi, definisi, epidemiologi, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, pemeriksaan radiologi dan tatalaksana
dari Inflammatory Bowel Disease
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan refrat adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui klasfikasi, definisi, epidemilogi, etiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, diagnosis, pemeriksaan radiologi dan tatalaksana dari
Inflammatory Bowel Disease secara umum.

2. Mengetahui gambaran radiologis dari Inflammatory Bowel Disease secara


khusus.

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat penulisan dari refrat adalah sebagai berikut:
1. Menambah pengetahuan penulis dan pembaca mengenai klasifikasi, definis,
epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klini, diagnosis,
pemeriksaan radiologi dan tatalaksan Inflammatory Bowel Disease.

2. Menambah pengetahuan penulis dan pembaca mengenai gambaran


radiologis dari inflammatory Bowel Disease.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan


Anatomi saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring),
kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus. 6

Gambar 2.1 Anatomi Sistem Pencernaan Manusia7

Fisiologi sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut


sampai anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima
makanan, mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke
dalam aliran darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau
merupakan sisa proses tersebut dari tubuh. 6,7

1. Rongga Mulut

Merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air. Mulut
merupakan bagian awal dari sistem pencernaan lengkap dan jalan masuk untuk
sistem pencernaan yang berakhir di anus. Bagian dalam dari mulut dilapisi oleh
selaput lendir. Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di permukaan
lidah. Pengecapan sederhana terdiri dari manis, asam, asin dan pahit. Penciuman
dirasakan oleh saraf olfaktorius di hidung, terdiri dari berbagai macam bau.

5
Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan di kunyah oleh gigi
belakang (molar, geraham), menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah dicerna.
Ludah dari kelenjar ludah akan membungkus bagian-bagian dari makanan tersebut
dengan enzim-enzim pencernaan dan mulai mencernanya. Ludah juga mengandung
antibodi dan enzim (misalnya lisozim), yang memecah protein dan menyerang
bakteri secara langsung. Proses menelan dimulai secara sadar dan berlanjut secara
otomatis. 6,7

2. Tenggorokan (Faring)

Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Didalam


lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kelenjar limfe yang banyak
mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi, disini
terletak bersimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan, letaknya dibelakang
rongga mulut dan rongga hidung, didepan ruas tulang belakang keatas bagian depan
berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang bernama koana,
keadaan tekak berhubungan dengan rongga mulut dengan perantaraan lubang yang
disebut ismus fausium. Tekak terdiri dari bagian superior yaitu bagian yang sama
tinggi dengan hidung, bagian media yaitu bagian yang sama tinggi dengan mulut
dan bagian inferior yaitu bagian yang sama tinggi dengan laring. Bagian superior
disebut nasofaring, pada nasofaring bermuara tuba yang menghubungkan tekak
dengan ruang gendang telinga. Bagian media disebut orofaring, bagian ini berbatas
ke depan sampai di akar lidah. Bagian inferior disebut laringofaring yang
menghubungkan orofaring dengan laring. 6,7

3. Kerongkongan (Esofagus)

Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui


sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan
melalui kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik. Esofagus bertemu
dengan faring pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut histologi, esofagus dibagi
menjadi tiga bagian yaitu bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka),
bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus), serta bagian inferior (terutama
terdiri dari otot halus). 6,7

6
Gambar 2.2 Anatomi Rongga mulut, Faring, Esofagus6

4. Lambung

Merupakan organ otot berongga yang besar, yang terdiri dari tiga bagian
yaitu kardia, corpus gastricum dan pars pylorica. Pars cardia tempat jalan masuk ke
Gaster, Corpus gastricum bagian utama dengan fundus gastricus di superior dan
pars pylorica tempat keluar dari gaster yang berlanjut sebagai antrum pyloricum
dan canalis pyloricus, canalis pyloricus dikelilingi oleh M. sphincter pyloricus. 8
Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi secara ritmik
untuk mencampur makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel yang melapisi lambung
menghasilkan 3 zat penting yaitu lendir, asam klorida (HCL), dan prekusor pepsin
(enzim yang memecahkan protein). Lendir melindungi sel – sel lambung dari
kerusakan oleh asam lambung dan asam klorida menciptakan suasana yang sangat
asam, yang diperlukan oleh pepsin guna memecah protein. Keasaman lambung
yang tinggi juga berperan sebagai penghalang terhadap infeksi dengan cara
membunuh berbagai bakteri. 6,7

Gambar 2.3 Anatomi Gaster 8

7
5. Usus halus (usus kecil)

Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang
terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah
yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus
melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan
pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah
kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak. Lapisan usus halus terdiri dari
lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan otot melingkar, lapisan otot memanjang
dan lapisan serosa. Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari
(duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum).7,8

a. Usus Dua Belas Jari (Duodenum)

Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang
terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong
(jejunum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari usus
halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum treitz. Usus
dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus
seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal
berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara
saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu. Lambung melepaskan
makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum), yang merupakan bagian
pertama dari usus halus. Makanan masuk ke dalam duodenum melalui
sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa di cerna oleh usus halus. Jika penuh,
duodenum akan megirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti
mengalirkan makanan. 7

b. Usus Kosong (Jejenum)

Usus kosong atau jejunum adalah bagian kedua dari usus halus, di antara
usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada manusia
dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1- 2 meter adalah
bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam

8
tubuh dengan mesenterium. Permukaan dalam usus kosong berupa
membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas
permukaan dari usus. 8

c. Usus Penyerapan (Illeum)

Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada
sistem pencernaan manusia ileum memiliki panjang sekitar 2- 4 m dan
terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu.
Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi
menyerap vitamin B12 dan garam empedu. 8

Gambar 2.4 Anatomi Duodenum, Jejejnum, Ileum8

6. Usus Besar (Kolon)


Usus besar atau kolon adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum.
Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Usus besar terdiri dari kolon
asendens (kanan), kolon transversum, kolon desendens (kiri), kolon sigmoid
(berhubungan dengan rektum). Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus
besar berfungsi mencerna beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi.

9
Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin
K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta
antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar.
Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan
terjadilah diare. 8
7. Rektum dan Anus
Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah
kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat
penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan
di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens
penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air
besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di
dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk
melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan
dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika
defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses
akan terjadi. Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini,
tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian
otot yang penting untuk menunda BAB. Anus merupakan lubang di ujung saluran
pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari
permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lainnya dari usus. Pembukaan dan penutupan
anus diatur oleh otot sphinkter. Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi
(buang air besar) yang merupakan fungsi utama anus.8

10
Gambar 2.5 Antomi Usus Besar, Rektum dan Anus 8

2.2 Radioanatomi Sistem Pencernaan


2.2.1 Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen adalah suatu pemeriksaan abdomen tanpa
menggunakan kontras dengan sinar X yang menggambaran struktur dan organ di
dalam abdomen, yaitu : lambung, hati, limpa, usus besar, usus kecil, dan diafragma
yang merupakan otot yang memisahkan dada dan daerah abdomen.1
Abdomen membentang dari diafragma hingga pelvis. Hanya lambung dan
kolon yang dalam keadaan normal mengandung udara di dalam lumennya. Usus
halus biasanya tidak mengandung udara di dalamnya. Batas udara cairan normal
terdapat di dalam lambung, duodenum dan kolon, namun tidak lazim ditemukan di
dalam usus halus. Hati, kandung empedu dan limpa merupakan organ padat
intraperitoneum yang terletak berturut-turut di daerah subkostalis kanan dan kiri.
Di dalam retroperitoneum, terdapat ginjal dan fasia perirenalis, kelenjar adrenal,
kelenjar getah bening, pancreas, aorta, vena cava inferior dan muskulus psoas.1
Abdomen atau lebih dikenal dengan perut berisi berbagai organ penting
dalam sistem pencernaan, endokrin dan imunitas pada tubuh manusia. Ada
sembilan pembagian regio (daerah) di abdomen berdasarkan regio organ yang ada
didalamnya, yaitu :
1. Hypochondrium kanan: sebagian hati, kantung empedu dan bagian atas
ginjal kanan
2. Epigastrium : ginjal kanan dan kiri, sebagian hati dan lambung serta
sebagian kantung empedu
3. Hypochondrium kiri: limpa, sebagian lambung, bagian atas ginjal kiri,
sbagian usus besar

11
4. Lateralis kanan: sebagian hati dan usus besar serta bagian bawah ginjal
kanan
5. Umbilicalis: sebagian besar usus halus, pankreas, ureter bagian atas, usus
besar, serta bagian bawah kantung empedu
6. Lateralis kiri: sebagian kecil usus besar dan bagian bawah ginjal kiri
7. Inguinalis kanan: sebagian kecil usus besar
8. Pubic : usus buntu, sebagian usus halus dan usus besar, ureter kanan dan
kiri, serta sebagian kantung kemih
9. Inguinalis kiri: sebagian kecil usus besar

Gambar 2.6 Pembagian Regio Abdomen 1


Berdasarkan pembagian regio abdomen, maka penyakit yang terjadi pada
masing-masing region dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Hypochondrium kanan: hepatomegali, sirosis hepatik.
2. Epigastrium : gastritis, hepatomegali, batu empedu dan batu ginjal,
sirosis hepatik.
3. Hypochondrium kiri: spleenomegali.
4. Lateralis kanan: batu empedu, batu ginjal.
5. Umbilicalis: ulcus usus halus 12 jari, kerusakan usus halus batu ureter
6. Lateralis kiri: batu ginjal
7. Inguinalis kanan: hernia, KET, appendisitis.
8. Pubic : appendisitis (agak kekanan), hernia, batu ureter

12
9. Inguinalis kiri: hernia, KET.

