Anda di halaman 1dari 58

MODUL

HUKUM PAJAK

DOSEN PENGAMPU
BADINGATUS SOLIKHAH, SE, M.SI, AKT, CA

YAYASAN PENDIDIKAN AKADEMI KOPERASI


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI SEMARANG
2017

0|Page
Modul Hukum Pajak Page |1

Deskripsi
Mata kuliah ini membahas gambaran umum perpajakan di Indonesia, jenis-jenis pajak, hak
dan kewajiban wajib pajak dan fiscus sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara
perpajakan di Indonesia.

Sumber Pustaka

1. Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang KUP sebagaimana telah diubah dengan UU
16/2009.
2. Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang sebagaimana telah diubah dengan UU
36/2008.
3. Undang-undang No. 8 Tahun 1983 tentang PPN sebagaimana telah diubah dengan UU
42/2009.
4. Mardiasmo. 2016. PERPAJAKAN Edisi Terbaru 2016. Penerbit ANDI: Yogyakarta
5. Suandy, Erly. 2016. HUKUM PAJAK Edisi 7. Salemba Empat: Jakarta
6. Tim Penyusun Direktorat Peraturan Perpajakan Kementerian Keuangan. 2015. BIJAK -
Orang Pribadi Pintar Pajak. Direktorat Jenderal Pajak: Jakarta
Modul Hukum Pajak Page |2

MODUL
KONSEP UMUM PERPAJAKAN

Tujuan Pembelajaran :
Memberikan pemahaman kepada mahasiswa terkait:
1. Pengertian (definisi pajak)
2. Fungsi pajak
3. Perbedaan pajak dengan jenis pungutan lainnya
4. Jenis-jenis pajak
5. Sistem pemungutan pajak
6. Teori pemungutan pajak

Kompotensi Dasar :
Mahasiswa mampu memahami konsep umum perpajakan

URAIAN MATERI

A. GAMBARAN UMUM PAJAK


1. Definisi
Pengertian pajak ada bermacam-macam, yang lain dikemukakan oleh para sarjana,
yang oleh Santoso Brotodhardjo, S.H. (1982:2) yaitu :
 Definisi Leroy Beaulieu yang berbunyi >> Pajak adalah bantuan, baik secara langsung
maupun tidak, yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang,
untuk menutup belanja Pemerintah.
 Definisi Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (RAO-1919) >> Pajak adalah bantuan uang
secara insidental atau secara periodik (dengan tidak ada kontraprestasinya), yang
dipungut oleh Badan yang bersifat Umum (Negara), untuk mempeloreh pendapatan,
dimana terjadi suatu Tatbestand (sasaran pemajakan), yang karena undangundang telah
menimbulkan hutang pajak.
 Definisi Prof Edwin R.A. Seligman >> Tax is a compulsory contribution from the
person, to the government to defray the expenses incurred in the common interest of all,
without reference to special benefit conferred. Banyak terdengar keberatan atas kalimat
.without reference. Karena bagaimana juga uang pajak tersebut digunakan untuk
produksi barang dan jasa benefit diberikan kepada masyarakat, hanya tidak mudah
ditunjukkannya, apabila secara perorangan.
 Philip E Taylor, mengganti .without reference. menjadi .With little reference
 Defenisi Mr. Dr. N. J. Feldmann >> Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh
dan terhutang kepada Penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum),
tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-
pengeluaran umum.
 Definisi Prof. Dr. M J. H. Smeets >> Pajak adalah prestasi kepada Pemerintah yang
terhutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya
kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adalah
untuk membiayai pengeluaran Pemerintah.
Modul Hukum Pajak Page |3

 Definisi Dr. Soeparman Soemahamidjaja >> Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau
barang, yang dipungut oleh Penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup
biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan
umum.
 Definisi Prof DR. Rochmat Soemitro, S.H. >> Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas
Negara berdasarkan Undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa
timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum.
 Definisinya yang lain (1974 : 8), menyatakan >> Pajak adalah peralihan kekayaan dari
pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan .surplus.-nya
digunakan untuk Public Saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai Public
Investment.
 Definisi Prof DR. P. J. A. Adriani >> Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat
dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan,
dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhubung dengan
tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

2. Ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak.


Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan diatas, tersimpul ciri-ciri yang melekat
pada pengertian pajak yaitu :
a) Pajak dipungut berdasarkan dengan kekuatan Undang-undang serta aturan
pelaksanaannya.
b) Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi individual
oleh pemerintah.
c) Pajak dipungut oleh Negara (baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah).
d) Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran Pemerintah, yang bila dari pemasukkannya
masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.
e) Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgeter, yaitu mengatur.

3. Fungsi pajak
Fungsi pajak ada dua :
1. Fungsi Anggaran (Fungsi Budgetair) ialah fungsi pajak disektor publik, merupakan suatu
alat atau sumber untuk memasukkan uang dari masyarakat berasarkan undang-undang ke
Kas Negara, hasilnya untuk membiayai pengeluaran umum Negara.
2. Fungsi mengatur (Regulerend) ialah fungsi pajak yang dipergunakan untuk mengatur
atau untuk mencapai tujuan tertentu dibidang ekonomi, politik, sosial, budaya,
pertahanan keamanan misalnya dengan mengadakan perubahan-perubahan tarif,
memberikan pengecualian atau keringanan-keringanan.

B. RETRIBUSI
Retribusi ialah pembayaran-pembayaran kepada Negara yang dilakukan oleh mereka
yang menggunakan jasa-jasa Negara. Dalam retribusi nyata-nyata bahwa atas pembayaran-
pembayaran itu si pembayar mendapat prestasi kembali yang langsung. Misalnya :
pembayaran uang sekolah, uang kuliah, langganan PAM, retribusi pasar dan lain-lain.
C. SUMBANGAN
Modul Hukum Pajak Page |4

Menurut Santoso Brotodihadjo, S.H. (1982 : 6), sumbangan mengandung pikiran,


bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan untuk prestasi Pemerintah tertentu, tidak boleh
dikeluarkan dari kas umum. Karena prestasi itu tidak ditunjukan kepada penduduk
seluruhnya, melainkan hanya untuk sebagian tertentu saja. Oleh karena itu maka hanya
golongan tertentu dari penduduk yang diwajibkan membayar sumbangan ini. Misalnya
Sumbangan Wajib Pemeliharaan Prasarana Jalan, Pening Speda.

D. SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK


Terdapat tiga sistem pemungutan pajak di Indonesia, yaitu:
1. official assessment system
 Wewenang berada ditangan pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya
pajak yang terutang
 Wajib Pajak bersifat pasif. (hanya menunggu)
 Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiscus
 Contoh: Pajak Bumi dan Bangunan

2. self asssessment system


 Wewenang berada ditangan Wajib Pajak untuk menentukan pajaknya sendiri
 Wajib pajak bersifat aktif (menghitung memperhitungkan, membayar dan
melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar)
 Utang pajak timbul tanpa menunggu surat ketetapan pajak
 Contoh: Pajak penghasilan

3. with holding system


 Wewenang berada di pihak ketiga yang ditetapkan oleh Peraturan Perpajakan
untuk melaksanakan pemotongan dan pemungutan pajak
 Utang pajak timbul tanpa menunggu surat ketetapan pajak
 Contoh: PPN

E. TEORI PEMUNGUTAN PAJAK


(A). Teori Asuransi.
Menurut teori ini Negara memungut pajak karena Negara bertugas untuk melindungi orang
dan segala kepentingannya, keselamatan dan keamanan jiwa juga harta bendanya.
Pembayaran pajak disamakan dengan pembayaran dengan pembayaran premi, seperti halnya
perjanjian asuransi (pertanggungan), maka untuk perlindungan diperlukan pembayaran
berupa premi. Walaupun perbandingan dengan perusahaan asuransi tidak tepat karena :
a. Dalam hal timbul kerugian, tidak ada suatu penggantian dari Negara.
b. Antara pembayaran jumlah-jumlah pajak dengan jasa-jasa yang diberikan oleh
Negara, tidaklah terdapat hubungan yang langsung, namun teori ini tetap
dipertahankan, sekadar untuk memberi dasar hukum kepada pemungutan pajak saja.

Karena pincangnya persamaan tadi, menimbulkan ketidak puasan, pula karena ajaran bahwa
pajak bukan restibusi, maka makin lama makin berkuranglah penganut teori ini.

(B). Teori kepentingan.


Modul Hukum Pajak Page |5

Menurut teori ini Negara memungut pajak karena Negara melindungi kepentingan jiwa dan
harta benda warganya, teori ini memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut
dari seluruh penduduk. Pembagian beban ini harus didasarkan atas kepentingan orang
masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah (yang bermanfaat baginya), termasuk juga
perlindungan atas jiwa beserta harta bendanya. Maka sudah selayaknya bahwa biaya-biaya
yang dikeluarkan oleh Negara untuk menunaikan kewajibannya, di bebankan kepada
mereka. Terhadap teori ini banyak yang menyanggah. Karena dalam ajarannya pajak
dikacaukan dengan restibusi.

Untuk kepentingan yang lebih besar terhadap harta benda yang lebih banyak harganya
daripada harta si miskin harus membayar pajak lebih besar dalam hal tertentu, misalnya
dalam perlindungan yang termasuk jaminan sosial, sehingga sebagai konsekwensinya harus
membayar pajak lebih banyak, dan inilah suatu hal yang bertentangan dengan kenyataan.
Untuk mengambil kepentingan seseorang dalam usaha pemerintah sebagai ukuran, sejak
dahulu belum ada alat pengukurnya, sehingga sulit sekali dapat ditentukan dengan tegas.
Makin lama teori ini pun ditinggalkan.

(C). Teori kewajiban pajak mutlak atau Teori Bakti.

Teori ini berdasarkan atas paham Organische Staatsleer, diajarkan bahwa justru karena sifat
Negara inilah maka timbulah hak mutlak untuk memungut pajak. Orang-orang tidaklah
berdiri sendiri, dengan tidak adanya persekutuan , tidaklah akan ada individu. Oleh karena
persekutuan itu (yang menjelma jadi Negara) berhak atas satu dan lain. Sejak berabad-abad
hak ini telah diakui, dan orang-orang selalu menginsafinya sebagai kewajiban asli untuk
membuktikan tanda baktinya terhadap Negara dalam bentuk pembayaran pajak.

(D). Teori asas Gaya Beli.

Teori ini tidak mempersoalkan asal mula Negara memungut pajak, hanya melihat kepada
efeknya, dan dapat memandang efek yang baik itu sebagai dasar keadilannya. Menurut teori
ini fungsi pemungutan pajak jika dipandang sebagai gejala dalam masyarakat, dapat
disamakan dengan pompa, yaitu mengambil gaya beli dari rumah-tangga dalam masyarakat
untuk rumah tangga Negara, dan kemudian menyalurkannya kembali ke masyarakat dengan
maksud untuk memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya kearah tertentu.

Teori ini mengajarkan, bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat
dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu, juga bukan
kepentingan Negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya. Teori ini
menitikberatkan ajarannya kepada fungsi kedua dari pemungutan pajak yaitu fungsi
mengatur.

(E). Teori Gaya Pikul.

Teori ini menganut bahwa dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada jasa-jasa yang
diberikan oleh Negara pada warganya, yaitu perlindungan atas jiwa dan harta bendanya.
Untuk keperluan ini diperlukan biaya-biaya, biaya ini dipikul oleh orang yang menikmati
perlindungan itu, berupa pajak. Pokok pangkal teori ini adalah asas keadilan, yaitu tekanan
pajak haruslah sama beratnya untuk setiap orang.

Pajak harus dipikul menurut gaya pikulnya dan sebagai ukurannya, dapat dipergunakan
selain besarnya penghasilan dan kekayaan juga pengeluaran atau pembelanjaan seseorang.
Modul Hukum Pajak Page |6

Teori ini sampai kini masih dipertahankan. Asas ini sangat terkenal, tetapi seluk beluknya
sering kali timbul salah paham, bahkan diantara para sarjana hukum dan cerdik pandai
lainnya.

F. JENIS – JENIS PAJAK


Modul Hukum Pajak Page |7

MODUL
HUKUM PAJAK

Tujuan Pembelajaran :
Memberikan pemahaman kepada mahasiswa terkait:
1. Pengertian hukum pajak
2. Kedudukan hukum pajak
3. Hukum pajak formil dan meteril
4. Hubungan hukum pajak dengan hukum perdata dan pidana
5. Pengadilan pajak

Kompotensi Dasar :
Mahasiswa mampu memahami konsep hukum pajak

URAIAN MATERI

A. PENGERTIAN HUKUM PAJAK


Apabila seseorang ingin mempelajari suatu ilmu, maka orang tersebut, perlu
mengetahui apa arti atau definisi dari ilmu yang akan dipelajarinya itu agar mudah
memahami apa yang terkandung dalam ilmu itu. Definisi dalam ilmu hukum seperti dalam
ilmu sosial lainnya tidak ada yang pasti, tetapi bermacam-macam, sesuai dengan sudut
pandang masing-masing sarjana yang membuat definisi tersebut. Namun dalam bermacam-
macam bunyi definisi itu, intinya akan sama.

