Anda di halaman 1dari 7

PROLOGUE

Sapardi Djoko Damono KATA


Subagyo Sastrowardoyo
masih terdengar sampai di sini
duka-Mu abadi. Malam pun sesaat terhenti Asal mula adalah kata
sewaktu dingin pun terdiam, di luar Jagat tersusun dari kata
langit yang membayang samar Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi
kueja setia, semua pun yang sempat tiba Kita takut kepada momok karena kata
sehabis menempuh ladang Kain dan bukit Golgota Kita cinta kepada bumi karena kata
sehabis menyekap beribu kata, di sini Kita percaya kepada Tuhan karena kata
di rongga-rongga yang mengecil ini Nasib terperangkap dalam kata
Karena itu aku
kusapa duka-Mu jua, yang dahulu bersembunyi di belakang kata
yang meniupkan zarah ruang dan waktu Dan menenggelamkan
yang capai menyusun Huruf. Dan terbaca: diri tanpa sisa
sepi manusia, jelaga

Rumpun Alang-alang
WS Rendra SERATUS JUTA
Taufik Ismail
Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak kulupakan, sayang
Kerna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang Umat miskin dan penganggur berdiri hari ini
Di hatiku alang-alang menancapkan akar-akarnya yang gatal Seratus juta banyaknya
Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal Di tengah mereka tak tahu akan berbuat apa
Kini kutundukkan kepala, karena
Gelap dan bergoyang ia Ada sesuatu besar luar biasa
dan ia pun berbunga dosa Hilang terasa dari rongga dada
Engkau tetap yang punya Saudaraku yang sirna nafkah, tanpa kerja
tapi alang-alang tumbuh di dada berdiri hari ini
Seratus juta banyaknya
Kita mesti berbuat sesuatu, betapun sukarnya.
HUH RAMBUT HUJAN
Zainuddin Tamir Koto Beno Siang Pamungkas

kucoba mengintip kelam petir dan gelap


dari cahaya lilin bercermin di buram rambut hujan
sia sia
petir tunggal menggelepar november, di kotamu yang berkeringat,
aku bagai debu masih adakah sebuah ruang
menerawang angkasa bagi kenangan manis, kangen yang telipat
sejuta mata menatap kepadaku serta cinta yang terlambat?
yang bersembunyi
di belakang cahaya lilin bila ragu, atau tak tega, jangan ucapkan jawabanmu
kucoba lagi mengintip kelam berikan saja isyarat yang dulu kita sepakati
rembulan menyilau mataku sehingga aku tak malu dan cukup waktu,
angin pun rebah guna berkemas dan menghibur diri
dan desauan daun daun sambil menyumpah betapa bodohnya dirimu!
jadi diam
ditelan kelam
DARI BENTANGAN LANGIT
Emha Ainun Najib
Gerimis Mayat
Slamet Rahardjo Rais Dari bentangan langit yang semu
Ia, kemarau itu, datang kepadamu
cakrawala melumat dirinya menjadi mayat Tumbuh perlahan. Berhembus amat panjang
mengintai dan memucat Menyapu lautan. Mengekal tanah berbongkahan
menjadi segerombolan ulat membelanjakan menyapu hutan !
mimpi-mimpi memakmurkan luas negeri Mengekal tanah berbongkahan !
dalam gerimis hutan gemuruh kota datang kepadamu, Ia, kemarau itu
spanduk meminjam pesta rakyat dari Tuhan, yang senantia diam
ketika memanjati menara dalam sebuah jubah dari tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa
yang senyap. Yang tak menoleh barang sekejap.
daun-daun peradaban menerima kabut
di dalamnya halte-halte
ruang tunggu yang menyerah
sebagai kalimat harap letih kecemasan
AKU BERADA KEMBALI
PRAJURIT JAGA MALAM Karya : Chairil Anwar
Karya : Chairil Anwar
Aku berada kembali. Banyak yang asing:
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ? air mengalir tukar warna,kapal kapal,
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras, elang-elang
bermata tajam serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya rasa laut telah berubah dan kupunya wajah
kepastian juga disinari matari lain.
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini Hanya
Aku suka pada mereka yang berani hidup Kelengangan tinggal tetap saja.
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam Lebih lengang aku di kelok-kelok jalan;
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu...... lebih lengang pula ketika berada antara
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ! yang mengharap dan yang melepas.
Telinga kiri masih terpaling
ditarik gelisah yang sebentar-sebentar
seterang
guruh
Memang selalu demikian, Hadi
Karya: Taufiq Ismail 1949

Setiap perjuangan selalu melahirkan


Sejumlah pengkhianat dan para penjilat
Jangan kau gusar, Hadi
Setiap perjuangan selalu menghadapkan kita
Pada kaum yang bimbang menghadapi gelombang
Jangan kau kecewa, Hadi
Setiap perjuangan yang akan menang
Selalu mendatangkan pahlawan jadi-jadian
Dan para jagoan kesiangan
Memang demikianlah halnya, Hadi
LUKISAN BERWARNA PENYAIR KECIL
Karya: Joko Pinurbo Karya: Joko Pinurbo
untuk Andreas dan Dorothea untuk Nur

Hujan beratus warna Penyair kecil itu sangat sibuk merangkai-rangkai kata
tumpah di hamparan kanvas senja. dan dengan berbagai cara menyusunnya menjadi
sebuah rumah yang akan dipersembahkan kepada ibunya.
Pohon-pohon bersorak gembira “Kita belum punya rumah kan, Bu. Nah, Ibu tidur saja
sebab dari ranting-rantingnya yang sakit di dalam rumah buatanku. Aku akan berjaga di teras
kuncup jua daun-daun beratus warna. semalaman dan semuanya akan aman-aman saja.”

