Anda di halaman 1dari 64

LAPORAN SGD LBM 2 “GALAU”

BLOK EMERGENCY DAN MEDICOLEGAL

Disusun Oleh:

Kelompok 3

1. Grantina Nugraha (016.06.0003)


2. Dea Nur Amalia Secartini (016.06.0014)
3. Ni Made Diah Yurimayani (016.06.0015)
4. I Gede Yoga Mahendra Putra (016.06.0022)
5. Muhammad Syarif Hidayatullah (016.06.0036)
6. Farrah Cahya Ramadhani (016.06.0037)
7. Susi Ristiyanti (016.06.0038)
8. Berlian Sukma Maharani (016.06.0039)
9. Baiq Diana Meilinda (016.06.0043)
10. Rifaldin (016.06.0048)

Tutor: dr. Agus Widjaja, MHA

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah hasil diskusi LBM 2 kami di semester ganjil pada modul
EMERGENCY DAN MEDICOLEGAL . Dimana dalam penyusunan makalah ini
bertujuan agar mahasiswa Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar dapat
memahami isi dari makalah ini sehingga dapat bermanfaat bagi mahasiswa.

Tidak lupa juga kami mengucapakan terima kasih kepada dr. Agus
Widjaja, MHA yang menjadi fasilitator dalam tutorial kami, juga teman-teman
kelompok 3 dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah
hasil diskusi SGD kami ini sehingga kami dapat menyelesaikannya dengan hasil
yang memuaskan bagi kami.

Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak


kekurangannya sehingga kami menginginkan saran dan kritik yang membangun
dalam menyempurnakan makalah ini.

Mataram, 18 September 2019

Tim Penyusun

LBM 2 “GALAU” i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................

1.1. Latar Belakang .................................................................................................. 1


1.2. Tujuan ............................................................................................................... 1
1.3. Manfaat ............................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................

2.1. Data Tutorial .................................................................................................... 3


2.2. Skenario LBM ................................................................................................. 3
2.3. Pembahasan LBM............................................................................................ 4
I. Klasifikasi Istilah........................................................................... ........... 4
II. Identifikasi Masalah............................................. ..................................... 4
III. Brain storming........................................................................................... 4
IV. Rangkuman Permasalahan............................................. ......................... 11
V. Learning Issue............................................. ............................................ 12
VI. Referensi............................................. .................................................... 12
VII. Pembahasan Learning Issue............................................. ....................... 12
BAB III PENUTUP ...........................................................................................................
3.1. Kesimpulan .................................................................................................... 39

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................

LBM 2 “GALAU” ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
keracunan atau intoksikasi menurut WHO adalah kondisi yang
mengikuti masuknya suatu zat psikoaktif yang menyebabkan
gangguan kesadaran, kognisi, persepsi, afek, perilaku, fungsi, dan
respon psikofisiologis. Sumber lain menyebutkan bahwa keracunan
dapat diartikan sebagai masuknya suatu zat kedalam tubuh yang dapat
menyebabkan ketidak normalan mekanisme dalam tubuh bahkan sampai
dapat menyebabkan kematian.
Pertolongan terhadap keracunan yang ditimbulkan oleh zat apapun
haruslah di persiapkan dengan sebaik – baiknya. Pertolongan yang keliru
atau secara berlebih justru mendatangkan bahaya baru. Identifikasi racun
merupakan usaha untuk mengetahui bahan, zat, atau obat yang di duga
sebagai penyebab terjadi keracunan, sehingga tindakan penanggulangannya
dapat di lakukan dengan tepat, cepat dan akurat.
Dalam menghadapi peristiwa keracunan, kita berhadapan dengan
keadaan darurat yang dapat terjadi dimana dan kapan saja serta memerlukan
kecepatan untuk bertindak dengan segera dan juga mengamati efek dan
gejala keracunan yang timbul.

1.2 TUJUAN
1. Untuk mengetahui definisi intoksikasi
2. Untuk mengetahui jenis – jenis bahan beracun dan mekanisme kerja
masing – masing bahan
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis akibat racun spesifik
4. Untuk mengetahui penanganan kegawataruratan pada kasus intoksikasi
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan spesifik setiap jenis bahan beracun
6. Untuk mengetahui komplikasi intoksikasi

LBM 2 “GALAU” 1
1.3 MANFAAT
1. Agar dapat mengetahui definisi intoksikasi
2. Agar dapat mengetahui jenis – jenis bahan beracun dan mekanisme kerja
masing – masing bahan
3. Agar dapat mengetahui manifestasi klinis akibat racun spesifik
4. Agar dapat mengetahui penanganan kegawataruratan pada kasus
intoksikasi
5. Agar dapat mengetahui penatalaksanaan spesifik setiap jenis bahan
beracun
6. Agar dapat mengetahui komplikasi intoksikasi

LBM 2 “GALAU” 2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Data Tutorial


Sesi 1 : Senin, 16 September 2019
Sesi 2 : Selasa, 17 September 2019
Tutor : dr. Agus Widjaja, MHA
Ketua : Berlian Sukma Maharani
Sekertaris : Dea Nur Amalia Secartini

2.2 Skenario LBM 2

‘’ SKENARIO ’’

Nn. D 21 Tahun, dibawa keluarganya ke UGD RS dengan keluhan tidak


sadarkan diri setelah meminum cairan pembasmi serangga sebanyak 1 gelas 1
jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Pasien diketahui nekat mencoba bu
nuh diri lantaran pacaranya berselingkuh dengan teman pasien. Pasien mengal
ami muntah-muntah sebanyak 5 kali dengan muntah berwarna merah dengan b
au menyengat. Pasien juga merasakan nyeri ulu hati sebelum kemudian pingsa
n. Seluruh tubuh pasien terkena cairan pembasmi serangga tersebut.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan GCS E2V4M5, TD; 60/Palp mmHg,
Nadi 138x/menit, rr 28x/m, temperature 37,80C, tampak pin pont pupil bilatera
l, saliva dan rhinorhea (+). Dokter juga kemudian memutuskan melakukan gas
tric lavage untuk menyelamatkan pasien.

LBM 2 “GALAU” 3
2.3 Pembahasan LBM 2
I. Klarifikasi Istilah
1. Pin point pupi : Pupil yang mengalami miosis yang Ekstrim
disebutPin point pupi. Miosis adalah suatu keadaan dimana pupil
mengalami konstriksi. Miosis dapatdisebabkan oleh obat tertentu dan
bahan kimia,
2. Rhinorhea : suatu kondisi di mana rongga hidung dipenuhi
dengan sejumlah besar cairan lendir. Rhinorrhea ini juga dicirikan
jumlah kelebihan lendir yang dihasilkan oleh selaput lendir yang
melapisi rongga hidung. Membran membuat lendir lebih cepat
daripada yang dapat diproses, menyebabkan cadangan dari lendir di
rongga hidung.
3. Gastric lavage : Atau Bilas lambung adalah membersihkan
lambung dengan cara memasukan dan mengeluarkan air ke/dari
lambung dengan menggunakan NGT (Naso Gastric Tube)

II. Identiffikasi masalah


1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kerja racun ?
2. Bagaimana mekanisme keluhan pada scenario ?
3. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan dari scenario ?

III. Brain Storming


1. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja racun adalah sebagai berikut :
a. Cara pemberian
Setiap racun baru akan menimbulkan efek yang maksimal pada
tubuh jika cara pemberiannya tepat. Misalnya jika racun-racun yang
berbentuk gas tentu akan memberikan efek maksimal bila masuknya
ke dalam tubuh secara inhalasi. Jika racun tersebut masuk ke dalam
tubuh secara ingesti tentu tidak akan menimbulkan akibat yang sama
hebatnya walaupun dosis yang masuk ke dalam tubuh sama besarnya.

LBM 2 “GALAU” 4
Berdasarkan cara pemberian, maka umumnya racun akan
paling cepat bekerja pada tubuh jika masuk secara inhalasi,
kemudian secara injeksi (i.v, i.m, dan s.c), ingesti, absorbsi melalui
mukosa, dan yang paling lambat jika racun tersebut masuk ke
dalam tubuh melalui kulit yang sehat.

b. Keadaan tubuh
Umur
Pada umumnya anak-anak dan orang tua lebih sensitif
terhadap racun bila dibandingkan dengan orang dewasa. Tetapi
pada beberapa jenis racun seperti barbiturate dan belladonna, justru
anak-anak akan lebih tahan.
Kesehatan
Pada orang-orang yang menderita penyakit hati atau penyakit
ginjal, biasanya akan lebih mudah keracunan bila dibandingkan
dengan orang sehat, walaupun racun yang masuk ke dalam
tubuhnya belum mencapai dosis toksis. Hal ini dapat dimengerti
karena pada orang-orang tersebut, proses detoksikasi tidak berjalan
dengan baik, demikian pula halnya dengan ekskresinya. Pada
mereka yang menderita penyakit yang disertai dengan peningkatan
suhu atau penyakit pada saluran pencernaan, maka penyerapan
racun pada umumnya jelek, sehingga jika pada penderita tersebut
terjadi kematian, kita tidak boleh terburu-buru mengambil
kesimpulan bahwa kematian penderita disebabkan oleh racun. Dan
sebaliknya pula kita tidak boleh tergesa-gesa menentukan sebab
kematian seseorang karena penyakit tanpa melakukan penelitian
yang teliti, misalnya pada kasus keracunan arsen (tipe
gastrointestinal) dimana disini gejala keracunannya mirip dengan
gejala gastroenteritis yang lumrah dijumpai.
Kebiasaan

LBM 2 “GALAU” 5
Faktor ini berpengaruh dalam hal besarnya dosis racun yang
dapat menimbulkan gejala-gejala keracunan atau kematian, yaitu
karena terjadinya toleransi. Tetapi perlu diingat bahwa toleransi itu
tidak selamanya menetap. Menurunnya toleransi sering terjadi
misalnya pada pencandu narkotik, yang dalam beberapa waktu
tidak menggunakan narkotik lagi. Menurunnya toleransi inilah
yang dapat menerangkan mengapa pada para pencandu tersebut
bisa terjadi kematian, walaupun dosis yang digunakan sama
besarnya.
Hipersensitif (alergi – idiosinkrasi)
Banyak preparat seperti vitamin B1, penisilin, streptomisin
dan preparat-preparat yang mengandung yodium menyebabkan
kematian, karena sikorban sangat rentan terhadap preparat-preparat
tersebut. Dari segi ilmu kehakiman, keadaan tersebut tidak boleh
dilupakan, kita harus menentukan apakah kematian korban
memang benar disebabkan oleh karena hipersensitif dan harus
ditentukan pula apakah pemberian preparat-preparat mempunyai
indikasi. Ada tidaknya indikasi pemberi preparat tersebut dapat
mempengaruhi berat-ringannya hukuman yang akan dikenakan
pada pemberi preparat tersebut.
c. Racunnya sendiri
Dosis
Besar-kecilnya dosis racun akan menentukan berat-ringannya
akibat yang ditimbulkan. Dalam hal ini tidak boleh dilupakan akan
adanya faktor toleransi, dan intoleransi individual. Pada intoleransi,
gejala keracunan akan tampak walaupun racun yang masuk ke
dalam tubuh belum mencapai level toksik. Keadaan intoleransi
tersebut dapat bersifat bawaan / kongenital atau intoleransi yang
didapat setelah seseorang menderita penyakit yang mengakibatkan
gangguan pada organ yang berfungsi melakukan detoksifikasi dan
ekskresi.

