ABSTRAK
Xilitol merupakan senyawa gula polialkohol dengan lima atom karbon. Senyawa tersebut
memiliki banyak manfaat dan telah digunakan secara luas dalam industri makanan, farmasi,
dan kesehatan. Sumber karbon yang berlimpah seperti lignoselulosa dapat dimanfaatkan
untuk produksi xilitol. Salah satu sumber karbon yang potensial dan prevalensinya tinggi di
Indonesia adalah eceng gondok. Tanaman ini dikenal sebagai gulma dan kurang dimanfaatkan
oleh masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah pemanfaatan hidrolisat eceng gondok
sebagai substrat dalam biokonversi xilosa menjadi xilitol oleh sel khamir Debaryomyces
hansenii. Tahapan pengerjaan meliputi hidrolisis eceng gondok menggunakan asam oksalat
dan optimasi kondisi aerasi. Kondisi optimum produksi xilitol oleh Debaryomyces hansenii
dicapai dengan waktu kultivasi selama empat hari pada kondisi aerasi terbatas. Kondisi
tersebut menghasilkan yield value terhadap xilosa sebesar 48,68%.
Kata kunci : asam oksalat, Debaryomyces hansenii, eceng gondok, fermentasi, xilitol
Xylitol is a five-carbon polyol sugar. It has many healthy benefits and is widely used in food,
pharmaceutical, and healthcare. Sources with abundant carbon such as lignocellulose can be
used for xylitol production. One of the potencial sources with high prevalency in Indonesia is
water hyacinth. It is known as weeds and has not been fully utilized by people. The aim of
this research was the utilization of water hyacinth hydrolysate as a substrate in the
bioconversion of xylose into xylitol by Debaryomyces hansenii yeast. Stages of processing
include water hyacinth hydrolysis using oxalic acid and optimization of aeration condition.
The optimum condition for xylitol production by Debaryomyces hansenii was achieved by
four day cultivation with limited aeration condition. The yield value obtained was 48.68%
against xylose used.
Key words : oxalic acid, Debaryomyces hansenii, water hyacinth, fermentation, xylitol
1. Latar Belakang
Xilitol merupakan senyawa gula polialkohol dengan lima atom karbon. Xilitol
memiliki banyak manfaat dan telah digunakan secara luas dalam industri makanan, farmasi,
dan kesehatan. Xilitol bersifat antikariogenik sehingga banyak dimanfaatkan untuk kesehatan
mulut dan pencegahan karies gigi [1]. Salah satu pemaanfaatan xilitol yang banyak dijumpai
yaitu pada produk pasta gigi dan permen. Xilitol memiliki tingkat kemanisan yang hampir
setara dengan sukrosa tetapi memiliki tingkat kalori sebesar 2,4 kal/g, lebih rendah
dibandingkan dengan sukrosa yang sebesar 4 kal/g [2] dan telah digunakan sebagai pengganti
gula, terutama pada orang yang dengan diet gula rendah atau pada penderita diabetes.
2. Tinjauan Teoritis
2.1 Xilitol
Xilitol merupakan senyawa gula polialkohol dengan lima atom karbon. Senyawa ini
secara luas digunakan pada industri makanan dan kimia. Xilitol memiliki sifat antikariogenik,
menguatkan gigi, dan remineralisasi gigi [6]. Xilitol terdapat pada berbagai macam buah dan
sayuran seperti raspberry, strawberry, jamur, kembang kol, jagung, anggur, dan pisang dalam
jumlah yang sangat kecil [7,8].
Xilitol telah digunakan sebagai bahan tambahan makanan dan pemanis untuk
menggantikan sukrosa, serta digunakan pada permen karet, mint, dan pasta gigi karena
maanfaat klinisnya. Xilitol telah menarik perhatian karena potensialnya yang memiliki tingkat
kemanisan yang hampir sama dengan sukrosa. Namun, mengandung kalori yang lebih rendah
yaitu 2,4 kal/g dibandingkan dengan sukrosa 4,0 kal/g [2].
