Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebutuhan akan air tidak hanya bagi manusia, melainkan tanaman serta
makhluk lainnya yang tentu saja memerlukan air sebagai media untuk kehidupannya.
Sehingga keberadaan air sangatlah penting bagi seluruh makhluk hidup, disinilah
pentingnya peranan kualitas air. Semakin baik suatu kualitas air, maka akan semakin
banyak perairan tersebut dapat dimanfaatkan, kualitas suatu perairan menentukan
peruntukannya. Namun dengan semakin berkembangnya jaman, dan pesatnya
pertumbuhan penduduk menuntut semakin tinggi pula pemanfaatan perairan
mengakibatkan banyaknya perairan yang tercemar yang kemudian tentu saja
mempengaruhi tingkat kualitas air.
Perairan yang tercemar akan mempengaruhi kualitas dan fungsinya, artinya
fungsi serta kualitas air yang perairannya tercemar akan menurun dan tidak dapat
digunakan sebagaimana semestinya.Setiap kebutuhan organisme di dalam perairan
berbeda-beda ada pula yang diuntungkan dengan adanya masukan zat organik
diantaranya alga, alga akan dapat tumbuh subur dengan adanya masukan bahan-
bahan ataupun zat-zat organik. Namun disisi lain, dengan tumbuh suburnya alga ada
organisme lain yang terdesak, dan mempengaruhi manusia secara tidak langsung.
Masuknya zat-zat organik ke dalam perairan mengakibatkan penyuburan
perairan, penyuburan perairan ini dikenal dengan istilah eutrofikasi. Eutrofikasi
sering dijumpai di perairan darat namun tidak jarang juga terjadi di laut. Banyak hal
merugikan yang diakibatkan eutrofikasi, selain kematian ikan, juga menyebabkan
penurunan kualitas air. Hal ini berkaitan dengan menurunnya kadar oksigen terlarut
dalam air, penetrasi cahaya yang tidak dapat optimal akibat terhalang alga, dan
kandungan amonia yang meningkat di perairan. sehingga diperlukan pengetahuan
hal-hal apa saja yang dapat menyebabkan eutrofikasi serta dampak yang diakibatkan.
maka kita juga perlu mengetahui bagaimana gambaran secara umum proses
terjadinya eutrofikasi. Sehingga dalam makalah ini akan dibahas mengenai proses,
sebab dan akibat dari terjadinya eutrofikasi.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja penyebab dan akibat Eutrofikasi ?
2. Apa dampak dari eutrofikasi ?
3. Bagaimanakah cara pengelolaan untuk mengatasi eutrofikasi?
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan penyebab dan akibat eutrofikasi
2. Mendeskripsikan dampak eutrofikasi
3. Mendeskripsikan proses pengolahan eutrofikasi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Penyebab Dan Akibat Eutrofikasi


Eutrofik berasal dari bahasa Yunani, kata eu berarti baik dan trophe berarti
nutrien. Eutrofikasi dapat didefinisikan sebagai jumlah efek dari pertumbuhan yang
berlebihan dari fitoplankton yang disebabkan oleh pengkayaan hara melalui runoff
yang membawa bersama nutrien berlebihan dari agroekosistem dan buangan
manusia dari pemukiman (Katakam et al. 2012). Sedangkan Rast dan Thornton
(1996) menyatakan bahwa eutrofikasi adalah proses penuaan alami danau.
Masukan bahan-bahan organik ke dalam perairan berasal dari berbagai sumber,
diantaranya limbah rumah tangga, pertanian, bahkan limbah dari industri. Bahan-
bahan organik inilah yang memicu terjadinya pertumbuhan plankton, dan hampir
seluruhnya merupakan hasil dari aktivitas manusia yang tidak memperhatikan
keberadaan lingkungan (Conley 2000). Ketika terjadi pemasukan nutrient yang
berasal dari aktivitas manusia maka mulailah terjadi pergeseran keseimbangan antara
organisme autotrof dan hetetrotrof baik secara keanekaragaman spesies maupun
populasinya. Pergeseran keseimbangan berupa seleksi-seleksi alami yang mana
dapat bertahan dari perubahan kondisi tersebut. Pemasukan nutrient yang berasal
dari aktivitas manusia sangatlah dinamis. Hal ini dikarenakan jumlah produksi
limbah nutrient dari satu kegiatan baik itu keseharian atau aktivitas perekonomian
seperti industri dan pertanian terkadang berfluktuasi di setiap waktunya bergantung
pada potensial wilayahnya (Pawlak et al. 2009). Eutrofikasi bukan merupakan
masalah yang mudah diatasi dalam suatu perairan, bahkan perairan yang mengalami
eutrofikasi disebut sebagai “death zone” (Danube Pollution Reduction Programme
1999). Penyebab utama eutrofikasi adalah input besar nutrien ke badan air dan efek
utamanya adalah ketidakseimbangan dalam jaringan makanan yang menghasilkan
tingginya biomassa fitoplankton di badan air dan menyebabkan blooming alga
(WHO & European Commision 2002). Sedangkan masukan dari sumber alami dapat
berasal dari proses-proses alami seperti pembusukan organism yang telah mati
ataupun ekskresi-ekskresi serta siklus alami daur nutrients tersebut. Pengaruh input
secara alami relatif dapat ditolerir oleh perairan dan pertumbuhan alga konstan

