Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada
zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para
sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada
periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan,
tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai
dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk
menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.
Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam
yang itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti
Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak
lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk
menemukan hukum yang terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis,
fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula,
syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika kehidupan yang
semakin kompleks.
Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu
melalui dalil-dalil agama yaitu Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istimbat. Adapun
mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh
kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama.
Oleh karena itu kita harus berterima kasih kepada para mujtahid yng telah
mengorbankan waktu,tenaga, dan pikiran untuk menggali hukum tentang masalah-
masalah yang dihadapi oleh umat Islam baik yang sudah lama terjadi di zaman
Rasullullah maupun yang baru terjadi.
B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, penulis merumuskan beberapa masalah
diantaranya sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan Ijtihad?
2. Apa saja yang menjadi dasar hukum Ijtihad?
3. Apakah fungsi dari Ijtihad?
4. Sebutkan beberapa macam Ijtihad!
5. Apa yang menjadi objek Ijtihad?
6. Sebutkan beberapa tingkatan dari mujtahid!
7. Bagaimana syarat dan hukum melakukan Ijtihad!

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian Ijtihad
2. Untuk mengetahui dasar dan fungsi Ijtihad
3. Untuk mengetahui syarat dan hukum melakukan Ijtihad
4. Untuk mengetahui macam, objek dan tingkatan mujtahid
5. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an
6. Menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai Ijtihad
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-
masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan
kemampuan).[1] Dengan kata lain, Ijtihad secara etimologi adalah pencurahan segenap
kesanggupan untuk mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu perbuatan.[2] Dalam Al-
Qur’an disebutkan:
…‫… َو َّالذِينَ ََل َي ِجدُونَ ِإ ََّل ُج ْهدَ ُه ْم‬
Artinya:
“…Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain
kesanggupan.” Q.S. At-Taubah:79)
Kata al-jahd bbeserta seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang
dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.
Dalam pengertian inilah, Nabi mengungkapkan kata-kata:
‫ع َلي َوجْ ت َ ِهدُا ْو فِى‬ َ ‫صلُّ ْوا‬ َ
‫َاء‬
ِ ‫ال ُّدع‬
Artinya:
“Bacalah salawat padaku dan bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”
ُّ ‫َوأَماال‬
ِ ‫س ُج ْو ُد فَاجْ ت َ ِهد ُْوا فِى ال ُّدع‬
‫َاء‬
Artinya:
“Pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”
Demikian pula pada jihad (perang) yang derivasinya sama dengan ijtihad mengandung
arti sungguh-sungguh dan tidak disenangi.[3]
Ijtihad adalah masdar dari fiil madzi ijtahada. Penambahan hamzah dan ta’
pada kata ja-ha-da menjadiijtahada pada wajan if-ta-a’-la berarti, “usaha itu lebih
sungguh-sungguh”. Seperti halnya ka-sa-ba menjadiiktasaba, yang berarti “usaha lebih
kuat dan sungguh-sungguh”. Oleh sebab itu, ijtihad berarti usaha keras atau pengerahan
daya upaya (istifragh al-wus’ atau badzl al-wus’). Dengan demikian, ijtihad berarti
usaha maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh sesuatu. Sebaliknya, suatu usaha
yang dilakukan tidak maksimal dan tidak menggunakan daya upaya yang keras tidak
disebut ijtihad, melainkan daya nalar biasa, ar-ra’y atau at-tafkir.[4]
Adapun definisi ijtihad secara terminologi cukup beragam dikemukakan oleh
ulama ushul fiqih, namun intinya adalah sama. Sebagai berikut:
1. Ibnu Abd al-Syakur, dari kalangan Hanafiyah mendefinisikannya sebagai:
“Pengerahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan hukum-hukum syara’ sampai
ke tingkat zhanni (dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bisa lagi
berupaya lebih dari itu.”
2. Al-Baidawi (w. 685 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah mendefinisikannya
sebagai: “Pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum
syara’.”
3. Abu Zahra, ahli Ushul Fiqh yang hidup pada awal abab kedua puluh ini
mendefinisikan ijtihad sebagai: “Pengerahan seorang ahli fikih akan kemampuannya
dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu
per satu dalilnya.”[5]
Pada definisi ketiga ini, ditegaskan bahwa pihak yang mengerahkan
kemampuannya itu adalah ahli fikih, yaitu mujtahid, dan tempat menemukan hukum-
hukum itu adalah dalil-dalilnya. Pada definisi pertama dan kedua hal seperti ini tidak
ditegaskan karena dianggap sudah dimaklumi bahwa orang yang akan melakuka ijtihad
itu mestilah ahli fikih atau mujtahid. Demikian pula pada definisi kedua dan ketiga,
tidak ditegaskan bahwa kesimpulan-kesimpulan fikih yang akan ditemukan oleh
kegiatan ijtihad itu hanya sampai ke tingkay zhanni (dugaan kuat), sebagaimana
ditegaskan pada definisi kedua, karena sudah dimaklumi bahwa setiap hasil ijtihad
bobotnya hanya sampai ke tingkat zhanni, tidak sampai ke tingkat yang lebih
meyakinkan.
Abdul Wahhab Khallaf menerangkan ijtihad dalam arti luas yang meliputi
beberapa hal berikut:
a. Pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syarak yang
dikehendaki oleh nas yang zanni dalalahnya.
b. Pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syarak yang amali
dengan menetapkan kaidah syar’iyah kulliyah.
c. Pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syarak yang ‘amali
mengenai masalah yang tidak ditunjuki hukumnya oleh nas dengan sarana-sarana yang
diperbolehkan oleh syarak guna ditetapkan hukumnya. [7]
Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa Ijtihad adalah suatu
pekerjaan yang mempergunakan segala kesanggupan daya rohaniah untuk mendapatkan
hukum syara’ atau menyusun suatu pendapat dari suatu masalah hukum yang bersumber
dari Al Qur’an dan hadis.

