Anda di halaman 1dari 24

Laboratorium Petrologi & Mineralogi, FTG-UNPAD

BAB 3. KETERATURAN STRUKTUR DALAM KRISTAL

3.1. Pola Susunan Struktur Kristal

Bentuk tiga dimensi dari struktur dalam (tatanan atom)dalam kristal

selalu mempunyai sifat keteraturan, dimana keteraturan dari letak atom / ion

(secara umum disebut motif dalam pembahasan selanjutnya) diakibatkan oleh

adanya perulangan (repetisi) dari motif-motif itu sendiri (lihat kembali

pembahasan pola susunan atom-atom dalam kristal). Gambar 3-1 dibawah ini

memberikan kesan kepada kita tentang adanya keteraruran susunan motif

(bentuk koma adalah salah satu notasi penggambaran motif) yang jika

diperhatikan maka ke-11 motif dari 12 yang ada merupakan hasil perulangan

dari yang satu (salah satu) dengan posisi yang tidak berubah, sehingga

menghasilkan pola yang simetris dan teratur.

Gambar 3-1. Susunan pola dua dimensi. Koma adalah notasi untuk motif.

Sebagai contoh, motif (yang disini digambarkan dengan koma ) dalam keadaan

sesungguhnya yang dijumpai pada kristal dapat berupa molekul H20,

anoinik group seperti (SiO4)-4 atau (PO4)-3 , ion-ion seperti Ca2+, Mg2+, Fe2+, atau

seperti Cu, Au, atau kombinasi dari anion, ion dan atau atom-atom.

Diktat Kristalografi 1-1


Laboratorium Petrologi & Mineralogi, FTG-UNPAD

Suatu susunan/tatanan atom-atom atau ion-ion/moleku-molekul dalam

zat kristalin selalu akan menggambarkan suatu kondisi dengan tingkat energi

rendah, jika dibandingkan dengan susunan pada zat non kristalin (susunanya

random), sehingga bisa diperoleh suatu bentuk yang stabil. Sebagai gambaran

dari keadaan ini, perhatikan gambar 3-2a. Pada gambar tersebut terlihat

adanya dinding/tembok yang tersusun oleh bata, sebelah kiri adalah bentuk

yang teratur (perhatikan adanya keteraturan susunan bata akibat penyusunan

secara perulangan (repetisi sehingga menghasilkan kesamaan posisi untuk

semua bata), sedangkan yang sebelah kanan adalah bentuk susunan yang tidak

teratur. kondisi yang teratur jelas akan memberikan sifat dinding yang lebih

kuat/stabil dibandingkan dengan cara penyusunan yang random. Pada gambar

3-2b memperlihatkan posisi dari bata tersebut kemudian digambarkan dengan

lambang koma sebagai motif, maka dapat kita lihat adanya kesan simetri dari

susunan koma tersebut.

3.2. Operasi Unsur Simteri Pola Perulangan

Type-type operasi yang dapat menghasilkan pola-pola perulangan

yang simetri adalah :

1. Translasi (t) atau sumbu translasi

2. Rotasi (R) atau sumbu rotasi

3. Pencerminan atau bidang cermin (m)

4. Inversi atau titik inversi (i)

Operasi dari keempat unsur diatas bisa berjalan sendiri-sendiri atau

dapat berupa gabungan daripadanya, seperti dapat dibedakan adanya :

1. Kombinasi antara translasi dan rotasi

Diktat Kristalografi 1-2


Laboratorium Petrologi & Mineralogi, FTG-UNPAD

2. Kombinasi antara translasi dan bidang cermin (m)

3. Kombinasi antara rotasi dan inversi (rotoinversi)

4. Kombinasi antara rotasi dan bidang cermin (rotorefleksi)

Aturan-aturan yang ada dalam operasi ini dikenal sebagai Teori Repetisi.

Gambar 3-2. Pola susunan dua dimensi yang teratur dan random dari bata (a),
notasi dari bata digantikan oleh koma sebagai motif (b).

3.2.1. Translasi (t)

Translasi adalah pergeseran secara periodik dari suatu motif asli

sehingga menghasilkan motif-motif turunan menurut arah dan jarak tertentu

(t) sehingga hasilnya adalah sekumpulan motif dengan tatanan yang teratur

dan mempunyai kesan simetri. Operasi translasi bisa terjadi menurut (Gbr.