3
Pengayaan nutrien yang merupakan penyebab utama eutrofikasi ini, dapat
dicirikan dengan meningkatnya pertumbuhan dari beberapa jenis alga dan jenis
tumbuhan yang mengapung di atas permukaan perairan. Peningkatan pertumbuhan
berasal dari proses fotosintesis yang ditambah dengan masuknya bahan organik.
Tumbuhan yang melakukan proses fotosintesis (produktivitas primer) di dalam
perairan adalah fitoplankton, dimana fitoplankton merupakan produsen primer.
Produktivitas primer adalah laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya
energi dari senyawa-senyawa anorganik (Nybakken 1986).
Nitrogen dan fosfor yang merupakan elemen penting dari nutrien bagi alga,
bakteri, protozoa, metazoa, dan ikan yang seluruhnya merupakan satu kesatuan
ekosistem. Masukan yang berlebihan dari unsur-unsur ini, yang dapat menyebabkan
eutrofikasi pada danau dan wilayah laut. Masukan nitrogen dan fosfat ke wilayah
perairan umum, seperti danau, laut, dan sungai, berasal diantaranya dari limbah dan
air limbah yang diolah dari pabrik dan industri, rumah tangga, peternakan, dan
kegiatan perikanan, dimana sumber pencemar dapat ditemukan. Bahan pencemar
juga mengalir dari sumber-sumber seperti daerah perkotaan, tumpahan dari fasilitas
pengolahan limbah industri, kebocoran dari sampah yang dibuang secara ilegal,
buangan terkait dengan padang rumput, dan masukan dari hutan, lahan pertanian,
lapangan golf, dan daerah lainnya. Skema sederhana siklus nutrien di perairan dapat
dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1. Siklus nutrien di perairan yg mengindikasikan sebab akibat dari


eutrofikasi (Ginkel 2011)

4
Pada danau dapat terjadi dua proses eutrofikasi yaitu proses eutrofikasi alami
dan kultural (Rast dan Thornton 1996). Eutrofikasi alami dipengaruhi oleh geologi
lokal dan fitur alami dari daerah tangkapan. Eutrofikasi kultural dikaitkan dengan
kegiatan manusia yang mempercepat proses eutrofikasi yang melampaui batas yang
terkait dengan proses alami, misalnya dengan meningkatkan beban nutrien ke dalam
ekosistem air.
Terdapat tiga sumber utama masukan nutrien kultural (Gambar 2) yaitu
limpasan, erosi, dan pencucian dari area pertanian, dan limbah dari kota-kota dan air
limbah industri. Selain itu juga bisa berasal dari deposisi atmosfer nitrogen yang
berasal dari pemuliaan hewan dan gas pembakaran. Menurut Badan Lingkungan
Eropa, sumber utama pencemaran nitrogen ialah run-off dari pertanian, sedangkan
fosfor berasal dari rumah tangga dan industri. Beberapa kegiatan yang dapat
menyebabkan eutrofikasi (WHO & European Commision 2002) :
1. Perkembangan akuakultur: perkembangan dalam bidang akuakultur
memberikan kontribusi terjadinya eutrosikasi, karena buangan dari pakan
hewan yang tidak termakan dan kotoran ikan ke dalam air.
2. Transportasi spesies eksotik: spesies diangkut melalui kapal-kapal besar,
yaitu diantaranya alga beracun, cyanobacteria, dan gulma pengganggu yang
dapat dibawa dari daerah endemik ke area yang tidak terkontaminasi. Pada
lingkungan baru spesies-spesies tersebut mungkin menemukan habitat yang
menguntungkan bagi difusi mereka dan pertumbuhannya akan berlebihan,
karena dirangsang oleh ketersediaan nutrien.
3. Waduk di lahan kering: Pembangunan besar waduk untuk menyimpan dan
mengelola air telah terjadi di seluruh dunia. Bendungan-bendungan dibangun
untuk mengumpulkan drainase air melalui cekungan hidrografi yang besar.
Erosi menyebabkan pengayaan nutrien seperti fosfor dan nitrogen pada
perairan waduk ini.