Pada bakteri, konversi D-xilosa menjadi D-xilulosa dikatalisis oleh xilosa isomerase
secara langsung. Xilosa isomerase juga ditemukan pada C. boidinii, Malbranchea pulchella,
and Meurospora crassa. Pada sebagian besar jamur dan khamir, konversi D-xilosa menjadi
D-xilulosa membutuhkan dua tahap. Pertama, D-xilosa direduksi menjadi xilitol oleh NADH-
atau NADPH-dependent xilosa reduktase. Xilitol ini kemudian disekresikan sebagai metabolit
atau dioksidasi lebih lanjut menjadi D-xilulosa oleh NAD- atau NADP-dependent xilitol
dehidrogenase [7].
Gambar 2.1 Jalur metabolisme D-xilosa pada khamir [10], telah diolah kembali
Tabel 2.1 Komposisi rata-rata eceng gondok [3], telah diolah kembali
Hidrolisis kimia dengan menambahkan asam pada lignoselulosa selama periode dan
temperatur tertentu, menghasilkan monomer gula dari selulosa dan hemiselulosa. Hidrolisis
sempurna dari selulosa menghasilkan glukosa, sedangkan hemiselulosa mengasilkan pentosa
dan heksosa. Hemiselulosa sebagian besar terdiri dari manosa sehingga gula yang dihasilkan
paling banyak umumnya xilosa [14].
Asam yang umumnya digunakan untuk hidrolisis lignoselulosa adalah asam sulfat,
asam klorida, dan asam nitrat. Proses hidrolisis dengan menggunakan asam sulfat ada dua
cara, pertama dengan menggunakan asam sulfat konsentrasi tinggi pada suhu rendah dan yang
kedua dengan menggunakan asam sulfat encer yang beroperasi pada suhu yang tinggi. Cara
kedua merupakan cara yang paling umum digunakan tetapi menghasilkan produk samping
yang relatif besar [15]. Produk samping tersebut yaitu senyawa furfural, fenolat, dan asam
asetat [16].
Penelitian yang dilakukan oleh Lee dan Jeffries [17] yaitu membandingkan efek
penggunaan katalis asam pada hidrolisis lignoselulosa seperti asam sulfat, asam maleat, dan
sam oksalat. Asam maleat dan asam oksalat mampu menghasilkan monomer gula yang lebih
banyak daripada oligomer dan meninggalkan residu yang lebih sedikit dari fraksi selulosa, hal
itu berarti asam dikarboksilat sangat selektif untuk hemiselulosa.
1. Sumber karbon
Sumber karbon dibutuhkan untuk menyediakan energi untuk sel sekaligus
menjadi materi pertumbuhan dan materi sintesis metabolit primer dan sekunder.
2. Sumber nitrogen
Sumber nitrogen dibutuhkan untuk tumbuh dan mensintesis komponen seperti
protein dan asam nukleat. Jumlah nitrogen dalam media akan menentukan biomassa
yang akan didapatkan untuk beberapa jenis sel.
3. Substrat lain
Komponen penting lain yang digunakan untuk sel tumbuh dan berfungsi secara
sesuai seperti garam-garam anorganik [23].
Untuk media kultivasi khamir, pada umumnya yang paling sering digunakan adalah
Yeast Extract-Peptone (YP). YP adalah medium yang terbuat dari ektrak khamir dan pepton.
2.7 Metode Analisis Xilosa dan Xilitol Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
Metode analisis xilosa dan xilitol secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
menggunakan kolom yang cocok untuk pemisahan diikuti dengan deteksi spesifik pemisahan
senyawa secara individual. Berbagai jenis kolom telah digunakan untuk pemisahan D-xilitol
dari karbohidrat dan poliol gula lainnya antara lain kolom amino-based carbohydrate, kolom
asam organik HPX-87H, kolom TSK amide 80 dan kolom ion-exclusion. Berbagai jenis
metode deteksi, antara lain deteksi Ultra-Violet (UV), deteksi elektrokimia, deteksi reflective
index (RI), dan deteksi evaporative light-scattering (ELS) digunakan untuk metode secara
KCKT. D-xilitol tidak memiliki gugus kromofor yang dibutuhkan untuk deteksi dengan UV.