3-3):

1. satu arah t1, hasilnya adalah suatu susunan satu dimensi

2. dua arah t1,t2 hasilnya adalah suatu tatanan dua dimensi

3. tiga arah (tl,t2,t3) hasilnya adalah suatu tatanan tiga dimensi

Diktat Kristalografi 1-3


Laboratorium Petrologi & Mineralogi, FTG-UNPAD

Gambar 3-3. Pola translasi dua dimensi dengan komponen: t1 dan t2 dengan
sudut 90° (a), t1 dan t2 dengan sudut < 90°(b), pola tiga dimensi
dengan komponen t1,t2 dan t3 dengan sudut masing-masing 900
(c).

3.2.2. Rotasi (R)


Operasi ini diakibatkan oleh adanya sumbu rotasi atau sumbu simetri

atau sumbu lipat. Rotasi dalam istilah kristalografi dimaksudkan sebagai

perulangan secara periodik dari motif asli yang dijumpai setelah terjadinya

perputaran motif tersebut dengan sudut sebesar 360° akibat beroperasinya

sumbu rotasi atau sumbu lipat. Sehingga harga sumbu lipat sangat bergantung

pada beberapakali kenampakan motif yang sama akan terulang setelah sumbu

lipat diputar 360°. Dengan kata lain harga dari sumbu lipat (n) = 360° dibagi

sudut perputaran yang membentuk satu kali perulangan.

α = 360/n dimana, n = jumlah perulangan yang akan didapat

α = sudut putar yang bisa memberikan perulangan motif

Diktat Kristalografi 1-4


Laboratorium Petrologi & Mineralogi, FTG-UNPAD

Salah satu ciri dari kristal adalah mempunyai bentuk polihedral yang

tertutup. Oleh karena itu ada suatu batasan tentang n yang ada daiam

kristalografi, batasan ini bisa dibuktikan baik secara grafis maupun matematis.

Harga n yang dikenal dibedakan :

☆ 1 = sumbu lipat satu, dimana perulangan motif bisa diperolen pada

perputaran sumbu lipat sebesar 360°/1 = 360°.

☆ 2 = sumbu lipat dua (diad), perulangan motif bisa diperoleh pada

perputaran sumbu lipat sebesar 360°/2 = 180°.

☆ 3 = sumbu lipat tiga (triad), perulangan motif bisa di peroleh pada

perputaran sumbu lipat sebesar 360°/3 = 120°

☆ 4 = sumbu lipat empat (tetrad), perulangan motif diperoleh pada

perputaran sumbu lipat sebesar 360°/4 = 90°.

☆ 6 = sumbu lipat enam (hexad), perulangan motif diperoleh pada

perputaran sumbu lipat sebesar 360°/6 = 60°.

Sehingga disini jelas tidak dikenal sumbu lipat 5 atau yang lebih besar

dan 6, karena perulangan yang dihasilkannya tidak bisa menghasilkan bentuk

polihedral yang tertutup (Gbr. 3-4). Sebagai contoh pembahasan disini adalah

sumbu lipat 5. Secara grafis bisa dipahami bahwa perulangan motif oleh adanya

sumbu lipat 5 tidak bisa menghasilkan kisi-kisi atau jaringan yang rapat,

bandingkan dengan hasil repetisi oleh sumbu lipat 6 pada gambar 3-5. Secara

matematis hal tersebut di atas dapat dibuktikan sebagai berikut (Gbr. 3-6).

Dalam gambar 3-6 terlihat bahwa titik-titik A,E,C,D,E,F,G adalah hasil

repetisi AB = BC = BD = BF = BG. AB = EC = ED diakibatkan oleh translasi

menurut t, atau bisa dikatakan bahwa titik-titik tersebut adalah hasil

repetisi dengan unsur rotasi dimana perulangan motif terjadi pada perputaran

Diktat Kristalografi 1-5


Laboratorium Petrologi & Mineralogi, FTG-UNPAD

dengan unsur rotasi, dimana perulangan motif terjadi pada perputaran sudut =

α. Jika dari semua titik dikembangkan dengan repetisi-rotasi, maka untuk

menghasilkan jaringan atau kisi yang rapat (tertutup) maka hubungan antara E

dan D juga harus bisa dihasilkan secara translasi sebesar t atau kelipatan

bulat dari t1, sehingga :

U = mt, dimana m = bilangan bulat positif.

