1. Defenisi Labioskizis dan labiopalatoskizis Labioskizis adalah kelainan congenital sumbing yang terjadi akibat kegagalan fusi atau penyatuan prominen maksilaris dengan prominen nasalis medial yang diikuti disrupsi kedua bibir, rahang dan palatum anterior. Sedangkan Palatoskizis adalah kelainan congenital sumbing akibat kegagalan fusi palatum pada garis tengah dan kegagalan fusi dengan septum nasi. (sumber : Asuhan Kebidanan Neonatu, Bayi, dan Anak Balita, 2010) Labioskizis dan labiopalatoskizis merupakan deformitas daerah mulut berupa celah atau sumbing atau pembentukan yang kurang sempurna semasa perkembangan embrional di mana bibir atas bagian kanan dan bagian kiri tidak tumbuh bersatu. Palatoskisis adalah fissura garis tengah pada palatum yang terjadi karenakegagalan 2 sisi untuk menyatu karena perkembangan embriotik. Labioskizis dan labiopalatoskizis merupakan deformitas daerah mulut berupa celah atau sumbing atau pembentukan yang kurang sempurna semasa perkembangan embrional di mana bibir atas bagian kanan dan bagian kiri tidak tumbuh bersatu. Labioskizis dan labiopalatoskizis adalah anomali perkembangan pada 1 dari 1000 kelahiran. Kelainan bawaan ini berkaitan dengan riwayat keluarga, infeksi virus pada ibu hamil trimester pertama. 2. Klasifikasi Jenis belahan pada labioskizis atau labiopalatoskizis dapat sangat bervariasi, bisa mengenai salah satu bagian atau semua bagian dari dasar cuping hidung, bibir, alveolus dan palatum durum, serta palatum molle. Suatu klasifikasi membagi struktur-struktur yang terkena menjadi beberapa bagian berikut. a. Palatum primer meliputi bibir, dasar hidung, alveolus, dan palatum durum di belahan foramen insisivum. b. Palatum sekunder meliputi palatum durum dan palatum molle posterior terhadap foramen. c. Suatu belahan dapat mengenai salah satu atau keduanya, palatum primer dan palatum sekunder dan juga bisa berupa unilateral atau bilateral. Terkadang terlihat suatu belahan submukosa. Dalam kasus ini mukosanya utuh dengan belahan mengenai tulang dan jaringan otot palatum. Klasifikasi dari kelainan ini diantaranya berdasarkan akan dua hal yaitu : 1) Klasifikasi berdasarkan organ yang terlibat Celah di bibir ( labioskizis ) Celah di gusi ( gnatoskizis ) Celah di langit ( palatoskizis ) Celah dapat terjadi lebih dari satu organ misalnya terjadi di bibir dan langit langit ( labiopalatoskizis) 2) Berdasarkan lengkap/tidaknya celah terbentuk Tingkat kelainan bibir sumbing bervariasi, mulai dari yang ringan hingga yang berat.Beberapa jenis bibir sumbing yang diketahui adalah Unilateral Incomplete yaitu jika celah sumbing terjadi hanya disalah satu sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung. Unilateral Complete yaitu jika celah sumbing yang terjadi hanya disalah satu sisi sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung. Bilateral Complete yaitu Jika celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan memnajang hingga ke hidung. 3. Etiologi Penyebab terjadinya labioskizis dan labiopalatoskizis adalah sebagai berikut. a) Kelainan-kelainan yang dapat menimbulkan hipoksia. b) Obat-obatan yang dapat merusak sel muda (mengganggu mitosis), misalnya sitostatika dan radiasi. c) Faktor keturunan. d) Syndrome atau malformasi yang disertai adanya sumbing bibir, sumbing palatum atau keduanya disebut kelompok syndrome cleft dan kelompok sumbing yang berdiri sendiri non syndromik clefts. e) Beberapa syndromik cleft adalah sumbing yang terjadi pada kelainan kromosom (trysomit 13, 18 atau 21) mutasi genetik atau kejadian sumbing yang berhubungan dengan akibat toksikosis selama kehamilan (kecanduan alkohol, terapi fenitoin, infeksi rubella, sumbing yang ditemukan pada syndrome peirrerobin. f) Penyebab non syndromik clefts dapat bersifat multifaktorial seperti masalah genetik dan pengaruh lingkungan. g) Kurang Nutrisi contohnya defisiensi Zn dan B6, vitamin C pada waktu hamil, kekurangan asam folat. h) Terjadi trauma pada kehamilan trimester pertama. i) Infeksi pada ibu yang dapat mempengaruhi janin contohnya seperti infeksi rubella dan sifilis, toxoplasmosis dan klamidia. 