Sehingga, metode deteksi KCKT yang kurang sensitif seperti reflective index (RI) dan
evaporative light-scattering (ELS) adalah yang paling sering digunakan. Batas deteksi dan
sensitifitas tergantuk pada jenis detektor. Metode deteksi RI dan ELS memiliki batas antara
0.05 - 1.2 µg/injeksi. Metode deteksi amperometric dapat juga digunakan secara efisien ketika
digunakan dengan kromatografi ion menggunakan kolom Dionex dan pH fase gerak lebih dari
12 [7].
3. Metode Penelitian
3.1 Alat
laminar air flow (Esco), autoklaf (Hirayama), penangas air (Memmert), oven (WTC
Binder), shaker (Orbit), vortex mixer (Barnstead), timbangan analitik (Acculab), hot plate
stirrer (Corning), pH meter (Eutech), mikroskop cahaya (Nikon), sentrifuge (Kubota 6800),
spektrofotometri UV-VIS (Optima), Kromatografi cair kinerja tinggi Shimadzu model LC-
20AT dengan kolom Merck LiChrosorb® NH2 (4 mm x 125,00 mm, 5µm), detektor indeks
bias Shimadzu model RID-10A, mycrosyringe (Hamilton), rotary evaporator, penyaring
bakteri 0,22 µm, ose, pipet volume, pinset, dan alat-alat gelas lain yang biasa digunakan
dalam laboratorium mikrobiologi dan laboratorium kimia analisis.
4. Hasil Penelitian
4.1 Penyiapan Hidrolisat Eceng Gondok
Tabel 4.1 Data hidrolisis eceng gondok
Konsentrasi
Bobot Waktu Konsentrasi (ppm)
asam Konsentrasi
Penyuntikan Penyuntikan rata-rata
(gram) (menit) (%)
pertama kedua
Keterangan:
Kondisi analisis yang digunakan: volume penyuntikan 20 µ L; fase gerak asetonitril-air (90:10); kolom
LiChrosorb® NH2 (4 mm x 125,00 mm, 5µm); laju alir 1,0 mL/menit;
detektor RID
5. Pembahasan
5.1 Penyiapan Hidrolisat Eceng Gondok
Eceng gondok yang akan digunakan diambil dari danau di sekitar kampus Universitas
Indonesia. Tanaman ini banyak ditemukan pada tempat seperti danau, sungai, ataupun rawa-
rawa karena prevalensinya cukup tinggi di negara tropis seperti Indonesia. Namun
pemanfaatannya masih kurang, sehingga belum ada tempat yang memanen tanaman ini secara
skala besar. Adapun ketika tanaman ini sudah banyak tumbuh memenuhi perairan, tanaman
ini malahan dibuang atau dibakar karena dianggap merusak lingkungan.
Setelah proses pengambilan eceng gondok, kemudian dilakukan proses pencucian dan
pengeringan dengan sinar matahari dan oven. Pengeringan selanjutnya serta pencacahan
eceng gondok dilakukan di BALITTRO Bogor. Setelah diperoleh serbuk eceng gondok
kemudian dilakukan susut pengeringan. Susut pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar
air yang terkandung didalam eceng gondok.
Asam oksalat digunakan sebagai katalis pada proses hidrolisis eceng gondok. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Lee dan Jeffries [17] yang membandingkan efek penggunaan
katalis asam pada hidrolisis lignoselulosa seperti asam sulfat, asam maleat, dan sam oksalat.
Asam maleat dan asam oksalat mampu menghasilkan monomer gula yang lebih banyak
daripada oligomer dan meninggalkan residu yang lebih sedikit dari fraksi selulosa, hal itu
berarti asam dikarboksilat sangat selektif untuk hemiselulosa.