Jika rotasi anrara A, F, G, C, D dan F saling berhubungan dengan sudut

α,maka secara geometri hal tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :

Cos  = x/t

x = 1/2 ED = 1/2 a u

maka cos  = 1/2u/t = u/2t

sehingga 2t cos  = u ------> u = mt;

maka u = 2t cos α atau mt = 2t cos  atau cos  = m/2 dimana m adalah

bilangan bulat.

Untuk kasus n = 5, maka  = 360°/5 = 72°, sehingga dari hal tersebut

untuk harga cos  = cos 72° = 0,30902, sehingga disini kita lihat harga m

menjadi tidak bulat. Maka dari hal itulah kita dapat menyimpulkan bahwa

harga sumbu lipat lima tidak dikenal dalam kristalografi.

Diktat Kristalografi 1-6


Laboratorium Petrologi & Mineralogi, FTG-UNPAD

Gambar 3-4. Perulangan motif oleh sumbu lipat 1,2,3,4 dan 6,


gambaran pada pusat lingkaran adalah simbol dari
setiap sumbu lipat.

Gambar 3-5. Perulangan motif oleh sumbu lipat 5 (a) dan sumbu lipat 6(b),
dimana sumbu-sumbu tersebut tegak lurus bidang gambar.

Diktat Kristalografi 1-7


Laboratorium Petrologi & Mineralogi, FTG-UNPAD

Gambar 3-6. Motif yang dipisahkan dengan translasi t dan sebuah kemungkinan
sumbu rotasi tegak lurus terhadap bidang gambar dari setiap
motif. Motif B merupakan salah satu sumbu rotasi.

3.2.3. Inversi (i)

Inversi atau pusat simetri atau titik simetri adalah suatu operasi

simetri yang dihasilkan dengan jalan menghu-bungkan titik-titik dari salah

satu bidang kristal melalui titik pusatnya (titik inversi), sehingga dihasilkan

titik-titik turunannya yang terietak berseberangan dan terbalik dengan jarak

yang sama dari pusat simetrinya (Gbr. 2-9). Secara singkat hal tersebut dapat

dikatakan bahwa hasil inversi dari suatu bidang kristal adalah bidang yang

sejajar, sama dan sebangun tetapi terbalik dengan letak yang berseberangan

terhadap pusat inversi (i) dengan jarak sama terhadap titik inversi tersebut.

3.2.4. Pencerminan (m)

Perncerminan adalah suatu operasi simetri (operasi repetisi}

dimana hubungan antara motif asli dan turunannya seolah-olah diakibatkan

oleh adanya bidang cermin yang mermisahkan keduanya secara tegak lurus.

Diktat Kristalografi 1-8


Laboratorium Petrologi & Mineralogi, FTG-UNPAD

Sehingga jika ada dua bidang yang mempunyai hubungan repetisi akibat bidang

cermin, maka posisi dari sepasang titik yang sama dari kedua bidang tersebut

harus bisa dihubungkan dengan garis lurus yang tegak lurus dan terbagi sama

panjang dengan bidang cermin tersebut (gambar 2-6). Dari uraian ke-empat

unsur simetri diatas, maka jelas bahwa jika unsur yang merepetisikan translasi

saja atau rotasi saja, maka keduanya akan menciptakan hubungan antara motif

asli dan turunannya, dimana keduanya bisa tepat dihimpitkan. Hubungan yang

demikian disebut sebagai proper dan hasil turunannya disebut mempunyai

bentuk kongruent. Jika unsur yang merepetisikan mirror saja atau inversi saja,

maka kedua unsur ini akan menghasilkan hubungan antara motif dan turunnya ,

dimana keduanya tidak bisa tepat dihimpitkan. Hubungan ini disebut bersifat

improper, dimana hasil turunanya disebut mempunyai bentuk enantiomorf .

Selain bisa beroperasi sendiri-sendiri, unsur-usnur simetri diatas

juga bisa beroperasi secara bersama-sama dalam bentuk gabungannya

yang dapat dibedakan :

3.3. Operasi Gabungan Unsur Simetri

3.3.1. Gabungan antara translasi (t) dengan rotasi (R/n)

Repetisi motif asii yang membentuk motif turunan secara rotasi dan

translasi (Gbr. 3-7). Dalam gambar tersebut motif asli direpetisikan oleh

rotasi dengan n =4 dan translasi sebesar t, maka hasilnya akan membentuk

suatu pola susunan yang berbentuk tiga dimensi.