LBM 2 “GALAU” 6
Konsentrasi
Untuk racun-racun yang kerjanya dalam tubuh secara lokal
misalnya zat-zat korosif, konsentrasi lebih penting bila
dibandingkan dengan dosis total. Keadaan tersebut berbeda dengan
racun yang bekerja secara sistemik, dimana dalam hal ini dosislah
yang berperan dalam menentukan berat-ringannya akibat yang
ditimbulkan oleh racun tersebut.
Bentuk dan kombinasi fisik
Racun yang berbentuk cair tentunya akan lebih cepat
menimbulkan efek bila dibandingkan dengan yang berbentuk
padat. Seseorang yang menelan racun dalam keadaan lambung
kosong, tentu akan lebih cepat keracunan bila dibandingkan
dengan orang yang menelan racun dalam keadaan lambungnya
berisi makanan.
Adiksi dan sinergisme
Barbiturate, misalnya jika diberikan bersama-sama dengan
alkohol, morfin, atau CO, dapat menyebabkan kematian, walaupun
dosis barbiturate yang diberikan jauh di bawah dosis letal. Dari
segi hukum kedokteran kehakiman, kemungkinan-kemungkinan
terjadinya hal seperti itu tidak boleh dilupakan, terutama jika
menghadapi kasus dimana kadar racun yang ditemukan rendah
sekali, dan dalam hal demikian harus dicari kemungkinan adanya
racun lain yang mempunyai sifat aditif (sinergitik dengan racun
yang ditemukan), sebelum kita tiba pada kesimpulan bahwa
kematian korban disebabkan karena reaksi anafilaksi yang fatal
atau karena adanya intoleransi.
Susunan kimia
Ada beberapa zat yang jika diberikan dalam susunan kimia
tertentu tidak akan menimbulkan gejala keracunan, tetapi bila
diberikan secara tersendiri terjadi hal yang sebaliknya.
Antagonisme

LBM 2 “GALAU” 7
Kadang-kadang dijumpai kasus dimana seseorang memakan
lebih dari satu macam racun, tetapi tidak mengakibatkan apa-apa,
oleh karena reaksi-reaksi tersebut saling menetralisir satu sama
lain. Dalam klinik adanya sifat antagonis ini dimanfaatkan untuk
pengobatan, misalnya nalorfin dan kaloxone yang dipakai untuk
mengatasi depresi pernafasan dan oedema paru-paru yang terjadi
pada keracunan akut obat-obatan golongan narkotik.

2. Bagaimana mekanisme keluhan pada scenario ?


Dari anamnesis pada keluarga pasien di skenario, diketahui bahwa
pasien tidak sadarkan diri setelah meminum cairan pembasmi serangga
sebanyak satu gelas sebelum di antar keluarganya masuk rumah sakit. Pada
anamnesis selanjutnya didapatkan informasi bahwa pasien mengalami
muntah sebanyak 5x dengan muntah berwarna kemerahan dengan bau
menyengat, dan pasien juga merasakan nyeri ulu hati. Dari gejala-gejala
tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh keracunan dari bahan yang
terkandung dalam cairan pembasmi serangga yang telah diminum oleh
pasien. Hal tersebut diperkuat dengan muntahan pasien yang berwarna
kemerahan yang menandakan bahwa kemungkinan besar memang benar
pasien meminum dari cairan tersebut. Pada pestisida, bahan yang paling
sering menyebabkan keracunanya itu bahan organoposfat. Pada keracunan
organoposfat, mekanisme yang terjadi yaitu peningkatan kadar asetilkholin
akibat dari dihambatnya enzim asetilkholinesterase (AChE). Enzim ini
berfungsi dalam mendegradasi asetilkholin, sehingga apabila dihambat
akan menyebabkan peningkatan kadar asetilkholin. Pada peningkatan kadar
asetilkholin, akan menyebabkan perangsangan yang berlebihan pada
reseptor muskarinik dan nikotinik. Perangsangan inilah yang menyebabkan
dari gejala-gejala yang ditimbulkan pada pasien tersebut seperti muntah,
hipotensi, hipersalivasi, rhinorrhea, nyeri ulu hati.

LBM 2 “GALAU” 8
Mekanisme :

Mengikat enzim
asetilkolinestrase
(ACHE)
Baygon (gol.karbamat) Diabsorbsi dan masuk kedalam
masuk ke mulut tubuh

ACHE tidak bisa


mengubah ach
Rangsangan asetil kolin Akumulasi ACH menjadi Asetat dan
berlebihan kolin/ tidak bisa
menginaktifkan
ACH

parasimpatis Saraf Simpatis

Efek nikotinik
Efek muskarinik

 Mendilatasi otot
Vasokontriksi jantung
Meningkatkan
bronkiolus
RR
tachikardia
Tachipneu

LBM 2 “GALAU” 9
3. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan pada scenario ?
Pada kasus di scenario telah dilakukan pemeriksaan oleh dokter dan
ditemukan nilai GCS E2V4M5 dan beberapa tanda yaitu dari tanda vital,
diperoleh tekanan darah 60/palpasi, nadi 138x/menit, pernafasan
28x/menit, temperature 37,8oC. Dari penghitungan nilai GCS tersebut
didapatkan tingkat kesadaran pasienya itu pasien dalam keadaan delirium,
dilihat dari nilai GCS pasienyaitu 11. Sementara dari tanda vital tersebut
tampak adanya syok yang ditandai dengan tekanan darah yang < 80 mmHg
disertai dengan peningkatan denyut nadi dan pernafasan, sementara untuk
temperature masih dalam batas normal. Selanjutnya, pada pemeriksaan
fisik didapatkan adanya pin point pupil bilateral, salvias dan rhinorrhea.
Gejala-gejala tersebut kemungkinan timbul akibat dari rangsangan dari
reseptor muskarinik dan nikotinik akibat dari pasien yang meminum cairan
pembasmi serangga. Pada cairan pembasmi serangga terdapat organ
oposfat yang merupakan bahan yang utama yang mengakibatkan
keracunan, keracunan ini ditimbulkan oleh karena adanya peningkatan dari
kadar asetilkholin akibat dari dihambatnya enzim asetilkholi nesterase.
Kadar asetilkholin yang meningkat ini yang menyebabkan rangsangan
berlebihan pada reseptor muskarinik dan nikotinik.

LBM 2 “GALAU” 10
IV. Rangkuman Permasalahan

 Definisi
 Definisi
 Keadaan gaduh gelisah
 Pihak yg  Klasifikasi
 Percobaan bunuh diri
terlibat  Teknik
 Penelantaran diri
 Tata cara
 Sindrom lepas zat
 Isi
 Penatalaksanaan
OTOPSI
VISUM ET KEDARURATAN PSIKIATRI
REPERTUM

INTOKSIKASI

TOKSIKOLOGI

TOKSIKOLOGI UMUM TOKSIKOLOGI SPESIFIK

 Definisi Bahan kimia Obat-obatan


 Daya kerja racun  Organik  Opiat
 Faktor yg o Fenol  Salisilat
mempengaruhi o Cresol  Psikotropika
 Perubahan o Metanol  DMP
patologis o Sianida  Paracetamol
 Gejala klinis  Non-organik
 Pemeriksaan o Arsen
 Penatalaksanaan o Merkuri Makanan
 Prognosis o Timbal
 Gas
Bisa Ular
o CO2
o CO
 Insektisida Bisa Kalajengking

LBM 2 “GALAU” 11
V. Learning Issue
1. Definisi intoksikasi
2. Jenis jenis bahan beracun dan mekanisme kerja masing masing bahan
3. Manifestasi klinis akibat racun spesifik
4. Penanganan kegawatdaruratan pada kasus intoksikasi
5. Penatalaksanaan spesifik setiap jenis bahan beracun
6. Komplikasi kasus intoksikasi

VI. Refrensi
1. Eliastam, Michael. 1998. Penuntun Kedaruratan Medis. Penerbit buku
kedokteran EGC. Jakarta
2. Joseph Fenton. Insecticides In : Toxicology A case-Oriented Approach. CRC
Press. Washington D.C : 2002.
3. Sudoyo, Aru W, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid
III. Jakarta: Interna Publishing.
4. Katzung, Bertram G. 2010. Farmakologi dasar dan klinik. Penerbit buku
kedokteran EGC. Jakarta
5. William Yip Chin – Ling, Pedoman Praktis Kedaruratan Pada Anak ( Terj ),
Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia.

VII. Pembahasan Learning Issue


1. Definisi Intoksikasi
Racun adalah zat yang ketika tertelan, terhisap, diabsorpsi,
menempel pada kulit, atau dihasilkan di dalam tubuh dalam jumlah yang
relatif kecil menyebabkan cedera dari tubuh dengan adanya reaksi kimia
(Brunner & Suddarth, 2001). Keracunan adalah suatu keadaan di mana
terjadi gangguan fungsi organ tubuh karena kontak dengan bahan kimia
(Bakta, 1999).

2. Jenis jenis bahan beracun dan mekanisme kerja masing masing


bahan
Jenis bahan beracun terdiri atas :
 Bahan Kimia

LBM 2 “GALAU” 12
Bahan kimia dibedakan menjadi bahan organic dan nonorganic ((Wijanto,
2005).
a) Organik
- Keracunan fenol
Fenol menimbulkan presipitasi atau koagulasi protein sel dan
menyebabkan iritasi serta penetrasi lebih dalam / jauh ke dalam
jaringan sampai terjadi nekrosis. Ikatan fenol dengan protein
tadi mudah terurai kembali dan fenol bebas akan mengadakan
penetrasi lebih dalam lagi ke dalam jaringan, mengikat protein
sel yang baru dan menyebabkan nekrosis lebih luas lagi.