4. Faktor Resiko Angka kejadian kelalaian kongenital sekitar 1/700 kelahiran dan merupakan salah satu kelainan kongenital yang sering ditemukan, kelainan ini berwujud sebagai labioskizis disertai palatoskizis 50%, labioskizis saja 25% dan palatoskizis saja 25%. Pada 20% dari kelompok ini ditemukan adanya riwayat kelainan sumbing dalam keturunan. Kejadian ini mungkin disebabkan adanya faktor toksik dan lingkungan yang mempengaruhi gen pada periode fesi ke-2 belahan tersebut; pengaruh toksik terhadap fusi yang telah terjadi tidak akan memisahkan lagi belahan tersebut. 5. Patofisiologi Labioskizis terjadi akibat kegagalan fusi atau penyatuan frominem maksilaris dengan frominem medial yang diikuti disrupsi kedua bibir rahang dan palatum anterior. Masa krisis fusi tersebut terjadi sekitar minggu keenam pascakonsepsi. Sementara itu, palatoskizis terjadi akibat kegagalan fusi dengan septum nasi. Gangguan palatum durum dan palatum molle terjadi pada kehamilan minggu ke-7 sampai minggu ke-12. 6. Risiko Kejadian Sumbing Pada Keluarga Risiko labioskizis dengan Risiko sumbing pada Risiko palatoskizis atau tanpa palatoskizis anak berikutnya (%) (%) - Bila ditemukan satu anak menderita sumbing - Suami istri dan dalam keturunan tidak ada 2-3 2 yang sumbing. - dalam keturunan ada 4-9 3-7 yang sumbing - Bila ditemukan dua anak menderita 14 13 sumbing - salah satu orangtuanya 12 13 menderita sumbing - Kedua orangtuanya 30 20 menderita sumbing. 7. Komplikasi Komplikasi yang bisa terjadi pada kelainan ini adalah : a) Kesulitan makan, dialami pada penderita bibir sumbing dan jika diikuti dengan celah palatum. Memerlukan penanganan khusus seperti dot khusus, posisi makan yang benar dan juga kesabaran dalam memberi makan pada bayi bibir sumbing. Merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita labioskizisdan labiopalatoskizis. Adanya labioskizis dan labiopalatoskizis memberikan kesulitan pada bayi untuk melakukan hisapan pada payudara ibu atau dot. Tekanan lembut pada pipi bayi dengan labioskizis mungkin dapat meningkatkan kemampuan hisapan oral. b) Infeksi telinga dikarenakan tidak berfungsi dengan baik saluran yang menghubungkan telinga tengah dengan kerongkongan dan jika tidak segera diatasi maka akan kehilangan pendengaran. Anak dengan labiopalatoskizis lebih mudah untuk menderita infeksi telinga karena terdapatnya abnormalitas perkembangan dari otot-otot yang mengontrol pembukaan dan penutupan tuba eustachius. c) Masalah gigi, pada celah bibir gigi tumbuh tidak normal atau bahkan tidak tumbuh, sehingg perlu perawatan dan penanganan khusus. Anak yang lahir dengan labioskizis dan labiopalatoskizis mungkin mempunyai masalah tertentu yang berhubungan dengan kehilangan, malformasi, dan malposisi dari gigi geligi pada arean dari celah bibir yang terbentuk. d) Kekurangan gizi. e) 10% penderita palatoskizis akan Menderita masalah bicara, misalnya suara sengau. 8. Penatalaksanaan a) Pemberian ASI secara langsung dapat pula diupayakan jika ibu mempunyai refleks mengeluarkan air susu dengan baik yang mungkin dapat dicoba dengan sedikit menekan payudara. b) Bila anak sukar mengisap sebaiknya gunakan botol peras (squeeze bottles). Untuk mengatasi gangguan mengisap, pakailah dot yang panjang dengan memeras botol maka susu dapat didorong jatuh di belakang mulut hingga dapat diisap. Jika anak tidak mau, berikan dengan cangkir dan sendok. c) Dengan bantuan ortodontis dapat pula dibuat okulator untuk menutup sementara celah palatum agar memudahkan pemberian minum, dan sekaligus mengurangi deformitas palatum sebelum dapat dilakukan tindakan bedah. d) Tindakan bedah, dengan kerja sama yang baik antara ahli bedah, ortodontis, dokter anak, dokter THT, serta ahli wicara. 