Ditimbang seksama serbuk eceng gondok sebanyak 8 gram. Setelah itu dimasukkan
kedalam erlenmeyer 100 mL, kemudian ditambahkan 60 mL larutan asam oksalat dengan
konsentrasi 8%. Proses hidrolisis dilakukan pada interval suhu 121
oC selama 75 menit. Hasil
hidrolisis kemudian difiltrasi lalu dilakukan proses netralisasi dengan penambahan Ca(OH)2
hingga pH ±10. pH diturunkan kembali hingga pH 6 – 6,5 dengan asam fosfat 85%. Proses
netralisasi bertujuan untuk meminimalkan komponen lain yang terkandung dalam eceng
gondok selain xilosa seperti furfural, fenol dan asam asetat [16]. Setelah dilakukan netralisasi
selanjutnya dilakukan proses sentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 8000 rpm
hingga diperoleh supernatan yang jernih. Kemudian supernatan difiltrasi dengan filter 0,22
µm.
Filtrat yang jernih kemudian dianalisis dengan metode KCKT yang mengacu pada
hasil kondisi optimum analisis xilosa yang dilaporkan oleh Rachmadani [21]. Analisis
dilakukan dengan menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) yang dilengkapi
detektor indeks bias model Shimadzu RID-10A menggunakan kolom LiChrosorb® NH2 (4
mm x 125,00 mm, 5µm). Fase gerak asetonitril-air (90:10), laju alir 1,0 mL/menit,
penyuntikan sebanyak 20 µL. Setelah didapatkan kromatogram, dihitung konsentrasi xilosa
dengan memasukkan area yang diperoleh kedalam persamaan kurva kalibrasi yang telah
dibuat sebelumnya. Percobaan ini dilakukan sebanyak 2 kali penyuntikan untuk
mengkonfirmasi hasil yang diperoleh.
Oksigen merupakan faktor penting dalam degradasi xilosa oleh khamir. Tingkat
oksigen yang dibutuhkan untuk metabolisme xilosa juga merupakan komponen spesifik untuk
masing-masing spesies. Debaryomyces hansenii menunjukkan produktivitas maksimum
dalam kondisi semi-anaerob [10]. Khamir berbeda dalam hal partisi metabolisme antara
respirasi dan fermentasi. Diantaranya dalam menggunakan oksigen dan senyawa organik
sebagai penerima elektron. Laju rata-rata substrat dari tiap pathways ditentukan oleh
ketersedian oksigen. Pada metabolisme xilosa, yeast tidak tumbuh pada keadaan anaerob dan
tidak memfermentasi pada keadaan sangat aerob [19]. Pada kondisi sangat aerob, susbtrat
yang ada dalam media fermentasi digunakan untuk produksi biomassa sel, sehingga laju
biokonversi xilitol menjadi rendah. Sedangkan, Pada kondisi sangat anaerob, biokonversi
xilosa menjadi xilitol tidak dapat berlangsung. Pada proses produksi xilitol, akumulasi produk
xilitol akan meningkat pada kondisi aerasi yang terbatas, yaitu ketika terdapat sejumlah
oksigen yang cukup untuk digunakan meregenerasi NADH untuk tahap oksidatif kedua,
sehingga NAD(P)H akan digunakan untuk mereduksi xilosa menjadi xilitol [20].
6. Kesimpulan
Kondisi optimum biokonversi xilosa dari hidrolisat eceng gondok menjadi xilitol oleh
khamir Debaryomyces hansenii UICC Y-276 dicapai dengan waktu kultivasi selama empat
hari pada kondisi aerasi terbatas dalam 100 ml erlenmeyer yang berisi 75 ml media
fermentasi, menghasilkan xilitol dengan yield value terbesar yaitu 48,68%.
8. Kepustakaan
[1] Nigam, P., & Singh, D. (1995). Processes for Fermentative Production of Xylitol – a
Sugar Subtitued. Process Biochemistry,30 (2), 117-124.
[2] Granstrom, T,. Ken, I., & Matti, L. (2007). A rare Sugar Xylitol. Part I: The Biochemistry
and Biosyntesis of Xylitol. Application of Microbial Biotechnologyi, 74, 277-281.
[4] Parajo, J. C., Herminia, D., & Jose M. D. (1997). Improved xylitol production with
Debaryomyces hansenii Y-7426 from raw or detoxified wood hydrolysates. Enzyme and
Microbial Technology, 21, 18-24.