 R. Santoso Brotodihardjo, S.H., (1986 : 1) menyatakan bahwa Hukum Pajak yang


disebut juga Hukum Fiskal, adalah keseluruhan dan peraturan-peraturan yang meliputi
wewenang pemerintah, untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya
kembali kepada masyarakat dengan melalui Kas Negara, sehingga ia merupakan bagian
dari Hukum Publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antar negara dan orang-
orang atau badan-badan (Hukum) yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya
disebut Wajib Pajak).Di dalam Hukum Pajak memuat pula unsur-unsur Hukum Tata
Negara, Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana, Hukum Perdata dan lain-lain.
 Prof. DR. H. Rochmat Soemitro, S.H., (1977 : 23) menyatakan bahwa Hukum Pajak
ialah suatu kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah
sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak.

Hukum Pajak merupakan suatu bagian dari Hukum Tata Usaha Negara, yang
didalamnya termuat juga anasir-anasir Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata
dan lain-lain.

B. KEDUDUKAN HUKUM, PAJAK DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA


Secara umum Hukum terbagi atas Hukum Publik dan Hukum Perdata. Hukum
Publik mencakup Hukum Pidana dan Hukum Tantra yang meliputi Hukum Tata Negara dan
Hukum Tata Negara. Hukum Perdata mencakup Hukum Perdata arti sempit (B.W. =
Burgelijke Wetboek) dan Hukum Dagang (W.v.K = Wetboek van Koophandel).
Hukum Publik ialah hukum yang mengatur hubungan Hukum antara Pemerintah
dengan warganya, sedangkan Hukum Perdata ialah Hukum yang mengatur hubungan
Hukum antara perorangan di dalam masyarakat. Hukum Tata Usaha Negara atau Hukum
Modul Hukum Pajak Page |8

Administrasi Negara ialah segenap peraturan hukum yang mengatur segala cara kerja dan
pelaksanaan wewenang yang langsung dari lembaga-lembaga negara serta aparaturnya
dalam melaksanakan tugasnya masing-masing. (Hukum Tata Usaha Negara Materil).
Hukum pajak merupakan bagian dari Hukum Tata Usaha Negara, namun Prof.
Adriani menghendaki bahwa Hukum Pajak berdiri sendiri merupakan suatu ilmu
pengetahuan yang terlepas dari Hukum Tata Usaha Negara karena Hukum Pajak mempunyai
tugas yang bersifat lain daripada hukum administratif pada umumnya, yaitu hukum pajak
juga digunakan sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian dan mempunyai
istilahistilah tersendiri di bidang perpajakan. Namun kemandirian Hukum Pajak, umumnya
dirasakan kurang tepat karena seolah-olah menyatakan bahwa Hukum Pajak berdiri terlepas
dari hukum-hukum lainnya, padahal Hukum Pajak mempunyai hubungan dengan hukum
lain seperti Hukum Perdata, Hukum Pidana,

C. PEMBAGIAN HUKUM PAJAK


Pembagian Hukum Pajak ke dalam Hukum Pajak Material dan Hukum Pajak Formal
penting sekali, seperti halnya Hukum Pidana atau Hukum Perdata.Hukum Pidana terbagi ke
dalam Hukum Pidana Material dan Hukum Pidan Formal (Hukum Acara Pidana) dan
Hukum Perdata ke dalam Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata.
Di dalam Undang-undang Pajak yang lama seperti Ordonansi PPd 1944, Ordonasi
PKK 1932 dan Ordonansi PPs 1925, ketentuan Material dan Formal ada di dalam Undang-
undang pajak itu sendiri.
a) Hukum Pajak Material
Hukum Pajak Material, ialah Hukum Pajak yang memuat normanorma yang
menerangkan keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang
harus dikenakan pajak, sisapa-siapa yang harus dikenakan pajak, berapa besarnya pajak atau
dapat dikatakan pula segala sesuatu tentang timbulnya, besarnya, dan hapusnya utang pajak
dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. Undang-undang pajak yang
termasuk dalam Hukum Pajak Material ialah :

1. UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.


2. UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Barang Mewah
3. UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
4. UU No. 13 Taun 1985 tentang Bea Material.

a) Hukum Pajak Formal


Hukum Pajak Formal ialah Hukum Pajak yang memuat peraturanperaturan mengenai
cara cara Hukum Pajak Material menjadi kenyataan. Hukum ini memuat cara-cara
pendaftaran diri untuk memperoleh NPWP, cara-cara pembukuan, cara-cara pemeriksaan,
cara-cara penagihan, hak dan kewajiban Wajib Pajak, cara-cara penyidikan, macam-macam
sanksi, dan lain-lain. Undang-undang Pajak yang termasuk Hukum Pajak Formal ialah :

1. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2000.
2. UU No. 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2000
tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

D. HUBUNGAN HUKUM PAJAK DENGAN HUKUM PERDATA


Modul Hukum Pajak Page |9

Hukum Pajak banyak sekali hubungannya dengan Hukum Perdata, hal ini dapat
dimengerti karena Hukum Pajak mencari dasar kemungkinan pemungutan pajak atas dasar
peristiwa (kematian, kelahiran), keadaan (kekayaan), perbuatan (jual beli, sewa menyewa)
yang diatur dalam Hukum Perdata. Hal ini dijadikan Tesbestand yang dituangkan dalam
Undang-undang pajak, dan bila dipenuhi syarat-syaratnya akan menyebabkan seseorang atau
badan dikenakan pajak. Sebagian Sarjana mengatakan bahwa bukan itu yang menyebabkan
timbulnya hubungan yang erat antara Hukum Pajak dengan Hukum Perdata, melainkan
suatu ajaran di bidang hukum yang menyatakan bahwa lex specialis derogat lex generale,
yaitu hukum yang khusus menyimpangkan hukum yang umum.
Prof. Mr. W.F. Prins dalam bukunya Het Belastingrescht van Indonesie, menyatakan
bahwa .hubungan erat ini sangat mungkin sekali timbul karena banyak dipergunakan istilah-
istilah Hukum Perdata dalam Hukum Pajak walaupun sebagai prinsip harus di pegang teguh,
bahwa pengertian-pengertian yang dianut oleh Hukum Perdata tidak selalu dianut dalam
Hukum Pajak. Misalnya mengenai istilah .tempat tinggal. atau domisili, diatur baik dalam
Hukum Perdata maupun dalam Hukum Pajak.
Di dalam Hukum Perdata domisili diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 25
BW., sedangkan dalam Hukum Pajak antara lain dama Undang-undang lama yaitu Pasal 1
ayat (2) Ordonansi PPh 1932 jo pasal 1 ayat (2) Ordonansi PPd 1944 dan dalam Undang-
undang Pajak baru Pasal 2 ayat (5) dan ayat (6) UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan. Untuk jelasnya bunyi pasal-pasal tersebut adalah :

1. Pasal 17 B.W :. Setiap orang dianggap mempunyai tempat tinggalnya dimana ia


menempatkan pusat kediamannya. Dalam hal tak adanya tempat tinggal yang demikian,
maka tempat kediaman sewajarnya dianggap sebagai tempat tinggal.
2. Pasal 2 ayat (5) UU. No. 7 Tahun 1983 :. Seseorang atau suatu badan berada, bertempat
tinggal, atau berkedudukan di Indonesia ditentukan menurut keadaan sebenarnya.
3. Pasal 2 ayat (6) UU No. 7 Tahun 1983 :. Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan
seseorang atau suatu badan berada, bertempat tinggal atau bertempat kedudukan.
4. Dengan adanya kedua ketentuan tersebut maka ketentuan yang ada dalam Hukum Pajak
yang dianut oleh Fiskus, karena merupakan ketentuan yang khusus (lex spescialis).

E. PENGARUH HUKUM PAJAK TERHADAP HUKUM PERDATA


Pengaruh Hukum Pajak terhadap hukum Perdata akibat dari Lex specialis derogat lex
generale, maka dalam setiap Undang-undang, penafsiran yang harus dianut pertama kali
adalah yang ada di ketentuan yang khusus. Ketentuan dalam Hukum Pajak
mengenyampingkan ketentuan dalam Hukum Perdata, antara lain :
Hak majikan memotong Pajak.
a) Di dalam Pasal 16025 B.W. menyatakan bahwa : .Si majikan diwajibkan
membayar kepada si buruh upahnya pada waktu yang telah ditentukan.
b) Di dalam Hukum Pajak diatur baik dalam Undang-undang Pajak lama maupun
yang baru.
Pasal 23 Ordonansi Pajak Upah dan Pasal 17a Ordomamsi PPd 1944 menyatakan
bahwa .majikan diberi hak untuk memotong lebih dahulu Pajak Upah/PPh Pasal 17a
sebelumnya menerima gaji.
Di dalam Pasal 21 UU No. 7 Tahun 1983 dinyatakan pada ayat (1) .Pemotongan
pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dan penyetorannya ke Kas Negara,
wajib dilakukan oleh :
Modul Hukum Pajak P a g e | 10

 Pemberi kerja yang membayar gaji, upah dan honorarium dengan nama apapun, sebagai
imbalan atas pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau orang lain yang dilakukan di
Indonesia.
 Dan seterusnya. Apabila mengamati ketentuan dalam B.W. dan Undang-undang Pajak
sepintas seperti bertentangan, B.W. menyatakan majikan wajib membayar gaji kepada si
buruh, padahal dalam Undang-undang Pajak majikan diberi hak untuk memotong lebih
dahulu pajak Upah/PPh 17a sebelum diterimakan gaji, maka dalam hal ini ketentuan
dalam Undang-undang pajaknya yang dianut.

F. HUBUNGAN HUKUM PAJAK DENGAN HUKUM PIDANA.


1) Umum
Ancaman Hukuman Pidana tidak saja terdapat dalam K.U.H.P., tetapi banyak juga
tercantum dalam Undang-undang di luar K.U.H.P. hal ini disebabkan antara lain :
1. Adanya perubahan sosial secara cepat sehingga perubahan-perubahan itu perlu
disertai dan diikuti peraturan-peraturan hukum dengan sanksi pidana.
2. Kehidupan moderen semakin kompleks, sehingga disamping adanya peraturan
pidana berupa unifikasi yang bertahan lama (KUHP) diperlukan pula peraturan-
peraturan pidana yang bersifat temporer.
3. Pada banyak peraturan hukum yang berupa Undang-undang di lapangan hukum
administrasi Negara, perlu di kaitkan dengan sanksisanksi pidana untuk mengawasi
peraturan-peraturan itu agar ditaati. Sanksi-sanksi pidana terdapat dalam Undang-
undang di luar KUHP antara lain dalam UU Tindak Pidana Ekonomi, UU Tindak
Pidana Subversi, Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Pajak dan lain-lain. Antara
K.U.H.P. dengan delik-delik/tindak pidana yang tersebar di luar K.U.H.P. ada
pertalian yang terletak dalam Aturan Umum Buku I K.U.H.P.
Berlakunya Ketentuan Umum dalam K.U.H.P. tercantum dalam Pasal 103 K.U.H.P.
yang berbunyi : .Ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII Buku I juga berlaku bagi tindak
pidana yang oleh ketentuan perundang-undangan lain diancam dengan pidana, kecuali jika
oleh Undang-undang ybs. Diatur lain. Ketentuan Pidana di dalam UU Perpajakan antara lain
diatur dalam Bab VIII Pasal 38 sampai dengan Pasal 43 UU KUP, Bab XIII Pasal 24 sampai
dengan Pasal 27 UU PBB dan Bab V Pasal 13 dan Pasal 14 UU Bea Meterai.

2) Sanksi Pidana terhadap pelanggaran atau kejahatan di bidang perpajakan yang


diancam baik dalam KUHP maupun dalam Undang-undang Pajak.
a. Membuka rahasia / rahasia jabatan.
Pasal 322 KUHP :
1. Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena
jabatan atau pekerjaannya, sekarang maupun dahulu, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
2. Jika kejahatan dilakukan terhadap orang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat
dituntut atas pengaduan orang lain.

Pasal 41 UU KUP :
1. Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahu
dan denda paling banyak Rp 4.000.000,- (empat juta rupiah).
2. Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang
menyebabkan tidak dipenuhinya kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak
dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan
Modul Hukum Pajak P a g e | 11

pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah).
3. Penuntutan terhadap) ha tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) nya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.

b. Pemalsuan Surat.
Pasal 263 KUHP.
1. Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan
suatu hak atau pembebasan hutang atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada
sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat
tersebut seolah-olah isinya benar atau tidak dipalsukan, diancam, jika pemakaian
tersebut dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat dengan pidana penjara
paling lama enam bulan.
2. Diancam dengan pidana yang sama, barang siap dengan sengaja memakai surat palsu
atau dipalsukan, seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan
kerugian.

Pasal 39 ayat (1) huruf e UU KUP


Setiap orang yang dengan sengaja : a, b, c, dan seterusnya.
e. Memperhatikan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan
seolah-olah benar.
f. Dan seterusnya. Sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi sebesar 4 (empat)
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

G. PENGADILAN PAJAK

Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan Kekuasaan kehakiman


di Indonesia bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap
sengketa pajak. Dimana yang dimaksud sengketa pajak adalah sengketa yang timbul
dibidang perpajakan antara wajib pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan
pajak. Itu termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan undang-undang
penagihan dengan surat paksa.