9. Syarat Labioplasti (Rule of Ten) a) umur 3 bulan atau > 10 minggu. b) Berat badan kira-kira 4,5 kg/10 pon c) Hemoglobin > 10 gram/dl d) Hitung jenis leukosit < 10.000 10. Syarat Palatoplasti Palatoskizis ini biasanya ditutup pada umur 9-12 bulan menjelang anak belajar bicara, yang penting dalam operasi ini adalah harus memperbaiki lebih dulu bagian belakangnya agar anak bisa dioperasi umur 2 tahun. Untuk mencapai kesempurnaan suara, operasi dapat saja dilakukan berulang-ulang. Operasi dilakukan jika berat badan normal, penyakit lain tidak ada, serta memiliki kemampuan makan dan minum yang baik. Untuk mengetahui berhasil tidaknya operasi harus ditunggu sampai anak tersebut belajar bicara antara 1-2 th. a) Jika sengau harus dilakukan tetapi bicara (fisioterapi otot-otot bicara) b) Jika terapi bicara tidak berhasil dan suara tetap sengau, maka harus dilakukan faringoplasti saat anak berusia 8 tahun. Faringoplasti ialah suatu pembebasan mukosa dan otot-otot yang kemudian didekatkan satu sama lain. Pada faringoplasti hubungan antara faring dan hidung dipersempit dengan membuat klep/memasang klep dari dinding belakang faring ke palatum molle. Tujuan pembedahan ini adalah untuk menyatukan celah segmen-segmen agar pembicaraan dapat dimengerti. Perawatan yang dilakukan pasca dilakukannya faringoplasti adalah sebagai berikut. a) Menjaga agar garis-garis jahitan tetap bersih b) Bayi diberi makan atau minum dengan alat penetes dengan menahan kedua tangannya. c) Makanan yang diberikan adalah makanan cair atau setengah cair atau bubur saring selama 3 minggu dengan menggunakan alat penetes atau sendok. d) Kedua tangan penderita maupun alat permainan harus dijauhkan. 11. Asuhan Kebidanan a) Berikan dukungan emosional dan tenangkan ibu beserta keluarga b) Jelaskan kepada ibu bahwa sebagian besar hal penting harus dilakukan saat ini adalah member makanan bayi guna memastikan pertumbuhan yang adekuat sampai pembedahan yang dilakukan. c) Jika bayi memiliki sumbing tetapi palatumnya utuh, izinkan bayi berupaya menyusu. d) Jika bayi berhasil menyusu dan tidak terdapat masalah lain yang membutuhkan hospitalisasi, pulangkan bayi. Tindak lanjuti dalam satu minggu untuk memeriksa pertumbuhan dan penambahan berat badan. e) Jika bayi tidak dapat menyusu dengan baik karena bibir sumbing,berikan perasan ASI dengan menggunakan metode pemberian makanan alternatif (menggunakan sendok atau cangkir). f) Jika bayi memiliki celah palatum, berikan perasan ASI dengan menggunakan metode pemberian makan alternatif (menggunakan sendok atau cangkir). g) Ketika bayi makan dengan baik dan mengalami penambahan berat badan,rujuk bayi ke rumah sakit tersier atau pusat spesialisasi, jika memungkinkan untuk pembedahan guna memperbaiki celah tersebut. B. Atresia esofagus 1. Defenisi atresia esofagus Atresia esofagus adalah perkembangan embrionik abnormal esophagus yang menghasilkan pembentukan suatu kantong (blind pouch), atau lumen berkurang tidak memadai yang meencegah perjalanan makanan/ sekresi dari faring ke perut.(Noordiati, hal.112, 2018 ) Atresia esofagus adalah kelainan kongenital di mana segmen atas esofagus berakhir dalam pounch buntu. Fistula trakeoesofagus adalah kelainan kongenital di mana struktur embrionik gagal untuk membagi menjadi esofagus dan trakea yang terpisah, menyebabkan suatu celah (fistula) di antara kedua struktur. Walaupun atresia esofagus dan fistula trakeoesofagus mungkin terjadi secara terpisah, keduanya sering terjadi bersamaan, dengan segmen atas esofagus berakhir pada pounch buntu dan segmen tersebut tepat di atas lambung menghubungkan ke trakea. Kadang- kadang esofagus berhubungan langsung dengan trakea sehingga makanan langsung mengalir ke paru-paru (Hamilton, hal.255, 1995) 2. Etiologi Atresia esofagus terjadi 1 dalam 3500 kelahiran hidup. Kebanyakan dari bayi-bayi tersebut adalah prematur dan memiliki berat badan lahir rendah. Sekitar seperempatnya lahir dengan anomali lain dan Sampai saat ini belum diketahui zat teratogen apa yang bisa menyebabkan terjadinya kelainan atresia