- Keracunan cresol
Luka yang diakibatkan oleh kresol mirip dengan fenol. Secara
sistemik juga menimbulkan depresi susunan syaraf pusat,
hemolisis dan degenerasi parenkim pada ginjal maupun organ
viscera lainnya. Gejala dan terapi sama dengan intoksikasi
fenol
- Keracunan methanol
Jika dikonsumsi berlebihan, konsentrasi methanol dalam
darah akan meningkat dan orang tersebut akan mulai
menunjukkan keluhan dan gejala keracunan alcohol, kecuali
orang tersebut telah mengalami toleransi terhadap methanol.
Methanol dalam jumlah yang maksimum yaitu 300 ml
methanol murni, dapat dimetabolisme dalam tubuh dalam 24
jam. Keracunan methanol dapat menyebabkan gangguan pada
hepar dan ginjal.
Dalam liver metanol akan dimetabolisme oleh Alkohol
Dehidrogenase menjadi formaldehide dan selanjutnya oleh
enzim Formaldehide dehidrogenase ( FDH ) diubah menjadi
asam format. Kedua hasil metabolisme tersebut merupakan zat
beracun bagi tubuh terutama asam format. Pada kasus

LBM 2 “GALAU” 13
keracunan metanol, formaldehida tidak pernah terdeteksi dalam
cairan tubuh korban karena formaldehida yang terbentuk sangat
cepat diubah menjadi asam format ( waktu paruh 1-2 menit )
dan selanjutnya diperlukan waktu yang cukup lama ( kurang
lebih 20 jam ) oleh enzim 10-formyl tetrahydrofolate
synthetase ( F-THF-S ) untuk mengoksidasi asam format
menjadi senyawaKarbon dioksida dan air, sehingga ditemukan
adanya korelasi antara konsentrasi asam format dalam cairan
tubuh dengan kasus keracunan metanol. Berat ringannya gejala
akibat keracunan metanol tergantung dari besarnya kadar
metanol yang tertelan. Dosis toksik minimum ( kadar
keracunan minimal ) metanol lebih kurang 100 mg / kg dan
dosis fatal keracunan metanol diperkirakan 20 – 240 ml ( 20 –
150 g ).

- Keracunan sianida
Sianida bersifat sangat letal karena dapat berdifusi dengan
cepat pada jaringan dan berikatan dengan organ target dalam
beberapa detik. Sianida dapat berikatan dan menginaktifkan
beberapa enzim, terutama yang mengandung besi dalam bentuk
Ferri (Fe3+) dan kobalt. Kombinasi kimia yang dihasilkan
mengakibatkan hilangnya integritas struktural dan efektivitas
enzim. Sianida dapat menyebabkan terjadinya hipoksia
intraseluler melalui ikatan yang bersifat ireversibel dengan
cytochrome oxidase a3 di dalam mitokondria. Cytochrome
oxidase a3 berperan penting dalam mereduksi oksigen menjadi
air melalui proses oksidasi fosforilasi. Ikatan sianida dengan
ion ferri pada cytochrome oxidase a3 akan mengakibatkan
terjadinya hambatan pada enzim terminal dalam rantai
respirasi, rantai transport elektron dan proses osksidasi
forforilasi. Fosforilasi oksidatif merupakan suatu proses

LBM 2 “GALAU” 14
dimana oksigen digunakan untuk produksi adenosine
triphosphate (ATP). Gangguan pada proses ini akan berakibat
fatal karenan proses tersebut penting untuk mensintesis ATP
dan berlangsungnya respirasi seluler. Suplai ATP yang rendah
ini mengakibatkan mitokondria tidak mampu untuk
mengekstraksi dan menggunakan oksigen, sehingga walaupun
kadar oksigen dalam darah norml tidak mampu digunakan
untuk menghasilkan ATP. Akibatnya adalah terjadi pergeseran
dalam metabolisme dalam sel yaitu dari aerob menjadi anaerob.
Penghentian respirasi aerobik juga menyebabkan akumulasi
oksigen dalam vena. Pada kondisi ini, permasalahnya bukan
pada pengiriman oksigen tetapi pada pengeluaran dan
pemanfaatan oksigen di tingkat sel. Hasil dari metabolisme
aerob ini berupa penumpukan asam laktat yang pada akhirnya
akan menimbulkan kondisi metabolik asidosis. Penghambatan
pada sitokrom oksidase a3 ini bukan merupakan satusatunya
mekanisme yang berperan dalam keracunan sianida. Terdapat
beberapa mekanisme lain yang terlibat, diantaranya:
penghambatan pada enzim karbonik anhidrase yang berperan
penting untuk memperparah kondisi metabolik asidosis dan
ikatan dengan methemoglobin yang terdapat konsentrasinya
antara 1%-2% dari kadar hemoglobin. Ikatan sianida ini
menyebabkan jenis hemoglobin ini tidak mampu mengangkut
oksigen.

b) Non-Organik

- Keracunan arsen
Pemajanan Arsen Trioksida ke dalam tubuh manusia
umumnya melalui oral, darimakanan/minuman yang tercemar
Arsen dari air tanah karena karakteristik dari ArsenTrioksida

LBM 2 “GALAU” 15
sendiri yang mudah larut dalam air. Arsen yang tertelan secara
cepat akan diseraplambung dan usus halus kemudian masuk ke
peredaran darah.
Arsen trioksida mampu menghambat produksi ATP, sumber
energi bagi sel-selhidup, melalui berbagai mekanisme. Di siklus
Krebs arsenik menghambat enzim piruvatdehidrogenase, sehingga
sintesis ATP menjadi berkurang dan malah meningkatkan produksi
hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida ini merupakan oksidator
yang sangatreaktif terhadap sel hidup, maka justru sel hidup itulah
yang diserang

- Keracunan mercury
Garam mercuri yang larut diabsorbsi dengan cepat melalui
saluran pencernaan makanan atau mukosa membran lain. Dapat
diabsorbsi melalui kulit yang intak dan tidak sampai menimbulkan
keracunan akut karena absorbsinya sangat lambat namun tidak
jarang menyebabkan keracunan kronis.
- Keracunan timbal
Keracunan Akut
Keracunan timbal akut jarang terjadi. Keracunan timbal
akut secara tidak sengaja yang pernah terjadi adalah karena timbal
asetat. Gejala keracunan akut mulai timbul 30 menit setelah
meminum racun. Berat ringannya gejala yang timbul tergantung
pada dosisnya. Keracunan biasanya terjadi karena masuknya
senyawa timbal yang larut dalam asam atau inhalasi uap timbal.
Efek adstringen menimbulkan rasa haus dan rasa logam disertai
rasa terbakar pada mulut. Gejala lain yang sering muncul ialah
mual, muntah dengan muntahan yang berwarna putih seperti susu
karena Pb Chlorida dan rasa sakit perut yang hebat. Lidah berlapis
dan nafas mengeluarkan bau yang menyengat. Pada gusi terdapat
garis biru yang merupakan hasil dekomposisi protein karena

LBM 2 “GALAU” 16
bereaksi dengan gas Hidrogn Sulfida. Tinja penderita berwarna
hitam karena mengandung Pb Sulfida, dapat disertai diare atau
konstipasi. Sistem syaraf pusat juga dipengaruhi, dapat ditemukan
gejala ringan berupa kebas dan vertigo. Gejala yang berat
mencakup paralisis beberapa kelompok otot sehingga
menyebabkan pergelangan tangan terkulai ( wrist drop ) dan
pergelangan kaki terkulai (foot drop).

Keracunan Subakut
Keracunan sub akut terjadi bila seseorang berulang kali
terpapar racun dalam dosis kecil, misalnya timbal asetat yang
menyebabkan gejala-gejala pada sistem syaraf yang lebih
menonjol, seperti rasa kebas, kaku otot, vertigo dan paralisis
flaksid pada tungkai. Keadaan ini kemudian akan diikuti dengan
kejang-kejang dan koma. Gejala umum meliputi penampilan yag
gelisah, lemas dan depresi. Penderita sering mengalami gangguan
sistem pencernaan, pengeluaran urin sangat sedikit, berwarna
merah. Dosis fatal : 20 - 30 gram. Periode fatal : 1-3 hari.

Keracunan Kronis
Keracunan timbal dalam bentuk kronis lebih sering terjadi
dibandingkan keracunan akut. Keracunan timbal kronis lebih
sering dialami para pekerja yang terpapar timbal dalam bentuk
garam pada berbagai industri, karena itu keracunan ini dianggap
sebagai penyakit industri. seperti penyusun huruf pada percetakan,
pengatur komposisi media cetak, pembuat huruf mesin cetak,
pabrik cat yang menggunakan timbal, petugas pemasang pipa gas.
Bahaya dan resiko pekerjaan itu ditandai dengan TLV 0,15
mikrogram/m3 , atau 0,007 mikrogram/m3 bila sebagai aerosol.
Keracunan kronis juga dapat terjadi pada orang yang minum air
yang dialirkan melalui pipa timbal, juga pada orang yang

LBM 2 “GALAU” 17
mempunyai kebiasaan menyimpan Ghee (sejenis makanan di
India) dalam bungkusan timbal.Keracunan kronis dapat
mempengaruhi system syaraf dan ginjal, sehingga menyebabkan
anemia dan kolik, mempengaruhi fertilitas, menghambat
pertumbuhan janin atau memberikan efek kumulatif yang dapat
muncul kemudian.

c) Gas
- Keracunan gas karbon dioksida (co2)
Gas karbon dioksida dihasilka dari hasil oksidasi atau
respirasi jaringan tumbuh-tumbuhan atau binatang, hasil
pembakaran hasil dekomposisi senyawa organic maupun sebagai
hasil fermentasi.
Sumber gas CO2 adalah:
- Gas yang berasal dari gunung berapi
- Gua-gua yang dalam
- Sumur tua yang tidak terpakai
- Ruang bawah tanah yang tanpa ventilasi
- Tambang-tambang
- Uang bawah kapal
Cara kejadian keracunan gas karbon dioksida adalah terutama karena
kecelakaan.
Toksisitas Karbon Dioksida
- Pada konsentrasi 0,1-0,5% di udara sudah menimbulkan gejala sakit
kepala, lemah dan lesu
- Onsentrasi 8-9 % di udara sudah membahayakan karena menyebabkan
sesak nafas (suffocation)
- Konsentrasi diatas 12% sudah dapat menimbulkan kematian
d) Keracunan gas karbon monooksida (co)

LBM 2 “GALAU” 18
Keracunan CO adalah perinhalasi. Mekanismenya adalah
didasarkan atas afinitas CO yang 200-250 kali lebih besar dari afinitas
oksigen terhadap Hb dan carboxyhemoglobine yang terbentuk lebih
stabil dibandingkan dengan oksihemoglobin. Akibatnya CO akan
mengikat Hb secara cepat dan lengkap dan menghambat oksigen
berikatan dengan Hb. Sehingga akibat terbentuknya CO-Hb dalam
jumlah yang tinggi dalam darah, supply oksigen ke organ vital tidak
dapat dipenuhi sebagaimana mestinya. Maka akan menimbulkan
anoxemia. Secara tidak langsung pula akibat mekanisme diatas akan
menyebabkan penurunan kemampuan Hb melepaskan oksigen ke
jaringan. Dua faktor yang menyebabkan asfiksia dalam keracunan CO:
- Penurunan Hb (kadar) yang dapat membawa oksgen dalam sirkulasi
- Penurunan kemampuan Ho untuk melepas oksigen ke dalam jaringan
e) Keracunan Insektisida
- Organophosphate
Organophosphat adalah insektisida yang paling toksik diantara
jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada orang.
Termakan hanya dalam jumlah sedikit saja dapat menyebabkan
kematian, tetapi diperlukan lebih dari beberapa mg untuk dapat
menyebabkan kematian pada orang dewasa. Organofosfat
menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan
kholinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Enzim
tersebut secara normal menghidrolisis asetylcholin menjadi asetat dan
kholin. Pada saat enzim dihambat, mengakibatkan jumlah asetylkholin
meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik
pada system saraf pusat dan perifer. Hal tersebut menyebabkan
timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian
tubuh.
Efek Asetilkolin dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Efek Muskarinik, menimbulkan:
D : Defecation

LBM 2 “GALAU” 19
U : Urination
M : Miosis
B : Bradycardia/Broncospasme DUMBELS
E : Emesis
L : Lacrimasi
S : Salivasi
2. Efek Nikotinik, menimbulkan:
M : Muscle weakness
A : Adrenal medula activity
T : Tachycardia MATCH
C : Cramping
H : Hyprtension
3. SSP, menimbulkan nyeri kepala, perubahan emosi, kejang-kejang
sampai koma
- Organochlorine
Mekanisme Keracunan
Mekanisme kerja Organochlorin diduga menimbulkan interferensi
degan transmisi rangsangan syaraf dengan mengubah aliran Na dan K
dalam membran yang dapat menimbulkan hipereksitasi SSP.

f) Obat-obatan
- Keracunan Opiat
Umumnya kelompok opiate digunakan untuk mengatasi nyeri
melalui efek depresi pada otak.