Gambar 2.7. Anatomi Radiografi Foto Polos Abdomen2

2.2.1.1 Interpretasi Foto Polos Abdomen


Dengan penggunaan USG dan CT scan, pemeriksaan abdomen
menjadi jauh lebih mudah. Walaupun demikian, foto polos abdomen masih
merupakan pemeriksaan yang sangat berguna terutama pada pasien akut abdomen.2

Gambar 2.8. Hasil Foto Polos Abdomen Normal Posisi Supine1

13
Gambar 2.9. Intepretasi Foto Polos Abdomen Normal2,3

 Penilaian Kualitas: nama pasien yang sebenanya, pajanan yang baik,


tanpa rotasi dan penanda anatomis (L atau R) pada foto. Foto telentang
(AP) termasuk foto abdomen yang rutin dilakukan. Foto tegak atau
dekubitus abdomen diperlukan untuk mendeteksi batas cairan (fluid
level). Untuk medeteksi udara bebas intraperitoneum dapat digunakan
foto tegak thorak atau foto dekubitus kiri abdomen.2
 Penilaian gambaran gas usus: normalnya, lambung dan usus besar
mengandung gas. Gas secara neomal ditelan dan dapat terlihat di bagian
perut. Sebagian kecil udara secara normal bias terlihat di usus halus, dan
biasanya di bagian kiri midabdomen atau bagian sentral abdomen. Pada
sebagian individu, udara juga bias terlihat di sepanjang kolon, termasuk
sekum..2,3

14
Gambar 2.10 Gambaran udara Normal pada saluran pencernaan2,3

 Tentukan posisi lambung di kuadran kiri atas dan kolon yang


membingkai tepi-tepi abdomen pada foto terlentang. Pada foto tegak,
kolon dilekatkan pada fleksura hepatic dan splenik oleh ligamentum
hepatokolikum dan frenikokolikum yang bersifat konstan.2

Bila terdapat gas di dalam usus halus atau dicurigai terdapat dilatasi usus
halus, dianjurkan melakukan foto tegak atau dekubitus abdomen untuk
memperlihatkan batas cairan. Jejenum mengalami dilatasi bila diameternya >3,5
cm, usus halus pertengahan mengalami dilatasi bila diameternya >3 cm dan ileum
dilatasi bila diameter yang terdilatasi terdapat plika sirkularis (valvulae coniventes)
atau lipatan yang menyilang diameter jejunum secara transversal. Bila kolon
tampak dilatasi, haustra harus ditemukan untuk memastikan bahwa kolon tersebut
mengalami dilatasi. Haustra tampak saling mengunci (interdigitasi) dan tidak
menyilang diameter kolon, berbeda dengan plika sirkulasi (valvulae coniventes) di
jejunum. Kolon mengalami dilatasi bil;a diameter kolon transversum >3,5 cm atau
diameter sekum pada dasarnya >8 cm.2
Bayangan psoas diperiksa secara bilateral: seharusnya simetris dengan tepi
lateral sedikit konkaf. Periksa bayangan ginjal, seharusnya memiliki panjang
normal 10-12 cm atau panjang longitudinal sepanjang 3,5 vertebra. Bayangan hati
dan limpa. Tepi inferior hati berbatas tegas, khususnya di bagian lateral. Cairan
adanya pengumpulan atau cairan bebas intraperitoneum. Garis lemak (fat line)

15
properitoneal bergeser kearah lateral oleh cairan bebas. Cari adanya batu radioopak
dan kalsifikasi di daerah kandung empedu, ginjal dan ureter. Hati-hati dengan
phlebolith vena pelvis yang dapat menyerupai batu. Phlebolith berbentuk oval,
halus dan terdapat bayangan lusen kecil di dalamnya. Batu tampak padat dengan
tepi tidak teratur. Kalsifikasi pancreas berbentuk titik-titik dan aksis oblik.
Kalsifikasi vascular sering ditemukan di aorta pada pasien usia lanjut, penderita
diabetes dan penderita aortitis yang disebabkan oleh penyakit Takayashu.3
Carilah adanya massa jaringan lunak dan gas ekstraluminal. Udara akan
terlihat hitam karena meneruskan sinar-X yang dipancarkan dan menyebabkan
kehitaman pada film sedangkan tulang dengan elemen kalsium yang dominan akan
menyerap seluruh sinar yang dipancarkan sehingga pada film akan tampak putih.
Diantara udara dengan tulang misalnya jaringan lunak akan menyerap sebagian
besar sinar X yang dipancarkan sehingga menyebabkan keabu-abuan yang cerah
bergantung dari ketebalan jaringan yang dilalui sinar X.2
Udara akan terlihat relatif banyak mengisi lumen lambung dan usus besar
sedangkan dalam jumlah sedikit akan mengisi sebagian dari usus kecil. Sedikit
udara dan cairan juga mengisi lumen usus halus dan air fluid level yang minimal
bukan merupakan gambaran patologis. Air fluid level juga dapat djumpai pada
lumen usus besar, dan tiga sampai lima fluid levels dengan panjang kurang dari 2,5
cm masih dalam batas normal serta sering dijumpai di daerah kuadran kanan bawah.
Dua air fluid level atau lebih dengan diameter lebih dari 2,5 cm panjang atau kaliber
merupakan kondisi abnormal dan selalu dihubungkan dengan pertanda adanya ileus
baik obstruktif atau paralitik.2
Banyaknya udara mengisi lumen usus baik usus halus dan besar tergantung
banyaknya udara yang tertelan seperti pada keadaan banyak bicara, tertawa,
merokok dan lain sebagainya. Pada keadaan tertentu misalnya asma atau pneu-
monia akan terjadi peningkatan jumlah udara dalam lumen usus halus dan usus
besar secara dramatik sehingga untuk pasien bayi dan anak kecil dengan keluhan
perut kembung sebaiknya juga difoto kedua paru sekaligus karena sangat besar
kemungkinan penyebab kembungnya berasal dari pneu-monia di paru. Beberapa
penyebab lain yang mempunyai gambaran mirip dengan ileus antara lain pleuritis,

16
pulmonary infarct, myocardial infarct, kebocoran atau diseksi aorta torakalis, payah
jantung, perikarditis dan pneumotoraks.2
Selain komponen traktus gastrointestinal, juga dapat terlihat kontur kedua
ginjal dan muskulus psoas bilateral. Adanya bayangan yang menghalangi kontur
dari ginjal atau m.psoas dapat menujukkan keadaan patologis di daerah ret-
roperitoneal. Foto radiografi polos abdmen biasa dikerjakan dalam posisi pasien
terlentang (supine). Apabila keadaan pasien memungkinkan akan lebih baik lagi
bila ditambah posisi berdiri. Untuk kasus tertentu dilakukan foto radiografi polos
tiga posisi yaitu posisi supine, tegak dan miring kekiri (left lateral decubitus).
Biasanya posisi demikian dimintakan untuk memastikan adanya udara bebas yang
berpindah-pindah bila difoto dalam posisi berbeda.2

2.2.2 CT SCAN
Computerized tomography (CT) adalah suatu teknik tomografi sinar X
dimana pancaran sinar X melewati sebuah potongan aksial yang tipis dari berbagai
tujuan terhadap pasien. CT Scan merupakan perpaduan antara teknologi sinar-x,
komputer dan televisi sehingga mampu menampilkan gambar anatomis tubuh
manusia dalam bentuk irisan atau slice.2
CT Scan Abdominal: Hati normal adalah memiliki ukuran normal dan
perbatasannya halus. Saluran empedu intrahepatik dan ekstrahepatik dan kantong
empedu tidak terlalu mencolok. Limpa bersifat ortotopik dan berukuran normal dan
memiliki kontur luar yang halus dan struktur internal yang homogen. Pankreas
dalam ukuran, posisi, dan struktur internal normal kontur luar halus, berlobus.
Saluran pankreas tidak terhalang. Kedua ginjal menunjukkan ukuran dan posisi
normal. Parenkim ginjal menunjukkan lebar dan struktur normal. Pelvis dan kalori
ginjal menunjukkan konfigurasi normal. Kemih saluran drainase tidak terhalang.
Kelenjar adrenal biasa-biasa saja. Pembuluh darah utama tampak normal, dan tidak
ada bukti limfadenopati. Bagian paru dan jaringan lunak yang dicitrakan adalah
normal.