5
Gambar 2.2 Sumber-sumber penyebab eutrofikasi kultural (WHO 1993)

2.2 Dampak Eutrofikasi


Eutrofikasi memiliki banyak dampak negatif. Semakin tinggi kandungan
nutrien pada ekosistem semakin besar dampak ekologis potensial. Namun terdapat
anggapan peningkatan produktivitas dalam sistem air kadang-kadang dapat
bermanfaat atau memberikan keuntungan. Ikan dan spesies lainnya yang diinginkan
dapat tumbuh lebih cepat, menyediakan sumber makanan potensial bagi manusia dan
hewan lainnya. Selain itu eutrofikasi mempengaruhi komposisi predator dan
dekomposer, mengubah komposisi biota, sehingga hanya biota yang ada yang hanya
dapat hidup pada lingkungan lebih subur. Namun, Eutrofikasi juga dapat merugikan
dampak ekologi dan menimbulkan dampak negatif lain yang berkaitan dengan
estetika dan rekreasi untuk kesehatan manusia dan dampak ekonomi.
Pada danau dan teluk, eutrofikasi menurunkan jumlah populasi ikan karena
terganggunya kemampuan reproduksi, akibat dari meningkatnya kondisi anoksik
pada perairan. Ikan juvenile rentan terhadap kondisi tersebut begitu juga dengan ikan
dewasa. Selain itu air irigasi dari danau eutrofik dan sungai memiliki efek buruk
pada produksi tanaman. Khususnya nitrogen dapat merusak secara signifikan pada
hasil pemanenan padi melalui pertumbuhan yang berlebihan (overgrowth),
kematangan yang rendah, dan wabah hama.
Dampak lainnya, ketika Cyanobacteria yang kebanyakan bersifat toxic
blooming pada perairan di padang rumput, hewan-hewan ternak dapat mengalami
gangguan kesehatan melalui air minum terinfeksi yang dikonsumsinya. Kasus
keracunan cyanobacterial yang mematikan ternak termasuk sapi, domba, babi, dan
unggas telah dilaporkan terjadi di Australia dan Amerika Serikat.