LBM 2 “GALAU” 20
Mekanisme Toksisitas
Pada umumnya kelompok opiate mempunyai kemampuan untuk
menstimulasi SSP melalui aktivitas reseptornya yang akan menyebabkan
efek sedasi dan deprsi nafas. Kematian umumnya terjadi karena apnea atau
aspirasi paru dari cairan lambung, sedangkan reaksi edema pulmoner yang
akut (nonkardiogenik) mekanismenya masih belum jelas.
Reaksi toksisitas sangat beragam dari masing-masing jenis opiate
tergantung cara (rute) pemberian. Efek toleransi (pemakai kronis), lama
kerja dan masa paruh obat yang akhirnya akan menentukan tingkat
toksisitas. Dengan ditemukannya tipe reseptor opiate di SSP (otak) maka
mekanisme toksisitas dan antidotnya dapat diterangkan melalui reseptor.

- Salisilat
Asam salisilat dan derivatnya sering dipakai sebagai analgetik,
antiperitik, keratolitik dan antireumatik. gejala toksik umumnya berupa
asidosis metabolik sedangkan gejala utama berupa salisilismus. Gejala
toksik natrium salisilat pada orang dewasa terjadi jika menelan 10g/lebih
dalam periode 12-14 jam (kadar plasma >30mg/100ml) dan akan bersifat
letal dengan dosis 20-30 g. Dosis letal pada anak yaitu pada 2,7 g metol
salisilat.

LBM 2 “GALAU” 21
- Psikotropika
Psikotropika adalah merupakan suatu zat atau obat, baik alamiah
maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan
khas pada aktivitas mental dan perilaku.

Efek Pemakaian
Zat atau obat psikotropika ini dapat menurunkan aktivitas otak atau
merangsang susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku,
disertai dengan timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara
berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan
ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi para
pemakainya.
Pemakaian Psikotropika yang berlangsung lama tanpa pengawasan
dan pembatasan pejabat kesehatan dapat menimbulkan dampak yang lebih
buruk, tidak saja menyebabkan ketergantungan bahkan juga menimbulkan
berbagai macam penyakit serta kelainan fisik maupun psikis si pemakai,
tidak jarang bahkan menimbulkan kematian.

- Dextromethorphan
Adalah dextrorotatory stereoisomer yg merupakan derivat
methylate dari levorphanol. Walaupun strukturnya mirip narkotik, DMP
tidak beraksi pada reseptor opiat sub tipe mu (seperti halnya morfin atau
heroin), tetapi ia beraksi pada reseptor opiat subtipe sigma, sehingga efek
ketergantungannya relatif kecil
Penyalahgunaan DMP menggambarkan adanya 4 fase yg
tergantung dosis, seperti berikut:

Fase Dosis (mg) Efek

LBM 2 “GALAU” 22
I 100-200 Stimulasi ringan
II 200-400 Euforia & halusinasi
III 300-600 Gangguan persepsi visual & hilangnya
koordinasi motorik
IV 500-1500 Dissociative sedation

- Keracunan Paracetamol
Tahap-Tahap Keracunan Parasetamol
 Tahap I (<24 jam I): sakit pada abdomen, nafsu makan menurun, mual
dan muntah.Pada pemeriksaan fisik sering hanya ditemukan pucat dan
berkeringat.
 Tahap II (24-48 jam I): gejala yang muncul pada tahap 1 hilang,pada
pemeriksaan fisik hepar membesar dan nyeri tekan.Hasil laboratorium:
serum bilirubin meningkat,enzim hepar meningkat dan PT memanjang,
dan fungsi ginjal dapat tidak normal.
 Tahap III (72-96 jamI):gejala pada tahap II menetap,didapatkan
ikterus,enzim hati mencapai kadar tertingginya,dan gagal hati dan gagal
ginjal (jarang) dapat terjadi dan mematikan.
 Tahap IV ( hari ke-4 s/d mgg ke-2): bila penderita datang terlambat atau
tidak segera medapatkan pengobatan,keadaan gangguan fungsi hati
memberat menjadi gagal hati,coma dan kematian.

g) Keracunan Makanan
Keracunan makanan umumnya disebabkan oleh adanya
bahan asing yang bersifat toksis dalam makanan (toxic substance in
food).
Keadaan ini dapat terjadi dan digolongkan dalam 4 golongan yaitu
1. Bahan asing anorganik atau organik balk sengaja ataupun tidak
tercampur dalam makanan pada waktu proses pembuatan atau

LBM 2 “GALAU” 23
pengawetan. Contoh: Logam tertentu seperti timah, tembaga
dan lain-lain sering ditemukan dalam makanan akibat
kesalahan teknik pada pembuatannya. Tepung DDT dikira tepung
untuk makanan
2. Makanan itu sendiri mengandung racun
Contoh : . Keracunan singkong (cyanide). Keracunan jamur.
3. Adanya kuman atau parasit patogen dalam makanan
Contoh : Adanya kuman Salmonella dan sebagai sumber
penularannya adalah daging, susu, telur, dan lain -lain.
Entamoeba histolytica dengan sumber penularannya melalui air yang
kita minum.
4. Adanya toksin kuman dalam makanan
Contoh : Toksin Clostridium botulinum. Toxin dari B
coccovenenans (Keracunan tempe bongkrek).

1. Sianida (cyanide)
Mekanisme Kerja
Asam cyanide diabsorbsi melalui permukaan mukosa sistem
pernafasan, traktus gastrointestinal is, Wit yang intak maupun yang rusak.
Dalam bentuk gas maka keracunan melalui inhalasi dimana gas akan
melekat pada pharynx dan nasopharynx serta bereaksi dengan mukosa
membran yang lembab untuk membentuk asam cyanide melalui proses
hidrolisa. Cyanide mengganggu fungsi enzim dan fungsi-fungsi vital. Cyanide
akan menginaktivasi enzim oxidative terutama cytochrom oxidase.
Efek lain cyanide adalah terhadap sensory nerve ending pada
carotid body sehingga menyebabkan refleksi stimulasi pada
pernafasan. Akibat kedua mekanisme ini biasanya pada keracunan
perinhalasi sianida maka kematian atau gejala keracunan makin lama makin
hebat sehingga kematian cepat terjadi.
Bila seorang keracunan cyanide dan coati, warns darah merah
terang oleh karena terikatnya Fe 3 + dari enzym cytochrom oxidase

LBM 2 “GALAU” 24
yang mengakibatkan transportasi dan pemakaian oksigen dalam sel
terganggu sehingga timbul anoksia (sitotoksik anoksia), walaupun kadar
oksigen dalam darah tinggi (HbO2)
Tingginya kadar Hb02 inilah yang menyebabkan warns darah
menjadi merah terang. Garam alkali sianida bersifat korosif sehingga
menyebabkan iritasi pada saluran pencemaan makanan apabila keracunan
per oral.

2. Botulisme
Keracunan makanan yang tergolong dalam hal adanya toksin
kuman dalam makanan. Clostridium. (Bacillus) botulinum akan
menghasilkan toksin (exotoxin) dalam kondisi tertentu dan racun ini
sangat cepat diabsorbsi saluran pencernaan makanan.
Daya Kerja
Toksin kuman C. botulinum bekerja sebagai depresant pada
nerve end atau pada myoneural junction baik otot-otot skelet, otot polos
maupun kelenjar.
Toksin ini akan menghambat pelepasan acetyl choline dan akan
meningkat pada end plate sehingga menyebabkan stimulasi saraf pada
otot polos. Aksi dari toksin ini berbeda dengan efek curare.

h. Keracunan karena Bisa Ular


Komposisi bisa ular 90% terdiri dari protein. Masing-masing bisa
memiliki lebih dari ratusan protein berbeda: enzim (meliputi 80-90% bisa
viperidae dan 25-70% bisa elapidae), toksin polipeptida non-enzimatik, dan
protein non-toksik, seperti faktor pertumbuhan saraf. Enzim pada bisa ular
meliputi hidrolase digestif, hialuronidase, dan aktivator atau inaktivator proses
fisiologis, seperti kininogenase. Sebagian besar bisa mengandung L-asam
amino oksidase, fosfomono- dan diesterase, 5`-nukleotidase, DNAase, NAD-
nukleosidase, fosfolipase A2, dan peptidase (Warrell 2010).

LBM 2 “GALAU” 25
Envenomasi gigitan ular pada manusia memiliki banyak efek
potensial, namun hanya beberapa kategori yang memiliki klinis mayor yang
signifikan, yaitu: (1) flasid paralisis; (2) miolisis sistemik; (3) koagulopati dan
perdarahan; (4) kerusakan dan gangguan ginjal; (5) kardiotoksisitas; (6)
kerusakan jaringan lokal pada daerah gigitan (White 2005).