Diktat Kristalografi 1-9


Laboratorium Petrologi & Mineralogi, FTG-UNPAD

3.3.2. Gabungan antara translasi (t) dan bidang cermin (m)

Repetisi yang dihasilkan oleh gabungan kedua unsur simetri ini bisa

dilihat pada gambar 3-8. Disini terlihat repetisi terjadi dengan translasi

sebesar t, dan pada setiap t/2 motif yang sedang mengalami translasi secara

langsung juga rnengalami pencerminan. Bidang yang dapat bertindak sebagai

cermin setelah terlebih dahulu motif mengalami translasi disebut sebagai

glide-plane. Dalam gambar tersebut bsaran t/2 disebut sebagai glide

component.

Gambar 3-7. Pola umum translasi (a), pola rotasi (b), babungan antara
translasi dan rotasi dengan dan a = 90°(c).

Diktat Kristalografi 1 - 10
Laboratorium Petrologi & Mineralogi, FTG-UNPAD

Gambar 3-8. Hubungan antara translasi dan bidang cermin . dengan


motif tapak kaki oleh adanya glide line, dengan glide komponen
t/2.

3.3.3. Gabungan antara rotasi (n) dan inversi (i)

Jika terdapat operasi gabungan antara rotasi (n) dan inversi (i), maka

untuk operasi ini disebut roto inversi dan dinotasikan dengan n (dibaca n-bar),

disini harga n bisa 1,2,3,4,6.

Untuk mempermudah ilustrasi dari operasi jenis ini, maka digunakan

pertolongan bangun bola dimana dindingnya digunakan sebagai tempat

kedudukan motif (dalam kuliah sebelumnya cara ini merupakan penerapan

metoda proyeksi bola).

Dalam gambar 3-9 bisa dilihat proses dan hasil dari operasi rotasi dan

pencerminan, dimana motif A adalah motif asli yang direpetisikan dan

menghasiikan motif-motif turunan B,C,D,E dst, jumlah ini tergantung dari

Diktat Kristalografi 1 - 11
Laboratorium Petrologi & Mineralogi, FTG-UNPAD

harga n). Gambar-gambar lingkaran disamping kanan adalah lingkaran-lingkaran

yang terletak pada bidang tengah bola yang bisa dihimpitkan dengan lingkaran

tempat kedudukan motif-motifnya. Jika bidang tengah bola akibat operasi

diatas seolah-olah bisa bertindak sebagai bidang cermin, maka ia akan

dianggap sebagai bidang cermin dan digambarkan sebagai lingkaran penuh. Jika

bidang tersebut tidak memberikan kesan sebagai cermin, maka digambarkan

dengan garis terputus-putus (Gbr. 3-9 b dan c). Semua operasi untuk

harga-harga n yang ada bisa dilihat pada gambar 3-9 a-d.

Cara dari operasinya adalah sebagai berikut :

1 Rotasikan motif dengan sumbu putar yang ada hingga ke-tempat

kedudukan turunan yang pertama motif ini tidak diplot sebagai motif

turunan, karena harus langsung diinversikan.

2 Turunan pertamanya adalah motif dengan kedudukan setelah

diinversikan.

3 Operasi ini diteruskan dan baru dianggap selesai jika motif turunannya

kembali pada posisi asli.

Pada gambar tersebut juga dapat dilihat operasi dari 2, 3,4 dan 6.

Sebagai contoh adalah : untuk 2, maka hasil akhirnya adalah dua motif dengan

letak koordinat bidang horizontal sama, tetapi motif asli berada dibelahan

atas bola, sedang turunannya berada dibawah. Oleh karena itu dalam gambar

dua dimensi (sebelah kenan} tempatnya berhimpit. Konsekwensi dari kondisi ini

adalah bahwa seolah-olah motif asli direpetisikan dengan bidang cermin

(bidang tengah bola). Oleh karena itu operasi 2 hasilnya dikatakan 2 = m = 1/m

(sumbu lipat satu yang tegak lurus bidang cermin (m).