[5] Sampaio, F., Hilario, M., Frederico, P., Celia, M., Attilio, C., & Flavia, P. (2005).
Bioconversion of D-xylose to xylitol by Debaryomyces hansenii UFV-170: Product
formation versus growth. Process Biochemistry, 40, 3600-3606.
[6] Domínguez, J., Jose M. S., Noelia, R., & Sandra, C. (2012). Biotechnological Production
of Xylitol from Agro-Industrial Wastes. Food Additive. Yehia El-Samragy (Ed.), 139-
156.
[7] Chen, X., Zi-Hua, J, Sanfeng, C., & Wensheng, Q. (2010). Microbial and Bioconversion
Production of D-xylitol and Its Detection and Application: a Review. International
Journal of Biological Sciences, 6, 834-844.
[8] Parajo, J. C., Herminia, D., & Jose M. D. (1998). Biotechnological Production of Xylitol.
Part 1: Interest Of Xylitol and Fundamentals Of Its Biosynthesis. Bioresources
Technology, 65, 191-201.
[9] Hyvonen, L., Koivistoinen, P., & Voirol, F. (1982). Food technological evaluation of
xylitol. Advances in food research, 28, 373-400.
[10] Ghindea, R., Ortansa, C., Ileana, S., Ana-Maria, T., & Tatiana, V. (2010). Production of
xylitol by yeasts. Romanian Biotechnological Letters, 15 (3), 5217-5222.
[11] Téllez, T., Elsa M. R, Gloria, G., Eva, P., Ricardo, L., & Juan M. G. (2008). The Water
Hyacinth, Eichhornia crassipes: an invasive plant in the Guadiana River Basin (Spain),
Journal compilation REABIC, Aquatic Invasions, 3 (1), 42-53.
[12] Ayudhya, C., Tanawut, T., Thikamporn, K., Ponpitak, P., & Virapong, P. (2007).
Appropriate Technology for the Bioconversion of Water Hyacinth (Eichhornia
[13] Lowry, T.H. (1987). Mechanism and Theory in Organic chemistry. New York: Harper
and Row Publisher, Inc.
[14] Taherzadeh, M.J., & Karimi, K. (2007). Acid-Based Hydrolysis Processes For Ethanol
From Lignocellulosic Materials: a Review. Bioresources, 2 (3), 472-499.
[15] Joshi, B., Megh R. B., Dinita, S., Jarina, J., Rajani, M., & Lakshmaiah, S. (2011).
Lignocellulosic ethanol production: Current practices and recent developments.
Biotechnology and Molecular Biology, 6 (8), 172-182.
[16] Carvalheiro, F., L.C. Duarte., S. Lopes., J.C. Parajo., H. Pereira., F.M. Girio. (2005).
Evaluation of the detoxification of brewery’s spent grain hydrolysate for xylitol
production by Debaryomyces hansenii CCMI 941. Process Biochemistry, 40, 1215–
1223.
[17] Lee, J.W., & Jeffries, T.W. (2011). Efficiencies of acid catalysts in the hydrolysis of
lignocellulosic biomass over a range of combined severity factors. Bioresource
Technology, 102, 5884–5890.
[18] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia edisi IV.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
[21] Rachmadani, P.W. (2012). Optimasi Hidrolisis Asam Tandan Kosong Kelapa Sawit
Untuk Menghasilkan Xilosa Menggunakan Asam Oksalat. (Skripsi Sarjana, Universitas
Indonesia, 2012).
[22] Hahn-Hägerdal, B., Kaisa, K., Christer, L., Marie, G., Johann, G., & Willem, H. (2005).
Role of Cultivation Media in The Development of Yeast Strains for Large Scale
Industrial Use. Microbial cell factories, 4:31.
[24] Walker, G.M., & White, N.A. (2005). Introduction to Fungal Physiology. In K.
Kavanagh, Fungi Biology and Applications, West Sussex: John Wiley & Sons Ltd. 1-
34.