Anda di halaman 1dari 7

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan :

1. Pengobatan pirantel pamoat 10mg/kg cukup efektif dalam mengobati

infeksi A. lumbricoides dan hookworm dengan CR dan ERR 100%,

sedangkan pengobatan albendazol 400 mg mempunyai efektivitas yang

rendah dalam mengobati infeksi T. trichiura (CR 12,8%, ERR 62,4%)

pada siswa SDN Gunung Agung, Kokap.

2. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara prevalensi infeksi STH

sebelum pengobatan dan 3 bulan setelah pengobatan pada siswa SDN

Gunung Agung, Kokap. Adanya reinfeksi dan infeksi baru

mengindikasikan masih banyaknya sumber infeksi STH di lingkungan

siswa SDN Gunung Agung. Hal ini juga dapat diasumsikan bahwa

program pengobatan saja belum cukup efektif memberantas infeksi STH

di wilayah ini.

3. Ada hubungan yang bermakna antara jumlah spesies STH yang

menginfeksi sebelumnya dengan prevalensi infeksi STH 3 bulan setelah

pengobatan pada siswa SDN Gunung Agung, Kokap. Adanya infeksi lebih

dari 1 jenis STH pada pemeriksaan sebelumnya mempunyai risiko 2 kali

lipat untuk terinfeksi STH lagi 3 bulan setelah pengobatan.

4. Tidak ada hubungan yang bermakna antara higiene perorangan (kebiasaan

mencuci tangan, kebiasaan BAB, kebiasaan bermain, kebiasaan menggigit


76

jari, kebiasaan memakai alas kaki, kebersihan kuku) dengan prevalensi

infeksi STH 3 bulan setelah pengobatan pada siswa SDN Gunung Agung,

Kokap.

5. Tidak ada hubungan yang bermkana antara sanitasi lingkungan rumah

(sumber air bersih, ketersediaan jamban, lantai rumah) dengan prevalensi

infeksi STH 3 bulan setelah pengobatan pada siswa SDN Gunung Agung,

Kokap.

V.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan tersebut,

maka dapat disampaikan beberapa saran antara lain sebagai berikut :

1. Pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Kulonprogo atau Puskesmas Kokap I

yang membawahi wilayah ini diharapkan melakukan program evaluasi

paska pengobatan kecacingan sebagai acuan dalam mengambil kebijakan

program selanjutnya.

2. Melakukan program pengobatan kecacingan secara periodik dan

berkelanjutan sehingga dapat memutuskan rantai penularan dengan

maksimal. Diperlukan alternatif pengobatan yang lebih efektif terutama

untuk infeksi T. trichiura di wilayah SDN Gunung Agung

3. Agar dilakukan penelitian lebih lanjut terkait program pengobatan yang

efektif terutama untuk infeksi T. trichiura dan meneliti lebih lanjut faktor

– faktor lain yang lebih lengkap yang mempengaruhi kejadian reinfeksi

maupun infeksi STH di wilayah SDN Gunung Agung.


77

4. Agar dilakukan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar,

dengan program deworming untuk mengetahui pola reinfeksi yang terjadi.

V.3. Ringkasan

Latar belakang

Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan infeksi cacing yang

bersifat kronis yang ditularkan melalui tanah dan menyerang sekitar 2 milyar

penduduk di dunia (Artis, 2006). Indonesia merupakan salah satu negara

berkembang dengan prevalensi infeksi STH masih cukup tinggi. Pada tahun 2008

juga dilakukan survei di di 8 daerah terpilih di Indonesia dan didapatkan

prevalensi tertinggi di daerah Banten sebesar 60,7% (Depkes RI, 2009).

Upaya pemberantasan dengan pengobatan sudah banyak dilakukan baik

secara individual maupun secara masal, namun prevalensi kecacingan masih

cukup tinggi di berbagai daerah di Indonesia. Kejadian reinfeksi kecacingan ini

berkaitan erat dengan masih adanya paparan dari sumber infeksi di lingkungan

masyarakat. Kemiskinan, pendidikan dan sosial – ekonomi yang rendah serta

sanitasi lingkungan yang buruk sangat berkaitan erat dengan tingginya prevalensi

kecacingan di suatu daerah (Hotez et al., 2007 ).

Hasil pemeriksaan kecacingan secara kualitatif di beberapa SD terpilih di

wilayah Puskesmas Kokap I didapatkan hasil prevalensi kecacingan di SDN

Hargomulyo sebesar 10 % , SDN Kalirejo sebesar 5,9 %, SDN Sangon sebesar

6,5 % dan SDN Gunung Agung sebesar 29,3 %. Puskesmas kemudian melakukan

program pemberian pengobatan bagi siswa yang positif menderita kecacingan.

Peneliti memilih wilayah SDN Gunung Agung untuk dilakukan penelitian lebih
78

lanjut berdasarkan hasil pemeriksaan skrining dari puskesmas. Pada penelitian ini

akan dilihat keberhasilan pengobatan yang dilakukan, angka infeksi STH setelah 3

bulan pengobatan dan faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian

infeksi STH paska pengobatan. Evaluasi pengobatan dan kejadian infeksi STH

paska pengobatan belum pernah dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kokap I,

sehingga diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dalam

kebijakan program pengobatan STH selanjutnya. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui keberhasilan pengobatan STH dan angka infeksi STH 3 bulan

setelah pengobatan pada siswa SDN Gunung Agung, Kecamatan Kokap,

Kulonprogo serta faktor – faktor yang mempengaruhinya.