Untuk 6 kondisinya sama, disini ada hal yang penting, operasi dari 6

Diktat Kristalografi 1 - 12
Laboratorium Petrologi & Mineralogi, FTG-UNPAD

akan memberikan kesan seolah-olah hasil yang didapatkan adalah

pasangan-pasangan motif (dari posisi diatas belahan bola dan dibawah ) atas

bawah yang dilipat ( direpetisikan ) oleh sumbu lipat tiga ( triad ), sehingga

seolah-olah sumbu tersebut bisa bersifat ganda, yakni sebagai sumbu lipat 3

atau sumbu lipet 6. Oleh karena itu sumbu semacam ini disebut digyre (sumbu

lipat tunggal disebut gyre). Akan tetapi jika sumbu tersebut akan dianggap

sebagai sumbu lipat 3 (triad) maka konsekwensinya bidang tengah bolanya

harus bertindak sebagai mirror, dengan demikian sumbu lipat 3 tersebut harus

tegak lurus terhadap bidang cermin (dinotasikan dengan 3/m = roto refleksi

sumbu lipat 3). Sehingga hasil operasi 6 mi adalah sama dengan hasil operasi

3/m atau ditulis 6 = 3/m

3.3.4. Gabungan antara rotasi dan bidang cermin (n)

Gabungan dari kedua unsur simetri ini disebut juga rotorefleksi.

Secara prinsip operasi dri gabungan ini mempunyai tahapan sama dengan

rotoinversi. Hanya disini motif asli dalam proses repetisi ini diputar dahulu

dengan sumbu rotasi sebesar α = 360°/n, kemudian hasil turunannya akan

dihasilkan setelah direfleksikan. Demikian selanjutnya proses ini dilakukan

hingga turunan terakhirnya berhimpit dengan motif aslinya.

Gambar 3-10 menerangkan proses dan hasil dari proses ini, disini notasi

titik penuh digunakan untuk motif disebelah atas bola (diatas bidang cermin),

sedang lingkaran kecil terbuka untuk motif dibawah belahan bola. Rotorefleksi

mempunyai pengertian khusus untuk hubungan antara sumbu rotasi yang tegak

Iurus bidang cermin, dinotasikan sebagai n atau n/m, dimana n = 1,2,3,4,5.

Diktat Kristalografi 1 - 13
Laboratorium Petrologi & Mineralogi, FTG-UNPAD

Gambar 3-9. Ilustrasi dari operasi rotoinversi cari motif. Dari A ke B ke C


dst, dengan sudut a (360°, 180°, 120° ,90° , atau 60°).

Diktat Kristalografi 1 - 14
Laboratorium Petrologi & Mineralogi, FTG-UNPAD

3.4. KOMBINASI DARI DUA ATAU LEBIH UNSUR SIMETRI

Selain dari gabungan unsur-unsur simetri diatas, masih ada beberapa

gabungan unsur simetri yang dikenal dalam kristalografi, hubungan-hubungan

ini dinilai sangat penting karena mempunyai hubungan langsung dengan cara

penamaan dalam klasifikasi kristal. Gabungan atau kombinasi tersebut dapat

dibedakan :

☆ Kombinasi sumbu rotasi

☆ Kombinasi rotasi dan rctoinversi

☆ Kombinasi antara satu sumbu rotasi dan dua bidang cermin

☆ Kombinasi tiga bidang cerrnin

Gambar 3-10. Roto refleksi sumbu lipat 4 dan 6, sedangkan untuk 1,2 dan 3
secara prinsip sama dengan diatas.

Diktat Kristalografi 1 - 15
Laboratorium Petrologi & Mineralogi, FTG-UNPAD

3.4.1. KOMBINASI SUMBU ROTASI

Suatu kristal akan selalu dicirikan oleh adanya unsur simetri, baik itu

satu atau lebih yang kemudian disebut sebagai kombinasi unsur simetri yang

secara langsung akan menunjukkan kelas kristal tertentu. Sebagai contoh

gabungan antara tiga sumbu lipat 2 yang masing-masing tegak lurus dan setiap

sumbu lipat tersebut tegak lurus juga terhadap bidang cermin (3 sumbu

lipat 2 dan 3 bidang cermin} adalah suatu ciri dari kelas kristal orthorombik

bipiramida dengan memperhatikan hubungan dan kedudukan unsur-unsur

simetrinya, maka kelas ini dinotasikan dengan Simbol Internasional (SI) : 2/m

2/m 2/m notasi ini disebut point-group dan metoda penulisan ini pertama kali

dilakukan oleh Hermann Mauguin.

