Anda di halaman 1dari 15

PENGARUH AERASI TERHADAP BIOKONVERSI XILOSA DARI

HIDROLISAT ECENG GONDOK MENJADI XILITOL OLEH


Debaryomyces hansenii
Marvi Nurjanah, Herman Suryadi, Arry Yanuar
Program Studi Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia

ABSTRAK
Xilitol merupakan senyawa gula polialkohol dengan lima atom karbon. Senyawa tersebut
memiliki banyak manfaat dan telah digunakan secara luas dalam industri makanan, farmasi,
dan kesehatan. Sumber karbon yang berlimpah seperti lignoselulosa dapat dimanfaatkan
untuk produksi xilitol. Salah satu sumber karbon yang potensial dan prevalensinya tinggi di
Indonesia adalah eceng gondok. Tanaman ini dikenal sebagai gulma dan kurang dimanfaatkan
oleh masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah pemanfaatan hidrolisat eceng gondok
sebagai substrat dalam biokonversi xilosa menjadi xilitol oleh sel khamir Debaryomyces
hansenii. Tahapan pengerjaan meliputi hidrolisis eceng gondok menggunakan asam oksalat
dan optimasi kondisi aerasi. Kondisi optimum produksi xilitol oleh Debaryomyces hansenii
dicapai dengan waktu kultivasi selama empat hari pada kondisi aerasi terbatas. Kondisi
tersebut menghasilkan yield value terhadap xilosa sebesar 48,68%.
Kata kunci : asam oksalat, Debaryomyces hansenii, eceng gondok, fermentasi, xilitol

Xylitol is a five-carbon polyol sugar. It has many healthy benefits and is widely used in food,
pharmaceutical, and healthcare. Sources with abundant carbon such as lignocellulose can be
used for xylitol production. One of the potencial sources with high prevalency in Indonesia is
water hyacinth. It is known as weeds and has not been fully utilized by people. The aim of
this research was the utilization of water hyacinth hydrolysate as a substrate in the
bioconversion of xylose into xylitol by Debaryomyces hansenii yeast. Stages of processing
include water hyacinth hydrolysis using oxalic acid and optimization of aeration condition.
The optimum condition for xylitol production by Debaryomyces hansenii was achieved by
four day cultivation with limited aeration condition. The yield value obtained was 48.68%
against xylose used.
Key words : oxalic acid, Debaryomyces hansenii, water hyacinth, fermentation, xylitol

1. Latar Belakang
Xilitol merupakan senyawa gula polialkohol dengan lima atom karbon. Xilitol
memiliki banyak manfaat dan telah digunakan secara luas dalam industri makanan, farmasi,
dan kesehatan. Xilitol bersifat antikariogenik sehingga banyak dimanfaatkan untuk kesehatan
mulut dan pencegahan karies gigi [1]. Salah satu pemaanfaatan xilitol yang banyak dijumpai
yaitu pada produk pasta gigi dan permen. Xilitol memiliki tingkat kemanisan yang hampir
setara dengan sukrosa tetapi memiliki tingkat kalori sebesar 2,4 kal/g, lebih rendah
dibandingkan dengan sukrosa yang sebesar 4 kal/g [2] dan telah digunakan sebagai pengganti
gula, terutama pada orang yang dengan diet gula rendah atau pada penderita diabetes.

Sumber karbon yang berlimpah seperti lignoselulosa dapat dimanfaatkan untuk


produksi xilitol. Salah satu sumber karbon yang potensial di Indonesia adalah eceng gondok.

Pengaruh aerasi …, Marvi Nurjanah, Ffarmasi UI, 2013


Eceng gondok merupakan tanaman air yang prevalensinya cukup tinggi di negara tropis
seperti Indonesia. Tanaman ini dikenal sebagai gulma atau tanaman pengganggu.
Pertumbuhan eceng gondok sangat pesat sehingga dapat menyebabkan masalah lingkungan.
Tanaman ini kurang dimaanfaatkan oleh masyarakat, pada umumnya eceng gondok yang
tumbuh di air dibuang atau dibakar, padahal tanaman ini memiliki kandungan hemiselulosa
30 - 55% dari bobot kering [3] sehingga dapat dimaanfaatkan untuk produksi xilitol.

Fermentasi menggunakan mikroorganisme menjadi suatu alternatif untuk


memproduksi xilitol. Debaryomyces hansenii merupakan salah satu khamir yang memiliki
kemampuan yang baik dalam memproduksi xilitol [4,5]. Pada penelitian ini, hidrolisat eceng
gondok dimanfaatkan untuk digunakan sebagai substrat dalam proses fermentasi produksi
xilitol menggunakan Debaryomyces hansenii UICC Y-276. Selain itu, pengaruh kondisi
aerasi dalam biokonversi xilosa dari hidrolisat eceng gondok menjadi xilitol dengan
menggunakan Debaryomyces hansenii UICC Y-276 akan diteliti lebih lanjut.