6
Ketika alga blooming di perairan, terbentuk buih-buih di permukaan. Danau
yang mengalami hal ini sudah tidak layak digunakan untuk kegiatan rekreasi, seperti
renang, ski air, dan berperahu. Di samping itu, Cyanophyceae yang mengalami
bloom dapat mengeluarkan racun yang dapat membahayakan bagi manusia. Contoh
kasus aktual dilaporkan terjadi di Inggris di mana tentara menjadi sakit setelah
pelatihan kano pada perairan yang mengalami blooming Microcystis. Perairan yang
mengalami blooming, menghasilkan bau yang tidak sedap yang dapat menganggu
area untuk berjalan-jalan dan hiking. Bau yang tidak sedap dari alga yang membusuk
serta bau hidrogen sulfida dari lapisan anaerobik dasar yang disebabkan oleh
dekomposisi. Hal ini tidak hanya menganggu lingkungan rekreasi tetapi juga
lingkungan hidup masyarakat. Berdasarkan pemaparan diatas, dampak-dampak
tersebut dibagi menjadi lima bagian, yaitu:
a) Dampak ekologi
Invasi makrofita, alga, dan Cyanobacteria (alga biru-hijau) yang blooming
memiliki dampak langsung pada ekosistem. Invasi makrofita ini dapat menghambat
atau mencegah pertumbuhan tanaman air lainnya. Demikian pula, alga dan
Cyanobacteria yang blooming akan bersaing untuk ketersediaan nutrien dan cahaya
dengan organisme lain. Dampaknya terhadap keanekaragaman hayati hewan juga
menjadi perhatian. Integritas ekologi dari ekosistem dapat menurun, dan hanya
spesies hewan yang lebih toleran yang dapat bertahan.
b) Dampak estetika
Blooming alga dan Cyanobacteria, dan khususnya buih-buih di permukaan
yang mungkin terbentuk tidak sedap dipandang dan juga menimbulkan bau yang
tidak sedap. Hal ini sering menjadi masalah di perkotaan, dimana orang tinggal dekat
dengan badan air yang mengalami eutrofikasi.
c) Dampak kesehatan manusia
Kutu eceng gondok (Eichhornia crassipes) dapat menjadi bahaya kesehatan.
Selain itu dapat menjadi habitat berkembang biak yang ideal untuk larva nyamuk.
Racun yang dilepaskan oleh alga pada perairan dapat terkonsumsi oleh manusia
melalui air yang dikonsumsi. Apabila racun telah mencapai akut dosis tinggi dapat
menyebabkan kematian karena pendarahan hati atau gagal hati. Efek jangka pendek
lainnya pada manusia termasuk gastrointestinal dan penyakit hati. Selain itu paparan

7
kronis rendah dapat menyebabkan tumor hati. Orang-orang yang juga terkena bau
dari saluran air yang terkontaminasi alga Cyanobacteria yang membusuk dapat
menderita efek gangguan kesehatan kronis.
d) Dampak rekreasi
Keberadaan tumbuhan air yang melimpah dapat menghambat atau mencegah
akses ke saluran air. Hal ini mengurangi fungsi dari penggunaan air untuk olahraga
air seperti ski, berperahu, dan memancing. Kehadiran buih-buih juga tidak sedap
dipandang dan berbau, sehingga membuat penggunaan rekreasi dari badan air tidak
menyenangkan.
e) Dampak ekonomi
Hampir semua dampak yang disebutkan di atas memiliki dampak ekonomi
langsung maupun tidak langsung. Buih-buih alga atau cyanobacteria meningkatkan
biaya pengolahan air untuk mengatasi masalah rasa, bau dan cyanotoxin pada air
yang diolah. Blooming berlebihan dapat menyumbat filter dan meningkatkan biaya
pemeliharaan. Setelah eutrofikasi telah terjadi, biaya tindakan perbaikan dapat
menjadi tinggi untuk penyemprotan tumbuhan atau dikendalikan secara biologi atau
dengan proses pengobatan mahal lainnya.

2.3 Cara Pengelolaan Untuk Mencegah Eutrofikasi


Dasar pengelolaan eutrofikasi yaitu konsep nutrien pembatas (Walmsley
2000). Tingkat dan luasnya pertumbuhan tanaman air tergantung pada konsentrasi
dan rasio nutrisi yang terdapat di perairan. Pertumbuhan tanaman umumnya dibatasi
oleh konsentrasi nutrisi yang yang hadir dalam jumlah relatif sedikit untuk
kebutuhan pertumbuhan tanaman. Minimalisasi dampak eutrofikasi cenderung
difokuskan pada upaya untuk mengurangi masukan nutrien. Pendekatan ini
berhubungan langsung dengan penyebab utama eutrofikasi yaitu pengayaan nutrien.
Pada perairan estuari dan perairan laut salah satu cara untuk melakukan
pengendalian eutrofikasi adalah dengan cara mengontrol masukan P dan N pada
perairan tawar, sehingga P dan N yang berlebih tidak terbawa hingga ke hilir bahkan
perairan laut (Conley et al. 2009). Rasio nitrogen untuk senyawa fosfor dalam badan
air merupakan faktor penting yang menentukan mana dari dua elemen akan menjadi