Pengadilan pajak dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002


tentang Pengadilan Pajak. Kedudukan Pengadilan Pajak berada di ibu kota negara.
Persidangan oleh Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya, dan dapat pula
dilakukan di tempat lain berdasarkan ketetapan Ketua Pengadilan Pajak. Susunan
Pengadilan Pajak terdiri atas: Pimpinan, Hakim Anggota, Sekretaris, dan Panitera. Pimpinan
Pengadilan Pajak sendiri terdiri dari seorang Ketua dan sebanyak-banyaknya 5 orang Wakil
Ketua. Adapun dasar untuk menegaskan kedudukan Pengadilan Pajak dalam lingkup
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, adalah berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi atas perkara nomor 004/PUU-11/2004 dinyatakan, pihak-pihak yang bersengketa
dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah
Agung.
Modul Hukum Pajak P a g e | 12

MODUL
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

Undang-Undang KUP
KUP adalah singkatan yang biasa dipakai untuk Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan. Undang-Undang KUP memuat ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang
pada prinsipnya berlaku bagi undang-undang pajakk materiil, kecuali dalam undang-undang
pajak yang bersangkutan telah mengatur sendiri mengenai ketentuan umum dan tata cara
perpajakannya.

UU KUP telah mengalami tiga kali perubahan sejak diundangkan pertama kali dengan UU
Nomor 6 Tahun 1983 yang berlaku mulai 1 Januari 1984. Perubahan pertama dilakukan
dengan UU Nomor 9 Tahun 1994 yang berlaku mulai 1 Januari 1995. Perubahan kedua
dilakukan dengan UU Nomor 16 Tahun 2000 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2001.
Dan perubahan terakhir adalah dengan UU Nomor 28 Tahun 2007 yang mulai berlaku
tanggal 1 Januri 2008.

Pengertian Pajak
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang. (Pasal 1 UU Nomor 28 Tahun 2007/
UU KUP)

Wajib Pajak
Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dalam Pasal 2 angka 1 UU KUP disebutkan bahwa, “Setiap wajib pajak yang telah
memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak dan kepadanya
diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak”.

Persyaratan subjektif pajak


Persyaratan subjektif dalam peraturan perpajakan, yaitu:
1. Orang pribadi sebagai subjek pajak dalam negeri, dimulai pada saat orang pribadi
tersebut dilahirkan, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
2. Badan, dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia.
3. Orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, dimulai pada saat
orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
4. Orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan di Indonesia bukan dari menjalan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, dimulai pada saat orang pribadi
atau badan tersebut menerima atau memperolah penghasilan dari Indonesia.
5. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak,
dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut.
Modul Hukum Pajak P a g e | 13

Persyaratan objektif pajak


Persyaratan objektif berdasarkan UU PPh dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Sebagai pemikul beban pajak, yaitu bagi badan atau orang pribadi yang memperoleh
atau menerima penghasilan yang dikenai PPh berdasarkan UU PPh, yang terdiri dari
Pajak Penghasilan Badan dan Pajak Penghasilan Orang Pribadi.
2. Sebagai pemungut atau pemotong pajak, terdiri dari pemungutan atau pemotongan
PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat (2) dan
PPh Pasal 15.

Self Assessment
Self Assessment adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada
masyarakat wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang.
Adapun prinsip self assessment dalam UU KUP sebagai berikut: (Pasal 12 UU KUP)
1. Setiap wajib pajak membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat
ketetapan pajak.
2. Jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh
wajib pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
3. Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang
menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar,
Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.

Wajib Pajak Orang Pribadi


Wajib pajak orang pribadi adalah wajib pajak yang:
1. menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas, dan
2. tidak menjalankan usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas namun jumlah
penghasilannya sampai dengan suatu bulan yang disetahunkan telah melebihi
Penghasilan Kena Pajak (PTKP).
Yang dimaksud dengan pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi
yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak
terikat oleh suatu hubungan kerja.

Wajib Pajak Badan


Wajib pajak badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan
usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik,
atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi
kolektif dan bentuk usaha tetap.

Tarif PPh 21
Tarif PPh 21 dipotong dari jumlah Penghasilan Kena Pajak yang dibulatkan ke bawah ke
ribuan penuh. Berikut ini adalah tarif PPh 21 terbaru bagi wajib pajak yang memiliki NPWP
dan wajib pajak yang tidak memiliki NPWP.
Tarif PPh 21 Bagi Wajib Pajak yang Memiliki NPWP
Tarif PPh 21 dijelaskan pada Pasal 17 ayat (1) huruf a Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-32/PJ/2015. Tarif PPh 21 berikut ini berlaku pada Wajib Pajak (WP) yang
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP):
Modul Hukum Pajak P a g e | 14

 WP dengan penghasilan tahunan sampai dengan Rp 50 juta adalah 5%


 WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 50 juta - Rp 250 juta adalah 15%
 WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 250 juta - Rp 500 juta adalah 25%
 WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 500 juta adalah 30%
 Untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP, dikenai tarif pph 21 sebesar 20%
lebih tinggi dari mereka yang memiliki NPWP.

Tarif PPh 21 Bagi Wajib Pajak yang Tidak Memiliki NPWP


Bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP maka dikenakan tarif PPh 21
sebesar 20% lebih tingggi. Berikut ini adalah tarif PPh 21 bagi penerima penghasilan yang
tidak memiliki NPWP:
 Bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP, dikenakan pemotongan PPh
Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% daripada tarif yang diterapkan terhadap wajib
pajak yang memiliki NPWP.
 Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
adalah sebesar 120% dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal
yang bersangkutan memiliki NPWP.
 Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk
pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.
 Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima penghasilan
yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
dalam tahun kalender yang bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal 21
untuk Masa Pajak Desember, PPh Pasal 21 yang telah dipotong atas selisih pengenaan
tarif sebesar 20% (dua puluh persen) lebih tinggi tersebut diperhitungkan dengan PPh
Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki NPWP.

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)


PTKP adalah batas penghasilan wajib pajak orang pribadi yang tidak dikenakan pajak.
Dengan disahkannya UU ini maka penyesuaian nilai PTKP 2016 dalam setahun adalah
sebagai berikut :
1. Wajib Pajak Orang Pribadi adalah sebesar Rp. 54.000.000,- ;
2. Tambahan Rp. 4.500.000,- untuk tambahan Wajib Pajak Kawin ;
3. Tambahan Rp. 54.000.000,- untuk penghasilan istri yang penghasilannya digabung
dengan penghasilan suami ;
4. Tambahan Rp. 4.500.000,- untuk tambahan anggota keluarga atau anak, maksimal
3 orang.

Akibat penyesuaian PTKP 2016 ini maka Wajib yang memiliki penghasilan Rp. 4.500.000,-
per bulan dengan status belum menikah dan tidak memiliki tanggungan tidak akan
dikenakan pajak penghasilan PPh Pasal 21.
Modul Hukum Pajak P a g e | 15

MODUL
NPWP DAN NPPKP

Semua orang pribadi merupakan Subjek Pajak, namun bukan berarti semua Subjek
Pajak merupakan Wajib Pajak yang menurut undang-undang memiliki kewajiban dan hak
perpajakan. Setiap orang pribadi sebagai Subjek Pajak yang telah memiliki penghasilan di
atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal orang pribadi, untuk
mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Nomor Pokok Wajib Pajak atau NPWP


NPWP adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi
perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam
melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. (Pasal 1 angka 6 UU KUP).
NPWP diberikan kepada wajib pajak orang pribadi atau badan yang berdasarkan UU Pajak
Penghasilan (PPh) dikenai kewajiban perpajakan baik kewajiban perpajakan atas dirinya
sendiri ataupun kewajiban memungut atau memotong PPh pihak lain (withholding tax).

Ada berapa digitkah nomor NPWP


NPWP terdiri dari 15 (lima belas) digit, yaitu 9 (sembilan) digit pertama merupakan Kode
Wajib Pajak dan 6 (enam) digit berikutnya merupakan Kode Administrasi Perpajakan.

Pengusaha Kena Pajak (PKP)


PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau
Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN.

Apa sajakah kewajiban sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)


Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak
(JKP) di dalam daerah pabean dan/atau melakukan ekspor BKP Berwujud, ekspor JKP,
dan/atau eskpor BKP Tidak Berwujud diwajibkan:

1. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;


2. Memungut pajak yang terutang;
3. Menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang masih harus dibayar dalam hal
Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta
menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang, dan;
4. Melaporkan penghitungan pajak.

Kewajiban di atas tidak berlaku untuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh
Menteri Keuangan. Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku
melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/atau
penerimaan bruto tidak lebih dari Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Sanksi yang diberikan kepada wajib pajak bila tidak mendaftarkan diri dan melaporkan
usahanya
Ya, ada! Pasal 39 ayat (1) huruf a dan b UU KUP menyatakan bahwa, “setiap orang yang
dengan sengaja: (a) tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP atau tidak melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, (b) menyalahgunakan atau menggunakan tanpa
hak NPWP atau PKP sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,
Modul Hukum Pajak P a g e | 16

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam)
tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar.”
Pidana tersebut ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila
seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun,
terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
Apakah NPWP dapat dimintakan untuk dihapuskan
Ya bisa. Penghapusan NPWP adalah tindakan menghapuskan NPWP dari tata usaha Kantor
Pelayanan Pajak. Penghapusan ini hanya ditujukan untuk kepentingan tata usaha perpajakan
dan tidak menghilangkan kewajiban perpajakan yang harus dilakukan wajib pajak yang
bersangkutan.
Secara materiil, penghapusan NPWP dilakukan dalam hal: (KepDirjen Pajak Nomor Kep-
161/PJ/2001 tanggal 21 Februari 2001)

1. Wajib pajak orang pribadi meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan.
2. Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.
3. Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai subjek pajak sudah selesai
dibagi.
4. Wajib pajak badan yang telah dibubarkan secara resmi berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Bentuk usaha tetap yang karena sesuatu hal kehilangan statusnya sebagai bentuk
usaha tetap.
6. Wajib pajak orang pribadi lainnya selain yang dimaksud dalam huruf a dan b yang
tidak memenuhi syarat lagi sebagai wajib pajak.
Modul Hukum Pajak P a g e | 17

MODUL
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

Pemotongan PPh Pasal 21


Merupakan cara pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan. Jumlah penghasilan neto sehubungan
dengan pekerjaan ditentukan berdasarkan penghasilan neto yang tertera dalam bukti
pemotongan PPh Pasal 21 yang diberikan oleh pemberi kerja. Penghasilan neto atas
penghasilan dari pekerjaan sehubungan dengan pegawai tetap dihitung dengan cara
penghasilan bruto (gaji, tunjangan, bonus, penghasilan lainnya), dikurangi dengan:
 Biaya jabatan sebesar 5% dari penghasilan bruto dengan jumlah maksimum
Rp6.000.000,00 setahun, atau biaya pensiun sebesar 5% dari penghasilan bruto
dengan jumlah maksimum sebesar Rp2.400.000,00 setahun (bagi pensiunan);
 Iuran pensiun yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tabungan hari tua
atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
 Zakat atau sumbangan keagamaan lainnya kepada lembaga/badan yang telah
ditetapkan Pemerintah

Penerapan penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap


Penghasilan Kena Pajak dihitung dari penghasilan bruto dikurangi dengan biaya
jabatan, iuran pensiun termasuk iuran Tabungan Hari Tua/Tunjangan Hari Tua
(THT) (kecuali iuran Tabungan Hari Tua/THT pegawai negeri sipil/anggota
ABRI/pejabat negara), dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Besar tarif pajak sesuai dengan Pasal 17


Tarif yang digunakan adalah :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak ;

o Sampai dengan Rp 25.000.000,00 = 5 %


o Di atas Rp 25.000.000,00 sampai dengan Rp 50.000.000,00 = 10 %
o Di atas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp 100.000.000,00 = 15 %
o Di atas Rp 100.000.000,00 sampai dengan Rp 200.000.000,00 = 25 %
o Di atas Rp 200.000.000,00 = 35 %

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)


PTKP adalah batas penghasilan wajib pajak orang pribadi yang tidak dikenakan pajak.
Dengan disahkannya UU ini maka penyesuaian nilai PTKP 2016 dalam setahun adalah
sebagai berikut :
1. Wajib Pajak Orang Pribadi adalah sebesar Rp. 54.000.000,- ;
2. Tambahan Rp. 4.500.000,- untuk tambahan Wajib Pajak Kawin ;
3. Tambahan Rp. 54.000.000,- untuk penghasilan istri yang penghasilannya digabung
dengan penghasilan suami ;
4. Tambahan Rp. 4.500.000,- untuk tambahan anggota keluarga atau anak, maksimal
3 orang.
Modul Hukum Pajak P a g e | 18

Penerapan penghitungan PPh Pasal 21 untuk penerima pensiun yang menerima


pensiun secara bulanan
Penerima pensiun yang menerima pensiun secara bulanan.
1. Penghasilan Kena Pajak dihitung dari penghasilan bruto dikurangi dengan biaya
pensiun dan PTKP
2. Besarnya biaya pensiun yang diperkenankan adalah sebesar 5% dari penghasilan
bruto berupa uang pensiun setinggi-tingginya Rp 432.000,00 setahun atau Rp
36.000,00 sebulan.
3. PTKP sama dengan PTKP untuk pegawai tetap.
4. Tarif yang digunakan sama dengan tarif untuk pegawai tetap.