2. Tinjauan Teoritis
2.1 Xilitol
Xilitol merupakan senyawa gula polialkohol dengan lima atom karbon. Senyawa ini
secara luas digunakan pada industri makanan dan kimia. Xilitol memiliki sifat antikariogenik,
menguatkan gigi, dan remineralisasi gigi [6]. Xilitol terdapat pada berbagai macam buah dan
sayuran seperti raspberry, strawberry, jamur, kembang kol, jagung, anggur, dan pisang dalam
jumlah yang sangat kecil [7,8].

Xilitol telah digunakan sebagai bahan tambahan makanan dan pemanis untuk
menggantikan sukrosa, serta digunakan pada permen karet, mint, dan pasta gigi karena
maanfaat klinisnya. Xilitol telah menarik perhatian karena potensialnya yang memiliki tingkat
kemanisan yang hampir sama dengan sukrosa. Namun, mengandung kalori yang lebih rendah
yaitu 2,4 kal/g dibandingkan dengan sukrosa 4,0 kal/g [2].

2.2 Produksi Xilitol


Xilitol terdapat secara alami dengan jumlah yang kecil dalam berbagai macam sayur
dan buah. Namun, ekstraksi dari sumber tersebut dianggap tidak komersial. Produksi secara
kimiawi melalui hidrogenisasi katalitik D-xilosa yang didapatkan dari hidrolisis hemiselulosa
dengan bantuan katalis logam pada suhu 80-140 oC dan tekanan 50 atm [8,9].

Pengaruh aerasi …, Marvi Nurjanah, Ffarmasi UI, 2013


Xilan dikonversi menjadi xilosa melalui hidrolisis dan kemudian dihidrogenasi
menjadi xilitol. Xilitol kemudian dimurnikan dan dikristalisasi. Sebagai fraksi hemiselulosa
yang mengandung gula lainnya, dibutuhkan pemurnian yang intensif untuk didapatkan xilitol
yang murni. Produksi xilitol secara kimiawi relatif mahal karena proses pemurnian yang
berulang-ulang serta prosesnya dibutuhkan tekanan yang tinggi. Sejak saat itu dikembangkan
produksi xilitol yang lebih ekonomis dengan menggunakan mikroorganisme [1,8].

Produksi xilitol secara bioteknologi melalui proses fermentasi memanfaatkan bakteri,


kapang, dan khamir untuk mengkonversi xilosa menjadi xilitol. Proses secara bioteknologi ini
memiliki beberapa keuntungan yaitu reaksi reduksinya selektif terhadap xilosa. Reaksinya
berlangsung pada suhu dan tekanan yang rendah, biayanya murah karena berasal dari
mikroorganisme [2,8].

Pada bakteri, konversi D-xilosa menjadi D-xilulosa dikatalisis oleh xilosa isomerase
secara langsung. Xilosa isomerase juga ditemukan pada C. boidinii, Malbranchea pulchella,
and Meurospora crassa. Pada sebagian besar jamur dan khamir, konversi D-xilosa menjadi
D-xilulosa membutuhkan dua tahap. Pertama, D-xilosa direduksi menjadi xilitol oleh NADH-
atau NADPH-dependent xilosa reduktase. Xilitol ini kemudian disekresikan sebagai metabolit
atau dioksidasi lebih lanjut menjadi D-xilulosa oleh NAD- atau NADP-dependent xilitol
dehidrogenase [7].

Pengaruh aerasi …, Marvi Nurjanah, Ffarmasi UI, 2013


 

Gambar 2.1 Jalur metabolisme D-xilosa pada khamir [10], telah diolah kembali

2.3 Eceng Gondok

Gambar 2.2 Eceng gondok [11]

Pengaruh aerasi …, Marvi Nurjanah, Ffarmasi UI, 2013


Eceng gondok atau yang dikenal dengan nama latin Eichhornia crassipes merupakan
tanaman invasif yang dapat menyebabkan masalah lingkungan. Tanaman ini pertama kali
ditemukan pada tahun 1983 oleh C. Von Martius yang sedang mempelajari flora Brazil. Pada
saat ini eceng gondok tersebar pada daerah tropis dan subtropis karena aktivitas manusia
pada jaman dahulu. Masalah utama pada eceng gondok adalah karena tingkat
pertumbuhannya yang cepat, kemampuannya yang unggul dalam bersaing dengan tanaman air
lainnya, serta kemudahan propagasi [11].