Jika suatu motif direpetisikan dengan sumbu lipat A (turunan

pertama didapat setelah perputaran sebesar ) dari tempat kedudukan

(TK) 1 ke 2, dan dari tempat kedudukan 2 bisa direpetisikan lagi dengan

sumbu lipat yang lain (B) dan menghasilkan turunan pertama di TK 3. Jika

ke-2 sumbu tersebut berpotongan di pusat kristal, maka motif tersebut akan

bisa langsung direpetisikan dari TK1 ---> TK3 dengan sumbu lipat yang lain

(perpotongan ke-3 sumbu tersebut berada di satu titik) yakni sumbu lipat

C(Gbr. 3-11).

Gambar 3-11. Sumbu a dan b yang berpotongan di 0 (a), hasil dari kombinasi
rotasi dengan sudut a pada A dan β pada B (b)

Diktat Kristalografi 1 - 16
Laboratorium Petrologi & Mineralogi, FTG-UNPAD

Pada gambar 3-11 bisa dilihat bahwa sumbu Aa, Bβ dan Ct ketiganya

melalui 0 (pusat bola) , oleh karena itu, maka :

☆ AB = busur yang terietak pada lingkaran tengah bola yang

melalui AO & BO

☆ BC = busur yang terietak pada lingkaran tengah bola yang

melalui EG & CO

☆ AC = busur yang terietak pada lingkaran tengah bola yang

melalui AO & CO

Oleh karena itu maka sumbu Aα akan bisa menghimpitkan kutub-kutub sumbu

Bβ ketempat kedudukan C setelah diputar (1/2)β. Dan kutub sumbu C bisa

menghimpitkan kutub Aα keternpat kedudukan kutub Bβ dengan perputaran

sebesar (l/2).

Jika sekarang A,;B,C digambarkan, maka akan terlihat sebagai berikut

(Gbr. 3-12) :

A,B,C adalah titik-titik tembus Aα, Bβ, Cγ pada dinding bola. Maka :

Sudut ACB = γ/2 u = busur BC

Sudut CBA = β/2 v = busur AC

Sudut BAG = α/2 w = busur AB

Gambar 3- 12. Kombinasi sumbu rotasi

Diktat Kristalografi 1 - 17
Laboratorium Petrologi & Mineralogi, FTG-UNPAD

dalam hal ini berlaku hubungan cosinus, yaitu :

Cos w = Cos u Cos v + Sin u Sin v Cos w,

dimana : u = 130° - U

v = 180° - V

w = 180° -

W sehingga :

Cos(130°-W) = Cos(180°-U} Cos (130C-V) + Sin(I80°-U) Sin(180°-V)

Cos(180°-w),

-Cos W = Cos U Cos V - Sin U Sin V Cos v

Cos W = -Cos U Cos V + Sin U Sin V Cos w

Cos W + Cos U Cos V

Cos w = -------------------

Sin U Sin V

Dengan rumus ini maka bisa dicari kombinasi tiga sumbu rotasi yang mungkin

dalam krisralografi. Sedangkan penggunaan dari rumus diatas bisa disesuaikan

dengan kebutuhan apakah w, v atau u yang akan dibuktikan.

Hubungan antara Aα, Bβ, Cγ sering dinyatakan dengan notasi Aα.Bβ.Cγ =

1, dibaca : Hasil perputaran dengan suinbu A sebesar α/2 yang diteruskan

dengan operasi melalui sumbu Bβ akan bisa dikembalikan ke motif asal oleh

sumbu Cγ. Ini berarti bahwa kombinasi ketiga sumbu ini mengakibatkan motif

menjadi statis.

Dibawah ini merupakan tabel yang akan memudahkan dalam perhitungan

pemakaian rumus tersebut diatas .

Diktat Kristalografi 1 - 18
Laboratorium Petrologi & Mineralogi, FTG-UNPAD

Diktat Kristalografi 1 - 19
Laboratorium Petrologi & Mineralogi, FTG-UNPAD

*) pada tabel 3-2, j ika w = 0° ------> berarti busur AC &


BC berhimpit, akibarnya perputaran sumbu C = 0 atau tidak ada
sumbu C.

Gambar 3-13. Enam kemungkinan kombinasi rotasi dan masing-masing besar


sudut antar sumbu rotasi dalam point group.

Diktat Kristalografi 1 - 20
Laboratorium Petrologi & Mineralogi, FTG-UNPAD

Gambar 3-I3-a. Gambar proyeksi untuk beberapa point group dan tempat
kedudukan sumbu lipat pada kelas 432.