3. Manifestasi klinis akibat racun spesifik


Manifestasi klinis akibat racun spesifik diantaranya adalah : (Joseph,2002)
Jenis Bahan Manifestasi Klinis
Beracun
Organik

Keracunan Fenol 1. mula-mula mukosa/kulit berubah warna


Keracunan keputih-putihan disertai hilangnya rasa.
cresol Kemudian diikuti perubahan (setelah 1
jam/lebih) menjadi kemerahan dan akhirnya
sampai gangren.
2. jika masuk melalui per oral, terdapat rasa
terbakar atau sakit pada kerongkongan, mulut
dan perut.
3. muntah dengan bau muntahan khas (bau fenol)
4. sakit kepala
5. otot menjadi lemah, muka sianosis, nadi cepat,
delerium, koma, pernapasan takteratur, kolaps,
berkeringat dingin, wajah makin pucat dan
kadang-kadang konvulsi akibat efek racun
yang hebat.
6. urin berwarna hijau gelap dan biasanya
mengandung albumin

LBM 2 “GALAU” 26
Keracunan Gejala awal yang penting dari keracunan methanol
Metanol ialah gangguan visual, sering kali dijelaskan sebagai
“berada dalam badai salju”. Gangguan visual
merupakan keluhan umum epidemis keracunan
methanol. Keluhan penglihatan kabur dengan
kesadaran relative baik merupakan suatu petunjuk
kuat untuk keracunan methanol untuk keracunan
methanol. Muncul juga gejala-gejala yang mirip
dengan gejala-gejala keracunan alkohol (etanol) : sakit
kepala, pusing, sakit otot, lemah, kehilangan
kesadaran dan kejang-kejang ini berlangsung selama
12 – 24 jam.
Pada tahap selanjutnya jika korban tidak
segera mendapat pertolongan yang tepat akan terjadi :
1. Kerusakan syaraf optik dengan gejala-gejala :
dilatasi pupil, penglihatan menjadi kabur dan
akhirnya kebutaan yang permanen
2. Metabolisme acidosis dengan gejala-gejala :
mual, muntah, pernafasan menjadi lebih dalam
dan lebih cepat, tekanan darah menurun, syok
kemudian koma dan akhirnya meninggal
Keracunan metanol terjadi tidak hanya melalui
mulut, dapat juga terjadi bila :
1. Terhirup / inhalasi dengan gejala-gejala :
iritasi selaput lendir, sakit kepala, telinga
berdengung, pusing, sukar tidur, bola mata
bergerak bolak balik, pelebaran bola mata /
dilatasi pupil, penglihatan kabur, mual,
muntah, kolik dan sulit buang air besar.
2. Terkena kulit menyebabkan kulit menjadi
kering, gatal-gatal dan iritasi

LBM 2 “GALAU” 27
3. Terkena mata dapat menyebabkan iritasi dan
gangguan penglihatanManifestasi dari
keracunan methanol adalah muntah, sakit
kepala, nyeri ulu hati, dyspneu, bradikardia
dan hipotensi. Bisa terjadi delirium kemudian
pasien akan segera menjadi koma. Asidosis
metabolic sangat khas terjadi pada keracunan
methanol, yang disebabkan karena
terbentuknya asam format yang merupakan
metabolit dari methanol yang telah mengalami
metabolism di dalam hati. Toksisitas yang
spesifik yaitu kerusakan pada retina.
Penglihatan kabur, pelebaran pembuluh darah
diskus optikus selalu mendahului kematian
yang disebabkan oleh gagal nafas.

Keracunan Efek utama dari racun sianida adalah timbulnya


sianida hipoksia jaringan yang timbul secara progresif. Gejala
dan tanda fisik yang ditemukan sangat tergantung
dari:
• Dosis sianida
• Banyaknya paparan  Gas sianida sangat
berbahaya apabila terpapar dalam konsentrasi
tinggi.
• Jenis paparan
• Tipe komponen dari sianida
Penderita akan mengeluh timbul rasa pedih dimata
karena iritasi dan kesulitan bernafas karena
mengiritasi mukosa saluran pernafasan. Hanya dalam
jangka waktu 15 detik tubuh akan merespon dengan
hiperpnea, 15 detik setelah itu sesorang akan

LBM 2 “GALAU” 28
kehilangan kesadarannya. 3 menit kemudian akan
mengalami apnea yang dalam jangka waktu 5-8 menit
akan mengakibatkan aktifitas otot jantung terhambat
karena hipoksia dan berakhir dengan kematian. Dalam
konsentrasi rendah, efek dari sianida baru muncul
sekitar 15-30 menit kemudian, sehingga masih bisa
diselamatkan dengan pemberian antidotum.
Tanda awal dari keracunan sianida :
• Hiperpnea sementara
• Nyeri kepala,
• Dispnea
• Kecemasan
Perubahan perilaku seperti agitasi dan
gelisah
• Berkeringat banyak, warna kulit
kemerahan, tubuh terasa lemah dan vertigo
juga dapat muncul.
Tanda akhir sebagai ciri adanya penekanan terhadap
CNS : koma dan dilatasi pupil, tremor, aritmia,
kejang-kejang, koma penekanan pada pusat
pernafasan, gagal nafas sampai henti jantung.
Karena efek racun dari sianida adalah memblok
pengambilan dan penggunaan dari oksigen, maka
akan didapatkan rendahnya kadar oksigen dalam
jaringan. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat
warna merah terang pada arteri dan vena retina karena
rendahnya penghantaran oksigen untuk jaringan.
Peningkatan kadar oksigen pada pembuluh darah vena
akan mengakibatkan timbulnya warna kulit seperti
“cherry-red”, tetapi tanda ini tidak selalu ada.
Non-organik

LBM 2 “GALAU” 29
Keracunan arsen 1. Acute paralytic
Timbul mendadak setelah korban keracunan
dengan dosis besar serta absorbsinya berjalan
sangat cepat. Gejala yang sangat menonjol
adalah akibat depresi susunan saraf pusat,
antara lain:
 Circullatory collapse
 Denyut nadi cepat dan lemah
 Pernafasan sukar dan dalam
 Stupor atau semicomatosa
 Kejang
 Kematian terjadi dalam waktu kurang
dari 24 jam

2. Gastrointestinal type
 Rasa sakit dan cramp pada perut
 Rasa haus yang hebat, sakit
tenggorokan
 Mulut terasa kering
 Muntah berkepanjangan, kadang-
kadang bercampur darah
 Profuse diarrhea dengan feses
bercampur darah.
 Kematian terjadi dalam beberapa jam
sampai beberapa hari dan apabila
penderita dapat melewati serangan
pertama, masih ada kemungkinan
untuk bertahan hidup.
3. Subacute type

LBM 2 “GALAU” 30
 Degenerasi toksik pada hepar yang
kemudian berkembang menjadi
acute/subacute yellow athrophy disertai
toxic jaundice hebat.
 Perdarahan multiple pada lapisan sub
serosa jaringan
 GI tract mengalami inflamasi dan
kronis serta diare berkepanjangan.
 Cramp dan dehidrasi
 Ginjal mengalami nefrosis dengan
albuminuria dan hematuria.
 Skin eruption, bengkak seluruh tubuh,
beberapa kasus mengalami keratosis
kulit, berat badan menurun serta
keadaan umum korban makin buruk.
Kematian dapat terjadi setelah
beberapa hari kemudian.
4. Chronic type
 Paralise dan atrofi otot-otot tangan dan
kaki.
 Anestesia
 Rambut dan kuku rontok
 Kadang tampak gastroenteritis kronis
disertai anoreksia, nausea dan diare
 Kulit mengalami hiperkeratosis,
kelopak mata bengkak
 Garis melintang pada kuku berwarna
putih
 Hiperkeratosis terutama tampak jelas
pada telapak tangan dan telapak kaki.

LBM 2 “GALAU” 31
Keracunan Mual, kemudian muntah bercampur darah disertai rasa
mercury sakit pada abdomen.
Selanjutnya keluhan tenesmus serta diare berdarah
disertai dengan penurunan produksi urin, uremia dan
collaps.
Pada beberapa kasus tampak adanya kelainan pada
mulut dan gigi berupa gingivitis dan juga stomatitis
terutama pada keracunan peroral larutan pekat
merkuri klorida
Adanya garis kebiru-biruan pada gusi mirip dengan
keracunan Bismuth, hanya saja dengan derajat yang
lebih ringan.

Keracunan Secara umum gejala keracunan timbal terlihat


timbal pada system pencernaan berupa muntah – muntah,
nyeri kolik abdomen, rasa logam dan garis biru pada
gusi, konstipasi kronis. Pada sistem syaraf pusat
berupa kelumpuhan ( wrist drop, foot drop, biasanya
terdapat pada pria dewasa). Sistem sensoris hanya
sedikit mengalami gangguan, sedangkan ensefalopati
sering ditemukan pada anak-anak. Gejala keracunan
ini pada sistem jantung dan peredaran darah berupa
anemia, basofilia pungtata, retikulosis, berkurangnya
trombosit dan sel polimorfonuklear, hipertensi dan
nefritis, artralgia ( rasa nyeri pada sendi ). Gejala pada
bagian kandungan dan kebidanan berupa gangguan
menstruasi, bahkan dapat terjadi abortus.

Gas

LBM 2 “GALAU” 32
Gas karbon Karbon dioksida akan menyebabkan asfiksia
dioksida (co2) karena brkurangnya jumlah oksigen di udara
pernapasan dan proses ini pada tahap awal akan
dipercepat dengan adanya efek langsung CO2 pada
pusat pernapasan sehingga akan menyebabkan makin
cepat dan dalamnya pernapasan, sehingga tingkat
keracunan perinhalasi tadi makin berat. Gejala
keracunan akibat CO2 adalah:
- Sakit kepala serta kepala terasa berat
- Lemah
- Telinga berbunyi (tinitus)
- Nausea, perspirasi
- Otot-otot menjadi lemah
- Somnolensi hebat
- Tekanan darah meningkat disertai dengan
sianosis
- Pernapasan cepat dan nadi cepat
- Collaps, koma dan meninggal
Gejala keracunan tergantung pada konsentrasi
CO2 di dalam sumber keracunan. Apabila hamper
saluran atmosfer mengandung CO2 maka efek toksis
CO2 begitu hebatnya dan ditandai dengan spasme
glottis, konvulsi, koma yang terjadi secara mendadak
dan kematian segera. Biasanya kematian karena
keracunan CO2 ini sering membawa korban lebih dari
seorang karena si penolong tidak menduga korban
pertama keracunan gas dan berbahaya.

Karbon Gejala klinis keracunan dapat terjadi mendadak,


monooksida (co) namun biasanya didahului oleh sakit kepala, pelipis
berdenyut, tinnitus, pusing (dizziness), mual, muntah,

LBM 2 “GALAU” 33
pandangan kabur dan pingsan. Wajah kemerahan,
daya ingat menurun, vertigo, anesthesia, hilangnya
daya untuk bergerak secara spontan. Selanjutnya
denyut nadi melemah dan pelan sampai dapat terjadi
cardiac arrest. Terjadi penurunan suhu tubuh dan
dapat terjadi glukosuria dalam waktu 3-4 hari
kemudian.