Interpretasi Organ perut bagian atas tampak normal pada CT.2

17
Gambar 2.11 CT Scan Abdomen2,3

18
 Hati

Posisi : Tepat di bawah hemidiafragma kanan, Ukuran dan Perbatasan: Halus/


Tajam, Nilai redaman normal, Struktur parenkim internal homogen, Tidak ada
kelainan fokus, Saluran empedu intrapepatik:Kursus (sentrifugal), Lebar (aturan
umum: saluran tidak boleh lebih panjang terlihat setelah pemberian kontras, Tidak
ada batu, Tidak ada udara, Kantong empedu: Ukuran, Kontur luar yang halus,
Ketebalan dinding normal, Tidak ada cairan pericholecystic, Isi kantong empedu:
Homogen, Kepadatan cairan, Tidak ada bate (hypodense atau hyperdense), Tidak
ada udara, Porta hepatis ditempati oleh arteri hepatik, saluran empedu umum, dan
vena porta, Tidak ada massa, Tidak ada limfadenopati, Sinus costophrenic jelas dan
aerasi di kedua sisi.
 Limpa
Ukuran, kontur luar yang halus, struktur internal yang homogen, nilai
pelemahan
 Pankreas
Ukuran normal untuk usia, lobulasi normal, kontur luar yang halus,
saluran pankreas tidak terhalang, tidak ada cairan peripancreatic,daerah para-aorta
normal
 Ginjal
Posisi, ukuran, lebar parenkim, kepadatan, lebar korteks dan medulla, pelvis
ginjal (anatomi, simetri, ukuran, tidak ada pelebaran, isi densitas cairan
yang homogen)
 Ureter
Tidak ada sumbatan drainase kemih, lemak periureter yang tampak normal,
kekeruhan kedua ureter hampir simultan setelah pemberian kontras
 Kelenjar adrenal
Bentuk, ukuran, crura ramping, tidak ada hipodens terbatas (kista,
adenoma), ekspansi isodense atau hyperdense usus, anatomi struktur (Bentuk, dan
ketebalan dinding usus kecil)
 Struktur usus (perdarahan bentuk usus, usus kecil)
Anatomi, ketebalan dinding, kekeruhan homogen setelah kontras oral, tidak
ada udara ekstraintestinal

19
2.2.3 Barium Enema
Pemeriksaan radiografi saluran pencernaan terutama kolon dimulai dengan
melakukan pemeriksaan radiografi konvensional, namun untuk gambaran yang baik
bias melakukan pemeriksaan dengan menggunakan kontras berupa barium atau
water-soluble enema. Untuk diagnostic enema bias dilakukan dengan mengisi
penuh kolon dengan barium (pemeriksaan single-contrast) atau dengan
menggunakan sedikit barium dan kemudian menggunakan udara/gas (pemeriksaan
double-contrast). Pemeriksaan double kontras memiliki sensitvitas lebih tinggi
dibandingkan single kontras. Pada pemeriksaan barium enema, diperlukan
beberapa gambaran dari berbagai proyeksi. Hal tersebut diperlukan karena anatomi
usus yang saling bertindihan satu sama lain akan memberikan gambaran bias jika
hanya dilihat dari satu proyeksi. Kolon asendens, transversa, dan desending serta
bagian dari sigmoid dapat dilihat dari foto abdomen proyeksi anteroposterior atau
PA.3

Gambar 2.12 Gambaran barium enema abdomen3

20
2.3 Definisi Inflammatory Bowel Disease
Inflammatory bowel disease (IBD) adalah suatu penyakit inflamasi usus
kronik yang disebabkan dari interaksi host-mikroba pada individu yang rentan
secara genetik. IBD adalah sekelompk penyakit autoimun dengan karakteristik
inflamasi pada kedua usus baik usus halus dan usus besar, dimana bagian-bagian
dari sistem pencernaan diserang oleh kekebalan tubuh sendiri. Kondisi inflamasi ini
meliputi dua bentuk utama, yaitu penyakit crohn dan kolitis ulseratif. 12
Penyakit crohn adalah salah satu IBD yang bisa menyebabkan peradangan
dimana saja sepanjang saluran pencernaan. Biasanya sering melibatkan usus kecil
(ileum) bagian akhir yang berhubungan dengan kolon. Penyakit Crohn ditandai
dengan munculnya “patches”, terjadi secara segmental dan dapat diselingi jaringan
sehat diantaranya. Penyakit crohn biasanya melibatkan peradangan pada seluruh
lapisan dari dinding usus. Sementara kolitis ulseratif menyebabkan peradangan
jangka panjang di beberapa bagian saluran pencernaan (terutama kolon). Proses
inflamasi hanya terjadi pada lapisan terdalam dari dinding usus. Biasanya dimulai
dari rektum dan kolon bagian bawah, kemudian menyebar hingga seluruh kolon.4,12

2.4 Epidemiologi
Inflammatory bowel disease bisa mengenai semua usia, namun secara umum
terjadi pada rentang usia 15-30 tahun. Penyakit crohn terjadi lebih sering pada
perempuan, sedangkan colitis ulseratif sedikit lebih tinggi dialami oleh laki-laki.
Kolitis ulseratif lebih sering dialami oleh bekas perokok dan bukan perokok,
sedangkan penyakit Crohn lebih umum dialami oleh perokok. IBD lebih umum di
negara maju dan berkembang dan ditemukan lebih banyak pada masyarkat
perkotaan dibandingkan dengan pedesaan. Hal ini bias dipengaruhi oleh adanya
proses “westernisasi” dari gaya hidup, seperti perubahan pola makan, merokok,
perbedaan dalam paparan sinar matahari, polusi dan bahan kimia industri.13
Insedensi dan prevalensi IBD sangat bervariasi berdasarkan wilayah
geografis. Prevalensi tertinggi dilaporkan di wilayah Eropa (kolitis ulseratif
505/100.000 orang di Norwegia dan Penyakit Crohn 322/100.000 orang di Jerman)
dan Amerika Utara ( Kolitis ulseratif 286/100.000 orang di Amerika Serikat dan
Penyakit Crohn 319/100.000 orang di Kanada). Prevalensi dan insidensi IBD

21
berdasarkan wilayah yang tertinggi adalah Amerika Utara, Eropa Timur, Eropa
Utara, Eropa Selatan, Eropa Barat, Asia Timur, Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia
Barat, Amerika Selatan , dan oseania. Selama aad ke 20, IBD merupkaan penyakit
yang terutama terjadi di negara-negara bagian barat Amerika Utara, Eropa dan
Selandia Baru. Saat pergantian ke abad 21, IBD menjadi penyakit global dengan
insiden yang semakin meningkat di negara-negara industri baru di Asia, Amerika
Selatan dan Afrika dimana masyarakatnya menjadi lebih kebarat-baratan.14

Di Indonesia sendiri belum ada studi epidemiologi mengenai IBD, data masih
didasarkan pada laporan Rumah sakit saja (hospital based). Dari data di unit
endoskopi pada beberapa rumah sakit di Jakarta (RSCM, RS Tebet, RS Siloam
Gleaneagles, RS Jakarta) terdapat kesan bahwa kasus IBD berkisar 12.2% kasus
yang dikirim dengan diare kronik, 3.9% kasus hematoschezia, 25.9% kasus diare
kronik, berdarah dan nyeri perut, sedangkan pada kasus nyeri perut didapatkan
sekitar 2.8%. Data ini juga menyebutkan bahwa secara umum, kejadian KU lebih
banyak daripada kasus PC.3 Pada penelitian yang dilakukan oleh Syifa pada tahun
2016 di Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar Malang ditemukan 176 pasien mengalami
kolitis ulseratif dengan prevalensi sepanjang 2010-2014 adalah 8,2%.15
2.5 Etiologi
Tiga karakterisitik yang bias menjelaskan etiologi dari IBD adalah adanya
predisposisi genetic, adanya disregulasi sistem imun, dan respon terhadap factor-
faktor lingkungan. Namun, keadaan yang bias memicu aktivasi imun respon pada
IBD belum bisa diidentifikasi. Adapun faktoryang mungkin berhubungan dengan
keadaan tersebut seperti adanya mikroorganisme pathogen (yang belum
teridentifikasi) atau adanya respon yang tidak sesuai seperti kegagalan penurunan
respon imun terhadap suatu antigen dan perubahan pada fungsi pertahanan sistem
imun.4,16
Beberapa faktor risiko lingkungan dianggap berkontribusi pada pathogenesis
IBD, seperti merokok yang meningkatkan kejadian PC. Faktor-faktor pola makan
dan diet juga dianggap berperan dalam terjadinya IBD.4