Gambar 2.5 Penyebaran eceng gondok [11]

Eceng gondok merupakan tanaman yang prevalensinya tinggi di Indonesia yang


dikenal sebagai gulma. Eceng gondok kurang dimanfaatkan oleh masyarakat. Namun,
tanaman ini memiliki beberapa aplikasi seperti produksi kertas, kerajinan tangan, dan tali
[12]. Tanaman ini memiliki kandungan hemiselulosa 30-55% dari bobot kering [3], sehingga
dapat dimaanfaatkan untuk produksi xilitol. Komposisi rata-rata eceng gondok dapat dilihat
dari Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komposisi rata-rata eceng gondok [3], telah diolah kembali

Kandungan % dari berat basah


Total padatan 5,0 – 7,6
Kelembaban 92,8 – 95,0
Padatan yang menguap (% dari total padatan) 4,2 – 6,1 (89,0 – 82,0)
Komponen organik (% dari total padatan)
Hemiselulosa 48,70 ± 0,027
Selulosa 18,20 ± 0,012
Lignin 3,50 ± 0,004
Protein kasar 13,30 ± 0,020

Pengaruh aerasi …, Marvi Nurjanah, Ffarmasi UI, 2013


2.4 Hidrolisis
Hidrolisis merupakan pemecahan molekul besar menjadi molekul yang lebih kecil
dengan penambahan molekul air. Polisakarida akan terbentuk menjadi monomer-monomer
penyusunnya melalui proses hidrolisis. Untuk mempercepat hidrolisis, ditambahkan senyawa
lain sebagai katalis yaitu berupa asam, basa, atau enzim [13].

Hidrolisis kimia dengan menambahkan asam pada lignoselulosa selama periode dan
temperatur tertentu, menghasilkan monomer gula dari selulosa dan hemiselulosa. Hidrolisis
sempurna dari selulosa menghasilkan glukosa, sedangkan hemiselulosa mengasilkan pentosa
dan heksosa. Hemiselulosa sebagian besar terdiri dari manosa sehingga gula yang dihasilkan
paling banyak umumnya xilosa [14].

Asam yang umumnya digunakan untuk hidrolisis lignoselulosa adalah asam sulfat,
asam klorida, dan asam nitrat. Proses hidrolisis dengan menggunakan asam sulfat ada dua
cara, pertama dengan menggunakan asam sulfat konsentrasi tinggi pada suhu rendah dan yang
kedua dengan menggunakan asam sulfat encer yang beroperasi pada suhu yang tinggi. Cara
kedua merupakan cara yang paling umum digunakan tetapi menghasilkan produk samping
yang relatif besar [15]. Produk samping tersebut yaitu senyawa furfural, fenolat, dan asam
asetat [16].

Penelitian yang dilakukan oleh Lee dan Jeffries [17] yaitu membandingkan efek
penggunaan katalis asam pada hidrolisis lignoselulosa seperti asam sulfat, asam maleat, dan
sam oksalat. Asam maleat dan asam oksalat mampu menghasilkan monomer gula yang lebih
banyak daripada oligomer dan meninggalkan residu yang lebih sedikit dari fraksi selulosa, hal
itu berarti asam dikarboksilat sangat selektif untuk hemiselulosa.

2.5 Debaryomyces hansenii


Debaryomyces hansenii dapat ditemukan di habitat dengan aktivitas air yang rendah,
seperti air laut. Selain itu juga dapat diisolasi dari keju, daging, anggur, bir, buah dan tanah.
D.hansenii merupakan salah satu khamir berminyak dengan akumulasi lipid mencapai 70%
dari biomassa dan metabolismenya didominasi oleh jalur metabolisme lipid. D.hansenii
sangat heterogen, seperti variasi kemampuan untuk mengasimilasi dan memfermentasi
berbagai sumber karbon, perbedaan aktivitas ekspresi protease dan lipase serta kondisi
pertumbuhan yang optimal. Untuk mengkonversi xilosa menjadi xilitol, D.hansenii telah

Pengaruh aerasi …, Marvi Nurjanah, Ffarmasi UI, 2013


dimanfaatkan selama beberapa dekade. Jumlah hasil biokonversi oleh D. hansenii didapatkan
mirip atau lebih besar dibandingkan produsen xilitol lain yang sering digunakan seperti
Candida sp, C. guilliermondii, dan C. parasilosis [20].

2.6 Media Fermentasi


Komposisi media yang digunakan untuk kultivasi mikroorganisme merupakan sesuatu
yang penting baik untuk skala laboratorium maupun untuk proses fermentasi skala industri.
Hal tersebut dapat berdampak pada hasil analisis galur dan kinerja galur. Pada skala
laboratorium, relatif mudah untuh menumbuhkan pada media kultur yang kompleks seperti
malt extract atau potato dextrose agar (PDA). Keduanya kaya akan karbon dan berada pada
rentang pH asam. Media kultivasi didesain untuk merefleksikan komposisi utama dan
kapasitas biosintetik pada sel mikroba. Ketika komposisi utamanya relatif sama, kapasitas
biosintesis mikroba dapat sangat berbeda [22].