B. Dasar Hukum Ijtihad


Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum
Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui
pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya:[8]
1. Firman Allah SWT Q.S. An-Nisa ayat 105
َّ َ‫اس بِ َما أ َ َراك‬
ُ‫ّللا‬ َ َ ‫إِنَّا أ َ ْن َز ْلنَا إِ َل ْيكَ ا ْل ِكت‬
ِ ‫اب بِا ْل َح‬
ِ ‫ق ِلتَحْ ُك َم بَ ْينَ ال َّن‬
Artinya:
“sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi di
antara manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu.”
Dalam ayat tersebut terdapat penetapan ijtihad berdasarkan qiyas.
ٍ ‫ِإنَّ فى ذَا ِلكَ ََل َيا‬
َ‫ت ِلقَ ْو ٍم َيتَفَك َُر ْون‬
Artinya:
“sesungguhnya pada hal itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir”
2. Firman Allah SWT Q.S. An-Nisa ayat 59:
ٍ‫ش ْيء‬ َ ‫از ْعت ُ ْم فِي‬ َ َ‫سو َل َوأُو ِلي ْاْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم ۖ فَ ِإ ْن تَن‬ ُ ‫ِين آ َمنُوا أ َ ِطيعُوا َّللاَ َوأ َ ِطيعُوا الر‬ َ ‫يَا أَيُّهَا الذ‬
َٰ
ُ‫فَ ُردُّوه‬ ُ‫سن‬ َ ْ‫اَّلل َوا ْليَ ْو ِم ْاْل ِخ ِر ۚ ذَ ِلكَ َخي ٌْر َوأَح‬
ِ ‫ون ِب‬ َ ُ‫سو ِل ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم ت ُ ْؤ ِمن‬ ِ ‫ِإلَى‬
ُ ‫َّللا َوالر‬
‫يل‬ ً ‫تَأ ْ ِو‬
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Al-Qur’an
dan sunnah, menurut Ali Hasaballah adalah peringatan agar orang tidak
mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan
Rasul-Nya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadis
dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari Al-Qur’an dan
sunnah Rasulullah, seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan
hukumnya dengan sesuatu yang disebutkan dalam Al-Qur’an karena
persamaan ‘illatnya seperti dalam praktik qiyas (analogi), atau dengan meneliti
kebijaksanaan-kebijaksanaan syariat. Melakukan ijtihad seperti inilah yang
dimaksud mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya seperti yang
dimaksud oleh ayat itu.[9]
3. Adanya keterangan dari sunah, yang membolehkan berijtihad, diantaranya:
Sabda Nabi SAW:
‫أخطأ فلهُ أجْ ر‬ ْ ‫إذَا حكم الحاكم فاجْ تهد فاصاب فله اجران وإذا حكم فاجْ تهد ثـم‬
Artinya:
“Apabila hakim memutuskan hukum dengan berijtihad dan ia menemukan kebenaran
dalam berijtihadnya, maka ia mendapat dua pahala. Jika ia tidak memperoleh
kebenaran dalam ijtihadnya, maka ia memperoleh satu pahala” (H.R.Bukhari dan
Muslim) Falsafat Tasyri’.[10]
Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin Jabal, ketika
Muadz diutus menjadi hakim di Yaman berikut ini:
:َ‫ث ُم َعاذًا ا ِل َي ا ْليَ َم ِن قَال‬ َ َ‫س ْو ُل هللاِ لَ َّما أ َ َرا َد أَ ْن َي ْبع‬
ُ ‫ب ُم َعاذ ب ِْن َجبَ ِل إِنَّ َر‬ ِ ‫ص َحا‬ ْ َ‫ع َْن أُنا َ ٍس ِم ْن ا َ ْه ِل َح َمص ِم ْن أ‬
ُ ِ‫ فَب‬:َ‫ب هللا؟ َقال‬
ُ ‫سنَّ ِة َر‬
‫س ْو ِل‬ ِ ‫ فَ ِإ ْن لَ ْم ت َ ِج ْد ِفي ِكتَا‬:َ‫ قَال‬.ِ‫ب هللا‬ ِ ‫ أ َ ْق ِضى بِ ِكتَا‬:َ‫ض لَكَ َقضَاء؟ َقال‬ َ ‫ض إِذَاع ََر‬ ِ ‫ْف تَ ْق‬َ ‫َكي‬
ِ‫س ْو ُل هللا‬
ُ ‫ب َر‬ َ ُ
َ ‫ فض ََر‬.‫ْئ َو ََلآل ْو‬ َ
ِ ‫ اَجْ ت َ ِه ُد َراي‬:َ‫ب هللاِ؟ قال‬ ِ ‫س ْو ِل هللاِ َو ََل فِي ِكتَا‬ َّ
ُ ‫سن ِة َر‬ َ َ
ُ ‫ ف ِإ ْن ل ْم ت َ ِج ْد ِفي‬:َ‫ قال‬.ِ‫هللا‬ َ
.)‫س ْو ُل هللاِ (رواه ابوداود‬ َ
ُ ‫س ْو ِل هللاِ ل َّما يَ ْرضَي َر‬ ُ ‫س ْو َل َر‬ َّ
ُ ‫ِي َوفقَ َر‬ َّ ِ ‫ ا َ ْل َح ْمد‬:َ‫صد َْرهُ َوقَال‬
ْ ‫ُّلِلِ الَّذ‬ َ
“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa Rasulullah saw.
Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau bertanya: apabila
dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz
menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika
kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan
memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika
kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya
akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz
dengan tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi
petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.”(HR.Abu
Dawud).[11]
Dan hal itu telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi wafat. Mereka selalu
berijtihad jika menemukan suatu masalah baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an
dan Sunnah Rasul.[12]

C. Fungsi Ijtihad
Adapun ijtihad memiliki beberapa fungsi, di antaranya sebagai berikut:
a. Ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan hadis.
b. Ijtihad merupakan sarana untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang
muncul dengan tetap berpegang pada Al-Qur’an dan sunah.
c. Ijtihad berfungsi pula sebagai suatu cara yang di isyariatkan untuk menyesuaiakan
perubahan-perubahan sosial dengan ajaran-ajaran Islam.
d. Ijtihad berfungsi sebagai wadah pencurahan pemikiran kaum muslim dalam mencari
jawaban dari masalah-masalah seperti berikut ini:
1. Masalah asasi, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan ajaran Islam seperti masalah-
masalah bidang akidah dan muamalat.
2. Masalah esensial misalnya mengenai program pembangunan Negara dan bangsa.
3. Masalah incidental misalnya tentang isu-isu yang berkembang dalam
masyarakat.[13]