22
Gambar 2.13. Etiologi IBD4

2.6 Patogenesis
Hingga saat ini, etiologi pasti IBD belum sepenuhnya dimengerti. Banyak
teori diajukan namun belum ada kausa tunggal yang diketahui sebagai penyebab
IBD. Salah satu teori yang diyakini adalah peranan mediasi imunologi pada
individu yang memang rentan secara genetis. IBD diyakini merupakan hasil respons
imun yang menyimpang dan berkurangnya toleransi pada ora normal usus yang
berakibat terjadinya in amasi kronik pada usus. Kondisi ini didukung dengan
adanya temuan antibodi terhadap antigen mikrobial dan diidenti kasinya gen
CARD15 sebagai gen penyebab kerentanan terjadinya IBD. Secara genetis,
disebutkan bahwa adanya mutasi pada gen NOD2 (gen IBD1) atau CARD15 (gen
NOD2) di kromosom 16 dapat dikaitkan dengan terjadinya IBD (terutama untuk
PC). Meski demikian, gen-gen ini tidak disebutkan bersifat kausal terhadap IBD.17

Faktor-faktor lingkungan juga memainkan peran dalam patogenesis IBD.


Faktor lingkungan yang sangat dipertimbangkan adalah merokok, pola makan,
penggunaan obat-obatan, geografi, stress social dan psikologis. Diantara faktor
lingkungan tersebut merokok merupakan faktor yang paling banyak diteliti.
Beberapa studi mengkonfirmasi adanya efek protektif dari perokok berat terhadap
perkembangan dari colitis ulseratif namun akan meningkatkan risiko
perkembangan penyakit Crohn.17

Telah banyak penelitian untuk menilai flora usus pada PC dan KU pada
segmen-segmen baik yang mengalami inflamasi dan yang tidak mengalami
inflamasi, didapatkan bahwa adanya penurunan variasi flora yang signifikan pada

23
pasien IBD dibandingkan dengan individu sehat. Ditemukan juga microbiota pada
pasien IBD bersifat tidak stabil dibandingkan indvidu sehat. Pada saluran
pencernaan yang sehat didominasi oleh firmicutes dan bacteroidetes phyla dan
berkontribusi pada produksi metabolisme epitel substrat. Sebaliknya, mikobiota
ditandai dengan kurangnya firmicutes dan bacteroidetes phyla dan hadirnya
enterobateria yang berlebihan pada PC, pada KU akan ditemukan penurunan jumlah
clostridium sp. dan peningkatan E.coli.17

Secara umum, diperkirakan bahwa proses patogenesis IBD diawali adanya


infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intralumen kolon pada individu rentan dan
dipengaruhi oleh faktor genetis, defek imun, lingkungan sehingga terjadi kaskade
18
proses inflamasi pada dinding usus.

Banyak mediator inflamasi telah dikenali dalam patogenesis IBD. Sitokin


yang dilepaskan oleh makrofag sebagai respons terhadap berbagai stimulus
antigenik akan berikatan dengan beragam reseptor dan menghasilkan efek autokrin,
parakrin, dan endokrin. Sitokin mengubah limfosit menjadi sel T dimana sel T
helper-1 (Th-1) berperan dalam patogenesis PC dan sel T-helper 2 ( Th-2) berperan
dalam KU. Respons imun ini akhirnya akan merusak mukosa saluran cerna dan
memicu terjadinya kaskade proses inflamasi kronik.16

Banyak studi pada beberapa dekade terakhir telah menunjukkan bahwa


adanya heparan sulfate proteoglycans (HSPGs) terikat mengatur aktivitas berbagai
faktor inflamasi.19 Syndecan-1 (Sdc-1) merupakan contoh penting dari HSPGs yang
menutup permukaan sel epitel. Sdc-1 memiliki beragam peranan biologis
diantaranya penyembuhan luka, tumorigenesis, dan pengaturan respons in amasi.
Peranan Sdc-1 dalam hal respons infamasi adalah dengan mengatur sinyal sitokin
pro-in amasi, khususnya tumor necrosis factor-α (TNF-α). Pada pasien-pasien KU
ditemukan adanya penurunan ekspresi Sdc-1 yang dikaitkan dengan gangguan
penyembuhan ulkus pada kolon.3

Pada KU, proses peradangan dimulai di rektum dan meluas ke proksimal


secara kontinu sehingga secara umum dapat melibatkan seluruh bagian kolon. Lesi
biasanya hanya melibatkan lapisan mukosa dan submukosa usus. Infamasi hampir

24
tidak pernah terjadi di daerah usus halus kecuali jika di ileum terminalis juga
terdapat peradangan. Keterlibatan rektum hampir selalu terjadi pada KU, tidak
adanya skip area yakni area normal di antara daerah lesi menjadi penanda khas KU
sehingga dapat dijadikan pembeda dengan PC.13,15

Pada PC, peradangan dapat melibatkan seluruh mukosa saluran cerna dimulai
dari mulut hingga ke anus dengan tiga bentuk pola umum yang khas yakni adanya
peradangan, striktur, dan stula. Berbeda dengan KU, lesi pada PC tidak hanya
melibatkan mukosa dan submukosa namun juga dapat transmural. Hal ini menjadi
penanda patologis yang khas untuk PC. Selain itu, lesi pada PC bersifat diskontinu
sehingga akan ditemukan skip area.16,18

Gambar 2.14 Patogenesis IBD16

2.7 Manifestasi klinis


Secara umum, keluhan IBD berupa diare kronik dengan atau tanpa darah, dan
nyeri perut. Selain itu, kerap dijumpai manifestasi di luar saluran cerna
(ekstraintestinal), seperti artritis, uveitis, pioderma gangrenosum, eritema nodosum,
dan kolangitis. Sedangkan secara sistemik, dapat dijumpai gambaran sebagai
dampak keadaan patologis yang ada seperti anemi, demam, gangguan nutrisi.16,18,20
Satu hal yang penting diingat adalah pola perjalanan klinis IBD bersifat kronik-
eksaserbasi-remisi atau secara umum ditandai oleh fase aktif dan fase remisi.18
Pemahaman atas proses infamasi yang terjadi pada patogenesis IBD akan

25
membantu kita mengenali gambaran klinis untuk masing-masing entitas IBD.
Misalnya kita akan menemui keluhan yang lebih seragam pada KU dibandingkan
PC karena distribusi anatomis saluran cerna yang terlibat pada KU adalah kolon
sedangkan pada PC lebih bervariasi.3 Namun perlu diingat bahwa terkadang sulit
membedakan gambaran IBD dengan penyakit lain yang kerap ditemukan di negara-
negara berkembang termasuk Indonesia yakni kolitis infeksi dan tuberkulosis
usus.18

Tabel 1. Perbedaan Gambaran Klinis.3


KLINIS KOLITIS PENYAKIT CROHN
ULSERATIF (KU) (PC)
Diare kronik ++ ++
Hematochezia ++ +
Nyeri perut + ++
Massa abdomen - ++
Fistulasi  ++
Stenosis/ striktur + ++
Keterlibatan usus halus  ++
Keterlibatan rektum 95% 50%
Ekstra-intestinal + +
Megatoksik kolon + 
Keterangan: ++: sering; +: kadang; : jarang; -: tidak ada

2.7.1 Kolitis Ulseratif


Pada umumnya gejala utama dari Kolitis Ulseratif berupa diare, perdarahan
rektum, nyeri perut, tenesmus ani dan tinja berdarah yang terjadi secara perlahan
(insidious) tanpa disertai gejala sistemik, berat badan turun, atau hipoalbuminemia.
Meskipun KU dapat muncul secara akut, gejala umumnya telah ada selama
beberapa minggu hingga bulan. Pada beberapa keadaan, diare dan perdarahan
cukup jarang dan ringan sehingga pasien sering tidak mencari pertolongan
medis.21,22,23