Komponen-komponen yang penting pada media kultivasi antara lain:

1. Sumber karbon
Sumber karbon dibutuhkan untuk menyediakan energi untuk sel sekaligus
menjadi materi pertumbuhan dan materi sintesis metabolit primer dan sekunder.
2. Sumber nitrogen
Sumber nitrogen dibutuhkan untuk tumbuh dan mensintesis komponen seperti
protein dan asam nukleat. Jumlah nitrogen dalam media akan menentukan biomassa
yang akan didapatkan untuk beberapa jenis sel.
3. Substrat lain
Komponen penting lain yang digunakan untuk sel tumbuh dan berfungsi secara
sesuai seperti garam-garam anorganik [23].

Trace element atau mikronutrien merupakan komponen-komponen lain yang dapat


ditambahkan. Hal tersebut berkaitan dengan aktivitas enzim sebagai katalis dan juga
pertumbuhan sel. Beberapa sel tidak dapat membuat faktor pertumbuhannya sehingga media
yang digunakan harus ditambahkan faktor pertumbuhan yang diperlukan. Kedua komponen
ini ditambahkan ke dalam media dalam jumlah kecil [23,24]

Untuk media kultivasi khamir, pada umumnya yang paling sering digunakan adalah
Yeast Extract-Peptone (YP). YP adalah medium yang terbuat dari ektrak khamir dan pepton.

Pengaruh aerasi …, Marvi Nurjanah, Ffarmasi UI, 2013


Medium ini mengandung semua komponen yang dibutuhkan untuk propagasi sel termasuk zat
untuk biosintesis dan sering digunakan pada fase inisial fermentasi dimana diperlukan
inokulum dalam jumlah besar [22].

2.7 Metode Analisis Xilosa dan Xilitol Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
Metode analisis xilosa dan xilitol secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
menggunakan kolom yang cocok untuk pemisahan diikuti dengan deteksi spesifik pemisahan
senyawa secara individual. Berbagai jenis kolom telah digunakan untuk pemisahan D-xilitol
dari karbohidrat dan poliol gula lainnya antara lain kolom amino-based carbohydrate, kolom
asam organik HPX-87H, kolom TSK amide 80 dan kolom ion-exclusion. Berbagai jenis
metode deteksi, antara lain deteksi Ultra-Violet (UV), deteksi elektrokimia, deteksi reflective
index (RI), dan deteksi evaporative light-scattering (ELS) digunakan untuk metode secara
KCKT. D-xilitol tidak memiliki gugus kromofor yang dibutuhkan untuk deteksi dengan UV.
Sehingga, metode deteksi KCKT yang kurang sensitif seperti reflective index (RI) dan
evaporative light-scattering (ELS) adalah yang paling sering digunakan. Batas deteksi dan
sensitifitas tergantuk pada jenis detektor. Metode deteksi RI dan ELS memiliki batas antara
0.05 - 1.2 µg/injeksi. Metode deteksi amperometric dapat juga digunakan secara efisien ketika
digunakan dengan kromatografi ion menggunakan kolom Dionex dan pH fase gerak lebih dari
12 [7].

3. Metode Penelitian
3.1 Alat
laminar air flow (Esco), autoklaf (Hirayama), penangas air (Memmert), oven (WTC
Binder), shaker (Orbit), vortex mixer (Barnstead), timbangan analitik (Acculab), hot plate
stirrer (Corning), pH meter (Eutech), mikroskop cahaya (Nikon), sentrifuge (Kubota 6800),
spektrofotometri UV-VIS (Optima), Kromatografi cair kinerja tinggi Shimadzu model LC-
20AT dengan kolom Merck LiChrosorb® NH2 (4 mm x 125,00 mm, 5µm), detektor indeks
bias Shimadzu model RID-10A, mycrosyringe (Hamilton), rotary evaporator, penyaring
bakteri 0,22 µm, ose, pipet volume, pinset, dan alat-alat gelas lain yang biasa digunakan
dalam laboratorium mikrobiologi dan laboratorium kimia analisis.