8
faktor pembatas, dan akibatnya mana yang harus dikontrol untuk mengurangi
blooming (Tabel 2.1).
Tabel 2.1. Rasio N/P (digambarkan dalam bobot) untuk berbagai kondisi pembatas
di perairan tawar dan perairan laut (WHO & European Commision 2002).
N-limiting (ratio Intermediate (ratio P-Limiting (ratio
N/P) N/P) N/P)
Freshwater ≤ 4.5 4.5-6 ≥6
Estuarine/Coastal
≤5 5-10 ≥ 10
Water

Umumnya dalam pengelolaannya, point source akan menjadi fokus utama


yang akan dilihat terlebih dahulu. Nutrien yang berasal dari sumber ini akan mudah
untuk dihitung dan sederhana untuk dikelola. Setelah itu, dilanjutkan mengelola non-
point source dan kemudian pengelolaan internal (“in-lake”) dapat
diimplementasikan. Pada pengelolaan eutrofikasi juga sebaiknya memperhatikan hal-
hal berikut, yaitu : (Walmsley 2000)
1. Tidak ada perbaikan yang cepat, sehingga pendekatan jangka panjang
diperlukan untuk memecahkan masalah
2. Kolaborasi diperlukan antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat.
Namun, pemerintah harus berperan sebagai fasilitator utama.
3. Masalah tidak dapat diselesaikan dengan intervensi teknis tunggal,
dibutuhkan keterpaduan antara tindakan sosial, ekonomi, dan teknis.
4. Kegiatan pemantauan secara transparan dan penelitian merupakan prasyarat
bagi pengambilan keputusan.

9
BAB III
KESIMPULAN

Penyebab utama eutrofikasi ialah pengayaan nutrien, yang dapat berasal dari
runoff yang membawa bersama nutrien berlebihan dari agroekosistem, limbah rumah
tangga, peternakan, dan limbah dari industri. Akibat dari eutrofikasi adalah
terganggunya ekosistem perairan (dampak ekologis) serta dampak-dampak lainnya
secara tidak langsung seperti dampak secara estetika, kesehatan manusia, rekreasi
dan ekonomi. Pengelolaan yang dapat dilakukan dalam mengatasi dan mencegah
terjadinya eutrofikasi adalah dengan mengontrol masukan nutrien N dan P ke dalam
perairan, dengan mengelola juga sumber-sumber masukan nutrien tersebut. Tidak
kalah penting juga dalam pengelolaan eutrofikasi ini dibutuhkan keterpaduan dan
kerjasama antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat.

10
DAFTAR PUSTAKA

Conley DJ. 2000. Biogeochemical nutrient cycles and nutrient management


strategies. Hydrobiologia 410:87-96.
Conley DJ, Paerl HW, Howart RW, Boesch DF, Seitzinger SP, Havens KE, Lancelot
C, Likens GE. 2009. Controlling eutrophication : Nitrogen and phosphorus
science. 323:1014 -1015
Danube Pollution Reduction Programme. 1999. Cause and effect of eutrofication in
the Black Sea (Summary Report). Programme Coordination Unit UNDP/ GEF
Assistance. 94p
Ginkel CEV. 2011. Eutrophication: Present reality and future challenges for South
Africa. Water SA. 37(5).
Katakam BK, Saiteja PS, Ch S, Meher MT, Nuepane K. 2012. Analysis of
eutrofication of Lakes in Krishna District by using ArcGIS software.
International of Earth Sciences and Engineering. 5:4(1), 915-921.
Nybakken JW. 1986. Biologi laut suatu pendekatan ekologis. Gramedia. Jakarta.
458p.
Pawlak JF, Laamanen Maria, Anderson JH. 2009. Eutrophication in the Baltic Sea-
An integrated thematic assessment of the effects of nutrient enrichment
and eutrophication in the Baltic Sea region. The Baltic Marine
Environtment Protection Commision. Finland. 19p.
Rast W, Thornton JA. 1996. Trends in eutrofication research and control.
Hydrological Processes. 10:295-313.
Walmsley RD. 2000. Concept of eutrophication. Development of Strategy to Control
Eutrophication in South Africa. 12p
WHO. 1993. Guidelines for drinking. Water Quality Set Up in Geneva.
WHO. European Communision. 2002. Eutrophication and Health. France. 32p.

11

Anda mungkin juga menyukai