D. Macam-macam Ijtihad
Dikalangan ulama, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad. Iman
Syafi’I menyamakan ijtihaddengan qiyas, yakni dua macam, tetapi maksudnya satu.
Dia tidak mengakui ra’yu yang didasarkan pada istihsanatau maslahah mursalah.
Sementara itu, para ulama lainnya memiliki pandangan lebih luas tentang ijtihad.
Menurut mereka, ijtihad itu mencakup ra’yu, qiyas, dan akal.
Pemahaman mereka tentang ra’yu sebagaimana yang diungkapkan oleh para
sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahi,
atau setidak-tidaknya mendekati syari’at, tanpa melihat apakah hal itu ada dasarnya atau
tidak. Berdasarkan pendapat tersebut, Dr. Dawalibi membagi ijtihad menjadi kitabAl-
Muwafakat, yaitu:
a. Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash.
b. Ijtihad Aal-qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-
Qur’an dan As-Sunah dengan menggunakan metode qiyas.
c. Ijtihad al-istislah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-
Qur’an dan As-Sunah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.[14]
Pembagian di atas masih belum sempurna, seperti yang diungkapkan oleh
Muhammad Taqiyu al-Hakim dengan mengemukakan beberapa alas an,
diantaranya jami’ wal mani. Menurutnya, ijtihad itu dapat dibagi menjadi dua bagian
saja, yaitu:
1. Ijtihad al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak menggunakan
dalil syara’. Mujtahiddibebaskan untuk berpikir, dengan mengikuti kaidah-kaidah yang
pasti. Misalnya, menjaga kemadaratan, hukuman itu jelek bila tidak disertai penjelasan,
dan lain-lain.
2. Ijtihad syari’, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian
ini adalah ijma’, qiyas, istihsan, Istishlah, ‘urf, istishhab, dan lain-lain.[15]
Ijtihad dilihat dari sisi jumlah pelakunya dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Ijtihad Fardi, menurut al-Thayyib Khuderi al-Sayyid, yaitu ijtihad yang dilakukan
oleh perorangan atau hanya beberapa orang ijtihad. Misalnya, ijtihad yang dilakukan
oleh para iman mujtahid besar: iman Abu Hanifah, Iman Malik, Iman Syafi’I, dan
Ahmad bin Hanbal.
2. Ijtihad Jama’i, adalah apa yang dikenal dengan ijma’ dalam kitab-kitab Ushul Fiqh,
yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad SAW setelah Rasulullah wafat
dalam masalah tertentu. Dalam sejarah Ushul Fiqh, ijtihad jama’I dalam pengertian ini
hanya melibatkan ulama-ulama dalam satu disiplin ilmu, yaitu fikih. Dalam
perkembangannya, apa yang dimaksud dengan ijtihad jama’i, seperti dikemukakan al-
Thayyib Khuderi al-Sayyid, disamping bukan berarti melibatkan seluruh ulama
mujtahid, juga bukan dalam satu disiplin ilmu.[16]