Insektisida

Organophosphat Adapun gejala keracunan pestisida golongan


organofosfat adalah sebagai berikut:18
1. Gejala awal
Gejala awal akan timbul : mual / rasa penuh di perut,
muntah, rasa lemas, sakit
kepala dan gangguan penglihatan.
2. Gejala Lanjutan
Gejala lanjutan yang ditimbulkan adalah keluar ludah
yang berlebihan,
pengeluaran lendir dari hidung (terutama pada
keracunan melalui hidung), kejang
usus dan diare, keringat berlebihan, air mata yang
berlebihan, kelemahan yang
disertai sesak nafas, akhirnya kelumpuhan otot
rangka.
3. Gejala Sentral
Gelaja sentral yan ditimbulkan adalah sukar bicara,
kebingungan, hilangnya
reflek, kejang dan koma.
Gejala-gejala tersebut akan muncul kurang dari 6 jam,

LBM 2 “GALAU” 34
bila lebih dari itu maka
dipastikan penyebabnya bukan golongan organofosfat
Organochlorin Gambaran klinis yang paling menonjol adalah
muntah, tremor serta konvulsi.
 Keracunan ringan: muntah-muntah, rasa lemah,
lumpuh dan diare.
Keracunan sedang-berat: tremor otot mulai dari kepela
leher, ke daerah distal hingga konvulsi klonik yang
berat, nadi normal, pernapasan cepat kemudian
lambat. Pada jantung dapat menimbulkan aritmia
jantung, bahan pelarutnya dapat menyebabkan
pneumonitis hidrokarbon bila terjadi aspirasi
Obat-obatan
Keracunan Umumnya golongan racun narkotika cenderung
Opiat mnyebabkan penurunan kesadaran (sampai koma) dan
gangguan system pernafasan (depresi nafas). Dosis
toksis selalakan menyebabkan pupil yang pin point
dapat tejadi dilatasi pupil pada anoksia yang berat,
pernafasan yang pelan, sianosis ,nadi yang lemah,
hipotensi,spasme dari saluran cerna dan bilier dapat
terjadi edema paru dan kejang. Kematian karena gagal
nafas terjadi dalam 2-4 jam setelah pemakaian oral/SC
sedangkan pada pemakaian IV lebih cepat lagi.

Salisilat 1. Rasa terbakar di tenggorokan dan lambung


2. Pernapasan yang cepat dan dalam, anoreksia,
apatis dan lemah (tanda awal keracunan)
3. Mual, muntah, haus, diare, dan dehidrasi berat
4. Sakit kepala, pusing, sukar mendengar, tinitus,
dan pandangan menjadi kabur

LBM 2 “GALAU” 35
5. Mudah tersinggung, bingung dan disorientasi
6. Delirium, mania, halusinasi, kejang umum
7. Koma yang dalam dan kematian karena
kegagalan pernafasan
8. Reaksi lain yang kadang-kadang terjadi:
a. Demam tinggi, haus dan banyak
berkeringat
b. Pendarahan
c. Erupsi kulit
9. Reaksi alergik seperti edema angineurotik,
edema laring, asfiksia dan asma

Psikotropika Zat atau obat psikotropika ini dapat menurunkan


aktivitas otak atau merangsang susunan syaraf pusat
dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan
timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan
cara berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat
menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek
stimulasi (merangsang) bagi para pemakainya
Dextromethorph Terjadi penurunan kesadaran disertai salahsatu dari:
an frekuensi pernapasan <12x/menit, pupil miosis,
adanya riwayat pemakaian morfin/heroin/ needle track
sign

Paracetamol  Tahap I (<24 jam I): sakit pada abdomen,


nafsu makan menurun, mual dan muntah.Pada
pemeriksaan fisik sering hanya ditemukan
pucat dan berkeringat.
 Tahap II (24-48 jam I): gejala yang muncul

LBM 2 “GALAU” 36
pada tahap 1 hilang,pada pemeriksaan fisik
hepar membesar dan nyeri tekan.Hasil
laboratorium: serum bilirubin
meningkat,enzim hepar meningkat dan PT
memanjang, dan fungsi ginjal dapat tidak
normal.
 Tahap III (72-96 jamI):gejala pada tahap II
menetap,didapatkan ikterus,enzim hati
mencapai kadar tertingginya,dan gagal hati
dan gagal ginjal (jarang) dapat terjadi dan
mematikan.
 Tahap IV ( hari ke-4 s/d mgg ke-2): bila
penderita datang terlambat atau tidak segera
medapatkan pengobatan,keadaan gangguan
fungsi hati memberat menjadi gagal hati,coma
dan kematian.

Makanan
Sianida  Mual, gastroenteritis, diare, kolik
(cyanide)  Kesadaran menurun secara perlahan
 Keringat dingin
 Nadi cepat dan lemah
 Sesa
k
nafa
s
 Midriasi
s,
nystagm
us,

LBM 2 “GALAU” 37
exophta
tmus
 Insencibel
 Kejang-kejang
 Otot-otot lemah

Botulisme  Nausea, vomitting, diare (tidak karakteristik)


 Penglihatan menjadi kabur kembar dan tidak
dapat berakomodasi
 Midriasis
 Mulut terasa keying demikian juga pharynx
 Sukar berbicara dan menelan
 Otot-otot menjadi lemah dan tidak ada
koordinasi
 Pernafasan sulit
 Kadang-kadang diikuti dengan diarrhea
 Biasanya kesadaran tidak terganggu dan
akhirnya korban meninggal

Bisa Ular
a. gejala lokal (dalam 30 menit- 24 jam)
- edema hipotensi
- lemah otot
- berkeringat
- ekimosis
b. gejala sistemik
- Hipotensi - hipersalivasi
- lemah otot - muntah
- berkeringat - nyeri kepala
- menggigil - pandangan kabur
- mual

LBM 2 “GALAU” 38
c. gejala khusus
- hematotoksik : perdarahan di tempat gigitan, paru,
jantung,ginjal, peritonium, otak, gusi, hematemesis melena,
perdarahan kulit, hemoptoe, hematuria, DIC
- neurotoksik : hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis
pernapasan, ptosis, oftalmoplegi, paralisis otot laring,
refleks abnormal, kejang dan koma
- kardiotoksik : hipotensi, henti jantung, koma
- kompartemen sindrom : edema tungkai, tanda 5P (iskemia)

4. Penanganan kegawatdaruratan pada kasus intoksikasi


1. Stabilisasi
Penatalaksanaan keracunan pada waktu pertama kali berupa
tindakan resusitasi kardiopulmoner yang dlakukan dengan cepat
dan tepat berupa : (Sudoyo, 2014)
 Airway
Airway berfungsi dalam menilai jalan napas, umumnya pada
pasien yang mengalami keracunan sering menyababkan
kematian, menyebabkan kegagalan reflex protektif dan
obstruksi sebagian jalan napas (kelumpuhan lidah, aspirasi
cairan lanbung ke paru, serta henti nafas). Pada pasien yang
masih sadar dan bisa berbicara yang artinya reflex jalan napas
masih bagus, akan tetapi harus dilakukan pemantauan terus-
menerus. Sedangkan, pada pasien yang lemah dan gelisah,
muntah/batuk yang diartikan bahwa pasien masih mempunyai
kemempuan proteksi jalan napas. Jika pasien dalam keadaan
ragu-ragu maka segera dilakukan tindakan yaitu, endotrakea.
 Breathing and Ventilation
Breathing ini fungsinya untuk menilai dari fungsi pernapasan
seseorang, untuk menilai apakah ada tidaknya kelainan gagal

LBM 2 “GALAU” 39
ventilasi (dapat menyebabkan kerusakan otak, aritmia jantung
dan henti jantung akibat kekurangan oksigen), hipoksia
(kekurangan O2), ataupun spasme bronkus (iritasi gas yang
terhirup, efek farmakologi, hipersensitivitas atau reaksi alergi)
yang disebabkan oleh keracunan yang akan berakibat fatal bagi
pasien. Oleh karena itu perlu dilakukan pendekatan kepada
pasien untuk menilai napas adekuat atau tidak.
 Circulation
Pada pasien yang mengalami keracunan sering mengalami
keadaan hipotensi atau syok. Sehingga perlu untuk segera
melakukan tindakan untuk memperbaiki sirkulasi melalui
intervensi cairan, pemberian antidote, dan koreksi gangguan
elektrolit dan asam basa. Dilakukannya tindakan secara cepat
guna untuk menilai ada atau tidaknya gangguan seperti
hipotensi, hipertensi, aritmia ventrikel, takikardi, bradikardi
dan blok atrioventrikular, serta pemanjangan interval QRS).
Pada penilaian umumdalam melakukan tindakan, dilakukan
resusitasi jantung paru (RJP), jika tidak ada nadi dilakukan
ACLS (advanced cardiac life support) untuk aritmia dan syok),
EKG, cairan infus (normal salin).
2. Dekontaminasi
Dekontaminasi merupakan terapi intervensi yang bertujuan
untuk menurunkan pemaparan terhadap racun, mengurangi
absorpsi dan mencegah kerusakan. Petugas, sebelum memberikan
pertolongan harus menggunakan pelindung diri berupa sarung
tangan, masker, dan apron. Tindakan dekontaminasi tergantung
pada lokasi tubuh yang terkena racun. (Sudoyo,2014)
 Dekontaminasi pulmonal
Yaitu berupa tindakan menjauhkan korbandari pemaparan
inhalasi zat racun. Monitor kemungkinan gawat napas dan

LBM 2 “GALAU” 40
berikan oksigen lembab 100% dan jika perlu diberi
ventilator.
 Dekontaminasi mata
Berupa tindakan untuk membersihkan mata dari racun yaitu
posisi kepala pasien ditengadahkan dan miringke sisi mata
yang terkena atau terburuk kondisinya. Buka kelopak
matanya perlahan dan irigasi dengan larutan aquades atau
NaCl 0,9% perlahan sampai racunnya diperkirakan
sudahhilang (hindari bekas larutan pencucian mengenai
wajah atau mata lainnya) selanjutnya tutup mata dengan
kassa steril dan segera konsulkan pada dokter mata.
 Dekontaminasi kulit (rambut dan kuku)
Dekontaminasi paling awal adalah melepaskan pakaian,
arloji, sepatu, dan aksesoris lainnya dan masukkan dalam
wadah plastic yang kedap air dan tutup rapat. Cuci
(scrubbing) bagian kulit yang terkena dengan air mengalir
dan disabun minimal 10 menit. Selanjutnya keringkan
dengan handuk kering dan lembut.
 Dekontaminasi gastrointestinal
Penelanan merupakan rute pemaparan yang tersering
sehingga tindakan pemberian bahan pengikat (karbon
aktif), pengenceran atau mengeluarkan isi lambung dengan
cara induksi muntah atau aspirasi dan cuci lambung dapat
mengurangi jumlah paparan bahan toksik. Namun tindakan
ini bersifat kontraindikasi pada kasus keracunan bahan
korosif, bahan berminyak, dan pada gangguan mental.
3. Eliminasi
Tindakan eliminasi adalah tindakan untuk pengeluaran racun
yang sedang beredar dalam atau dalam saluran gastrointestinal
setelah lebih jam. Apabila masih dalam saluran cerna dapat
pemberian arang aktif yang diberikan berulang dosis 30-50 gram