Penerapan penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tidak tetap, pemagang dan
calon pegawai
Pegawai tidak tetap, pemagang, dan calon pegawai.
1. Penghasilan Kena Pajak dihitung dari penghasilan bruto dikurangi dengan PTKP.
2. PTKP sama dengan PTKP untuk pegawai tetap.
3. Tarif yang digunakan sama dengan tarif untuk pegawai tetap.

Penerapan penghitungan PPh Pasal 21 untuk tenaga ahli yang melakukan pekerjaan
bebas
1. Tarif yang digunakan adalah sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto yang
dibayarkan atau terutang.
2. Perkiraan penghasilan neto adalah sebesar 40 % dari penghasilan bruto berupa
honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun.

Penerapan penghitungan PPh Pasal 21 untuk penerima upah harian, mingguan,


satuan, borongan dan uang saku harian
Penerima upah harian, mingguan, satuan, borongan dan uang saku harian.
Tarif sebesar 10% diterapkan atas upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan,
dan uang saku harian yang jumlahnya melebihi Rp 150.000,00 tetapi tidak melebihi Rp
4.500.000,00 dalam satu bulan takwim dan atau tidak dibayarkan secara bulanan.
Bila dalam satu bulan takwim jumlahnya melebihi Rp 4.500.000,00 maka besarnya PTKP
yang dapat dikurangkan untuk satu hari adalah sesuai dengan jumlah PTKP yang sebenarnya
dari penerima penghasilan yang bersangkutan dibagi dengan 360.
Yang dimaksud dengan :
1. Upah/uang saku harian adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar jumlah
hari kerja;
2. Upah mingguan adalah upah yang terutang atau dibayarkan secara mingguan;
3. Upah satuan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar banyaknya satuan
yang dihasilkan;
4. Upah borongan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar penyelesaian
pekerjaan tertentu.

Penerapan penghitungan PPh Pasal 21 untuk penerima uang tebusan pensiun,


Tunjangan Hari Tua atau Tabungan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus
Penerima uang tebusan pensiun, Tunjangan Hari Tua atau Tabungan Hari Tua yang
dibayarkan sekaligus.
Dipotong dengan tarif bersifat final sebesar :
o 10% dari penghasilan bruto jika penghasilan brutonya tidak lebih dari Rp
25.000.000,00.
Modul Hukum Pajak P a g e | 19

o 15% dari penghasilan bruto jika penghasilan brutonya lebih dari Rp 25.000.000,00
Kecuali, atas jumlah penghasilan bruto Rp 8.640.000,00 atau kurang, tidak dipotong PPh
Pasal 21.

Penerapan penghitungan PPh Pasal 21 untuk penerima uang pesangon yang


dibayarkan sekaligus
Penerima uang pesangon yang dibayarkan sekaligus.
Dipotong pajak sebesar :
o 10% dari penghasilan bruto jika penghasilan brutonya tidak lebih dari Rp
25.000.000,00.
o 15% dari penghasilan bruto jika penghasilan brutonya lebih dari Rp 25.000.000,00
Kecuali, atas jumlah penghasilan bruto Rp 17.280.000,00 atau kurang, tidak dipotong PPh
Pasal 21.

Penerapan penghitungan PPh Pasal 21 untuk penerima hadiah dan penghargaan


dengan nama dan dalam bentuk apapun
o Penerima hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
o Atas hadiah dan penghargaan dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif sebesar 15% dari
jumlah bruto, dan bersifat final.

Penerapan penghitungan PPh Pasal 21 untuk petugas dinas luar asuransi dan petugas
penjaja barang dagangan yang menerima komisi
o Petugas dinas luar asuransi dan petugas penjaja barang dagangan yang menerima
komisi.
o Atas komisi yang diterima diterapkan tarif sebesar 10% bersifat final dengan syarat
petugas tersebut bukan pegawai tetap.

PPh BADAN

PPh Badan adalah Pajak Penghasilan yang terhutang oleh Wajib Pajak Badan atas
Penghasilan Kena Pajaknya dalam suatu tahun pajak (Cfm Ketentuan UU PPh tahun 1984
s.t.d.t.d UU No. 17 Tahun 2000. Penghasilan/Laba Kena Pajak (taxable income) merupakan
penghasilan / laba yang dihitung berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku di
Indonesia. Yaitu, penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh
dikurangi dengan biaya-biaya yang diperkenankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) UU PPh. Besarnya PPh Badan yang terutang dihitung dengan menerapkan tariff
PPh menurut Pasal 17 UU PPh atas Penghasilan Kena Pajaknya.
Dalam prakteknya untuk PPh Badan ini memiliki skema pembayaran tersendiri
terkait dengan perubahan dari undang-undang pajak itu sendiri. Pelatihan ini akan
memberikan update beberapa info mengenai aturan terkait dengan PPh Badan, cara
pengisian SPT-nya dan beberapa review peraturan tentang PPh Badan.

Tarif pajak penghasilan badan usaha


 UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
 UU. No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang No. 7
Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan dan
 Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu
Modul Hukum Pajak P a g e | 20

Ada tiga klasifikasi tarif yang berlaku bagi badan usaha yang penghasilan brutonya berbeda-
beda.
1. Pertama adalah bagi badan usaha yang penghasilan bruto (peredaran brutonya) di
bawah Rp4.8 Miliar.
2. Kedua adalah bagi badan usaha yang penghasilan bruto atau (peredaran brutonya)
di atas Rp4.8 Miliar dan kurang dari Rp50 Miliar.
3. Ketiga adalah bagi badan usaha yang penghasilan bruto (gross income-nya) lebih
dari Rp50 Miliar.

Jadi, ada tiga macam tarif pajak; besarnya tergantung dari berapa besar 'gross income' badan
usaha Anda.
1. Bila peredaran bruto atau 'gross income' usaha Anda di bawah Rp4.8 Miliar, maka
tarif pajaknya adalah 1 persen (1 %) dari Peredaran Bruto.
2. Bila 'gross income' di atas Rp4.8 Miliar dan kurang dari Rp50 Miliar, tarif pajaknya
adalah {0.25 - (0.6 Miliar/Gross Income)} dikali Penghasilan Kena Pajak (PKP).
3. Bila 'gross income' di atas Rp50 Miliar, maka tarif pajaknya adalah 25% dari
Penghasilan Kena Pajak.

Bila disajikan dalam bentuk tabel, inilah ringkasan tarif pajak penghasilan untuk
badan usaha.
TABEL TARIF PAJAK PENGHASILAN UNTUK
BADAN USAHA
Penghasilan Kotor (Peredaran Bruto)
Tarif Pajak
(Rp)
1% x Penghasilan Kotor
Kurang dari Rp4.8 Miliar
(Peredaran Bruto)
{0.25 - (0.6 Miliar/Penghasilan Kotor)} x
Lebih dari Rp4.8 Miliar s/d Rp50 Miliar
PKP
Lebih dari Rp50 Miliar 25% x PKP

Menurut Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan, UU No. 36 Tahun 2008, Penghasilan


Kena Pajak adalah 'gross income' kurang biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan
penghasilan kotor badan usaha. Dengan kata lain, Penghasilan Kena Pajak adalah
penghasilan kotor kurang biaya yang dikeluarkan. Penghasialan kotor adalah seluruh hasil
dari penjualan dari produk dan jasa Anda termasuk bunga uang yang diperoleh dari bank
atau apa saja yang sifatnya penghasilan.

Sedangkan biaya adalah semua biaya yang Anda keluarkan untuk menghasilkan penghasilan
kotor Anda. Ini termasuk gaji karyawan Anda, sewa gedung, telepon, internet, air listrik,
dan juga biaya-biaya atas jasa yang Anda gunakan dari pihak lain. Semua yang termasuk
pengeluaran masuk ke dalam biaya. Bila Anda kurangkan biaya dari penghasilan kotor
Anda- itulah Penghasilan Kena Pajak Anda. Setelah Anda mendapatkan angka pengahasilan
kena pajak ini, barulah Anda dapat menghitung berapa besar dari pajak badan usaha Anda.
Anda menggunakan besar tarif yang saya sebutkan di atas.
MODUL
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
Modul Hukum Pajak P a g e | 21

Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh:
1. Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-
lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang;
2. Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan
kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
3. Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Pemungut dan Objek PPh Pasal 22


1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), atas impor barang;
2. Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah yang
melakukan pembayaran, atas pembelian barang;
3. BUMN/BUMD yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari
belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut
pada angka 4;
4. Bank Indonesia (BI), Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Badan Urusan Logistik
(BULOG), PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT. Perusahaan Listrik Negara
(PLN), PT. Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel, Pertamina dan bank-
bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari
APBN maupun dari non APBN;
5. Badan usaha yang bergerak dalam bidang industri semen, industri rokok, industri kertas,
industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak,
atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;
6. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan
bakar minyak, gas, dan pelumas.
7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian,
dan perikanan, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, atas pembelian bahan-bahan
untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
8. Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Tarif PPh Pasal 22


1. Atas impor :
a. yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API), 2,5% (dua setengah persen)
dari nilai impor;
b. yang tidak menggunakan API, 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor;
c. yang tidak dikuasai, 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.
2. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah,
BUMN/BUMD (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2,3, dan 4) sebesar
1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN dan tidak final.
3. Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 5)
ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, yaitu:
Modul Hukum Pajak P a g e | 22

a. Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)


b. Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
c. Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
d. Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
4. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir bahan
bakar minyak, gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
Catatan:
Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain penyalur/agen
bersifat tidak final
5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang
pengumpul (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 7) ditetapkan sebesar 2,5 %
dari harga pembelian tidak termasuk PPN.
6. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API
sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai
impor.
7. Atas Penjualan
a. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp20.000.000.000,00
b. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp10.000.000.000,00
c. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari
Rp10.000.000.000,00 dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
d. Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya
lebih dari Rp10.000.000.000,00 dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
e. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa
sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan
sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan
dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual tidak
termasuk PPN dan PPnBM.
8. Untuk yang tidak ber-NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 22

Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22


1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas
(SKB).
2. Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai;
dilaksanakan oleh DJBC.
3. Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor
kembali, dan dilaksanakan oleh Dirjen BC.
4. Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah atau yang lainnya yang
jumlahnya paling banyak Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan tidak merupakan
pembayaran yang terpecah-pecah.
5. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM,
benda-benda pos.
Modul Hukum Pajak P a g e | 23

6. Emas batangan yang akan di proses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas
untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.
7. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor Perbendaharaan
dan Kas Negara.
8. Impor kembali (re-impor) dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah
diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian yang memenuhi
syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
9. Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Bulog.

Saat Terutang dan Pelunasan/Pemungutan PPh Pasal 22


1. Atas impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea
Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh Pasal
22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor
Barang (PIB);
2. Atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2,3, dan 4 )
terutang dan dipungut pada saat pembayaran;
3. Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 5)
terutang dan dipungut pada saat penjualan;
4. Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 6)
dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order);
5. Atas pembelian bahan-bahan (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 7)
terutang dan dipungut pada saat pembelian.

Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22


1. PPh Pasal 22 atas impor barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 1)
disetor oleh importir dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak, Cukai dan
Pabean (SSPCP). PPh Pasal 22 atas impor barang yang dipungut oleh DJBC harus
disetor ke bank devisa, atau bank persepsi, atau bendahara Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai, dalam jangka waktu 1 (satu) hari setelah pemungutan pajak dan
dilaporkan ke KPP secara mingguan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu
penyetoran pajak berakhir.
2. PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea
Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22 atas impor
harus dilunasi saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor. Dilaporkan
ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
3. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir
2) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak rekanan ke bank
persepsi atau Kantor Pos pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas
penyerahan barang. Pemungut menerbitkan bukti pungutan rangkap tiga, yaitu :
a. lembar pertama untuk pembeli;
b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan ke Kantor Pelayanan Pajak;
Modul Hukum Pajak P a g e | 24

c. lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan, dan


dilaporkan ke KPP paling lambat 14 (empat belas ) hari setelah masa pajak
berakhir.
4. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir
3) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke bank
persepsi atau Kantor Pos paling lama tanggal 10 sepuluh) bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir. Dilaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah masa
pajak berakhir.
5. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir
4 ) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke bank
persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim
berikutnya dengan menggunakan formulir SSP dan menyampaikan SPT Masa ke
KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
6. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 5, dan 7 ) dan hasil penjualan barang sangat mewah (Lihat Pemungut dan
Objek PPh Pasal 22 butir 8) disetor oleh pemungut atas nama wajib pajak ke bank
persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim
berikutnya dengan menggunakan formulir SSP. Pemungut menyampaikan SPT Masa
ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
7. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 6) disetor oleh pemungut ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lama tanggal
10(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Pemungut wajib
menerbitkan bukti pemungutan PPh Ps. 22 rangkap 3 yaitu:
a. lembar pertama untuk pembeli;
b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan
Pajak;
c. lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.
Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa ke KPP setempat paling
lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 22
bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran
atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Modul Hukum Pajak P a g e | 25

MODUL
PAJAK PENGHASILAN PASAL 23

Pajak Penghasilan Pasal 23 ( PPh Pasal 23 ) adalah pajak yang dipotong dari
penghasilan yang diperoleh dari transaksi antara dua pihak. Penghasilan yang termasuk
dalam kategori ini meliputi dividen, bunga, royalti, hadiah, dan penghargaan, sewa dan
pendapatan yang terkait dengan aset selain dari transaksi tanah dan bangunan, dan jasa.
Tarif pajak untuk dividen, bunga, royalti, hadiah dan penghargaan adalah 15%, serta
2% dibebankan pada jenis penghasilan lainnya. Namun, jika pihak yang dikenakan PPh
Pasal 23 tidak memiliki NPWP, maka tarif pajak akan dikenakan 2 kali lipat, 30% untuk
dividen, bunga, royalti, hadiah dan penghargaan, serta 4% untuk penghasilan lainnya.

PENGERTIAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 ( PPH PASAL 23 )

Menurut situs Dirjen Pajak, Pajak penghasilan pasal 23 ( PPh Pasal 23 ) adalah pajak
yang dikenakan pada penghasilan atas modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan
penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Umumnya penghasilan jenis ini terjadi saat adanya transaksi antara dua pihak. Pihak
yang menerima penghasilan / penjual / pemberi jasa akan dikenakan PPh pasal 23. Pihak
pemberi penghasilan / pembeli / penerima jasa akan memotong dan melaporkan PPh pasal
23 tersebut kepada kantor pajak.

PIHAK PEMOTONG PPH PASAL 23, DAN PIHAK YANG DIKENAKAN


PPH PASAL 23
Tidak semua pihak dapat dikenakan atau pun memotong PPh Pasal 23. Pihak-pihak
tersebut hanya mereka yang masuk pada kelompok berikut:
Pihak pemotong PPh Pasal 23
 Badan pemerintah
 Subjek Pajak dalam negeri
 Penyelenggara kegiatan
 Bentuk Usaha Tetap
 Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
 Wajib pajak orang pribadi tertentu yang ditunjuk Dirjen Pajak
Pihak yang dikenakan PPh Pasal 23
 Wajib pajak dalam negeri
 Bentuk Usaha Tetap
TARIF DAN OBJEK PPH PASAL 23

Tarif dikenakan pada nilai Dasar Pengenaan Pajak ( DPP ) / jumlah bruto dari
penghasilan. Pada dasarnya dikenakan 2 jenis tarif ( 15% dan 2% ) pada penghasilan ini,
tergantung dari objeknya.
Modul Hukum Pajak P a g e | 26

Tarif 15% untuk objek pajak:


Dividen, bunga, royalti, hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan Pasal 21.

Tarif 2% untuk objek pajak:


 Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali yang telah
dikenai PPh Pasal 4 ayat (2), serta
 Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.
 Jasa lain yang dimaksud pada penjelasan di atas, adalah jasa yang diuraikan dalam
Peraturan Menteri Keuangan No. 244/PMK.03/2008.

PENGECUALIAN PPH PASAL 23


Pemotongan PPh Pasal 23 dikecualikan atas:
 penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank,
 sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan
hak opsi,
 dividen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen
yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri,
 bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i
 sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya,
 penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang
berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.

PEMBAYARAN, PELAPORAN, DAN BUKTI PEMOTONG PPH 23


( DARI PIHAK PEMOTONG )
Pembayaran PPh Pasal 23
Pembayaran dilakukan oleh pihak pemotong dengan cara mengisi Surat Setoran Pajak (SSP)
dan membayarnya melalui Bank Persepsi yang ditunjuk Dirjen Pajak. Jatuh Tempo
pembayaran adalah tanggal 10, sebulan setelah bulan terutang pajak penghasilan 23.
Pelaporan PPh Pasal 23
Pelaporan dilakukan oleh pihak pemotong dengan cara mengisi SPT Masa PPh Pasal 23
yang kemudian dilaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak dimana pihak pemotong
terdaftar. Jatuh Tempo pelaporan adalah tanggal 20, sebulan setelah bulan terutang pajak
penghasilan 23.
Bukti Pemotong PPh Pasal 23
Sebagai tanda bahwa PPh Pasal 23 telah dipotong, pihak pemotong harus memberikan Bukti
Potong ( rangkap ke-1 ) yang sudah dilengkapi kepada pihak yang dikenakan pajak tersebut,
dan kepada Kantor Pelayanan Pajak ( rangkap ke-2 ) saat dilakukannya Pelaporan PPh Pasal
23.
Modul Hukum Pajak P a g e | 27

MODUL
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)

Informasi Umum Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan barang
kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP). PPN juga dikenakan kepada sebagian besar
barang-barang impor dari luar Indonesia yang dibawa masuk ke dalam negeri.

Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


PPN merupakan pajak yang dikenakan pada transaksi yang terjadi atas penyerahan
barang dan jasa kena pajak di Indonesia. Nilai PPN ditambahkan pada harga pokok barang
dan jasa yang diperjualbelikan. Karena PPN merupakan pajak tidak langsung, maka yang
menyetor pajak tersebut bukanlah penanggung, melainkan penjual (pihak yang menyerahkan
barang dan jasa tersebut). Penanggung merupakan pihak pembeli atau penyewa serta
pembayar transaksi barang dan jasa. Dengan demikian, penanggung dapat berupa konsumen
komersil (non-korporat), atau pelanggan bisnis.

Pengusaha Kena Pajak sebagai pihak yang menyetor dan melaporkan PPN
Sebagai PKP, sebuah usaha dapat mengenakan PPN pada barang dan jasa yang ditawarkan,
serta PKP dapat mengkreditkan PPN yang diperoleh dari hasil transaksi antar pelanggan
maupun Lawan Transaksi.

Syarat mendaftar menjadi PKP


Bagi pengusaha baik besar maupun kecil, perusahaan atau individu, jika penghasilan per
tahun dari barang dan jasa kena pajak yang diperjualbelikan mencapai 4,8 milyar rupiah,
maka pengusaha wajib mendaftarkan diri menjadi Pengusaha Kena Pajak, sesuai Peraturan
Menteri Keuangan No. 197/PMK.03/2013.

Jika penghasilan per tahun di bawah 4,8 milyar rupiah, maka pengusaha tidak harus
mendaftarkan diri menjadi PKP.

Objek Pajak Pertambahan Nilai


a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau
f. ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Barang Kena Pajak yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai


a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya;
b. barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya;
d. uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
Modul Hukum Pajak P a g e | 28

Jasa Kena Pajak yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai


a. jasa di bidang pelayanan kesehatan medik;
b. jasa di bidang pelayanan sosial;
c. jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;
d. jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi;
e. jasa di bidang keagamaan;
f. jasa di bidang pendidikan;
g. jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan;
h. jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;
i. jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;
j. jasa di bidang tenaga kerja;
k. jasa di bidang perhotelan;
l. jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan
secara umum.

Mekanisme Perhitungan PPN serta laporannya


Sebagai PKP, PPN yang dikenakan pada barang atau jasa yang Anda beli disebut Pajak
Pemasukan. Sedangkan PPN yang dikenakan pada barang atau jasa yang Anda jual kepada
pelanggan, disebut Pajak Pengeluaran.

Jika dalam satu masa pajak, Pajak Pemasukan lebih besar daripada Pajak Pengeluaran, maka
selisihnya dapat dikreditkan kepada bulan berikutnya.
Jika Pajak Pengeluaran lebih besar daripada Pajak Pemasukan, maka selisihnya harus disetor
kepada pemerintah.

Cara Menghitung Pajak


1. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 UU PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak.
2. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk
Masa Pajak yang sama.
3. Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan
tetap dapat dikreditkan.
4. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak
Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar
oleh Pengusaha Kena Pajak.
5. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar
daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat
dimintakan kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
6. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan
penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang
pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan
pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
7. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan
penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang
pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat
diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk
penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Modul Hukum Pajak P a g e | 29

8. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha yang dikenakan
Pajak Penghasilan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17
Tahun 2000, dapat dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan
pengkreditan Pajak Masukan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
9. Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat
(2) bagi pengeluaran untuk:
 perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum pengusaha
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
 perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
 perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon,
van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
 pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak;
 perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya
berupa Faktur Pajak Sederhana;
 perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5);
 pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
 perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya
ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
 perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya
tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai,
yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
10. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya
paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan
sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.

Melaporkan PPN Anda


Setiap PKP memiliki kewajiban untuk melaporkan PPN mereka setiap bulannya kepada
pemerintah. Jika tidak terdapat terdapat transaksi apa pun pada bulan itu, laporan tetap harus
dibuat, hanya saja pada neraca tertulis nihil (0). Laporan ini dibuat pada formulir yang
disebut dengan Surat Pemberitahuan Masa PPN (SPT Masa PPN).

Tarif PPN
Menurut peraturan pemerintah, terdapat tiga kategori perhitungan tarif Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) antara lain:
 Tarif umum – 10%
 Tarif 0% untuk ekspor BKP Berwujud; ekspor BKP Tidak Berwujud; dan ekspor
Jasa Kena Pajak
 Dengan Peraturan Pemerintah, tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diubah menjadi serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15%
(lima belas persen).
Untuk penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada Undang-undang No.42 Tahun 2009 pasal 7.
Modul Hukum Pajak P a g e | 30

Perbedaan antara barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN dengan barang dan jasa
yang dikenakan tarif PPN 0%
Transaksi atas barang dan jasa yang dikenakan tarif 0% tetap terhitung sebagai pajak yang
dapat dikreditkan, dengan demikian transaksi tersebut tetap dilaporkan dalam SPT Masa
PPN.

Barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN, akan tergolong sebagai barang bebas pajak,
sehingga tidak dapat dikreditkan maupun dilaporkan dalam SPT Masa PPN. Untuk
informasi lebih lanjut, dapat mengacu pada UU No. 42 Tahun 2009 Pasal 4A.

SPT Masa PPN


SPT Masa PPN adalah form yang digunakan Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk melapor
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang
terhutang.

Kewajiban dalam melapor SPT Masa PPN


SPT Masa PPN harus dilapor setiap bulannya, walaupun tidak ada perubahan neraca, atau
nilai Rupiah pada masa pajak terkait nihil (0). Jatuh tempo pelaporan adalah pada hari
terakhir (tanggal 30 atau 31) bulan berikutnya setelah akhir masa pajak yang bersangkutan.

Kecuali di bawah kondisi tertentu seperti yang dijelaskan pada Peraturan Menteri Keuangan
PER-80/PMK.03/2010, maka tanggal jatuh tempo bukanlah pada akhir bulan berikut setelah
akhir masa pajak yang bersangkutan. Gagal melaporkan akan berakibat denda sebesar Rp
500.000,00 (UU KUP Pasal 7 ayat 1).

Form induk dan lampiran SPT Masa PPN


Formulir yang kini digunakan adalah SPT Masa PPN 1111, yang terdiri dari 1 form induk
dan 6 form lampiran. Semua berkas dapat diperoleh dari situs DJP.

Lapor SPT Masa PPN secara online


Kini, SPT Masa PPN Anda dapat disiapkan secara online dengan aplikasi OnlinePajak.
Cukup isi detail invoice transaksi, semua form akan disiapkan untuk Anda.

Daftar Istilah PPN


Berikut adalah beberapa istilah yang berhubungan dengan PPN:

 Masa Pajak: jangka waktu yang diberikan kepada Wajib Pajak untuk menghitung,
menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu periode tertentu.
Umumnya satu masa pajak adalah satu bulan.
 BKP: Barang Kena Pajak
 JKP: Jasa Kena Pajak
 PPnBM: Pajak Penjualan atas Barang Mewah
 Daerah Pabean: wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan,
dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif
dan landasan kontinen yang berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai.
 PKP: Pengusaha Kena Pajak
 DPP: Dasar Pengenaan Pajak yaitu harga jual pokok sebelum dikenakan pajak.
 Nilai ekspor: merupakan nilai (uang) atas barang yand diekspor termasuk semua
biaya yang terkandung di dalamnya.
Modul Hukum Pajak P a g e | 31

 Nilai impor: nilai (uang) atas barang yang diimpor yang menjadi dasar penghitungan
bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai.
 SPT Masa PPN 1111 adalah formulir terbaru terbitan tahun 2011 yang digunakan
untuk melaporkan PPN.
 SPT Masa PPN 1111Dm adalah formulir terbaru terbitan tahun 2011 yang digunakan
untuk melaporkan PPN khusus PPN masukan yang menggunakan pedoman
penghitungan pengkreditan pajak masukan, biasanya digunakan bagi PKP yang
melakukan transaksi (penyerahan) kendaraan bermotor bekas atau emas perhiasan.
 Pajak Pemasukan: adalah Pajak Pertambahan Nilai yang ditanggung PKP saat
membeli barang atau jasa kena pajak, dan merupakan pajak terutang penjual yang
harus dilaporkan oleh penjual.
 Pajak Pengeluaran: adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang PKP, dan diperoleh saat
PKP menyerahkan/menjual barang atau jasa kena pajak. Pajak ini merupakan
tanggungan pembeli/pelanggan, dan merupakan kewajiban PKP untuk menyetor dan
melaporkannya kepada kantor pajak setempat.