E. Syarat-syarat Ijtihad
Ulama ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat ijtihad atau
syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (orang yang
melakukan ijtihad). Secara umum, pendapat mereka tentang persyaratan
seorangmujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an,
baik menurut bahasa maupun syari’ah. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghafal,
melainkan cukup mengetahui letak-letaknya saja, sehingga memudahkan baginya
apabila ia membutuhkan. Aman Ghazali, Ibnu Arabian, dan Ar-Razi membatasi ayat-
ayat hukum tersebut sebanyak 500 ayat.
2. Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut bahasa maupun
syari’at. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghafal, melainkan cukup mengetahui
letak-letaknya secara pasti, untuk memudahkannya jika ia membutuhkannya. Ibnu
Arabian membatasinya sebanyak 3000 hadis. Menurut Ibnu Hanbal, dasar ilmu yang
berkaitan dengan hadis Nabi berjumlah sekitar 1.200 hadis. Oleh karena itu, pembatasan
tersebut dinilai tidak tepat karena hadis-hadis hukum itu tersebar dalam berbagai kitab
yang berbeda-beda.[17]
Menurut Asy-Syaukani, seorang mujtahid harus mengetahui kitab-kitab yang
menghimpun hadis dan bisa membukanya dengan cepat, misalnya dengan
menggunakan kamus hadis. Selain itu, ia pun harus mengetahui persambungan sanad
dalam hadis.
Sedangkan menurut At-Taftaji, sebaiknya mujtahid mengambil referensi dari
kitab-kitab yang sudah manshyur kesahihannya, seperti Bukhari, Muslim, Baghawi, dan
lain-lain.
3. Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Qur’an dan As-Sunah, supaya tidak salah
dalam menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan harus menghafalnya. Di antara
kitab-kitab yang bisa dijadikan rujukan dalam nasakh danmansukh adalah kitab
karangan Ibnu Khujaimah, Abi Ja’far An-Nuhas, Ibnu Jauzi, Ibnu Hajm, dan lain-lain.
4. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama,
sehingga ijtihad-nya tidak bertentangan dengan ijma’. Kitab yang bisa dijadikan
rujukan di antaranya Kitab Maratibu al-Ijma’.
5. Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratan serta meng-istinbatnya, karenaqiyas
merupakan kaidah dalam berijtihad.
6. Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa,
serta berbagai problematikanya. Hal ini antara lain karena Al-Qur’an dan As-Sunnah
ditulis dengan bahasa Arab. Namun, tidak disyaratkan untuk betul-betul menguasainya
atau menjadi ahlinya, melainkan sekurang-kurangnya mengetahui maksud yang
dikandung dari Al-Qur’an atau Al-Hadis.
7. Mengetahui ilmu Ushul Fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad. Bahkan, menurut
Fakhru Ar-Razi, ilmu yang paling penting dalam ber-ijtihad adalah ilmu Ushul Fiqih
8. Mengetahui maqashidu Asy-Syari’ah (tujuan syari’at) secara umum, karena
bagaimanapun juga syari’at itu berkaitan dengan maqashidu Asy-Syari’ah atau rahasia
disyari’atkannya suatu hukum. Sebaiknya, mengambil rujukan pada istihsan, maslahah
mursalah, urf, dan sebagainya yang menggunakan maqashidu Asy-Syari’ah sebagai
standarnya.
Maksud dari maqashidu al-Syari’ah, antara lain menjaga kemaslahatan manusia
dari menjauhkan dari kemadaratan. Namun, standarnya adalah syara’, bukan kehendak
manusia, karena manusia tidak jarang menganggap yang hak menjadi tidak hak dan
sebaliknya.[18]
Syarat-syarat tersebut diperlukan bagi mujtahid mutlak yang bermaksud
mengadakan ijtihad dalam segala masalah fikih di masa lampau. Dengan perkembangan
ilmu pengetahuan di masa sekarang, syarat-syarat tersebut tentu belum mencukupi.
Untuk melakukan ijtihad, diperlukan pula pemahaman terhadap ilmu pengetahuan
secara umum dan segala cabangnya. Akan tetapi, usaha itu bukanlah suatu hal yang
mudah dan memerlukan kerja keras dan keseriusan. Ijtihad yang dilakukan secara
kolektif sangat membantu untuk melakukan ijtihad yang efektif.[19]

F. Tingkatan Mujtahid
Dalam menbicarakan masakah tingkatan ijtihad, tidak terlepas dari perbedaan
pendapat di kalangan para ulama ushul tentang telah tertutupnya menurut pintu ijtihad.
Menurut As-Suyuthi “Umat sekarang (pada zamannya) telah terjebak pada
pemikiran bahwa mujtahid mutlaqitu sudah tidak ada lagi dan yang ada sekarang
hanyalah mujtahid muqayyad. Pernyataan seperti itu adalah salah besar dan tidak sesuai
dengan pendapat para ulama. Mereka tidak mengetahui apa sebenarnya perbedaan
antaramujtahid mutlaq, mujtahid muqayyad, dan mujtahid muntasib yang semuanya
berbeda.[20]
Dilihat dari luas atau sempitnya cakupan bidang ilmu yang diijtihadkan,
tingkatan mujtahid terdiri atas mujtahid fisy syar’i, mujtahid fil masa’il, mujtahid fil
mazhab, dan mujtahid muqayyad.
a. Mujtahid Fisy Syar’i
Mujtahid fisy syar’I adalah orang-orang yang berkemampuan mengijtihadkan
seluruh masalah syariat yang hasilnya diikuti dan dijadikan pedoman oleh orang-orang
yang tidak sanggup berijtihad. Merekalah yang membangun mazhab-mazhab tertentu.
Ijtihad yang mereka lakukan semata-mata hasil usahanya sendiri tanpa mengambil
pendapat orang lain. Oleh karena itu, mereka disebut dengan mujtahid mustaqil (berdiri
sendiri). Mereka yang termasuk mujtahid fisy syar’i antara lain Imam Hanafi, Iman
Malik, Iman Syafi’i Iman Ahmad bin Hambal, Iman Al Auza’i dan Ja’far As Siddiq.
b. Mujtahid Fil Masa’il
Mujtahid fil masa’i adalah mujtahid yang mengarahkan ijtihadnya kepada
masalah tertentu dari suatu mazhab, bukan kepada dasar-dasar pokok yang bersifat
umum. Misalnya, At Tahawi merupakan mujtahid dalammazhab Hanafi, Imam Al
Gazali merupakan mujtahid dalam mazhab Syafi’i, dan Al Khiraqi merupakan mujtahid
dalam mazhab Hambali.
c. Mujtahid Fil Mazhab
Mujtahid yang ijtihadnya tidak sampai membentuk mazhab tersendiri. Akan
tetapi, mereka cukup mengikuti salah seorang imam mazhab yang telah ada dengan
beberapa perbedaan, baik dalam beberapa masalah yang utama maupun dalam beberapa
masalah cabang. Misalnya, Imam Abu Yusuf dan Muhammad Ubnul Hasan adalah
mujtahid fil mazhab Hanafi dan Imam Al Muzanniy adalah mujtahid fil mazhab Syafi’i.
d. Mujtahid Muqayyad
Mujtahid muqayyad adalah mujtahid yang mengikatkan diri dan menganut
pendapat-pendapat ulama salaf dengan mengetahui sumber-sumber hukum dan
dalalah-dalalahnya. Mereka mampu menetapkan pendapat yang lebih utama di antara
pendapat yang berbeda-beda dalam suatu mazhab dan dapat membedakan antara
riwayat yang kuat dan yang lemah. Mereka adalah Al Karakhi yang merupakan
mujtahid dalam mazhab Hanafi serta Ar Rafi’i dan An Nawawi yang merupakan
mujtahid dalam mazhab Syafi’i.[21]
G. Objek Ijtihad
Menurut Al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak
memiliki dalil yang qathi’. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang
tidak bisa dijadikan objek ijtihad.
Dengan demikian, syari’at Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam
dua bagian:
1. Syari’at yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah
dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil
yang qathi’, seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji, atau
haramnya melakukan zina, mencuri, dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan
hukumnya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunah.
Kewajiban shalat dan zakat berdasarkan firman Allah SWT.
….َ‫الزكَاة‬ َّ ‫َوأَقِي ُموا ال‬
َّ ‫ص ََلةَ َوآتُوا‬
Artinya:
“Dan dirikanlah shalat tunaikanlah zakat….” (Q.S. An-Nur ayat 56)
Ayat tersebut tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad untuk mengetahui maksud