Pengaruh aerasi …, Marvi Nurjanah, Ffarmasi UI, 2013


3.2 Bahan
3.2.1 Mikroorganisme: Debaryomyces hansenii UICC Y-276 yang diperoleh dari UICC
(University of Indonesia Culture Collection), Departemen Biologi FMIPA Universitas
Indonesia.
3.2.1 Bahan Baku: tanaman eceng gondok yang didapatkan dari danau di sekitar Universitas
Indonesia.
3.2.2 Bahan Kimia: Xilosa (Merck), xilitol (Sigma Aldrich), ammonium sulfat (Merck),
kalium dihidrogen fosfat (Merck), dikalium hidrogen fosfat (Merck), magnesium sulfat
heptahidrat (JT Baker), kalsium hidroksida (Merck), asam fosfat (JT Baker), media
potato dextrose agar (Difco™), aqua bidestilata steril (Otsuka), ekstrak khamir
(Difco™), asetonitril (Full Time), aquadest, dan arang aktif.
3.2.3 Media Fermentasi
Komposisi media yang digunakan untuk optimasi biokonversi, yaitu:
Hidrolisat (mengandung xilosa 5% (b/v))
Ekstrak khamir 4 g/L
(NH4)2SO4 4 g/L
MgSO4.7H2O 0,5 g/L
KH2PO4 1 g/L
K2HPO4 1 g/L

3.2.4 Larutan Standar Xilosa dan Xilitol


Xilosa dan xilitol masing-masing ditimbang dengan seksama sebanyak 4 gram lalu
dimasukkan kedalam labu ukur 100 mL kemudian larutan diencerkan hingga didapatkan
konsentrasi sebesar 1000 ppm, 4000 ppm, 8000 ppm, 16000 ppm, dan 20000 ppm.
Selanjutnya, dibuat persamaan regresi liniernya.

3.3 Cara Kerja


3.3.1 Penyiapan Hidrolisat Eceng Gondok
Eceng gondok yang diperoleh dicuci hingga bersih, dikeringkan kemudian dipotong-
potong, lalu dihaluskan atau digiling hingga menjadi serbuk. Serbuk eceng gondok ditimbang
seksama sebanyak 8 gram, lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 mL. Serbuk eceng
gondok dihidrolisis menggunakan katalis asam oksalat dengan konsentrasi 8% sebanyak 60,0
mL. Temperatur pada saat hidrolisis 121 oC selama 75 menit. Hasil hidrolisis difiltrasi.
Dilakukan netralisasi pada filtrat dengan penambahan Ca(OH)2 hingga pH 10. Lalu kemudian

Pengaruh aerasi …, Marvi Nurjanah, Ffarmasi UI, 2013


pH ditrurunkan hingga pH 6 menggunakan asam fosfat 85%. Setelah itu, disentrifugasi
selama 15 menit dengan kecepatan 8000 rpm. Difiltrasi dengan filter bakteri 0,22 µm.
Kemudian dianalisis dengan metode KCKT.

3.3.2 Pengaruh Kondisi Aerasi Dalam Biokonversi Xilosa Menjadi Xilitol


Optimasi kondisi aerasi dilakukan dengan cara memasukkan medium fermentasi
masing- masing dengan volume 25 mL, 50 mL dan 75 mL ke dalam erlenmeyer 100 mL.
Erlenmeyer tersebut kemudian diinkubasi pada suhu kamar dengan penggojokan
menggunakan rotary shaker dengan kecepatan 200 rpm selama 4 hari. . Untuk biomassa sel,
diambil 1 mL hasil fermentasi , lalu diencerkan (10x) dan dianalisis secara turbidimetri.
Sementara untuk pengamatan hasil fermentasi, diambil 1 mL dari sampel. Kemudian
disentrifugasi dan diambil supernatannya, disaring dengan penyaring bakteri 0,22 µm, lalu
dianalisis menggunakan metode KCKT

3.3.3 Metode Analisis


Analisis xilosa dan xilitol dilakukan menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
(KCKT) yang dilengkapi detektor indeks bias model Shimadzu RID-10A menggunakan
kolom LiChrosorb® NH2 (4 mm x 125,00 mm, 5µm). Fase gerak asetonitril-air (90:10), laju
alir 1,0 mL/menit [21]. Hasil analisis dibandingkan dengan standar. Kemudian dihitung
kadarnya dengan cara memasukkan luas puncak yang didapat ke dalam persamaan kurva
kalibrasi.

4. Hasil Penelitian
4.1 Penyiapan Hidrolisat Eceng Gondok
Tabel 4.1 Data hidrolisis eceng gondok

Konsentrasi
Bobot Waktu Konsentrasi (ppm)
asam Konsentrasi
Penyuntikan Penyuntikan rata-rata
(gram) (menit) (%)
pertama kedua

8 75 8 32606,39 27772,38 30189,385

Keterangan:
Kondisi analisis yang digunakan: volume penyuntikan 20 µ L; fase gerak asetonitril-air (90:10); kolom
LiChrosorb® NH2 (4 mm x 125,00 mm, 5µm); laju alir 1,0 mL/menit;
detektor RID