esofagus, hanya dilaporkan angka rekuren sekitar 2 % jika salah satu dari saudara kandung yang terkena. Atresia esofagus lebih berhubungan dengan sindrom trisomi 21,13 dan 18 dengan penyebab genetik. Namun saat ini teori tentang terjadinya atresia esofagus menurut sebagian besar ahli tidak lagi segera setelah operasi pasien dirawat di NICU dengan perawatan sebagai berikut : a) Monitor pernafasan, suhu tubuh, fungsi jantung dan ginjal b) Oksigen perlu diberikan dan ventilator pernafasan dapat diberikan jika di butuhkan c) Analgetik diberi jika dibutuhkan d) Pemeriksaan darahdan urin dilakukan guna mengevaluasi fungsi esofagus e) Bayi diberikan makanan melalui tube yang terpasang langsung ke lambung f) Sekret dihisap melalui tenggorokan dengan slang nasogastik g) Perawatan di RS ± 2 minggu atau lebih tergantung terjadinya komplikasi 3. Penatalaksanaan a) pasang kateter ke dalam esofagus & bila mungkin lakukan penghisapan terus menerus. b) letakkan bayi posisi fowler bila terdapat fistula trakea esofagus untuk mencegah refluks cairan lambung, sedang bayi tanpa fistel letakkan dengan posisi trendelenburg c) tindakan bedah segera C. Atresia duodenum 1. Definisi Atresia Duodenum Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum tidak berkembang baik. Pada kondisi ini deodenum bisa mengalami penyempitan secara komplit sehingga menghalangi jalannya makanan dari lambung menuju usus untuk mengalami proses absorbsi. Apabila penyempitan usus terjadi secara parsial, maka kondisi ini disebut dengan doudenal stenosis. 2. Etiologi Atresia Duodenum Penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenal sampai saat ini belum diketahui.Atresia duodenal sering ditemukan bersamaan dengan malformasi pada neonatus lainnya, yang menunjukkan kemungkinan bahwa anomali ini disebabkan karena gangguan yang dialami pada awal kehamilan. a) Gangguan pembuluh darah masenterika. Gangguan ini bisa disebabkan karena volvulus, malrotasi, gastrokisis maupun penyebab yang lainnya b) Kegagalan proses rekanalisasi c) Polihidramnion d) Annular pankreas 3. Patogenesis Ada faktor intrinsik serta ekstrinsik yang menyebabkan terjadinya atresia duodenum. a) Faktor Intrinsik Faktor yang menyebabkan terjadinya anomali ini karena kegagalan rekanalisasi lumen usus.Duodenum dibentuk dari bagian akhir 5 foregut dan bagian sefalik midgut.Selama minggu ke 5-6 lumen tersumbat oleh proliferasi sel dindingnya dan segera mengalami rekanalisasi pada minggu ke 8- 10.Kegagalan rekanalisasi ini disebut dengan atresia duodenum. Perkembangan duodenum terjadi karena proses ploriferasi endoderm yang tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi ploriferasinya atau disebabkan kegagalan rekanalisasi epitelial (kegagalan proses vakuolisasi). Epitel duodenum berploriferasi dalam usia kehamilan 30-60 hari ataupada kehamilan minggu ke 5 atau minggu ke 6, kemudian akan menyumbat lumen duodenum secara sempurna. Kemudian akan terjadi proses vakuolisasi. Pada proses ini sel akan mengalami proses apoptosis yang timbul pada lumen duodenum. Apoptosis akan menyebabkan terjadinya degenerasi sel epitel, kejadian ini terjadi pada minggu ke 11 kehamilan. Proses ini mengakibatkan terjadinya rekanalisasi pada lumen duodenum. Apabila proses ini mengalami kegagalan, maka lumen duodenum akan mengalami penyempitan. b) Faktor ekstrinsik Kondisi ini disebabkan karena gangguan perkembangan struktur lainnya, seperti pankreas.Atresia duodenum berkaitan dengan pankreas anular.Pankreas anular merupakan jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling duodenum, terutama deodenum bagian desenden. Kondisi ini akan mengakibatkan gangguan perkembangan duodenum. 