Penghitungan PPN kini dapat dilakukan otomatis melalui aplikasi OnlinePajak


Sistem administrasi pajak online terintegrasi untuk perusahaan Anda
Hitung, setor, dan lapor PPN perusahaan Anda di waktu yang sama
Modul Hukum Pajak P a g e | 32

MODUL
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPnBM)

Informasi Umum Seputar Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)


Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan pada
barang atau produk yang dipandang bukan sebagai barang kebutuhan pokok, dan
dikonsumsi oleh masyarakat tertentu yang pada umumnya merupakan masyarakan
berpenghasilan tinggi, juga barang yang dibeli untuk menunjukkan status, atau jika
dikonsumsi dinilai dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat Indonesia.

Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai


a. Pajak Objektif. Yang dimaksud dengan pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang
timbulnya kewajiban pajaknya sangat ditentukan oleh objek pajak. Keadaan subjek pajak
tidak menjadi penentu kecuali untuk kasus tertentu.
b. Dikenakan pada setiap rantai distribusi (Multi Stage Tax). Sepanjang suatu transaksi
memenuhi syarat sebagaimana disebutkan dalam angka 2, maka pihak PKP Penjual
berkewajiban memungut PPN atas transaksi yang terjadi dan kemudian menyetorkan ke
Kas Negara dan melaporkannya.
c. Menggunakan mekanisme pengkreditan. Sesuai dengan namanya maka pada hakekatnya
PPN hanya dikenakan atas nilai tambah yang terjadi atas BKP karena adanya proses
pabrikasi maupun distribusi. Oleh karena itu PPN yang terutang dalam suatu Masa Pajak
diperhitungkan terlebih dahulu dengan PPN yang telah dibayarkan oleh PKP pada saat
pembelian bahan baku dan faktor produksi lainnya, sehingga meskipun PPN dikenakan
beberapa kali namun tidak menimbulkan efek pajak berganda.
d. Merupakan pajak atas konsumsi dalam negeri. Oleh karena itu salah satu syarat
dikenakannya PPN atas suatu transaksi adalah bahwa BKP/JKP dikonsumsi di dalam
Daerah Pabean. Hal inilah yang mendasari pengenaan PPN dengan tarif 0% atas
kegiatan ekspor sedangkan untuk kegiatan impor tetap dikenakan PPN 10%.
e. Merupakan beban konsumen akhir. PPN merupakan pajak tidak langsung sehingga
beban pajaknya bisa dialihkan oleh PKP. Pengenaan PPN yang dilakukan beberapa kali
tidak menjadi beban PKP karena beban PPN tersebut pada akhirnya akan dialihkan
kepada konsumen yang menikmati BKP pada rantai terakhir.
f. Netral terhadap persaingan. PPN bukan merupakan beban yang menambah harga pokok
penjualan karena PPN menganut sistem pengkreditan yang memungkinkan PPN yang
dibayarkan pada saat pembelian diperhitungkan dengan PPN yang harus dipungut saat
penjualan.
g. Menganut destination principle. Untuk menentukan suatu transaksi dikenakan PPN atau
tidak, terlebih dahulu harus dilihat di negara mana pihak konsumen berada. Apabila
konsumen berada di luar negeri maka transaksi tersebut tidak dikenakan PPN karena
PPN adalah pajak atas konsumsi dalam negeri.

Istilah Umum
a. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat,
perairan, dan ruang udara diatasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi
Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-undang Nomor 10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
b. Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang
bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
c. Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud dalam huruf b yang dikenakan
pajak berdasarkan Undang-undang ini.
Modul Hukum Pajak P a g e | 33

d. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
e. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum
yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk
dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau
permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
f. Jasa Kena Pajak adalah jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf e yang dikenakan pajak
berdasarkan Undang-undang ini.
g. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam huruf f.
h. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
i. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam
Daerah Pabean.
j. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap
kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean
karena suatu perjanjian di dalam Daerah Pabean.
k. Ekspor adalah setiap kegiatan mengeluarkan barang dari dalam Daerah Pabean ke luar
Daerah Pabean.
l. Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar
menukar barang, tanpa mengubah bentuk atau sifatnya.
m. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah
dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
n. Pengusaha adalah orang pribadi atau Badan sebagaimana dimaksud dalam huruf m yang
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari
luar Daerah Pabean.
o. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam huruf n yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang
dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang
batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil
yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
p. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk atau sifat
suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru,
atau kegiatan mengolah sumber daya alam termasuk menyuruh orang pribadi atau badan
lain melakukan kegiatan tersebut.
q. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai
Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang
dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
r. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga
yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
s. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak
Modul Hukum Pajak P a g e | 34

termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak.
t. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini.
u. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima
penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar
harga Barang Kena Pajak tersebut.
v. Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya
menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar
Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
w. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, atau bukti
pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai.
x. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh
Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau penerimaan Jasa
Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan atau impor
Barang Kena Pajak.
y. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan
Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak.
z. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
aa. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendaharawan Pemerintah, badan, atau
instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor,
dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang
Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendaharawan Pemerintah,
badan, atau instansi Pemerintah tersebut.

Objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah


a. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang
dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 10% (sepuluh
persen), adalah :
 kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas, dan pesawat
penerima siaran televisi;
 kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga;
 kelompok mesin pengatur suhu udara;
 kelompok alat perekam atau reproduksi gambar, pesawat penerima siaran radio;
 kelompok alat fotografi, alat sinematografi, dan perlengkapannya.

b. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang
dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 20% (dua puluh
persen), adalah:
 kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas, selain yang
disebut pada huruf a;
 kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town
house, dan sejenisnya;
Modul Hukum Pajak P a g e | 35

 kelompok pesawat penerima siaran televisi dan antena serta reflektor antena,
selain yang disebut pada huruf a;
 kelompok mesin pengatur suhu udara, mesin pencuci piring, mesin pengering,
pesawat elektromagnetik dan instrumen musik;
 kelompok wangi-wangian;
c. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang
dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 30% (tiga puluh
persen), adalah:
 kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, sampan dan kano, kecuali untuk
keperluan negara atau angkutan umum;
 kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga selain yang disebut pada huruf
a.
d. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang
dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 40% (empat puluh
persen), adalah :
 kelompok minuman yang mengandung alkohol;
 kelompok barang yang terbuat dari kulit atau kulit tiruan;
 kelompok permadani yang terbuat dari sutra atau wool;
 kelompok barang kaca dari kristal timbal dari jenis yang digunakan untuk meja,
dapur, rias, kantor, dekorasi dalam ruangan atau keperluan semacam itu;
 kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari logam mulia
atau dari logam yang dilapisi logam mulia atau campuran daripadanya;
 kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, sampan dan kano, selain yang
disebut pada huruf c, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum;
 kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara
lainnya tanpa tenaga penggerak;
 kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan
negara;
 kelompok jenis alas kaki;
 kelompok barang-barang perabot rumah tangga dan kantor;
 kelompok barang-barang yang terbuat dari porselin, tanah lempung cina atau
keramik;
 Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu selain
batu jalan atau batu tepi jalan.

e. Kelompok Barang kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang
dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 50% (lima puluh
persen), adalah:
 kelompok permadani yang terbuat dari bulu hewan halus;
 kelompok pesawat udara selain yang dimaksud pada huruf d, kecuali untuk
keperluan negara atau angkutan udara niaga;
 kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga selain yang disebut pada huruf a
dan huruf c;
 kelompok senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara.

f. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang
dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 75% (tujuh puluh
lima persen), adalah :
 kelompok minuman yang mengandung alkohol selain yang disebut pada huruf d;
Modul Hukum Pajak P a g e | 36

 kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu mulia
dan/atau mutiara atau campuran daripadanya;
 kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan
umum.

g. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor
yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 10% (sepuluh
persen), adalah :
 kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang sampai dengan 15
(lima belas) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala
kompresi (diesel/semi diesel), dengan semua kapasitas isi silinder; dan
 kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang
termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus
api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel) dengan sistem 1 (satu) gandar
penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc.

h. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor
yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 20% (dua
puluh persen), adalah :
 kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang
termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus
api atau dengan nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 1 (satu)
gandar penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai
dengan 2500 cc; dan
 kendaraan bermotor dengan kabin ganda (Double cabin), dalam bentuk
kendaraan bak terbuka atau bak tertutup, dengan penumpang lebih dari 3 (tiga)
orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi
(diesel/semi diesel), dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan
sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4), dengan semua kapasitas isi silinder,
dengan massa total tidak lebih dari 5 (lima) ton.

i. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor
yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 30% (tiga
puluh persen), adalah kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh)
orang termasuk pengemudi, berupa:
 kendaraan bermotor sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api atau
nyala kompresi (diesel/semi diesel) dengan kapasitas isi silinder sampai dengan
1500 cc; dan
 kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus
api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 2 (dua) gandar
penggerak (4x4) dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc.

j. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor
yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 40% (empat
puluh persen), adalah kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh)
orang termasuk pengemudi, berupa :
 kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus
api, dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2) dengan kapasitas isi silinder
lebih dari 2500 cc sampai dengan 3000 cc;
 kendaraan bermotor dengan motor bakar cetus api, berupa sedan atau station
wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 2 (dua) gandar
Modul Hukum Pajak P a g e | 37

penggerak (4x4) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan
3000 cc; dan
 kendaraan bermotor dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel),
berupa sedan atau station wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan
sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4) dengan kapasitas isi silinder lebih dari
1500 cc sampai dengan 2500 cc.

k. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor
yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 50% (lima
puluh persen) adalah semua jenis kendaraan khusus yang dibuat untuk golf.
l. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor
yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 60% (enam
puluh persen), adalah:
 kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silinder lebih dari 250 cc
sampai dengan 500 cc; dan
 kendaraan khusus yang dibuat untuk perjalanan di atas salju, di pantai, di
gunung, dan kendaraan semacam itu.

m. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa kendaraan bermotor
yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 75% (tujuh
puluh lima persen), adalah :
 kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang
termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api, berupa sedan atau station
wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 1 (satu) gandar
penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4) dengan
kapasitas isi silinder lebih dari 3000 cc;
 kendaraan bermotor pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk
pengemudi, dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel) berupa
sedan atau station wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 1
(satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak
(4x4), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 2500 cc;
 kendaraan bermotor beroda 2 (dua) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 500
cc;
 trailer, semi-trailer dari tipe caravan, untuk perumahan atau kemah.

n. Kendaraan bermotor yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah adalah:
 kendaraan bermotor yang digunakan untuk kendaraan ambulan, kendaraan jenazah,
kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan tahanan, dan kendaraan angkutan umum;
 kendaraan bermotor yang digunakan untuk tujuan protokoler kenegaraan;
 kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang atau lebih termasuk
pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel),
dengan semua kapasitas isi silinder, yang digunakan untuk kendaraan dinas TNI atau
POLRI;
 kendaraan bermotor yang digunakan untuk keperluan patroli TNI atau POLRI.

Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah


a. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah paling rendah 10% (sepuluh
persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).
Modul Hukum Pajak P a g e | 38

b. Atas ekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dikenakan pajak dengan
tarif 0% (nol persen).

Tarif pajak untuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) paling rendah adalah 10%
(sepuluh persen) dan paling tinggi adalah 200% (dua ratus persen).
Pengecualian dikenakan atas ekspor barang kena pajak yang tergolong mewah, tarif PPnBM
adalah sebesar 0% (nol persen).
Untuk penjelasan lebih lanjut, untuk kategori dan jenis barang yang dikenakan PPnBM
dapat dibaca dalam uraian Peraturan Pemerintah serta Keputusan Menteri Keuangan.

Perhitungan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dihitung dengan cara mengalikan persentase
tarif PPnBM dengan nilai Dasar Pengenaan Pajak (harga barang sebelum dikenakan pajak,
termasuk PPN).

Pelaporan
Laporan dibuat dengan menggunakan formulir SPT Masa PPN 1111. Pajak Penjualan atas
Barang Mewah dapat dilaporkan bersama dengan PPN dan PPN Impor, selama masih berada
dalam satu periode pajak yang sama.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah harus dibayar dan dilaporkan paling lama pada akhir
bulan berikutnya setelah tanggal faktur dibuat.

Contoh:
Tanggal Faktur adalah 14 Maret 2014. Pembayaran dan laporan paling lama harus
disampaikan tanggal 30 April 2014.
Sanksi atas keterlambatan atau tidak menyampaikan SPT Masa adalah denda sebesar Rp
500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Dengan OnlinePajak, Anda dapat menghitung, menyetor dan melaporkan semua pajak
perusahaan Anda termasuk PPnBM secara online. Download atau instalasi tidak diperlukan,
dan Anda akan dipandu dengan sistem kami secara tahap demi tahap, memastikan bahwa
laporan yang dibuat adalah akurat dan sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
Modul Hukum Pajak P a g e | 39

MODUL
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB)

Pengertian
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan
atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang nomor 12 Tahun 1994.
PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan
oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang
membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.