shalat.
2. Syari’at yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada
dalil-dalil yang bersifat zhanni,baik maksudnya, petunjuknya, ataupun
eksistensinya (tsubut), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya danijma’ para
ulama.[22]
Apabila ada nash yang keberadaanya masih zhanni, hadis ahad misalnya, maka
yang menjadi lapangan ijtihad di antaranya adalah meneliti bagaimana sanadnya,
derajat para perawinya, dan lain-lain.
Dan nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi lapangan ijtihad,
antara lain bagaimana maksud dari nash tersebut, misalnya dengan memakai kaidah
‘am, khas, mutlaq muqayyad, dan lain-lain.
Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nashnya, maka yang menjadi
lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari
akal, seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan lain-lain. Namun, permasalahan
ini banyak diperdebatkan di kalangan para ulama.[23]
H. Hukum Melakukan Ijtihad
Menurut para ulama, bagi seseorang yang sudah memenuhi persyaratan ijtihad
di atas, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut berkenaan dengan
ijtihad, yaitu:
a. Orang tersebut dihukumi fardu ain untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang
menimpa dirinya, dan harus mengamalkan hasil dari ijtihad-nua dan tidak boleh taqliq
kepada orang lain. Karena hukum ijtihad itu sama dengan hukum Allah terhadap
permasalahan yang ia yakini bahwa itu termasuk hukum Allah.
b. Juga dihukumi fardu ‘ain ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada
hukumnya. Karena jika tidak segera dijawab, dikhawatirkan akan terjadi kesalahan
dalam melaksanakan hukum tersebut atau habis waktunya dalam mengetahui kejadian
tersebut.
c. Dihukumi fardu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak
dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada orang lainselain dirinya yang sama-sama
memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid.
d. Dihukumi sunah apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya
ataupun tidak.
e. Dihukumi haram apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan
secara qathi’, sehingga hasil ijtihadnya itu bertentangan dengan dalil syara’.[24]
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan
berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk
menggali dan mengetahui hukum Islam. Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya
pemenuhan kebutuhan akan hukum karena permasalahan manusia semakin hari
semakin kompleks di mana membutuhkan hukum Islam sebagai solusi terhadap
problematika tersebut. Ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan
Al-hadits yang mendapatkan legitimasi dari keduanya. Sebenarnya ijtihad bukanlah
suatu yang baru, melainkan sudah ada pada masa Rasulullah. Hal ini sudah dilakukan
oleh Nabi, sahabat, tabi’in dan para ulama klasik, namun tidak sembarangan orang
diperbolehkan untuk melakukan ijtihad, akan tetapi harus memenuhi criteria tertentu.
Melakukan ijtihad bagi seorang mujtahid dapat mencapai hukum wajib ain,
fardhu kifayah, dan sunnat. Adapun untuk menjadi mujtahid disyaratkan memiliki
pengetahuan dan pemahaman tentang Al-Quran dan As-Sunnah dari berbagai aspeknya,
memahami masalah yang sudah disepakati ulama, memahami bahasa Arab, dan
mengetahui ushul fiqh.
Mujtahid dibedakan pada mujtahid mutlaq dan mujtahid muntasib. Pendekatan
dalam ijtihad dilakukan dengan ijma, qiyas, maslahat, istihsan, istishab, syaru’ man
qablana, dilalah iqtiran, sadudzarai’, madzhab sahabi, ‘urf, ta’adul dan tarjih.