4. Diagnosis a) Lokasi obstruksi menentukan gambaran klinis. Obstruksi proksimal (atresia duodenum, pankreas anulare, malrotasi disertai volvulus midgut). b) Muntah hijau dengan distensi minimal terutama di daerah epigastrium timbul pada umur 24 jam. Obstruksi distal (atresia ileum, Hirschsprung, atresia ani/malformasi anorektal) - distensi seluruh abdomen disertai muntah hijau yang timbulnya lambat. c) Muntah yang berwarna empedu pada bayi biasanya merupakan tanda obstruksi yang berhubungan dengan kedaruratan bedah kecuali bila tidak terbukti. d) Pada stenosis hipertrofi pilorus timbul muntah proyektil tanpa disertai warna seperti empedu, biasanya dijumpai pada umur 3 hingga 6 minggu. e) Dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit umum terjadi (hiponatremi dan hipokalemi) f) Alkalosis g) Pada perabaan abdomen dijumpai benjolan seperti buah zaitun (pilorus yang membesar) pada bagian atas perut pasien. Beri minum dalam jumlah sedikit tetapi sering atau tambahkan cairan intravena (bila dijumpai tanda dehidrasi). 5. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan saat prenatal maupun saat postnatal. a) Prenatal Diagnosis Saat masa prenatal yakni dengan menggunakan prenatal ultrasonografi. Sebagian besar kasus atresia duodenum dideteksi antara bulan ke 7 dan 8 kehamilan, akan tetapi pada beberapa penelitian bisa terdeteksi pada minggu ke 20. b) Postnatal Pemeriksaan 1) Pemeriksaan laboratorium Terdiri dari pemeriksaan serum, darah lengkap, serta fungsi ginjal pasien.Selain itu, dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui apakah pasien mengalami demam karena peritonitis dan kondisi pasien secara umum. 2) Pemeriksaan roentgen Yang pertama kali dilakukan yaitu plain abdominal x-ray. X-ray akan menujukkan gambaran double-bubble sign tanpa gas pada distal dari usus. Pada sisi kiri proksimal dari usus nampak gambaran gambaran lambung yang terisi cairan dan udara dan terdapat dilatasi dari duodenum proksimal pada garis tengah agak kekanan. Apabila pada x-ray terdapat gas distal, kondisi tersebut tidak mengekslusi atresia duodenum. Pada neonatus yang mengalami dekompresi misalnya karena muntah, maka udara akan berangsur-angsur masuk ke dalam lambung dan juga akan menyebabkan gambaran double-bubble. 6. Penatalaksanaan Penatalaksanaan yang dilakukan meliputi preoperatif, intraoperatif serta postoperative : a) Tata Laksana Preoperatif Setelah diagnosis ditegakkan, maka resusitasi yang tepat diperlukan dengan melakukan koreksi terhadap keseimbangan cairan dan abnormalitas elektrolit serta melakukan kompresi pada gastrik.Dilakukan pemasangan orogastrik tube dan menjaga hidrasi IV.Managemen preoperatif ini dilakukan mulai dari pasien lahir.Sebagian besar pasien dengan atresia duodenum merupakan pasien premature dan kecil, sehingga perawatan khusus diperlukan untuk menjaga panas tubuh bayi dan mencegah terjadinya hipoglikemia, terutama pada kasus berat badan lahir yang sangat rendah, CHD, dan penyakit pada respirasi.Sebaiknya pesien dirawat dalam incubator. b) Tata Laksana Intraoperatif Saat ini, prosedur yang banyak dipakai adalah laparoskopi. Teknik dimulai dengan memposisikan pasien dalam posisi supinasi, kemudian akan diinsersikan dua instrument. Satu pada kuadran kanan bayi, dan satu pada mid-epigastik kanan.Duodenum dimobilisasi dan diidentifikasi regio yang mengalami obstruksi. Kemudian dilakukan diamond shape anastomosis. Beberapa ahli bedah melakukan laparoscopi anatomosis dengan jahitan secara interrupted, akan tetapi teknik ini memerlukan banyak jahitan. Metode terbaru yang dilaporkan, kondisi ini dapat diselesaikan dengan menggunakan nitinol U-clips untuk membuat duodenoduodenostomi tanpa adanya kebocoran dan bayi akan lebih untuk dapat segera menyusui dibandingkan open duodenoduodenostomi secara konvensional. c) Tata Laksana Postoperatif Pada periode postoperatif, maka infus intravena tetap dilanjutkan. Pasien menggunakan transanastomotic tube pada jejunum, dan pasien dapat mulai menyusui setelah 48 jam pasca operasi. Untuk mendukung nutrisi jangka panjang, maka dapat dipasang kateter intravena baik sentral maupun perifer apabila transanastomotic enteral tidak adekuat untuk memberi suplai nutrisi serta tidak ditoleransi oleh pasien.