Objek PBB
Objek PBB adalah “Bumi dan atau Bangunan”:

1. Bumi: Permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada di pedalaman
serta laut wilayah Indonesia. Contoh: sawah, ladang, kebun, tanah, pekarangan,
tambang.
2. Bangunan: Konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah
dan atau perairan. Contoh: rumah tempat tinggal, bangunan tempat usaha, gedung
bertingkat, pusat perbelanjaan, emplasemen, pagar mewah, dermaga, taman mewah,
fasilitas lain yang memberi manfaat, jalan tol, kolam renang, anjungan minyak lepas
pantai.

Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan PBB


Objek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah objek yang :

1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial,


kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk
memperoleh keuntungan, seperti mesjid, gereja, rumah sakit pemerintah, sekolah,
panti asuhan, candi.
2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu.
3. Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani
suatu hak.
4. Digunakan oleh perwakilan diplomatik berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
5. Digunakan oleh badan dan perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh
Menteri Keuangan.

Subjek Pajak dan Wajib Pajak


Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata:

 mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau;


 memperoleh manfaat atas bumi, dan atau;
 memiliki bangunan, dan atau;
 menguasai bangunan, dan atau;
 memperoleh manfaat atas bangunan

Wajib Pajak adalah Subjek Pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak.
Cara Mendaftarkan Objek PBB
Modul Hukum Pajak P a g e | 40

Orang atau Badan yang menjadi Subjek PBB harus mendaftarkan Objek Pajaknya ke Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan
(KP2KP) yang wilayah kerjanya meliputi letak objek tersebut, dengan menggunakan
formulir Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang tersedia gratis di KPP atau KP2KP
setempat.
Dasar Pengenaan PBB
Dasar pengenaan PBB adalah “Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)”. NJOP ditetapkan per
wilayah berdasarkan keputusan Menteri Keuangan dengan mendengar pertimbangan
Bupati/Walikota serta memperhatikan :

1. harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar;
2. perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan
fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya;
3. nilai perolehan baru;
4. penentuan Nilai Jual Objek Pajak pengganti.

Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)


NJOPTKP adalah batas NJOP atas bumi dan/atau bangunan yang tidak kena pajak. Besarnya
NJOPTKP untuk setiap daerah Kabupaten/Kota setinggi-tingginya Rp 12.000.000,- dengan
ketentuan sebagai berikut :

1. Setiap Wajib Pajak memperoleh pengurangan NJOPTKP sebanyak satu kali dalam
satu Tahun Pajak.
2. Apabila Wajib Pajak mempunyai beberapa Objek Pajak, maka yang mendapatkan
pengurangan NJOPTKP hanya satu Objek Pajak yang nilainya terbesar dan tidak
bisa digabungkan dengan Objek Pajak lainnya.

Dasar Penghitungan PBB


Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).
Besarnya persentase NJKP adalah sebagai berikut :

1. Objek pajak perkebunan adalah 40%


2. Objek pajak kehutanan adalah 40%
3. Objek pajak pertambangan adalah 40%
4. Objek pajak lainnya (pedesaan dan perkotaan):
o apabila NJOP-nya≥ Rp1.000.000.000,00adalah 40%
o apabila NJOP-nya < Rp1.000.000.000,00 adalah 20%

Tarif PBB
Besarnya tarif PBB adalah 0,5%
Rumus Penghitungan PBB
Rumus penghitungan PBB = Tarif x NJKP

1. Jika NJKP = 40% x (NJOP - NJOPTKP) maka besarnya PBB


o = 0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP)
o = 0,2% x (NJOP-NJOPTKP)
2. Jika NJKP = 20% x (NJOP - NJOPTKP) maka besarnya PBB
o = 0,5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP)
o = 0,1% x (NJOP-NJOPTKP)

Tempat Pembayaran PBB


Modul Hukum Pajak P a g e | 41

Wajib Pajak yang telah menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), Surat
Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat Tagihan Pajak (STP) dari KPP Pratama atau disampaikan
lewat Pemerintah Daerah harus melunasinya tepat waktu pada tempat pembayaran yang
telah ditunjuk dalam SPPT yaitu Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro.
Saat Yang Menentukan Pajak Terutang
Saat yang menentukan pajak terutang adalah adalah keadaan Objek Pajak pada tanggal 1
Januari. Dengan demikian segala mutasi atau perubahan atas Objek Pajak yang terjadi
setelah tanggal 1 Januari akan dikenakan pajak pada tahun berikutnya.
Contoh:
A menjual tanah kepada B pada tanggal 2 Januari 2010. Kewajiban PBB Tahun 2010 masih
menjadi tanggung jawab A. Sejak Tahun Pajak 2011 kewajiban PBB menjadi tanggung
jawab B. Perubahan atas Objek Pajak yang terjadi setelah tanggal 1 Januari akan dikenakan
pajak pada tahun berikutnya.
Lain-lain
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994
tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3569) yang terkait dengan peraturan pelaksanaan mengenai
Perdesaan dan Perkotaan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2013,
sepanjang belum ada Peraturan Daerah tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang terkait
dengan Perdesaan dan Perkotaan.
Modul Hukum Pajak P a g e | 42

MODUL
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)

A. Istilah Penting dalam UU BPHTB ( Pasal 1 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No. 20
Tahun 2000)
1. Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.
2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum
yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang
pribadi atau badan.
3. Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan,
beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor
16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
4. Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat untuk
melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
5. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar adalah
surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang
masih harus dibayar.
6. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
Tambahan adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak
yang telah ditetapkan.
7. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar adalah
surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah
pajak yang telah dibayar lebih besar daripada pajak yang seharusnya terutang.
8. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil adalah surat
ketetapan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan
jumlah pajak yang dibayar.
9. Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat yang oleh
Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang
terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara
atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk
oleh Menteri dan sekaligus untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan.
10. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan
tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Nihil, atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
11. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan,
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, atau
Modul Hukum Pajak P a g e | 43

Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil yang diajukan
oleh Wajib Pajak.
12. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat
Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.

B. Dasar Hukum
1. UU No. 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 Tentang
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
2. KMK Nomor : 630/KMK.04/1997 Tentang Badan atau Perwakilan Organisasi
Internasional Yang Tidak Dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

C. Objek Pajak
( Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. Pemindahan Hak karena :
1. Jual beli
2. Tukar Menukar
3. Hibah
4. Hibah Wasiat, adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak
atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu,
yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
5. Waris
6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, adalah pengalihan hak atas
tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas
atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau
badan hukum lainnya tersebut.
7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, adalah pemindahan sebagian hak
bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama
pemegang hak bersama.penunjukan pembeli dalam lelang;
8. Penunjukan pembeli dalam lelang, adalah penetapan pemenang lelang oleh Pejabat
Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang.
9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagai
pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu
pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut.
10. Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan
cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi
badan usaha lainnya yang menggabung.
11. Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara
mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung
tersebut.
12. Pemekaran usaha adalah pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha
atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian
aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa
melikuidasi badan usaha yang lama.
13. Hadiah adalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau
bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima
hadiah.
Modul Hukum Pajak P a g e | 44

b. Pemberian hak baru karena :


1. Kelanjutan pelepasan hak; Yang dimaksud dengan pemberian hak baru karena
kelanjutan pelepasan hak adalah pemberian hak baru kepada orang pribadi atau
badan hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
2. Diluar pelepasan hak. Yang dimaksud dengan pemberian hak baru di luar pelepasan
hak adalah pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum
dari Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

D. Hak Atas Tanah


( Pasal 2 ayat (3) UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang dimaksud hak atas tanah adalah :
1. Hak milik, adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai
orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah.
2. Hak guna usaha, adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan
yang berlaku.
3. Hak guna bangunan, adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-
bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang
ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria.
4. Hak pakai, adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang
dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang
bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu
sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
5. Hak milik atas satuan rumah, adalah hak milik atas satuan yang bersifat
perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas
bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
6. Hak pengelolaan, adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa
perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan
pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak
ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

E. Tarif Pajak
( Pasal 5 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Tarif pajak yang dikenakan atas objek BPHTB adalah sebesar 5 % (lima persen) atau
sesuai Perda pada masing-masing daerah.

F. Dasar Pengenaan
( Pasal 6 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang menjadi Dasar Pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu
dalam hal :
a. jual beli adalah harga transaksi;
b. tukar-menukar adalah nilai pasar;
Modul Hukum Pajak P a g e | 45

c. hibah adalah nilai pasar;


d. hibah wasiat adalah nilai pasar;
e. waris adalah nilai pasar;
f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum
tetap adalah nilai pasar;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai
pasar;
j. pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. hadiah adalah nilai pasar;
o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam
Risalah Lelang.

Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sampai
dengan n tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan
dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar
pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.

G. Nilai Pasar
( Pasal 6 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara
wajar yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan.

H. Nilai Perolehan Objek Pajak Yang Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)


( Pasal 7 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 jo. PP No.113 Tahun 2000 jo.
KMK-516/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-
33/PMK.03/2008)

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau
hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi
hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
ditetapkan secara regional paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Yang dimaksud dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara
regional adalah penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk masing-
masing Kabupaten/Kota.

I. Tata Cara untuk menentukan besarnya NPOPTKP


( Pasal 7 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 jo. PP No.113 Tahun 2000 jo.
KMK-516/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-
33/PMK.03/2008)
Modul Hukum Pajak P a g e | 46

Tata Cara untuk menentukan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
adalah sebagai berikut :
1. Besarnya Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak ditetapkan untuk setiap
Kabupaten/Kota.
2. Besarnya Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak untuk setiap Kabupaten/Kota dapat
diusulkan oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan kepada Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak setempat, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahun pajak
dimulai.
3. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan
menetapkan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dengan
memperhatikan usulan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam point 2.
4. Dalam hal Pemerintah Daerah tidak mengajukan usulan sebagaimana dimaksud dalam
point 2, besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan oleh Kepala
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan dengan
mempertimbangkan perkembangan perekonomian regional.

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan, menetapkan
besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak secara regional dengan ketentuan:
1. untuk perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi
yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk
suami/istri, ditetapkan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);
2. untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 03/PERMEN/M/2007 tentang
Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi
Perumahan Melalui KPR Bersubsidi, dan Rumah Susun Sederhana sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor
7/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan
Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Sarusun Bersubsidi,
ditetapkan sebesar Rp 49.000.000,00 (empat puluh sembilan juta rupiah);
3. untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku usaha
kecil atau mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah untuk
Memperkuat Penjaminan Kredit bagi Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan sebesar
Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
4. untuk perolehan hak selain perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf a,
huruf b, dan huruf c, ditetapkan paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah);
5. dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf b,
maka Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak
sebagaimana dimaksud pada huruf b ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana ditetapkan pada huruf d;
6. dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf c,
maka Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak
sebagaimana dimaksud pada huruf c ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana ditetapkan pada huruf d."
Modul Hukum Pajak P a g e | 47

J. Penghitungan Pajak
( Pasal 8 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )

Secara umum besarnya BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak
dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) yang diperoleh dari Nilai
Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak (NPOPTKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus dibawah ini:

Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) XXXXX


Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) XXXXX (-)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) XXXXX

Besarnya BPHTB terutang = 5 % X NPOPKP XXXXX


Modul Hukum Pajak P a g e | 48

MODUL
BEA MATERAI

Direktorat Jenderal Pajak meluncurkan meterai tempel baru desain tahun 2014
sebagai pengganti meterai tempel yang lama desain tahun 2009. Hal ini dilakukan dengan
tujuan untuk menghindari atau mencegah tindakan pemalsuan atau penggunaan meterai
bekas pakai. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65/PMK.03/2014 tanggal
21 April 2014 tentang Bentuk, Ukuran, dan Warna Benda Meterai,meterai tempel desain
tahun 2014 ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 2014. Meterai tempel desain tahun 2014
berwarna biru untuk nominal Rp. 3.000,- dan hijau untuk nominal Rp.6.000,-.
Pada meterai desain baru terdapat hologram di bagian kiri meterai temple desain
baru, sedangkan di meterai lama tidak terdapat hologram. Perforasi bentuk bintang ada di
sebelah kiri meterai desain baru sedangkan pada meterai lama ada di sebelah kanan. Di
bagian bawah meterai desain baru terdapat motif rosette yang dapat berubah warna jika
dimiringkan di sudut tertentu dengan perubahan warna hijau ke biru untuk nominal Rp.
3.000,- dan magenta ke hijau untuk nominal Rp.6.000,-. Bagi masyarakat yang masih
memiliki meterai lama desain tahun 2009, meterai tersebut tidak dapat ditukarkan dengan
meterai desain 2014 yang baru, tetapi masih dapat digunakan sampai dengan tanggal 31
Maret 2015.
Bea Meterai adalah pajak atas dokumen. Bea Meterai merupakan pajak tidak
langsung yang dipungut secara insidental jika dibuat dokumen yang disebut oleh Undang-
Undang Bea Meterai 1985 atas suatu keadaan, perbuatan, atau peristiwa dalam suatu
masyarakat. Obyek dan Tarif Bea Meterai Yang dikenakan Bea Meterai dibatasi dokumen-
dokumen yang disebut dalam Undang-Undang Bea Meterai, yang dipakai oleh masyarakat
dalam lalu lintas hukum.
Modul Hukum Pajak P a g e | 49

MODUL
KETETAPAN PAJAK DAN PENAGIHAN PAJAK

A. KETETAPAN PAJAK

Prinsip self-assessment dalam pemenuhan kewajiban perpajakan adalah bahwa Wajib


Pajak (WP) diwajibkan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar sendiri, dan
melaporkan pajak yang terutang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, sehingga penentuan besarnya pajak yang terutang dipercayakan pada WP
sendiri melalui Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikannya. Artinya, pajak
terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak (ketentuan materiil)
bukan karena terbitnya ketetapan pajak (ketentuan formil). Penerbitan suatu surat
ketetapan pajak hanya terbatas kepada WP tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran
dalam pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh
WP.