Pengaruh aerasi …, Marvi Nurjanah, Ffarmasi UI, 2013


4.2 Pengaruh Aerasi Dalam Biokonversi Xilosa Menjadi Xilitol
Tabel 4.2 Data pengaruh kondisi aerasi

Volume Biomassa Xilosa Xilosa Xilitol yang Yield


No
media sel tersisa terkonsumsi dihasilkan value
(mL) (mg/mL) (g/L) (g/L) (g/L) (%)
1 25 2,232 1,830 52,106 14,157 27,16
2 50 2,289 2,631 51,305 24,633 48,01
3 75 1,743 2,910 51,027 24,843 48,68
Keterangan:
Xo = 53,937 g/L
Xo: Total xilosa awal dalam hidrolisat
Kondisi fermentasi: media dalam 100 mL erlenmeyer, suhu kamar, dengan kecepatan penggojokan 200 rpm
selama 4 hari

5. Pembahasan
5.1 Penyiapan Hidrolisat Eceng Gondok
Eceng gondok yang akan digunakan diambil dari danau di sekitar kampus Universitas
Indonesia. Tanaman ini banyak ditemukan pada tempat seperti danau, sungai, ataupun rawa-
rawa karena prevalensinya cukup tinggi di negara tropis seperti Indonesia. Namun
pemanfaatannya masih kurang, sehingga belum ada tempat yang memanen tanaman ini secara
skala besar. Adapun ketika tanaman ini sudah banyak tumbuh memenuhi perairan, tanaman
ini malahan dibuang atau dibakar karena dianggap merusak lingkungan.

Setelah proses pengambilan eceng gondok, kemudian dilakukan proses pencucian dan
pengeringan dengan sinar matahari dan oven. Pengeringan selanjutnya serta pencacahan
eceng gondok dilakukan di BALITTRO Bogor. Setelah diperoleh serbuk eceng gondok
kemudian dilakukan susut pengeringan. Susut pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar
air yang terkandung didalam eceng gondok.

Sebelum dilakukan susut pengeringan eceng gondok, dilakukan penaraan terhadap


botol timbang terlebih dahulu. Untuk susut pengeringan ditimbang secara seksama sejumlah
serbuk eceng gondok yang sudah digiling dan dihaluskan didalam botol timbang yang sudah
ditara kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC selama 5 jam pertama, selanjutnya
ditimbang kembali. Pengeringan dilakukan pada jarak 1 jam sampai perbedaan antara 2
penimbangan berturut – turut tidak lebih dari 0,25% [18].Setelah prosedur dilakukan secara
triplo diperlukan waktu untuk pengeringan eceng gondok adalah selama 8 jam. Tidak

Pengaruh aerasi …, Marvi Nurjanah, Ffarmasi UI, 2013


dibutuhkan waktu terlalu lama untuk susut pengeringan eceng gondok yang kadar airnya
cukup tinggi, hal ini dikarenakan sebelumnya sudah dilakukan pengeringan berulang dengan
sinar matahari dan oven.

Asam oksalat digunakan sebagai katalis pada proses hidrolisis eceng gondok. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Lee dan Jeffries [17] yang membandingkan efek penggunaan
katalis asam pada hidrolisis lignoselulosa seperti asam sulfat, asam maleat, dan sam oksalat.
Asam maleat dan asam oksalat mampu menghasilkan monomer gula yang lebih banyak
daripada oligomer dan meninggalkan residu yang lebih sedikit dari fraksi selulosa, hal itu
berarti asam dikarboksilat sangat selektif untuk hemiselulosa.

Ditimbang seksama serbuk eceng gondok sebanyak 8 gram. Setelah itu dimasukkan
kedalam erlenmeyer 100 mL, kemudian ditambahkan 60 mL larutan asam oksalat dengan
konsentrasi 8%. Proses hidrolisis dilakukan pada interval suhu 121  oC selama 75 menit. Hasil
hidrolisis kemudian difiltrasi lalu dilakukan proses netralisasi dengan penambahan Ca(OH)2
hingga pH ±10. pH diturunkan kembali hingga pH 6 – 6,5 dengan asam fosfat 85%. Proses
netralisasi bertujuan untuk meminimalkan komponen lain yang terkandung dalam eceng
gondok selain xilosa seperti furfural, fenol dan asam asetat [16]. Setelah dilakukan netralisasi
selanjutnya dilakukan proses sentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 8000 rpm
hingga diperoleh supernatan yang jernih. Kemudian supernatan difiltrasi dengan filter 0,22
µm.

Filtrat yang jernih kemudian dianalisis dengan metode KCKT yang mengacu pada
hasil kondisi optimum analisis xilosa yang dilaporkan oleh Rachmadani [21]. Analisis
dilakukan dengan menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) yang dilengkapi
detektor indeks bias model Shimadzu RID-10A menggunakan kolom LiChrosorb® NH2 (4
mm x 125,00 mm, 5µm). Fase gerak asetonitril-air (90:10), laju alir 1,0 mL/menit,
penyuntikan sebanyak 20 µL. Setelah didapatkan kromatogram, dihitung konsentrasi xilosa
dengan memasukkan area yang diperoleh kedalam persamaan kurva kalibrasi yang telah
dibuat sebelumnya. Percobaan ini dilakukan sebanyak 2 kali penyuntikan untuk
mengkonfirmasi hasil yang diperoleh.