Burung-burung bernyanyi riang, Ketika kau bangun di subuh yang hening itu, kau tertawa
terbang riuh dari dahan ke dahan melihat penyair-kecilmu tertidur kedinginan
dengan sayap beratus warna. di teras rumahnya, ditunggui Donald dan Bobo,
pengawal-pengawalnya yang setia.
Dua malaikat kecil menganyam cahaya, (2002)
membentangkan bianglala
di bawah langit beratus warna.

Airmata beratus warna kautumpahkan


ke celah-celah sunyi
yang belum sempat tersentuh warna.
(2002)
MATAAIR MAUT DAN WAKTU
Karya: Joko Pinurbo Karya: Abdul Hadi WM
Di musim kemarau semua sumber air di desa itu mengering. Kata maut: Sesungguhnya akulah yang memperdayamu pergi mengembara
Perempuan-perempuan legam berbondong-bondong menggendong sampai tak ingat rumah
gentong menyusuri gurun-gurun dan lembah ke luarmasuk ruang-ruang kosong jagad raya
menuju sebuah sendang di bawah pohon beringin di celah bebukitan. mencari suara
Tawa mereka yang renyah menggema nyaring di dinding-dinding tebing, merdu Nabi Daud yang kusembunyikan sejak berabad-abad lamanya
pecah di padang-padang gersang.

Setelah berjalan lima kilometer jauhnya, mereka pun sampai di mataair Tidak, jawab waktu, akulah yang justru memperdayamu sejak hari pertama Qabi
yang tak pernah mati itu. Mereka ramai-ramai menuai air membuncah- kusuruh membujukmu
buncah, memberi umpan lezat yang tak pernah menge-nyangkan hingga kau pun tergiur
menuai airmata yang mereka tanam di ladang-ladang karang. ingin lagi dan
ingin lagi sampai gelisah dari zaman ke zaman mencari-cari nyawa Habil yang
Bulan sering turun ke sendang itu, menemani gadis kecil kau kira fana
yang suka mandi sendirian di situ. Langit sangat bahagia mengembara ke pelosok-pelosok dunia bagaikan Don Kisot yang malang
tapi belum ingin meneteskan airmata. Nanti, jika musim hujan tiba,
langit akan memandikan gadis kecil itu dengan airmatanya.
(2002) 1974

RAMA-RAMA
Karya: Abdul Hadi WM
rama-rama, aku ingin rasamu yang hangat
meraba cahaya
terbanglah jangan ke bunga, tapi ke laut
menjelmalah kembang di karang

rama-rama, aku ingin rasamu yang hangat


di rambutmu jari-jari matahari yang dingin
kadang mengembuni mata, kadang pikiran
melimpahinya dengan salju dan hutan yang lebat

1974
EPISODE BAHKAN
Karya: Abdul Hadi WM Karya: Abdul Hadi WM

Ombak-ombak ini tidak perih, tidak enggan Bahkan jarum jam pun hanya mengulang
merendam ketam-ketam, sinar keong andai detiknya bukan kejemuan, kau tangkap
Pun tidak percuma menungging awam keluh bumi seperti anak yang tak habis berharap
yang kadang kala murung dekat pencakar dan mata kecilnya yang gelisah
memandang laut hanya dunia garam dan ikan-ikan
Lentera-lentera kapal yang merah keabuan
kadang seperti mata kanak-kanak Bayang-bayangmu juga
yang melahirkan dongengan (malam yang susut karena lampu di pelupukmu padam
menyebrangi selat dan) melemparkan Lebih menjemukan dari rembang petang
biji-biji anggrek di sana Tapi berangkatlah!
Di seberang gelombang mungkin udara terang
Dan kadang: antara kelam, tidur aku!
Perahu-perahu yang dulu membawamu itu 1976
dalam pelayaran panjang dan telah balik lagi
dengan layar-layar dari dukaku yang pulang ANAK
enggan Karya: Abdul Hadi WM

1973 Anak ingin menangkap gelombang


rambutnya memutih seketika

Ia mengerti laut dalam


tapi tak tahu di mana suaranya terpendam

Ketika angin berhembus


bahkan dahan-dahan pun diam

Ketika air surut


bahkan pasang pun tak karam

Ketika tidur merenggut


di langit tak sebutir bintang

1975
BELAJARLAH PADA ALAM

Karya: Gola Gong

Belajarlah pada embun, tak pernah mengutuk matahari Kebanyakan puisi dikopi dari laman http://www.jendelasastra.com
Yang menjadikannya tiada, walau denyut masih panjang.
Sementara dinding-dindingku terbatas oleh hari
Melulu umpatan ketidakpastian yang lengang.
Belajarlah pada ikan, yang mengabdi pada nelayan
Yang membuatnya bermakna, walau terbelenggu
Kemiskinan.
Sementara kitab-kitab dan kisah nabi lelah kita baca
Menjadikan Alif bata terbentur ke dunia kaca.
Belajarlah pada katak, tak capek memanggili hujan
Walau diburu dan berujung di meja-meja restoran.
Sementara aku darah daging Illahi, belajar pada
Rahasia alam
Menjadikanku ada, tak lepas dari sujud malam.

Anda mungkin juga menyukai