26
Ketika penyakitnya meluas melewati rektum, feses atau diare umumnya
tercampur dengan darah dapat ditemukan. Mobilitas kolon berubah oleh karena
inflamasi dengan transit cepat melalui intestinal. Ketika penyakit menjadi berat,
pasien akan bebas dari feses yang mengandung darah dan pus. Diare umumnya
nokturnal dan/atau setelah makan. Meskipun nyeri hebat bukan merupakan gejala
yang paling menonjol, beberapa pasien dengan penyakit aktif dapat mengalami rasa
tidak nyaman pada perut bagian bawah atau kram perut bagian tengah. Pada
penyakit derajat berat dapat muncul kram berat dan nyeri perut. Gejala lain pada
penyakit derajat sedang-berat termasuk anoreksia, mual, muntah, demam, dan
penurunan berat badan.21
Pada Kolitis Ulseratif, setidaknya terdapat 3 bentuk gejala dan tanda klinis
yang berhubungan dengan derajat peradangan mukosa dan gangguan sistemik.
Tabel 2. Derajat Gejala Klinis Kolitis Ulseratif .21
Klinis Ringan Sedang Berat
Pergerakan usus < 4x /hari 4-6x /hari > 6x /hari
Darah pada feses Sedikit Sedang Berat
Demam Tidak ada < 37,5C > 37,5C
Takikardi Tidak ada < 90x /menit > 90x /menit
Anemia Ringan > 75% <75%

2.7.2 Penyakit Crohn


Pada Penyakit Crohn diare, nyeri perut (sering dirasakan setelah makan),
kram periumbilikal, demam, dan penurunan berat badan adalah gejala klinis yang
paling umum dan menandakan adanya inflamasi di usus halus. Perdarahan rektum
terjadi jika mengenai kolon. Gejala klinis ekstraintestinal atau gagal tumbuh
mungkin sebagai gejala awal dari Penyakit Crohn.24
Diare yang terjadi terutama disebabkan oleh malabsorbsi akibat inflamasi
pada mukosa, obstruksi parsial yang menyebabkan stasis dan pertumbuhan berlebih
dari bakteri, atau dengan adanya fistula enteroenteral atau enterokolika. Diduga
prevalens malabsorbsi pada anak dengan penyakit Crohn sekitar 17% terhadap
laktosa, 29% terhadap lemak, 70% terhadap protein. Diare berdarah yang
menandakan keterlibatan kolon, biasanya disertai nyeri perut dan urgensi untuk

27
defekasi karena terjadi peningkatan kecepatan transit di kolon dan distensi dari
bagian kolon yang mengalami inflamasi.24

Tabel 3. Derajat Gejala Klinis Penyakit Crohn.24


Ringan - Sedang Rawat jalan, tanpa abdominal tenderness, masa yang nyeri,
atau obstruksi.
Sedang - Berat Tidak respon terhadap pengobatan untuk stadium ringan-
sedang atau demam yang menonjol, penurunan berat
badan, anemia, nyeri perut, atau mual-muntah.
Berat - Fulminan Gejala yang persisten dengan kortikosteroid dengan
demam tinggi, kaheksia atau abses.
Remisi Asimtomatik, tanpa inflamasi sequelae, tidak
membutuhkan kortikosteroid sistemik.

EKSTRAINTESTINAL
Sepertiga pasien IBD minimal disertai satu manifestasi penyakit
ekstraintestinal. Gejala Klinis ekstraintestinal yang sering terjadi berupa:21,25
Tabel 4. Gejala Klinis Ekstraintestinal.21
Tempat Manifestasi
Kulit Eritema nodusum, pioderma gangrenosum
Hati Infiltrasi lemak, sclerosing cholangitis, hepatitis kronis,
kolelitiasis
Tulang Osteopenia, aseptik nekrosis
Sendi Artritis, ankylosing spondilitis, sakro-ilitis
Mata Uveitis, episkleritis, kerastitis
Ginjal/urologi Nefrolitiasis, hidronefrosis obstruktif, fistula enterovesikal,
glomerulonefritis
Hematologi Anemia (defisiensi zat besi, folat, vitamin B12)
Vaskular Tromboflebitis, vaskulitis, trombosis vena portal
Pankreas Pankreatitis
Lain-lain Gagal tumbuh, terlambat maturasi seksual

28
Gejala ekstraintestinal tersebut terbagi menjadi 4 kelompok:

 Kelompok 1 : Secara langsung berhubungan dengan aktivitas kelainan traktus


gastrointestinal, biasanya respon pada terapi kelainan gastrointestinal (seperti
demam dan anemia)
 Kelompok 2 : Tidak berhubungan dengan aktivitas kelainan traktus
gastrointestinal (seperti sclerosis cholangitis)
 Kelompok 3 : Akibat dari kelainan traktus gastrointestinal (seperti obstruksi
uretra)
 Kelompok 4 : Timbul akibat dari terapi (seperti drug-induced pancreatitis)
Terdapat 2 bentuk artritis yang terjadi pada IBD. Yang pertama adalah,
peripheral form (10% penderita) umumnya mengenai sendi besar (lutut,
pergelangan kaki, pergelangan tangan, sendi siku) dan biasanya berhubungan
dengan inflamasi kolon yang aktif. Yang kedua, adalah bentuk aksial berupa
ankylosing spondilitis atau sakroilitis. Bentuk aksial jarang terjadi pada anak.21,25
Pada Kolitis Ulseratif terjadi gejala klinis ekstraintestinal. Gejala
ekstraintestinal yan sering dijumpai seperti artritis sendi besar, lesi kulit pioderma
gangrenosum atau eritema nodusum (lebih sering pada Penyakit Crohn) dan gagal
tumbuh. Selain itu, insidens kelainan hepatobilier pada Kolitis Ulseratif mencapai
5-10% dan kelainan yang sering ditemukan adalah sclerosing cholangitis.
Gambaran ekstraintestinal yang dapat timbul sebagai gejala awal dan petunjuk pada
Penyakit Crohn adalah kelainan perianal, stomatitis, eritema nodusum, eritema
sendi besar, uveitis, dan jari tabuh serta gagal tumbuh. Kelainan perianal lebih
sering terjadi pada penyakit Crohn dibanding Kolitis Ulseratif berupa skin tags,
abses perianal, atau fisura dan fistula yang tidak nyeri.21

29
2.8 Diagnosis Inflammatory Bowel Disease
2.8.1 Pemeriksaan Laboratorium
Adanya abnormalitas parameter laboratorium dalam hal hemoglobin,
leukosit, LED, trombosit, C-Reactive protein , kadar besi serum dapat terjadi pada kasus
IBD , tetapi gambaran demikian juga ada dikasus infeksi. Tidak ada parameter yang
spesifik untuk IBD. Sebagian besar hanya merupakan parameter proses inflamasi secara
umum atau dampak sistemik akibat proses inflamasi gastrointestinal yang mempengaruhi
proses digesti/absorpsi. 2
Juga tidak ada perbedaan spesifik antara gambaran laboratorium PC dan KU. Data
laboratorium lebih banyak berperan untuk menilai derajat aktifitas penyakit dan
dampaknya pada status nutrisi pasien. Penurunan kadar hemoglobin,hematocrit dan besi
serum dapat menggambarkan derajat kehilangan darah lewat saluran cerna. Tingginya laju
endap darah dan C-Reactive protein yang positif menggambarkan aktifitas inflamasi, serta
rendahnya kadar albumin mencerminkan status nutrisinya yang rendah. 2

2.8.2 Pemeriksaan Endoskopi


Pemeriksaan endoskopi memiliki peranan penting dalam diagnosis dan
penatalaksanaan kasus IBD. Akurasi diagnostic kolonoskopi adalah 89% dengan
4% kesalahan dan 7% hasil meragukan. Pada endoskopi akan tampak pada KU
adalah adanya inflamasi yang melibatkan mukosa kolon secara difus dan kontinu,
dimulai dari rectum dan menyebar progresif ke proksimal. Sedangkan PC, bersifat
transmural ,segmental dan dapat terjadi pada cerna bagian atas, usus halus, maupun
kolon. Endoskopi dapat memvisualisasi langsung lumen usus. 2

2.8.3 Pemeriksa Radiologis


2.8.3.1 Pemeriksaan Foto Polos
Pemeriksaan foto polos abdomen dapat menjadi informasi dan petunjuk
terhadap evaluasi klinis dan pemeriksaan penunjang selanjutnya. Pemeriksaan foto
polos abdomen berguna untuk mengetahui terjadinya obstruksi usus, toksik
megakolon, ataupun kelainan lainnya
Pada kolitis ulseratif ,foto polos abdomen secara sederhana dapat
mendeteksi adanya dilatasi toksis yaitu tampak lumen usus yang melebar tanpa
material feses didalamnya.2 Gambaran bagian intraluminal dapat memperlihatan