Pengaruh aerasi …, Marvi Nurjanah, Ffarmasi UI, 2013


5.2 Pengaruh Kondisi Aerasi Dalam Biokonversi Xilosa Menjadi Xilitol
Kondisi aerasi merupakan faktor penting karena berkaitan dengan suplai oksigen ke
dalam media fermentasi, hal tersebut akan mempengaruhi jumlah dan yield produk xilitol.
Pada penelitian ini, dilakukan optimasi kondisi aerasi dengan menggunakan labu erlenmeyer
100 mL yang diisi dengan media fermentasi sebanyak 25 mL, 50 mL, 75 mL. Dari hasil
pengamatan diperoleh bahwa kondisi aerasi terbaik dihasilkan pada volume media fermentasi
75 mL yang menghasilkan 24,843 g/L dan yield value 48,68%. Sedangkan, pada media
sebanyak 25 mL dan 50 mL, produksi xilitol berturut-turut sebesar 14,157 g/L dan 24,633
g/L. Pada percobaan ini, kondisi aerasi yang terbatas dapat menghasilkan xilitol dengan kadar
yang paling besar.

Oksigen merupakan faktor penting dalam degradasi xilosa oleh khamir. Tingkat
oksigen yang dibutuhkan untuk metabolisme xilosa juga merupakan komponen spesifik untuk
masing-masing spesies. Debaryomyces hansenii menunjukkan produktivitas maksimum
dalam kondisi semi-anaerob [10]. Khamir berbeda dalam hal partisi metabolisme antara
respirasi dan fermentasi. Diantaranya dalam menggunakan oksigen dan senyawa organik
sebagai penerima elektron. Laju rata-rata substrat dari tiap pathways ditentukan oleh
ketersedian oksigen. Pada metabolisme xilosa, yeast tidak tumbuh pada keadaan anaerob dan
tidak memfermentasi pada keadaan sangat aerob [19]. Pada kondisi sangat aerob, susbtrat
yang ada dalam media fermentasi digunakan untuk produksi biomassa sel, sehingga laju
biokonversi xilitol menjadi rendah. Sedangkan, Pada kondisi sangat anaerob, biokonversi
xilosa menjadi xilitol tidak dapat berlangsung. Pada proses produksi xilitol, akumulasi produk
xilitol akan meningkat pada kondisi aerasi yang terbatas, yaitu ketika terdapat sejumlah
oksigen yang cukup untuk digunakan meregenerasi NADH untuk tahap oksidatif kedua,
sehingga NAD(P)H akan digunakan untuk mereduksi xilosa menjadi xilitol [20].

6. Kesimpulan

Kondisi optimum biokonversi xilosa dari hidrolisat eceng gondok menjadi xilitol oleh
khamir Debaryomyces hansenii UICC Y-276 dicapai dengan waktu kultivasi selama empat
hari pada kondisi aerasi terbatas dalam 100 ml erlenmeyer yang berisi 75 ml media
fermentasi, menghasilkan xilitol dengan yield value terbesar yaitu 48,68%.

Pengaruh aerasi …, Marvi Nurjanah, Ffarmasi UI, 2013


7. Saran
Perlu dilakukan proses detoksifikasi akhir setelah pemekatan hidrolisat, dan pengaruh
variabel lain yang yang diharapkan dapat meningkatkan yield value seperti pengaruh optimasi
kosubstrat

8. Kepustakaan

[1] Nigam, P., & Singh, D. (1995). Processes for Fermentative Production of Xylitol – a
Sugar Subtitued. Process Biochemistry,30 (2), 117-124.

[2] Granstrom, T,. Ken, I., & Matti, L. (2007). A rare Sugar Xylitol. Part I: The Biochemistry
and Biosyntesis of Xylitol. Application of Microbial Biotechnologyi, 74, 277-281.

[3] Nigam, J.N. (2002). Bioconversion of water-hyacinth (Eichhornia crassipes)


hemicellulose acid hydrolysate to motor fuel ethanol by xylose–fermenting yeast. Journal
of Biotechnology, 97, 107–116.

[4] Parajo, J. C., Herminia, D., & Jose M. D. (1997). Improved xylitol production with
Debaryomyces hansenii Y-7426 from raw or detoxified wood hydrolysates. Enzyme and
Microbial Technology, 21, 18-24.