LBM 2 “GALAU” 41
(0,5 - 1 gram / kg BB) setiap 4 j orall enteral. Tindakan ini
bermanfaat pada obat seperti karbamazepin, chlordecone, kuinin,
digoksin, nadolol, fenobarbital, fenilbutazone, saIisi lat, teofiIin,
dan phenoxya cetoteherbisido. Tleliminasi yang lain perlu
dikonsulkan pada dokter penyakit dalam karena tindakan
spesialistik eliminasi racun yaitu: 1). Diuresis paksa (forcd 21.
Alkalinisasi urin, 3).Asidifikasi urin, 4). Hemodialisis/:eritoneal
dialisis) (Sudoyo, 2015).
 Perawatan Supportif
Penyebab kematian dari keracunan ini adalah kegagalan
respirasi karena kekakuan dan kelumpuhan otot napas :an
akibat bronchorrheo. Lebih lanjut perlu dilakukan intubasi
endotrakea, namun pemberian suksinilkolin tan mivocurium
harus dihindari karena dimetabolisme eh butyrylcholinesterose
sehingga paralisis dapat lebih ama hingga 24 jam atau lebih.
Pasien yang menelan pyrethroid tipe ll dalam jumlah besar
diterapi tunggal ;€ngan octivoted charcoaL dengan dosis
standar; kecuali pelarutnya mengandung bahan minyak tanah
(Sudoyo, 2014).
 Atropin.
Merupakan penatalaksanaan prioritas kedua untuk mengontrol
aktivitas muskarinik yang berlebihan. Atropin sulfat
berkompetisi dengan antagonis Ach pada reseptor muskarinik
untuk menimbulkan sekresi yang berlebihan, miosis,
bronkospasme, muntah, diare, diaforesis, dan inkontinensia
urin. Pada pedoman ACLS dan PALS, keracunan serius ini
kadang membutuhkan 1000 mg atropin dalam 24jam dan total
dosis yang dibutuhkan sampai 11.000 mg. Sebagian besar
klinisi menggunakan strategi ganda (1 ,2,4,8,1 6 mg, dst) tiap
3-5 menit sampai terjadi atropinisasi. Beberapa pusat
pengobatan lebih menyukai menggunakan infus atropin. Pada

LBM 2 “GALAU” 42
pemberian atropin diharapkan sekresi lendir pulmoner
berkurang, dan perubahan pupil atau denyut jantung. Karena
dosis atropin yang sangat besar sehingga dapat menimbulkan
delirium yang berkepanjangan dan suplai berlebihan sehingga
diperlukan obat pengganti yaitu glycopyrrolofe (dosis awal 1-2
mg) jika diharapkan minimal penetrasi ke SSP (Sudoyo, 2015).
 Pralidoksim (2-PAM).
Bekerja untuk memperbaiki AchE karena atropin tidak dapat
melawan efek nikotinik. Pemberian pralidoksim dilakukan
ketika efek toksik nikotinik muncul atau dosis atropin sesuai
standar pedoman ACLS atau PALS sudah berlebihan. Lkatan
organofosfat dengan AchE akan permanen seiring lamanya
terpapar maka mulai pemberian terapi 2-PAM harus sesegera
mungkin ketika ada indikasi. Dosis awal 2-PAM pada orang
dewasa 29 intravena tiap 10-15 menit (dosis maksimum untuk
anak-anak 25-50 mg/kg lV). Lnfus yang cepat dari 2-PAM
sebaiknya dihindari karena dapat mencetuskan terjadinya
toksisitas melalui blok sementara AchE. Jika pemberian dosis
awal berespons, maka 2-PAM dilanjutkan tiap 6 jam sampai
pasien bebas gejala dalam 24 jam. Pada sebagian besar kasus
infus dilanjutkan pada dosis 250-500 mg/jam (10-20
mg/kgljam pada anak-anak) dan dititrasi sampai timbul efek
klinis. Dilanjutkan terapi sampai 24 jam setelah gejala klinis
membaik. Jika terjadi sindrom intermediate dan aktivitas
kolinesterase menurun maka terapi 2-PAM sebaiknya ditunda
(Sudoyo, 2014).
 Benzodiazepin.
erapi ini berdasarkan pada model hewan, ditemukan diazepam
dapat memperbaiki kesintasan dari korban keracunan pestisida
organofosfat berat. Efekyang timbul lebih berupa terminasi
sederhana dari kejang. Dosls standar yang digunakan sama

LBM 2 “GALAU” 43
pada pasien intubasi dan kejang. Dermatitis kontak dan reaksi
alergi akut diterapi dengan antihistamin, kortikosteroid, dan
agonis adrenergik sesuai indikasi klinis (Sudoyo, 2014).

4. Antidotum
Antidotum hanya tersedia untuk beberapa obat dan racun.
Antidotum yang paling sering digunakan adalah Asetilsistein untuk
keracunan parasetamol dan naloxon untuk keracunan opioid.
Berikut tabel antidotum lain yang juga digunakan dalam praktek
klinis :
Tabel: Antidotum untuk Keracunan

Racun Antidotum

Β blocker Glukagon
Antikoagulan oral Vitamin k1(phytomenadion)
Digoxin Digoxin spesific antibodies
(digibind)
Etilen glikol/methanol Etanol/4-methylpyrazol
Sianida Tiosulfat/dicobalt
edetat/hydroxycobalamin
Organofosfat Atropin/oximes
Besi Desferrioxamines
Logam berat EDTA,DMSA,DMPS
Parasetamol N-asetilsistein
Opioid Naloxon
Sulfonilurea Okreotida
Antidepresam trisiklik Sodium bikardabonat

(Greene et al, 2004).

LBM 2 “GALAU” 44
5. Penatalaksanaan spesifik tiap jenis bahan beracun
Bahan Kimia Organik
Keracunan fenol 1. pada keracunan peroral diberikan
demulcent seperti susu, putih
Keracunan cresol telur mentah, setelah selesai
dilakukan kumbah lambung
dengan air hangat sampai cairan
tidak berbau fenol lagi.
2. berikan larutan encer
magnesium/natrium sulfat untuk
mempercepat ekskresi
3. cuci lambung dapat dilakukan
dengan menggunakan larutan:
a. larutan bikarbonat
b. alkohol 25%
c. glicerol
d. minyak nabati
kecuali larutan bikarbonat,
antidotum lain (alkohol, minyak
nabati, gliserol) jangan dibiarkan
tertinggal dilambung lama karena
akan memperbesar dan
mempercepat absorbsi racun.
Harus segera dikeluarkan
berhubung fungsi antidotum-
antidotum tadi adalah untuk
melarutkan sisa racun fenol
dilambung terutama dari jaringan
superfisial sehingga mencegah
absorbsi selanjutnya.
4. Terapi simtomatis

LBM 2 “GALAU” 1
5. Apabila tersiram kulit segera cuci
dengan air mengalir dan sabun

Keracunan sianida Prinsip pertama dari terapi ini adalah


mengeliminasi sumber-sumber yang
terus-menerus mengeluarkan racun
sianida. Pertolongan terhadap korban
keracunan sianida sangat tergantung dari
tingkat dan jumlah paparan dengan
lamanya waktu paparan.
• Segera menjauh dari tempat atau
sumber paparan. Jika korban
berada di dalam ruangan maka
segera keluar dari ruangan.
• Segera cuci sisa sianida yang
masih melekat pada kulit dengan
sabun dan air yang banyak. Jangan
gunakan pemutih untuk
menghilangkan sianida.
• Antidotum seperti sodium nitrite
dan sodium thiosulfat untuk
mencegah keracunan yang lebih
serius.
• Penggunaan oksigen hiperbarik
untuk mereka yang keracunan
sianida masih sering dipakai.
Penambahan tingkat ventilasi
oksigen ini akan meningkatkan
efek dari antidotum.
• Asidosis laktat yang berasal dari
metabolisme anaerobik dapat

LBM 2 “GALAU” 2
diterapi dengan memberikan
sodium bikarbonat secara
intravena dan bila pendertia
gelisah dapat diberikan obat-obat
antikonvulsan seperti diazepam.
• Perbaikan perfusi jaringan dan
oksigenisasi adalah tujuan utama
dari terapi ini. Selain itu juga,
perfusi jaringan dan tingkat
oksigenisasi sangat mempengaruhi
tingkat keberhasilan pemberian
antidotum. Obat vasopressor
seperti epinefrin bila timbul
hipotensi yang tidak memberi
respon setelah diberikan terapi
cairan. Berikan obat anti aritmia
bila terjadi gangguan pada detak
jantung. Setelah itu berikan
sodium bikarbonat untuk
mengoreksi asidosis yang timbul.

Keracunan metanol Pengobatan pertama untuk keracunan


methanol, seperti pada keadaan kritis
keracunan, ialah untuk
menyelenggarakan pernafasan, dengan
melakukan trakeotomi bila perlu. Muntah
dapat dibuat pada pasien yang tidak
koma, tidak mengalami kejang, dan tidak
kehilangan reflex muntah. Bila salah satu
dari kontraindikasi ini ada, maka harus
dilakukan intubasi endotrakeal dan

LBM 2 “GALAU” 3
bilasan lambung dengan selang
berdiameter besar setelah saluran nafas
terlindungi.

Non-Organik

Keracunan arsen  Bila keracunan arsenikum peroral


(akut), kerjakan kumbah lambung
dengan air hangat dan susu
 Dapat juga berikan emeticum
untuk mengeluarkan sisa-sisa
racun
 Antidotum kimia: campuran
larutan ferri chloride encer
dengan magnesium oksida dan air
(antidotum arsenikum)
 Berikan purgative yaitu larutan
natrium sulfat encer, atau castor
oil untuk mempercepat
pengosongan lambung
 Antidotum fisiologis: BAL
(British Anti Lewisite, di
mercaprol, 2,3
dimercaptopropanol
1.1. Diberikan secara i.m dari
larutan 10% dalam minyak setiap
4 jam sampai gejala keracunan
teratasi. Dosis antara 2,5-5 mg/kg
berat badan.