30
pseudopolyposis dan ulkus yang dalam. Kolon akan tampak memendek disertai
kehilangan bagian haustra kolon. Gambaran lain seperti dilatasi kolon sehingga
terjadi kontur mukosa yang tidak normal. Dilatasi kolon banyak terjadi di kolon
transversal. 26 Gambaran yang cukup sering yaitu thumbprinting merupakan tanda
terjadinya penebalan dinding kolon.23 Hal ini dapat terjadi akibat infeksi maupun
inflammatory process. Pada pemeriksaan ini juga dapat melihat terjadinya
komplikasi seperti toxic megacolon serta perforasi kolom. 26

Gambar 2.15 Foto polos abdomen menunjukkan pelebaran kolon


abnormal (panah putih berkepala dua), kehilangan haustrasi normal, dan
thumbprinting yang mengindikasikan edema mukosa dalam usus besar
(dua panah putih berkepala tunggal) pada seorang anak dengan IBD dan
Toksin Megakolon.27
Pada pasien dengan Penyakit Crohn terdapat peradangan dan/atau bekas
luka pada usus halus, sehingga mempersempit rongga usus dan menghambat
aliran udara dan tinja. Kondisi ini disebut dengan obstruksi usus halus. 5
Ketebalan dinding kolon pada penyakit crohn lebih besar daripada colitis
ulseratif. Rata-rata mencapai 11 mm. 26

2.8.3.2 Pemeriksaan Barium Enema


Pemeriksaan barium enema dapat dilakukan dengan teknik kontras tunggal (single
contrast) maupun dengan kontras ganda (double contrast) yaitu barium sulfat dan udara.
Teknik double contrast sangat baik untuk menilai mukosa kolon dibandingkan dengan

31
teknik single contrast. Barium enema juga merupakan kelengkapan pemeriksaan
endoskopi atas dugaan pasien dengan kolitis ulseratif.20,26

a b

Gambar 2.16 Gambaran barium a. single kontras dan b. double kontras


Pemeriksaan dengan barium enema dapat menilai tingkat dan severitas dari
penyakit. Pada penyakit colitis ulseratif , barium enema dapat menyeluruh bagian
kolon. Terjadinya skip lesion jarang ditemukan. Terjadi penyempitan kolon
berhubungan dengan pengisian yang tidak sempurna yang disebabkan iritabilitas
dan spasme kolon. 26

Gambar 2.17 Gambaran mukosa granular di kolon rectum dan sigmoid26


Pemeriksaan dengan barium enama dapat memperlihatkan ulserasi pada
mukosa dengan gambaran berbentuk button shaped ulcer yang tampak didaerah
submukosal.26 Ulserasi yang luas menyebabkan mukosa yang normal menonjol

32
keluar memberikan gambaran seperti polip.Inflamasi yang kronis dapat membuat
dinding usus menyempit dan memendek , menyebabkan menghilangnya haustra
kolon, sehingga memberikan gambaran lead-pipe sign. 26

a b

c
d

Gambar 2.18 Gambaran colitis ulseratif. a.tampak penyempitan pada kolon


b. Button shaped c. Pseudopolip d. Lead-pipe sign. 26

Pada penyakit crohn, pemeriksaan barium enema dapat memberikan


gambaran kelainan pada mukosa pada dinding usus,seperti penebalan dinding yang
irregular, ulserasi pada mukosa.28 Ulserasi mukosa dapat terlihat dengan gambaran
yang disebut Apthous ulcer dengan gambaran ulserasi transmural yang longitudinal.
Ketika ulserasi sudah berat hingga ke lapisan otot, maka terbentuk gambaran
cobblestone appearance serta string sign yang disebabkan spasme lumen yang

33
(Medscape)
menyempit. Ulserasi pada penyakit crohn sering terpisah dengan saluran
usus yang sehat lalu ulserasi lagi setelahnya sehingga membentuk gambaran skip
lesion. Komplikasi inflamasi yang lama dapat terlihat seperti striktur, fistula,
maupun abses.29

a b b

Gambar 2.19 Gambaran a. Apthous ulcers , b. Cobblestone appearance29

a b b

Gambar 2.20 Gambaran a. Fisura pada crohn disease30 , b. String sign 29

2.8.3.3 Pemeriksaan Ultrasonografi


Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) merupakan pemeriksaan diagnostik
yang non invasif dan mudah dilakukan. Pemeriksaan ini sudah dapat dijangkau
pada pelayanan kesehatan primer. Sensivitas mencapai 73% dan spesifitas 95%.27
Pemeriksaan USG dapat melihat ketebalan dinding usus dengan gambaran lapisan
otot hipoekoik disertai penyempitan luminal. Perforasi lokal akan membuat
gambaran abses. Pada colitis ulseratif, penebalan dinding tidak terlalu besar, rata-

34
rata 7,8 mm. Pada awal mula, diawali terjadinya ulserasi di mukosa, akan tetapi
haustra tidak ada. 27
Pada penyakit crohn , terlihat gambaran penebalan dinding 5 mm hingga 2
cm. Pada penyakit crohn , terjadi edema transmural, inflamasi atau fibrosis. Dengan
inflamasi yang berat , dinding usus menyempit dengan gambaran terlihat hipoekoik
dengan bagian sentral yang hiperekoik (Pseudokidney appearance) disertai
hilangnya stratifikasi. Striktur akan tampak pada USG 29

Gambar 2.21 Gambaran Pseudokidney appearance29

Gambar 2.22 Gambaran Striktur pada penyakit crohn aktif29

Pemeriksaan ultrasonografi sampai saat ini belum merupakan modalitas


pemeriksaan yang diminati untuk kasus-kasus IBD. Kecuali merupakan
pemeriksaan alternatif untuk evaluasi keadaan intralumen dan ekstralumen.

35
Sebelum dilakukan pemeriksaan USG sebaiknya pasien dipersiapkan saluran
cernanya dengan menyarankan pasien untuk makan makanan rendah residu dan
banyak minum air putih. Persiapan dilakukan selama 24 jam sebelum
pemeriksaan. Sesaat sebelum pemeriksaan sebaiknya kolon diisi dulu dengan
air.30,31

Pasien dengan Penyakit Crohn pada pemeriksaan USG dapat ditemukan


penebalan usus halus (>3 – 4 mm), hilangnya aktivitas peristaltic pada segmen
yang terkena, hilangnya stratifikasi mural, hyperemia dinding usus, hiperechoic
dengan lapisan melingkar eksternal ke dinding usus, limfadenopati mesenterika,
serta adanya cairan bebas di intraperitoneal.30

Pada pemeriksaan USG, kasus dengan kolitis ulseratif didapatkan


penebalan dinding usus yang simetris dengan kandungan lumen kolon yang
berkurang. Mukosa kolon yang terlibat tampak menebal dan berstruktur
hipoekhoik akibat dari edema. Usus menjadi kaku, berkurangnya gerakan
peristalsis dan hilangnya haustra kolon. Dapat ditemukan target sign atau
pseudo-kidney sign pada potongan transversal atau cross-sectional. Dengan
USG Doppler, pada kolitis ulseratif selain dapat dievaluasi penebalan dinding
usus dapat pula dilihat adanya hypervascular pada dinding usus tersebut. 30,31

Gambar 2.23 USG GI menunjukkan striktur usus halus. (A) Ileum


terminal normal dengan lumen paten (panah horizontal) dan ketebalan dinding
normal 2.2 mm. (B) Striktur inflamasi di dalam ileum terminal yang
memperlihatkan dinding usus yang menebal (1), lumen menyempit (2. Saluran
gas tipis), dilatasi proksimal (3), dan hiperekogenisitas mesenterika (4).32

36
Gambar 2.24 Gambaran USG GI menunjukkan peradangan usus besar.
(A) Kolon sigmoid normal dengan ketebalan dinding 1,88 mm. (B)
Peradangan aktif pada kolon sigmoid yang ditandai dengan
peningkatan ketebalan dinding (5,2 mm), hilangnya sebagian
stratifikasi dinding dan peningkatan hyperemia pada pewarnaan USG
Doppler. 1. Hiperekogenisitas mesenterika yang berhubungan dengan
proliferasi fibrofatty.32