3.4.2. KOMBINASI ROTASI & ROTO INVERSI (n & n)

Kombinasi yang dimaksud disini adalah pembentukan point group sumbu

rotasi (n) dengan (ñ), dengan catatan harga n harus sama. Operasi dari n akan

selalu bersifat proper (p), sedangkan operasi dari n akan menghasilkan

turunan-turunan yang bersifat improper (I). Motif-motif proper ( kongruent )

dinotasikan dengan , sedangkan motif improper ( enantiomorf ) dinotasikan

dengan o.

Diktat Kristalografi 1 - 21
Laboratorium Petrologi & Mineralogi, FTG-UNPAD

Untuk mempelajari kemungkinan ini, maka lihat gambar 3-14 dibawah

ini. Jika ada motif dinotasikan secara :

Gambar 3-14. Kombinasi rotasi PII

Proper : 1 -----> ke 2; Improper : 2 -----> ke 3

maka sumbu ketiga yang bisa merotasikan dari 1 ke 3 harus bersifat improper,

sehingga point groupnya menjadi PII, maka jika point group 322 ada (mungkin)

maka PII = 322. Kombinasi dari Improper dan Proper yang mungkin dibeda-kan

: PPP, PPI , IPI , IIP. Dimana PPP disini bisa 222, 322, 422, 622, 332, 432.

Kombinasi-kombinasi ini juga akan melengkapi kelas-kelas kristal, oleh sebab

itu menjadi sangat penting karena kelas yang terbentuk termasuk kedalam

kelas poliaxial.

3.4.3. KOMBINASI SUMBU ROTASI & ROTO INVERSI (n & ñ )

Berbeda dengan yang terjadi dalam pembahasan diatas, maka

disini n & ñ dihimpitkan sehingga notasinya menjadi n/ñ. Sehingga jika

n = 1 ------> menjadi 1/1

n = 2 ------> menjadi 2/2

Diktat Kristalografi 1 - 22
Laboratorium Petrologi & Mineralogi, FTG-UNPAD

3.4.4. KOMBINASI 1 SUMBU ROTASI DAN 2 BIDANG CERMIN

Jika dalam kristal dijumpai dua bidang cermin yang berp-otongan, maka

garis potongnya bisa bertindak sebagai sumbu lipat dengan harga yang

ditentukan oleh besarnya sudut antar bidang tersebut.

Gambar 3-16 memperlihatkan hubungan antara satu sumbu rotasi

dengan dua bidang cermin.

m1 merepecisikan dari 1 ____> 2

m2 merepetisikan dari 2 ----> 3

Aα (sumbu lipat 360°/α} bisa merepetisikan langsung dari 1 ke 3, sehingga dari

gambar tersebut bisa dilihat bahwa :

α = 2 [(1/2)0 + (1/2)8], sehingga

ml . m2 = Aλ

ml . m2 . A_λ = 1 (statis)

sudut antara m1 dan m2 = (1/2)α

Gambar 3-16. Kedudukan dari sumbu rotasi dan 2 bidang cermin

Diktat Kristalografi 1 - 23
Laboratorium Petrologi & Mineralogi, FTG-UNPAD

3.4.5. KOMBINASI TIGA BIDANG CERMIN

Jika terdapat pasangan dua pasang bidang cermin m1 dan m2 yang

berpotongan pada sumbu Aα dengan hubungan,

pasangan lain yaitu m3 dan m4 yang berpotongan pada sumbu Bβ. Apabila

kemudian m3 dan m2 dihimpitkan, maka antara m1 dan m4 akan berpotongan.

Dalam gambar perpotongan ini adalah garis yang menembus di C yang juga bisa

berfungsi sebagai sumbu lipat Cγ (Gbr. 3-17). Disini terlihat bahwa motif 1R

bisa direpetisikan oleh semua bidang cerní hingga terbentuk 2R dan 3R.

Harus diingat bahwa konsekuensi dari penghimpitan m3 darn m2 maka timbul

hubungan sebagai berikut :

m1 . m2 = Aα ------> m1.m2 = (l/2)α


m3 . m4 = Bp ------> m3.m4 = (l/2)p

m4 . ml = Cf ------> m4.ml = (l/2)r

padahal (ml.m2) (m3.m4) (ml.m4) = 1 ---> sehingga sekarang

(ml.m2) (m3.m4) (ml.m4) = Aα Bβ. Cγ = 1 (statis)

Gambar 3-17. Kedudukan kombinasi dari 3 bidang cermin

Diktat Kristalografi 1 - 24

Anda mungkin juga menyukai