[5] Sampaio, F., Hilario, M., Frederico, P., Celia, M., Attilio, C., & Flavia, P. (2005).
Bioconversion of D-xylose to xylitol by Debaryomyces hansenii UFV-170: Product
formation versus growth. Process Biochemistry, 40, 3600-3606.

[6] Domínguez, J., Jose M. S., Noelia, R., & Sandra, C. (2012). Biotechnological Production
of Xylitol from Agro-Industrial Wastes. Food Additive. Yehia El-Samragy (Ed.), 139-
156.

[7] Chen, X., Zi-Hua, J, Sanfeng, C., & Wensheng, Q. (2010). Microbial and Bioconversion
Production of D-xylitol and Its Detection and Application: a Review. International
Journal of Biological Sciences, 6, 834-844.

[8] Parajo, J. C., Herminia, D., & Jose M. D. (1998). Biotechnological Production of Xylitol.
Part 1: Interest Of Xylitol and Fundamentals Of Its Biosynthesis. Bioresources
Technology, 65, 191-201.

[9] Hyvonen, L., Koivistoinen, P., & Voirol, F. (1982). Food technological evaluation of
xylitol. Advances in food research, 28, 373-400.

[10] Ghindea, R., Ortansa, C., Ileana, S., Ana-Maria, T., & Tatiana, V. (2010). Production of
xylitol by yeasts. Romanian Biotechnological Letters, 15 (3), 5217-5222.

[11] Téllez, T., Elsa M. R, Gloria, G., Eva, P., Ricardo, L., & Juan M. G. (2008). The Water
Hyacinth, Eichhornia crassipes: an invasive plant in the Guadiana River Basin (Spain),
Journal compilation REABIC, Aquatic Invasions, 3 (1), 42-53.

[12] Ayudhya, C., Tanawut, T., Thikamporn, K., Ponpitak, P., & Virapong, P. (2007).
Appropriate Technology for the Bioconversion of Water Hyacinth (Eichhornia

Pengaruh aerasi …, Marvi Nurjanah, Ffarmasi UI, 2013


crassipes) to Liquid Ethanol: Future Prospects for Community Strengthening and
Sustainable Development. EXCLI Journal, 6, 167-176.

[13] Lowry, T.H. (1987). Mechanism and Theory in Organic chemistry. New York: Harper
and Row Publisher, Inc.

[14] Taherzadeh, M.J., & Karimi, K. (2007). Acid-Based Hydrolysis Processes For Ethanol
From Lignocellulosic Materials: a Review. Bioresources, 2 (3), 472-499.

[15] Joshi, B., Megh R. B., Dinita, S., Jarina, J., Rajani, M., & Lakshmaiah, S. (2011).
Lignocellulosic ethanol production: Current practices and recent developments.
Biotechnology and Molecular Biology, 6 (8), 172-182.

[16] Carvalheiro, F., L.C. Duarte., S. Lopes., J.C. Parajo., H. Pereira., F.M. Girio. (2005).
Evaluation of the detoxification of brewery’s spent grain hydrolysate for xylitol
production by Debaryomyces hansenii CCMI 941. Process Biochemistry, 40, 1215–
1223.

[17] Lee, J.W., & Jeffries, T.W. (2011). Efficiencies of acid catalysts in the hydrolysis of
lignocellulosic biomass over a range of combined severity factors. Bioresource
Technology, 102, 5884–5890.

[18] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia edisi IV.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

[19] Winkelhausen, E., P. Pittman., S. Kuzmanova., & T. W. Jeffries. (1996). Xylitol


Formation By Candida Boidinii In Oxygen Limited Chemostat Culture. Biotechnology
Letters,18 (7), 753-758.

[20] Breuer, U. dan Harms, H. (2006). Debaryomyces hansenii — An Extremophilic Yeast


with Biotechnological Potential. Yeast, 23, 415–437: John Wiley & Sons, Ltd.

[21] Rachmadani, P.W. (2012). Optimasi Hidrolisis Asam Tandan Kosong Kelapa Sawit
Untuk Menghasilkan Xilosa Menggunakan Asam Oksalat. (Skripsi Sarjana, Universitas
Indonesia, 2012).

[22] Hahn-Hägerdal, B., Kaisa, K., Christer, L., Marie, G., Johann, G., & Willem, H. (2005).
Role of Cultivation Media in The Development of Yeast Strains for Large Scale
Industrial Use. Microbial cell factories, 4:31.

[23] McNeil, B. dan Harvey, L. M. (2008). Practical Fermentation Technology. England:


John Wiley & Sons Inc.

[24] Walker, G.M., & White, N.A. (2005). Introduction to Fungal Physiology. In K.
Kavanagh, Fungi Biology and Applications, West Sussex: John Wiley & Sons Ltd. 1-
34.

Pengaruh aerasi …, Marvi Nurjanah, Ffarmasi UI, 2013

Anda mungkin juga menyukai