2.8.3.4 Pemeriksaan Computed Tomography (CT) dan MRI


CT scan abdomen banyak dilakukan ketika terdapat pasien dengan keluhan
nyeri abdomen yang tidak spesifik, diduga terdapat kelainan pada usus. Pencitraan
ini dapat menggambarkan akurat perubahan inflamasi pada dinding usus dan dapat
menilai penyakit yang meluas dari penyakit usus. CT Scan dilakukan ketika barium
29
enema tidak dapat membedakan colitis maupun penyakit crohn. CT Scan tidak
menggambarkan proses inflamasi yang terjadi pada permukaan mukosa dinding
usus. 27 Perbedaan gambaran CT pada kolitis ulseratif dan penyakit crohn dapat kita
lihat di tabel 2.
Tabel 5 Perbedaan pencitraan CT Scan pada Kolitis ulseratif dan Penyakit Crohn33

37
Pada kolitis ulseratif penebalan dinding terjadi simetris dan kontinu.
Namun, pada penyakit crohn penebalan dinding usus lebih tebal ( rata-rata 11 mm)
sedangkan kolitis ulseratif sekitar ( rata-rata 7,8 mm).27

Gambar 2.25 Penebalan dinding secara kontinu (tanpa skip lession


segmen)27

Pada gambaran CT scan kolitis ulseratif akan tampak gambaran


pseudopolip. Gambaran lain seperti water halo dan fat halo yang mengarah kepada
stratifikasi 2lapisan dinding. Stratifikasi 3 lapisan disebut target sign atau double
halo. 27,33

Gambar 2.26 Gambaran pseudopolip lumen usus. 27

38
a b
Gambar 2.27 Fat halo sign ( Kepala anak panah) Perirectal fat (Anak
panah), b. Target Sign27,33
Gambaran target sign terdiri dari 3 lapisan yaitu lapisan terluar, lapisan
tengah dan lapisan dalam. Pada lapisan luar dengan high attenuation
menggambarkan muscularis propria , bagian lapisan tengah dengan low attenuation
yang menggambarkan edema submukosa , bagian dalam dengan high attenuation
menggambarkan inflamasi mukosa.27
Pada CT Scan penyakit crohn, secara cross sectional dapat menilai keadaan
lapisan mural dan ekstramural bagian usus halus dan besar. Gambaran fat halo sign
juga terlihat pada penyakit crohn .29

Gambar 2.28 Gambaran Fat halo sign pada transversal CT scan29

39
Gambaran hipervaskular pada mesentrium menggambarkan penyakit crohn
yang sedang aktif. Proliferasi fibrofatty dan infiltrasi inflamasi perivascular
menyebar ke usus. Gambaran tersebut disebut combs sign.

Gambar 2.29 Gambaran Combs sign29

Kelebihan CT-scan dan MRI, yaitu dapat mengevaluasi langsung keadaan


intralumen dan ekstralumen. Serta mengevaluasi sampai sejauh mana komplikasi
ekstralumen kolon yang telah terjadi. Sedangkan kelebihan MRI terhadap CT-scan
adalah mengevaluasi jaringan lunak karena terdapat perbedaan intensitas (kontras)
yang cukup tinggi antara jaringan lunak satu dengan yang lain.30,31
Hasil pencitraan yang dapat dilihat terdiri tiga kelompok berdasarkan
akronim IBD, yaitu Inflammatory mesentery, Bowel wall changes, dan Disease
Complication. Kelompok inflamasi mesenterium berhubungan dengan tiga
temuan utama: limfadenopati, perubahan lemak, dan vasa recta yang membesar.
Kelompok gangguan dinding usus mewakili tiga temuan: penebalan dinding,
stratifikasi, dan perubahan struktural permanen. Penebalan dinding ditemukan
hampir pada semua pasien dengan IBD. Tanda "lead pipe" adalah perubahan
struktural permanen yang paling penting, yang diwakili oleh hilangnya haustrasi
di kolon, yang sering dikaitkan dengan kolitis ulserativa.27

Kelompok komplikasi penyakit dikelompokkan menjadi dua


subkelompok: komplikasi luminal (striktur, dilatasi, dan kanker) dan komplikasi
ekstraluminal (fistula, abses, dan perforasi atau megakolon toksik). Setengah
dari pasien dengan penyakit Crohn memiliki komplikasi usus dalam 20 tahun
setelah onset penyakit. Penyempitan terjadi karena peradangan yang
berlangsung lama, dapat bervariasi panjangnya, dan umumnya berhubungan
dengan dilatasi usus proksimal. Fistula mungkin berasal dari luar (timbul dari

40
usus dan berhubungan dengan kulit) atau internal (enteroenterik atau antara usus
dan organ-organ yang berdekatan) dan sering berhubungan dengan abses
mesenterika.

Gambar 2.30 Gambaran striktur dan dilatasi pada penyakit crohn. 29

Gambar 2.31 Gambar CT coronal , menggambarkan fistula , dan abses


pada otot psoas kanan. 29

Kanker kolorektal memiliki insiden yang jauh lebih tinggi pada pasien
dengan IBD, dan itu terjadi paling sering di rectosigmoid, karena limfoma lebih
lazim ketika ada keterlibatan usus kecil. Kanker terkait lainnya yang penting
adalah kolangiokarsinoma dan melanoma. Perforasi dan toksin megacolon
mewakili dua kondisi utama yang memerlukan operasi darurat.34

41
Gambar 2.32 Gambar diperoleh dengan tiga modalitas pencitraan berbeda
pada seorang wanita 29 tahun dengan IBD. (A) CT, dan (B) MR enterografi.
Menunjukkan pembengkakan pembuluh mesenterika dengan proliferasi
fibrofatty (panah putih) dan penonjolan lemak (panah melengkung).
Perhatikan penebalan dinding usus kecil segmental (hitam *) yang terkait
dengan sinus fistula (putih*) yang mengarah ke abses mesenterika (panah).
(C) Gambar dari pemeriksaan anteroposterior small-bowel follow-through
yang menunjukkan ileum terminal dengan ulserasi transversal dan
longitudinal (panah hitam). Terdapat kebocoran kontras oral ke arah abses
(panah).34
Pada pemeriksaan MRI , selain untuk melihat penebalan dinding,
perlengketan mukosa, dan gambaran hilangnya haustra. MRI banyak dilakukan
untuk melihat terjadinya komplikasi di ekstraintestinal misalnya seperti perianal
fistula atau abses, gangguan pada hepatobiliar dan sendi sakroiliak.

Gambar 2.33 MRI Tampak penebalan dinding usus dengan hilangnya haustra31

42
2.8.3.5 Histopatologi
Spesimen yang berasal dari operasi memiliki nilai lebih tinggi dalam
diagnostik dibanding spesimen biopsi perendoskopik. Gambaran khas untuk KU
adalah adanya abses kripti, infiltrasi sel mononukleus dan polimorfonuklear di
lamina propria. Sedangkan pada PC adanya granuloma tuberkuloid (20-40% kasus)
merupakan hal yang karakteristik disamping adanya infiltrasi sel makrofag dan
limfosit di lamina propria serta ulserasi yang dalam.18

2.9 Penatalaksanaan
Mengingat bahwa etiologi dan patogenesis IBD belum jelas, jadi tujuan
umum terapi adalah tercapainya fase remisi penyakit dan berusaha memperpanjang
masa remisi tersebut. Disamping itu juga tujuan terapi adalah mencegah terjadinya
komplikasi.4
Dengan dugaaan faktor / agen proinflamasi dalam bentuk bakteri
intralumen usus dan komponen diet sehari-hari yang dapat mencetuskan proses
inflamasi kronik pada kelompok orang yang rentan, maka diusahakan untuk
mengeliminasi hal tersebut dengan cara pemberian antibiotik, lavase usus mengikat
produksi bakteri, mengistirahatkan kerja usus, dan perubahan pola diet.
Sampai saat ini obat golongan glukokortikoid merupakan obat pilihan
untuk PC (untuk semua derajat) dan KU derajat sedang dan berat. Pada umumnya
pilihan jatuh pada prednison, metilprednisolon, atau steroid enema. Pada keadaan
berat, diberikan kortikosteroid parenteral. Dosis rata-rata steroid yang banyak
digunakan untuk mencapai fase remisi adalah setara dengan 40-60 mg prednison,
kemudian dilakukan tapering dose setelah remisi tercapai dalam waktu 8-12
minggu. Obat golongan asam amino salisilat juga telah diketahui bekerja sebagai
agen antiinflamasi pada IBD, preparat ini akan dipecah menjadi sulfapiridin dan 5-
acetil salicyc acid (5-ASA). Obat Golongan Imunosupresif juga dapat dipakai bila
dengan 5-ASA dan kortikosteroid gagal mencapai remisi. Obat golongan ini seperti
; 6-mercaptorin (6-MP), azathioprine, siklosporin, metrotrexate dan obat golongan
Anti-Tumor Necroting Factor (TNF). Terapi bedah dilakukan jika pengobatan
konservatif/ medikamentosis gagal atau terjadinya komplikasi (perdarahan,
obstruksi ataupun megekolon toksik).4