 Fungsi Surat Ketetapan Pajak


Surat ketetapan pajak berfungsi sebagai :
 Sarana untuk melakukan koreksi fiskal terhadap WP tertentu yang nyata-nyata
atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau
kewajiban materiil dalam memenuhi ketentuan perpajakan;
 Sarana untuk mengenakan sanksi administrasi perpajakan;
 Sarana administrasi untuk melakukan penagihan pajak;
 Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar;
 Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang.

 Jenis-Jenis Ketetapan Pajak


Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 145/PMK.03/2012 tanggal 10
September 2012 tentang tata cara penerbitan surat ketetapan pajak dan surat tagihan
pajak, Produk hukum ketetapan pajak meliputi :
a) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) pasal 13 UU KUP.
b) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) pasal 15 UU KUP.
c) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) pasal 17 UU KUP.
d) Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) pasal 17 A UU KUP.
e) Surat Tagihan Pajak (STP) pasal 14 UU KUP.

a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)


Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dapat diterbitkan dalam jangka waktu 5
(lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak. Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar diterbitkan dalam hal terdapat pajak yang tidak
atau kurang dibayar.

b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)


Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak
yang menentukan tambahan atas jumlah yang telah ditetapkan (SKPKB, SKPN,
SKPLB). Diterbitkan oleh Dirjen Pajak dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat
pajak terutang, berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak,
Modul Hukum Pajak P a g e | 50

apabila ditemukan data baru (novum) yang mengakibatkan penambahan jumlah


pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka
penerbitan SKPKBT.

c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)


Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah SKP yang menunjukkan jumlah
kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang
dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang terutang. Diterbitkan sehubungan
dengan hasil pemeriksaan baik atas SPT LB yang diajukan restitusi, SPT LB
yang tidak diajukan restitusi, SPT Nihil, maupun SPT KB.

d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)


SKPN adalah SKP yang diterbitkan dalam hal jumlah pokok pajak sama
besarnya dengan jumlah kredit pajak. SKPN diterbitkan sehubungan dengan hasil
pemeriksaan baik atas SPT nihil, SPT kurang bayar, maupun SPT LB. Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17A ayat (1) Undang-Undang KUP berdasarkan hasil Pemeriksaan
terhadap Surat Pemberitahuan apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak
yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang
dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak.

e. Surat Tagihan Pajak (STP)


STP merupakan surat yang diterbitkan untuk melakukan penagihan pajak
dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. STP mempunyai
kekuatan hukum yang sama dengan SKP sehingga dalam hal penagihannya dapat
juga dilakukan dengan Surat Paksa. Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan
Surat Tagihan Pajak setelah meneliti data administrasi perpajakan atau setelah
melakukan Verifikasi, Pemeriksaan, Pemeriksaan Ulang, atau Pemeriksaan Bukti
Permulaan dalam rangka penerbitan surat ketetapan pajak.

B. PENAGIHAN PAJAK DAN PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

Dasar hukum melakukan tindakan penagihan pajak adalah Undang-undang no. 19 tahun
1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Undang-undang ini mulai berlaku
tanggal 23 Mei 1997. Undang-undang ini kemudian diubah dengan Undang-undang no.
19 tahun 2000 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.

Penagihan pajak adalah tindakan penagihan yang dilaksanakan oleh fiskus atau juru sita
pajak kepada penanggung pajak tanpa menunggu jatuh tempo pembayaran yang meliputi
seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, masa pajak dan tahun pajak.

Penagihan pajak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu penagihan pajak aktif dan
penagihan pajak pasif. Penagihan pajak pasif dilakukan melalui surat tagihan pajak atau
surat ketetapan pajak. Penagihan pajak aktif atau penagihan pajak dilakukan dengan
surat paksa diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000.
1. Penagihan Pajak Pasif
Penagihan pajak pasif dilakukan dengan menggunakna Surat Tagihan Pajak (STP),
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan yang menyebabkan pajak
Modul Hukum Pajak P a g e | 51

terutang menjadi lebih besar, Surat Keputusan Keberatan yang menyebabkan pajak
terutang menjadi lebih besar, Surat Keputusan Banding yang menyebabkan pajak
terutang menjadi lebih besar. Jika dalam jangka waktu 30 hari belum dilunasi, maka
tujuh hari setelah jatuh tempo akan diikuti dengan penagihan pajak secara aktif yang
dimulai dengan menerbitkan surat teguran.
2. Penagihan Pajak Aktif
Penagihan pajak aktif merupakan kelanjutan dari penagihan pajak pasif, dimana
dalam upaya penagihan pajak ini fiskus berperan aktif dalam arti tidak hanya
mengirim surat tagihan atau surat ketetapan pajak tetapi akan diikuti dengan tindakan
sita, dan dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang.

Penagihan Seketika dan Sekaligus


Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilakukan oleh
Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo
pembayaran.

Juru sita pajak melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus berdasarkan Surat
Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus yang diterbitkan apabila :
1. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat
untuk itu.
2. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai
dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan
yang dilakukannya di Indonesi.
3. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan usahanya, atau
menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan
perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk
lainnya.
4. Badan usaha akan dibubarkan oleh Negara.
5. Terjadinya penyitaan atas penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh Pihak
Ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.

C. SANKSI-SANKSI PAJAK

Sesuai dengan UU No 28 Tahun 2007 Pasal 7, yaitu:


1. Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi
administrasi berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah)
untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan
serta sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.
2. Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dilakukan terhadap:
 Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;
Modul Hukum Pajak P a g e | 52

 Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas;
 Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak
tinggal lagi di Indonesia;
 Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia;
 Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum
dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
 Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
 Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan; atau
 Wajib Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
Modul Hukum Pajak P a g e | 53

MODUL
PEMBUKUAN, PEMERIKSAAN DAN PENYIDIKAN PAJAK

Pembukuan
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang
ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada tiap
Tahun Pajak berakhir.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembukuan:
1. Pembukuan harus dilakukan dengan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau
kegiatan usaha sebenarnya.
2. Pembukuan harus diselenggarakan di Indonesia menggunakan huruf Latin, angka
Arab, satuan mata uang Rupiah, disusun dalam bahasa Indonesia atau bahsa asing
yang diizinkan Menteri Keuangan.
3. Pembukuan diselenggarakan dengan taat asas.

Pemeriksaan Pajak
Pemeriksaan pajak menurut UU Nomor 16 Tahun 2009 KUP adalah serangkaian kegiatan
menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara
objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

 Tujuan Pemeriksaan:
Berdasarkan Pasal 29 UU KUP tujuan dari pemeriksaan ada dua macam, yaitu sebagai
berikut :
1. Untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka memberi
kepastian hukum, keadilan dan pembinaan kepada wajib pajak. Dalam tujuan ini,
pemeriksaan dilakukan apabila terdapat hal-hal sebagai berikut :
 Surat Pemberitahuan menunjukan kelebihan pembayaran pajak, termasuk yang telah
diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
 Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan menunjukan rugi.
 Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan tidak pada waktu yang
telah ditetapkan.
 Surat Pemberitahuan yang memenuhi criteria seleksi yang ditentukan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
 Ada indikasi kewajiban perpajakan yang tidak dipenuhi.
2. Untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, yaitu sebagai berikut :
 Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan.
 Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak.
 Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
 Wajib Pajak mengajukan keberatan.
 Pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Modul Hukum Pajak P a g e | 54

 Pencocokan data dan/atau alat keterangan.


 Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil.
 Penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai.
 Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak.
 Penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan.
 Pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda.

 Ruang Lingkup Pemeriksaan Pajak


a) Satu atau beberapa bulan (masa): ruang lingkup untuk menguji kewajiban
pemungutan atau pemotongan. Seperti PPN, PPnBM, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22,
PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh pasal 4 (2).
b) Bagian tahun pajak atau tahun pajak: menguji kewajiban PPh badan atau PPh OP.
Tidak selalu 12 bulan. Contoh: bulan Mei sebuah perusahaan dibubarkan dan
likuidasi bulan Agustus. Maka pemeriksaan tahun tersebut disebut bagian tahun
pajak.

 Jenis Pemeriksaan:
a) Pemeriksaan Lapangan dilakukan di tempat WP atas satu jenis pajak, beberapa jenis
pajak atau seluruh jenis pajak, untuk tahun-tahun yang lalu maupun untuk tahun
berjalan.
b) Pemeriksaan Kantor adalah Pemeriksaan yang dilakukan di kantor Direktorat
Jenderal Pajak.

 Jangka Waktu:
b) Pemeriksaan Lapangan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan
dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 8 (delapan) bulan yang dihitung sejak
tanggal Surat perintah Pemeriksaan sampai dengan tanggal Laporan Hasil
Pemeriksaan.
c) Pemeriksaan Kantor dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan dan
dapat diperpanjang menjadi 6 (enam) bulan yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak
datang memenuhi surat panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan
tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.

 Metode Pemeriksaan Pajak :


a) Metode Langsung adalah teknik dan prosedur pemeriksaan dengan melakukan
pengujian atas kebenaran pos-pos Surat Pemberitahuan (SPT) termasuk
lampirannya, yang dilakukan secara langsung terhadap buku, catatan, dan
dokumen terkait.
b) Metode Tidak Langsung adalah teknik dan prosedur pemeriksaan dengan
melakukan pengujian atas kebenaran pos-pos Surat Pemberitahuan (SPT)
termasuk lampirannya, yang dilakukan secara tidak langsung melalui suatu
pendekatan penghitungan tertentu.
Modul Hukum Pajak P a g e | 55

 Tehnik Pemeriksaan Pajak

 Pemanfaatan informasi internal dan/atau  Konfirmasi


eksternal Direktorat Jenderal Pajak;  Inspeksi
 Pengujian keabsahan dokumen;  Pengujian kebenaran fisik
 Evaluasi;  Pengujian kebenaran pengitungan
 Analisis angka-angka matematis
 Penelusuran angka-angka (tracing)  Wawancara
 Penelusuran bukti  Uji petik (sampling)
 Pengujian keterkaitan  Teknik audit berbantuan computer
 Ekualisasi atau rekonsiiasi (TABK)
 Permintaan keterangan atau bukti  Teknik-teknik lainnya.

Penyidikan Pajak
Menurut undang-undang no 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007, pengertian
penyidikan adalah sebagai berikut:

“Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan
oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya”.

 Tujuan Penyidikan
Berdasarkan pengertuan di atas sangat jelas dapat kita simpulkan bahwa tujuan utama dari
dilakukanya proses penyidikan adalah untuk menemukan tersangka yang melakukan
tindak pidana dalam perpajakan. Dengan dilakukanya penyidikan, barang bukti untuk
menemukan tersangka diharapkan dapat ditemukan untuk kemudian segera menjadi dasar
dalam menetapkan tersangka.

 Pihak yang Melakukan Penyidikan


Dalam Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, pihak yang berwenang untuk
melakukan proses penyidikan adalah Pejabat pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan
Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana
di bidang perpajakan.

Dalam melaksanakan proses penyidikan, penyidik memeberitahukan dimulainya


penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui
penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Apabila diperlukan, penyidik juga dapat
meminta bantuan aparat penegak hukum lain demi kelancaran proses penyidikan.

 Ketentuan Pidana
Ketentuan Pidana dimaksudkan agar dalam proses penyidikan terdapat kepastisan hukum
yang jelas. Ketentuan pidana tersebut, sesuai dengan pasal 41B Undang-Undang no 6
tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang no 28 Tahun 2007, pengertian penyidikan bebunyi
sebagai berikut :
Modul Hukum Pajak Page |1

“Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).”
Sementara itu, apabila tindak pidana di bidang perpajakan dilakukan oleh pegawai Direktorat
Jenderal Pajak (dalam hal ini melakukan korupsi), maka pegawai Direktorat Jenderal Pajak
yang terbukti melakukan tindak korupsi tersebut akan diproses sesuai dengan Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi.
0|Page

Anda mungkin juga menyukai