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah analitik observasional yaitu menganalisis

hubungan antara variabel – variabel yang telah ditetapkan berdasarkan hasil

pengamatan terhadap subjek penelitian, dengan rancangan penelitian cross

sectional. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian infeksi Soil

Transmitted Helminths (STH) paska pengobatan, sedangkan variabel bebasnya

adalah jumlah infeksi STH sebelum pengobatan, higiene perorangan dan sanitasi

lingkungan rumah.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Sekolah Dasar Negeri

Gunung Agung, Kokap, Kulonprogo. Pada penelitian ini jumlah siswa yang

memenuhi kriteria inklusi maupun eksklusi sebanyak 65 anak. Sampel tinja

diperiksa menggunakan metode Kato Katz. Semua anak mengummpulkan sampel

tinja (I), kemudian jika hasilnya positif STH maka akan diberikan pengobatan
79

yang sesuai dan 2 minggu kemudian diminta mengumpulkan sampel tinja (II) lagi

untuk menilai cure rate (CR) dan egg reduction rate (ERR) paska pengobatan.

Semua responden diminta mengumpulkan sampel tinja (III) 3 bulan setelah

program pengobatan untuk mengetahui kejadian reinfeksi atau infeksi baru.

Wawancara dilakukan dengan menggunakan panduan ceklist.

Hasil penelitian

Hasil pemeriksaan tinja dengan menggunakan metode Kato katz pada

pemeriksaan sebelum pengobatan menunjukkan 43,1% responden positif

terinfeksi STH dengan jenis T. trichiura yang paling dominan yaitu sebanyak

92,2%. Infeksi tunggal dialami oleh 20 anak (71,4%), sedangkan yang mengalami

infeksi campuran sebanyak 8 anak (28,6%). Intensitas infeksi sebagian besar

ringan, hanya ada satu kasus infeksi STH jenis A. lumbricoides dengan intensitas

berat.

Hasil perhitungan CR dan ERR untuk infeksi askaris dan cacing tambang

sebesar 100%, sedangkan CR untuk infeksi trikhuris hanya sebesar 12,8% dengan

ERR sebesar 62,4%. Dalam penelitian ini angka kesembuhan infeksi T. trichiura

memang rendah, tetapi setelah dilakukan uji analisis Wilcoxon diperoleh nilai p <

0,05 yang artinya ada perbedaan yang signifikan antara rerata hitung telur T.

trichiura sebelum pengobatan dan 2 minggu setelah pengobatan.

Hasil pemeriksaan tinja 3 bulan setelah pengobatan menunjukkan adanya

penurunan angka infeksi dari 43,1% menjadi 35,4% dan masih dominan jenis

T. trichiura. Berbeda dengan sebelum pengobatan, hasil pemeriksaan 3 bulan


80

setelah pengobatan didapatkan satu anak yang terinfeksi 3 jenis cacing yaitu

A. lumbricoides, T. trichiura dan hookworm. Hasil analisis uji McNemar diperoleh

nilai p > 0,05 artinya tidak ada perbedaan yang signifikan antara angka infeksi

sebelum pengobatan dengan angka infeksi 3 bulan setelah pengobatan. Hasil

penelitian untuk masing-masing jenis STH 3 bulan setelah pengobatan

menunjukkan pada infeksi A. lumbricoides terjadi kasus reinfeksi sebanyak 2

kasus (33,3%) dan infeksi baru 4 kasus (66,7%). Pada infeksi T. trichiura 3 bulan

setelah pengobatan, kejadian reinfeksi sebanyak 1 kasus (4,8%), infeksi baru 3

kasus (14,3%) dan sebagian besar sebanyak 17 kasus (81%) merupakan kasus

yang tidak berhasil diobati. Pada infeksi hookworm tidak didapatkan adanya

kejadian reinfeksi maupun gagal pengobatan, namun terdapat 3 kasus baru pada 3

bulan setelah pengobatan.

Hasil analisis bivariat untuk variabel karakteristik infeksi menunjukkan

bahwa ada hubungan yang signifikan (p<0,05) antara jumlah infeksi STH

sebelumnya dengan kejadian infeksi paska pengobatan. Responden yang

sebelumnya mengalami infeksi lebih dari 1 jenis STH dua kali lipat berisiko untuk

terinfeksi STH kembali paska pengobatan (OR = 2). Hasil analisis Chi-Square

juga menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara higiene

perorangan maupun sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian infeksi STH 3

bulan paska pengobatan (p>0,05).


81

Kesimpulan

Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna

angka infeksi STH sebelum pengobatan dan setelah pengobatan. Terdapat

hubungan yang bermakna antara jumlah infeksi STH sebelumnya dengan kejadian

infeksi STH paska pengobatan. Responden yang sebelumnya mengalami infeksi

lebih dari 1 jenis STH dua kali lipat berisiko untuk terinfeksi STH kembali paska

pengobatan. Tidak ada hubungan yang bermakna antara personal higiene dan

sanitasi lingkungan rumah dengan kejadian infeksi STH 3 bulan setelah

pengobatan.

Anda mungkin juga menyukai