B. Saran
Para pembaca hendaknya memahami betul masalah-masalah mengenai ijtihad.
Karena dengan ijtihad seseorang mampu menetapkan hukum syara' dengan jalan
menentukan dari kitab dan sunnah.

DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Maha Pemurah dan Lagi
Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
yang telah melimpahkan Hidayah, Inayah dan Rahmat-Nya sehingga kami mampu
menyelesaikan penyusunan makalah pendidikan agama islam dengan judul
“Memahami Pentingnya Membaca Al-Qur’an” tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah sudah kami lakukan semaksimal mungkin dengan dukungan dari
banyak pihak, sehingga bisa memudahkan dalam penyusunannya. Untuk itu kami pun
tidak lupa mengucapkan terima kasih dari berbagai pihak yang sudah membantu kami
dalam rangka menyelesaikan makalah ini.

Tetapi tidak lepas dari semua itu, kami sadar sepenuhnya bahwa dalam makalah ini
masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa serta aspek-aspek
lainnya. Maka dari itu, dengan lapang dada kami membuka seluas-luasnya pintu bagi
para pembaca yang ingin memberikan kritik ataupun sarannya demi penyempurnaan
makalah ini.

Akhirnya penyusun sangat berharap semoga dari makalah yang sederhana ini bisa
bermanfaat dan juga besar keinginan kami bisa menginspirasi para pembaca untuk
mengangkat berbagai permasalah lainnya yang masih berhubungan pada makalah-
makalah berikutnya.

Pamulang, 29 September 2018


IJTIHAD
Dosen : Yenny Merinatul Hasanah

Disusun Oleh :
1. Ahmad Firdaus : 181011400397
2. Regi Maulana Akbar : 181011400
3.

PROGRAM STUDI : AGMA ISLAM


FAKULTAS : TEKNIK INFORMATIKA
UNIVERSITAS PAMULANG
2018/2019

Anda mungkin juga menyukai