43
2.10 Prognosis
Pada dasarnya IBD merupakan penyakit yang bersifat remisi dan eksaserbasi.
Cukup banyak dilaporkan adanya remisi bersifat spontan dan dalam jangka waktu
yang lama. Prognosis banyak diperngaruhi oleh ada tidaknya komplikasi atau
tingkat respon terhadap pengobatan konservatif.4

2.11 Diagnosis Banding


Berbagai keadaan penyakit dapat mirip dengan IBD, baik secara klinis,
radiologik maaupun endoskopik. Situasi nyeri perut yang disertai diare dan
hematoskezia dapat terjadi pada kolitis infeksi akibat Campylobacter, Salmonella,
Shigella, E.Coli, Yersenia dan M. Tuberculosis mempunyai predileksi di ileum dan
caecum, sehingga mirip dengan PC. Kolitis iskemik juga dapat bermanifestasi
klinis seperti IBD, demikian pula keganasan gastrointestinal.4

44
BAB III
KESIMPULAN

 Inflammatory bowel disease (IBD) adalah kondisi intestinal kronik yang


dimediasi oleh sistem imun. Tipe utama dari IBD adalah penyakit chrons (chrons
disease) dan kolitis ulseratif (ulcerative colitis).
 Gambaran klinis KU relative lebih seragam dibandingkan gambaran klinis pada
PC. Hal ini disebabkan distribusi anatomik saluran cerna yang terlibat pada KU
adalah kolon, sedangkan pada PC lebih bervariasi yaitu dapat melibatkan atau
terjadi pada semua bagian segmen saluran cerna, mulai dari mulut sampai
anorektal.
 Tidak ada parameter tunggal baik dari simptom, pemeriksaan fisis maupun
pemeriksaan penunjang yang dapat menegakkan diagnosis pasti IBD. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan kombinasi semua aspek klinis.
 Pemeriksaan penunjang radiologi yang dapat dilakukan adalah, foto polos
abdomen, CT Scan dan MRI, USG, Barium enema dan histopatologi.
 Sampai saat ini obat golongan glukokortikoid merupakan obat pilihan untuk PC
(untuk semua derajat) dan KU derajat sedang dan berat. Pada umumnya pilihan
jatuh pada prednison, metilprednisolon, atau steroid enema
 PC sering menimbulkan perforasi, abses, fistulasi dan obstruksi gastrointestinal
dan. Kanker kolorektal merupakan resiko jangka panjang pada KU.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Wehkamp J, Gotz M, Herrlinger K, Steurer W, Stang EF. Inflammatory


Bowel Disease. Continuing Medical Education. 2016; 113: 2-82.
2. Djojoningrat D. Buku Ajar ilmu Penyakit dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta:
Interne Publishing; 2014.
3 Firmansyah MA. Perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan
Inflammatory Bowel Disease. 2013; 40(4): 247-252.
4. Gastroenterological Society of Australia. Inflammatory Bowel Disease
Digesive Healt Foundation. 2013.
5. Chron’s and colitis Foundation of America. The Fact about Inflammatory
Bowel disease. CCFA. 2014.
6. Sherwood L. Fisiologi manusia: dari sel ke system, Edisi keenam. Jakarta:
EGC; 2012: 641-92.
7. Sloane E. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2004: 281-94.
8. Paulsen F, Waschke. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Jakarta: EGC; 2013.p
74-86.
9. Rasad, Sjahriar. 2010. Radiologi Diagnostik Edisi kedua. Jakarta : FKUI
10. Sudarmo, Pulunggano dan Irdam, Ade Indrawan. 2008. Pemeriksaan
Radiografi Polos Abdomen pada Kasus Gawat Darurat. Majalah Kedokteran
Indonesia Vol 58 (12) : 537-541
11. Mettler FA. 2019. Essentials of radiology. Philadelphia: Elsevier.
12. Fakhoury M, Negrulj R, Mooranian A, Al-salami H. Inflammatory bowel
disease: clinical aspects and treatments. Journal of inflammation Research.
2014:7;113-120.
13. Inflammatory Bowel disease: Epidemiology of the IBD. Centers for Disease
Control and Prevention. 2015. Available at: https://www.cdc.gov/ibd/IBD-
epidemiology.htm - Diakses pada Agustus 2019.
14. Ng SC, Shi HY, Hamidi N, Underwood FE, Tang W, Benchimol E, et al.
Worldwide incidence and prevalence of inflammatory bowel disease in the 21st

46
century: a systematic review of population-based studies. The Lancet.
2017:390;2769-2778.
15. Mustika S, Triana N. The prevalence, profile, and risk factors of patients
with Ulcerative Colitis at Dr. Saiful Anwar Malang General Hospital. The
Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology and Digestive Endoscopy.
2016;17(1):16-20.
16. Rowe WA. Inflammatory bowel disease. Medscape. 2019.
17. Zhang YZ, Li YY. Inflammatory bowel disease: Pathogenesis. World J
Gastroenterol 2014; 20(1): 91-99.
18. Kelompok Studi Infammatory Bowel Disease Indonesia. Konsensus
nasional penatalaksanaan infammatory bowel disease (IBD) di Indonesia. Jakarta:
Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia 2011.
19. Bartlett AH, Hayashida K, Park PW. Molecular and cellular mechanisms of
syndecans in tissue injury and inflammation. Moll Cells 2007;24(2):153-66.

20. Bernstein CN, Fried M, Krabshuis JH, Cohen H, Eliakim R, Fedail S, et al.
World gastroenterology organization practice guidelines for the diagnosis and
management of IBD in 2010. Inflamm Bowel Dis 2010; 16(1): 112-24.
21. Friedman S, Blumberg RS. Inflammatory Bowel Disease. Dalam: Longo
DL, Fauci AS, penyunting. Harrison, Gastroentrology and Hepatology. 17th edition.
United States: The McGraw-Hill Companies; 2010; 16: 174-95.
22. Julis, Zubir N, Miro S, Tarigan P, et al, Editors. Konsensus Nasional
Penatalaksanaan IBD di Indonesia Tahun 2008.
23. Danese S, Fiocchi C, Rutgeerts P. Ulcerative Colitis. The New England J
of Medicine 2011; 365: 1713-25.
24. Baran B, Karaca C. Practical medical management of Crohn’s disease.
ISRN Gastroenterology. 2013;1:1-12.
25. Wojcik B, Loga K, Wlodarczyk M, Padysz M, et al. Extraintestinal
manifestation of Crohn’s disease. Gastroenterology Rev 2016; 11 (3): 218–221.
26. Khan AN. Ulcerative Colitis Imaging. Medscape. 2019. hal. 21. Internet:
https://emedicine.medscape.com/article/375166. Diakses September 2019
27. Cameron, F. L., Armstrong, L., Stenhouse, E., Davis, C., & Russell, R. K.
Acute abdominal pain in a child with inflammatory bowel disease. BMJ. 2013; 346:

47
f563–f563.
28. Gatta Gianluca, Di Grezia Graziella. Di Mizia Veronica LC. Crohn’s
Disease Imaging: Review. Gastroenterol Res Pract. 2012;15.
29. Chen Y. Crohn Disease Imaging. Medscape. 2018. Hal.23. Internet:
https://emedicnie.medscape.com/article/367666 Diakses September 2019
30. Murna IW. Gambaran Radiologi Pada Inflammatory Bowel Disease
(IBD). Dalam: Simadibrata M, Syam AF, editor. Update in Gastroenterology
2005. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI; 2005. hal. 70-9.
31. Avunduk C. Inflammatory Bowel Disease. Manual of
Gastroenterology: Diagnosis and Therapy. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2002. p. 239-56.
32. Bryant RV. Gastrointestinal ultrasound in inflammatory bowel disease:
an underused resource with potential paradigm-changing application. Gut. 2018;
0: 1-14
33. Ruedi F Thoeni JPC. CT Imaging of Colitis. AJR. 2006;240:623.
34. Panizza, P. S. B., Viana, P. C. C., Horvat, N., dos Santos, V. R., de
Araújo, D. A. P., Yamanari, T. R.,Cerri, G. G. Inflammatory Bowel Disease:
Current Role of Imaging in Diagnosis and Detection of Complications:
Gastrointestinal Imaging. RadioGraphics. 2017; 37(2): 701–702.

48

Anda mungkin juga menyukai