LBM 2 “GALAU” 4
Keracunan timbal Jika menemukan gejala-gejala keracunan
timbal, masyarakat dapat memberi
pertolongan pertama untuk sedapat
mungkin menekan risiko dan dampaknya
pada penderita. Untuk keracunan akut
melalui saluran pencernaan misalnya,
pasien sebaiknya segera dipindahkan
agar tidak terpapar lagi dengan timbal.
Bilas mulutnya dan berikan rangsangan
untuk muntah ( untuk penderita yang
sadar). Rujuklah segera ke bagian
perawatan medis. Kasus-kasus keracunan
kronis dapat ditekan dengan berbagai
cara dengan merujuk factor-faktor yang
memungkinkan terjadinya keracunan
tersebut.
Gas
Keracunan gas karbon - Secepat mungkin korban
dioksida (co2) dikeluarkan dari sumber
keracunan. Hati-hati bagi
penolong karena harus memakai
masker gas oksigen supaya tidak
terbawa serta keracunan. Apabila
menemukan kasus demikian
haruslah curiga bahwa korban
adalah akibat keracunan gas
beracun
- Pindahkan dari daerah yang
berbahaya tadi dan berikan

LBM 2 “GALAU” 5
pernapasan buatan
- Berikan gas oksigen
- Terapi simptomatis
Tambahan: masker gas (bukan masker
gas oksigen) berfungsi untuk
menahan partikel, sedang gas
CO2 bukan partikel maka
apabila tidak dipakai masker
gas oksigen, gas CO2 masih
masuk dalam saluran
pernapasan penolong.
Apabila keracunan dalam
gua/tambang maka penolong
dapat turun dengan menggali
sesuai dengan arah angin
dengan harapan angin akan
mendorong gas CO2 keluar
sehingga tidak
membahayakan penolong.
-
Keracunan gas karbon
monooksida (co) - Korban keracunan akut, segera
korban dipindahka dari sumber
keracunan (penolong memakai
masker gas oksigen)
- Berikan pernapasan buatan
dengan pemberian oksigen atau
campuran oksigen dengan 5-7%
CO2 untuk merangsang
pernapasan
- Terapi simptomatis lain seperti:

LBM 2 “GALAU” 6
o Transfusi darah
o Infuse glukosa ntuk
mengatasi koma atau
pemberian infuse iv 500
ml mannitol 20% dalam
waktu 15 menit diikuti
dengan 500 ml dextrose
5% selama kurang lebih 4
jam berikutnya untuk
mengatasi cerebral edema
o Analgetika
o Antibiotika
o Antikonvulsi
o Dll

Keracunan Insektisida

Organophospate i. Resusitasi
Infus dextrosa 5% kecepatan 15-20
tpm, napas buatan + O2, hisap lendir
dalam saluran napas, hindari obat
depresan saluran napas
ii. Eliminasi
Induksi emesis, katarsis, kumbah
lambung, keramas dan mandikan
seluruh tubuh dengan sabun
iii. Terapi penunjang
Bila penderita kejang dapat diberikan
diazepam 10 mg iv atau fenitoin

LBM 2 “GALAU” 7
bolus 18 mg/kgBB dengan kecepatan
<50 mg/menit. Bila timbul aritmia
ventrikuler dapat digunakan lidocain,
procainamide atau defibrilator
iv. Antidotum
Atropin sulfat merupakan antagonis
kompetitif dari asetilkolin, bekerja
dengan menghambat efek akumulasi
asetilkolin pada tempat-tempat
penumpukannya.
 Mula-mula berikan bolus iv
1-2,5 mg
 Lanjutkan dengan 0,5-1 mg
setiap 5-10-15 menit sampai
timbul gejala atropinisasi
(muka merah, mulut kering,
takikardia, midriasis)
 Kemudian interval
diperpanjang setiap 15-30-60
menit, selanjutnya tiap 2-4-6-
12 jam
 Pemberian atropin dihentikan
minimal setelah 2x24 jam
 Penghentian atropin yang
mendadak dapat
menimbulkan rebound effect
berupa edema paru, gagal
napas akut yang fatal.
v. Reaktivator kolinesterase
Bekerja dengan cara memotong

LBM 2 “GALAU” 8
ikatan organophosphat-
kholinesterase, hingga timbul
reaktivasi enzim kholinesterase.
Contoh obatnya adalah Protopam,
dosis 1 gr iv selama 10-20 menit,
diulang setelah 6-8 jam, hanya
diberikan bila pemberian atropin
telah adekuat.

Organochlorin  Resusitasi
o Membuka baju pasien dan
memandikan pasien dengan
sabun
o Memberi napas buatan + O2,
serta berikan infus apabila terjasi
hipotensi
 Eliminasi
o Kumbah lambung dengan 2-4
liter air, dan emesis, dapat juga
digunakan norit, kolisteramin
untuk mengikat benda yang
lipofilik
 Terapi penunjang
o Dapat diberikan antikonvulsan
seperti valium, barbiturat, namun
apabila kejang masih menetap
dapat digunakan propofol
o Apabila terjadi hipertermia,
dapat dilakukan kompres dingin

LBM 2 “GALAU” 9
Obat-obatan
Keracunan Opiat Alur : intoksikasi opiate aloanamnesa,
riwayst pemakaian obat, bekas suntikan,
pemeriksaan urin trias intoksikasi
opiate (depresi napas, pupil pin point,
kesadaran menurun-koma)  support
system pernafasan dan sirkulasi 
nalokson IV  observasi /pengawasan
tanda vital dan dipuasakan selama 6 jam.

Psikotropika Penanganan kegawatan :


1) bebaskan jalan napas
2) berikan oksigen 100% sesuai
kebutuhan
3) pasang infus dekstrose 5%
emergensi atau NaCl 0,9%; cairan
koloid bila diperlukan
4) Pemberian antidotum nalokson:
a. tanpa hipoventilasi : dosis
awal diberikan 0,4 mg iv
b. dengan hipoventilasi:
dosis awal diberikan 1-2
mg iv
c. bila tidak respon dlm 5
menit, diberikan nalokson
1-2 mg iv hingga timbul
respon perbaikan

LBM 2 “GALAU” 10
kesadaran & hilangnya
depresi pernapasan,
dilatasi pupil atau telah
mencapai dosis maksimal
10 mg
d. efek nalokson berkurang
20-40 menit dan pasien
dpt jatuh kedalam keadaan
overdosis kembali
pemantauan ketat + obs.
TTV
5) Pertimbangkan pemasangan ETT
bila: pernapasan tidak adekuat,
oksigenasi kurang walau ventlasi
cukup, hipoventilasi menetap
setelah pemberian nalokson ke 2
6) Pasien di puasakan utk
menghindari aspirasi akibat
spasme pilorik
7) Bila diperlukan, pasien
sebelumnya di pasang NGT utk
mencegah aspirasi

Keracunan Paracetamol  Penderita intoksikasi parasetamol


harus dirawat di ruang
intermediate, juga bias di pindah
diruang kritis bila terjadi
hemodinamik tidak stabil atau
depresi status mental.
 Depresi status mental harus dicari

LBM 2 “GALAU” 11
kemungkinan penderita
intoksikasi obat lain yang ditelan
secara bersamaan.
 Intoksikasi obat secara tunggal
sangat tidak biasa.
 Pertahankan jalan nafas, pasang
intubasi orotrakeal tube jika
terjadi penurunan refleks muntah
(antisipasi kumbah lambung atau
pemberian karbon aktif atau
keduanya)
 Berikan oksigen bila SpO2 turun.
 Monitoring : EKG, tanda vital
tiap 15 menit, pasang pulse
oksimetry.
 Pasang infuse, dan rehidrasi
dengan kristaloid bila
dehidrasi/hipovolume.
 Lakukan kumbah lambung bila
kejadian menelan obat terjadi
dalam 1 jam pertama dan ambil
cairan lambung untuk
pemeriksaan toksikologi.

Keracunan Makanan

Sianida Terapi
1. Cuci lambung dengan larutan natrium
thiosulfat 5 %
2. Cairan cuci lambung bisa dipakai

LBM 2 “GALAU” 12
Lar. Kalium permanganat 0,1 %
hydrogen peroxide 3 % (diencerkan 1
: 5)
3. Antidotum fisiologis :
Natrium nitrit iv
Natrium thiosulfat i.v
4. Terapi simptomatis
5. Bisa diberikan methylen blue
apabila nitrit atau thiosulfat
tidak ada. Baik nitrit 'atau
methylen blue akan merangsang
pembentukan methemoglobin
dimana cyanide akan terikat
sehingga dengan adanya
methemoglobin maka cyanide
tidak akan mengikat /
menginaktivasi enzym oksidatif
tadi.
6. Artificial respiration

Botulisme  Pernafasan buatan, seperti pada


keracunan curare
 Dapat diberikan physostigmin
walaupun tidak begitu berfaedah
(efficacy) Pemberian antitoksin
walaupun hasil kurang
mernuaskan
 Pada binatang percobaan
pemberian Congo red 1 %
dalam glukosa 5 % sejumlah

LBM 2 “GALAU” 13
10 ml dapat melindunginya
dari toxin ini tapi belum
dipakai di klinik

Keracunan bisa ular Penatalaksanaan


Sebelum dibawa ke pusat
pengobatan:
(a) istirahatkan dalam posisi
horizontal terhadap luka
gigitan
(b) jangan memanipulasi daerah
gigitan
(c) dilarang berjalan dan minum
mengandung alkohol
(d) ikat daerah proximal dan
distal dari lokasi gigitan
- kurang berguna jika
dilakukan lebih dari 30
menit pasca gigitan
- untuk aliran vena dan
limfe < 1 jam setelah
gigitan
- longgarkan setelah
setengah jam , bila
penyedotan siap, setelah
infus terpasang, ABU
siap, tidak syok
- torniquet areterial
dibebaskan tiap 15 detik
setelah 30 menit (jangan >
2jam)

LBM 2 “GALAU” 14
(e) posisi horizontal, cuci dengan
sabun, keluarkan jendalan
darah, jangan cuci dengan es
(f) insisi longitudinal bekas
gigitan kedua gigi taring,
dalamnya sepertiga lebar
kedua gigi taring
Di pusat tempat pengobatan
 Cek ABC
 Beri pertolongan pertama
pada luka gigitan
 Terapi sistemik
- beri SABU
- teknik pemberian : 2 vial
@ 5 mL iv dalam 500mL
NaCl 0,9% atau Dextrose
5% dengan kecepatan 40-
80 tetes/menit. Maksimal
100mL (20 vial). Infiltrasi
lokal pada luka tidak
dianjurkan
- indikasi SABU (menurut
Luck)  venerasi
sistemik dan edema hebat
pada bagian luka
- pedoman terapi SABU:

(Katzung. 2010)

6., Komplikasi kasus intoksikasi

LBM 2 “GALAU” 15
Pada intoksikasi jika tidak segera ditangani maka akan
menyebabkan hipotensi, rabdomiolisis, koagulopati, gagal ginjal, dan
gagal jantung, injuri otak serta bisa sampai menyebabkan kematian.
Namun, jika dapat diatasi biasanya akan timbul sekuele. (Sudoyo, 2014)

LBM 2 “GALAU” 16
DAFTAR PUSTAKA
Eliastam, Michael. 1998. Penuntun Kedaruratan Medis. Penerbit buku kedokteran
EGC. Jakarta

Joseph Fenton. Insecticides In : Toxicology A case-Oriented Approach. CRC


Press. Washington D.C : 2002.

Sudoyo, Aru W, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid III.
Jakarta: Interna Publishing.

Katzung, Bertram G. 2010. Farmakologi dasar dan klinik. Penerbit buku


kedokteran EGC. Jakarta

William Yip Chin – Ling, Pedoman Praktis Kedaruratan Pada Anak ( Terj ),
Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai